Pengimplementasian Pemekaran Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat

BAB II
KONSEP OTONOMI DAERAH DALAM KETATANEGARAAN
INDONESIA

A. Pengertian dan Tujuan Otonomi Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Secara etimologis, otonomi berasal dari Bahasa Yunani yaitu “auto” yang
berarti sendiri, dan “nomos” yang berarti peraturan. Maka dapatlah diartikan
otonomi sebagai peraturan sendiri. Atau “autonomia” yang berarti keputusan
sendiri. Syahda Guruh mengartikannya sebagai kondisi atau ciri untuk tidak
dikontrol oleh pihak lain maupun kekuatan luar. 16
Jika dikaitkan dengan daerah, ada banyak ahli ketatanegaraan yang
mencoba mendefinisikan apa itu otonomi daerah, seperti Bagir Manan dengan
pendapatnya yaitu sebagai berikut :
“otonomi daerah adalah cara-cara membagi wewenang, tugas dan
tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat
dan daerah. Maka dengan itu, daerah-daerah akan memiliki sejumlah
urusan pemerintahan, baik atas dasar penyerahan maupun pengakuan, atau
dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah. 17

Jika melihat pendapat ahli otonomi daerah yang sudah mendunia seperti

Rondinelli dan Cheema, maka otonomi tidak hanya diberikan kepada Pemerintah

16

Murtir Jeddawi, Negara Hukum, Good Governance, dan Korupsi di Daerah, Total Media,
Yogyakarta, 2011. Hlm. 21.
17
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta,
1994. Hlm. 10.

14
Universitas Sumatera Utara

15

Daerah, tetapi juga kepada organisasi semi otonom maupun organisasi non
pemerintahan. 18
Selain menurut para ahli, beberapa peraturan perundang-undangan juga
turut mendefinisikan apa itu otonomi daerah. Menurut Pasal 1 huruf h UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah kewenangan

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. 19
Jika dibandingkan dengan yang dimuat pada UU No. 32 Tahun 2004 Jo.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi dari
UU No. 22 Tahun 1999, perbedaannya adalah bahwa undang-undang hasil revisi
ini memandang otonomi tidak lagi sebatas hak dan kewenangan, tapi juga sudah
menjadi kewajiban bagi setiap daerah.

2. Tujuan Otonomi Daerah
Sebagaimana halnya pengertian otonomi daerah, apa yang menjadi tujuan
otonomi daerah juga banyak dirumuskan oleh para ahli ketatanegaraan, salah
satunya The Liang Gie. Menurut Beliau, tujuan otonomi daerah dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang diantaranya sebagai berikut :
a. Dari sudut pandang politis, otonomi daerah bertujuan untuk mencegah
penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja dan untuk menarik hati
rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan serta melatih diri dalam
mempergunakan hak demokrasinya.
18


Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia, UMM Press, Malang, 2008. Hlm. 5.
Dikutip dari : Rondinelli dan Cheema, Decentralization and Developing Countries, Sage
Publication, Beverly, Hills.
19
Pasal 1 huruf h UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Universitas Sumatera Utara

16

b. Dari sudut pandang teknis organisatoris pemerintahan, untuk mencapai
pemerintahan yang efisien.
c. Dari sudut kultural, untuk memperhatikan sepenuhnya kekhususan suatu
daerah seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak
kebudayaan maupun latar belakang sejarahnya.
d. Dari sudut pandang kepentingan ekonomi, untuk supaya pemerintah dapat
lebih banyak secara langsung membantu pembangunan daerah. 20
Sedangkan menurut M. Ryass Rasyid, sebagai Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah pertama setelah Reformasi, tujuan otonomi daerah adalah
sebagai berikut :

a. Untuk memberdayakan pemerintahan dan masyarakat desa.
b. Membantu menciptakan tercapainya pemerintahan yang demokratis.
c. Memberdayakan DPRD dan eksekutif daerah dalam rangka cheks and
balances.
d. Mengantisipasi meningkatnya tantangan baik dari dalam maupun luar.
e. Melestarikan bentuk pemerintahan daerah yang bersifat tradisional,
termasuk pemerintahan di tingkat desa.21
Tujuan lain daripada pemberlakuan konsep otonomi daerah dalam sistem
pemerintahan suatu negara adalah sebagai berikut :
a. Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin membaik disemua
bidang, seperti : pendidikan, kesehatan, keamanan, dan pelayanan publik
lainnya. Dengan lingkup daerah yang lebih sederhana dimungkinkan
pemberian pelayanan kepada masyarakat akan semakin baik dan mudah.
b. Mewujudkan keadilan nasional seperti dalam hal pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya, sehingga tidak ada daerah yang
dirugikan dalam menata hubungan antara pemerintah pusat dan daerah
dalam hal perimbangan keuangan.
c. Pengembangan daerah menjadi lebih baik lagi, yaitu dengan diberinya
kesempatan kepada setiap daerah untuk meningkatkan potensinya dan
bersaing dengan daerah lainnya. Dengan adanya semangat persaingan

tersebut, maka setiap daerah-daerah di Indonesia terdorong untuk semakin
mengembangkan daerah masing-masing untuk menjadi lebih baik lagi.
20
21

Murtir Jeddawi, Op. Cit. Hlm. 65.
Mas’ud Said, Op. Cit. Hlm. 71.

Universitas Sumatera Utara

17

d. Pemerataan pembangunan karena dengan pemberlakuan otonomi daerah,
pelayanan pembangunan dimungkinkan bisa menjangkau daerah-daerah
terpencil yang apabila dalam kondisi pemerintahan sentralisasi sulit untuk
diwujudkan.

