Hubungan Antara Riwayat Kebiasaan Merokok dengan Kanker Kandung Kemih Muscle Invasive dan Non-Muscle Invasive di RSUP H. Adam Malik Periode 2011-2014

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kandung Kemih

2.1.1. Anatomi Kandung Kemih

Kandung kemih atau buli-buli merupakan suatu organ berongga yang tersusun atas otot-otot yang dapat diregangkan yang berfungsi sebagai tempat penampungan sementara urin. Kandung kemih orang dewasa umumnya memiliki kapasitas penampungan urin sebesar 400-500 mL. Pada saat tidak terisi, kandung kemih pada orang dewasa terletak pada bagian posterior dari simfisis pubis dan merupakan organ pelvis sedangkan pada anak-anak, kandung kemih terletak lebih tinggi. Pada saat terisi penuh, kandung kemih dapat mengembang sampai di atas simfisis dan dapat dengan mudah dipalpasi ataupun diperkusi. Pada keadaan tertentu, seperti pada retensi urin baik akut maupun kronik, terjadi peregangan yang berlebihan pada kandung kemih sehingga dapat dijumpai tonjolan pada bagian bawah abdomen yang kasat mata (Tanagho dan Lue, 2013).

Kandung kemih yang kosong berbentuk seperti piramida segitiga yang memiliki bagian apeks, basis, permukaan superior, dan dua permukaan inferolateral. Pada bagian apeks, terdapat ligamentum umbilicale medianum

(merupakan sisa dari urachus embrional) yang akan terus bergerak secara superior dan melekat pada dinding abdomen anterior ke umbilikus. Bagian basis dari kandung kemih berbentuk seperti segitiga terbalik dan mengarah ke bagian posteroinferior. Kedua ureter masuk ke kandung kemih pada bagian superior basis dan kemudian urin dialirkan melalui urethra yang terletak pada bagian inferior basis. Pada daerah diantara kedua ureter dan urethra didapati permukaan mukosa yang halus dan melekat erat dengan struktur otot polos di bawahnya yang dikenal sebagai trigone. Pada bagian inferolateral terdapat musculus levator ani dan


(2)

Gambar 2.1. Penampang superolateral kandung kemih

Sumber: Drake, R.L., Vogl, W., Mitchell, A.W.M., 2012. Gray’s Basic Anatomy. Philadephia: Elsevier, p. 221-223.

Gambar 2.2. Penampang interior kandung kemih dari bagian anterior Sumber: Drake, R.L., Vogl, W., Mitchell, A.W.M., 2012. Gray’s Basic Anatomy. Philadephia: Elsevier, p. 221-223.

Untuk vaskularisasi, kandung kemih diperdarahi oleh arteriae vesicales superiores, media, dan inferior yang merupakan percabangan dari arteria iliaca interna dan cabang kecil dari arteria obturatoria dan arteria gluteal inferior. Pada wanita, arteri yang memperdarahi uterus dan vagina juga membentuk percabangan untuk memperdarahi kandung kemih. Untuk sistem vena, kandung kemih dikelilingi oleh pleksus vena yang pada akhirnya akan mengalir ke vena iliaca interna. Kandung kemih dipersarafi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Sistem limfatik pada kandung kemih akan dialirkan ke nodi lymphoidei iliaci interna (Tanagho dan Lue, 2013).


(3)

2.1.2. Histologi Kandung Kemih

Secara histologi, kandung kemih memiliki dinding berotot yang tebal. Dinding ini mirip dengan yang terdapat di sepertiga bawah ureter, namun dengan ketebalan yang berbeda. Di dinding ini ditemukan tiga lapisan otot polos yang tersusun longgar, yaitu lapisan longitudinal dalam, sirkular tengah, dan longitudinal luar. Akan tetapi, sama seperti dengan ureter, ketiga lapisan otot tersebut sulit dibedakan. Ketiga lapisan tersebut membentuk anastomosis berkas otot polos dan terdapat jaringan ikat interstisium diantaranya. Mesotelium menutupi jaringan ikat serosa dan merupakan lapisan terluar. Serosa melapisi permukaan superior kandung kemih, sedangkan permukaan inferiornya ditutupi oleh jaringan ikat adventisia, yang menyatu dengan jaringan ikat di sekitarnya (Eroschenko, 2012)

Pada saat kosong, dapat ditemukan banyak lipatan mukosa pada kandung kemih yang akan menghilang sewaktu kandung kemih meregang. Epitel penyusun mukosa kandung kemih adalah epitel transisional yang sama seperti pada ureter, tetapi lebih tebal dan memiliki sekitar enam lapis sel. Di bagian bawah epitel dapat ditemukan lamina propia yang lebih lebar daripada di ureter. Pada bagian yang lebih dalam mengandung jaringan ikat dengan lebih banyak serat elastik. Dapat ditemukan banyak pembuluh darah pada bagian serosa, diantara berkas otot polos, dan di lamina propia (Eroschenko, 2012).

Di bawah mikroskop, sediaan histologi dari kandung kemih akan tampak seperti pada gambar 2.3. Terdapat 4 lapisan pada dinding kandung kemih, yaitu lapisan yang paling dalam disusun oleh mukosa dengan urotelium (U) dan lamina propia (LP), lapisan kedua disusun oleh lapisan submukosa yang tipis (S), lapisan ketiga disusun oleh tiga lapisan otot polos (IL, ML, dan OL), dan lapisan yang paling luar disusun oleh adventisia (A) (Mescher, 2013).


(4)

Gambar 2.3. Penampang histologi dinding kandung kemih

Sumber: Mescher, A.L., 2013. Junqueira’s Basic Histology Text and Atlas 13th ed.

USA: Mc Graw-Hill Education, p. 398-401.

Pada saat kandung kemih kosong, lapisan mukosa kandung kemih akan terlihat seperti pada gambar 2.4. Dapat dijumpai lipatan-lipatan mukosa yang sangat banyak dan urotelium yang memiliki bulbous umbrella cells. Pada saat kandung kemih terisi, kandung kemih akan teregang, sehingga lipatan mukosa akan berkurang dan umbrella cells akan menjadi lebih pipih (Mescher, 2013).

Gambar 2.4. Penampang histologi mukosa kandung kemih

Sumber: Mescher, A.L., 2013. Junqueira’s Basic Histology Text and Atlas 13th ed.


(5)

2.1.3. Fisiologi Kandung Kemih

Fungsi utama dari kandung kemih adalah sebagai tempat penampungan urin sementara dan berperan dalam proses miksi atau berkemih. Urin yang dihasilkan oleh ginjal akan dialirkan oleh ureter ke kandung kemih oleh karena adanya gaya gravitasi dan gerakan peristaltik yang teratur, berkisar 1-5 kontraksi per menit oleh otot polos sepanjang pelvis renalis dan ureter. Ureter akan bergerak secara oblik dan menembus dinding kandung kemih. Pergerakan ureter secara oblik ini akan mencegah aliran balik urin ke ginjal saat terjadi peningkatan tekanan di dalam kandung kemih (Barrett et al., 2012).

