Penyusunan Agenda Isu Pemekaran Daerah Kabupaten Labuhanbatu

(1)

PENYUSUNAN AGENDA ISU PEMEKARAN DAERAH

KABUPATEN LABUHANBATU

T E S I S

OLEH :

KHAIRUL FAHMI LUBIS

057024012/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

PENYUSUNAN AGENDA ISU PEMEKARAN DAERAH

KABUPATEN LABUHANBATU

T E S I S

Untuk memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP)

Program Studi Pembangunan

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH :

KHAIRUL FAHMI LUBIS

057024012/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Judul Tesis : PENYUSUNAN AGENDA ISU PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN LABUHANBATU

Nama Mahasiswa : KHAIRUL FAHMI LUBIS

Nomor Induk Mahasiswa :

057024012

Program Studi

: Studi Pembangunan

Menyetujui,

Komisi Pembimbing :

Anggota,

Ketua,

Drs.M.Husni Thamrin Nst,M.Si

Drs.M.Ridwan Rangkuti,MA

Ketua Program Studi,

Direktur SPs USU,

Subhilhar, MA, Ph.D

Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,M.Sc

(NIP.131 754 528) (NIP. 130 535 852)


(4)

Telah diuji pada

tanggal 30 Juli 2007

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Drs. M. Ridwan Rangkuti, MA Anggota : Drs. M. Husni Thamrin Nst, M.Si

Drs. Burhanuddin Hrp, MA Drs. Kariono, MA


(5)

PERNYATAAN

PENYUSUNAN AGENDA ISU PEMEKARAN DAERAH

KABUPATEN LABUHANBATU

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat

karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan

di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga

tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2007

(Khairul Fahmi Lubis)

NIM : 057024012/SP


(6)

ABSTRAK

Pemekaran daerah merupakan wujud dari konsep desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi dalam hal ini dalam bentuk devolusi (desentralisasi politik), yaitu bentuk desentralisasi yang paling utuh dengan memperkuat atau menciptakan level unit-unit pemerintahan independen, di mana devolusi mencerminkan pembebasan atau pelepasan fungsi-fungsi oleh pemerintah pusat dan menciptakan unit-unit baru pemerintahan diluar kontrol wewenang pusat. Pemekaran daerah merupakan implikasi (dampak) dari sistem sentralistik yang terjadi pada masa pemerintahan orde baru, di mana pada saat itu daerah-daerah merasakan sangat dirugikan dari sistem sentralistik. Saat ini setelah konsep otonomi daerah diberlakukan, maka daerah-daerah yang merasa pembangunan di daerahnya masih tertinggal, tentunya akan menginginkan adanya pemekaran daerah. Pemekaran daerah terjadi karena adanya ketimpangan-ketimpangan pembangunan dan tidak meratanya sektor-sektor pembangunan disemua wilayah, sementara potensi wilayah memungkinkan untuk dikembangkan atau digali sebagai sumber-sumber penghasilan pembangunan. Seiring dengan banyaknya bermunculan Kabupaten yang baru di Sumatera Utara yang merupakan hasil pemekaran, tentunya Kabupaten lain yang merasa mempunyai potensi juga menginginkan adanya pemekaran daerah. Kabupaten yang sudah menjadi “daftar tunggu” untuk dimekarkan yaitu Kabupaten Labuhanbatu.

Adapun Pemekaran yang dimaksud adalah menjadikan Labuhanbatu menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu Labuhanbatu Utara yang berkedudukan di Membang Muda dengan ibukota Aek Kanopan terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan: Kualuh Hulu, Kualuh Hilir, Kualuh Selatan, Kualuh Leidong, Aek Natas, Na IX-X, dan Merbau; Labuhanbatu Selatan berkedudukan di Kotapinang dengan Ibukota Kotapinang, terdiri dari 5 (lima) kecamatan : Kotapinang, Silangkitang, Torgamba, Sei Kanan, dan Kampung Rakyat. Labuhanbatu (Induk) dengan ibukota Rantauprapat terdiri dari 9 (sembilan) Kecamatan, yaitu : Rantau Utara, Rantau Selatan, Bilah Barat, Bilah Hulu, Pangkatan, Panai Hulu, Panai Tengah, Bilah Hilir, dan Panai Hilir.

Awal munculnya isu pemekaran ini dimulai dari adanya problem isu di tengah-tengah masyarakat. Adapun problem isu di sini, masyarakat Labuhanbatu mempunyai anggapan adanya kejenuhan terhadap pemerintah daerah, di samping itu masyarakat menginginkan adanya suatu perubahan yang dapat menyentuh aspek sosial dan pembangunan di daerah mereka dan adanya kecemburuan sosial dari masyarakat Labuhanbatu terhadap daerah-daerah yang sudah dimekarkan. Karena masyarakat menilai aspek kewilayahan dan potensi dari Kabupaten Labuhanbatu sudah sangat layak untuk dimekarkan dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang luas wilayahnya kecil tapi bisa dimekarkan. Problem isu inilah yang akhirnya berkembang menjadi isu publik, isu publik ini ditandai dengan adanya aspirasi-aspirasi masyarakat yang ada di Kabupaten Labuhanbatu, khususnya calon daerah yang akan dimekarkan. Masyarakat di daerah tersebut menilai bahwa pembangunan yang mereka rasakan didaerahnya masih jauh tertinggal dengan daerah lain yang ada di Sumatera Utara, sehingga isu ini mula-mula merupakan ketidakpuasan terhadap pembangunan dan pemerataan. Tidak heran isu ini menjadi bak bola salju yang kian menggelinding khususnya dalam zona politik lokal pasca pemilihan kepala daerah


(7)

(Pilkada). Aspirasi dari masyarakat tersebut segera diakomodir oleh kelompok-kelompok kepentingan yang ada di masyarakat

Penelitian yang dilakukan ini mengunakan metode deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif dan yang menjadi informannya adalah orang-orang yang terlibat dalam memunculkan isu pemekaran di Labuhanbatu, baik dari kalangan Ormas , orang-orang yang ada di Partai Politik dan pembuat kebijakan (Pemda Labuhanbatu dan DPRD Labuhanbatu). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan penelitian lapangan, yang terdiri dari observasi yaitu dengan melakukan pengamatan langsung mengenai gejala-gejala yang terjadi dilapangan nyang berhubungan dengan objek penelitian. Setelah itu melakukan wawancara mendalam dengan mengadakan tanya jawab secara terbuka dengan informan tentang objek permasalahan yang diteliti. Disamping itu juga menggunakan penelitian studi kepustakaan, yaitu mempelajari data primer dan skunder seperti, buku- buku, jurnal ilmiah, dokumen–dokumen laporan, risalah, surat kabar dan internet.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa isu pemekaran daerah Labuhanbatu berangkat dari adanya isu publik yang ditandai dengan banyaknya aspirasi dari masyarakat Labuhanbatu yang menginginkan pemekaran Kabupaten Labuhanbatu. Adapun aspirasi tersebut dijembatani oleh Ormas-Ormas yang ada di Kabupaten Labuhanbatu dan merasa peduli terhadap terwujudnya pemekaran daerah Labuhanbatu. Aspirasi dari Ormas ini berasal dari masing-masing Kecamatan yang ada di Labuhanbatu, dan dalam spirasi tersebut melibatkan elit-elit lokal yang ada di masing-masing kecamatan, seperti tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh pemuda dan tokoh-tokoh Partai Politik. Setelah isu pemakaran sampai ke DPRD dan Pemda maka secara otomatis isu pemekaran ini menjadi isu agenda dan pembahasan dikalangan DPRD dan Pemda. Tindak lanjut yang diambil oleh DPRD, yaitu melakukan sidang paripurna untuk mendengarkan tanggapan dari anggota DPRD dan pembentukan Panitia khusus (Pansus) pemekaran Kabupaten Labuhanbatu. Sementara itu dikalangan Pemda, setelah isu pemekaran sampai ke Pemda, pihak eksekutif ini juga melakukan tindak lanjutnya yaitu dengan membentuk Tim Sosialisasi tentang isu pemekaran Labuhanbatu ke 22 (dua puluh dua) Kecamatan yang ada di Labuhanbatu dan membentuk Tim Pengkajian Pemekaran Labuhanbatu yang melibatkan para Akademisi yang berkompeten. Setelah tahapan-tahapan diatas terlaksana, maka DPRD Labuhanbatu melakukan sidang paripurna tahap ke- II untuk mendengarkan tanggapan dari masing-masing Fraksi dan hasil kerja pansus pemekaran. Hasil dari sidang paripurna tersebut keluarlah sebuah keputusan politik yaitu adanya persetujuan DPRD Kabupaten Labuhanbatu terhadap pemekaran Kabupaten Labuhanbatu menjadi 3 (tiga) Kabupaten. Selanjutnya langkah Pemda setelah keluarnya persetujuan DPRD Kabupaten Labuhanbatu, maka pihak Pemda membentuk Panitia pendukung Proses Percepatan Pemekaran Kabupaten Labuhanbatu. Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan di atas dan berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan, maka dapat terlihat adanya interaksi antara Ormas, Partai Politik, dan pembuat kebijakan (DPRD dan Pemda) terhadap isu pemekaran Kabupaten Labuhanbatu. Karena dari hasil interaksi tersebut lah isu pemekaran yang pada awalnya dari isu publik menjadi isu agenda.

Kata Kunci : Desentralisasi dan otonomi daerah, pemekaran daerah, agenda setting, pendekatan perilaku/behavioralism.


(8)

ABSTRACT

Regional expansion is a realization of decentralization and autonomy concept. Decentralization in this case as devolution type (political decentralization) is the most intact or solid decentralization type by enhancing and creating independent levels of government units, in which devolution reflects the deliberation or delegation of function by Central Government and to create new units of government beyond control of Central Government and to create new units of government beyond control of central government. Regional expansion is implications of centralistic system occurring in reign of Old Order during of which regions felt to be damaged from centralistic system. Recently, following the application of regional autonomy concept, the regions whose developments in their region are still abandoned, will prefer the realization or application of regional expansion. The regional expansion occurs due to discrepancies of development and unequal developmental sectors in all regions, though potential of region are feasible for development or encouraging as source of development revenue. To consider a growing number of new District in North Sumatera as product of expansion, of course another districts with sufficient or abundant potency will also require the regional expansion. The district in “pending list” for expansion is District of Labuhanbatu.

The expansion intended is to make Labuhanbatu three parts, i.e., : North Labuhanbatu in Membang Muda by Aek Kanopan as capital town consisting of eight sub-districts : Kualuh Hulu, Kualuh Hilir, Kualuh Selatan, Kualuh Leidong, Aek Natas, Na IX-X, and Merbau; South Labuhanbatu in Kotapinang by Kotapinang as capital town, consisting of five sub districts : Kotapinang, Silangkitang, Torgamba, Sei Kanan, and Kampung Rakyat. Labuhanbatu (center) by Rantauprapat as capital town consisting of nine sub-districts, i.e., : Rantau Utara, Rantau Selatan, Bilah Barat, Bilah Hulu, Pangkatan, Panai Hulu, Panai Tengah, Bilah Hilir, and Panai Hilir.