B. Kronologis Pemberlakuan Konsep Otonomi Daerah di Indonesia dari
Tahun 1945 s/d 2014
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sebelum dijajah Belanda, di Jawa

berlangsung masa pemerintahan Kerajaan Mataram. Berdasarkan sumber-sumber
Jawa yang terpenting, seperti Babad Tanah Jawi dan Meinsma diketahui bahwa
pada masa pemerintahan Mataram pun sudah dikenal pekerjaan dalam suatu
daerah yang disebut “Bupati” tapi dengan nama jabatan “Toemanggoeng”, yang
kemudian di Zaman Hindia Belanda, nama Bupati diresmikan sebagai jabatan
pimpinan Kabupaten. 22
Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, mengenai pemerintahan
daerah ini semakin dipertegas dengan dilahirkannya Decentralisatie Wet 1903 dan
berbagai

Osamu

Seirei

semacam

perundang-undangan

yang


mengatur

pemerintahan daerah di Indonesia.
Apabila ditelaah dari sejarah pembentukan UUD 1945, dapat dikatakan
bahwa M. Yamin adalah orang pertama yang membahas masalah pemerintahan
daerah, yaitu dalam Sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, yang mana
pendapatnya dituangkan pada Pasal 18 perumusan sementara UUD 1945 yang
bunyinya sebagai berikut :

22

Murtir Jeddawi, Op. Cit. Hlm. 89.

Universitas Sumatera Utara

18

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan rakyat dalam sistem

pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa” 23
Setelah UUD 1945 resmi disahkan pada 18 Agustus 1945 sebagai
konstitusi negara Indonesia, dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 disebutkan
bahwa daerah yang akan dibentuk itu tidak boleh bersifat “staat”, karena jika
demikian, maka akan ada negara dalam negara Indonesia. Sementara bentuk
negara Indonesia sendiri adalah “eenheidstaat” atau negara kesatuan yang tidak
menghendaki adanya negara bagian. Seterusnya dijelaskan bahwa daerah
Indonesia akan dibagi dalam daerah Provinsi dan daerah Provinsi akan dibagi ke
dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah tersebut bersifat otonom (streek en
locale rechtgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka semuanya
menurut aturan yang akan ditentukan dalam undang-undang. 24
Untuk menjalankan amanat Pasal 18 UUD 1945 maka dibuatlah peraturan
pelaksananya berupa undang-undang pada tanggal 23 Nopember 1945 yaitu UU
No. 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah
(KNID). Undang-undang tersebut menganut asas otonomi formal.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1945 ada dua jenis pemerintahan daerah
Indonesia, yaitu sebagai berikut ;

23


Ni’matul Huda, SH, M.Hum, Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006. Hlm. 270-271. Dikutip dari : M. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, Penerbit
Siguntang, Jakarta, 1971. Hlm.100.
24
Lihat Penjelasan Naskah Asli UUD 1945.

Universitas Sumatera Utara

19

a. Pemerintahan daerah yang memiliki KNID, yaitu terdiri dari
Keresidenan, Kabupaten/Kota dan daerah yang mendapat persetujuan
Menteri Dalam Negeri.
b. Pemerintahan daerah yang tidak memiliki KNID, yaitu Daerah
Istimewa dan Kewedanan. 25
Dalam undang-undang tersebut tidak ada disebutkan bagaimana suatu
daerah bisa terbentuk, begitu juga dalam bagian penjelasannya. Akan tetapi, jika
kita melihat sejarah ketatanegaraan Indonesia, setelah merdeka Indonesia dibagi
ke dalam 8 Provinsi, yaitu Sumatera, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa

Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. 26
UU No. 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Indonesia
Daerah (KNID) merupakan produk perundang-undangan dalam situasi pergolakan
kemerdekaan transisonal sehingga tampak sebagai produk hukum eksperimental,
hanya terdiri dari 6 Pasal. 27 Masih terbatasnya pengalaman dan kurangnya inisiatif
daerah serta keadaan tahun 1945 (suasana Revolusi dan menghadapi upaya
Belanda untuk kembali menjajah Indonesia) semakin menyempatkan kesempatan
mengimplementasikan undang-undang tersebut sebagaimana mestinya. 28
Untuk meengkapi materi UU No. 1 Tahun 1945, maka pada 10 Juli 1948
dikeluarkanlah UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

25

Lihat Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah.
http:// id.m.wikipedia.org/wiki/Pemekaran_daerah_di_Indonesia.
27
Murtir Jeddawi, Op.Cit. Hlm. 91.
28
Bagir Manan,Op.Cit. Hlm. 120.
26


Universitas Sumatera Utara

20

Daerah yang menganut asas otonomi materil dengan titik beratnya ada pada
Desa. 29
Perbedaan yang sangat menonjol dengan undang-undang sebelumnya
adalah bahwa dalam UU No. 22 Tahun 1948 sistem pembagian daerah otonom
menggunakan sistem bertingkat, yaitu sebagai berikut :
a. Daerah Tingkat I adalah Provinsi;
b. Daerah Tingkat II adalah Kabupaten/Kota Besar; dan
c. Daerah Tingkat III adalah Desa (Kota Kecil), negeri, dan marga. 30
Salah satu hal penting dari UU No. 22 Tahun 1948 ini adalah gagasan
untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya dan dielaborasinya asas
medebewind (menjalankan aturan-aturan atasan) bagi seuruh daerah di wilayah
NKRI secara sama. 31 Jadi terjadi unifikasi pengaturan mengenai pemerintahan
daerah.
UU No. 22 Tahun 1948 sebenarnya bertujuan untuk mengimbangi
keresahan yang timbul dari daerah-daerah tertentu akibat kekhawatiran akan
adanya dominasi dari suku tertentu dan sistem negara kesatuan. Namun nyatanya
setahun setelah undang-undang ini diberlakukan negara NKRI berubah jadi negara
federasi yang dikenal dengan Republik Indonesia Serikat (RIS).32 Dan setelah
benar-benar berubah bentuk, maka UUD 1945 yang telah dibuat para The
Founding Fathers dengan susah payah dinyatakan tidak berlaku lagi, diganti
dengan Kontitusi RIS 1949 yang ternyata tidak juga lepas dari pengaturan
29

