Tinjauan Yuridis Terhadap Hilangnya Hak Guna Bangunan Karena Ditelantarkan Oleh Pemiliknya Chapter III V
Bab III
KETENTUAN TANAH TERLANTAR
A. Dasar Hukum Tanah Terlantar
Definisi tanah terlantar tidak diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar (“PP No.11/2010”), tetapi diatur di dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2010
tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Tanah terlantar adalah tanah yang
sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah
yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya. Obyek tanah terlantar Dalam Pasal 2 PP No.11/2010, yang
termasuk sebagai obyek tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak
oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Tanah
yang tidak termasuk sebagai obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana diatur
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal 3 PP No.11/2010 adalah tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan
atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya, dan tanah yang dikuasai
pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus
maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Indentifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar Identifikasi dan
penelitian tanah yang terindikasi terlantar dilaksanakan oleh panitia yang terdiri
dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN). Dalam Pasal 7
PP No.11/2010, kegiatan identifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi
terlantar meliputi: verifikasi data fisik dan data yuridis; mengecek buku tanah
dan/atau warkah dan dokumen lainnya
untuk mengetahui
keberadaan
pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan
tanah pada saat pengajuan hak; meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak
lain yang terkait, dan pemegang hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus
memberi keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan; melaksanakan
pemeriksaan fisik; melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan
tanah pada peta pertanahan; membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian; melaksanakan sidang Panitia;
dan membuat Berita Acara.
Universitas Sumatera Utara
Peringatan apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian disimpulkan
terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan
sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar
dalam jangkawaktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan,
menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan
pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.
Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan tertulis pertama, Kepala
Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang
sama dengan peringatan pertama. Apabila Pemegang Hak juga tidak
melaksanakan peringatan tertulis kedua, Kepala Kantor Wilayah memberikan
peringatan tertulis ketiga atau peringatan terakhir dengan jangka waktuyang sama
dengan peringatan kedua. Di dalam surat peringatan perlu disebutkan hal-hal yang
secara konkret harus dilakukan oleh pemegang hak dan sanksi yang dapat
dijatuhkan apabila pemegang hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan
peringatan yang dimaksud. Penetapan tanah terlantar Apabila pemegang hak tetap
tidak melaksanakan peringatan tertulis yang diberikan oleh Kepala Kator
Wilayah, maka Kepala Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala BPN untuk
menetapkan tanah yangbersangkutan sebagai tanah terlantar. Kemudian , Kepala
BPN menetapkan tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagai
tanah terlantar. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar
merupakan tanah hak, penetapan tanah terlantar memuat juga penetapan hapusnya
Universitas Sumatera Utara
hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan
sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasar penguasaan,
penetapan tanah terlantar memuat juga pemutusan hubungan hukum serta
penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Pendayagunaan
tanah negara bekas tanah terlantar Peruntukan penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan
untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program
strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya. Peruntukan dan pengaturan
peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara
bekas tanah terlantar dilaksanakan oleh Kepala BPN.
B. Pengertian Tanah Terlantar ditinjau dari :
-
Konsepsi Hukum Adat
Tanah sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan
moneter, baik secara individu maupun masyarakat dalam suatu persekutuan di
wilayah tertentu. Persekutuan hukum desa atau daerah bukan persekutuan hukum
belaka, tetapi merupakan suatu persekutuan usaha dengan tanah sebagai modal,
di mana semua anggota masyarakat pada prinsipnya mempunyai kewajiban untuk
mengolah tanah dengan baik. Dalam hukum, melaksanakan kewajiban dengan
benar oleh seseorang pemegang hak atas tanah adalah merupakan perwujudan
prestasi dari sebuah hubungan hukum yang timbul. Apabila pelaksanaan
kewajiban didapati tidak sesuai dengan tujuan pemberian hak, sehingga tanah
Universitas Sumatera Utara
tidak terpelihara, tidak terawat, bahkan tidak produktif, tanah itu dapat disebut
tanah terlantar.
Kalau demikian keadaannya, maka tanah dikuasai kembali oleh persekutuan
hukum, dan kemudian hak pengelolaannya diberikan kepada pihak lain. Konsep
tanah terlantar menurut hukum adat dapat ditemukan dalam pengertianpengertian tanah terlantar menurut Hukum Adat.
Berikut pengertian tanah terlantar dalam beberapa wilayah Hukum Adat di
Indonesia :19
1. Sulawesi Selatan (Bugis)
Dalam masyarakat Bugis, tanah terlantar disebut dengan istilah Tona Kabu,
Tona Kallanggelung Amo. Adapun kriteria tanah yang dikategorikan sebagai
tanah tersebut adalah tanah sawah yang ditinggalkan selama 10 tahun atau
lebih. Hal itu dilihat melalui indikasi-indikasi yaitu pematang - pematangnya
tidak kelihatan lagi, dan semua tanda-tandanya sudah hilang secara
keseluruhan.
2. Bengkulu
Dalam masyarakat Bengkulu, tanah terlantardisebut dengan Tanah Sakueh
Dajurawi. Adapun yang disebut sebagai Tanah Sakueh Dajurawi adalah tanah
ladang yang ditinggalkan sesudah menuai.
3.
19
Jambi
Abdul Malik , 1983 ,Sejarah Adat Indonesia ,Bina Cipta, Jakarta,hal.54
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat Jambi, tanah terlantar disebut dengan istilah Balukar
Toewo, yaitu tanah ladang yang ditinggalkan selama 3 tahun atau lebih.
4.
Sumatera Utara
Dalam masyarakat Sumatera Utara, tanah terlantar disebut dengan istilah
Soppalan, yaitu tanah bekas yang ditinggalkan dan telah ditumbuhi alangalang, tanah bekas ladang yang belum lama ditinggalkan dan telah menjadi
semak, tanah yang sengaja ditelantarkanuntuk penggembalaan ternak
masyarakat, dan tanah yang baru sekali dibuka kemudian terlantar.
5. Aceh
Di Aceh, apabila pada sebidang tanah sama sekali tidak ada aktivitas
pemanfaatan tanah itu selama 3 bulan, maka hak okupasi dan hilang tanah
kembali kepada Hak Ulayat.
6. Maluku
Di Maluku, tanah dinyatakan terlantar apabila dalam jangka waktu 10-15
tahun tidak dimanfaatkan dan tanah kembali menjadi Hak Pertuanan (ulayat).
7. Kalimantan Selatan (Banjar)
Di Kalimantan Selatan, tanah bekas ladang yang ditinggalkan 2 musim atau
lebih akan kembali menjadi padang atau tanah tanpa pemilik. Dari
perbandingan pengertian tanah terlantardi atas, menunjukkan bahwa terdapat
banyak istilah yang digunakan dengan menunjukkan asal daerah di mana
mengenal adanya tanah terlantar.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan karakter terlantarnya, menurut Hukum Adat sebidang tanah dapat
disebut sebagai tanah terlantar apabila :20
1. Tanah (sawah, tegalan, ladang) yang sudah pernah dibuka dengan ciri - ciri:
a. 1 (satu) kali panen
b. belum lama dibuka kemudian ditinggalkan
c. menjadi semak belukar
d. batas-batas tanah garapannya tidak jelas lagi
e. ditinggalkan selama 2 musim/10-15 tahun/3 tahun/beberapa waktu.
2. Ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya.
3. Kembali kepada hak ulayatnya/masyarakat adat.
4. Tanah kembali tanpa pemilik. Tanah terlantar menurut Hukum Adat dapat
dirumuskan sebagai tanah sawah atau ladang yang ditinggalkan oleh pemilik atau
penggarapnya dalam beberapa waktu tertentu (3 s.d.15 tahun) sampai tanah
sawah atau ladang itu menjadi semak belukar, maka tanah tersebut kembali
kepada Hak Ulayat atau masyarakat adat.
Jadi menurut Hukum Adat, tanah Terlantar lebih mengarah pada keadaan fisik
tanah yang sudah tidak produktif dan tidak bertuan (karena ditinggalkan oleh
pemegang haknya), namun secara yuridis tidak jelas kedudukannya karena tidak
disebutkan siapa yang berwenang untuk menetapkan suatu bidang tanah adalah
terlantar. Melihat adanya konsekuensi berupa kembalinya tanah kepada Hak
Ulayat atau masyarakat adat, maka pada umumnya dalam masyarakat Hukum
Adat yang berhak menyatakan tanah terlantar adalah ketua masyarakat adatnya.
20
Ibid,hal.56
Universitas Sumatera Utara
Sehingga kewenangan ada pada ketua masyarakat adat. Di samping hal - hal
tersebut di atas, dalam sistem hukum adat juga dikenal suatu lembaga hukum
adat yang disebut dengan lembaga rechtsverwerking.
Rechtsverwerking dalam ranah hukum perdata memiliki makna sebagai
pelepasan hak, yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu, tetapi karena
sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan
mempergunakan
suatu
haknya
tersebut.
Dalam
hukum
tanah
adat,
rechtsverwerking diartikan sebagai prinsip bahwa dalam hal terdapat seseorang
dalam sekian waktu tertentu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian
tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka
hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan dalam
UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan sejalan
dengan lembaga ini.21
Lembaga rechtsverwerking dalam hukum adat ini juga digunakan untuk
mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah di
Indonesia. Dalam sistem publikasi negatif, walaupun suatu bidang tanah telah
terdaftar atas nama seseorang, jika ada pihak lain yang dapat membuktikan
sebaliknya (dapat membuktikan bahwa tanah tersebut sebelumnya adalah
kepunyaannya) maka sertifikat atas tanah yang didaftar tersebut dapat dibatalkan.
Arie.S.Hutagalung,2000 , Penerapan Lembaga “Rechtsverwerking” Untuk Mengatasi Kelemahan
Sistem Publikasi Dalam Pendaftaran Tanah , Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia,
Jakarta,hal.82
21
Universitas Sumatera Utara
Dengan diterapkannya lembaga rechtsverwerking, maka walaupun seseorang
berhak atas suatu bidang tanah, jika telah ditelantarkan selama lebih dari 20
tahun kemudian dikuasai juga dikelola dengan baik dan berdasarkan itikad baik
oleh orang lain, maka hak seseorang tersebut secara hukum telah hapus dan
beralih kepada orang lain yang menguasai dan mengelola dengan baik
berdasarkan itikad baik tersebut. Dan apabila orang tersebut mensertipikatkan
sebidang tanah tersebut dan dalam 5 (lima) tahun setelah disertifikatkan tidak ada
gugatan dari pihak manapun, maka hak atas sebidang tanah tersebut tidak dapat
diganggugugat lagi oleh siapa pun.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.22
Lembaga rechtsverwerking digunakan dalam sistem hukum tanah di Indonesia
baik sebelum berlakunya UUPA maupun setelah berlakunya UUPA. Hal ini
terbukti dari banyaknya kasus-kasus rechtsverwerking yang telah diputus oleh
Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi di Indonesia. Tanah terlantar
menurut yurisprudensi tidak lepas dari pendapat para hakim di Indonesia
berdasarkan kewenangannya memberikan keputusan atas peristiwa yang terjadi
dan masuk ke pengadilan. Pendapat hakim ini disimpulkan dalam pertimbangan pertimbangan yang diberikan dalam memutuskan hukumnya mengenai kasus
tanah terlantar.
22
Op.cit ,hal.90
Universitas Sumatera Utara
Dalam keputusan pengadilan dalam berbagai kasus tanah yang terjadi, untuk
memberikan keputusan atas status tanah Hak Milik yang dibiarkan selama kurun
waktu tertentu tidak dikerjakan oleh pemegang haknya, sikap hakim dalam
mengambil
keputusan
banyak
memilih
untuk
menggunakan
lembaga
rechtsverweking yang dikenal dalam Hukum Adat yaitu dianggap telah
melepaskan haknya (rechtsverwerking).
Contoh putusan mengenai rechtverwerking :
1. Putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Mei 1958 No.329/K/Sip/1957.
Pelepasan hak (rechtsverwerking) terjadi apabila sebidang tanah yang
diperoleh secara merimba, selama 5 tahun berturut - turut dibiarkan saja
oleh yang berhak, maka hak atas tanah itu dianggap telah dilepaskan dan
tanah itu oleh Kepala Persekutuan Kampung dapat diberikan kepada orang
lain. Kalau yang berhak adalah orang yang belum dewasa yang
mempunyai ibu, maka ibunya itu tidak boleh membiarkan tanahnya tidak
dikerjakan.
2. Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 No. 210/K/
Sip/1055.32 Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena para
penggugat dengan mendiamkan tanahnya sampai 25 tahun harus dianggap
menghilangkan haknya (rechtsverwerking).
Mahkamah Agung berpendapat bahwa pembeli sawah patut dilindungi oleh
karena dapat dianggap bahwa ia beritikad baik dalam membeli sawah itu dari
seorang ahli waris dari almarhum pemilik sawah. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung tersebut dapat dijelaskan bahwa ada anggapan hukum telah
Universitas Sumatera Utara
terjadi pelepasan hak manakala dalam kurun waktu tertentu secara berturut - turut
(dalam kasus tersebut 5 tahun dan 25 tahun),
pemegang hak atas tanah
membiarkan tanahnya tidak dikerjakan/diusahakan sebagai tanah yang produktif.
Perbuatan demikian itu tidak boleh dan akan menyebabkan hak atas tanah
berakhir. Perbuatan membiarkan tanah tidak dikerjakan seperti pada kasus di atas
dapat dikategorikan ke dalam perbuatan menelantarkan tanah. Jadi, terhadap
kondisi tanah hak yang sama- sama tidak dipergunakan dalam kurun waktu
tertentu, hakim dapat menggunakan lembaga rechtsverwerking.
Hal ini sekaligus dipakai sebagai dasar bagi pejabat tata usaha negara
membatalkan hak atas tanah karena ditelantarkan. Tetapi tidak selalu berakhirnya
hak atas tanah karena ditelantarkan identik dengan pelepasan hak, karena
pelepasan hak yang dimaksud oleh UUPA adalah karena tidak terpenuhinya
syarat subjektif untuk mendapatkan hak atas tanah yaitu harus warga negara
Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia (Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UUPA).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tanah terlantar
menurut pendapat Hakim merujuk pada ketentuan tanah terlantar menurut
Hukum Adat dengan ciri-ciri :
a. Keadaan fisik tanah yang pernah dibuka, kemudian dibiarkan tidak terawat
oleh pemiliknya sehingga menjadi ditumbuhi alang - alang. Apalagi jika
didukung oleh kenyataan tanah tersebut dikelilingi oleh tanah-tanah yang
ditanami kepunyaan teman - teman pemegang hak.
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk kasus orang yang mengerjakan tanah dengan tanpa izin pemilik tanah
bukan berarti hendak menimbulkan hak baru tetapi semata-mata agar tanah
tersebut produktif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama-sama
keluarganya.
c. Jika terjadi tanah terlantar, harus diikuti tindakan pemberdayaan agar
bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada lagi tanah terlantar.
-
Konsepi
Hukum Nasional
Menurut Peraturan Perundang
–
Undangan
1. Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok
– Pokok Agraria (UUPA).
Ada perubahan paradigma dari Hukum Agraria kolonial yang berciri tanah
dikelola atau diusahakan untuk menghasilkan produk yang dapat diperdagangkan
dan mendapat untung sebanyak-banyaknya, ke Hukum Agraria Nasional yang
berciri pengelolaan sumber daya tanah untuk kesejahteraan rakyat. Alasan
filosofisnya ialah bahwa tanah itu adalah karunia Tuhan kepada umat manusia
(rakyat Indonesia) untuk diusahakan dikelola guna memenuhi kebutuhannya, agar
tercapai kesejahteraan atau kemakmuran bersama dengan berkeadilan. Jadi, ada
kewajiban dari individu atau masyarakat untuk mengerjakan atau mengusahakan
tanah sebaik - baiknya sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau sesuai
dengan tujuannya (kemakmuran) itu.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hakikat yang ada pada Hukum Agraria Nasional (UUPA)
tersebut, semua pihak terutama para pemegang hak atas tanah perlu mengerti dan
menjaga agar tidak terjadi tanah terlantar.
Beberapa ketentuan dalam UUPA yang berkaitan tanah terlantar adalah sebagai
berikut:
1. Pasal 27 huruf a angka 3, menyatakan bahwa Hak Milik atas tanah hapus bila
tanahnya jatuh kepada Negara karena ditelantarkan. Kemudian dalam
penjelasannya dinyatakan bahwa tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada
haknya.
2. Pasal 34 huruf e, menyatakan bahwa Hak Guna Usaha hapus karena
ditelantarkan.
3. Pasal 40 huruf e, menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena
ditelantarkan. Ketentuan - ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa
setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara (Hak Milik,
Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha) hapus apabila ditelantarkan. Artinya,
ada unsur kesengajaan melakukan perbuatan tidak mempergunakan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.
Keberadaan Pasal - Pasal dalam UUPA mengenai tanah terlantar belum dapat
dilaksanakan sebelum adanya suatu peraturan operasional untuk menjalankan
Undang - Undang sebagaimana mestinya, sehingga Pemerintah mengeluarkan
Peraturan pemerintah No. 11 Tahun 2010 yang menggantikan Peraturan
Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Universitas Sumatera Utara
Terlantar sebagai peraturan pelaksanaannya.
Sebelum adanya peraturan
pemerintah tersebut terdapat beberapa peraturan pelaksanaan yang mengatur
mengenai tanah terlantar, antara lain Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88
Tahun 1973 tentang Penguasaan Tanah Perkebunan Terlantar dan/atau
Ditelantarkan di Daerah Propinsi Jawa Barat. Lahirnya Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 88 Tahun 1973 sebagai wujud kepedulian atas terlantarnya tanah
Hak Guna Bangunan .
Hal itu dimaksudkan untuk segera mengatasi atau meniadakan kondisi lahan
perkebunan yang terlantar, dengan menindak pemegang haknya, berikut
pendayagunaan tanah terlantar tersebut sehingga lahan Hak Guna Bangunan
(perkebunan) memberi kesejahteraan kepada masyarakat sekitar lahan pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Jadi, untuk dapat menyatakan suatu
perkebunan sebagai terlantar, adalahapabila diketahui bahwa pemegang hak atas
tanah, tidak mempergunakan atau mengerjakan yang ia peroleh sebagaimana
mestinya. Dengan demikian, berarti pemegang hak atas tanah tidak mengindahkan
kewajiban mengusahakan perkebunan secara baik dan mengabaikan fungsi sosial
atas tanah.
Selain keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut,terdapat pula Instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah di Daerah
Perkotaan yang Dikuasai Oleh Badan Hukum atau Perorangan yang Tidak
Dimanfaatkan atau Ditelantarkan. Dalam instruksi tersebut tugas dibebankan
kepada seluruh gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia untuk
Universitas Sumatera Utara
menertibkan semua tanah yang ada di daerah perkotaan yang dikuasai oleh badan
- badan hukum atau perorangan.
Adanya peraturan - peraturan tersebut dapat dilihat bahwa upaya untuk
melakukan penertiban terhadap tanah terlantar sudah pernah dilakukan.
Pelaksanaan ketentuan Perundang - undangan tidak hanya bersandar pada “hukum
apa adanya”, tetapi harus merespon keadaan sosial atau “hukum yang seharusnya”
. Hukum itu tidak hanya berkembang dengan logika tertutup, tetapi harus dapat
mengambil nilai - nilai baru dari masyarakat dan dengan memperbarui peraturan
sedemikian rupa hingga sesuai dengan keadaan dewasa ini.
Pemahaman mengenai tanah yang ditelantarkan menurut UUPA berangkat
dari pemberian hak - hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum,
dimana dengan pemberian tersebut maka kewenangan negara yang berasal dari
Hak menguasai negara dibatasi dan ini berarti bahwa setiap pemegang hak atas
tanah berwenang menggunakan tanahnya sesuai dengan kewenangan yang
diberikan kepadanya baik oleh ketentuan - ketentuan UUPA (Pasal 20 s.d. Pasal
45 UUPA) maupun peraturan pelaksanaannya, kecuali kalau pemegang hak atas
tanah
yang
bersangkutan
tidak
memenuhi
kewajibannya
(tanah
yang
bersangkutan ditelantarkan) atau melanggar larangan (pembatasan) yang
ditentukan (subjeknya tidak memenuhi syarat), maka sebagai sanksinya hak atas
tanahnya menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah negara.
Selanjutnya, dalam UUPA tidak dikenal adanya tanah sebagai res nulius ,
karena jika hak atas tanahnya hapus, maka tanah yang bersangkutan menjadi
tanah negara(tanah kosong). Hal itu artinya tanah tersebut dikuasai secara penuh
Universitas Sumatera Utara
oleh negara dalam lingkup Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA) dan
atas tanah tersebut dapat diberikan oleh negara kepada pihak - pihak yang
memerlukannya. Konsepsi ini sangat berbeda dengan Hukum Tanah Barat yang
pernah berlaku di Indonesia sebelum 24 September 1960, dimana tanah Hak
Eigendom tidak mungkin hapus haknya (selama tidak terkena pencabutan hak
atau dihapuskan oleh negara seperti "Penghapusan Tanah Partikelir" dalam
Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1958) sekalipun tidak diketahui lagi
pemiliknya, namun tanah Hak Eigendom tersebut tetap dikelola oleh Balai Harta
Peninggalan sampai jangka waktu tertentu (± 30 tahun). Adanya Balai Harta
Peninggalan (Weeskamer) adalah untuk mencegah terjadinya berlangsungnya res
nulius, seperti diatur dalam Pasal 520 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata
yang intinya menyatakan bahwa segala benda (yang bergerak atau tidak bergerak)
yang tidak ada pemiliknya menjadi milik negara. Ketentuan Pasal 520 Kitab
Undang - Undang Hukum Perdata tersebut sepanjang mengenai tanah hak tidak
berlaku lagi sejak tanggal 24 September 1960.
2.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha dan Hak Guna Bangunan atas Tanah.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan atas Tanah dalam Konsideran huruf b menyatakan
bahwa :“ Oleh karena itu pengakuan penguasaan pemilikan dan penggunaan
tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya tertib di bidang hukum
pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan
Universitas Sumatera Utara
tanah dan lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang
pertanahan pada umumnya dapat terwujud ”.
Dari ketentuan tersebut, terlihat bahwa pemerintah ingin menegaskan kembali
bahwa penggunaan tanah berdasarkan pada Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dalam rangka pembangunan nasional diarahkan untuk terjaminnya
atau terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu,Pasal - Pasal
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 secara rinci dan jelas
mengatur mengenai pemberian hak atas tanah (Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai), objek hak, serta jangka waktu dan lamanya suatu hak
diberikan oleh negara kepada subjek hak.
Apabila pemegang hak tidak melaksanakan kewajibannya, maka berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e, Hak Guna Usaha hapus karena
ditelantarkan. Dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan penjelasan yang
ada dalam UUPA. Demikian juga tentang hapusnya Hak Guna Bangunan dalam
Pasal 35 ayat (1) huruf e yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus
karena ditelantarkan.
C. Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Tanah adalah sumber daya alam strategis yang menguasai hajat hidup orang
banyak , dimanfaatkan sebagai modal dan pendukung pembangunan bagi
berbagai sektor kepentingan.
Tanah kosong adalah tanah yang dikuasi dengan hak milik , hak guna usaha ,
hak guna bangunan dan hak pakai , tanah pengelolaan dan tanah yang sudah
Universitas Sumatera Utara
diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum memperoleh hak atas tanahnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku , atau
sebagiannya belum dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian
haknya atau RTRW yang berlaku( Pasal 1 Permeneg. Agraria/Ka. BPN NO.3
Tahun 1998). Definisi ini tidak secara jelas membedakan antara tanah terlantar
dan tanah kosong. Karena kata – kata “ sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada hakikatnya ” pada pengertian
tanah terlantar dan kata – kata “ belum dipergunakan sesuai dengan sifat dan
tujuan pemberian haknya dan RTRW yang berlaku “ pada pengertian tanah
kosong , hakekatnya sama kecuali pada pengertian tanah kosong itu dicantumkan
kata “ tidak sengaja “ dan di depan “ belum “.