Miksi atau berkemih merupakan proses pengosongan kandung kemih yang diatur oleh dua mekanisme, yaitu refleks berkemih dan kontrol volunter. Refleks berkemih yang secara keseluruhan merupakan refleks spinal akan terpicu saat adanya rangsangan pada reseptor regang di dalam dinding kandung kemih. Pada orang dewasa, reseptor regang ini akan teraktivasi apabila kandung kemih telah terisi urin sebanyak 200-400 mL. Semakin besar tegangan melebihi ukuran ini, semakin besar tingkat pengaktifan reseptor. Serabut saraf aferen akan membawa impuls dari reseptor regang menuju ke medulla spinalis dan akhirnya, melalui antar neuron, akan merangsang saraf parasimpatis untuk kandung kemih dan menghambat neuron motorik ke sfingter eksternus. Stimulasi saraf parasimpatis akan menyebabkan kontraksi kandung kemih. Kontraksi kandung kemih ini secara otomatis akan menyebabkan terbukanya sfingter uretra internus secara mekanis sedangkan sfingter eksternus akan melemas karena neuron motoriknya dihambat. Setelah kedua sfinger uretra terbuka, maka urin akan terdorong keluar oleh kontraksi kandung kemih (Sherwood, 2011).


(6)

Gambar 2.5. Perubahan tekanan pada kandung kemih saat terisi urin Sumber: Sherwood, L., 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, Edisi 6. Jakarta: EGC, p. 595-597.

Selain memicu refleks berkemih, pengisian kandung kemih akan menimbulkan kesadaran seseorang dan memicu keinginan untuk berkemih. Persepsi penuhnya kandung kemih muncul sebelum sfingter eksternus secara refleks melemas, memberi peringatan bahwa miksi akan segera terjadi. Dengan

toilet training pada masa anak-anak, kontrol volunter berkemih dapat mengalahkan refleks berkemih sehingga pengosongan kandung kemih dapat terjadi sesuai keinginan orang yang bersangkutan. Pada saat seseorang menahan berkemih, impuls eksitatorik volunter dari korteks serebri mengalahkan sinyal inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron motorik yang terlibat sehingga otot-otot ini akan tetap berkontraksi dan tidak ada urin yang keluar. Akan tetapi, berkemih tidak dapat ditahan selamanya. Karena kandung kemih terus terisi urin, maka sinyal refleks dari reseptor regang akan meningkat seiring waktu. Akibatnya, sinyal inhibitorik refleks ke neuron motorik sfingter eksternus menjadi sedemikian kuat sehingga tidak dapat lagi diatasi oleh sinyal eksitatorik volunter sehingga sfingter melemas dan kandung kemih secara tak terkontrol mengosongkan isinya (Sherwood, 2011).

Berkemih juga dapat dilakukan dengan sengaja, meskipun kandung kemih sedang tidak dalam kondisi teregang, yaitu dengan secara sengaja melemaskan sfingter eksternus dan diafragma pelvis. Turunnya dasar panggul memungkinkan


(7)

kandung kemih turun, yang secara simultan menarik terbuka sfingter uretra internus dan meregangkan dinding kandung kemih. Akibatnya, terjadi pengaktifan reseptor regang yang kemudian akan menyebabkan kontraksi kandung kemih melalui refleks berkemih. Pengosongan kandung kemih secara sengaja ini juga dapat dibantu oleh kontraksi dinding abdomen dan diafragma pernafasan, yang akan menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang kemudian akan menekan kandung kemih ke bawah untuk mempermudah proses pengosongan (Sherwood, 2011).

Gambar 2.6. Refleks dan kontrol volunter berkemih

Sumber: Sherwood, L., 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, Edisi 6. Jakarta: EGC, p. 595-597.


(8)

2.2. Kanker Kandung Kemih

2.2.1. Definisi Kanker Kandung Kemih

Kanker kandung kemih merupakan massa abnormal yang dapat ditemukan di dalam kandung kemih. Gejala yang dapat ditimbulkan oleh kanker kandung kemih meliputi ditemukannya darah pada urin (hematuria), urgensi untuk mengosongkan kandung kemih, peningkatan frekuensi berkemih, diperlukannya usaha tambahan untuk mengosongkan kandung kemih serta adanya rasa nyeri saat berkemih (National Cancer Institute, 2010). Kanker kandung kemih ini merupakan keganasan saluran kemih yang paling sering terjadi setelah kanker prostat. Sekitar 7% kasus keganasan baru pada pria dan 2% pada wanita adalah kanker kandung kemih. Orang berkulit putih memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita kanker kandung kemih dibandingkan orang yang berkulit hitam. Rata-rata usia pasien saat didiagnosis menderita kanker kandung kemih adalah 65 tahun, dengan 75% merupakan keganasan setempat dan 25% telah terjadi metastase ke kelenjar limfe regional (Konety dan Carroll, 2013).

2.2.2. Faktor Risiko Kanker Kandung Kemih

Faktor risiko merupakan hal-hal yang dapat memperbesar kemungkinan seseorang untuk mengalami suatu penyakit tertentu. Faktor risiko terdiri atas faktor yang dapat diubah, seperti merokok, aktivitas sehari-hari, sedangkan faktor risiko yang tidak dapat diubah adalah usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Dengan memiliki faktor risiko tidak berarti bahwa seseorang akan menderita penyakit tersebut. Menurut American Cancer Society pada tahun 2014, ada beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko seseorang menderita kanker kandung kemih, yaitu:

1. Merokok

Merokok merupakan faktor risiko yang penting untuk kanker kandung kemih. Orang yang merokok memiliki risiko setidaknya 3 kali lebih besar untuk menderita kanker kandung kemih dibandingkan dengan orang yang tidak merokok.


(9)

2. Pekerjaan

Paparan terhadap senyawa kimia amin aromatik, seperti benzidine dan beta-naphtylamine, yang sering digunakan pada industri cat, dapat menyebabkan kanker kandung kemih. Orang-orang yang memiliki risiko tinggi adalah pekerja di pabrik pengolahan karet, kulit, tekstil, cat, dan percetakan. Pekerjaan lain seperti tukang cat, teknisi mesin, teknisi percetakan, pekerja salon (kemungkinan karena paparan terhadap cat rambut), dan supir truk (kemungkinan karena paparan asap kendaraan). Orang-orang yang merokok dan berkerja di tempat yang berisiko seperti ini memiliki risiko tertinggi untuk menderita kanker kandung kemih.

3. Suku bangsa

Kanker kandung kemih lebih sering terjadi pada orang berkulit putih dibandingkan orang berkulit hitam. Kejadian kanker kandung kemih juga lebih rendah pada orang-orang Hispanik, Asia Amerika, dan Indian Amerika. Mekanisme mengenai hubungan antara suku bangsa dengan kejadian kanker kandung kemih juga masih belum begitu dimengerti.