Edie Toet Hendrato, Op.Cit. Hlm. 139.
Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
31
Murtir Jeddawi, Op.Cit. Hlm. 95.
32
Tjahya Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.
Hlm. 47.
30

Universitas Sumatera Utara

21

mengenai otonomi daerah sebagaimana dimuat pada Pasal 47 konstitusi tersebut,
yaitu sebagai berikut :
“Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara haruslah menjamin
hak atas kehidupan rakyat sendiri kepada berbagai persekutuan rakyat di
dalam lingkungan daerah mereka itu dan harus pula mengadakan
kemungkinan untuk mewujudkan hal itu secara kenegaraan dengan
aturan-aturan tentang penyusunan persekutuan itu secara demokrasi
dalam daerah-daerah otonom.” 33
Salah satu konsekuensi dari perubahan bentuk negara tersebut adalah
dikeluarkannya UU No. 44 Tahun 1950 tentang Negara Indonesia Timur.
UU No. 44 Tahun 1950 tentang Negara Indonesia Timur dibuat dengan
tergesa-gesa, isinya banyak persamaan dengan materi UU No. 22 Tahun 1948
dengan beberapa perubahan. 34
Perbedaan yang sangat menonjol dengan UU No. 22 Tahun 1948 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah hanya dalam penamaan tingkatan daerahnya
saja, yaitu ditentukan bahwa Negara Indonesia Timur tersusun atas tiga tingkatan
daerah otonom, yaitu sebagai berikut :
a. Daerah;
b. Daerah Bagian; dan
c. Daerah Anak Bagian. 35
Konstitusi RIS 1949 tidaklah bertahan lama karena pada dasarnya rakyat
Indonesia lebih menghendaki negara kesatuan dibandingkan dengan negara
33

Pasal 47 Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.
Tjahya Supriatna, Op.Cit. Hlm.87.
35
Pasal 1 ayat (1) UU No. 44 Tahun 1950 tentang Negara Indonesia Timur.

34

Universitas Sumatera Utara

22

federal. Maka pada tahun 1950, Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan
dengan konstitusinya adalah UUD Sementara 1950 atau lebih dikenal dengan
UUDS 1950.
Berdasarkan Pasal 131 UUDS 1950 dapat diketahui bahwa konsep
otonomi yang dianut adalah sama dengan yang dianut oleh UU No. 22 Tahun
1948. Namun, dalam hal penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pemerintah Pusat
bisa sewaktu-waktu menyerahkan tugas-tugas kepada daerah yang bukan urusan
rumah tangganya atau disebut asas tugas pembantuan.
Untuk melaksanakan Pasal 131 UUDS 1950, maka pada 17 Januari 1957
dikeluarkanlah UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
yang menganut asas otonomi riil dengan titik beratnya adalah masalah Pemerintah
Daerah.
Perbedaan yang paling menonjol dari UU No. 1 Tahun 1957 dengan UU
No. 22 Tahun 1948 adalah daerah otonom kecuali Daerah Istimewa diubah
namanya menjadi Daerah Swatantra yang pembagiannya masih menggunakan
sistem daerah bertingkat sebagaimana dimuat pada Pasal 2 undang-undang ini.
Pengimplementasian konsep otonomi daerah dalam ketatanegaraan
Indonesia melalui undang-undang ini hanya dengan asas desentralisasi dan tugas
pembantuan, sedangkan asas dekonsentrasi sama sekali tidak dielaborasi,
dikarenakan pemerintahan daerah administratif dianggap menyaingi pemerintahan
daerah otonom jika asas dekonsentrasi diberlakukan. 36

36

Murtir Jeddawi, Op.Cit. Hlm.98.

Universitas Sumatera Utara

23

Dengan UU No. 1 Tahun 1957 ini pun ternyata apa yang menjadi target
otonomi derah belumlah terpenuhi karena masih banyak kepincangankepincangan dalam hal pengimplementasiannya. Karena itu dikeluarkanlah
Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960
sebagai penyempurna dan perubahan atas UU No. 1 Tahun 1957.
Selanjutnya pada 1 September 1965 dikeluarkanlah UU No. 18 Tahun
1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang menganut asas otonomi
riil yang seluas-luasnya dan sebagai pelaksana Pasal 18 UUD 1945 yang telah
diberlakukan kembali atas amanat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Daerah yang akan dibentuk melalui undang-undng ini masih sama dengan
UU No. 1 Tahun 1957 yaitu berupa daerah bertingkat. Namun, Daerah Tingkat III
bukan lagi Desa dan sejenisnya, akan tetapi Kecamatan dan/atau Kotapraja. 37
Pelaksanaan UU No. 18 Tahun 1965 ini diwarnai dengan kejatuhan
kabinet dan macetnya pembangunan ekonomi, diperparah dengan dengan
terjadinya pemberontakan G 30 S PKI yang mengakibatkan undang-undang ini
tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya. 38
Untuk

mengatasi

situasi

sebagaimana

dimaksud

di

atas,

maka

dikeluarkanlah TAP MPR No. XXI Tahun 1966 tentang Pemberian Otonomi
Yang Seluas-luasnya Kepada Daerah, yang mengamanatkan agar meninjau
kembali UU No. 18 Tahun 1965. 39 Maka pada masa Orde Baru diberlakukanlah
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah yang menganut asas