Tanah kosong tersebut tidak boleh dibiarkan berlangsung terus dan pemegang
hak atau pihak yang memperoleh penguasaan atas tanah tersebut wajib
memanfaatkannya dengan menanami tanaman pangan seperti padi , jagung ,
kedelai , kacang tanah , ubi kayu dan sayuran semusim dengan memperhatikan
kesesuaian dan kemampuan tanah yang bersangkutan serta aspek perlindungan
dengan pemeliharaan lingkungan hidup. Jika yang bersangkutan tidak mungkin
melaksanakannya wajib mengijinkan pihak lain melalui Pemerintah Daerah atau
Instansi Pemerintah lainnya untuk memanfaatkannya dengan menanami tanaman
pangan sampai yang bersangkutan akan menggunakan tanah tersebut sesuai
dengan sifat dan tujuan pemberian hak atau RTR wilayah yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
Bagi Instansi BPN apa yang dilakukan sekarang ini merupakan suatu
sumbangsih yang sangat besar , oleh karena yang dibicarakan ini adalah
menyangkut tugas pokok BPN. Dalam Keppres No.26 Tahun 1998 disebutkan
bahwa tugas BPN adalah menyelenggarakan pengolahan pertanahan dan
pengembangan administrasi pertanahan baik berdasarkan UUPA maupun
peraturan perundang – perundangan lainnya yang meliputi pengaturan yang
berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan
oleh Presiden.
Pelaksanaan tugas di atas diarahkan kepada sasaran pembangunan bidang
pertanahan yaitu mewujudkan Catur Tertib Pertanahan yang meliputi :
Terwujudnya tertib hukum pertanahan
Terwujudnya tertib administrasi pertanahan
Terwujudnya tertib pembangunan tanah
Terwujudnya tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.
Keempat tertib tersebut merupakan sasaran yang merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya dan sekaligus merupakan
pedoman pelaksanaan tugas BPN.
Baik pada Pasal 15 maupun pada Pasal 27 , 34 , dan 49 UUPA memberikan
ketetapan yang mengikat bahwa setiap orang , badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah yang berkewajiban memelihara
Universitas Sumatera Utara
tanah atau tidak menelantarkannya , maka haknya atas tanah tersebut akan
dihapus.
Surat Keputusan Menteri Pertanian No.KB 510/404/Kpts/6/1983 dan Instruksi
Mendagri No.2 Tahun 1982 maupun Menteri Dalam Negeri No.268 Tahun 1982
tersebut di atas , meskipun sudah dapat digunakan secara operasional dalam
menertibkan tanah yang ditelantarkan , akan tetapi jangkauannya masih terbatas ,
yaitu terbatas kepada perkebunan swasta yang besar dan tanah perkotaan yang
telah mendapatkan izin lokasi dan izin pencadangan tanah saja.
A.P. Parlindungan berpendapat seyogianya BPN ini selain mengurus
pertanahan , juga sebagai koordinator dari seluruh permasalahan yang lain – lain
yang berkaitan dengan pertanahan , sehingga tidak ada tumpang tindih atau
peraturan – peraturan yang bertentangan yang dikeluarkan oleh instansi – instansi
lain mengenai bidangnya mengenai masalah pertanahan. Dalam penertiban tanah
– tanah terlantar dalam penggunaannya perlu adanya kebijaksanaan yang terarah
, sebagai peranan pemerintah dalam mewujudkan ketertiban Hukum Pertanahan
di Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas , yang berkaitan dengan peran pemerintah dalam
menertibkan terhadap hak atas tanah , maka dalam menertibkan pendayagunaan
tanah terlantar dilaksanakan sesuai dengan Pasal 9 PP No.36 Tahun 1998 , yaitu :
i.
Identifikasi adanya tanah yang dapat dinyatakan sebagai tanah
terlantar dilakukan oleh kantor pertanahan baik secara kedinasan
Universitas Sumatera Utara
maupun berdasarkan pemerintah dari menteri – menteri atau kepala
kantor wilayah atau laporan dari pemerintah atau dari masyarakat.
ii.
Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) meliputi :
a. Nama dan alamat orang atau badan hukum yang menjadi
pemegang hak atau telah memperoleh dasar penguasaan atas
tanah yang bersangkutan
b. Letak , luas , status hak dan keadaan fisik tanah yang
bersangkutan
c. Keadaan yang mengakibatkan tanah yang bersangkutan dapat
dinyatakan sebagai tanah terlantar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 , Pasal 4 , Pasal 5 , Pasal 6 , Pasal 7 , Pasal 8.
iii.
Dalam rangka identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) setiap
orang dan badan hukum yang menguasai tanah dan/atau tanah yang
mempunyai hubungan hukum serta kepentingan dengan tanah yang
bersangkutan wajib memberi keterangan yang diminta oleh satuan
tugas yang melaksanakan identifikasi.
iv.
Dalam melakukan identifikasi sebagaimana yang dimaksud ayat(1)
diperhatikan jangka waktu yang wajar sejak diperoleh hak – hak atas
tanah atas atau dasar penguasaan tanah yang bersangkutan.
v.
Jangka waktu sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (4)
ditetapkan oleh Menteri.
Universitas Sumatera Utara
Dalam rangka identifikasi masalah tersebut kepada pemegang yang
menguasai tanah atau yang mempunyai hubungan hukum serta berkepentingan
dengan tanah wajib memberikan keterangan kepada pihak petugas dalam tahap
ini perlu diperhatikan adalah jangka waktu yang wajar setelah penguasaan tanah
yang bersangkutan yang lamanya ditetapkan oleh Peraturan Menteri.
Universitas Sumatera Utara
Bab IV
HILANGNYA HAK GUNA BANGUNAN KARENA DITELANTARKAN OLEH
PEMILIKNYA
A. Kriteria Penelantaran Tanah Hak Guna Bangunan menurut Peraturan
Perundang – Undangan
Tanah terlantar yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya seabgaimana
mestinya dapat diambil oleh pemerintah sebagai objek landreform dan dibagi –
bagikan kepada para petani yang berhak. Jika di dalam hukum adat disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan tanah terlantar adalah tanah yang ditinggalkan oleh
pemiliknya selama beberapa waktu di dalam lingkungan hak ulayat sehingga
menjadi semak belukar kembali. Apakah kriteria ini yagn dipakai atau apakah
berdasarkan waktu tertentu (1 tahun , 2 tahun , atau 5 tahun) belum ada
pengaturannya. Dikatakan bahwa pemerintah dapat menetapkan bahwa sebidang
tanah termasuk tanah terlantar , yang berarti menimbulkan tanda tanya kembali
apa kriteria yang diambil pemerintah untuk menetapkan tanah itu sudah termasuk
tanah terlantar. Jelas masih diperlukan ketentuan untuk itu , kemungkinan untuk
menemukan rumusan tentang tanah terlantar harus didengar pendapat semua
pihak.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1998
Masalah tanah terlantar merupakan suatu hal yang sangat mengganggu dalam
penguasaan atas tanah , penguasaan tanah yang melampaui batas , penguasaan
tanah secara absentee , penguasaan tanah yang terpecah – pecah atau deviasi dan
spekulasi tanah dapat menyebabkan tanah terlantar.
Tanah terlantar termasuk lahan tidur , dan apabila terdapat di pedesaan dapat
mengganggu kelestarian swasembada di bidang pangan , sedangkan di perkotaan
menimbulkan daerah – daerah kumuh , dan mengurangi keindahan estetika
perkotaan , mengurangi efisiensi penggunaan tanah serta dapat menyebabkan
tuimnbulnya masalah sosial yang tidak dikehendaki , disamping itu secara
keseluruhan tanah – tanah terlantar dapat mengurangi arti peran tanah yang
berfungsi sosial( Pasal 6 UUPA).
Dalam UUPA secara limitative sudah digariskan tanah terlantar ini merupakan
salah satu penyebab berakhirnya hak atas tanah Hak Guna Bangunan(Pasal 40)
namun pada prinsipnya juga terdapat hak – hak lain seperti Hak pengelolaan ,
Hak pakai dan Hak Ulayat. Dalam UUPA , kriteria dan pengertian tanah terlantar
dapat dilihat dari penjelasan Pasal 27 UUP yang menyebutkan , tanah
ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan
atau sifat dan tujuan daripada haknya.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian tanah terlantar dalam PP No.36 Tahunn 1998 adalah tanah yang
ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah , pemegang hak pengelolaan atau
pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi memperoleh hak
atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang
berlaku(Pasal 1 butir 5). Dalam pengertian tanah terlantar yang diungkapkan
dalam PP No. 36 Tahun 1998 terlihat masih terasa belum memberikan pengertian
yang lebih konkrit , penekanannya sama dengan pengertian tanah terlantar dalam
penjelasan UUPA yakni “tanah yang ditelantarkan” , maksudnya ada unsur
kesengajaan untuk menelantarkan.
Kriteria tanah terlantar menurut peraturan ini adalah :
1. Pasal 3 bagian kesatu : Tanah milik , hak guna usaha , hak guna bangunan
atau hak pakai dapat dinyatakan tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan
sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya dengan keadaannya atau
sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.
2. Pasal 4 berbunyi : Tanah milik , hak guna bangunan atau hak pakai yang tidak
dimaksud untuk pecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka
penggunaanya sesaui dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 apabila tanah tersebut tidak
dipergunakan sesuai dengan kepemilikannya menurut Rencana Tata Ruang
Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan
fisik di atas tanah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
3. Pasal 6 berbunyi : Tanah hak guna bangunan atau hak pakai yang dimaksud
untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 , apabila tanah tersebut tidak
dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan terencana kerja yang
telah disetujui oleh instansi yang berwenang.
Namun kriteria tanah terlantar menurut peraturan pemerintah ini secara garis
besar dapat dikatakan :
Dari segi objeknya , ditentukan hak milik , hak guna usaha , hak guna
bangunan , hak pakai , hak pengelolaan dan tanah yang belum dimohonkan
haknya(Pasal 3 – 8 ).
Dari segi subjeknya ditentukan oleh pemegang hak atas tanah dan calon
pemegang hak atas tanah.
Tata cara penentuan tanah terlantar dan instansi yang berhak menentukan
tanah terlantar( Pasal 9 – 14).
A.P. Parlindungan mengemukakan bahwa :
-
Bahwa definisi tanah terlantar adalah tanah yang tidak diolah/dipergunakan
atau tanah yang diolah/dipergunakan tetapi tidak wajar sehingga hasil dan
manfaat yang diperoleh tidak optimal.
Universitas Sumatera Utara
-
Jangka waktu berlangsungnya keadaan tanah yang telah memenuhi syarat
untuk dinyatakan terlantar sangat variatif , sanksi perlu diadakan kepada
perbedaan yang bervariasi tersebut.
-
Tanah terlantar dapat terjadi pada tanah yang dilalui secara perseorangan
secara bersama – sama , dan badan hukum , oleh karena itu pemegang hak dan
atas nama siapa hak itu diberikan harus diatur dan ditetapkan secara tegas.
-
Penyebab tanah terlantar lebih didominasi oleh kekurangan modal dan
ketidakmauan pemegang hak untuk mengolah lahannya secara baik agar
tercapai hasil yang optimal , oleh karena itu perlu dicari pemecahannya jika
perlu secara drastis untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia
Indonesia pada umumnya dan para pemilik tanah pada khusunya.
-
Terjadinya tanah terlantar sangat terkait kepada banyak hal seperti luas lahan ,
jumlah anggota keluarga , profesi tempat tinggal , kemampuan dan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi etos kerja dan lain – lain.
B. Akibat hukum bagi pemegang hak guna bangunan dalam kaitannya
dengan pengaturan tanah terlantar dan sebab – sebab serta penyelesaian
dari konflik tanah terlantar
Akibat hukum dari tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah
adanya pemutusan hubungan hukum antara subjek pemegang hak atas tanah
dengan objek tanah, kemudian tanah tersebut dikuasai kembali oleh Negara.
Demikian sebagaimana dinyatakan dalam pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) PP No.
11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar:
Universitas Sumatera Utara
“(2) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar
merupakan tanah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus
memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara.
(3) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah
tanah yang telah diberikan dasar penguasaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, penetapan tanah terlantar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat juga pemutusan hubungan hukum serta
penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.”
