HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Pengolahan T (1)

5
5.1

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pengolahan Tuna Loin Masak Beku
Proses pengolahan tuna loin masak beku di PT. Karya Mandiri Citramina
meliputi beberapa tahapan proses. Adapun tahapan proses pengolahan tuna loin
masak beku diantara Penerimaan bahan baku, Pelelehan, Pencucian I,
Penyiangan, Pencucian II, Sortasi I, Pemasakan, Pendinginan, Pemotongan
Kepala Dan Ekor, Pengulitan, Pembersihan, Sortasi Mutu, Pengemasan,
Pemvakuman, Pengecekan Logam, Pembekuan, Pengepakan, Penyimpanan
Beku, dan Pemuatan
5.1.1

Penerimaan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan PT. KMC dalam proses loin adalah ikan tuna

jenis Yellowfin Tuna dan terkadang ada juga jenis Big eye Tuna dan Katsuwonus
pelamis . Bahan baku yang di terima adalah ikan beku yang berasal dari kapal
penangkapan daerah Fishing ground di Samudra Hindia dan transit di Pelabuhan

Perikanan Nizam Zachman serta kapal milik perusahaan PT. KMC. Jumlah bahan
baku yang diterima oleh perusahaan setiap kapal sebanyak 10 – 70 ton setiap kali
kapal datang. Ukuran bahan baku yang diterima mempunyai bobot ± 1 – 5 kg.
Tujuan penerimaan bahan baku adalah untuk memperoleh ikan yang
diproduksi dengan cara ikan masuk pada saat kapal bersandar di Pelabuhan.
Sebelum ikan dibongkar terlebih dahulu dipasang tenda yang bertujuan untuk
melindungi dari sinar matahari dan papan seluncur agar memudahkan proses
pengangkutan bahan baku. Papan seluncur harus terbuat dari papan yang halus
dan selalu dalam keadaan basah oleh air yang terus mengalir dengan suhu sekitar
0ºC (Astawan, 2007).
Selanjutnya ikan dikeluarkan dari palka kapal oleh ABK kemudian
diangkut dari palka menggunakan blong yang selanjutnya dilakukan sortasi
berdasarkan grade dan mutu. Sebelum bahan baku masuk ke dalam Cold Storage,
ikan terlebih dahulu dilakukan penimbangan untuk mengetahui berapa ton jumlah
bahan baku yang masuk dan mengetahui jumlah ikan yang tidak masuk agar
dikembalikan kepada supplier.

43

Setelah dilakukan penimbangan ikan ditaruh ke dalam palet yang telah

diberi label dan tanggal masuk untuk selanjutnya dilakukan proses penyimpanan
dalam keadaan beku (Cold Storage). Bahan mentah (ikan) disimpan dalam
keadaan beku sambil menunggu waktu proses untuk mempertahankan
kualitasnya (Moeljanto, 1992).
Semua bahan baku yang masuk di PT.KMC dilakukan berbagai macam
pengujian yang dilakukan oleh QC. Pengujian yang dilakukan diantaranya
pengujian organoleptik, mikrobiologi, dan kimia (histamin) dengan cara
mengambil sampel dari beberapa ikan. Standar kadar histamin untuk bahan baku
adalah 50 ppm yang digunakan sebagai acuan PT.KMC untuk menerima atau
menolak bahan baku.
Menurut Ditjenkan (2012) bahwa suatu unit pengolahan tidak boleh
menerima bahan baku yang berasal dari perairan yang dicemari baik sengaja
maupun tidak sengaja oleh kotoran manusia atau hewan yang dapat
mengkontaminasi dan membahayakan kesehatan manusia. Proses penerimaan
bahan baku dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Penerimaan Bahan Baku
Sumber PT. KMC (Karya Citra Mandiri)
5.1.2


Pelelehan ikan (Thawing)
Proses pelelehan (thawing) bertujuan untuk melelehkan bahan baku agar

mempermudah dalam proses selanjutnya. Bahan baku yang dalam keadaan beku
dikeluarkan dari Cold Storage, lalu direndam dalam bak yang berisi air. Proses
pelelehan akan berhenti jika suhu pusat ikan ± (-5ºC), waktu yang dibutuhkan
dalam proses pelelehan ikan sekitar ± 1 – 2 jam. Adapun suhu rata - rata air

44

thawing yang digunakan adalah 20,33ºC. Menurut Murniati dan Sunarman (2000)
pelelehan dengan air menggunakan air dengan suhu 21ºC yang bersikulasi
dengan kecepatan 33 cm/menit. Sedangkan menurut Winarno (2007) semakin
rendah suhu thawing semakin baik, semakin tinggi suhu yang digunakan
produknya akan semakin rusak
Pengukuran suhu dilakukan setelah ikan selesai di thawing. Kisaran suhu
yang ditetapkan perusahaan yaitu ± (-5ºC). Sesaat sebelum ikan dipakai dan juga
sesuai dengan pendapat Moeljanto (1992) yang mengatakan bahwa untuk
pengolahan lebih lanjut, misalnya akan dikalengkan atau dimasak, maka ikan
beku harus dicairkan terlebih dahulu.