The initiative of this expansion issue was the presence of problems among community. The problem here is that people of Labuhanbatu assumed that there was saturation against Regional Government. In addition, people require a significant change to touch social aspect and development in their regions and there is a social discrepancy (jealousy) among Labuhanbatu community against the expanded regions. People consider that aspect of authority and potency of Labuhanbatu district deserve for expansion compared to another regions of relative small and narrow authority, but then enjoy the expansion. It is the problem that then develops to a public issue, it is evident by the wide aspirations of peoples living in district of Labuhanbatu, particularly the peoples from prospective region of expansion. The peoples assume that the development they enjoy in their regions is still far lagged behind to another regions in North Sumatera, thus initially this issue is a reflection of dissatisfaction against development and distribution. It is not then surprisingly that this issue changes to snowball in progressive rolling particularly in local political zone post-election of regional chief (Pilkada). The aspiration of people is accommodated immediately by interest groups among community.


(9)

This research uses analytical descriptive method by qualitative approach and the informant is those who are involved in emerging this expansion issue in Labuhanbatu, either from local people organizations , those who are involve in political faction and policy maker (Regional Development Board of Labuhanbatu and House Representative of Labuhanbatu). The technic of collecting data in this research is a field observation, i.e., by conducting a direct observation in site regarding the real symptoms related to object of research. And then it is followed by a deeply interview through an open-ask-and-answer with informants related to object of problem in research. In addition, there is also a library research to study both primary and secondary data such as books, scientific journals, documents, reports, treatises, newspapers and internet.

The result of research indicates that the expansion issue of Labuhanbatu region stands on public issue evident by wide aspirations of peoples in Labuhanbatu who want immediately the realization of Labuhanbatu District’s expansion. The aspiration is expressed representatively by local people organizations in district of Labuhanbatu and through encouragement for realization of regional expansion in Labuhanbatu. The aspirations of local people organization come from each sub district of Labuhanbatu, and in the aspiration they involve local elites from each sub district, including : people figure, religious people (figure), youth and political faction. Once expansion issue came to House Representative and Regional Development Board. The follow-up taken by House Representative is to perform a plenary session to hear the opinions of House Representative members of Labuhanbatu and formation of ad hoc Committee for District Expansion of Labuhanbatu. Mean while among Regional Development Boards, once the issue of expansion came to the boards, this executive side also made a follow-up by assigning Socialization Team about expansion issue of Labuhanbatu to twenty-two sub districts in Labuhanbatu and to assign an Assessment Team on Labuhanbatu expansion involving academics as well. After phases above are implemented, then House Representative of Labuhanbatu performed second-phase plenary session to her the opinions from each faction and performance of ad hoc Committee for Expansion. The plenary session has produced a political decision, i.e., the approval of House Representative Labuhanbatu on expansion of Labuhanbatu district to become three (3) districts. And the next step of Representative House Labuhanbatu district, the Regional Development Board forms a Supportive Committee on Accelerating Process of Labuhanbatu district expansion. Based on discussion presented above and the result of interview the writer conducted, it can be seen that there is interaction among Local People Organization, political faction, and policy maker (House Representative and Regional Development Board) on expansion issue of Labuhanbatu district. It is from the result of interaction that expansion issue initially emerging from public issue has changed into agenda issue.

Key word : Decentralization or regional autonomy, regional expansion, agenda setting, behavioralism approach.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis sanjungkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai suatu syarat untuk memperoleh gelar Magister Studi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul tesis ini adalah “Penyusunan Agenda Isu Pemekaran Daerah Kabupaten Labuhanbatu”.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis mendapat banyak bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik yang secara langsung membimbing penulisan tesis ini maupun secara tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., SPA (K), Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B.M.Sc. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Subhilhar, MA, Ph.D Ketua Program Studi Magister Pembangunan. 4. Bapak Drs. M. Ridwan Rangkuti, MA, sebagai Ketua Komisi Pembimbing

yang telah memberikan banyak arahan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.

5. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nst, M.Si, Anggota Komisi Pembimbing yang penuh perhatian dan kesabarannya memberikan bimbingan pada penulis.


(11)

6. Bapak dan Ibu dosen serta staf pengajar Magister Studi Pembagunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bekal ilmu serta kelancaran dalam proses penyusunan dan penyelesaian tesis ini.

7. Bapak Sekwan DPRD Kabupaten Labuhanbatu beserta seluruh staf yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data untuk penulisan ini. 8. Seluruh teman-teman angkatan VII Program Magister Studi Pembangunan. 9. Untuk adik-ku Leli Hasanah Lubis, terima kasih atas dukungannya selama ini. 10. Teristimewa, kepada Ayahanda dan Ibunda yang dengan susah payah

membesarkan, mendidik, dan membiayai pendidikan penulis.

Semoga segala bantuan mereka menjadi amal sholeh dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT dan kiranya tetap mendapat taufik dan hidayah Allah Subhanauwata ala, amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Juli 2007

Penulis,

Khairul Fahmi Lubis NIM : 057024012


(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA : KHAIRUL FAHMI LUBIS

NIM : 057024012

TEMPAT/TANGGAL LAHIR : RANTAU PRAPAT/28 JULI 1982

JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI

AGAMA : ISLAM

STATUS : BELUM KAWIN

KEBANGSAAN : INDONESIA

PEKERJAAN : WIRASWASTA

ALAMAT RUMAH : JL. SIRANDORUNG NO. 04

RANTAU PRAPAT

JL. TURI GG.UISU NO. 4 TELADAN BARAT MEDAN NAMA ORANG TUA

AYAH : HASANUDDIN LUBIS

IBU : KHOLIDAH

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1995 : Lulus Pendidikan Sekolah Dasar, pada SD 112143 di Rantau Prapat

Tahun 1998 : Lulus Pendidikan Sekolah Menengah Pertama, pada MTsN Rantau Prapat, di Rantau Prapat

Tahun 2001 : Lulus Pendidikan Sekolah Menengah Atas, pada SMU Negeri 1 di Rantau Prapat

Tahun 2005 : Lulus Pendidikan S-1, pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Sumatera Utara di Medan

Tahun 2007 : Lulus Pendidikan Pasca Sarjana Magister Studi Pembangunan pada Sekolah Pasca Sarja Universitas Sumatera Utara di Medan Demikian Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenarnya, apabila dikemudian hari ditemukan keterangan atau informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan, saya bersedia dituntut sesuai hukum yang berlaku.

Medan, Juli 2007


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.4. Kerangka Teori/Kerangka Pemikiran ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Desentralisasi dan Otonomi Daerah ... 13

2.1.1. Desentralisasi ... 13

2.1.1.1.Nilai-Nilai Desentralisasi ... 16

2.1.1.2.Esensi Desentralisasi ... 18

2.1.2. Otonomi Daerah ... 20

2.1.3. Desentralisasi dan Pemekaran Daerah ... 24

2.2. Isu Menjadi Agenda ... 30


(14)

2.3. Kelompok Kepentingan, Partai Politik dan

Pembuat Kebijakan (Pendekatan Prilaku/Behavioralism) ... 34

2.3.1. Kelompok Kepentingan ... 34

2.3.1.1.Peran Lobby bagi Kelompok Kepentingan ... 37

2.3.2. Partai Politik ... 40

2.3.3. Pembuat Kebijakan (Policy Makers) ... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

3.1. Jenis Penelitian ... 44

3.2. Definisi Konsep ... 44

3.3. Informan ... 46

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 46

3.5. Lokasi Penelitian ... 47

3.6. Analisis Data ... 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 48

4.1.1. Sejarah Kabupaten Labuhanbatu ... 48

4.1.2. Deskripsi Daerah Kabupaten Labuhanbatu ... 51

4.2. Analisis Data Terhadap Hasil Penelitian... 59

4.2.1. Analisis Terhadap Aspirasi OrmasYang Menginginkan Pemekaran Kabupaten Labuhanbatu... 64

4.2.2. Analisis Terhadap Tanggapan DPRD Kabupaten Labuhanbatu Tentang Isu Pemekaran Kabupaten Labuhanbatu... 87


(15)

4.2.3. Analisis Terhadap Penjelasan Operasional Keputusan Bupati Labuhanbatu Tentang Isu Pemekaran

Kabupaten Labuhanbatu ... 102

4.2.4. Tahapan-Tahapan Isu Publik Menjadi Isu Agenda Mengenai Pemekaran Kabupaten Labuhanbatu... 106

4.2.5. Interaksi Antara Ormas, Partai Politik dan Pembuat Kebijakan Tentang isu Pemekaran Kabupaten Labuhanbatu ... 111

BAB V PENUTUP ... 116

5.1. KESIMPULAN ... 116

5.2. SARAN ... 118 DAFTAR PUSTAKA


(16)

DAFTAR TABEL

No Tabel Judul Tabel Halaman

4.1.2.1 Tabel Luas Masing-Masing Kecamatan di Labuhanbatu... 52

4.1.2.2 Tabel Jumlah Desa/Kelurahan di Labuhanbatu ... 54

4.1.2.3 Tabel Jumlah Penduduk Di Kabupaten Labuhanbatu... 56

4.1.2.4 Tabel Jumlah Penganut Agama di Kabupaten Labuhanbatu ... 57

4.1.2.5 Tabel Jumlah Mata Pencaharian Penduduk di Kabupaten Labuhanbatu ... 58

4.2.1.1 Matrik Aspirasi Masyarakat Yang Menginginkan Pemekaran Kabupaten Labuhanbatu ... 59

4.2.1.2 Tabel Daftar Ormas dan Aktor Pemekaran Kabupaten Labuhanbatu ... 73

4.2.1.3 Matrik Tanggapan Anggota DPRD Kabupaten Labuhanbatu Yang Menginginkan Pemekaran Kabupaten Labuhanbatu ... 78

4.2.1.4 Matrik Tanggapan Fraksi DPRD Kabupaten Labuhanbatu Tentang Pemekaran Kabupaten Labuhanbatu ... 83

4.2.1.5 Daftar Nama Anggota DPRD Kabupaten Labuhanbatu Periode 1999 – 2004 ... 92

4.2.1.6 Daftar Nama Anggota DPRD Kabupaten Labuhanbatu Periode 2004 – 2009 ... 94

4.2.1.7 Matrik Penjelasan Operasional Keputusan Bupati Tentang Pemekaran Kabupaten Labuhanbatu ... 98


(17)

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Judul Gambar Halaman 2.1 Skema Masuknya Isu Menjadi Agenda ... 33

2.2 Diagram Saluran Penyampaian Pendapat Dari Rakyat

ke Pemerintah ... 36 4.1 Skema Tahapan-Tahapan Isu Publik Menjadi Isu

Agenda Mengenai Pemekaran Kabupaten Labuhanbatu ... 108 4.2 Bagan Proses Penyusunan Agenda Isu Pemekaran


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejak bergulirnya konsep tentang otonomi daerah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, dan direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, makna dan pemahaman tentang otonomi daerah menjadi semakin berkembang. Konsep tentang otonomi daerah berawal dari konsep desentralisasi, dan sejak bergulirnya otonomi daerah membawa implikasi kepada perubahan sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Desentralisasi merupakan sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintah yang menyangkut pola hubungan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Mekanisme ini mengatur tentang bagaimana pemerintah nasional melimpahkan kewenangan kepada pemerintahan dan masyarakat setempat atau lokal untuk diselenggarakan guna meningkatkan kemaslahatan hidup masyarakat. Bergulirnya otonomi daerah ini memberikan kewenangan dari pemerintah daerah (Tingkat II) akan semakin luas dan nyata, karena campur tangan dari pemerintah pusat sudah tidak terlalu dominan, sehingga dapat dipersentasekan menjadi 70 berbanding 30, kewenangan pemerintah daerah 70 % dan kewenangan pemerintah pusat menjadi 30 %.