Objek tanah yang dikuasai oleh Negara tanpa adanya hak atas tanah bukan
merupakan objek dari Hak Tanggungan. Sehingga apabila bank menerima tanah
terlantar sebagai jaminan kredit, maka akibat hukumnya adalah bank tersebut tidak
bisa memberikan pembebanan Hak Tanggungan atas objek tanah tersebut. Hal
tersebut diatur dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan
Tanah.
Secara fundamental pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah memberikan landasan
normatif bahwa kebijakan pertanahan nasional haruslah bertujuan untuk
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil. Hak menguasai dari
Universitas Sumatera Utara
negara yang dimaksud pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan berarti bahwa seluruh
tanah dalam wilayah Indonesia dimiliki oleh negara, melainkan memberi
wewenang kepada negara untuk:
a.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c.
Menentukan dan mengatur hubungan antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa (Pasal 2 ayat 2 UUPA
No.5 Tahun 1960).
Dalam upaya menyelesaikan konflik tanah terlebih dahulu perlu diketahui
sebab-sebab yang menimbulkan terjadinya konflik.
1.
Kebijaksanaan negara masa lalu.
Tidak adanya perlindungan terhadap eksistensi hukum adat pada zaman
Hindia Belanda seperti hak ulayat sering menimbulkan sengketa batas antara
wilayah hukum adat dengan wilayah konsesi . Pemerintah dianggap melanggar
wilayah hukum adat (hak ulayat). Kelonggaran atau ijin yang diberikan oleh
Pemerintah Jepang yang memperbolehkan rakyat menggarap tanah-tana dalam
rangka pemenuhan bekal perang melawan sekutu, dianggap syah oleh rakyat
sehingga banyak tanah yang terus berkurang luasnya.
Universitas Sumatera Utara
Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, rakyat bekerjasama
dengan gerilyawan dengan membantu perbekalan yang diperoleh dengan
menggarap tanah. Pembumihangusan pabrik atau pohon milik musuh dianggap
sebagai tindakan yang heroik. Akibat selanjutnya, setelah Indonesia merdeka
pemerintah mewarisi konflik dengan rakyat karena baik pemerintah maupun
rakyat merasa berhak memiliki dan mengelola kebun.
2.
Kesenjangan sosial.
Munculnya konflik lahan di lingkungan
salah satunya diakibatkan oleh
faktor kesenjangan sosial ekonomi antara pihak dengan masyarakat di sekitarnya.
Masyarakat yang terkena krisis ekonomi yang belum pulih dan sempitnya lahan
garapan mereka serta tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai
berakibat pula tumbuhnya tuntutan mereka pada
yang terlihat lebih mapan dan
makmur dari segi sosial ekonomi. Ditambah lagi tidak adanya pendekatan “bina
lingkungan” oleh pihak sehingga sering terjadi kesalah pahaman antar mereka.
Pengelolaan kebun seringkali diikuti dengan segala budaya kebun yang
semata mata mementingkan pengusaha dengan mencari keuntungan sebanyakbanyaknya tetapi kurang memperhatikan masyarakat sekelilingnya. Kebun
menjadi tempat yang eksklusif dari lingkungan sekitarnya. Kebun juga menjadi
semacam enklave kemewahan di tengah-tengah kemiskinan rakyat di sekitarnya.
Akibatnya tidak ada rasa memiliki masyarakat disekitar kebun terhadap keamanan
dan kelestarian tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Kesenjangan sosial demikian meningkatkan kecemburuan sosial yang
melahirkan pikiran sederhana bahwa keberadaan kebun kurang bermanfaat bagi
rakyat di sekitarnya. Meningkatnya pengetahuan rakyat dan dengan pikiran yang
sederhana pula rakyat cepat terpancing melakukan tindakan yang dikategorikan
melanggar hukum, misalnya ada bagian tertentu dari areal kebun yang sengaja
tidak ditanami untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air (bebouwing
clausul), pemilik kebun sudah dianggap menelantarkan tanah yang menjadi alasan
untuk menduduki kebun secara paksa.
3.
Adanya sengketa hak yang sudah lama tak terselesaikan (akut).
Masyarakat merasa sebelumnya telah memiliki tanah yang diambil secara
paksa oleh pihak
sehingga masyarakat menuntut agar tanahnya dikembalikan,
yakni pemahaman tentang kepemilikan tanah secara faktual dan yuridis.
Keberanian masyarakat menuntut hak yang telah lama hilang menjadi tumbuh
kembali dibarengi dengan proses politik menuju ke arah yang lebih demokratis
yakni pengambilan keputusan yang banyak melibatkan masyarakat, merupakan
wujud dari perubahan yang mendasar. Terdapat sisi perubahan yang terjadi secara
sporadis yang merupakan gejala umum, yakni tuntutan masyarakat di sekitar
wilayah .
Universitas Sumatera Utara
4.
Tanah diterlantarkan.
Penyebab lain terjadinya konflik tanah
adalah banyaknya tanah
(HGU)
yang terlantar secara fisik tetapi belum jelas status hukumnya. Hal ini mudah
memancing masalah karena pada umumnya rakyat di sekitar
sangat
membutuhkan lahan untuk menyambung kehidupannya. seringkali rakyat yang
nekat mengambil sisa-sisa hasil tanaman kebun yang sudah berakhir HGU nya
terpaksa harus berurusan dengan aparat karena dianggap mencuri. Umumnya
rakyat mengira dengan berakhirnya HGU tanaman yang masih tersisa menjadi
milik Negara.
Tanah terlantar juga bisa terjadi karena pemegang HGU tidak lagi mempunyai
modal kerja untuk mengusahakan tanahnya, atau tanaman yang ada tidak
menghasilkan keuntungan karena tidak dipelihara dengan baik, harga yang
merosot di pasaran, atau dalam sengketa dengan rakyat, masa berlakunya HGU
telah habis sehingga tidak jelas siapa pengelola tanah tersebut. Hal ini menjadikan
bekas HGU tersebut seperti tanah yang tak bertuan. Seringkali prosedur atau
norma untuk menyatakan tanah tersebut terlantar juga tidak bisa mudah
dilaksanakan.
5.
Reclaiming sebagai tanah adat.
Pembukan areal baru
(HGU) seringkali memunculkan masalah reclaiming
yaitu tuntutan pengenbalian hak adat kepada pemegang HGU. Seringkali batas
tanah ulayat dan tanah Negara (kehutanan) tidak jelas, sebagaimana yang terjadi
pada masa Hindia Belanda. Pengakuan dan perlindungan terhadap hukum adat
Universitas Sumatera Utara
secara konstitusional ada pada Undang Undang Pokok Agraria 1960 terutama
dalam Pasal 3, Pasal 5 dan Pasal 18B UUD 1945. Bagi pemerintah persoalannya
sering terletak siapa sesungguhnya yang berhak mewakili komunitas masyarakat
adat yang demikian itu. Padahal banyak kasus ganti rugi tanah telah diberikan
yakni berupa rekognisi sebagai dimaksud oleh UUPA.
Pada dasarnya hak ulayat telah diakui keberadaanya dalam UUPA, namun
pengakuan tersebut masih harus diikuti syarat-syarat tertentu yaitu : Pertama,
eksistensi atau keberadaannya, hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, yang berarti bahwa UUPA tidak mengatur eksistensinya, karena pada
dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan
menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Kedua, syarat pelaksanaannya yaitu sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi.
Selain dari pengaturan tanah hak ulayat yang ditentukan dalam Pasal 3 dan
Pasal 5 UUPA, melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU. Amandemen
UUD 1945 ternyata masih belum mampu menyelesaikan persoalan sebenarnya
yang dihadapi masyarakat hukum adat terutama di daerah, yang disebabkan
berbagai alasan antara lain : Pertama, adanya pembatasan pengakuan hukum
Universitas Sumatera Utara
berupa persyaratan-persyaratan contohnya seperti yang terdapat pada Undangundang Kehutanan, Undang-undang Pemerintah Daerah dan Undang-undang .
Kedua, kebijakan di masing-masing isntansi pemerintah belum sinergis, sehingga
menciptakan sektoralisasi yang pada akhirnya menjadikan banyak instansi
pemerintah mengurusi masyarakat hukum adat menggunakan pendekatan yang
berbeda-beda dan parsial dalam memandang hak-hak masyarakat hukum adat.
Ketiga, belum adanya lembaga yang paling berkompeten menurusi keberadaan
dan hak-hak masyarakat hukum adat serta belum terciptanya model pengaturan
yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap keberadaan masyarakt
hukum adat, baik substansi maupun kerangka implementasinya.
Peluang untuk melindungi hak adat ini terbuka apabila pemerintah daerah
memperhatikan Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 tahun 1999. Keberadaan
masyarakat hukum adat harus diformalkan dalam bentuk Peraturan Daerah.
Ketidakpedulian terhadap sumber kehidupan masyarakat adat hanyalah akan
menuai badai konflik di kemudian hari.
6.
Proses ganti rugi yang bermasalah.
Pelaksanaan ganti rugi tanah
pada masa lalu yang sebagian sarat dengan
kecurangan, manipulasi dan tekanan dari pihak penguasa telah memicu terjadinya
konflik tanah
yang akhir-akhir ini mulai mencuat ke permukaan. Berakhirnya
rezim orde baru yang berganti rezim reformasi dengan kebebasan demokrasi
seluas-luasnya memberikan keberanian kepada masyarakat untuk menuntut
Universitas Sumatera Utara
kembali haknya dengan melakukan penjarahan dan pendudukan atas tanah-tanah,
yang biasanya mendapat dukungan dari organisasi kemasyarakatan seperti LSM.
7.
Lemahnya penegakan hukum.
Lemahnya penegakan hukum
mendorong masyarakat memberanikan diri
meminta (menduduki) menggarap tanah-tanah diantaranya lebih diakibatkan dari
longgarnya tekanan dari sebuah rezim yang berkuasa sedang mengalami transisi,
melemahnya Negara dan aparat keamanan dalam menangani gejolak dan terlihat
ragu-ragu serta ketakutan akan dikenakan sanksi pelanggaran HAM, maka
penegakan hukum aparat menjadi lemah dan mengalami kemerosotan yang tajam
dalam beberapa tahun terakhir.
Penyelesaian yang tepat mengenai berbagai macam permasalahan mengenai
tanah perkebunan hanya ada satu yang bisa dilakukan yaitu dengan cara
musyawarah. Jika musyawarah tidak bisa dilakukan masih ada satu cara lain yaitu
lewat pengadilan. Pada umumnya rakyat enggan melakukan tuntutan lewat
pengadilan karena kebanyakan tidak memiliki bukti bukti formal, seperti sertifikat.
Jalan yang banyak ditempuh yakni non-litigasi (di luar pengadilan) bahkan melalui
jalur jalur tekanan massa, lobi-lobi politik di DPR atau DPRD. Lembaga politik
menjadi ajang penyelesaian konflik hukum, namun imbasnya hukum semakin
terkebelakang dan jalur alternatif politik dipakai sebagai ganti cara menghaluskan
kekerasan.
Universitas Sumatera Utara
Banyak konflik tanah perkebunan di pengadilan yang diselesaikan dengan
hasil yang kurang memuaskan, sehingga berkembang pandangan di masyarakat
bahwa badan peradilan tidak optimal dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.
Akibatnya, rasa keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan masyarakat tidak
terpenuhi, bahkan yang ada hanyalah persoalan baru yang dampaknya justru
memperburuk kondisi yang ada. Pola penyelesaian konflik pertanahan di luar
pengadilan dapat dilakukan dengan cara negosiasi, musyawarah mufakat dan
mediasi. Negosiasi dilakukan dengan jalan dimana para pihak yang berkonflik
duduk bersama untuk mencari jalan terbaik dalam penyelesaian konflik dengan
prinsip bahwa penyelesaian itu tidak ada pihak yang dirugikan (win-win solution).
Musyawarah mufakat adalah lengkah lebih lanjut dari negosiasi. Jika dalam
negosiasi tidak terdapat kesepakatan yang saling menguntungkan, maka langkah
lebih lanjut adalah melakukan musyawarah mufakat dengan melibatkan pihak lain
selaku penengah. Hasil musyawarah tersebut selanjutnya dibuatkan surat
kesepakatan bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan para saksi.