Selain itu saat pelelehan (thawing), ikan kehilangan sebagian beratnya
dalam bentik drip, banyaknya drip dalam pelelehan akan menghasilkan ikan yang
bermutu rendah karena sebagian unsur gizi juga ikut hilang (Adawyah, 2007).
Sedangkan menurut Suwetja (2011) drip adalah cairan yang keluar dari jaringan
tubuh ikan yang ikut terbuang sewaktu ikan beku dicairkan (thawing). Drip
terkandung komponen – komponen nitrogen yang berasal dari protein golongan
sarkoplasma atau miogen dalam daging ikan. Drip terjadi akibat rusaknya sel
karena pembekuan dan thawing. Proses thawing dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Pelelehan Ikan (Thawing)
Sumber : PT.KMC (Karya Citra Mandiri)
5.1.3

Pencucian I
Pencucian pertama sebagai pembersihan awal setelah selesai proses

pelelehan ikan (Thawing). Pencucian dilakukan diatas conveyer menggunakan air
bersih sehingga kotoran yang menempel pada permukaan tubuh ikan dapat
dibersihkan. Menurut Ilyas (1993), pencucian bertujuan untuk membebaskan ikan


45

dari bahan yang memberatkan dan mencemari dengan cara membersihkan lendir,
bakteri permukaan, darah, kotoran dan lain lain. Suhu pusat ikan dilakukan
pengecekan untuk mengetahui tingkat mutu ikan tersebut. Suhu pusat ikan yang
di dapat pada proses pencucian adalah -3ºC
5.1.4

Penyiangan (Butchering)
Penyiangan bertujuan untuk mencegah pertumbuhan mikroba dalam

organ ikan. Penyiangan dilakukan oleh pekerja secara manual dengan
menggnunakan pisau yang steanless dengan cara membelah pada bagian perut
ikan. Junianto (2003) menyatakan bahwa pembuangan jeroan harus dilakukan
karena pada saat ikan mati, enzim pencernaan yang ada dalam perut dan usus
masih aktif. Jika tidak dibuang maka enzim ini akan memecah jaringan saluran
pencernaan dan menghancurkan dinding perut.
5.1.5

Pencucian II

Pencucian kedua bertujuan untuk membersihkan ikan dari kotoran yang

masih menempel pada tubuh ikan, darah, lendir yang masi terdapat pada ikan.
Proses pencucian dilakukan dengan cepat, bersih, untuk menjaga kenaikan suhu
pada ikan. Menurut Junianto (2003), pencucian bertujuan untuk membebaskan
ikan dari bakteri pembusuk. Ikan yang telah disiangi harus dicuci bersih karena
sisa lendir serta kotoran pada ikan yang dapat mempercepat proses pembusukan.
5.1.6

Sortasi I
Ikan dilakukan sortasi berdasarkan ukuran, satu karyawan bertugas

melakukan sortasi yang diletakkan pada basket. Proses sortasi dilakukan secara
manual. Tujuan sortasi untuk mengelompokkan ikan berdasarkan ukuran agar
diperoleh ukuran yang seragam. Ikan yang telah selesai proses sortasi, dilakukan
penyusunan pada troly. Untuk selanjutnya dilanjutkan proses pemasakan.
5.1.7

Pemasakan
Proses pemasakan dilakukan pada malam hari dengan menggunakan


cooker. Hal ini dilakukan agar ikan dapat diproses pada pagi hari. Jumlah cooker
PT.KMC sebanyak 4 buah, dimana masing – masing cooker dapat menampung
ikan sebanyak enam trolly. Ikan disusun disusun dalam pan sesuai ukuran ikan
kemudian dimasukkan ke dalam cooker. Adapun suhu pemasakan berkisar antara

46

97 - 100ºC dan waktu pemasakan sesuai ukuran ikan. Suhu pusat ikan matang
yang ditetapkan perusahaan antara 67 - 75ºC dan apabila suhu pusat ikan tidak
mencapai standar yang telah ditentukan, maka waktu pemasakan ditambah.
Adapun waktu dalam pemasakan ikan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Waktu Pemasakan Ikan
Waktu
Ukuran (kg/pcs)
(menit)
0.8 -1,0
30
1.2-1.4
42

1.4-1.8
45
1.8-2.4
70
2.4-3.0
80
3.5-4.0
100
Sumber : PT. KMC (Karya Citra Mandiri)
Proses pemasakan menggunakan steam bersuhu 98 - 100ºC. Pengolahan
panas merupakan salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan bahan
pangan. Pengolahan panas yang diterapkan PT.KMC pada pemasakan tuna loin
masak beku adalah berupa pengukusan (menggunakan sumber panas berupa
steam). Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem
jaringan sebelum pembekuan, pengeringan, atau pengalengan Iman (2011).
Tujuan proses pengukusan sebelum pembekuan bergantung pada perlakuan
lanjutan bahan pangan. Misalnya pengukusan sebelum pembekuan yang
bertujuan untuk menginaktivasi enzim yang akan menyebabkan perubahan
warna, cita rasa atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan.
Menurut Jacoeb, et al (2013) bahwa pengukusan membuat struktur

dagingnya kompak . Hal ini menunjukkan bahwa pemasakan dengan pengukusan
mampu menghambat proses penurunan mutu ikan. Sedangkan menurut Sundari,
et al (2015) pemasakan akan membuat cita rasa makanan menjadi lebih enak dan
memperpanjang daya simpannya. Makanan yang telah dimasak dapat terbebas
dari bahan beracun tertentu yang terkandung dalam bahan pangan. Selain itu suhu
tinggi dapat menyebabkan berbagai perubahan pada daging ikan, antara lain

47

kadar airnya dapat menurun disebabkan sebagian air yang ada akan menguap,
keadaan fisikawi ikan akan berubah menjadi lebih keras dengan adanya
penguapan air tersebut, warna daging berubah, aktivitas air turun, sebagian
protein terdenaturasi, dan sebagainya (Hadiwiyoto, 1993). Menurut Winarno
(2010) suhu yang terlalu tinggi dapat mempercepat pemecahan atau kerusakan
enzim. Enzim pada bahan pangan dapat berasal dari mikroba atau pada bahan
pangan yang dapat mempercepat terjadinya reaksi kimia sehingga mengakibatkan
perubahan pada komposisi bahan pangan (Muchtadi dan Sugiono, 2013). Proses
pemasakan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Proses Pemasakan
Sumber : PT.KMC (Karya Citra Mandiri)

5.1.8

Pendinginan
Pendinginan

menggunakan

water

spray

yang

bertujuan

untuk

menghentikan proses pemasakan dan mengembalikan sebagian kadar air yang
hilang saat proses pemasakan agar ikan yang sudah masak tidak terlalu kering.
ikan yang terlalu kering akan lebih sulit untuk dibuang kulitnya.