4. Usia

Risiko kanker kandung kemih meningkat sesuai usia. Sekitar 9 dari 10 orang yang menderita kanker kandung kemih berusia di atas 55 tahun.

5. Jenis kelamin

Kanker kandung kemih lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. 6. Iritasi kronik dan infeksi kandung kemih

Infeksi saluran kemih, batu saluran kemih, pemakaian kateter jangka panjang dan penyebab iritasi kronik kandung kemih lainnya dapat meningkatkan risiko keganasan kandung kemih, utamanya squamous cell carcinoma. Infeksi oleh parasit Schistosoma hematobium juga merupakan faktor risiko keganasan kandung kemih pada negara-negara seperti Afrika dan Timur Tengah, dimana parasit ini sering ditemukan.

7. Riwayat keganasan pada saluran kemih dan kandung kemih

Orang-orang yang memiliki riwayat keganasan pada sistem saluran kemih memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita kanker kandung kemih.


(10)

Kanker ini dapat terjadi pada tempat yang sama seperti sebelumnya ataupun pada tempat lain di sistem saluran kemih.

8. Kelainan kandung kemih kongenital

Orang-orang yang mengalami saluran urachus yang menetap memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita adenokarsinoma yang tersusun atas sel-sel kelenjar yang ganas. Sekitar satu per tiga kasus adenokarsinoma kandung kemih berasal dari daerah ini.

9. Genetik dan riwayat keluarga

Orang-orang dengan riwayat keluarga penderita kanker kandung kemih memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita kanker kandung kemih di kemudian hari. Mutasi genetik juga dapat meningkatkan risiko seseorang menderita kanker kandung kemih, seperti (1) mutasi gen GST dan NAT dapat menyebabkan tubuh seseorang lebih lambat untuk memecah toksin tertentu yang menyebabkan kanker kandung kemih, (2) mutasi gen retinoblastoma (RB1) dapat menyebabkan keganasan pada mata dan peningkatan risiko kanker kandung kemih, (3) mutasi gen PTEN (Cowden disease) yang berhubungan dengan keganasan payudara dan tiroid juga meningkatkan risiko seseorang menderita kanker kandung kemih dan (4) Lynch syndrome yang berhubungan dengan keganasan kolon dan endometrium juga dapat meningkatkan risiko keganasan kandung kemih dan ureter.

10. Kemoterapi dan Radioterapi

Penggunaan obat cyclophosphamide jangka panjang dapat menyebabkan iritasi pada kandung kemih yang pada akhirnya akan meningkatkan risiko keganasan kandung kemih.

11. Obat-obatan tertentu dan suplemen herbal

Menurut US Food and Drug Administration (FDA), penggunaan obat antidiabetes seperti pioglitazone selama lebih dari satu tahun dan suplemen herbal yang mengandung aristolochic acid dapat meningkatkan risiko keganasan kandung kemih.


(11)

12. Arsenik pada air minum

Konsumsi air minum yang mengandung arsenik dapat meningkatkan risiko keganasan kandung kemih.

13. Kurangnya asupan air

Orang-orang yang asupan air hariannya tidak cukup akan lebih jarang berkemih sehingga pengeluaran senyawa toksin lebih lambat. Akibatnya, terjadi peningkatan risiko keganasan kandung kemih.

2.2.3. Staging dan Grading Kanker Kandung Kemih

Staging dan grading kanker kandung kemih sangat penting untuk menentukan prognosis dan tata laksana yang sesuai bagi pasien. Staging keganasan pada pasien dapat dilakukan dengan menggunakan sistem TNM ( Tumour-Nodes-Metastasis). Sistem ini menilai keadaan tumor primer, kelenjar getah bening dan metastase ke jaringan lain yang pada akhirnya akan menentukan stadium penyakit pasien. Penilaian tumor primer dapat dilakukan dengan pemeriksaan bimanual dan konfirmasi histologis. Selain itu, pemeriksaan radiologis untuk perkembangan tumor primer ke kelenjar getah bening dan organ lainnya juga perlu dilakukan untuk menilai progresifitas tumor (American Joint Committee on Cancer, 2010).

Gambar 2.7. Perkembangan tumor primer kandung kemih

Sumber: American Joint Committee on Cancer, 2010. AJCC Cancer Staging Manual, 7th ed.. New York: Springer, p. 497-502.


(12)

Klasifikasi sistem TNM menurut American Joint Committee on Cancer

(2010) adalah sebagai berikut :

Gambar 2.8. Klasifikasi sistem TNM (Tumour-Nodes-Metastasis) Sumber: American Joint Committee on Cancer, 2010. AJCC Cancer Staging Manual, 7th ed.. New York: Springer, p. 497-502.

Gambar 2.9. Penentuan stadium tumor kandung kemih

Sumber : American Joint Committee on Cancer, 2010. AJCC Cancer Staging Manual, 7th ed.. New York: Springer, p. 497-502.

Grading merupakan penilaian sel-sel tumor secara mikroskopis. World Health Organization (WHO) dan International Society of Urologic Pathology

(ISUP) merekomendasikan sistem grading: Low Grade (LG) dan High Grade

(HG). Jika sistem grading tidak spesifik, secara umum digunakan: (1) Grade tidak dapat dinilai (GX), (2) Sel terdiferensiasi dengan baik (G1), (3) Sel terdiferensiasi secara moderat (G2), (4) Sel terdiferensiasi dengan buruk (G3), dan (5) Sel tidak terdiferensiasi (G4) (American Joint Committee on Cancer, 2010).


(13)

2.2.4. Histopatologi Kanker Kandung Kemih

Secara histopatologi, kanker kandung kemih dapat dibagi menjadi 2, berdasarkan daya invasinya, menjadi Non-Muscle Invasive Bladder Cancer

(NMIBC) dan Muscle Invasive Bladder Cancer (MIBC). MIBC merupakan penyakit keganasan yang agresif dan berisiko tinggi untuk menyebar ke organ lainnya dibandingkan dengan NMIBC (Syvänen et al., 2014). Berdasarkan jenis sel penyusunnya, kanker kandung kemih dapat dibagi menjadi (Konety dan Carroll, 2013) :

1. Papilloma/PUNLMP

Papilloma merupakan sebuah tumor berbentuk papil yang memiliki tangkai, terdiri atas jaringan ikat dan pembuluh darah, untuk menyokong dan memperdarahi epitel transisional kandung kemih dengan ketebalan dan sitologi yang normal. Papillary Urothelial Neoplasms of Low Malignant Potential

(PUNLMP) merupakan neoplasma kandung kemih berbentuk papil yang cenderung tidak ganas sehingga tidak memerlukan terapi yang agresif.