Berangkat dari konsep otonomi daerah yang dimulai pada tahun 1999, maka lahir pula konsep tentang pemekaran daerah. Konsep pemekaran daerah tersebut merupakan implikasi (dampak) dari sistem sentralistik yang terjadi pada masa pemerintahan orde baru, dimana pada saat itu daerah-daerah merasakan sangat dirugikan dari sistem sentralistik, karena hasil-hasil pendapatan asli daerah (PAD) dari daerah hampir semuanya di bawa kepusat (Jakarta). Sementara yang


(19)

tertinggal didaerah hanya sekitar 30 %, dengan demikian maka proses percepatan pembangunan didaerah akan sulit terlaksana. Saat ini setelah konsep otonomi daerah diberlakukan, maka daerah-daerah yang merasa pembangunan didaerahnya masih tertinggal, tentunya akan menginginkan pemekaran daerah, baik itu berupa pemekaran Propinsi, pemekaran Kabupaten/Kota, pemekaran Kecamatan, bahkan sampai pada pemekaran Desa/Kelurahan. Tentunya dengan pemekaran daerah tersebut diharapkan agar percepatan pembangunan dalam segala aspek, seperti aspek fisik (infrastruktur), aspek ekonomi, aspek sosial dan budaya dan aspek pelayanan publik dapat menjadi lebih baik dari sebelum terjadinya pemekaran daerah dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat didaerah hasil pemekaran serta mengurangi tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran.

Pemekaran daerah terjadi karena adanya ketimpangan-ketimpangan pembangunan dan tidak meratanya sektor-sektor pembangunan disemua wilayah, sementara potensi wilayah memungkinkan untuk dikembangkan atau digali sebagai sumber-sumber penghasilan pembangunan. Pemekaran daerah yang telah terjadi di Indonesia semenjak era reformasi, jumlahnya sudah menunjukkan angka yang cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dengan bertambahnya jumlah Propinsi di Indonesia, dan jumlah Propinsi yang ada sekarang sudah berjumlah 33 (tiga puluh tiga) Propinsi. Tentunya jumlah Kabupaten/Kota juga telah bertambah dimasing-masing Propinsi. Konsep pemekaran ini berangkat dari undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dan didalam undang-undang ini mengatur tentang adanya otonomi yang luas bagi daerah yaitu dengan jalan penggabungan beberapa daerah menjadi satu dan pemisahan suatu daerah dari daerah induknya (pemekaran wilayah). Menyikapi undang-undang Nomor 22 tahun 1999 ini pemerintah juga


(20)

mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 tahun 2000 yang mengatur tentang mekanisme penggabungan beberapa daerah menjadi satu dan pemisahan suatu daerah dari daerah induknya (pemekaran wilayah).

Melihat realita pemekaran daerah yang telah terjadi di Indonesia, memang tidak seluruh daerah berhasil dan sukses dalam melaksanakan pemekaran daerah. Masalah-masalah yang muncul antara lain, adanya pertentangan tentang penetapan calon ibukota Kabupaten/Kota didaerah hasil pemekaran tersebut, sehingga mengakibatkan munculnnya konflik yang bernuansa SARA diantara masyarakat setempat, seperti yang terjadi di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Masalah lain yang muncul dari hasil pemekaran yaitu belum siapnya daerah hasil pemekaran melaksanakan percepatan pembangunan seperti yang diharapkan, hal ini disebabkan keterbatasan anggaran yang dimiliki daerah induk dalam membantu daerah pemekarannya. Disamping itu juga dipengaruhi oleh faktor sumber daya manusia (SDM) dikalangan para pengambil kebijakan dan masyarakat didaerah hasil hasil pemekaran. Faktor SDM ini sangat berpengaruh besar dalam melaksanakan percepatan pembangunan yang dicita-citakan sebelum terjadinya pemekaran daerah didaerah tersebut.

Untuk Propinsi Sumatera Utara , pemekaran daerah pertama yang terjadi setelah reformasi yaitu terbentuknya Kabupaten Mandailing Natal (Madina) dan Kabupaten Toba Samosir (Tobasa). Kabupaten Madina merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan, sedangkan Kabupaten Tobasa merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Sampai saat ini telah banyak terjadi proses pemekaran Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara , antara lain : Kabupaten Serdang Bedagai (pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang),


(21)

Kabupaten Pak-Pak Bharat (pemekaran dari Kabupaten Dairi), Kabupaten Samosir (pemekaran dari Kabupaten Tobasa), Kabupaten Humbang Hasundutan (pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara), Kabupaten Nias Selatan (pemekaran dari Kabupaten Nias), dan pemekaran Kabupaten yang terakhir terwujud di Sumatera Utara yaitu munculnya Kabupaten Batu Bara (pemekaran dari Kabupaten Asahan), Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara (pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan).

Seiring dengan banyaknya bermunculan Kabupaten baru di Sumatera Utara yang merupakan hasil pemekaran, tentunya Kabupaten lain yang merasa mempunyai potensi juga menginginkan untuk terjadinya pemekaran. Kabupaten yang sudah menjadi “daftar tunggu” untuk dimekarkan yaitu Kabupaten Labuhanbatu. Adapun Pemekaran yang dimaksud adalah menjadikan Labuhanbatu menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu Labuhanbatu Utara yang berkedudukan di Membang Muda dengan ibukota Aek Kanopan terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan : Kualuh Hulu, Kualuh Hilir, Kualuh Selatan, Kualuh Leidong, Aek Natas, Na IX-X, dan Merbau; Labuhanbatu Selatan berkedudukan di Kotapinang dengan Ibukota Kotapinang, terdiri dari 5 (lima) Kecamatan : Kotapinang, Silangkitang, Torgamba, Sei Kanan, dan Kampung Rakyat. Labuhanbatu (Induk) dengan ibukota Rantauprapat terdiri dari 9 (sembilan) Kecamatan, yaitu : Rantau Utara, Rantau Selatan, Bilah Barat, Bilah Hulu, Pangkatan, Panai Hulu, Panai Tengah, Bilah Hilir, dan Panai Hilir.

Secara teoritis, pemekaran daerah dimulai dari adanya problem isu ditengah tengah masyarakat. Problem isu ini yaitu masyarakat Labuhanbatu mempunyai anggapan adanya kejenuhan terhadap Pemeritah Daerah dan


(22)

masyarakat menginginkan adanya suatu perubahan yang dapat menyentuh aspek sosial dan pembangunan didaerah mereka, disamping itu adanya kecemburuan sosial dari masyarakat Labuhanbatu terhadap daerah daerah yang sudah dimekarkan. Masyarakat Labuhanbatu menilai aspek kewilayahan dan potensi dari Kabupaten Labuhanbatu sudah sangat layak untuk dimekarkan dibandingkan dengan daerah daerah lain yang luas wilayahnya kecil tapi bisa dimekarkan. Problem isu inilah yang akhirnya berkembang menjadi isu publik, dan isu publik ini ditandai dengan adanya aspirasi-aspirasi dari masyarakat dan aspirasi ini diusung oleh kelompok-kelompok kepentingan yang ada di Kabupaten Labuhanbatu maupun kelompok-kelompok kepentingan yang berada diluar Kabupaten Labuhanbatu (perantauan). Kelompok-kelompok kepentingan ini berupa organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang peduli terhadap adanya pemekaran daerah. Setelah isu publik tersebut diangkat kepermukaan, maka isu pemekaran daerah menjadi isu agenda. Pada tahap isu agenda ini melibatkan interaksi antara 3 (tiga) lembaga yaitu kelompok-kelompok kepentingan (Ormas), Partai Politik dan Pembuat Kebijakan (DPRD dan Pemda). Melalui hasil interaksi ketiga lembaga tersebut maka secara bertahap dan melalui beberapa proses , maka dikeluarkanlah keputusan politik oleh pembuat kebijakan yang ada di Kabupaten Labuhanbatu. Keputusan politik ini ditandai dengan adanya surat keputusan dari DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang memberikan persetujuan terhadap pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Utara , Kabupaten Labuhanbatu Selatan, dan Kabupaten Labuhanbatu (induk). Sehingga dengan adanya surat keputusan dari DPRD Kabupaten Labuhanbatu tentang persetujuan pembentukan 3 (tiga)


(23)

Kabupaten, tentunya hal ini menandai bahwa isu pemekaran Labuhanbatu sudah menjadi isu agenda.

Secara umum proses munculnya isu pemekaran daerah di Labuhanbatu telah berlangsung cukup lama yaitu sekitar tahun 2003, tetapi wujud nyata dan realisasinya baru terdengar dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini. Hal ini ditandai dengan keluarnya surat ketua DPRD Kabupaten Labuhanbatu tertanggal 11 maret 2003 tentang pemekaran Kabupaten Labuhanbatu. Keluarnya surat ketua DPRD Kabupaten Labuhanbatu tersebut merupakan tindak lanjut dari adanya surat dukungan pemekaran dari Forum Komunikasi Partai Politik (FKPP) Kecamatan Kota Pinang tertanggal 03 februari 2003 tentang pernyataan dukungan pemekaran Kabupaten Labuhanbatu dan surat dukungan pemekaran Labuhanbatu tertanggal 11 februari 2003 dari masyarakat Kecamatan Kualuh Hulu, Kualuh Hilir, Kualuh Selatan, Aek Natas, Na IX-X. Berdasarkan dukungan pemekaran Kabupaten Labuhanbatu yang berasal dari masyarakat Kecamatan Panai Hilir, maka dikeluarkanlah surat DPRD Kabupaten Labuhanbatu tanggal 24 maret 2003 tentang pemekaran Kabupaten Labuhanbatu. Sehingga pada tanggal 08 mei 2003 dikeluarkanlah surat DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang ditujukan kepada Bupati Labuhanbatu agar segera melakukan penelitian awal tentang pemekaran.

Awal munculnya isu pemekaran ini berawal dari aspirasi-aspirasi masyarakat yang ada di Kabupaten Labuhanbatu, khususnya calon daerah yang akan dimekarkan. Masyarakat didaerah tersebut menilai bahwa pembangunan yang mereka rasakan didaerahnya masih jauh tertinggal dengan daerah lain yang ada di Sumatera Utara, sehingga isu ini mula-mula merupakan ketidakpuasan terhadap pembangunan dan pemeratan. Tidak heran isu ini menjadi bak bola salju


(24)

yang kian menggelinding khususnya dalam zona politik lokal pasca pemilihan kepala daerah (Pilkada). Aspirasi dari masyarakat tersebut segera diakomodir oleh kelompok-kelompok kepentingan yang ada di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan ini berasal dari beberapa elemen masyarakat, antara lain : kalangan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama yang ada didaerah Labuhanbatu maupun yan berada diluar daerah Labuhanbatu (perantauan), kelompok-kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), partai politik, dan organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang ada di Labuhanbatu, kelompok-kelompok pengusaha (bisnis), dan kelompok mahasiswa yang berasal dari Labuhanbatu, baik yang ada didaerah Labuhanbatu maupun mahasiswa Labuhanbatu yang ada diperantauan. Disamping itu juga melibatkan kelompok komunitas masyarakat Labuhanbatu yang ada di perantauan, seperti Ikatan Keluarga Labuhanbatu (IKLAB).