Penyemprotan ikan dilakukan sebanyak 2 tahap yaitu tahap pertama
dengan tekanan yang kuat selama ± 12 - 15 menit, dan kemudian dilanjutkan
dengan tahap kedua dengan tekanan yang lembut selama ± 10 menit. Setelah 10
menit suhu ikan di cek oleh QC, jika belum mencapai suhu standar ikan
didiamkan hingga suhu 40 - 45ºC sehingga memudahkan karyawan dalam proses
selanjutnya. Pendinginan mencegah pertumbuhan mikroba termofilik dengan
sebagian besar mikroba mesofilik. Penurunan suhu dibawah suhu minimum yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba memperpanjang waktu yang dibutuhkan
mikroba untuk berkembang biak sehingga dapat mencegah perubahan akibat
pertumbuhan mikroba (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Menurut Daniel (2016)
penyemprotan ikan bertujuan untuk menutup pori – pori ikan agar proses
dehidrasi dapat dihindari sehingga berat ikan tidak banyak berkurang, disamping
mempercepat pendinginan ikan agar efek pemasakan tidak berkelanjutan
sehingga permukaan ikan tidak gosong dan kulit ikan mudah dikeluarkan.

48

Proses pendinginan harus dilakukan segera setelah pemasakan dengan
tujuan untuk memperoleh keseragaman (waktu dan suhu) dan mempertahankan
mutu produk akhir. Apabila pendinginan terlalu lama, maka produk akan
cenderung terlalu masak sehingga akan merusak tekstur dan cita rasa.
Pendinginan juga mengakibatkan bakteri yang masih bertahan hidup akan
menyebabkan Shock sehingga akan mati (Adawyah, 2007). Proses Pendinginan
dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Pendinginan
Sumber : PT.KMC (Karya Citra Mandiri)
5.1.9

Pemotongan Kepala (Dehedding)
Tujuan pemotongan kepala untuk membuang kepala dan ekor yang tidak

digunakan dalam proses selanjutnya. Proses pemotongan kepala dilakukan secara
manual menggunakan tangan dengan menarik pada bagian kepala. Ikan yang
telah selesai proses pemotongan kepala diletakan basket untuk diproses ke tahap
selanjutnya. Bagian kepala terdapat daging yang terbawa, daging tersebut
dipisahkan dari kepala ikan untuk menjadi shreded. Limbah kepala dan ekor yang
telah dibuang akan dimanfaatkan menjadi fishmeal. Menurut Djaafar (2007),
kerusakan ikan dapat disebabkan oleh faktor internal seperti insang, isi perut, dan
kulit yang merupakan sumber kontaminasi mikroba. Proses pemotongan kepala
dapat dilihat pada Gambar 7.

49

Gambar 7. Pemotongan Kepala (Dehedding)
Sumber : PT.KMC (Karya Citra Mandiri)
5.1.10 Pengulitan (Skinning)
Tujuan dari pengulitan adalah membuang kulit, sisik, sirip sampai ke
bagian punggung menggunakan pisau berukuran kecil untuk memperoleh daging
tanpa kulit. Ikan yang telah selesai dibershkan dari kulit, sisik, dan sirip disusun
dalam basket sesuai kode ikan dan kemudian diletakan di conveyor berjalan.
Pengulitan atau pembuangan kulit harus dilakukan dengan baik dan benar karena
jika tidak dilakukan dengan baik, maka daging ikan bisa ikut menempel pada
kulit sehingga akan mengurangi berat loin. Proses pengulitan dapat dilihat pada
Gambar 8.
Ikan yang telah di skinning kemudian dibagi menjadi dua bagian, dengan
membuang tulang ikan dan disusun di dalam pan. Pembuangan sisik bertujuan
untuk mempertahankan mutu, karena permukaan ikan merupakan konsentrasi
mikroba penyebab pembusukan pada ikan. Sedangkan menurut Hadiwiyoto
(1993) pembuangan sisik bertujuan untuk mempertahankan mutu yang dapat
mencegah kontaminasi bakteri yang berasal dari kulit atau lendir.

Gambar 8. Pengulitan (Skinning)
Sumber : PT KMC (Karya Citra Mandiri)
5.1.11 Pembersihan (Cleaning)
Pembersihan atau Cleaning bertujuan untuk mendapatkan loin yang
bersih dari daging coklat, kulit, dan tulang yang tersisa disisi loin. Pembersihan

50

Loin (cleaning) dilakukan dengan cara membagi ikan menjadi empat bagian,
kemudian dibersihkan satu persatu pada bagian daging coklat (dark meat) dan
tulang yang masi menempel pada daging ikan untuk dibentuk menjadi loin.
Tujuan dari tahap pembersihan adalah untuk menghilangkan defect seperti kulit,
sisik, urat, serta daging coklat. Adapun proses pembersihan (Cleaning) dapat
pada dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Proses Pembersihan (Cleaning)
Sumber : PT.KMC (Karya Citra Mandiri)
Sedangkan shredded atau daging ikan yang tidak terpakai diletakkan pada
pan kecil yang disediakan khusus untuk menampung serpihan daging ikan.
Daging merah hasil cleaning diletakkan bersama dengan limbah lainnya yaitu
diatas meja kerja tanpa wadah khusus, untuk selanjutnya secara kolektif diambil
oleh petugas pengumpul limbah. Ruang Shredded dapat lihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Ruang Shredded

Sumber : PT.KMC (Karya Citra Mandiri)
5.1.12 Sortasi Mutu
Tujuan sortasi adalah untuk memeriksa loin agar tidak ada defect yang
tertinggal. Sortasi dilakukan oleh asisten QC yang terdapat disetiap meja
conveyor. Petugas mengecek loin yang sudah dikerjakan tiap karyawan dan
diletakan pada basket dibagian atas meja. Pengecekan mutu secara organoleptik
juga dilakukan pada tahap ini. Setelah dilakukan pengecekan oleh petugas
kemudian basket karyawan dijalankan di conveyor untuk kemudian ditimbang
oleh petugas tally.