37

Lihat Pasal 2 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
J. Kaloh, Op.Cit. Hlm. 15.
39
Pasal 5 TAP MPR No. XXI Tahun 1966 tentang Pemberian Otonomi Yang Seluas-luasnya
Kepada Daerah.
38

Universitas Sumatera Utara

24

otonomi nyata dan bertanggung jawab, dengan titik beratnya ada pada daerah
Kabupaten/Kota.40
Pengubahan asas otonomi daerah pada UU No. 5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan di Daerah bukanlah tanpa alasan. Pada bagian penjelasan umum
angka (1), dasar pemikiran, huruf e disebutkan istilah seluas-luasnya tidak lagi
dipergunakan karena berdasarkan pengalaman, istilah tersebut ternyata dapat
membahayakan keutuhan NKRI, serta tidak serasi dengan maksud dan tujuan
pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan
dalam GBHN.
UU No. 5 Tahun 1974 merupakan undang-undang pertama mengenai
pemerintahan daerah yang menjelaskan bagaimana suatu daerah otonom bisa
dibentuk, akan tetapi belum ditemui istilah pemekaran daerah di dalamnya. Dalam
Pasal 4 dikatakan bahwa daerah otonom dapat dibentuk dengan memperhatikan
syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumah penduduk, luas daerah, pertahanan dan
keamanan nasional, serta syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah
melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik, dan kesatuan dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab.
UU No. 5 Tahun 1974 ini merupakan undang-undang yang melandasi
diadakannya pemekaran daerah Kabupaten Tapanuli Selatan untuk pertama
kalinya pada tahun 1998, dan juga Kabupaten Tapanuli Utara.
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 ini juga dimungkinkan terjadinya
penghapusan suatu daerah otonom, yaitu apabila syarat-syarat yang termasuk

40

Edie Toet Hendrato, Op.Cit. Hlm. 146.

Universitas Sumatera Utara

25

dalam Pasal 4 di atas tidak terpenuhi lagi sehingga tidak mampu mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. 41
Dalam UU No. 1 Tahun 1974, posisi DPRD berada lebih rendah daripada
Kepala Daerah karena Kepala Daerah adalah alat Pemerintah Pusat di daerah
sehingga Kepala Daerah dapat dengan mudah melakukan veto atas nama Presiden,
bahkan tidak menganggap semua inisiatif kebijakan yang muncul dari DPRD.
Undang-undang ini cenderung lebih menggambarkan keterpihakan kepada
kepentingan politik kekuasaan Pemerintah Pusat atas Daerah. 42
Di awal era Reformasi, MPR mengeluarkan TAP MPR No. XV Tahun
1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka NKRI. Dalam konsideran
menimbang huruf e TAP MPR ini disebutkan bahwa pembagian sumber daya
nasional serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah belum dilaksanakan
secara proporsional sesuai dengan prinsip keadilan. Berdasarkan pada amanat
inilah maka dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Daerah. 43
UU No. 22 Tahun 1999 mengandung asas otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab dengan titik beratnya adalah daerah Kabupaten/Kota. Undang-

41

Lihat Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah.
Murtir Jeddawi, Op.Cit. Hlm. 106.
43
Nukhtoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2005. Hlm.92.
42

Universitas Sumatera Utara

26

undang ini tidak mengenal sistem otonomi bertingkat dan juga asas menjalankan
aturan-aturan atasan (dekonsentrasi) kecuali untuk daerah Provinsi.
UU No. 22 Tahun 1999 merupakan undang-undang pemerintahan daerah
pertama yang menyinggung istilah pemekaran daerah yaitu pada Pasal 6 yang
kemudian diatur lebih lanjut dalam sebuah Peraturan Pemerintah. Dimana
pemekaran ini merupakan salah satu cara pemebentukan daerah otonom
disamping penggabungan daerah.
Hal khusus dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 adalah dikenalnya
desentralisasi asimetris di Indonesia, yaitu dengan memberikan otonomi khusus
terhadap beberapa daerah, seperti Aceh dan Papua yang dikukuhkan dengan
undang-undang khusus untuk daerah tersebut,44 yaitu sebagai berikut :
a. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
b. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 ini, peran DPRD mengalami
penguatan yang pada akhirnya membawa demokrasi kebablasan ke arah arogansi.
Pengawasan yang lemah dari Pemerintah Pusat terhadap pelaksanaan undangundang ini menambah terbengkalainya pengimplementasian program otonomi
daerah, sehingga kepentingan rakyatlah yang selalu jadi korban. 45 Pada saat yang
sama berakibat pula pada munculnya wacana pemisahan diri dari NKRI oleh
beberap daerah seperti Aceh, Papua, Riau dan Timor-Timur, yang pada akhirnya

44
45

http:// asrifai.blogspot.co.id/2015/04/dinamika-perubahan-uu-pemerintahan_4.html?=1.
Nukhtoh Arfawie, Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara

27

Timor Timur berhasil memisahkan diri menjadi sebuah negara yang diawali
dengan pemberian referendum oleh pemerintah Republik Indonesia.
Pada 19 Oktober 1999, UUD 1945 yang selama masa pemerintahan Orde
Baru disaklarkan dan tidak dapat diubah oleh MPR sekalipun, untuk pertama
kalinya dilakukan perubahan oleh MPR. Pada perubahan kedua di tahun 2000
salah satu objek perubahannya adalah Pasal 18 yang secara khusus mengatur
mengenai pemerintahan daerah. Konsekuensi dari perubahan Pasal 18 tersebut
adalah tuntutan untuk merevisi UU No. 22 Tahun 1999. Dengan itu, maka
dikeluarkanlah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
menganut asas otonomi seluas-luasnya dengan titik beratnya masih daerah
Kabupaten/Kota.
UU No. 32 Tahun 2004 ini ditujukan untuk mengatur efektivitas dan
efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih memperhatikan aspekaspek hubungan antara susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah,
potensi dan keragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan
memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan
pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan
sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Meskipun demikian, undangundang ini juga masih menyisakan banyak kelemahan terutama tidak jelasnya
distribusi kekuasaan. 46
Dalam undang-undang ini telah diatur secara khusus dan lengkap
mengenai pemilihan Kepala Daerah, yaitu pada Bagian Kedelapan, yang mana

46

Ibid. Hlm. 100.

Universitas Sumatera Utara

28

pada Pasal 59 disebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih
dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Maka pada bulan Mei 2005
dilaksanakanlah pemilihan Kepala Daerah secara langsung untuk pertama kalinya
di Indonesia.
UU No. 32 Tahun 2004 mendapat kritikan besar adalah karena Pasal 185,
Pasal 186 dan Pasal 187 yang mensyaratkan pengesahan APBD harus melalui
meja Menteri Dalam Negeri (untuk Provinsi), dan melalui Gubernur (untuk
Kabupaten/Kota). Menteri Dalam Negeri juga punya kewenangan untuk
membatalkan Rancangan APBD Provinsi yang telah disepakati oleh Gubernur,
demikian pula Gubernur terhadap Rancangan APBD yang telah disepakati oleh
Bupati/Walikota. Sehingga banyak pihak mengatakan dengan sistem yang begitu
maka berarti tidak ada yang diotonomikan kalau untuk membuat anggaran saja
harus dicampuri oleh aparat Pemerintah Pusat atau yang lebih tinggi. 47
Dengan alasan demi kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, muncullah tuduhan bahwa dengan UU No. 32 Tahun
2004 bukan desentralisasi melainkan resentralisasi. Mantan Menteri Dalam Negeri
M. Ryass Rasyid juga melontarkan penilaian yang sama dengan menyatakan
pendapat bahwa semua asumsi ilmu pemerintahan yang digunakan untuk
mengatur tata pemerintahannya sangat keliru, sehingga perlu diganti secara
total. 48

47
48

Ibid. Hlm. 104.
Ibid.Hlm. 105.

Universitas Sumatera Utara

29

Untuk menyempurnakan UU No. 32 Tahun 2004 maka diberlakukanlah
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang sebenarnya memiliki
materi yang tidak jauh berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2014. Dan anehnya,
dalam hal yang berkaitan dengan penyusunan APBD masih juga harus melalui
evaluasi Menteri Dalam Negeri.
Perbedaan yang paling signifikan dengan undang-undang sebelumnya
adalah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tidak ada pengaturan mengenai
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah karena telah diatur dalam UU No. 22
Tahun 2014 yang pada akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dibatalkan dengan Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala
Daerah Secara Serentak. Pemisahan pengaturan mengenai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pemilihan Kepala Daerah dimaksudkan untuk lebih
mempertegas posisi dan perbedaan Gubernur dan Bupati/Walikota.

C. Kewenangan Daerah Sebagai Penyelenggara Otonomi Daerah
Dalam bahasa hukum, kewenangan tidaklah sama dengan kekuasaan.
Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam
hukum, kewenangan sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten).
Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan
untuk mengatur dan mengelola sendiri daerahnya. Sedangkan kewajiban secara
horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana

Universitas Sumatera Utara

30

mestinya. Sedangkan secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan. 49
UU No. 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Indonesia
Daerah (KNID) sebagai embrio dari pelaksanaan pemerintahan daerah di
Indonesia tidak menjelaskan secara rinci apa yang menjadi kewenangan daerah
otonom. Hanya saja disebutkan dalam Pasal 2 undang-undang tersebut bahwa
Pemerintah Daerah menjalankan tugas mengatur dan mengurus daerahnya sendiri
asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah yang lebih tinggi tingkatannya..
Sedangkan dalam konteks UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, pada Pasal 23 ayat (2) kurang lebih menyebutkan bahwa
hal-hal yang masuk urusan rumah tangga daerah ditetapkan dalam undang-undang
pembentukan bagi tiap-tiap daerah. Namun Pasal 24 undang-undang ini juga
mengatakan bahwa Pemerintah Pusat bisa menyerahkan urusan pemerintahan
kepada Pemerintah Daerah yang bukan urusan rumah tangganya.
Pengaturan mengenai penentuan kewenangan daerah dalam rangka
menyelenggarakan pemerintahan daerah pada UU No. 22 Tahun 1948
sebagaimana tersebut di atas sama saja dengan yang diatur pada perundangundangan berikutnya yaitu UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, hanya saja ditambahkan pada Pasal 31 ayat (1) bahwa
urusan-urusan yang diserahkan kepada daerah dengan undang-undang tersebut

49

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002. Hlm. 152.