Tahapan dan langkah pemekaran dimulai dari semangat reformasi yang menghendaki percepatan pelayanan masyarakat dalam rangka mensejahterakan masyarakat, dan didorong keberhasilan pemekaran sejumlah daerah di seantero Indonesia, maka pelan tapi pasti segera bermunculan ide-ide pemekaran dari tokoh-tokoh masyarakat Labuhanbatu baik yang ada di daerah-daerah, maupun yang ada di perantauan. Khusus yang ada di perantauan ide pemekaran ini dipelopori oleh IKLAB (Ikatan Keluarga Labuhanbatu) Medan dan sekitarnya. Dari sana dibentuklah Tim Pengkajian Pemekaran Labuhanbatu, gaung ide baik dan cerdas tersebut merebak dan memperoleh antusias yang luar biasa dari masyarakat. Dari pengkajian serius dan niat baik warga tersebut, meski terkesan lambat tapi secara pasti diperoleh sejumlah titik terang seperti : dibentuknya tim


(25)

pemekaran oleh sejumlah tokoh masyarakat dari daerah-daerah dan dibentuknya tim pemekaran oleh Pemkab untuk mengakomodir keinginan masyarakat luas. Dengan dibentuknya tim sosialisasi persyaratan dan kriteria pemekaran Kabupaten Labuhanbatu dengan keputusan Bupati No. 180/85/Hukum Tanggal 8 Mei 2003. Selanjutnya dibentuk Tim Pengkajian Pemekaran Kabupaten Labuhanbatu berdasar keputusan Bupati No. 135/1174/PEM tanggal 9 Desember 2004 dan dirobah berdasar keputusan Bupati No. 135/1236/PEM tanggal 31 Desember 2004.

Berdasarkan surat-surat dukungan yang berasal dari masyarakat yang menginginkan agar pemekaran daerah dapat segera terlaksana, maka hal ini menunjukkan bahwa keinginan masyarakat untuk pemekaran Labuhanbatu sudah sangat kuat. Untuk menindaklanjuti surat-surat dukungan yang berasal dari masyarakat tersebut, maka DPRD Kabupaten Labuhanbatu pada tanggal 31 Oktober 2005 mengadakan rapat paripurna untuk menghasilkan surat keputusan tentang persetujuan DPRD Kabupaten Labuhanbatu terhadap pemekaran Kabupaten Labuhanbatu. Pada hari itu juga akhirnya DPRD Kabupaten Labuhanbatu selesai bersidang dan menghasilkan surat keputusan DPRD Kabupaten Labuhanbatu nomor 63 tahun 2005 tentang persetujan DPRD Kabupaten Labuhanbatu terhadap pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Labuhanbatu (induk). Dari surat keputusan tersebut terdapat dua keputusan, yang pertama keputusan DPRD Kabupaten Labuhanbatu nomor 63 a tahun 2005 tentang penetapan ibukota Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Kedua, keputusan DPRD Kabupaten Labuhanbatu nomor 63 b tahun 2005 tentang


(26)

kesanggupan dukungan dana dari Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu (induk) untuk Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Berdasarkan surat keputusan DPRD Kabupaten Labuhanbatu tersebut maka pihak Pemerintah Daerah juga mengeluarkan surat keputusan Bupati Labuhanbatu tertanggal 01 November 2005 tentang mohon persetujuan pemekaran Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, dan surat tersebut di tujukan kepada Gubernur Sumatera Utara dan ketua DPRD Sumatera Utara.

Proses pemekaran Kabupaten Labuhanbatu juga terus berlanjut di tingkat Propinsi, hal ini ditandai dengan dikeluarkannya keputusan DPRD Sumatera Utara Nomor 1/K/2006 tertanggal 12 januari 2006 tentang persetujuan pemekaran Kabupaten Labuhanbatu. Selanjutnya dikeluarkan juga keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 903/035.K/2006 tertanggal 26 januari 2006 tentang bantuan dalam APBD Propinsi Sumatera Utara bagi calon Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan diwilayah Propinsi Sumatera Utara. Surat Gubernur Sumatera Utara tersebut ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri tertanggal 26 januari 2006 tentang usul pemekaran Kabupaten Labuhanbatu. Usulan pemekaran tersebut hingga saat ini sudah sampai kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan menunggu hasil pembahasan antara Mendagri dan DPR RI dalam memberikan persetujuan untuk terwujudnya pemekaran Kabupaten Labuhanbatu.

Berdasarkan pemaparan singkat diatas, dan untuk mengetahui hal tersebut, maka penulis mengangkat permasalahan ini sebagai judul penelitian,


(27)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diungkapkan diatas. Maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana isu publik menjadi isu agenda kebijakan pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Daerah menyangkut pemekaran daerah Kabupaten Labuhanbatu.

2. Apakah pembentukan isu publik dan isu agenda kebijakan pemekaran daerah sebagai interaksi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), partai politik dan kelompok kepentingan di Kabupaten Labuhanbatu.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain :

1. Untuk menjelaskan isu publik menjadi isu agenda kebijakan pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Daerah menyangkut pemekaran daerah Kabupaten Labuhanbatu.

2. Untuk menjelaskan interaksi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), partai politik dan kelompok kepentingan dalam proses penyusunan agenda isu pemekaran di Kabupaten Labuhanbatu.

Manfaat penelitian ini antara lain :

1. Secara akademis, Dapat memperkaya khasanah pendidikan dan menambah ilmu pengetahuan dibidang disiplin ilmu studi pembangunan, seperti : kebijakan publik, manajemen pembangunan, perencanaan dan strategi pembangunan, politik lokal & desentralisasi, dsb. Disamping itu dapat memberikan pemahaman dan sinergi antara institusi pendidikan tinggi


(28)

dalam melakukan pengkajian ilmiah terhadap konsep pemekaran daerah dengan praktisi di institusi serta praktisi di partai politik dan kelompok kepentingan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap berbagai pihak, terutama Pemerintah, partai politik, kelompok kepentingan dan akademisi tentang konsep pemekaran daerah, proses, implikasi dan dinamikanya dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah hasil pemekaran.

1.4. Kerangka Teori/Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ilmiah, fungsi dari kerangka teori sangat membantu untuk menentukan tujuan dan arah penelitian. Sebagaimana disampaikan oleh (Hadari Nawawi, 1995), kerangka teori disusun sebagai landasan berfikir yang menunjukkan dari sudut mana masalah yang dipilih akan disoroti.

Dengan demikian kerangka teori dalam penelitian ini adalah mengenai Desentralisasi (Devolusi), Otonomi Daerah, Agenda Setting dan Pendekatan Prilaku/Behavioralism:

1. Desentralisasi

Desentralisasi adalah mekanisme penyelenggaraan pemerintah yang menyangkut pola hubungan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal.

• Devolusi adalah kemampuan unit pemerintah yang mandiri dan independent, di sini pemerintah pusat harus melepaskan fungsi-fungsi tertentu untuk menciptakan unit-unit pemerintahan yang baru yang otonom dan berada di luar kontrol langsung pemerintah pusat.


(29)

2. Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3. Agenda setting

Agenda setting dapat diartikan sebagai proses menentukan isu/masalah publik yang akan diagendakan. Pembentukan isu agenda terjadi sebagai akibat dari perluasan isu dari perhatian kelompok tertentu keperhatian publik yang lebih luas. Yakni sekelompok publik yang mengetahui dan tertarik dengan urusan publik dan yang punya pemimpin opini. Akhirnya isu akan mendapat perhatian dari publik secara umum.

4. Kelompok Kepentingan, Partai Politik dan Pembuat Kebijakan (Pendekatan Prilaku/ Behavioralism).

Secara teoritis, sebuah isu/masalah publik dapat diagendakan oleh para pembuat kebijakan jika terdapat interaksi antara kelompok kepentingan, partai politik serta para pembuat kebijakan (Parsons, 2005).

Penyusunan agenda kebijakan dengan melibatkan kelompok kepentingan, partai politik dan para pembuat kebijakan dikenal sebagai pendekatan prilaku (behavioralism).


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Desentralisasi dan Otonomi Daerah 2.1.1. Desentralisasi

Secara etimologi, istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin, de berarti lepas dan centrum berarti pusat. Oleh karena itu, desentralisasi berarti melepaskan dari pusat.

Secara terminologi terdapat beberapa pengertian dan definisi desentralisasi yang dapat disimpulkan dari Joeniarto (1967 : 53), Liang Gie (1968 : 56), UU No. 5 Tahun 1974, Muslimin (1978 : 15), Soejito (1981 : 25), Suryaningrat (1981 : 6-7), Bryan dan White (1982 : 16-161), Amal dan Nasikun (1988 : 10) dan Harris dalam Riwu Kaho (1991 : 6) yaitu : (Dharma, 2004)

1. Pelimpahan wewenang dari pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.

2. Secara administratif diartikan sebagai pemindahan beberapa kekuasaan administratif depertemen pemerintah pusat ke daerah dan dikenal dengan nama “Dekonsentrasi”.

3. Secara politik diartikan sebagai pemberian wewenang pembuatan keputusan dan kontrol terhadap sumber-sumber daya kepada pejabat regional dan lokal dikenal dengan nama “Devolusi”.

4. Ditinjau dari segi privatisasi diartikan sebagai pemindahan tugas-tugas yang bersifat mencari untuk ataupun tidak kepada organisasi sukarela.


(31)

5. Dipahami sebagai delegasi diartikan pemindahan tanggung jawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu kepada organisasi-organisasi yang berada di luar struktur pemerintah pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat

6. Ditinjau dari jabatan diartikan sebagai pemencaran kekuasaan dari atas kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan dengan maksud untuk meningkatkan kelancaran kerja dan termasuk dalam dekonsentrasi juga.

7. Ditinjau dari kenegaraan diartikan sebagai penyerahan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya sebagai usaha untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara. Desentralisasi ini ada dua macam yaitu desentralisasi teritorial (penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri) dan desentralisasi fungsional (pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu).

8. Penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.

Jika dibandingkan dengan pengertian Hukum Administrasi Negara pengertian desentralisasi sebagai delegasi, maka desentralisasi diartikan sama dengan desentralisasi politik atau dekonsentrasi.

Shabbir Chemma dan Rondinelli (1983) dalam Syaukani et al (2002) mengemukakan bahwa desentralisasi adalah suatu teori pemerintahan yang sangat rasional. Paling tidak ada 14 alasan yang dapat dikemukakan, yakni : (Koirudin, 2005)


(32)

1. Desentralisasi ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik.

2. Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur pemahaman pejabat daerah atas pelayanan publik yang diemban.

3. Desentralisasi memberikan fungsi yang dapat meningkatkan pemahaman pejabat daerah atas pelayanan publik yang diemban.

4. Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya penetrasi yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah terpencil, dimana sering rencana Pemerintah tidak dipahami masyarakat setempat atau dihambat oleh elit lokal.

5. Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politk, etnis, keagamaan dalam perencanaan pembangunan.