51

Daging yang di reject antara lain adalah daging yang terdapat honey
comb, pasty, scorching, bruise, dan juga yang masih terdapat limbah berupa sisik,
kulit, urat dan duri pada loin, dan akan segera di reject dan dipisahkan dari yang
masih bagus. Ketika ikan mengalami pembekuan lambat akan terbentuk kristalkristal es berukuran besar yang dapat merusak jaringan tubuh ikan. Akibatnya
pada saat pencairan, tekstur badan ikan menjadi berongga-rongga atau lunak
(honey comb) dan tidak mampu mengisap kembali cairan tubuh yang keluar
(Afiyanto dan Liviawati, 1989).
Honey comb dan pasty merupakan tanda bahwa protein pada ikan tersebut
terdenaturasi. Denaturasi protein terjadi karena meningkatnya kadar garam dalam
cairan sel sebagai struktur akibat terbentuknya kristal-kristal es selama
pembekuan (Hadiwiyoto, 1993). Denaturasi protein diakibatkan oleh panas, pH
yang ekstrim (pelarut organik), sehingga larutan protein bersinggungan dengan
udara dan membentuk busa (Suwetja, 2011). Sedangkan daging yang scorching
atau dengan kata lain hangus terjadi karena proses pemasakan yang terlalu lama,
dan daging bruise atau memar terjadi karena penanganan yang kasar saat sebelum
diproses.
Selain itu proses sortasi juga bertujuan untuk menyesuaikan dengan
standar loin yang ditetapkan PT. KMC yaitu :
1. Single Clean yaitu membersihkan duri pada bagian perut dan belahan
punggung. Hasil dari Single Clean daging loin yang berwarna coklat.
2. Double Clean yaitu membersihkan kulit dan daging merah serta duri
yang masih tertinggal. Hasil dari Double Clean bersih dari daging
coklat.
5.1.13 Pengemasan dan Pemvakuman
Proses pengemasan dilakukan dengan memasukan loin kedalam kemasan
plastik LLDPE dan disusun rapih menyesuaikan bentuk kemasan, Setelah itu loin
menuju tahap penimbangan akhir. Loin ditimbang masing-masing 5,5 kg Proses
ini diawasi oleh petugas QC. Loin di dalam basket disusun rapi di dalam plastik
lalu divakum menggunakan mesin vakum otomatis. Menurut Muchtadi dan
Ayustaningwarno (2010), oksigen dapat dikurangi jumlahnya dengan cara
menghisap udara keluar secara vakum atau penambahan gas inert selama

52

pengolahan, mengganti udara dengan nitrogen (N) atau CO2 atau dengan
menangkap molekul oksigen dengan pereaksi kimia. Pada bahan pangan yang
mengandung lemak, oksigen dapat menyebabkan tengik. Sedangkan menurut
Purwaningsih (1995), menjelaskan bahwa bahan pengemas yang digunakan harus
cocok dengan bahan yang dikemas, tidak bersifat racun, dan menarik konsumen.
Kemasan yang digunakan adalah master cartoon yang berukuran 50 cm x
30 cm. Kemasan yang digunakan sudah dicetak label perusahaan di bagian luar.
Cara tersebut masih benar karena pelabelan dilakukan di luar kemasan sehingga
produk tidak terkontaminasi tinta. Setelah divakum dilakukan pengecekan
kembali apakah sudah tersegel dan tervakum dengan benar atau tidak. Menurut
Adawiyah (2007), kemasan yang digunakan harus kedap udara untuk mengurangi
terjadinya oksidasi produk, kemasan juga harus dapat menahan uap air agar dapat
mencegah penguapan produk selama penyimpanan. Bahan pembungkus dapat
menyerap lemak, maka lemak yang terserap akan teroksidasi oleh udara sehingga
rusak dan berbau. Bau dari bagian lemak yang rusak akan diserap oleh lemak
yang ada dalam bungkusan yang mengakibatkan seluruh lemak menjadi rusak
(Winarno, 1992). Lemak sangat mudah mengalami ketengikan oleh proses
oksidasi sehingga mengakibatkan bau dan rasa yang tidak diinginkan, serta
menyebabkan kerusakan nutritif yaitu kerusakan asam lemak dan vitamin larut
lemak yang esensial (Suwetja, 2011). Proses pengemasan dapat dilihat pada
Gambar 11.1, 11.2, 11.3.

Gambar 11.1 : Pengisian Loin

53

Gambar 11.2. Penimbangan

Gambar 11.3. Pemvakuman

Sumber : PT.KMC (Karya Citra Mandiri)
5.1.14 Pengecekan Logam
Pengecekan logam dilakukan untuk memastikan agar loin tidak
mengandung logam yang membahayakan konsumen dengan cara satu persatu
loin yang telah disusun di dalam pan dijalankan melewati metal detector
menggunakan conveyor. Sebelum digunakan metal detector dikalibrasi terlebih
dahulu, dan setiap 2 jam maka akan dikalibrasi ulang untuk mengecek apakah
berfungsi atau tidak oleh petugas QC. Metal detector akan berhenti apabila loin
mengandung logam ataupun benda asing lainnya. Pengaturan mesin metal
detector pada loin yang ditentukan perusahaan adalah Fe 2.9 µT dan Stainless 1,3
µT.