Universitas Sumatera Utara

31

juga dapat diserahkan kepada penguasa lain yang dikukuhkan dengan undangundang pula.
Sedangkan menurut UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah apa yang menjadi kewenangan daerah juga sama
penentuannya dengan undang-undang yang berlaku sebelumnya. Namun dalam
hal Pemerintah Pusat berdasarkan pertimbangan yang ada pada daerah
menyerahkan sebagian atau seluruh urusannya harus disertai dengan alat
perlengkapan dan pembiayaannya. 50 Atas usulan DPRD, dapat pula urusan-urusan
tersebut ditambah dengan urusan lain. 51 Ketentuan ini sama dengan yang diatur
dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah sebagaimana
dimuat pada Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 undang-undang tersebut.
Jika kita lihat pengaturan pembagian kewenangan daerah pada undangundang yang lahir setelah Reformasi ada perbedaan yang sangat menonjol. UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai undang-undang pertama
yang lahir setelah Reformasi tidak lagi menentukan kewenangan daerah dengan
cara memasukkannya ke dalam bagian undang-undang pembentukan daerah
bersangkutan, melainkan dengan menerapkan sistem residu atau teori sisa,
maksudnya adalah dengan menentukan terlebih dahulu apa yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat.
Pada Pasal 7 disebutkan bahwa yang menjadi kewenangan daerah
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan
50
51

Pasal 39 ayat (2) UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah.
Ibid. Pasal 39 ayat (3).

Universitas Sumatera Utara

32

fiskal, agama serta kewenangan bidang lain seperti kewenangan mengenai
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro,
dana perimbangan keuangan,

sistem administrasi negara dan

lembaga

perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM, pendayagunaan SDA
serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. Yang
mana urusan-urusan tersebut adalah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Dijelaskan lagi pada Pasal 8 undang-undang yang sama bahwa pemberian
kewenangan kepada Pemerintah Daerah haruslah disertai dengan penyerahan dan
pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM sesuai kewenangan
yang diberikan.
Setelah UU No. 22 Tahun 1999 direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah maka apa yang menjadi kewenangan daerah dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah semakin dipertegas dengan
menyebutkannya

secara

rinci

dan

jelas,

dimana

kewenangan

tersebut

dikategorikan sebagai urusan pemerintahan konkuren.
Berdasarkan Pasal 11 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004, urusan yang
menjadi kewenangan daerah dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu :
1. Urusan pemerintahan daerah yang bersifat wajib, dan
2. Urusan pemerintahan daerah yang bersifat pilihan.
Urusan pemerintahan yang masuk kategori wajib adalah sebagai berikut:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

Universitas Sumatera Utara

33

d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.

fasilitasi pengembangan koperasi dan UKM;

j.

pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan;
l.

pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. 52
Sementara urusan pemerintahan daerah yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, potensi unggulan
daerah bersangkutan. 53
Apa yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota
adalah juga merupakan kewenangan pemerintahan daerah Provinsi, hanya beda
lingkup skalanya saja.

52
53

Pasal 14 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Ibid. Pasal 14 ayat (2).

Universitas Sumatera Utara

34

Jika

kita

melihat

pembagian

kewenangan

pada

undang-undang

pemerintahan daerah yang berlaku sekarang yaitu UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, menurut Pasal 11 urusan pemerintahan yang bersifat wajib
dibagi lagi atas urusan pemerintahan daerah yang berkaitan dengan pelayanan
dasar dan urusan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, dengan syarat
harus sebagian besar dari urusan yang diurus Pemerintah Daerah adalah berkaitan
dengan pelayanan dasar.
Adapun urusn pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar
adalah sebagai berikut :
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan pemukiman;
e. ketentraman;
f. ketertiban umum;
g. perlindungan masyarakat; dan
h. urusan sosial. 54
Sedangkan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar meliputi sebagai berikut ini :
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan prempuan dan perlindungan anak;
c. pangan;

54

Ibid. Pasal 12 ayat (1).

Universitas Sumatera Utara

35

d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan desa;
h. pengendalian penduduk dan KB;
i.

perhubungan;

j.

komunikasi dan informatika;

k. koperasi dan UKM;
l.

penanaman modal;

m. kepemudaan dan olahraga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan. 55
Sementara urusan pemerintahan daerah yang bersifat pilihan yang dalam
UU No. 32 Tahun 2004 tidak ditentukan secara rinci, maka pada undang-undang
hasil revisi ini hal tersebut ada ditentukan secara rinci sebagaimana dimuat pada
Pasal 12 ayat (3), yaitu sebagai berikut :
a. bidang kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
c. pertanian;

55

Ibid. Pasal 12 ayat (2).

Universitas Sumatera Utara

36

d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; serta
h. transmigrasi.
Dalam hal urusan Pemerintah Pusat dan hubungannya dengan daerah
dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo. UU No. 23 Tahun 2014 sama saja dengan yang
diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

D. Nilai Positif dan Nilai Negatif Otonomi Daerah
Dengan diberlakukannya konsep otonomi daerah dalam ketatanegaraan
Indonesia ada beberapa nilai positif dan nilai negatif yang dimilikinya,
sebagaimana menurut Mas’ud Said yaitu sebagai berikut :
1. Nilai Positif Otonomi Daerah
a.
b.
c.
d.

Sarana untuk demokratisasi;
Meningkatkan kualitas dan efisiensi pemerintahan;
Mendorong stabilitas dan kesatuan nasional; serta
Memajukan pembangunan daerah.

2. Nilai Negatif Otonomi Daerah
a.
b.
c.
d.

Menciptakan fragmentasi dan keterpecahbelahan;
Melemahkan kualitas pemerintahan;
Mengakibatkan kesenjangan antar daerah; serta
Pengingkaran terhadap demokrasi.