2. Transitional Cell Carcinoma

Transitional cell carcinoma (TCC) merupakan keganasan yang berasal dari sel epitel transisional yang melapisi kandung kemih. Sekitar 90% keganasan kandung kemih merupakan keganasan sel transisional. Secara umum, kebanyakan TCC berbentuk papil (lesi eksofitik) yang hanya terdapat pada bagian superfisial. Pada kasus yang jarang, TCC dapat berbentuk ulkus yang lebih sering bersifat invasif. Selain itu, TCC juga dapat muncul sebagai lesi

Carcinoma In Situ (CIS) dengan epitel yang datar dan bersifat anaplastik. Pada pemeriksaan histopatologi, didapatkan sel urotelium yang memiliki nukleus yang hiperkromatik dan besar, serta nukleolus yang menonjol.

3. Nontransitional Cell Carcinomas

a. Adenocarcinoma

Adenocarcinoma merupakan keganasan yang berasal dari sel-sel kelenjar pada kandung kemih. Adenokarsinoma menyusun sekitar kurang dari 2% keganasan kandung kemih. Adenokarsinoma dapat didahului dengan infeksi pada kandung kemih dan metaplasia, serta dapat juga berasal dari urachus.


(14)

b. Squamous cell carcinoma

Squamous cell carcinoma (SCC) menyusun sekitar 5-10% keganasan kandung kemih. SCC umumnya didahului dengan riwayat infeksi kronik, batu kandung kemih atau penggunaan kateter jangka panjang. Selain itu, infeksi parasit seperti Schistosoma haematobium juga dapat menyebabkan keganasan ini. Pada pemeriksaan histopatologi, didapatkan keganasan yang terdiferensiasi secara buruk yang disusun oleh sel poligonal dengan karakteristik adanya intracellular bridge dan terkadang dijumpai epitel berkeratin.

c. Undifferentiated carcinomas

Undifferentiated carcinoma umumnya jarang terjadi (<2%) dan ditandai dengan tidak dijumpainya sel epitel yang matur. Small cell carcinoma

merupakan undifferentiated carcinoma yang bersifat agresif dan cenderung melakukan metastasis.

d. Mixed carcinoma

Mixed carcinoma menyusun sekitar 4-6% keganasan kandung kemih dan tersusun atas kombinasi dari sel transisional, pipih/gepeng ataupun sel lain yang tidak dapat dibedakan. Umumnya keganasan tipe mixed carcinoma berukuran besar dan sudah melakukan infiltrasi pada saat didiagnosis. 4. Rare Epithelial and Nonepithelial Cancers

Keganasan sel epitel lain yang pada umumnya jarang terjadi pada kandung kemih meliputi villous adenomas, carcinoid tumors¸ carcinosarcomas, dan melanoma sedangkan yang tidak berasal dari sel epitel meliputi pheokromasitoma, limfoma, koriokarsinoma dan tumor sel mesekimal lainnya (hemangioma, osteogenic sarcoma, dan miosarkoma). Selain itu, keganasan pada organ sekitar kandung kemih seperti prostat, serviks dan rektum dapat menyebar secara langsung ke kandung kemih.

2.2.5. Diagnosis Kanker Kandung Kemih

Diagnosa kanker kandung kemih dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Pada anamnesis, pasien akan


(15)

mengeluhkan adanya darah pada urin. Akan tetapi, munculnya darah pada urin bukan merupakan penanda spesifik dari kanker kandung kemih. Selain munculnya darah pada urin, keluhan lain berupa perubahan kebiasaan berkemih dan tanda iritasi pada kandung kemih seperti peningkatan frekuensi berkemih, rasa nyeri atau terbakar saat berkemih dan perasaan ingin berkemih saat kandung kemih kosong juga dapat dijumpai. Gejala iritatif ada Lower Urinary Tract Symptoms / LUTS yang menonjol dan tidak hilang dengan terapi simtomatik dapat merupakan gejala dari karsinoma in situ. Pada kanker kandung kemih yang telah menyebar ke organ lain, dapat dijumpai gejala berupa ketidakmampuan untuk berkemih, benjolan pada perut bagian bawah, nyeri punggung dan panggul, menurunnya nafsu makan dan berat badan, pembengkakan pada kaki, dan nyeri pada tulang (American Cancer Society, 2014; Warli et al., 2014).

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan pemeriksaan bimanual, dapat ditemukan adanya penebalan dinding kandung kemih ataupun benjolan. Apabila kanker kandung kemih sudah menyebar ke organ lain, dapat dijumpai limfadenopati supraklavikula dan hepatomegali. Apabila sel kanker telah menyebar ke tulang, dapat dijumpai adanya nyeri atau fraktur pada tulang. Pada kasus yang jarang, dapat terjadi penyebaran ke kulit sehingga muncul nodul yang disertai dengan rasa nyeri dan ulkus (Konety dan Carroll, 2013).

Pemeriksaan penunjang/tambahan yang dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosa kanker kandung kemih adalah pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan sistoureteroskopi. Pada pemeriksaan laboratorium, dapat dilakukan pemeriksaan darah rutin, sitologi urin dan penanda tumor, seperti Bladder Tumor Antigen (BTA) stat test, BTA TRAK assay, NMP22 assay, NMP22 Bladderchek test, ImmunoCyt,dan UroVysion. Pemeriksaan penanda tumor ini dapat mendeteksi protein yang spesifik terhadap tumor kandung kemih (BTA/NMP22) atau dengan mendeteksi penanda spesifik dari inti sel yang mengalami keganasan (UroVysion dan ImmunoCyt). Pada pemeriksaan radiologi, umumnya dilakukan Intravenous urography untuk evaluasi hematuria. Akan tetapi, pemeriksaan tersebut telah digantikan dengan Computed Tomography (CT) urography yang lebih akurat dalam evaluasi kavitas abdomen, parenkim ginjal, ureter, dan kandung kemih. Untuk


(16)

kanker superfisial, dapat dilakukan TUR dan untuk menilai derajat invasi, dapat juga dilakukan CT dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan tingkat akurasi 40-85% untuk CT dan 50-90% untuk MRI (Konety dan Carroll, 2013).

Meskipun pemeriksaan laboratorium dan radiologi memberikan banyak informasi yang berguna dalam penilaian organ saluran kemih, sistoskopi masih merupakan pemeriksaan yang paling baik (gold standard) untuk menilai kandung kemih dan uretra. Selama proses pemeriksaan dengan sistoskopi, dapat dilakukan biopsi terhadap jaringan yang dianggap tidak normal pada kandung kemih yang kemudian akan diperiksa secara mikroskopis (Bladder Cancer Advocacy Network., 2008).