Mediasi merupakan pengendalian konflik pertanahan yang dilakukan
dengan cara membuat konsensus diantara dua pihak yang berkonflik
untuk
mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam
penyelesaian konflik. Penyelesaian secara mediasi baik yang bersifat tradisional
ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative Disp
KETENTUAN TANAH TERLANTAR
A. Dasar Hukum Tanah Terlantar
Definisi tanah terlantar tidak diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar (“PP No.11/2010”), tetapi diatur di dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2010
tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Tanah terlantar adalah tanah yang
sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah
yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya. Obyek tanah terlantar Dalam Pasal 2 PP No.11/2010, yang
termasuk sebagai obyek tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak
oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Tanah
yang tidak termasuk sebagai obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana diatur
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal 3 PP No.11/2010 adalah tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan
atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya, dan tanah yang dikuasai
pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus
maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Indentifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar Identifikasi dan
penelitian tanah yang terindikasi terlantar dilaksanakan oleh panitia yang terdiri
dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN). Dalam Pasal 7
PP No.11/2010, kegiatan identifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi
terlantar meliputi: verifikasi data fisik dan data yuridis; mengecek buku tanah
dan/atau warkah dan dokumen lainnya
untuk mengetahui
keberadaan
pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan
tanah pada saat pengajuan hak; meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak
lain yang terkait, dan pemegang hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus
memberi keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan; melaksanakan
pemeriksaan fisik; melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan
tanah pada peta pertanahan; membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian; melaksanakan sidang Panitia;
dan membuat Berita Acara.
Universitas Sumatera Utara
Peringatan apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian disimpulkan
terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan
sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar
dalam jangkawaktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan,
menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan
pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.
Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan tertulis pertama, Kepala
Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang
sama dengan peringatan pertama. Apabila Pemegang Hak juga tidak
melaksanakan peringatan tertulis kedua, Kepala Kantor Wilayah memberikan
peringatan tertulis ketiga atau peringatan terakhir dengan jangka waktuyang sama
dengan peringatan kedua. Di dalam surat peringatan perlu disebutkan hal-hal yang
secara konkret harus dilakukan oleh pemegang hak dan sanksi yang dapat
dijatuhkan apabila pemegang hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan
peringatan yang dimaksud. Penetapan tanah terlantar Apabila pemegang hak tetap
tidak melaksanakan peringatan tertulis yang diberikan oleh Kepala Kator
Wilayah, maka Kepala Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala BPN untuk
menetapkan tanah yangbersangkutan sebagai tanah terlantar. Kemudian , Kepala
BPN menetapkan tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagai
tanah terlantar. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar
merupakan tanah hak, penetapan tanah terlantar memuat juga penetapan hapusnya
Universitas Sumatera Utara
hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan
sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasar penguasaan,
penetapan tanah terlantar memuat juga pemutusan hubungan hukum serta
penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Pendayagunaan
tanah negara bekas tanah terlantar Peruntukan penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan
untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program
strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya. Peruntukan dan pengaturan
peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara
bekas tanah terlantar dilaksanakan oleh Kepala BPN.
B. Pengertian Tanah Terlantar ditinjau dari :
-
Konsepsi Hukum Adat
Tanah sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan
moneter, baik secara individu maupun masyarakat dalam suatu persekutuan di
wilayah tertentu. Persekutuan hukum desa atau daerah bukan persekutuan hukum
belaka, tetapi merupakan suatu persekutuan usaha dengan tanah sebagai modal,
di mana semua anggota masyarakat pada prinsipnya mempunyai kewajiban untuk
mengolah tanah dengan baik. Dalam hukum, melaksanakan kewajiban dengan
benar oleh seseorang pemegang hak atas tanah adalah merupakan perwujudan
prestasi dari sebuah hubungan hukum yang timbul. Apabila pelaksanaan
kewajiban didapati tidak sesuai dengan tujuan pemberian hak, sehingga tanah
Universitas Sumatera Utara
tidak terpelihara, tidak terawat, bahkan tidak produktif, tanah itu dapat disebut
tanah terlantar.
Kalau demikian keadaannya, maka tanah dikuasai kembali oleh persekutuan
hukum, dan kemudian hak pengelolaannya diberikan kepada pihak lain. Konsep
tanah terlantar menurut hukum adat dapat ditemukan dalam pengertianpengertian tanah terlantar menurut Hukum Adat.
Berikut pengertian tanah terlantar dalam beberapa wilayah Hukum Adat di
Indonesia :19
1. Sulawesi Selatan (Bugis)
Dalam masyarakat Bugis, tanah terlantar disebut dengan istilah Tona Kabu,
Tona Kallanggelung Amo. Adapun kriteria tanah yang dikategorikan sebagai
tanah tersebut adalah tanah sawah yang ditinggalkan selama 10 tahun atau
lebih. Hal itu dilihat melalui indikasi-indikasi yaitu pematang - pematangnya
tidak kelihatan lagi, dan semua tanda-tandanya sudah hilang secara
keseluruhan.
2. Bengkulu
Dalam masyarakat Bengkulu, tanah terlantardisebut dengan Tanah Sakueh
Dajurawi. Adapun yang disebut sebagai Tanah Sakueh Dajurawi adalah tanah
ladang yang ditinggalkan sesudah menuai.
3.
19
Jambi
Abdul Malik , 1983 ,Sejarah Adat Indonesia ,Bina Cipta, Jakarta,hal.54
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat Jambi, tanah terlantar disebut dengan istilah Balukar
Toewo, yaitu tanah ladang yang ditinggalkan selama 3 tahun atau lebih.
4.
Sumatera Utara
Dalam masyarakat Sumatera Utara, tanah terlantar disebut dengan istilah
Soppalan, yaitu tanah bekas yang ditinggalkan dan telah ditumbuhi alangalang, tanah bekas ladang yang belum lama ditinggalkan dan telah menjadi
semak, tanah yang sengaja ditelantarkanuntuk penggembalaan ternak
masyarakat, dan tanah yang baru sekali dibuka kemudian terlantar.
5. Aceh
Di Aceh, apabila pada sebidang tanah sama sekali tidak ada aktivitas
pemanfaatan tanah itu selama 3 bulan, maka hak okupasi dan hilang tanah
kembali kepada Hak Ulayat.
6. Maluku
Di Maluku, tanah dinyatakan terlantar apabila dalam jangka waktu 10-15
tahun tidak dimanfaatkan dan tanah kembali menjadi Hak Pertuanan (ulayat).
7. Kalimantan Selatan (Banjar)
Di Kalimantan Selatan, tanah bekas ladang yang ditinggalkan 2 musim atau
lebih akan kembali menjadi padang atau tanah tanpa pemilik. Dari
perbandingan pengertian tanah terlantardi atas, menunjukkan bahwa terdapat
banyak istilah yang digunakan dengan menunjukkan asal daerah di mana
mengenal adanya tanah terlantar.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan karakter terlantarnya, menurut Hukum Adat sebidang tanah dapat
disebut sebagai tanah terlantar apabila :20
1. Tanah (sawah, tegalan, ladang) yang sudah pernah dibuka dengan ciri - ciri:
a. 1 (satu) kali panen
b. belum lama dibuka kemudian ditinggalkan
c. menjadi semak belukar
d. batas-batas tanah garapannya tidak jelas lagi
e. ditinggalkan selama 2 musim/10-15 tahun/3 tahun/beberapa waktu.
2. Ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya.
3. Kembali kepada hak ulayatnya/masyarakat adat.
4. Tanah kembali tanpa pemilik. Tanah terlantar menurut Hukum Adat dapat
dirumuskan sebagai tanah sawah atau ladang yang ditinggalkan oleh pemilik atau
penggarapnya dalam beberapa waktu tertentu (3 s.d.15 tahun) sampai tanah
sawah atau ladang itu menjadi semak belukar, maka tanah tersebut kembali
kepada Hak Ulayat atau masyarakat adat.
Jadi menurut Hukum Adat, tanah Terlantar lebih mengarah pada keadaan fisik
tanah yang sudah tidak produktif dan tidak bertuan (karena ditinggalkan oleh
pemegang haknya), namun secara yuridis tidak jelas kedudukannya karena tidak
disebutkan siapa yang berwenang untuk menetapkan suatu bidang tanah adalah
terlantar. Melihat adanya konsekuensi berupa kembalinya tanah kepada Hak
Ulayat atau masyarakat adat, maka pada umumnya dalam masyarakat Hukum
Adat yang berhak menyatakan tanah terlantar adalah ketua masyarakat adatnya.
20
Ibid,hal.56
Universitas Sumatera Utara
Sehingga kewenangan ada pada ketua masyarakat adat. Di samping hal - hal
tersebut di atas, dalam sistem hukum adat juga dikenal suatu lembaga hukum
adat yang disebut dengan lembaga rechtsverwerking.
Rechtsverwerking dalam ranah hukum perdata memiliki makna sebagai
pelepasan hak, yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu, tetapi karena
sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan
mempergunakan
suatu
haknya
tersebut.
Dalam
hukum
tanah
adat,
rechtsverwerking diartikan sebagai prinsip bahwa dalam hal terdapat seseorang
dalam sekian waktu tertentu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian
tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka
hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan dalam
UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan sejalan
dengan lembaga ini.21
Lembaga rechtsverwerking dalam hukum adat ini juga digunakan untuk
mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah di
Indonesia. Dalam sistem publikasi negatif, walaupun suatu bidang tanah telah
terdaftar atas nama seseorang, jika ada pihak lain yang dapat membuktikan
sebaliknya (dapat membuktikan bahwa tanah tersebut sebelumnya adalah
kepunyaannya) maka sertifikat atas tanah yang didaftar tersebut dapat dibatalkan.
Arie.S.Hutagalung,2000 , Penerapan Lembaga “Rechtsverwerking” Untuk Mengatasi Kelemahan
Sistem Publikasi Dalam Pendaftaran Tanah , Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia,
Jakarta,hal.82
21
Universitas Sumatera Utara
Dengan diterapkannya lembaga rechtsverwerking, maka walaupun seseorang
berhak atas suatu bidang tanah, jika telah ditelantarkan selama lebih dari 20
tahun kemudian dikuasai juga dikelola dengan baik dan berdasarkan itikad baik
oleh orang lain, maka hak seseorang tersebut secara hukum telah hapus dan
beralih kepada orang lain yang menguasai dan mengelola dengan baik
berdasarkan itikad baik tersebut. Dan apabila orang tersebut mensertipikatkan
sebidang tanah tersebut dan dalam 5 (lima) tahun setelah disertifikatkan tidak ada
gugatan dari pihak manapun, maka hak atas sebidang tanah tersebut tidak dapat
diganggugugat lagi oleh siapa pun.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.22
Lembaga rechtsverwerking digunakan dalam sistem hukum tanah di Indonesia
baik sebelum berlakunya UUPA maupun setelah berlakunya UUPA. Hal ini
terbukti dari banyaknya kasus-kasus rechtsverwerking yang telah diputus oleh
Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi di Indonesia. Tanah terlantar
menurut yurisprudensi tidak lepas dari pendapat para hakim di Indonesia
berdasarkan kewenangannya memberikan keputusan atas peristiwa yang terjadi
dan masuk ke pengadilan. Pendapat hakim ini disimpulkan dalam pertimbangan pertimbangan yang diberikan dalam memutuskan hukumnya mengenai kasus
tanah terlantar.
22
Op.cit ,hal.90
Universitas Sumatera Utara
Dalam keputusan pengadilan dalam berbagai kasus tanah yang terjadi, untuk
memberikan keputusan atas status tanah Hak Milik yang dibiarkan selama kurun
waktu tertentu tidak dikerjakan oleh pemegang haknya, sikap hakim dalam
mengambil
keputusan
banyak
memilih
untuk
menggunakan
lembaga
rechtsverweking yang dikenal dalam Hukum Adat yaitu dianggap telah
melepaskan haknya (rechtsverwerking).
Contoh putusan mengenai rechtverwerking :
1. Putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Mei 1958 No.329/K/Sip/1957.
Pelepasan hak (rechtsverwerking) terjadi apabila sebidang tanah yang
diperoleh secara merimba, selama 5 tahun berturut - turut dibiarkan saja
oleh yang berhak, maka hak atas tanah itu dianggap telah dilepaskan dan
tanah itu oleh Kepala Persekutuan Kampung dapat diberikan kepada orang
lain. Kalau yang berhak adalah orang yang belum dewasa yang
mempunyai ibu, maka ibunya itu tidak boleh membiarkan tanahnya tidak
dikerjakan.
2. Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 No. 210/K/
Sip/1055.32 Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh karena para
penggugat dengan mendiamkan tanahnya sampai 25 tahun harus dianggap
menghilangkan haknya (rechtsverwerking).
Mahkamah Agung berpendapat bahwa pembeli sawah patut dilindungi oleh
karena dapat dianggap bahwa ia beritikad baik dalam membeli sawah itu dari
seorang ahli waris dari almarhum pemilik sawah. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung tersebut dapat dijelaskan bahwa ada anggapan hukum telah
Universitas Sumatera Utara
terjadi pelepasan hak manakala dalam kurun waktu tertentu secara berturut - turut
(dalam kasus tersebut 5 tahun dan 25 tahun),
pemegang hak atas tanah
membiarkan tanahnya tidak dikerjakan/diusahakan sebagai tanah yang produktif.
Perbuatan demikian itu tidak boleh dan akan menyebabkan hak atas tanah
berakhir. Perbuatan membiarkan tanah tidak dikerjakan seperti pada kasus di atas
dapat dikategorikan ke dalam perbuatan menelantarkan tanah. Jadi, terhadap
kondisi tanah hak yang sama- sama tidak dipergunakan dalam kurun waktu
tertentu, hakim dapat menggunakan lembaga rechtsverwerking.
Hal ini sekaligus dipakai sebagai dasar bagi pejabat tata usaha negara
membatalkan hak atas tanah karena ditelantarkan. Tetapi tidak selalu berakhirnya
hak atas tanah karena ditelantarkan identik dengan pelepasan hak, karena
pelepasan hak yang dimaksud oleh UUPA adalah karena tidak terpenuhinya
syarat subjektif untuk mendapatkan hak atas tanah yaitu harus warga negara
Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia (Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UUPA).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tanah terlantar
menurut pendapat Hakim merujuk pada ketentuan tanah terlantar menurut
Hukum Adat dengan ciri-ciri :
a. Keadaan fisik tanah yang pernah dibuka, kemudian dibiarkan tidak terawat
oleh pemiliknya sehingga menjadi ditumbuhi alang - alang. Apalagi jika
didukung oleh kenyataan tanah tersebut dikelilingi oleh tanah-tanah yang
ditanami kepunyaan teman - teman pemegang hak.
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk kasus orang yang mengerjakan tanah dengan tanpa izin pemilik tanah
bukan berarti hendak menimbulkan hak baru tetapi semata-mata agar tanah
tersebut produktif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama-sama
keluarganya.
c. Jika terjadi tanah terlantar, harus diikuti tindakan pemberdayaan agar
bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada lagi tanah terlantar.
-
Konsepi
Hukum Nasional
Menurut Peraturan Perundang
–
Undangan
1. Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok
– Pokok Agraria (UUPA).
Ada perubahan paradigma dari Hukum Agraria kolonial yang berciri tanah
dikelola atau diusahakan untuk menghasilkan produk yang dapat diperdagangkan
dan mendapat untung sebanyak-banyaknya, ke Hukum Agraria Nasional yang
berciri pengelolaan sumber daya tanah untuk kesejahteraan rakyat. Alasan
filosofisnya ialah bahwa tanah itu adalah karunia Tuhan kepada umat manusia
(rakyat Indonesia) untuk diusahakan dikelola guna memenuhi kebutuhannya, agar
tercapai kesejahteraan atau kemakmuran bersama dengan berkeadilan. Jadi, ada
kewajiban dari individu atau masyarakat untuk mengerjakan atau mengusahakan
tanah sebaik - baiknya sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau sesuai
dengan tujuannya (kemakmuran) itu.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hakikat yang ada pada Hukum Agraria Nasional (UUPA)
tersebut, semua pihak terutama para pemegang hak atas tanah perlu mengerti dan
menjaga agar tidak terjadi tanah terlantar.
Beberapa ketentuan dalam UUPA yang berkaitan tanah terlantar adalah sebagai
berikut:
1. Pasal 27 huruf a angka 3, menyatakan bahwa Hak Milik atas tanah hapus bila
tanahnya jatuh kepada Negara karena ditelantarkan. Kemudian dalam
penjelasannya dinyatakan bahwa tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada
haknya.
2. Pasal 34 huruf e, menyatakan bahwa Hak Guna Usaha hapus karena
ditelantarkan.
3. Pasal 40 huruf e, menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena
ditelantarkan. Ketentuan - ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa
setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara (Hak Milik,
Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha) hapus apabila ditelantarkan. Artinya,
ada unsur kesengajaan melakukan perbuatan tidak mempergunakan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.
Keberadaan Pasal - Pasal dalam UUPA mengenai tanah terlantar belum dapat
dilaksanakan sebelum adanya suatu peraturan operasional untuk menjalankan
Undang - Undang sebagaimana mestinya, sehingga Pemerintah mengeluarkan
Peraturan pemerintah No. 11 Tahun 2010 yang menggantikan Peraturan
Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Universitas Sumatera Utara
Terlantar sebagai peraturan pelaksanaannya.
Sebelum adanya peraturan
pemerintah tersebut terdapat beberapa peraturan pelaksanaan yang mengatur
mengenai tanah terlantar, antara lain Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88
Tahun 1973 tentang Penguasaan Tanah Perkebunan Terlantar dan/atau
Ditelantarkan di Daerah Propinsi Jawa Barat. Lahirnya Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 88 Tahun 1973 sebagai wujud kepedulian atas terlantarnya tanah
Hak Guna Bangunan .
Hal itu dimaksudkan untuk segera mengatasi atau meniadakan kondisi lahan
perkebunan yang terlantar, dengan menindak pemegang haknya, berikut
pendayagunaan tanah terlantar tersebut sehingga lahan Hak Guna Bangunan
(perkebunan) memberi kesejahteraan kepada masyarakat sekitar lahan pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Jadi, untuk dapat menyatakan suatu
perkebunan sebagai terlantar, adalahapabila diketahui bahwa pemegang hak atas
tanah, tidak mempergunakan atau mengerjakan yang ia peroleh sebagaimana
mestinya. Dengan demikian, berarti pemegang hak atas tanah tidak mengindahkan
kewajiban mengusahakan perkebunan secara baik dan mengabaikan fungsi sosial
atas tanah.
Selain keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut,terdapat pula Instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah di Daerah
Perkotaan yang Dikuasai Oleh Badan Hukum atau Perorangan yang Tidak
Dimanfaatkan atau Ditelantarkan. Dalam instruksi tersebut tugas dibebankan
kepada seluruh gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia untuk
Universitas Sumatera Utara
menertibkan semua tanah yang ada di daerah perkotaan yang dikuasai oleh badan
- badan hukum atau perorangan.
Adanya peraturan - peraturan tersebut dapat dilihat bahwa upaya untuk
melakukan penertiban terhadap tanah terlantar sudah pernah dilakukan.
Pelaksanaan ketentuan Perundang - undangan tidak hanya bersandar pada “hukum
apa adanya”, tetapi harus merespon keadaan sosial atau “hukum yang seharusnya”
. Hukum itu tidak hanya berkembang dengan logika tertutup, tetapi harus dapat
mengambil nilai - nilai baru dari masyarakat dan dengan memperbarui peraturan
sedemikian rupa hingga sesuai dengan keadaan dewasa ini.
Pemahaman mengenai tanah yang ditelantarkan menurut UUPA berangkat
dari pemberian hak - hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum,
dimana dengan pemberian tersebut maka kewenangan negara yang berasal dari
Hak menguasai negara dibatasi dan ini berarti bahwa setiap pemegang hak atas
tanah berwenang menggunakan tanahnya sesuai dengan kewenangan yang
diberikan kepadanya baik oleh ketentuan - ketentuan UUPA (Pasal 20 s.d. Pasal
45 UUPA) maupun peraturan pelaksanaannya, kecuali kalau pemegang hak atas
tanah
yang
bersangkutan
tidak
memenuhi
kewajibannya
(tanah
yang
bersangkutan ditelantarkan) atau melanggar larangan (pembatasan) yang
ditentukan (subjeknya tidak memenuhi syarat), maka sebagai sanksinya hak atas
tanahnya menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah negara.
Selanjutnya, dalam UUPA tidak dikenal adanya tanah sebagai res nulius ,
karena jika hak atas tanahnya hapus, maka tanah yang bersangkutan menjadi
tanah negara(tanah kosong). Hal itu artinya tanah tersebut dikuasai secara penuh
Universitas Sumatera Utara
oleh negara dalam lingkup Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA) dan
atas tanah tersebut dapat diberikan oleh negara kepada pihak - pihak yang
memerlukannya. Konsepsi ini sangat berbeda dengan Hukum Tanah Barat yang
pernah berlaku di Indonesia sebelum 24 September 1960, dimana tanah Hak
Eigendom tidak mungkin hapus haknya (selama tidak terkena pencabutan hak
atau dihapuskan oleh negara seperti "Penghapusan Tanah Partikelir" dalam
Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1958) sekalipun tidak diketahui lagi
pemiliknya, namun tanah Hak Eigendom tersebut tetap dikelola oleh Balai Harta
Peninggalan sampai jangka waktu tertentu (± 30 tahun). Adanya Balai Harta
Peninggalan (Weeskamer) adalah untuk mencegah terjadinya berlangsungnya res
nulius, seperti diatur dalam Pasal 520 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata
yang intinya menyatakan bahwa segala benda (yang bergerak atau tidak bergerak)
yang tidak ada pemiliknya menjadi milik negara. Ketentuan Pasal 520 Kitab
Undang - Undang Hukum Perdata tersebut sepanjang mengenai tanah hak tidak
berlaku lagi sejak tanggal 24 September 1960.
2.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha dan Hak Guna Bangunan atas Tanah.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan atas Tanah dalam Konsideran huruf b menyatakan
bahwa :“ Oleh karena itu pengakuan penguasaan pemilikan dan penggunaan
tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya tertib di bidang hukum
pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan
Universitas Sumatera Utara
tanah dan lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang
pertanahan pada umumnya dapat terwujud ”.
Dari ketentuan tersebut, terlihat bahwa pemerintah ingin menegaskan kembali
bahwa penggunaan tanah berdasarkan pada Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dalam rangka pembangunan nasional diarahkan untuk terjaminnya
atau terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu,Pasal - Pasal
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 secara rinci dan jelas
mengatur mengenai pemberian hak atas tanah (Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai), objek hak, serta jangka waktu dan lamanya suatu hak
diberikan oleh negara kepada subjek hak.
Apabila pemegang hak tidak melaksanakan kewajibannya, maka berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e, Hak Guna Usaha hapus karena
ditelantarkan. Dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan penjelasan yang
ada dalam UUPA. Demikian juga tentang hapusnya Hak Guna Bangunan dalam
Pasal 35 ayat (1) huruf e yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus
karena ditelantarkan.
C. Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Tanah adalah sumber daya alam strategis yang menguasai hajat hidup orang
banyak , dimanfaatkan sebagai modal dan pendukung pembangunan bagi
berbagai sektor kepentingan.
Tanah kosong adalah tanah yang dikuasi dengan hak milik , hak guna usaha ,
hak guna bangunan dan hak pakai , tanah pengelolaan dan tanah yang sudah
Universitas Sumatera Utara
diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum memperoleh hak atas tanahnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku , atau
sebagiannya belum dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian
haknya atau RTRW yang berlaku( Pasal 1 Permeneg. Agraria/Ka. BPN NO.3
Tahun 1998). Definisi ini tidak secara jelas membedakan antara tanah terlantar
dan tanah kosong. Karena kata – kata “ sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada hakikatnya ” pada pengertian
tanah terlantar dan kata – kata “ belum dipergunakan sesuai dengan sifat dan
tujuan pemberian haknya dan RTRW yang berlaku “ pada pengertian tanah
kosong , hakekatnya sama kecuali pada pengertian tanah kosong itu dicantumkan
kata “ tidak sengaja “ dan di depan “ belum “.