Produk yang telah melewati metal detector disusun pada troly yang berisi 15

pcs tiap rak troly, terdapat 9 rak dalam 1 troly. Pengecekan logam dapat dilihat
pada Gambar 12.

Gambar 12. Metal Detector

54

Sumber : PT.KMC (Karya Citra Mandiri)
5.1.15 Pembekuan
Pembekuan dilakukan selama 8-9 jam dengan Air Blast Freezer (ABF)
bersuhu (-35)oC – (-40)oC. Suhu loin masak beku terendah adalah -28,57oC dan
yang tertinggi adalah -22,83oC, dan rata-rata suhu loin masak beku adalah
-26,53oC. Produk loin yang akan dibekukan diletakkan dalam troli yang
mempunyai rak. Troli tersebut dilewatkan pada terowongan berinsulator. Udara
kemudian dihembuskan melewati terowongan secara vertical maupun horizontal.
Teknik pendinginan blast freezing bersifat ekonomi dan fleksibel karena dapat
membekukan produk atau bahan pangan dengan berbagai ukuran dan bentuk
(Estiasih dan Ahmadi, 2011).
Selama proses pembekuan berlangsung, terjadi pemindahan panas dari
tubuh ikan yang bersuhu lebih tinggi ke refrigerant yang bersuhu rendah.
Sebagian besar air di dalam tubuh ikan merupakan air bebas (free water)
sebanyak 67% dan selebihnya merupakan air tak bebas (bound water), yakni
cairan tubuh yang secara kimiawi terikat kuat dengan molekul protein, lemak,
dan karbohidrat (Afrianto dan evi, 1989). Sedangkan menurut Adawyah (2007)
pembekuan berarti mengubah kandungan cairan menjadi es. Ikan mulai membeku
pada suhu antara -0,6 ℃ sampai -2 ℃ , atau rata – rata -1 ℃ . Yang mula
– mula membeku adalah free water, disusul oleh bound water. Proses ini diawasi
oleh petugas QC. Pembekuan dilakukan pada saat produk selesai dikemas,
divakum, dan dilewatkan pada metal detector. Waktu pembekuan yang lama
dipengaruhi oleh jenis ikan, suhu produk, ukuran dan tebal produk (Ilyass, 1993).
Terdapat dua buah ABF pada PT KMC yang masing-masing berkapasitas
7 ton. ABF digunakan secara bergantian setiap minggu, dan pencatatan suhu ABF
dilakukan dengan menggunakan log tag yang dapat mencatat perubahan suhu
ruangan secara otomatis.. Ruang pembekunya berbentuk suatu ruang atau kamar
yang dilengkapi dengan pipa-pipa pendingin. Udara dihembuskan melewati pipapipa pendingin dengan kecepatan yang tinggi (Hadiwiyoto, 1993). Pada alat ini
suhu yang digunakan antara -25 ℃

sampai -35 ℃ dan dilewatkan melalui

bahan yang dibekukan dengan kecepatan 2-5 m/detik (Estiasih dan Ahmadi,
2011). Menurut Afrianto dan evi, (1989) air blast Freezer membekukan ikan

55

dengan memanfaatkan aliran udara dingin sebagai refrigerant dengan sebuah unit
pendingin hingga mencapai suhu -30 ℃

sampai -40 ℃

selanjutnya udara

dingin akan dialirkan pada ikan yang akan dibekukan dengan kecepatan 15-60
m/detik. Menurut Moeljanto (1992) air blast Freezer biasanya dipakai untuk
membekukan ikan atau makanan dalam kemasan besar yang tebalnya lebih dari
10-15 cm. Salah satu kelemahan cara pembekuan ini adalah terjadinya proses
pengeringan produk yang tidak dibungkus (dikemas). Menurut Winarno (2007)
akibat pembekuan yang tidak terbungkus dengan baik, maka akan terjadi freeze
burn dengan gejaala banyak noda – noda hitam gelap dipermukaan daging yang
sedang dibekukan.
Menurut Suwetja (2011) freezing burn terjadi karena berkurangnya kadar
air yang berlanjut pada bahan pangan sekitar 10 – 15%. Pengeringan ini terjadi
pada pembekuan air blast, selain itu freezing burn juga menimbulkan efek sarang
lebah, mengapur, rapuh, kehitaman, dan hangus sehingga mengakibatkan
kerusakan dan perubahan pada warna, tekstur, cita rasa dan nilai gizi.
Pembentukan freezing burn dapat dihambat dengan system pembekuan cepat,
menggunakan bahan pengemas yang benar – benar moistureproof, menjaga
kelembapan dalam ruangan penyimpanan beku tetap tinggi, serta mencegah
perubahan cold strorage yang berlebihan. Proses pembekuan pada produk akhir
dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Pembekuan