Ad. 1a. Sarana Untuk Demokratisasi

Universitas Sumatera Utara

37

Demokratisasi merupakan suatu perubahan, baik itu perlahan maupun
secara cepat ke arah demokrasi.
Otonomi daerah dikatakan sebagai sarana untuk demokratisasi karena
dengan otonomi daerah, pemerintah menjadi lebih dekat dengan masyarakat,
menjadikan dukungan masyarakat lebih nyata, menyediakan kesempatan yang
luas bagi partisipasi masyarakat dalam proses politik, serta membantu
terbangunnya kebijakan-kebijakan yang lebih responsif. Sehingga pelayanan
kepada masyarakat akan lebih terarah, lancar, akurat dan cepat.56
Ad. 1b. Meningkatkan Kualitas dan Efisiensi Pemerintahan
Ahli otonomi daerah, Treisman, mengidentifikasi tiga dasar alasan
munculnya ekpektasi bahwa otonomi daerah pasti akan meningkatkan kualitas dan
efisiensi pemerintahan, yaitu karena meningkatnya pengetahuan para pejabat
publik atas kondisi lokal, maka semakin mudah terciptanya kesesuaian antara
kebijakan dengan selera dan kebutuhan lokal, serta semakin meningkatnya
akuntabilitas para pejabat daerah. Diyakini bahwa negara-negara yang sentralistik
cenderung tidak efisien serta tidak responsif, sebagian karena pemerintah tidak
berhadapan langsung dengan rakyatnya. 57
Ad. 1c. Mendorong Stabilitas dan Kesatuan Nasional
Dengan pemberlakuan konsep otonomi daerah dimungkinkan identitas
daerah bisa diekspresikan sekaligus ada jaminan yang lebih besar bahwa
kepentingan daerah tidak akan tenggelam oleh kelompok yang lebih besar atau
lebih kuat yang dominan dari Pemerintah Pusat. Yang mana menurut Treisman,
56

Mas’ud Said, Op.Cit. Hlm. 23.
Ibid. Hlm. 25. Lihat : Treisman, Decentralization and Quality of Government, Paper Presented
at UCLA Confrence.

57

Universitas Sumatera Utara

38

sistem yang lebih mengakui identitas daerah akan bisa memajukan stabilitas dan
kesatuan nasional dengan jalan mencairkan dan menghambat kecenderungan
memisahkan diri. 58

Ad. 1d. Memajukan Pembangunan Daerah
Dengan pemberlakuan konsep otonomi daerah, pembangunan daerahdaerah di Indonesia akan semakin terstruktur, terorganisir dan merata. Pemerintah
Pusat tidak harus turun langsung ke lapangan, karena sudah ada Pemerintah
Daerah yang lebih dekat dengan daerah. Yang mana menurut Mas’ud Said,
Pemerintah Pusat yang berfungsi dengan baik sekalipun dengan sendirinya akan
selalu mengutamakan perspektif nasional, dan ini dianggap menjadikan beberapa
daerah akan terpinggirkan dan tidak berkembang. 59

Nilai Negatif Otonomi Daerah
Ad. 2a. Menciptakan Fragmentasi dan Keterpecahbelahan
Otonomi daerah tidaklah dengan sendirinya memposisikan daerah secara
lebih baik dalam kerangka negara kesatuan nasional, justru sebaliknya, otonomi
daerah bisa menimbulkan kecederungan parokialisme dan separatisme dengan
diutamakannya kepentingan daerah yang dangkal daripada kepentingan nasional
yang lebih luas. Sehingga memunculkan bentuk keinginan memisahkan diri
seperti Kasus Aceh dan Papua. 60
58

Ibid. Hlm. 27-28.
Ibid. Hlm. 30.
60
Ibid.Hlm.31.

59

Universitas Sumatera Utara

39

Ad. 2b. Melemahkan Kualitas Pemerintahan
Menurut pendapat Treisman, dengan didasarkan pada studi di 166 negara,
mengatakan bahwa negara yang lebih banyak level pemerintahan daerahnya, lebih
tinggi korupsinya daripada pelayanan publiknya. Karena pada umumnya yang
diotonomikan adalah kewenangan mengatur dan mengurus daerah. 61 Harus kita
tahu bahwa korupsi yang banyak menghiasi media-media massa memperoleh
momentumnya ketika reformasi pemerintahan ke arah desentralisasi dilegitimasi
melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang disambut dengan semangat menggebu untuk
berkuasa dan memerintah. Eufhoria kebebasan juga berarti bahwa sudah saatnya
daerah secara otonom bebas melakukan korupsi. 62
Menurut Hadi Supeno, beberapa indikasi praktik korupsi di daerah terdiri
atas berbagai macam modus operandi, antara lain :
1) Memperbesar Alokasi Dana Pusat, melibatkan banyak pihak dari
Bupati/Walikota, oknum di Departemen Keuangan, oknum di
Bappenas, oknum di Panitia Anggaran DPRD, pengusaha dan calo.
2) Mark up anggaran, yaitu dengan memanipulasi Indeks Satuan Harga
yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dalam hal pengadaan suatu
anggaran untuk kegiatan atau proyek daerah. Semakin tinggi
teknologinya, mark up anggaran akan semakin besar.
3) Lelang, bisa dipastikan perebutan proyek melalui lelang terbuka
terutama di daerah nyaris tidak ada sama sekali. Jika pun ada lelang,
maka semua yang ikut dalam proses lelang tersebut akan mendapatkan
bagian. Hal ini bisa terjadi karena pihak eksekutif, legislatif dan
yudikatif membutuhkan komisi.
4) Bantuan proyek, ini sangat disukai oleh para pelaku korupsi di daerah
karena jumlahnya yang besar dan kontrolnya yang lemah.
5) Pelayanan kesehatan, dalam era otonomi daerah ini merupakan salah
satu urusan wajib bagi Pemerintah Daerah. Oleh karena itu hal yang
menyangkut manajemen, promosi kesehatan, pencegahan, pengobatan,
61
62

Ibid.
M. Arief dkk, Nasionalisme dan Isu-Isu Lokal, USU Press, Medan, 2005. Hlm. 46-47.