Tanah kosong tersebut tidak boleh dibiarkan berlangsung terus dan pemegang
hak atau pihak yang memperoleh penguasaan atas tanah tersebut wajib
memanfaatkannya dengan menanami tanaman pangan seperti padi , jagung ,
kedelai , kacang tanah , ubi kayu dan sayuran semusim dengan memperhatikan
kesesuaian dan kemampuan tanah yang bersangkutan serta aspek perlindungan
dengan pemeliharaan lingkungan hidup. Jika yang bersangkutan tidak mungkin
melaksanakannya wajib mengijinkan pihak lain melalui Pemerintah Daerah atau
Instansi Pemerintah lainnya untuk memanfaatkannya dengan menanami tanaman
pangan sampai yang bersangkutan akan menggunakan tanah tersebut sesuai
dengan sifat dan tujuan pemberian hak atau RTR wilayah yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
Bagi Instansi BPN apa yang dilakukan sekarang ini merupakan suatu
sumbangsih yang sangat besar , oleh karena yang dibicarakan ini adalah
menyangkut tugas pokok BPN. Dalam Keppres No.26 Tahun 1998 disebutkan
bahwa tugas BPN adalah menyelenggarakan pengolahan pertanahan dan
pengembangan administrasi pertanahan baik berdasarkan UUPA maupun
peraturan perundang – perundangan lainnya yang meliputi pengaturan yang
berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan
oleh Presiden.
Pelaksanaan tugas di atas diarahkan kepada sasaran pembangunan bidang
pertanahan yaitu mewujudkan Catur Tertib Pertanahan yang meliputi :
Terwujudnya tertib hukum pertanahan
Terwujudnya tertib administrasi pertanahan
Terwujudnya tertib pembangunan tanah
Terwujudnya tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.
Keempat tertib tersebut merupakan sasaran yang merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya dan sekaligus merupakan
pedoman pelaksanaan tugas BPN.
Baik pada Pasal 15 maupun pada Pasal 27 , 34 , dan 49 UUPA memberikan
ketetapan yang mengikat bahwa setiap orang , badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah yang berkewajiban memelihara
Universitas Sumatera Utara
tanah atau tidak menelantarkannya , maka haknya atas tanah tersebut akan
dihapus.
Surat Keputusan Menteri Pertanian No.KB 510/404/Kpts/6/1983 dan Instruksi
Mendagri No.2 Tahun 1982 maupun Menteri Dalam Negeri No.268 Tahun 1982
tersebut di atas , meskipun sudah dapat digunakan secara operasional dalam
menertibkan tanah yang ditelantarkan , akan tetapi jangkauannya masih terbatas ,
yaitu terbatas kepada perkebunan swasta yang besar dan tanah perkotaan yang
telah mendapatkan izin lokasi dan izin pencadangan tanah saja.
A.P. Parlindungan berpendapat seyogianya BPN ini selain mengurus
pertanahan , juga sebagai koordinator dari seluruh permasalahan yang lain – lain
yang berkaitan dengan pertanahan , sehingga tidak ada tumpang tindih atau
peraturan – peraturan yang bertentangan yang dikeluarkan oleh instansi – instansi
lain mengenai bidangnya mengenai masalah pertanahan. Dalam penertiban tanah
– tanah terlantar dalam penggunaannya perlu adanya kebijaksanaan yang terarah
, sebagai peranan pemerintah dalam mewujudkan ketertiban Hukum Pertanahan
di Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas , yang berkaitan dengan peran pemerintah dalam
menertibkan terhadap hak atas tanah , maka dalam menertibkan pendayagunaan
tanah terlantar dilaksanakan sesuai dengan Pasal 9 PP No.36 Tahun 1998 , yaitu :
i.
Identifikasi adanya tanah yang dapat dinyatakan sebagai tanah
terlantar dilakukan oleh kantor pertanahan baik secara kedinasan
Universitas Sumatera Utara
maupun berdasarkan pemerintah dari menteri – menteri atau kepala
kantor wilayah atau laporan dari pemerintah atau dari masyarakat.
ii.
Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) meliputi :
a. Nama dan alamat orang atau badan hukum yang menjadi
pemegang hak atau telah memperoleh dasar penguasaan atas
tanah yang bersangkutan
b. Letak , luas , status hak dan keadaan fisik tanah yang
bersangkutan
c. Keadaan yang mengakibatkan tanah yang bersangkutan dapat
dinyatakan sebagai tanah terlantar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 , Pasal 4 , Pasal 5 , Pasal 6 , Pasal 7 , Pasal 8.
iii.
Dalam rangka identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) setiap
orang dan badan hukum yang menguasai tanah dan/atau tanah yang
mempunyai hubungan hukum serta kepentingan dengan tanah yang
bersangkutan wajib memberi keterangan yang diminta oleh satuan
tugas yang melaksanakan identifikasi.
iv.
Dalam melakukan identifikasi sebagaimana yang dimaksud ayat(1)
diperhatikan jangka waktu yang wajar sejak diperoleh hak – hak atas
tanah atas atau dasar penguasaan tanah yang bersangkutan.
v.
Jangka waktu sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (4)
ditetapkan oleh Menteri.
Universitas Sumatera Utara
Dalam rangka identifikasi masalah tersebut kepada pemegang yang
menguasai tanah atau yang mempunyai hubungan hukum serta berkepentingan
dengan tanah wajib memberikan keterangan kepada pihak petugas dalam tahap
ini perlu diperhatikan adalah jangka waktu yang wajar setelah penguasaan tanah
yang bersangkutan yang lamanya ditetapkan oleh Peraturan Menteri.
Universitas Sumatera Utara
Bab IV
HILANGNYA HAK GUNA BANGUNAN KARENA DITELANTARKAN OLEH
PEMILIKNYA
A. Kriteria Penelantaran Tanah Hak Guna Bangunan menurut Peraturan
Perundang – Undangan
Tanah terlantar yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya seabgaimana
mestinya dapat diambil oleh pemerintah sebagai objek landreform dan dibagi –
bagikan kepada para petani yang berhak. Jika di dalam hukum adat disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan tanah terlantar adalah tanah yang ditinggalkan oleh
pemiliknya selama beberapa waktu di dalam lingkungan hak ulayat sehingga
menjadi semak belukar kembali. Apakah kriteria ini yagn dipakai atau apakah
berdasarkan waktu tertentu (1 tahun , 2 tahun , atau 5 tahun) belum ada
pengaturannya. Dikatakan bahwa pemerintah dapat menetapkan bahwa sebidang
tanah termasuk tanah terlantar , yang berarti menimbulkan tanda tanya kembali
apa kriteria yang diambil pemerintah untuk menetapkan tanah itu sudah termasuk
tanah terlantar. Jelas masih diperlukan ketentuan untuk itu , kemungkinan untuk
menemukan rumusan tentang tanah terlantar harus didengar pendapat semua
pihak.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1998
Masalah tanah terlantar merupakan suatu hal yang sangat mengganggu dalam
penguasaan atas tanah , penguasaan tanah yang melampaui batas , penguasaan
tanah secara absentee , penguasaan tanah yang terpecah – pecah atau deviasi dan
spekulasi tanah dapat menyebabkan tanah terlantar.
Tanah terlantar termasuk lahan tidur , dan apabila terdapat di pedesaan dapat
mengganggu kelestarian swasembada di bidang pangan , sedangkan di perkotaan
menimbulkan daerah – daerah kumuh , dan mengurangi keindahan estetika
perkotaan , mengurangi efisiensi penggunaan tanah serta dapat menyebabkan
tuimnbulnya masalah sosial yang tidak dikehendaki , disamping itu secara
keseluruhan tanah – tanah terlantar dapat mengurangi arti peran tanah yang
berfungsi sosial( Pasal 6 UUPA).
Dalam UUPA secara limitative sudah digariskan tanah terlantar ini merupakan
salah satu penyebab berakhirnya hak atas tanah Hak Guna Bangunan(Pasal 40)
namun pada prinsipnya juga terdapat hak – hak lain seperti Hak pengelolaan ,
Hak pakai dan Hak Ulayat. Dalam UUPA , kriteria dan pengertian tanah terlantar
dapat dilihat dari penjelasan Pasal 27 UUP yang menyebutkan , tanah
ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan
atau sifat dan tujuan daripada haknya.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian tanah terlantar dalam PP No.36 Tahunn 1998 adalah tanah yang
ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah , pemegang hak pengelolaan atau
pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi memperoleh hak
atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang
berlaku(Pasal 1 butir 5). Dalam pengertian tanah terlantar yang diungkapkan
dalam PP No. 36 Tahun 1998 terlihat masih terasa belum memberikan pengertian
yang lebih konkrit , penekanannya sama dengan pengertian tanah terlantar dalam
penjelasan UUPA yakni “tanah yang ditelantarkan” , maksudnya ada unsur
kesengajaan untuk menelantarkan.
Kriteria tanah terlantar menurut peraturan ini adalah :
1. Pasal 3 bagian kesatu : Tanah milik , hak guna usaha , hak guna bangunan
atau hak pakai dapat dinyatakan tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan
sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya dengan keadaannya atau
sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.
2. Pasal 4 berbunyi : Tanah milik , hak guna bangunan atau hak pakai yang tidak
dimaksud untuk pecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka
penggunaanya sesaui dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 apabila tanah tersebut tidak
dipergunakan sesuai dengan kepemilikannya menurut Rencana Tata Ruang
Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan
fisik di atas tanah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
3. Pasal 6 berbunyi : Tanah hak guna bangunan atau hak pakai yang dimaksud
untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 , apabila tanah tersebut tidak
dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan terencana kerja yang
telah disetujui oleh instansi yang berwenang.
Namun kriteria tanah terlantar menurut peraturan pemerintah ini secara garis
besar dapat dikatakan :
Dari segi objeknya , ditentukan hak milik , hak guna usaha , hak guna
bangunan , hak pakai , hak pengelolaan dan tanah yang belum dimohonkan
haknya(Pasal 3 – 8 ).
Dari segi subjeknya ditentukan oleh pemegang hak atas tanah dan calon
pemegang hak atas tanah.
Tata cara penentuan tanah terlantar dan instansi yang berhak menentukan
tanah terlantar( Pasal 9 – 14).
A.P. Parlindungan mengemukakan bahwa :
-
Bahwa definisi tanah terlantar adalah tanah yang tidak diolah/dipergunakan
atau tanah yang diolah/dipergunakan tetapi tidak wajar sehingga hasil dan
manfaat yang diperoleh tidak optimal.
Universitas Sumatera Utara
-
Jangka waktu berlangsungnya keadaan tanah yang telah memenuhi syarat
untuk dinyatakan terlantar sangat variatif , sanksi perlu diadakan kepada
perbedaan yang bervariasi tersebut.
-
Tanah terlantar dapat terjadi pada tanah yang dilalui secara perseorangan
secara bersama – sama , dan badan hukum , oleh karena itu pemegang hak dan
atas nama siapa hak itu diberikan harus diatur dan ditetapkan secara tegas.
-
Penyebab tanah terlantar lebih didominasi oleh kekurangan modal dan
ketidakmauan pemegang hak untuk mengolah lahannya secara baik agar
tercapai hasil yang optimal , oleh karena itu perlu dicari pemecahannya jika
perlu secara drastis untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia
Indonesia pada umumnya dan para pemilik tanah pada khusunya.
-
Terjadinya tanah terlantar sangat terkait kepada banyak hal seperti luas lahan ,
jumlah anggota keluarga , profesi tempat tinggal , kemampuan dan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi etos kerja dan lain – lain.
B. Akibat hukum bagi pemegang hak guna bangunan dalam kaitannya
dengan pengaturan tanah terlantar dan sebab – sebab serta penyelesaian
dari konflik tanah terlantar
Akibat hukum dari tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah
adanya pemutusan hubungan hukum antara subjek pemegang hak atas tanah
dengan objek tanah, kemudian tanah tersebut dikuasai kembali oleh Negara.
Demikian sebagaimana dinyatakan dalam pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) PP No.
11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar:
Universitas Sumatera Utara
“(2) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar
merupakan tanah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus
memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara.
(3) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah
tanah yang telah diberikan dasar penguasaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, penetapan tanah terlantar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat juga pemutusan hubungan hukum serta
penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.”
Objek tanah yang dikuasai oleh Negara tanpa adanya hak atas tanah bukan
merupakan objek dari Hak Tanggungan. Sehingga apabila bank menerima tanah
terlantar sebagai jaminan kredit, maka akibat hukumnya adalah bank tersebut tidak
bisa memberikan pembebanan Hak Tanggungan atas objek tanah tersebut. Hal
tersebut diatur dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan
Tanah.