56

Sumber : PT.KMC (Karya Citra Mandiri
5.1.16 Pengepakan
Pengepakan dilakukan dengan menggunakan master karton yang
sebelumnya sudah diberi label perusahaan pada sisi depan dan belakang. Proses
ini dilakukan dengan cara memasukkan produk beku sesuai dengan labelnya, lalu
master karton ditutup dengan lakban, lalu kemudian master karton disegel dengan
menggunakan threading strap. Satu karton berisi 4 kantung loin atau ± 20 kg.
Ukuran karton yang digunakan adalah 40cm x 36cm x 20cm untuk . Produk yang
telah selesai proses pengepakan kemudian dimasukkan ke dalam palet dan
dibungkus dengan lembaran plastik yang bertujuan untuk mengurangi dehidrasi
selama penyimpanan. Selanjutnya dilakukan penyimpanan di dalam cold storage
sampai akan didistribusikan. Bahan bahan yang dipakai sebagai kemasan untuk
ikan dapat berupa karton berlapis lilin atau berlapis plastik, yang dipakai atau
tanpa kemasan dalam (Adawyah, 2007).
Pemberian kode pada master karton loin tuna ini tercantum kode seperti
contoh (01.03.1.262.2.1), dengan (01) adalah kode supplier, (03) adalah jenis
ikan, (1) adalah metode pembekuan bahan baku, (262) kode tanggal produksi, (2)
adalah jenis produk, dan (1) adalah kode cooker.
5.1.17 Penyimpanan Beku
Loin yang telah disusun di dalam palet segera di masukkan ke dalam cold
strorage sampai loin akan di ekspor. Suhu cold storage adalah (-18)oC – (-25)oC,
hal tersebut masih memenuhi standar karena batas suhu untuk produk beku
adalah -18oC. Penyusunan dalam cold storage dilakukan dengan menyusun palet
sesuai dengan kode label pengepakan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pada
saat pengambilan pada proses pemuatan. Kendala saat melakukan penyimpanan
beku adalah seringnya dibuka pintu cold storage yang sering menyebabkan
kenaikan suhu pada cold storage.
Ikan di dalam cold storage mengalami banyak perubahan yang cenderung
menurunkan mutu ikan. Perubahan – perubahan tersebut meliputi perubahan fisik
dan biokimia, misalnya pengeringan (dehidrasi), oksidasi lemak, denaturasi
protein, dan pengumpulan senyawa – senyawa hasil perombakan yang dilakukan
oleh enzim serta bakteri. Perubahan – perubahan inilah yang membatasi daya

57

simpan ikan beku (Murniyati dan Sunarman, 2000). Pengaruh suhu penyimpanan
terhadap oksidasi lemak masi dapat berlangsung pada suhu yang sangat rendah
yaitu -18 ℃ . Jadi lamanya proses penyimpanan dingin (> -18 ℃ ) oksidasi
lemak makin banyak terjadi, yang ditandai oleh meningkatnya angka TBA,
karbonil, maupun pembebasan asam – asam lemak. Setiap proses yang dilakukan
antara pembekuan dan penyimpanan harus dilakukan di ruang yang dingin dan
jauh dari sinar matahari, sinar lampu yang kuat, pemanas ruangan dan sebagainya
(Adawiyah, 2007).
5.1.18 Pemuatan (Stuffing)
Kegiatan ekspor dilakukan saat stok produk sudah terpenuhi. Pemuatan
dilakukan dengan cara mengeluarkan palet dari dalam cold storage lalu
menyusun master carton berisi loin dengan rapi ke dalam refer container agar
udara dingin dapat mengenai seluruh master carton berisi loin. Produk disusun
berdasarkan jenis dan ukuran produk. Dokumen-dokumen untuk ekspor wajib
dipersiapkan dengan lengkap supaya tidak ada kendala selama proses pengiriman
ke negara tujuan ekspor atau buyer.
Suhu dalam refer container adalah – 20oC, kapasitas satu refer container
adalah ±28 ton. Dokumen-dokumen untuk ekspor wajib dipersiapkan dengan

lengkap supaya tidak ada kendala selama proses pengiriman ke negara tujuan
ekspor atau buyer. Produk beku yang diangkut harus menggunakan kendaraan
yang direrigerasi secara mekanis untuk mempertahankan suhu produk agar tidak
lebih tinggi dari pada -19ºC (Ilyas,1993). Proses Pemuatan atau Stuffing dapat
dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Pemuatan (Stuffing)

58

Sumber : PT.KMC (Karya Citra Mandiri)
5.2

Pengamatan Suhu
Pengamatan suhu dilakukan dengan menggunakan peralatan berupa
thermometer analog, bor listrik untuk bahan baku beku dan produk beku, serta
buku catatan pengamatan suhu. Pengamatan suhu dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana penerapan suhu yang dilakukan oleh perusahaan dalam
mempertahankan mutu ikan dan melakukan proses pengolahan yang baik dan
benar.
5.2.1

Pengamatan Suhu Pusat Ikan
Pengamatan suhu pusat ikan dilakukan dengan cara menusukkan

thermometer analog ke pusat thermal ikan. Hasil pengukuran suhu dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengamatan Suhu Pusat Ikan
Proses
Bahan baku
Pemasakan
Pemotongan kepala
Pengulitan
Loin
Loin Beku

Rata-rata (oC)
-13,01
73,90
32,73
27,17
22,70
-26,53

Standar PT KMC (oC)
-18
67 – 75
-18

Berdasarkan Tabel di atas dapat disimpulkan bahwa hasil dari
pengamatan rata-rata suhu pada setiap tahapan masih berada pada standar yang
ditetapkan untuk suhu pengolahan tuna loin masak beku. Hasil pengukuran suhu
pada saat penerimaan bahan baku adalah -13ºC dan telah sesuai standar yang
ditetapkan perusahaan yaitu -18ºC.. Hasil pengamatan suhu pusat ikan dapat
dilihat pada Lampiran 6.1.
Pengamatan suhu sangat penting untuk dilakukan, karena jika ada bahan
baku yang suhunya kurang dari standar, maka dapat dihentikan untuk proses
selanjutnya dan bahan baku dapat ditolak. Suhu pusat pada proses pemasakan
rata – rata 73,90 ℃ , suhu tersebut telah sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan perusahaan yaitu 67 - 75 ℃ . Suhu pusat pada proses pemotongan
kepala, pengulitan dan loin adalah berturut – turut 32,73 ℃ ; 27,17 ℃ ;

59

22,70 ℃ .