6. Densentralisasi dapat meningkatkan kemampuan maupun kapasitas pemerintahan serta lembaga privat di daerah.

7. Desentralisasi dapat meningkatkan efesiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi mereka menjalankan tugas rutin.

8. Desentralisasi dapat menyediakan struktur dimana berbagai departemen di Pusat dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah NGOs (Non Government Organizations).

9. Desentralisasi digunakan untuk melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program.

10. Desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan berbagai aktifitas yang dilakukan elit lokal yang kerap tak simpatik dengan program pembangunan.


(33)

11. Desentralisasi dapat mengantarkan pada administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif dan kreatif.

12. Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen memungkinkan pemimpin daerah menetapkan pelayanan secara efektif di tengah masyarakat terisolasi. 13. Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional

dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah. 14. Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal

dengan biaya yang lebih rendah.

Dari berbagai alasan itulah berbagai studi tentang desentralisasi memiliki pekembangan yang cukup pesat. Studi tentang desentralisasi ditujukan untuk mencari upaya-upaya merealisasikan gagasan besar desentralisasi ke dalam pemerintahan yang memiliki ciri spesifik masing-masing.

2.1.1.1. Nilai – Nilai Desentralisasi

Smith (1985) telah mengupas nilai-nilai desentralisasi secara rinci dengan membedakan nilai desentralisasi dari sudut pandang kepentingan pemerintahan Pusat dan dari sistem kepentingan pemerintahan daerah. Bila dilihat dari kepentingan pemerintah pusat/tulis smith ), sedikitnya ada tiga nilai desentralisasi untuk pendidikan politik. Sementara, dari sisi kepentingan pemerintah daerah, nilai pertama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan apa yang disebut Political Equality. Ini berarti, melalui pelaksanaan desentralisasi, diharapkan akan lebih, membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal. (Syarif, 2000).


(34)

Nilai lebih desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintahan daerah adalah Local Accountability. Dalam hal ini terlihat ada sedikit variasi di antara para penulis dalam mengartikulasi istilah Local Accountability itu sendiri. Smith, misalnya, cenderung mengaitkannya dengan ide dasar dari Liberty. Oleh karenanya adalah suatu hal yang logis bila ia percaya melalui pelaksanaan desentralisasi akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya. Pada sisi lain, Ruland (1992) cenderung mengoperasional istilah Local Accountability dalam konteks pembangunan sosial dan ekonomi. Menurut Ruland,

Akuntabilitas dari pemerintah daerah menjadi sangat penting dalam proses pembangunan sosial dan ekonomi. Ini karenanya (hanya) melalui proses pengambilan keputusan oleh para penyelenggara pemerintahan daerah, maka pembagian kekuasaan (antara pusat dan daerah) akan memiliki arti, dan dapat menjamin bahwa tuntutan (dari masyarakat) akan didengar (oleh pemerintah), yang pada akhirnya pelayanan publik pun akan diberikan sesuai dengan kepentingan masyarakat. Lebih jauh dari itu, penyebaran kekuasaan (politik) melalui areal division, dan dengan adanya kepercayaan yang kuat terhadap pemerintah daerah, (maka) akan dapat menjamin (terwujudnya) sebuah pola pembangunan sosial yang dilandasi oleh prinsip perbedaan dalam kesatuan.

Nilai ketiga dari desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintahan daerah adalah local responsiveness. Salah satu asumsi dasar dari nilai desentralisasi yang ketiga ini adalah karena pemerintah daerah dianggap mengetahui lebih banyak tentang berbagai masalah yang dihadapi oleh komunitasnya, maka melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan menjadi jalan yang terbaik untuk mengatasi dan sekaligus meningkatkan akselerasi dari pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.


(35)

2.1.1.2. Esensi Desentralisasi

Bila saja kita coba untuk membuka “selimut” formal dari konsep desentralisasi dengan tidak hanya membatasinya dalam konteks hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, tetapi pada konteks yang lebih luas – State Society Relation akan terlihat dengan jelas bahwasanya hampir semua nilai dari desentralisasi di atas bermuara pada mekanisme hubungan antara ‘Negara dan Masyarakat’ atau ‘penguasa dan yang dikuasai’ dalam proses pemerintahan dan pembangunan.

Sejauh ini,sedikitnya ada 5 (lima) perspektif yang sering digunakan bila bicara tentang pola hubungan state-society di negara-negara sedang berkembang pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya. Pertama, apa yang disebut R.O’G. Anderson (1983) sebagai model state-qua State. Anderson adalah salah satu di antara penulis yang telah menganalisa karakteristik dari State-Society Relation di Indonesia pada masa kolonial dikaitkan dengan karakteristik rezim orde baru.

Berangkat dari asumsi dasar bahwa rezim kolonial hampir secara keseluruhan mengabaikan atau menekan aspirasi (interest) dari masyarakat, Anderson kemudian secara implisit menyimpulkan bahwa pola State-Society Relation pada masa Orde Baru memiliki karakteristik dasar yang sama dengan pola State-Society Relationp pada masa kolonial, yakni : dominannya peran dari State dan hampir diabaikannya peran Society dalam proses pengambilan keputusan (Policy Formulation). Hampir semua kebijaksanaan, tegas Anderson, adalah refleksi dari The State Interest daripada refleksi dari Societed And Extra State Interest telah menggunakan model ini dalam memahami pola State-Society


(36)

Relation di Indonesia. Diantara ‘modifikasi’ yang dilakukan King adalah dengan memasukkan peran dari state corporatism, yaitu unit-unit instrumen (organisasi) yang dibentuk oleh state dengan tujuan untuk meregulasi mekanisme dari partisipasi masyarakat. Menurut King, state-corporation adalah pendekatan yang paling tepat dalam memahami bagaimana Orde Baru telah meregulasi (untuk tidak mengatakan ‘menekan’) partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan (King 1982 : 110-115).

Persepektif yang keempat adalah model Bureaucratic Pluralistic. Persepektif ini telah digunakan oleh Emerson (1983) dalam menganalisa peran dari ‘Birokrat-Militer’ dan ‘Birokrat-Sipil’ dalam proses pengambilan keputusan untuk berbagai kebijaksanaan nasional di Indonesia. Dari hasil analisanya, Emerson kemudian merumuskan beberapa kesimpulan, dua diantaranya yang menarik untuk digaris bawahi adalah :

Perspektif kelima, diberi label oleh Liddle (1987) dengan sebutan Restricted Pluralism Model. Perspektif ini sangat berbeda dengan empat persepektif sebelumnya. Bila empat model yang dikemukakan sebelumnya cenderung bertumpu pada argumen bahwa proses pengambilan keputusan atas kebijaksanaan nasional sangat dimonopoli oleh ‘state actors’, maka Restricted Pluralism model berargumen – memang diakui state-actors memainkan peran utama, namun pada tingkat-tingkat tertentu masih didapat ‘ruangan’ bagi extra state-actor untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan pada tingkat nasional.


(37)

2.1.2. Otonomi Daerah

Penerapan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia adalah melalui pembentukan daerah-daerah otonom. Istilah otonomi sendiri berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu autos (sendiri) dan nomos (peraturan) atau ‘undang-undang’. Oleh karena itu, otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri.

Dalam terminologi ilmu pemerintahan dan hukum administrasi negara, kata otonomi ini sering dihubungkan dengan otonomi daerah dan daerah otonom. Oleh karena itu, akan dibahas pengertian otonomi, otonomi daerah dan daerah otonom.

Otonomi daerah diartikan sebagai pemerintahan sendiri (Muslimin, 1978:16) dan diartikan sebagai kebebasan atas kemandirian, bukan kemerdekaan (Syafrudin, 1985:23), sedangkan otonomi daerah sendiri memiliki beberapa pengertian menurut UU No. 5 tahun 1974, Wayong (1975:74-87), Thoha (1985:27) dan Fernandez (1992:27) yaitu : (Dharma, 2004)

1. Kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus sedaerah dengan kuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri.

2. Pendewasaan politik rakyat lokal dan proses menyejahterakan rakyat.

3. Adanya pemerintahan lebih atas memberikan atau menyerahkan sebagian urusan rumah tangganya kepada pemerintah bawahannya. Sebaliknya pemerintah bawahan yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan tersebut.


(38)

4. Pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dala rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.

Demikian juga daerah otonom memiliki beberapa pengertian, Liang Gie (1968 : 58), Riwu Kaho (1988 : 7), Sujamto (1991 : 88), mendefenisikan daerah otonom sebagai berikut :

1. Daerah yang mempunyai kehidupan sendiri yang tidak bergantung pada satuan organisasi lain.

2. Daerah yang mengemban misi tertentu, yaitu dalam rangka meningkatkan keefektifan dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan didaerah di mana untuk melaksanakan tugas dan kewajiban itu di daerah diberi hak dan wewenang tertentu.

3. Daerah yang memiliki atribut, mempunyai urusan tertentu (urusan rumah tangga daerah) yang diserahkan oleh pemerintah pusat, urusan rumah tangga itu diatur dan diurus atas inisiatif dan kebijakan daerah itu sendiri, memiliki aparat sendiri yang terpisah dari pemerintah pusat, memiliki sumber keuangan sendiri.

Secara sederhana (Mawhood, 1987) mendefenisikan otonomi daerah sebagai a freedom which is assumed by a local government in both making and implementing its own decisions. Dalam konteks Indonesia, otonomi daerah di defenisikan sebagai hak, wewenang, dan tanggung jawab daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. (Syarif, 2000)


(39)

Berbeda dengan defenisi otonomi daerah, defenisi desentralisasi terlihat lebih bervariasi. Mawhood (1987 : 4) , misalnya mendefenisikan desentralisasi sebagai The Devolution of power from central to local government. Sementara Rondinelli dan Cheema (1983 : 18) mendefenisikan desentralisasi sebagai the transfer of planning, decision making, or administrative authority from central government to its field organisation, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisation, local government, or non-government organisation Undang-undang No. 5 tahun 1974 mendefenisikan desentralisasi sebagai penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah sehingga menjadi urusan rumah tangganya.

Ralatif bervariasinya defenisi desentralisasi ini sebenarnya dapat dipahami, karena seperti dikemukakan Dina Conyer (1983 : 99), pada awal tahun 1970-an perhatian terhadap studi desentralisasi semaking meningkat. Sejak saat itu bidang kajian ini tidak lagi dimonopoli oleh disiplin ilmu politik dan administrasi negara, tetapi telah menjadi objek kajian disiplin ilmu lain, seperti ilmu ekonomi dan antropologi. Sebagai salah satu konsekuensi logis dari kecenderungan ini, desentralisasi pun telah didefenisikan tidak saja berdasarkan disiplin ilmu, tetapi juga harus berdasarkan kepentingan dari institusi yang melakukan kajian. Pada konteks inilah, kita harus menghargai relatifitas sebuah defenisi, atau seperti di tegaskan oleh Mawhood (1987 : 2), A Defenition, Lika A Theoritical Model, Is Adopted Not Because It Is True But Because It Is Useful.