2.2.6. Tata Laksana Kanker Kandung Kemih

Tata laksana pada kanker kandung kemih dapat dibedakan berdasarkan daya invasinya serta sel penyusun kanker tersebut. National Comprehensive Cancer Network pada tahun 2014 mengeluarkan sebuah panduan untuk tata laksana kanker kandung kemih sebagai berikut :

1. Transitional cell carcinomas/Urothelial carcinoma of the bladder

Pada pasien yang diduga memiliki kanker kandung kemih tipe TCC, dilakukan evaluasi awal, berupa anamnesa, pemeriksaan fisik, sistoskopi, dan pemeriksaan sitologi urin. Setelah didapatkan hasil pemeriksaan awal, penatalaksanaan kanker kandung kemih dibagi berdasarkan daya invasinya ke jaringan sekitarnya. Pada kanker yang bersifat tidak invasif, dilakukan pemeriksaan radiologi pada saluran kemih, berupa IVP, CT urography, renal ultrasound with retrograde pyelogram, ureteroscopy atau MRI urogram. Dapat juga dilakukan CT pelvis sebelum dilakukan Transurethral Resection of Bladder Tumor (TURBT) jika diduga kanker membentuk ulkus atau bersifat ganas. Setelah dilakukan tindakan awal, dilakukan evaluasi primer berupa pemeriksaan bimanual dan biopsi. Sementara itu, pada kanker yang bersifat invasif, dilakukan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan darah lengkap, enzim alkaline phosphatase, foto dada, CT/MRI abdomen dan pelvis serta


(17)

pemeriksaan tulang lalu diikuti dengan pemeriksaan bimanual atau sistoskopi dan TURBT.

Pada kanker yang tidak bersifat invasif, yaitu kanker dengan stadium cTa low grade dan high grade, cT1 low grade dan high grade, dan Tis, umumnya dilakukan observasi, pemberian kemoterapi intravesikal, pemberian BCG atau

mitocyin dan pada stadium cT1 high grade dapat dilakukan sistektomi. Pada kanker yang bersifat invasif, yaitu kanker dengan stadium cT2, cT3, cT4a, dan cT4b, tatalaksana didasarkan dengan ada/tidaknya temuan nodul pada hasil CT/MRI abdomen dan pelvis. Umumnya, dilakukan sistektomi radikal pada pasien dan kemoterapi adjuvan dengan cisplatin. Apabila kanker telah menyebar ke organ lain, dapat dilakukan kemoterapi. Setelah dilakukan tatalaksana pada pasien, dilakukan follow-up untuk menilai keberhasilan pengobatan dan tindakan lanjutan yang diperlukan.

2. Non-Urothelial cell carcinoma of the bladder

a. Mixed carcinoma

Penatalaksanaan untuk keganasan ini sama seperti TCC. Akan tetapi, keganasan ini bersifat agresif sehingga menjadi pertimbangan yang penting pada terapi.

b. Squamous cell carcinoma

Tata laksana SCC meliputi sistektomi, radioterapi, dan pemberian obat-obatan, seperti 5-U, taxanes, dan methotrexate.

c. Adenocarcinoma

Dapat dilakukan sistektomi radikal atau parsial yang disertai dengan kemoterapi atau radioterapi dalam tata laksana adenocarcinoma.

d. Undifferentiated carcinoma/Small cell carcinoma

Tata laksana keganasan ini adalah dengan sistektomi, radioterapi atau kemoterapi. Kemoterapi primer pada tumor ini sama seperti pada pengobatan small cell lung cancer.

e. Urachal carcinoma

Tumor ini diobati dengan reseksi komplit dari urachus yang diikuti dengan kemoterapi atau radioterapi.


(18)

f. Primary bladder sarcoma

Tumor ini ditata laksana sesuai dengan tata laksana sarkoma pada organ tubuh lainnya.

2.2.7. Prognosis Kanker Kandung Kemih

Prognosis kanker kandung kemih berkaitan erat dengan stadium kanker pada saat pasien didiagnosa. Stadium kanker menunjukkan penyebaran sel kanker di dalam tubuh pasien, yang kemudian menentukan pilihan pengobatan dan berpengaruh pada persentase kesembuhan pasien. Pasien dengan keganasan yang bersifat regional memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan keganasan yang telah menyebar ke organ lain. 5-year survival menunjukkan kemungkinan pasien dapat bertahan hidup dalam 5 tahun setelah didiagnosa suatu keganasan. Untuk kanker kandung kemih, diperkirakan sekitar 77,4% pasien dapat bertahan hidup selama 5 tahun setelah didiagnosa dengan kanker kandung kemih. Untuk tumor yang bersifat in situ, lokal (terbatas pada tempat primer), regional (telah menyebar ke kelenjar getah bening), distant (telah menyebar ke organ lain), dan unknown (stadium tidak dapat ditentukan), secara berturut-turut 5-year survivalnya adalah 95,9%, 69,9%, 34%, 5,4%, dan 47,4% (National Cancer Institute, 2015).

2.3. Merokok

Rokok merupakan suatu zat toksik yang tersusun atas lebih dari 7000 senyawa kimia dan sekitar 70 senyawa diantaranya dapat memicu terjadinya kanker (karsinogenik). Beberapa senyawa berbahaya yang terkandung dalam rokok adalah senyawa karsinogenik (formaldehyde/formalin, benzene, polonium 210, dan vinyl chloride), logam toksik (kromium, arsenik, timbal, dan kadmium), dan gas beracun (karbon monoksida, hidrogen sianida, amoniak, butana, dan toluene). Senyawa-senyawa tersebut menyebabkan kerusakan yang segera dan berulang pada sel-sel tubuh. Kerusakan pada Deoxyribonucleic Acid (DNA) merupakan salah satu mekanisme rokok menyebabkan keganasan. Selain itu, iritasi berulang akibat


(19)

senyawa toksik dalam rokok juga merupakan faktor lain yang dapat menyebabkan keganasan (U.S. Department of Health and Human Services, 2010).

Kebiasaan merokok menunjukkan jumlah batang rokok yang dikonsumsi oleh seseorang dalam satu hari. Klasifikasi kebiasaan merokok umumnya dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Perokok ringan adalah orang yang mengkonsumsi kurang dari 10 batang rokok per hari sedangkan perokok berat adalah orang yang mengkonsumsi lebih dari 20 batang rokok per hari. Perokok sedang merupakan orang yang mengkonsumsi rokok dengan jumlah di antara perokok ringan dan berat (Lifestyle Statistics Team, Health and Social Care Information Centre, 2014).

2.4. Hubungan Antara Riwayat Kebiasaan Merokok dengan Kanker Kandung Kemih

Merokok merupakan faktor risiko independen yang utama yang menyebabkan terjadinya kanker kandung kemih. Berbagai hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan di berbagai negara di seluruh dunia menunjukkan bahwa orang yang merokok memiliki risiko 2-4 kali lebih besar untuk menderita kanker kandung kemih dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Kejadian kanker kandung kemih juga dipengaruhi oleh frekuensi dan durasi merokok. Semakin tinggi frekuensi dan durasi merokok, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk menderita kanker kandung kemih (Quirk et al., 2004).