Universitas Sumatera Utara

40

pengelolaan rumah sakit, pengadaan dan pengelolaan SDM, sarana dan
prasarana kesehatan sampai pengadaan obat menjadi tanggung jawab
Bupati/Walikota. Disinilah kesempatan untuk korupsi. 63

Ad. 2c. Kesenjangan Antar Daerah
Tidak dapat dipungkiri bahwa tiap-tiap daerah di Indonesia pastilah
mempunyai basis sumber daya dan level ekonomi pembangunan yang berbedabeda. Kondisi perbedaan ini juga berarti memfasilitasi kesenjangan antar daerah.
Tingkat pelayanan publik yang berbeda-beda di setiap daerah akan membuat
pelayanan akan bergantung dimana warga tersebut kebetulan tinggal.
Sebagai perbandingan, dengan sentralisasi perencanaan pembangunan
nasional, Pemerintah Pusat bisa memajukan kesetaraan nasional dengan
penekanan yang kuat terhadap pembangunan di daerah-daerah yang kurang
berkembang.
Ad. 2d. Pengingkaran Terhadap Demokrasi
Pelaksanaan demokrasi sebagai konsep bangsa Indonesia mencapai titik
kristal saat Soekarno menyampaikan pemikirannya tentang “Geo Politik” di depan
BPUPKI, antara lain berisi :
“Kita hendak mendirikan sebuah negara “semua buat semua”. Bukan buat
satu orang saja, bukan buat satu golongan saja, baik golongan bangsawan,
maupun golongan kaya, tetapi “semua buat semua”. Maka, yang selalu

63

Hadi Supeno, Korupsi di Daerah : Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan, Total Media,
Yogyakarta, 2009. Hlm. 130-131.

Universitas Sumatera Utara

41

mendengung di hati saya, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam
Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun
lebih, ialah : dasar pertama yang bisa dijadikan dasar buat negara
Indonesia adalah dasar kebangsaan. Dan syarat mutlak untuk kuatnya
negara Indonesia adalah demokrasi.” 64
Orde baru sendiri pun, sebenarnya sejak semula berkehendak ingin
menciptakan suatu iklim demokrasi yang sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD
1945, namun yang terjadi justru pengingkaran demokrasi karena dalam kehidupan
nyata yang diterapkan adalah sistem pemerintahan yang otoriter, membungkam
rakyat, korup dan demokratis. 65
Meskipun pada dasarnya otonomi daerah ditujukan untuk memperkuat
demokrasi di Indonesia, tetapi dengan otonomi daerah juga dimungkinkan akan
lahir eksklusivisme atau struktur kekuasaan monolistik yang hanya memberikan
hak-hak istimewa kepada kelompok elit yang memerintah dan bahkan boleh jadi
menghidupkan kembali feodalisme di daerah. sehingga rakyat dan kepentingannya
sering terabaikan, dikalahkan elitilitas yang ada. 66 Padahal tujuan utama
demokrasi adalah mementingkan rakyat banyak, bukan penguasa.
Selain daripada dampak yang diungkapkan di atas, menurut B.N.
Marbun,otonomi daerah dapat menimbulkan eksploitasi secara berlebihan
terhadap SDA. Karena dengan otonomi daerah, daerah diberi keleluasaan untuk
menggali dan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang tersedia di
daerahnya, sementara beberapa daerah masih menngunakan paradigm lama bahwa
64

Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Penerbit Nusamedia, Bandung, 2007. Hlm. 57.
Ibid. Hlm.65.
66
J. Kaloh, Op.Cit. Hlm. 111.
65

Universitas Sumatera Utara

42

PAD adalah segala-galanya dan merupakan faktor utama yang sangat menentukan
dalam pelaksanaan otonomi daerah sehingga daerah melakukan eksploitasi secara
besar-besaran yang pada akhirnya berdampak pada kerusakan lingkungan. 67
Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah diharapkan
terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya sebagaimana
tuntutan alam demokrasi. Jika tidak demikian, akan tetap muncul hubungan antara
pemerintahan daerah dengan masyarakatnya seperti dalam sistem sentralisasi. Dan
keadaannya adalah kemandirian dan tingkat keprakarsaan masyarakat di Indonesia
masih sangat minim. Muncul kekhawatiran sistem otonomi daerah justru akan
menimbulkan otoriterianisme atau tidak demokratis. 68
Dengan pemberlakuan konsep otonomi daerah di Indonesia, daerah yang
kaya SDA akan lebih cepat berkembang, sedangkan daerah yang miskin sumber
daya alamnya akan semakin lambat untuk berkembang. 69
Sedangkan menurut Penulis sendiri, dengan otonomi daerah maka
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi lebih tepat
sasaran, karena Pemerintah Daerah tentu lebih mengerti keadaan dan situasi
daerahnya dibandingkan Pemerintah Pusat. Selain itu, pemerintah juga akan lebih
cepat mengambil kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu saat itu, tanpa harus
melewati prosedur di tingkat pusat. Akan tetapi otonomi daerah juga berpotensi
besar meningkatkan angka KKN di negeri ini, karena dengan otonomi daerah
dana yang diperoleh lebih banyak dibandingkan yang didapat melalui jalur
birokrasi dari Pemerintah Pusat.
67

B.N. Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005. Hlm.8.
Hari Sabarno, Op.Cit. Lihat Kata Pengantar dari Jimly Asshiddie.
69
www.ilmuekonomi.net/2015/12/dampak-positif-dan-negatif-otonomi-daerah.html?m=1
68

Universitas Sumatera Utara

43

Universitas Sumatera Utara