Dari beberapa pengertian tentang otonomi, otonomi daerah, dan daerah otonom di atas, disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :


(40)

1. Tujuan yang hedak dicapai dalam pemberian otonomi kepada daerah adalah meningkatkan daya guna hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, di mana pelimpahan kewenangan oleh pemerintah pusat kepada daerah mengandung konsekuensi yang berupa hak, wewenang, dan kewajiban bagi rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini daerah benar-benar dituntut agar mandiri dalam menunjukkan kemampuannya sehingga secara berangsur-angsur semakin kecil ketergantugannya kepada pemerintahan pusat.

2. Dalam penyerahan otonomi kepada daerah, harus dilihat kemampuan riil daerah tersebut atau dengan kata lain setiap penambahan urusan kepada daerah (pengembangan otonomi daerah secara horizontal) harus mampu memperhitungkan sumber-sumber pembiayaan atau kemampuan riil daerah. 3. Bahwa dalam mengatur dan menyelenggarakan urusan rumah tangga daerah,

pada prinsipnya daerah harus mampu membiayai sendiri kebutuhannya dengan mengandalkan kemampuan sendiri atau mengurangi ketergantungan ke pemerintah pusat.

4. Pada dasarnya otonomi daerah adalah urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah untuk diselenggarakan menjadi urusan rumah tangga daerah.

5. Bahwa desentralisasi merupakan suatu sistem pemerintahan di amna urusan-urusan pemerintah pusat diserahkan penyelenggaraannya kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan di daerah-didaerah yang disebut daerah otonom.


(41)

Terlepas dari adanya perbedaan penafsiran dalam mendefenisikan otonomi daerah dan desentralisasi, pada prinsipnya antara dua konsep tersebut terdapat suatu interkoneksi yang linier. Desentralisasi dan otonomi daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu dengan lainnya. Lebih spesifik, mungkin tidak berlebihan bila dikatakan ada atau tidaknya otonomi daerah sangat ditentukan oleh seberapa jauh wewenang telah didesentralisasikan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Itulah sebabnya, dalam studi pemerintah daerah, para analis sering menggunakan istilah desentralisasi dan otonomi daerah secara bersamaan, Interchange.

2.1.3. Desentralisasi dan Pemekaran Daerah

Rondinelli menyatakan bahwa desentralisasi dalam arti luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada pemerintah daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah. Dalam hal ini kewenangan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah, konsep tersebut dikenal dengan devolusi. Adapun apabila sebuah kewenangan dilimpahkan kepada pejabat-pejabat pusat yang ditugaskan di daerah, hal tersebut dikenal dengan konsep dekonsentrasi.

Rondinelli (1981) dengan tegas menyatakan bahwa desentralisasi merupakan :

“the transfer or delegation of legal and authority to plan, make decision and manage public fungtions from the central govermental its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of goverment, semi autonomous public coparation, area wide or regional development authorities, functional authorities, autonomous local goverment, or non-govermental organizations”

(desentralisasi adalah pemindahan wewenang perencanaan, pembuatan keputusan, dan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi lapangannya, unit-unit pemerintah daerah, organisasi-organisasi setengah swantara-otorita, pemerintah daerah dan non pemerintah daerah).


(42)

Pernyataan tersebut memberikan isyarat bahwa desentralisasi dapat dilakukan melalui empat bentuk kegiatan utama, yaitu :

1. Dekonsentrasi wewenang administratif 2. Delegasi kepada penguasa otorita 3. Devolusi kepada pemerintah daerah

4. Pemindahan fungsi dari pemerintah kepada swasta

Dengan demikian desentralisasi ini dapat dipilah minimal dalam tiga pemahaman besar : dekonsentrasi, delegasi dan devolusi. Dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang hanya merupakan penyerahan tanggung jawab kepada daerah. Sedangkan delegasi hanya merupakan kewenangan pembuatan keputusan dan manajemen untuk menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu pada organisasi tertentu. Dan devolusi merupakan wujud kongkrit dari desentralisasi politik (political desentralization).

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Rondinelli diatas, maka dapat ditarik “benang merah”, bahwa konsep pemekaran daerah merupakan wujud nyata dari desentralisasi politik (devolusi). Hal ini ditandai dengan adanya keinginan dari lembaga pemerintahan ditingkat lokal yang menginginkan otonom dan mandiri. Dan untuk mewujudkan keinginan tersebut harus disertai oleh komitmen politik (commitment politic) dari pemerintah pusat dan kemauan politik (political will) dari masyarakat lokal dan lembaga pemerintahan ditingkat lokal agar percepatan pembangunan didaerah dapat terlaksana, dan salah satu cara yang ditempuh yaitu dengan pemekaran daerah dari daerah induk.


(43)

Adapun devolusi adalah suatu istilah yang pertama kali dikembangkan oleh di Amerika Serikat pada tahun 1994. Nathan menanamkanya dengan revolusi devolusi (Putra, 1999). Secara konseptual istilah devolusi sendiri sudah mulai dikenal kurang lebih 2 dekade sebelumnya. PBB misalnya, pada tahun 1962 mengartikan desentralisasi dalam (1) dekonsentralisasi, juga disebut desentralisasi administrasi; dan (2) devolusi, sering juga disebut sebagai desentralisasi demokrasi atau politik, yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada badan perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal.

Pengertian devolusi adalah kemampuan unit pemerintah yang mandiri dan independent (Putra, 1999). Di sini pemerintah pusat harus melepaskan fungsi-fungsi tertentu untuk menciptakan unit-unit pemerintahan yang baru yang otonom dan berada di luar control langsung pemerintah pusat. Cirinya adalah unit pemerintahan lokal yang otonom dan mandiri, kewenangan pemerintah pusat kecil dan pengawasannya tak langsung, pemerintah lokal memiliki status atau legistimasi hukum yang jelas untuk mengelola sumber daya dan mengembangkan pemerintah lokal sebagai lembaga yang mandiri dan independent.

Sherwood misalnya, menyatakan bahwa devolusi berarti “Peralihan kekuatan ke unit-unit geografis pemerintah lokal yang terletak di luar struktur komando formal pemerintah pusat. Konsep tersebut disebut desentralisasi. Jadi, devolusi menggambarkan konsep-konsep pemisahan, dari berbagai struktur dalam system politik secara keseluruhan”. Desentralisasi dan devolusi merupakan dua fenomena yang berbeda, dan mereka akan menggunakan desentralisasi untuk menggambarkan pola hubungan wewenang intra-organisasi dan devolusi untuk menggambarkan pola hubungan wewenang inter-organisasi. (Koirudin, 2005)


(44)

Ciri-ciri devolusi adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah lokal harus diberi otonom dan kebebasan dan dianggap sebagai level terpisah yang mana tidak memperoleh kontrol langsung dari pemerintah pusat.

2. Unit-unit lokal harus memiliki batas-batas geografis yang ditetapkan secara hukum dan jelas di mana mereka (unit-unit tersebut) menerapkan wewenangnya dan melaksanakan fungsi-fungsi publik.

3. Pemerintah lokal harus diberi status lembaga dan wewenang untuk meningkatkan sumber-sumber guna melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. 4. Devolusi mencerminkan kebutuhan untuk menciptakan “pemerintah lokal

sebagai lembaga”, dalam makna bahwa lembaga ini dianggap oleh penduduk lokal sebagai organisasi yang menyediakan layanan yang memenuhi kebutuhannya dan sebagai unit-unit pemerintah yang memiliki pengaruh. 5. Devolusi merupakan suatu rancangan di mana terdapat hubungan yang saling

menguntungkan antar pemerintah lokal dan pemerintah pusat, yaitu pemerintah lokal memiliki kemampuan untuk saling berinteraksi dengan unit-unit yang lain dalam sistem pemerintahan yang merupakan bagiannya (Putra, 1999).

Dalam pandangan yang lebih kurang sama, Abdulwahab (2002) menyatakan bahwa devolusi dalam maknanya yang hakiki, kalau dijalankan dengan benar, sesungguhnya akan memberikan banyak peluang yang positif, diantaranya adalah terciptanya sebuah relasi politik yang saling menghormati dan saling menguntungkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Konsep devolusi seperti ini agaknya sejalan dengan pandangan Seidentopf (1987) tatkala


(45)

ia merumuskan ciri-ciri pokok adanya devolusi sebagai berikut (Abdul Wahab, 2002) :

1. Local goverment as separate levels with less or no control of central authorities

2. Local goverment having clear geographical boundaries

3. Local goverment having power to secure resources to perform their functions 4. Reciprocal relationship established between central and local goverment

(abdul wahab, 2002)

Devolusi atau yang dikenal dengan konsep desentralisasi politik yang dijalankan oleh suatu negara utamanya yang diekspresikan dalam bentuk kebijakan pemberian otonomi yang semakin besar pada daerah (greater local autonomy) jelas tidak akan pernah berlangsung mulus, terjadi dalam waktu seketika, apalagi dalam situasi politik yang vakum. Alotnya proses implementasi kebijakan otonomi daerah itu tak lain karena otonomi daerah, dalam maknanya yang sesungguhnya, bukanlah hasil kerja politik berbaik hati dari penguasa pusat (Abdul Wahab, 1999).

Dari pembahasan tentang makna desentralisasi ini maka dalam pembahasan ini dapat disimpulkan :

1. Dekonsentrasi adalah bentuk desentralisasi yang paling sempit. Di satu sisi dekonsentralisasi hanya merupakan pengalihan beban kerja dari kementerian pemerintah pusat ke staf yang ada di luar ibukota negara, dan staf tersebut tidak bisa diberikan wewenang untuk memutuskan cara pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.


(46)

2. Pendelegasian adalah bentuk desentralisasi di mana pendelegasian pembuatan keputusan dan wewenang manajemen untuk fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi yang hanya berada di bawah kontrol tak langsung kementrian pemerintah pusat. Biasanya organisasi-organisasi yang mendapat pendelegasian fungsi-fungsi publik memiliki wewenang semi independen untuk melaksanakan tanggung jawabnya, dan bisa saja tidak terletak dalam struktur pemerintah reguler.

3. Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang paling utuh, dengan memperkuat atau menciptakan level unit-unit pemerintahan independen melalui devolusi. Beberapa pakar teori administrasi mengatakan bahwa devolusi adalah suatu konsep dan rancangan yang terpisah dengan desentralisasi, dimana ia (devolusi) mencerminkan pembebesan atau pelepasan fungsi-fungsi oleh pemerintah pusat dan menciptakan unit-unit baru pemerintahan di luar kontrol wewenang pusat.

Berangkat dari konsep desentralisasi tersebut, maka munculah konsep baru tentang desentralisasi yang lebih luas dan nyata yaitu konsep pemekaran daerah. Pemekaran daerah merupakan bentuk dari desentralisasi politik (political desentralization).

Sehingga dengan demikian bahwa pemekaran daerah bukanlah bentuk pemisahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau bentuk negara federal/serikat (negara bagian) tetapi merupakan wujud nyata dari desentralisasi yang dilakukan dengan cara devolusi. Yang tujuannya menciptakan otonomi yang lebih luas kepada suatu daerah, sehingga dengan demikian percepatan


(47)

pembangunan didaerah tersebut cepat terlaksana dan dapat mensejahterakan masyarakat yang ada di daerah tersebut.

2.2. Isu Menjadi Agenda

Secara teoritis, biasanya suatu masalah sebelum masuk ke dalam agenda kebijakan, masalah tersebut menjadi isu terlebih dahulu. Isu ini akan menjadi embrio awal bagi munculnya masalah-masalah publik dan bila masalah tersebut mendapat perhatian yang memadai, maka ia akan masuk ke dalam agenda kebijakan.