Statistik menunjukkan bahwa kejadian kanker kandung kemih terus meningkat di dunia. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah peningkatan konsumsi rokok dan perubahan dalam komposisi rokok. Peningkatan konsumsi rokok terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang dikarenakan kampanye anti rokok dan penegakan hukumnya masih belum menjadi fokus utama (Ahmad dan Pervaiz, 2011). Perubahan dalam komposisi rokok ini diduga menyebabkan rokok menjadi semakin karsinogenik. Meskipun telah terdapat rokok rendah tar dan nikotin, senyawa karsinogenik seperti β -naphthylamine, tobacco-specific nitrosamines, N’-nitrosonornicotine dan 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanone mengalami peningkatan bila


(20)

dibandingkan dengan komposisinya pada 50 tahun yang lalu. Terdapat berbagai senyawa tambahan lainnya pada rokok yang dapat menyebabkan efek karsinogenik secara tidak langsung, sebagai contohnya, mentol dapat meningkatkan permeabilitas membran sel sehingga mempermudah interaksi antara zat karsinogenik dengan DNA (Alberg dan Hébert, 2009 ; Freedman et al., 2011).

Nikotin merupakan senyawa adiktif utama pada rokok dan umumnya dianggap tidak bersifat karsinogenik. Akan tetapi, di dalam rokok, nikotin dikemas bersama dengan bahan karsinogenik lainnya. Nikotin juga dapat membantu terjadinya keganasan dengan memfasilitasi pertumbuhan, angiogenesis, migrasi dan invasi sel tumor. Nikotin dan nitrosamin bekerja dengan mengaktifkan reseptor

nikotinik (nAChRs) dan reseptor beta adrenergik (β-AdrRS) sehingga terjadi proses transduksi sinyal yang akan memfasilitasi progresi tumor (Xue, Yang, dan Seng, 2014).

Senyawa nitrosamin merupakan senyawa karsinogenik yang diperoleh dari proses nitrosasi nikotin dan senyawa alkaloid lainnya. Terdapat 7 tobacco-specific nitrosamines, yaitu Nicotine-derived nitrosaminoketone (NNK), N’ -nitrosonornicotine (NNN), 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanone (NNAL), N’-nitrosoanabasine (NAT), 1-Nitrosoanabasine (NAB), iso-NNAL, dan 4-(methylnitrosamino)-4-(3-pyridyl)butyric acid. NNN, NNK, dan NNAL merupakan senyawa yang paling karsinogenik dari golongan nitrosamine. Dalam proses metabolismenya, senyawa NNK dan NNN akan mengalami serangkaian proses metabolisme yang pada akhirnya akan menghasilkan senyawa metabolit yang reaktif terhadap DNA sehingga dapat memicu perubahan pada struktur basa DNA dan memicu aduksi DNA. Selain itu, senyawa NNK dan NNN juga akan berikatan pada reseptornya, yaitu reseptor asetilkolin nikotinik (AChRs) dengan afinitas yang jauh lebih tinggi daripada nikotin. Pada perokok, reseptor nikotinik

α7nAChR, yang merupakan reseptor yang menstimulasi perkembangan sel tumor,

mengalami peningkatan sedangkan reseptor nikotinik α4β2nAChR, yang bersifat inhibisi terhadap perkembangan sel tumor mengalami kerusakan, sehingga mendukung perkembangan dari sel tumor dalam tubuh (Xue, Yang, dan Seng, 2014).


(21)

Senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) juga dikaitkan dengan kejadian kanker kandung kemih. Salah satu senyawa PAHs adalah Benzo(a)pyrene.

Senyawa ini mengalami metabolisme menjadi Benzo(a)pyrene Diol Epoxide

(BPDE). BPDE dapat menyebabkan mutasi pada kromosom 9 yang berhubungan dengan keganasan kandung kemih. Delesi pada kromosom 9p21 dapat menyebabkan gangguan pada gen p16/CDKN2 dan p14ARF yang berhubungan

dengan regulasi siklus sel dan penuaan sel (Gu et al., 2008).

Senyawa amin aromatik, seperti 4-aminobiphenyl (4-ABP), merupakan senyawa yang dapat ditemukan pada asap rokok, pembakaran bahan fosil, dan industri karet, batu bara, tekstil, dan percetakan. Senyawa ini merupakan salah satu agen utama penyebab keganasan kandung kemih. Derivat metabolik dari 4-ABP dapat berinteraksi dengan DNA dan membentuk aduksi DNA. Selain itu, senyawa ini juga dapat menyebabkan mutasi pada gen p53, sehingga dapat terjadi gangguan pada regulasi siklus sel, angiogenesis, sistem imun, dan proses apoptosis (Feng et al., 2002).

Kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor prognostik pada kanker kandung kemih. Hal ini berhubungan dengan kadar zat karsinogen yang masuk ke dalam tubuh. Pasien yang merupakan perokok berat lebih cenderung memiliki kanker dengan grade yang lebih tinggi, stage klinis yang lebih buruk, dan lebih berisiko untuk mengalami kanker kandung kemih tipe muscle invasive bila dibandingkan dengan perokok ringan (Pietzak et al., 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Jiang et al. pada tahun 2012, didapatkan bahwa pasien yang merokok lebih dari 20 batang rokok per hari selama lebih dari 20 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita kanker kandung kemih tipe muscle invasive

dibandingkan dengan pasien yang merokok kurang dari 20 batang rokok per hari. Perokok berat jangka panjang juga memiliki prognosis yang paling buruk, diikuti dengan perokok berat jangka pendek, perokok ringan jangka panjang, dan perokok ringan jangka pendek (Rink et al., 2013).


(1)

kanker superfisial, dapat dilakukan TUR dan untuk menilai derajat invasi, dapat juga dilakukan CT dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan tingkat akurasi 40-85% untuk CT dan 50-90% untuk MRI (Konety dan Carroll, 2013).

Meskipun pemeriksaan laboratorium dan radiologi memberikan banyak informasi yang berguna dalam penilaian organ saluran kemih, sistoskopi masih merupakan pemeriksaan yang paling baik (gold standard) untuk menilai kandung kemih dan uretra. Selama proses pemeriksaan dengan sistoskopi, dapat dilakukan biopsi terhadap jaringan yang dianggap tidak normal pada kandung kemih yang kemudian akan diperiksa secara mikroskopis (Bladder Cancer Advocacy Network., 2008).

2.2.6. Tata Laksana Kanker Kandung Kemih

Tata laksana pada kanker kandung kemih dapat dibedakan berdasarkan daya invasinya serta sel penyusun kanker tersebut. National Comprehensive Cancer Network pada tahun 2014 mengeluarkan sebuah panduan untuk tata laksana kanker kandung kemih sebagai berikut :

1. Transitional cell carcinomas/Urothelial carcinoma of the bladder

Pada pasien yang diduga memiliki kanker kandung kemih tipe TCC, dilakukan evaluasi awal, berupa anamnesa, pemeriksaan fisik, sistoskopi, dan pemeriksaan sitologi urin. Setelah didapatkan hasil pemeriksaan awal, penatalaksanaan kanker kandung kemih dibagi berdasarkan daya invasinya ke jaringan sekitarnya. Pada kanker yang bersifat tidak invasif, dilakukan pemeriksaan radiologi pada saluran kemih, berupa IVP, CT urography, renal ultrasound with retrograde pyelogram, ureteroscopy atau MRI urogram. Dapat juga dilakukan CT pelvis sebelum dilakukan Transurethral Resection of Bladder Tumor (TURBT) jika diduga kanker membentuk ulkus atau bersifat ganas. Setelah dilakukan tindakan awal, dilakukan evaluasi primer berupa pemeriksaan bimanual dan biopsi. Sementara itu, pada kanker yang bersifat invasif, dilakukan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan darah lengkap, enzim alkaline phosphatase, foto dada, CT/MRI abdomen dan pelvis serta


(2)

pemeriksaan tulang lalu diikuti dengan pemeriksaan bimanual atau sistoskopi dan TURBT.