Penurunan suhu disebabkan oleh suhu ruang proses pembersihan

yaitu 21,86 ℃ .

Suhu merupakan faktor yang sangat penting untuk

pertumbuhan mikroba diantaranya mikroba psikrofilik, mesofilik, dan termofilik.
Suhu pusat pada produk akhir atau Loin beku yaitu 26,53 ℃ , suhu tersebut
℃ . Suhu beku dapat

telah sesuai dengan standar perusahaan yaitu -18

menghambat aktivitas bakteri dan enzim sehingga daya awet ikan beku atau
produk beku lebih besar dibandingkan dengan ikan yang hanya didinginkan. Pada
suhu -12 ℃ , kegiatan bakteri telah dapat dihentikan, tetapi proses kimia
enzimatis masih terus berjalan (Adawyah, 2007).
Mikroba psikrofilik memiliki suhu optimum pada suhu ≤

15 ℃ . Suhu

optimum mikroba mesofilik memiliki suhu optimum 20 - 45 ℃ . Sedangkan
mikroba termofilik memiliki suhu optimum 55 - 65 ℃

(Rahayu dan Nurwitri,

2012). Nurjannah, et al (2011) menetapkan bahwa batas kritis suhu untuk
pertumbuhan histamin adalah 4,4ºC. Peningkatan suhu yang terjadi dapat
menyebabkan perkembangan bakteri pembentuk enzim histidin dekarboksilase
seperti Proteus morganii, klebsiella, Pneumonia, Entrebacter aerogenus, Hafnia
alvei, E.coli dan Citrobacter freundii (Nurjannah, 2011). Bakteri tersebut akan
menghasilkan enzim yang dapat merubah histidin bebas menjadi histamin apabila
suhu >4,4ºC.
5.2.2

Pengamatan Suhu Ruang Proses
Pengamatan pada suhu ruangan sangat perlu, untuk mengetahui suhu

ruang proses selama proses pengolahan berlangsung, tetapi perusahaan tidak
melakukan controlling mengecek suhu ruangan. Pengamatan suhu ruang
dilakukan dengan mengecek thermometer yang terdapat di setiap ruangan. Hasil
pengamatan suhu dapat dilihat pada Lampiran 6.2. Berikut ini merupakan
pengamatan suhu ruangan yang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengamatan Suhu Ruang Proses
Proses

Rata-rata (oC)

Penerimaan

21,66

Standar PT.KMC (ºC)
25

Penyiangan

20.07

25

Pendinginan

33,13

35

Pembersihan

21,86

25

60

Shredded

26,51

25

Pengepakan

23,60

25

Hasil pengamatan suhu ruang memenuhi standar yang ditentukan. Pada
ruang Shredded rata-rata suhu ruang melewati standar, namun hal ini tidak
mempengaruhi mutu dari produk karena ruangan tersebut tidak digunakan untuk
proses loin tetapi digunakan untuk proses serpihan ikan. Selain itu, suhu ruangan
Shredded memiliki banyak karyawan dalam proses pekerjaannya. Sehingga dapat
mengakibatkan naiknya suhu ruangan.
Menurut Hadiwiyoto (1993) aktivitas enzim dan perkembangan mikroba
dipengaruhi oleh suhu. Suhu optimum terletak pada suhu dibawah dan diatas
suhu kamar sedangkan pada suhu rendah maupun tinggi menyebabkan
aktivitasnya terhambat.
5.2.3

Pengamatan Suhu Air
Pengamatan suhu air dilakukan menggunakan thermometer analog.

Pengamatan suhu yang diamati yaitu : suhu thawing, suhu pencucian, dan suhu
spraying. Hasil pengamatan suhu air dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengamatan Suhu Air
Suhu Air

Rata-rata (oC)

Thawing

20,33

Standar PT.KMC (ºC)
25

Pencucian

29.67

35

Spraying

28,00

35

Pengamatan suhu air dilakukan pada tahap Thawing, Pencucian, dan
Spraying. Hasil pengukuran suhu air masi memenuhi standar yang telah di
tetapkan perusahaan yaitu pada proses thawing suhu air yaitu 20,33ºC, air
thawing bertujuan untuk menurunkan suhu bahan baku pada saat pencairan
Suhu air pada proses pencucian yaitu 29,67ºC, yang bertujuan untuk
mencuci bahan baku sesudah proses penyiangan. Sedangkan suhu air spraying
yaitu 28,00ºC, air yang digunakan pada proses pencucian dan spraying adalah air

61

hangat yang bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri mesofilik dan
bakteri psikrofil yang dapat tumbuh pada suhu optimum 10 - 45ºC.
Bakteri mesofil (mesotermik), yaitu bakteri yang hidup baik di antara 5ºC
dan 60ºC, sedangkan temperature optimumnya ialah antara 25ºC sampai 40ºC.
Bakteri psikrofil (oligotermik), yaitu bakteri yang dapat hidup anatar 0ºC sampai
30ºC,

sedangkan

temperature

optimumnya

antara

10ºC

sampai

20ºC

(Dwidjoseputro, 2005). Hasil pengamatan suhu air dapat dilihat pada Lampiran
6.3.
5.3

Pengujian Mutu
Pengujian mutu yang dilakukan pada bahan baku adalah pengujian
organoleptik, dan untuk produk akhir dilakukan pengujian organoleptik, kimia,
dan mikrobiologi.
5.3.1

Pengujian Organoleptik
5.3.1.1 Pengujian Organoleptik Bahan baku
Pengujian organoleptik bahan baku dilakukan menurut SNI ikan beku SNI