Secara fundamental pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah memberikan landasan
normatif bahwa kebijakan pertanahan nasional haruslah bertujuan untuk
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil. Hak menguasai dari
Universitas Sumatera Utara
negara yang dimaksud pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan berarti bahwa seluruh
tanah dalam wilayah Indonesia dimiliki oleh negara, melainkan memberi
wewenang kepada negara untuk:
a.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c.
Menentukan dan mengatur hubungan antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa (Pasal 2 ayat 2 UUPA
No.5 Tahun 1960).
Dalam upaya menyelesaikan konflik tanah terlebih dahulu perlu diketahui
sebab-sebab yang menimbulkan terjadinya konflik.
1.
Kebijaksanaan negara masa lalu.
Tidak adanya perlindungan terhadap eksistensi hukum adat pada zaman
Hindia Belanda seperti hak ulayat sering menimbulkan sengketa batas antara
wilayah hukum adat dengan wilayah konsesi . Pemerintah dianggap melanggar
wilayah hukum adat (hak ulayat). Kelonggaran atau ijin yang diberikan oleh
Pemerintah Jepang yang memperbolehkan rakyat menggarap tanah-tana dalam
rangka pemenuhan bekal perang melawan sekutu, dianggap syah oleh rakyat
sehingga banyak tanah yang terus berkurang luasnya.
Universitas Sumatera Utara
Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, rakyat bekerjasama
dengan gerilyawan dengan membantu perbekalan yang diperoleh dengan
menggarap tanah. Pembumihangusan pabrik atau pohon milik musuh dianggap
sebagai tindakan yang heroik. Akibat selanjutnya, setelah Indonesia merdeka
pemerintah mewarisi konflik dengan rakyat karena baik pemerintah maupun
rakyat merasa berhak memiliki dan mengelola kebun.
2.
Kesenjangan sosial.
Munculnya konflik lahan di lingkungan
salah satunya diakibatkan oleh
faktor kesenjangan sosial ekonomi antara pihak dengan masyarakat di sekitarnya.
Masyarakat yang terkena krisis ekonomi yang belum pulih dan sempitnya lahan
garapan mereka serta tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai
berakibat pula tumbuhnya tuntutan mereka pada
yang terlihat lebih mapan dan
makmur dari segi sosial ekonomi. Ditambah lagi tidak adanya pendekatan “bina
lingkungan” oleh pihak sehingga sering terjadi kesalah pahaman antar mereka.
Pengelolaan kebun seringkali diikuti dengan segala budaya kebun yang
semata mata mementingkan pengusaha dengan mencari keuntungan sebanyakbanyaknya tetapi kurang memperhatikan masyarakat sekelilingnya. Kebun
menjadi tempat yang eksklusif dari lingkungan sekitarnya. Kebun juga menjadi
semacam enklave kemewahan di tengah-tengah kemiskinan rakyat di sekitarnya.
Akibatnya tidak ada rasa memiliki masyarakat disekitar kebun terhadap keamanan
dan kelestarian tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Kesenjangan sosial demikian meningkatkan kecemburuan sosial yang
melahirkan pikiran sederhana bahwa keberadaan kebun kurang bermanfaat bagi
rakyat di sekitarnya. Meningkatnya pengetahuan rakyat dan dengan pikiran yang
sederhana pula rakyat cepat terpancing melakukan tindakan yang dikategorikan
melanggar hukum, misalnya ada bagian tertentu dari areal kebun yang sengaja
tidak ditanami untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sumber air (bebouwing
clausul), pemilik kebun sudah dianggap menelantarkan tanah yang menjadi alasan
untuk menduduki kebun secara paksa.
3.
Adanya sengketa hak yang sudah lama tak terselesaikan (akut).
Masyarakat merasa sebelumnya telah memiliki tanah yang diambil secara
paksa oleh pihak
sehingga masyarakat menuntut agar tanahnya dikembalikan,
yakni pemahaman tentang kepemilikan tanah secara faktual dan yuridis.
Keberanian masyarakat menuntut hak yang telah lama hilang menjadi tumbuh
kembali dibarengi dengan proses politik menuju ke arah yang lebih demokratis
yakni pengambilan keputusan yang banyak melibatkan masyarakat, merupakan
wujud dari perubahan yang mendasar. Terdapat sisi perubahan yang terjadi secara
sporadis yang merupakan gejala umum, yakni tuntutan masyarakat di sekitar
wilayah .
Universitas Sumatera Utara
4.
Tanah diterlantarkan.
Penyebab lain terjadinya konflik tanah
adalah banyaknya tanah
(HGU)
yang terlantar secara fisik tetapi belum jelas status hukumnya. Hal ini mudah
memancing masalah karena pada umumnya rakyat di sekitar
sangat
membutuhkan lahan untuk menyambung kehidupannya. seringkali rakyat yang
nekat mengambil sisa-sisa hasil tanaman kebun yang sudah berakhir HGU nya
terpaksa harus berurusan dengan aparat karena dianggap mencuri. Umumnya
rakyat mengira dengan berakhirnya HGU tanaman yang masih tersisa menjadi
milik Negara.
Tanah terlantar juga bisa terjadi karena pemegang HGU tidak lagi mempunyai
modal kerja untuk mengusahakan tanahnya, atau tanaman yang ada tidak
menghasilkan keuntungan karena tidak dipelihara dengan baik, harga yang
merosot di pasaran, atau dalam sengketa dengan rakyat, masa berlakunya HGU
telah habis sehingga tidak jelas siapa pengelola tanah tersebut. Hal ini menjadikan
bekas HGU tersebut seperti tanah yang tak bertuan. Seringkali prosedur atau
norma untuk menyatakan tanah tersebut terlantar juga tidak bisa mudah
dilaksanakan.
5.
Reclaiming sebagai tanah adat.
Pembukan areal baru
(HGU) seringkali memunculkan masalah reclaiming
yaitu tuntutan pengenbalian hak adat kepada pemegang HGU. Seringkali batas
tanah ulayat dan tanah Negara (kehutanan) tidak jelas, sebagaimana yang terjadi
pada masa Hindia Belanda. Pengakuan dan perlindungan terhadap hukum adat
Universitas Sumatera Utara
secara konstitusional ada pada Undang Undang Pokok Agraria 1960 terutama
dalam Pasal 3, Pasal 5 dan Pasal 18B UUD 1945. Bagi pemerintah persoalannya
sering terletak siapa sesungguhnya yang berhak mewakili komunitas masyarakat
adat yang demikian itu. Padahal banyak kasus ganti rugi tanah telah diberikan
yakni berupa rekognisi sebagai dimaksud oleh UUPA.
Pada dasarnya hak ulayat telah diakui keberadaanya dalam UUPA, namun
pengakuan tersebut masih harus diikuti syarat-syarat tertentu yaitu : Pertama,
eksistensi atau keberadaannya, hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, yang berarti bahwa UUPA tidak mengatur eksistensinya, karena pada
dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan
menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Kedua, syarat pelaksanaannya yaitu sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi.
Selain dari pengaturan tanah hak ulayat yang ditentukan dalam Pasal 3 dan
Pasal 5 UUPA, melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU. Amandemen
UUD 1945 ternyata masih belum mampu menyelesaikan persoalan sebenarnya
yang dihadapi masyarakat hukum adat terutama di daerah, yang disebabkan
berbagai alasan antara lain : Pertama, adanya pembatasan pengakuan hukum
Universitas Sumatera Utara
berupa persyaratan-persyaratan contohnya seperti yang terdapat pada Undangundang Kehutanan, Undang-undang Pemerintah Daerah dan Undang-undang .
Kedua, kebijakan di masing-masing isntansi pemerintah belum sinergis, sehingga
menciptakan sektoralisasi yang pada akhirnya menjadikan banyak instansi
pemerintah mengurusi masyarakat hukum adat menggunakan pendekatan yang
berbeda-beda dan parsial dalam memandang hak-hak masyarakat hukum adat.
Ketiga, belum adanya lembaga yang paling berkompeten menurusi keberadaan
dan hak-hak masyarakat hukum adat serta belum terciptanya model pengaturan
yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap keberadaan masyarakt
hukum adat, baik substansi maupun kerangka implementasinya.
Peluang untuk melindungi hak adat ini terbuka apabila pemerintah daerah
memperhatikan Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 tahun 1999. Keberadaan
masyarakat hukum adat harus diformalkan dalam bentuk Peraturan Daerah.
Ketidakpedulian terhadap sumber kehidupan masyarakat adat hanyalah akan
menuai badai konflik di kemudian hari.
6.
Proses ganti rugi yang bermasalah.
Pelaksanaan ganti rugi tanah
pada masa lalu yang sebagian sarat dengan
kecurangan, manipulasi dan tekanan dari pihak penguasa telah memicu terjadinya
konflik tanah
yang akhir-akhir ini mulai mencuat ke permukaan. Berakhirnya
rezim orde baru yang berganti rezim reformasi dengan kebebasan demokrasi
seluas-luasnya memberikan keberanian kepada masyarakat untuk menuntut
Universitas Sumatera Utara
kembali haknya dengan melakukan penjarahan dan pendudukan atas tanah-tanah,
yang biasanya mendapat dukungan dari organisasi kemasyarakatan seperti LSM.
7.
Lemahnya penegakan hukum.
Lemahnya penegakan hukum
mendorong masyarakat memberanikan diri
meminta (menduduki) menggarap tanah-tanah diantaranya lebih diakibatkan dari
longgarnya tekanan dari sebuah rezim yang berkuasa sedang mengalami transisi,
melemahnya Negara dan aparat keamanan dalam menangani gejolak dan terlihat
ragu-ragu serta ketakutan akan dikenakan sanksi pelanggaran HAM, maka
penegakan hukum aparat menjadi lemah dan mengalami kemerosotan yang tajam
dalam beberapa tahun terakhir.
Penyelesaian yang tepat mengenai berbagai macam permasalahan mengenai
tanah perkebunan hanya ada satu yang bisa dilakukan yaitu dengan cara
musyawarah. Jika musyawarah tidak bisa dilakukan masih ada satu cara lain yaitu
lewat pengadilan. Pada umumnya rakyat enggan melakukan tuntutan lewat
pengadilan karena kebanyakan tidak memiliki bukti bukti formal, seperti sertifikat.
Jalan yang banyak ditempuh yakni non-litigasi (di luar pengadilan) bahkan melalui
jalur jalur tekanan massa, lobi-lobi politik di DPR atau DPRD. Lembaga politik
menjadi ajang penyelesaian konflik hukum, namun imbasnya hukum semakin
terkebelakang dan jalur alternatif politik dipakai sebagai ganti cara menghaluskan
kekerasan.
Universitas Sumatera Utara
Banyak konflik tanah perkebunan di pengadilan yang diselesaikan dengan
hasil yang kurang memuaskan, sehingga berkembang pandangan di masyarakat
bahwa badan peradilan tidak optimal dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.
Akibatnya, rasa keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan masyarakat tidak
terpenuhi, bahkan yang ada hanyalah persoalan baru yang dampaknya justru
memperburuk kondisi yang ada. Pola penyelesaian konflik pertanahan di luar
pengadilan dapat dilakukan dengan cara negosiasi, musyawarah mufakat dan
mediasi. Negosiasi dilakukan dengan jalan dimana para pihak yang berkonflik
duduk bersama untuk mencari jalan terbaik dalam penyelesaian konflik dengan
prinsip bahwa penyelesaian itu tidak ada pihak yang dirugikan (win-win solution).
Musyawarah mufakat adalah lengkah lebih lanjut dari negosiasi. Jika dalam
negosiasi tidak terdapat kesepakatan yang saling menguntungkan, maka langkah
lebih lanjut adalah melakukan musyawarah mufakat dengan melibatkan pihak lain
selaku penengah. Hasil musyawarah tersebut selanjutnya dibuatkan surat
kesepakatan bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan para saksi.
Mediasi merupakan pengendalian konflik pertanahan yang dilakukan
dengan cara membuat konsensus diantara dua pihak yang berkonflik
untuk
mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam
penyelesaian konflik. Penyelesaian secara mediasi baik yang bersifat tradisional
ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative Disp