Pada kanker yang tidak bersifat invasif, yaitu kanker dengan stadium cTa low grade dan high grade, cT1 low grade dan high grade, dan Tis, umumnya dilakukan observasi, pemberian kemoterapi intravesikal, pemberian BCG atau mitocyin dan pada stadium cT1 high grade dapat dilakukan sistektomi. Pada kanker yang bersifat invasif, yaitu kanker dengan stadium cT2, cT3, cT4a, dan cT4b, tatalaksana didasarkan dengan ada/tidaknya temuan nodul pada hasil CT/MRI abdomen dan pelvis. Umumnya, dilakukan sistektomi radikal pada pasien dan kemoterapi adjuvan dengan cisplatin. Apabila kanker telah menyebar ke organ lain, dapat dilakukan kemoterapi. Setelah dilakukan tatalaksana pada pasien, dilakukan follow-up untuk menilai keberhasilan pengobatan dan tindakan lanjutan yang diperlukan.

2. Non-Urothelial cell carcinoma of the bladder a. Mixed carcinoma

Penatalaksanaan untuk keganasan ini sama seperti TCC. Akan tetapi, keganasan ini bersifat agresif sehingga menjadi pertimbangan yang penting pada terapi.

b. Squamous cell carcinoma

Tata laksana SCC meliputi sistektomi, radioterapi, dan pemberian obat-obatan, seperti 5-U, taxanes, dan methotrexate.

c. Adenocarcinoma

Dapat dilakukan sistektomi radikal atau parsial yang disertai dengan kemoterapi atau radioterapi dalam tata laksana adenocarcinoma.

d. Undifferentiated carcinoma/Small cell carcinoma

Tata laksana keganasan ini adalah dengan sistektomi, radioterapi atau kemoterapi. Kemoterapi primer pada tumor ini sama seperti pada pengobatan small cell lung cancer.

e. Urachal carcinoma


(3)

f. Primary bladder sarcoma

Tumor ini ditata laksana sesuai dengan tata laksana sarkoma pada organ tubuh lainnya.

2.2.7. Prognosis Kanker Kandung Kemih

Prognosis kanker kandung kemih berkaitan erat dengan stadium kanker pada saat pasien didiagnosa. Stadium kanker menunjukkan penyebaran sel kanker di dalam tubuh pasien, yang kemudian menentukan pilihan pengobatan dan berpengaruh pada persentase kesembuhan pasien. Pasien dengan keganasan yang bersifat regional memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan keganasan yang telah menyebar ke organ lain. 5-year survival menunjukkan kemungkinan pasien dapat bertahan hidup dalam 5 tahun setelah didiagnosa suatu keganasan. Untuk kanker kandung kemih, diperkirakan sekitar 77,4% pasien dapat bertahan hidup selama 5 tahun setelah didiagnosa dengan kanker kandung kemih. Untuk tumor yang bersifat in situ, lokal (terbatas pada tempat primer), regional (telah menyebar ke kelenjar getah bening), distant (telah menyebar ke organ lain), dan unknown (stadium tidak dapat ditentukan), secara berturut-turut 5-year survivalnya adalah 95,9%, 69,9%, 34%, 5,4%, dan 47,4% (National Cancer Institute, 2015).

2.3. Merokok

Rokok merupakan suatu zat toksik yang tersusun atas lebih dari 7000 senyawa kimia dan sekitar 70 senyawa diantaranya dapat memicu terjadinya kanker (karsinogenik). Beberapa senyawa berbahaya yang terkandung dalam rokok adalah senyawa karsinogenik (formaldehyde/formalin, benzene, polonium 210, dan vinyl chloride), logam toksik (kromium, arsenik, timbal, dan kadmium), dan gas beracun (karbon monoksida, hidrogen sianida, amoniak, butana, dan toluene). Senyawa-senyawa tersebut menyebabkan kerusakan yang segera dan berulang pada sel-sel tubuh. Kerusakan pada Deoxyribonucleic Acid (DNA) merupakan salah satu mekanisme rokok menyebabkan keganasan. Selain itu, iritasi berulang akibat


(4)

senyawa toksik dalam rokok juga merupakan faktor lain yang dapat menyebabkan keganasan (U.S. Department of Health and Human Services, 2010).

Kebiasaan merokok menunjukkan jumlah batang rokok yang dikonsumsi oleh seseorang dalam satu hari. Klasifikasi kebiasaan merokok umumnya dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Perokok ringan adalah orang yang mengkonsumsi kurang dari 10 batang rokok per hari sedangkan perokok berat adalah orang yang mengkonsumsi lebih dari 20 batang rokok per hari. Perokok sedang merupakan orang yang mengkonsumsi rokok dengan jumlah di antara perokok ringan dan berat (Lifestyle Statistics Team, Health and Social Care Information Centre, 2014).

2.4. Hubungan Antara Riwayat Kebiasaan Merokok dengan Kanker Kandung Kemih

Merokok merupakan faktor risiko independen yang utama yang menyebabkan terjadinya kanker kandung kemih. Berbagai hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan di berbagai negara di seluruh dunia menunjukkan bahwa orang yang merokok memiliki risiko 2-4 kali lebih besar untuk menderita kanker kandung kemih dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Kejadian kanker kandung kemih juga dipengaruhi oleh frekuensi dan durasi merokok. Semakin tinggi frekuensi dan durasi merokok, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk menderita kanker kandung kemih (Quirk et al., 2004).

Statistik menunjukkan bahwa kejadian kanker kandung kemih terus meningkat di dunia. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah peningkatan konsumsi rokok dan perubahan dalam komposisi rokok. Peningkatan konsumsi rokok terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang dikarenakan kampanye anti rokok dan penegakan hukumnya masih belum menjadi fokus utama (Ahmad dan Pervaiz, 2011). Perubahan dalam komposisi rokok ini diduga menyebabkan rokok menjadi semakin karsinogenik. Meskipun telah terdapat rokok rendah tar dan nikotin, senyawa karsinogenik seperti β -naphthylamine, tobacco-specific nitrosamines, N’-nitrosonornicotine dan


(5)

4-dibandingkan dengan komposisinya pada 50 tahun yang lalu. Terdapat berbagai senyawa tambahan lainnya pada rokok yang dapat menyebabkan efek karsinogenik secara tidak langsung, sebagai contohnya, mentol dapat meningkatkan permeabilitas membran sel sehingga mempermudah interaksi antara zat karsinogenik dengan DNA (Alberg dan Hébert, 2009 ; Freedman et al., 2011).