4110.2014. Pengujian organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat
kesegaran bahan baku yang diterima. Adapun aspek yang perlu dinilai terdiri dari
lapisan es, pengeringan, diskolorasi. Data hasil pengujian organoleptik bahan
baku dapat dilihat pada Tabel 7.
Berdasarkan data pengamatan nilai rata-rata organoleptik bahan baku
adalah 7. Dengan nilai tertinggi dari 10 kali pengamatan adalah 8,17 dan nilai
terendah 7,16. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa mutu bahan baku yang
diterima masih memenuhi standar persyaratan bahan baku yaitu 7 (SNI
4110.2014). Berdasarkan hasil mutu bahan baku maka dapat dikatakan sudah
memenuhi standar tetapi hampir tidak memenuhi standar, nilai organoleptik 7
didapatkan diduga karena bahan baku yang dalam produk beku sebelumnya
mengalami penurunan mutu karena penanganan yang buruk. Penanganan dan
pengolahan tuna di atas kapal sangat penting untuk diketahui dan difahami dalam
menjaga konsistensi kualitas produk. Untuk mendapatkan kualitas tuna yang
baik, penanganannya sudah dimulai sejak dilakukan penangkapan (Junianto,
2003). Menurut Dyah, et.al (2009) pengujian organoleptik sangat dipengaruhi

62

oleh subjektifitas dari masing – masing panelis dan waktu pengujian. Nilai
panelis tergantung pada ketelitian yang diberikan. Semakin berpengalaman
seorang panelis, maka penilain yang diberikan akan semakin teliti. Hasil
Perhitungan organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 7. Organoleptik Bahan baku

5.3.1.2

Pengujian
Produk

Pengamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Simpangan Baku
(7,27 ≤ µ ≤ 7,70)
(7,29 ≤ µ ≤ 7,53)
(7,16 ≤ µ ≤ 7,50)
(7,59 ≤ µ ≤ 8,04)
(7,64 ≤ µ ≤ 7,91)
(7,46 ≤ µ ≤ 8,17)
(7,54 ≤ µ ≤ 7,86)
(7,39 ≤ µ ≤ 7,87)
(7,42 ≤ µ ≤ 7,76)
(7,25 ≤ µ ≤ 7,78)

Rata-rata

Nilai
7
7
7
8
8
7
8
7
7
7
7

Sensori
Akhir

Pengujian sensori produk akhir dilakukan menurut SNI tuna loin masak
beku SNI 7968-2014. Pengujian sensori dilakukan oleh enam orang panelis
dengan menggunakan scoresheet. Data hasil pengujian sensori produk akhir dapat
dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Sensori Produk Akhir
Pengamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Simpangan Baku
(7,56 ≤ µ ≤ 7,77)
(7,39 ≤ µ ≤ 7,73)
(7,64 ≤ µ ≤ 8,07)
(7,50 ≤ µ ≤ 8,13)
(7,39 ≤ µ ≤ 7,87)
(7,35 ≤ µ ≤ 7,91)
(7,44 ≤ µ ≤ 8,11)
(7,30 ≤ µ ≤ 7,96)
(7,23 ≤ µ ≤ 7,88)
(7,34 ≤ µ ≤ 7,55)
Rata-rata

Nilai
8
7
8
7
7
7
7
7
7
7
7

Hasil dari uji sensori produk akhir, rata rata nilai sensori produk tuna loin
masak beku memenuhi standar yaitu 7, dengan nilai simpangan baku tertinggi
dari 10 kali pengamatan adalah 8,13 dan nilai terendah adalah 7,23. Nilai 7

63

memiliki spesifikasi loin tuna yaitu kenampakannya kurang cemerlang spesifik
produk; bau netral; tekstur padat, kurang kompak. Hal ini menunjukan mutu
sensori sesuai dengan persyaratan SNI yaitu 7 (SNI 4110:2014).
Menurut Moeljanto (1992) pembekuan dan penyimpanan beku (cold
storaging) adalah cara terbaik untuk penyimpanan jangka panjang. Bila cara
pengolahan dan pembekuan baik dan bahan mentahnya masih segar, maka dapat
dihasilkan ikan beku yang bila dicairkan (thawing) keadaannya masih mendekati
sifat-sifat ikan segar. Mutu bahan baku sangat mempengaruhi mutu produk akhir,
oleh karena itu produk akhir yang didapat dengan nilai organoleptik yang hampir
tidak mencapai standar dikarenakan mutu bahan baku juga yang hanya memiliki
nilai organoleptik 7. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi mutu ikan adalah
penerapan suhu rendah, kecermatan, kebersihan, dan kecepatan kerja. Perlu
disediakan prosedur penanganan ikan dan operasi kerjanya. Penyediaan sarana
yang diperlukan guna melaksanakan prinsip tersebut. Hasil perhitungan sensori
dapat dilihat pada Lampiran 5.
5.3.2

Pengujian Mikrobiologi
Pengujian mikrobiologi dilakukan pada bahan baku dan produk akhir

yang meliputi TPC, E.coli, Coliform, Salmonella, V.cholera ,V.parahaemolyticus,
Staphylococcus aureus. Hasi pengujian dapat dilihat pada Tabel. 9
Tabel 9. Hasil Pengujian Mikrobiologi Bahan Baku dan Produk Akhir
Hasil

PT.KMC

Pengamata
n

BB

PA

1
2

3,1 x 104
1,0 x 104

Salmonella
(APM/per25g)

1
2
1
2

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

7,2 x 104
3,4 x
104
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

V.cholera
(APM/per25g)
Coliform
(MPN/g)

1
2
1
2

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Uji Mikrobiologi

TPC (koloni/g)
E. coli (MPN/g)

BB

PA

5 x 105

5 x 105