Sebuah isu atau permasalahan dimulai dari adanya problem isu di tengah-tengah masyarakat. Problem isu ini berawal dari isu yang kecil dan lama-kelamaan mendapat tanggapan dari masyarakat luas, sehingga isu menjadi sebuah pembicaraan di tengah-tengah masyarakat dan menjadi isu publik. Setelah menjadi isu publik, maka tentunya isu ini akan diakomodir oleh kelompok-kelompok kepentingan yang ada untuk disampaikan kepada pembuat kebijakan di daerah untuk menjadi pembahasan bersama. Pembahasan yang terjadi antara pembuat kebijakan (DPRD dan Pemda) tentang isu yang disampaikan oleh kelompok-kelompok kepentingan tadi yang menjadi isu agenda.

Isu-isu yang beredar dalam masyarakat akan bersaing satu dengan yang lain untuk mendapatkan perhatian dari para elit politik, sehingga isu yang mereka perjuangkan dapat masuk ke agenda kebijakan. Oleh karena itu kelompok-kelompok dalam masyarakat akan menggunakan berbagai cara untuk memperjuangkan suatu isu agar masuk ke agenda kebijakan, seperti misalnya


(48)

memobilisasi diri, mencari dukungan kelompok-kelompok lain maupun menggunakan media massa.

Isu akan tercipta melalui beberapa cara : ( Cobb dan Elder, 1972 : 82) • Isu dibuat oleh partai yang merasa melihat ketidakadilan atau bias

(penyelewengan) dalam distribusi kekuasaan dan sumber daya.

• Penciptaan isu demi kepentingan dan keuntungan personal atau kelompok tertentu.

• Isu tercipta akibat peristiwa yang tidak terduga. • Isu dibuat oleh “ orang yang selalu ingin perbaikan”.

Kemudian, ada “perangkat pemicu” internal dan eksternal yang mendorong munculnya isu.

Pemicu Internal • Bencana alam

• Peristiwa kemanusiaan yang tidak terduga • Perubahan teknologi

• Ketakseimbangan atau bias dalam distribusi sumber daya • Perubahan ekologis

Pemicu Eksternal • Aksi perang

• Inovasi dalam teknologi persenjataan • Konflik internasional


(49)

Namun pembentukan isu tidak hanya tergantung kepada satu pemicu saja. Harus ada kaitan antara pemicu dan keprihatinan atau problem yang kemudian `mengubah isu menjadi item agenda. Agenda tersebut oleh Cobb dan Elder dikarakteristikkan menjadi dua tipe : sitematik dan institusional. Agenda sitematis terdiri dari “ semua isu yang umumnya dirasakan oleh anggota komunitas politik sebagai isu yang pantas mendapat perhatian dan dianggap sebagai persolan didalam yurisdiksi yang sah dalam otoritas pemerintah ( Cobb dan Elder, 1972 : 85).

Lester dan Stewart menyatakan bahwa suatu isu akan mendapat perhatian bila memenuhi beberapa kriteria, yakni :

1) Bila suatu isu telah melampaui proporsi suatu krisis dan tidak dapat terlalu lama didiamkan, misalnya kebakaran hutan.

2) Suatu isu akan mendapat perhatian bila isu tersebut mempunyai sifat partikularitas, di mana isu tersebut menunjukkan dan mendramatisir isu yang lebih besar seperti kebocoran lapisan ozon dan pemanasan global.

3) Mempunyai aspek emosional dan mendapat perhatian media massa karena faktor human interest.

4) Mendorong munculnya pertanyaan menyangkut kekuasaan dan legitimasi dan masyarakat.

5) Isu tersebut sedang menjadi trend atau sedang diminati oleh banyak orang. Sedangkan Mark Rushefky menyatakan bahwa suatu isu akan menjadi agenda melalui konjungsi tiga urutan. Pertama, problem stream, yakni tahap pengidentifikasian masalah yang didiskusikan sebelumnya. Urutan kedua menitikberatkan pada kebijakan atau pemecahan masalah. Urutan kedua ini


(50)

biasanya terdiri dari para spesialis di bidang kebijakan, seperti misalnya para birokrat, staf legislatif, akademisi, para ahli dalam kelompok-kelompok kepentingan, dan proposal yang dibawa oleh komunitas-komunitas tersebut. Urutan ketiga merupakan urutan politik (political stream). Pada urutan ini biasanya disusun dari perubahan-perubahan dalam opini publik, hasil pemilihan umum, perubahan dalam administrasi dan pergantian partisipan atau ideologi dalam lembaga legislatif.

Kepemimpinan politik merupakan faktor yang penting dalam penyusunan agenda. Para pemimpin politik, apakah dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan keuntungan politik, kepentingan publik maupun kedua-duanya, mungkin menanggapi masalah-masalah tertentu, menyebarluaskannya dan mengusulkan penyelesaian terhadap masalah-masalah tersebut. Dalam kaitan ini, kepala eksekutif atau presiden maupun anggota-anggota lembaga legislatif (DPR) mempunyai peran utama dalam politik dan pemerintahan untuk menyusun agenda publik.

Gambar 2.1 . Skema Masuknya Isu Menjadi Agenda Isu

Publik

Isu Agenda Problem

Isu

Keterangan : Skema masuknya isu menjadi agenda

2.2.1. Agenda Setting

Agenda setting dapat diartikan sebagai proses menentukan isu/masalah publik yang akan diagendakan. Genesis kebijakan berkaitan dengan pengenalan problem. Apa yang dianggap sebagai sebuah problem dan bagaimana problem didefenisikan akan tergantung pada cara pembuat kebijakan menangani isu atau


(51)

kejadian. Seperti dikatakan oleh A.Jones dalam konteks problem sosial : “Siapa saja yang pertama kali mendefenisikan problem sosial dia akan membentuk term awal dimana persoalan itu akan diperdebatkan “ (Jones, 1971 : 561). Kita bisa sepakat pada isunya tapi tidak sepakat pada apa yang sesungguhnya menjadi persoalan, dan karena itu kita juga bisa berbeda pendapat soal kebijakan yang harus diambil.

Roger W. Cobb dan Charles D. Elder mengidentifikasi dua macam agenda pokok, yakni agenda sistemik dan agenda lembaga atau pemerintah. Agenda sistemik terdiri dari semua isu yang menurut pandangan anggota-anggota masyarakat politik pantas mendapat perhatian publik dan mencakup masalah-masalah yang berada dalam yurisdiksi wewenang pemerintah yang secara sah ada. Agenda ini terdapat dalam setiap sistem politik di tingkat nasional dan daerah. Beberapa pokok agenda seperti ini misalnya kejahatan di jalan-jalan yang tercantum pada lebih dari satu agenda sistemik sementara pokok agenda lain, seperti misalnya apakah harus membangun gedung konferensi yang baru tercantum baik dalam agenda nasional maupun agenda daerah. Agenda sistemik pada dasarnya merupakan agenda pembahasan. Tindakan mengenai suatu masalah hanya akan ada bila masalah tersebut diajukan kepada lembaga pemerintah dengan suatu kewenangan untuk mengambil tindakan yang pantas.

Agenda lembaga atau pemerintah terdiri dari masalah-masalah yang mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pejabat pemerintah. Karena terdapat bermacam-macam pokok agenda yang membutuhkan keputusan-keputusan kebijakan maka terdapat pula banyak agenda lembaga. Pada tingkat nasional misalnya, kita akan mendapatkan agenda kepresidenan, agenda


(52)

administratif, agenda pengadilan dan lain sebagainya. Agenda lembaga merupakan agenda tindakan yang mempunyai sifat lebih khusus dan lebih konkrit bila dibandingkan dengan agenda sistemik. Tingginya angka kriminalitas di jalan-jalan kota besar, terutama di Jakarta, merupakan agenda sistemik. Untuk menanggulangi masalah tersebut maka pemerintah dihadapkan pada pilihan-pilihan tindakan untuk mengurangi masalah tersebut dengan usulan yang lebih kongkrit dan khusus, seperti misalnya menambah personil polisi di lapangan atau memberikan bantuan keuangan kepada badan-badan pelaksana hukum.

2.3. Kelompok Kepentingan, Partai Politik dan Pembuat Kebijakan (Pendekatan Prilaku/Behavioralism)

2.3.1. Kelompok Kepentingan ( Interest Group )

Sistem politik tidak memberi tempat pada aspirasi individual. Aspirasi yang diperhatikan adalah kepentingan yang sudah diagregasi dan diartikulasi dalam satu kelompok. Kelompok itu bisa berbentuk partai politik, kelompok kepentingan ataupun kelompok penekan. Dinamika satu sistem politik sangat ditentukan oleh pertarungan ketiga kelompok ini dalam upaya menyalurkan aspirasi masyarakat ke pembuat keputusan.

Kelompok kepentingan (Interest Group) dapat didefenisikan suatu kelompok yang terdiri dari beberapa orang dan mempunyai tujuan untuk berkumpul, yang mana memasukkannya kedalam persaingan politik dengan kelompok lain yang mempunyai kepentingan.(Theodore, 1975). Fungsi utama yang dilakukan terbatas hanya pada agregasi dan artikulasi kepentingan saja.


(53)

Kelompok kepentingan bertugas sebagai penghimpun atau broker kepentingan dan tuntutan masyarakat dan mereka mempunyai tugas menampilkan isu-isu penting dalam masyarakat agar mendapat perhatian pembuat keputusan. Upaya menarik perhatian pengambil keputusan ini bisa dilakukan dalam dua cara. Pertama, menawarkan kepentingan masyarakat yang sudah diartikulasikan untuk “dibeli” oleh partai politik. Kedua, secara langsung menyampaikan aspirasi masyarakat kepemerintah yang sering didahului oleh munculnya polemik dalam masyarakat.

Cara pertama efektif dilakukan bila partai dapat berfungsi secara maksimal, sehingga tingkat kepercayaan rakyat lebih tinggi kepadanya dibandingkan kekelompok kepentingan. Selain itu cara ini menuntut masyarakat terbuka (open market). Maksudnya pembentukan opini dalam satu masyarakat tidak dimonopoli oleh satu kekuatan politik saja. Tiap kekuatan politk harus memiliki kesempatan yang sama untuk menyebarkan ide-idenya, sekaligus mencari dukungan terhadap ide-ide tersebut.

Cara kedua biasanya ditempuh ketika masyarakat menilai bahwa saluran-saluran politik yang resi tidak beroperasi secara optimal. Ada kemacetan arus penyampaian aspirasi dari masyarakat kepemerintah, dan pemerintah dinilai kurang (atau bahkan tidak) responsif terhadap aspirasi yang muncul.