Nikotin merupakan senyawa adiktif utama pada rokok dan umumnya dianggap tidak bersifat karsinogenik. Akan tetapi, di dalam rokok, nikotin dikemas bersama dengan bahan karsinogenik lainnya. Nikotin juga dapat membantu terjadinya keganasan dengan memfasilitasi pertumbuhan, angiogenesis, migrasi dan invasi sel tumor. Nikotin dan nitrosamin bekerja dengan mengaktifkan reseptor nikotinik (nAChRs) dan reseptor beta adrenergik (β-AdrRS) sehingga terjadi proses transduksi sinyal yang akan memfasilitasi progresi tumor (Xue, Yang, dan Seng, 2014).

Senyawa nitrosamin merupakan senyawa karsinogenik yang diperoleh dari proses nitrosasi nikotin dan senyawa alkaloid lainnya. Terdapat 7 tobacco-specific nitrosamines, yaitu Nicotine-derived nitrosaminoketone (NNK), N’ -nitrosonornicotine (NNN), 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanone (NNAL), N’-nitrosoanabasine (NAT), 1-Nitrosoanabasine (NAB), iso-NNAL, dan 4-(methylnitrosamino)-4-(3-pyridyl)butyric acid. NNN, NNK, dan NNAL merupakan senyawa yang paling karsinogenik dari golongan nitrosamine. Dalam proses metabolismenya, senyawa NNK dan NNN akan mengalami serangkaian proses metabolisme yang pada akhirnya akan menghasilkan senyawa metabolit yang reaktif terhadap DNA sehingga dapat memicu perubahan pada struktur basa DNA dan memicu aduksi DNA. Selain itu, senyawa NNK dan NNN juga akan berikatan pada reseptornya, yaitu reseptor asetilkolin nikotinik (AChRs) dengan afinitas yang jauh lebih tinggi daripada nikotin. Pada perokok, reseptor nikotinik

α7nAChR, yang merupakan reseptor yang menstimulasi perkembangan sel tumor,

mengalami peningkatan sedangkan reseptor nikotinik α4β2nAChR, yang bersifat inhibisi terhadap perkembangan sel tumor mengalami kerusakan, sehingga mendukung perkembangan dari sel tumor dalam tubuh (Xue, Yang, dan Seng, 2014).


(6)

Senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) juga dikaitkan dengan kejadian kanker kandung kemih. Salah satu senyawa PAHs adalah Benzo(a)pyrene. Senyawa ini mengalami metabolisme menjadi Benzo(a)pyrene Diol Epoxide (BPDE). BPDE dapat menyebabkan mutasi pada kromosom 9 yang berhubungan dengan keganasan kandung kemih. Delesi pada kromosom 9p21 dapat menyebabkan gangguan pada gen p16/CDKN2 dan p14ARF yang berhubungan

dengan regulasi siklus sel dan penuaan sel (Gu et al., 2008).

Senyawa amin aromatik, seperti 4-aminobiphenyl (4-ABP), merupakan senyawa yang dapat ditemukan pada asap rokok, pembakaran bahan fosil, dan industri karet, batu bara, tekstil, dan percetakan. Senyawa ini merupakan salah satu agen utama penyebab keganasan kandung kemih. Derivat metabolik dari 4-ABP dapat berinteraksi dengan DNA dan membentuk aduksi DNA. Selain itu, senyawa ini juga dapat menyebabkan mutasi pada gen p53, sehingga dapat terjadi gangguan pada regulasi siklus sel, angiogenesis, sistem imun, dan proses apoptosis (Feng et al., 2002).

Kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor prognostik pada kanker kandung kemih. Hal ini berhubungan dengan kadar zat karsinogen yang masuk ke dalam tubuh. Pasien yang merupakan perokok berat lebih cenderung memiliki kanker dengan grade yang lebih tinggi, stage klinis yang lebih buruk, dan lebih berisiko untuk mengalami kanker kandung kemih tipe muscle invasive bila dibandingkan dengan perokok ringan (Pietzak et al., 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Jiang et al. pada tahun 2012, didapatkan bahwa pasien yang merokok lebih dari 20 batang rokok per hari selama lebih dari 20 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita kanker kandung kemih tipe muscle invasive dibandingkan dengan pasien yang merokok kurang dari 20 batang rokok per hari. Perokok berat jangka panjang juga memiliki prognosis yang paling buruk, diikuti dengan perokok berat jangka pendek, perokok ringan jangka panjang, dan perokok ringan jangka pendek (Rink et al., 2013).


Dokumen yang terkait

Perbandingan Gambaran Klinis Lamanya Hematuri dan gejala LUTS Pada Penderita Kanker Kanker Kandung Kemih Muscle Invasive dan Non-Muscle Invasive di RSUP H Adam Malik Periode 2011-2014

0 6 61

Hubungan Antara Riwayat Kebiasaan Merokok dengan Kanker Kandung Kemih Muscle Invasive dan Non-Muscle Invasive di RSUP H. Adam Malik Periode 2011-2014

4 14 77

Hubungan Antara Riwayat Kebiasaan Merokok dengan Kanker Kandung Kemih Muscle Invasive dan Non-Muscle Invasive di RSUP H. Adam Malik Periode 2011-2014

1 3 14

Hubungan Antara Riwayat Kebiasaan Merokok dengan Kanker Kandung Kemih Muscle Invasive dan Non-Muscle Invasive di RSUP H. Adam Malik Periode 2011-2014

0 1 2

Hubungan Antara Riwayat Kebiasaan Merokok dengan Kanker Kandung Kemih Muscle Invasive dan Non-Muscle Invasive di RSUP H. Adam Malik Periode 2011-2014

0 1 4

Hubungan Antara Riwayat Kebiasaan Merokok dengan Kanker Kandung Kemih Muscle Invasive dan Non-Muscle Invasive di RSUP H. Adam Malik Periode 2011-2014

0 0 5

Perbandingan Gambaran Klinis nya Hematuri dan gejala LUTS Pada Penderita Kanker Kanker Kandung Kemih Muscle Invasive dan Non-Muscle Invasive di RSUP H Adam Malik Periode 2011-2014

0 0 14

Perbandingan Gambaran Klinis nya Hematuri dan gejala LUTS Pada Penderita Kanker Kanker Kandung Kemih Muscle Invasive dan Non-Muscle Invasive di RSUP H Adam Malik Periode 2011-2014

0 0 2

Perbandingan Gambaran Klinis nya Hematuri dan gejala LUTS Pada Penderita Kanker Kanker Kandung Kemih Muscle Invasive dan Non-Muscle Invasive di RSUP H Adam Malik Periode 2011-2014

0 0 3

Perbandingan Gambaran Klinis nya Hematuri dan gejala LUTS Pada Penderita Kanker Kanker Kandung Kemih Muscle Invasive dan Non-Muscle Invasive di RSUP H Adam Malik Periode 2011-2014

0 0 11