Diagram berikut menggambarkan wacana yang dapat digunakan rakyat untuk menyampaikan aspirasinya :


(54)

Gambar 2.2 . Diagram Saluran Penyampaian Pendapat Dari Rakyat Ke Pemerintah

Kelompok Kepentingan

Pemerintah Media

Massa

Partai Politik

Partisipasi Partisipasi

Partisipasi

Cari Pengaruh

Langsung Beri Suara dan Pendapat Rakyat

Keterangan : Diagram saluran penyampaian pedapat dari rakyat ke pemerintah Karya klasik Almond dan Powell (Almond and Bingham, 1980) tentang adanya 4 (empat) etnis kelompok kepentingan dapat membantu kita menelaah peran, fungsi dan “nasib” kelompok kepentingan di Indonesia. Pertama, kelompok Anomik, yang menunjuk kepada kelompok kepentingan yang melakukan kegiatan secara spontan dan hanya berlangsung seketika saja. Kedua, kelompok Nonassosiasional, yakni kelompok yang kegiatannya masih bersifat temporer, dan struktur organisasinya bersifat informal. Ketiga, kelompok Institusional, yakni kelompok yang memiliki kegiatan rutin dan didukung oleh struktur organisasi yang jelas. Keempat, kelompok Assosiasional, yakni kelompok yang memiliki struktur organisasi yang formal, dengan prosedur keanggotaan yang formal. Kelompok ini secara khas mengartikulasikan kepentingan para anggotanya dan telah memiliki tenaga profesional dibidangnya.


(55)

Diantara keempat jenis kelompok kepentingan ini, yang paling dapat diandalkan untuk menyalurkan aspirasi rakyat kesistem politik adalah kelompok Institusional dan kelompok Assosiasional. Diantara kelompok Institusional dan kelompok Assosiasional, kelompok pertama memiliki kesempatan yang cukup luas untuk mendapat dukungan dari masyarakat dibandingkan kelompok kedua. Hal ini disebabkan aspirasi pada kelompok Assosiasional sangat spesifik dan cenderung ekslusif dalam hal pendukungnya.

2.3.1.1.Peran Lobbi bagi Kelompok Kepentingan

Agar aspirasi rakyat yang mereka tampung bisa masuk kedalam mesin politik, kelompok kepentingan melakukan tiga cara utama : Lobbi, propaganda massa dan penekanan terhadap masyarakat lapisan bawah.

Diantara ketiganya, lobbi dipandang sebagai cara paling efektif. Sebabnya karena dengan lobbi kita melakukan kontak langsung dengan pengambil keputusan. Pada bentuk propaganda massa kita tidak memilik kesempatan itu. Sebaliknya dalam cara penekanan terhadap masyarakat lapisan bawah, memang terjadi kontak langsung, tetapi peran mereka terbatas dan sangat manipulatif. Menurut Cummings, lobbi adalah suatu hubungan/komunikasi dengan pembuat undang-undang atau pegawai pemerintah yang lain untuk mencoba mempengaruhi keputusan lainnya. Dari pengertian ini terlihat bahwa lobbi tidak terbatas pada usaha mempengaruhi cabang eksekutif, agen-agen yang berkaitan dengan pengaturan dan terkadang pengadilan.(Cummings, 1981)

Tidak semua kekuatan politik (termasuk kelompok kepentingan) dapat menggunakan lobbi sebagai sarana yang efektif. Hrebenar dan Scott


(56)

mengemukakan adanya 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi oleh satu kelompok agar dapat menggunakan lobbi secara efektif.

Pertama, sumber daya fisik (Physical Resources). Dua hal penting dalam kategori ini adalah adanya dana (uang) untuk menggerakkan roda organisasi, dan adanya anggota yang cukup banyak serta luas penyebarannya (secara geografis), agar aspirasi yang diperjuangkan terkesan didukung orang banyak.

Kedua, sumber daya organisasi (Organizational Resources). Hal yang disyaratkan disini adalah kecakapan anggota kelompok untuk mengelola aspirasi yang mereka integrasikan. Selain itu rasa kesatuan dari anggota sangat dibutuhkan, agar mereka dapat bertindak seia sekata.

Ketiga, sumber daya politik (Political Resources). Termasuk dalam kategori ini adalah pemahaman kelompok (dan anggotanya) akan proses politik yang berlangsung, keahlian mengatur strategi perjuangan politik, dan reputasi yang dimiliki kelompok maupun anggotanya. Disini kelompok perlu memunculkan seorang figur yang dapat dijual ke khalayak.

Keempat, sumber daya motivasi (Motivational Resources). Faktor ini menunjuk kepada komitmen ideologi yang dipegang oleh kelompok. Semakin tinggi komitmen terhadap ideologi akan semakin memotivasi anggota kelompok mengartikulasikan aspirasi masyarakat.

Kelima, sumber daya tak terlihat (Intangible Resources). Faktor ini menunjuk kepada sumber-sumber lain yang tidak terpikirkan sebelumnya. Adanya “kawan baru” yang tiba-tiba merasa segaris dengan perjuangan kelompok merupakan sumber potensial untuk mewujudkan tujuan kelompok.


(1)

BAB V PENUTUP

5.1. KESIMPULAN

1. Proses munculnya isu pemekaran Kabupaten Labuhanbatu berangkat dari adanya isu publik. Isu publik ini diawali dari adanya problem isu di tengah-tengah masyarakat. Sehingga isu pemekaran menjadi isu umum di masyarakat, selanjutnya isu ini diakomodir oleh elit-elit lokal yang ada di Labuhanbatu melalui Ormas-Ormas hasil bentukan para elit tersebut dan menyampaikan isu ini secara langsung kepada DPRD dan Pemda Labuhanbatu. Isu pemekaran Labuhanbatu yang telah sampai di DPRD dan Pemda tentunya semakin berkembang menjadi isu agenda, yaitu menjadi pembahasan bersama antara DPRD dan Pemda untuk menghasilkan sebuah keputusan politik. Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan oleh pembuat kebijakan tersebut, maka pada tanggal 31 Oktober 2005 DPRD Labuhanbatu mengeluarkan Surat Keputusan tentang persetujuan DPRD Labuhanbatu terhadap pembentukan Kabupaten Labuhanbatu menjadi 3 (tiga) Kabupaten, yaitu : Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Labuhanbatu (induk).


(2)

3. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, dalam menyuarakan isu pemekaran Kabupaten Labuhanbatu partai politiklah yang pertama-tama menggulirkan isu pemekaran bukan dari kelompok Ormas. Adapun partai politik yang paling berperan dalam isu pemekaran ini yaitu partai Golkar. Setelah ide isu pemekaran mulai digulirkan oleh partai Golkar, maka partai Golkar menindak lanjutinya dengan mengarahkan kader-kadernya untuk membentuk Ormas-Ormas yang menyatakan dukungan terhadap pemekaran Kabupaten Labuhanbatu. Sehingga dapat dilihat bahwa partai Golkar benar-benar serius memperjuangkan isu pemekaran Kabupaten Labuhanbatu, sementara partai-partai lain khususnya yang mempunyai kursi di DPRD juga mendukung terhadap isu pemekaran Kabupaten Labuhanbatu. Maka dapat ditarik benang merah bahwa partai Golkar lah yang berperan dalam isu pemekaran, karena di DPRD periode 1999-2004 partai Golkar masih meraih 11 kursi di bawah PDIP yang meraih 14 kursi dan anggota DPRD dari partai Golkar masih eksis untuk menyuarakan isu pemekaran. Pada pemilu tahun 2004 partai Golkar menjadi pemenang Pemilu di Labuhanbatu dan meraih 11 kursi di DPRD sehingga partai Golkar masih berperan di DPRD dalam menyuarakan isu pemekaran. Sementara kepala daerah (Bupati dan wakilnya) yang sekarang menjabat merupakan kader partai Golkar.


(3)

5.2. SARAN

1. Bagi kelompok kepentingan (Ormas), dalam penggalangan suatu isu agar benar-benar mengakomodir kepentingan masyarakat banyak, bukan kepentingan segelintir orang-orang yang ada di kelompok kepentingan tersebut. Sehingga isu yang digulirkan akan mendapat tanggapan positif dari masyarakat.

2. Bagi partai politik, perlunya suatu perubahan paradigma dan sistem yang bertujuan meningkatkan kembali fungsi partai politik sebagai wadah bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi politiknya. Sehingga peranan partai politik yang merupakan sebuah lembaga/institusi politik dapat lebih dipercaya masyarakat, dan memunculkan persepsi bahwa partai politik berasal dari masyarakat. Peningkatan kembali fungsi partai politik ini dapat dilakukan dengan cara :

• Penerapan visi/misi dan program kerja partai politik yang berorientasi kepada kepentingan dan kemaslahatan masyarakat secara umum. Sehingga masyarakat merasa lebih yakin dan percaya terhadap kinerja dan program partai politik.

• Dalam hal perekrutan anggota, partai politik sebaiknya melakukan sistem pengkaderan yang berbasis kepada peningkatan sumber daya manusia (SDM). Sehingga menghasilkan kader-kader partai yang dapat


(4)

3. Bagi pembuat kebijakan (DPRD dan Pemda), dalam mengakomodir aspirasi masyarakat yang sedang berkembang agar benar-benar akomodatif, sehingga wujud demokrasi bisa dirasakan oleh masyarakat. Karena pembuat kebijakan merupakan lembaga perwakilan dari masyarakat, dan mereka dipilih langsung oleh masyarakat. Disamping itu dalam mengadakan pembahasan suatu isu agenda, para pembuat kebijakan sebaiknya membuat skala prioritas, yaitu hal-hal mana yang menjadi suatu prioritas. Prioitas yang dimaksud yaitu permasalahan yang berkenaan dengan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat banyak.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta, 2002

Dunn, William N, Analisis Kebijakan Publik (Terjemahan), PT.Hanindita Graha Widya, Yogyakarta, 2003

Haris, Syamsuddin, Akuntabilitas Dalam Otonomi Daerah, LIPI, Jakarta, 2002 Hidayat, Syarif, Refleksi Realitas Otonomi Daerah, Quantum, Jakarta, 2000

Hidayat, Wisnu, Koryati, Dwi, Nyimas, Tangkilisan, Nogi, Hessel, Pembangunan Partisipatif, Penerbit YPAPI, Yogyakarta, 2002

Imawan, Riswanda, Demokrasi Indonesia Kontemporer (Riza Noer Arfani), PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996

Karim, Ghafar, Abdul, Dinamika Pemerintahan Lokal, Penerbit Pustaka Kendi, Jakarta, 2003

Koiruddin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004

, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Averroes Press, Malang, 2005

Mallarangeng, Andi, Otonomi Daerah (Perspektif Teoritis & Praktis). Bigras, Malang, 2001

Mardiasmo, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2002

Parsons, Wayne, Public Policy (Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan), Kencana, Jakarta, 2005

Putra, Fadillah, Partai Politik dan Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004


(6)

Sirojuzilam, Beberapa Aspek Pembangunan Regional, Penerbit Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Bandung, 2005

Soenarko, Public Policy, Airlangga University Press, Surabaya, 2003 Surachman, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung, 2000

Tangkilisan, Nogi, Hessel, Kebijakan Publik Yang Membumi, YPAPI, Yogyakarta, 2003

Tim Pondok Edukasi, Pegangan Memahami Desentralisasi, Pondok Edukasi, Bantul, 2005

Topatimasang (eds.), Mengubah Kebijakan Publik, Insist Press, Yogyakarta, 2005

Winarno, Budi, Teori dan Konsep Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta, 2004

Wirutomo, Paulus, Paradigma Pembangunan Diera Otonomi Daerah, CV Cipruy, Jakarta, 2003

Hukum dan perundang-undangan

UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah ( PP ) Republik Indonesia Nomor 129 tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah