Analisis Yuridis Hilangnya Hak Tagih Negara Terhadap Perusahaan Pailit (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 116 PK Pdt.Sus.Pailit 2013) Chapter III V

BAB III
PENERAPAN HUKUM DALAM PENAGIHAN PAJAK PADA
PERUSAHAAN PAILIT PT. BESTINDO TATA INDUSTRI
E. Prosedur Penagihan Pajak
Pajak pada dasarnya merupakan kewajiban dari wajib pajak pada negara
yang memiliki aturan untuk melakukan penagihan pajak atau kewajiban tersebut
sesuai dengan Undang-undang Perpajakan. Kewajiban pajak ini selanjutnya dapat
disebut sebagai utang pajak yang wajib diselesaikan pembayarannya kepada
negara. Utang pajak ini merupakan suatu perikatan, dan menurut 1233 Burgerlijk
Wetbook Indonesia (IBW) perikatan timbul karena Undang-undang atau karena
perjanjian.
Segala perikatan baik yang lahir karena Undang-undang maupun karena
perjanjian maka kreditor wajib melakukan tindakan sesuai dengan perikatan
tersebut. Begitu juga untuk kewajiban pajak, utang pajak timbul karena Undangundang oleh karenanya dalam subjek pajak wajib membayar pajak sesuai dengan
Undang-undang Perpajakan. Kewajiban pajak yang harus dilaksanakan
sebagaimana ditentukan, antara lain:
1.

Wajib pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor DJP yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya
diberikan nomor pokok wajib pajak. Fungsi nomor pokok wajib pajak

merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan
sebagai tanda pengenal wajib pajak.112

2.

Wajib pajak wajib melaporkan usahanya pada Kantor DJP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau kedudukan pengusaha dan kegiatan
usaha dilakukan sebagai pengusaha kena pajak, dan kepadanya diberikan
keputusan pengukuhan pengusaha kena pajak.

3.

Wajib pajak wajib mengambil sendiri surat pemberitahuan di tempat-tempat
yang ditetapkan oleh pejabat pajak yang mudah dijangkau oleh wajib pajak.
112

Muhammad Djafar Saidi, Op,Cit, hal 81.

Universitas Sumatera Utara


4.

Wajib pajak wajib mengisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta
ditandatangani sendiri surat pemberitahuan, kemudian mengembalikan ke
Kantor DJP dilengkapi dengan lampiran-lampiran.113

5.

Membuat faktur merupakan kewajiban pengusaha kena pajak

6.

Wajib pajak diwajibkan untuk membayar atau menyetor pajak di tempat yang
telah ditentukan oleh undang-undang.

7.

Pajak yang terutang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak dengan tidak
menggantungkan dengan adanya surat ketetapan pajak.114


8.

Wajib pajak berkewajiban untuk menyelenggarakan dan/atas memperlihatkan
pembukuan atau pencatatan-pencatatan maupun data yang diperlukan oleh
pemeriksaan pajak

9.

Wajib pajak wajib memberi kesempatan kepada pemeriksa pajak untuk
melakukan pemeriksaan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap
perlu.

10. Wajib pajak berkewajiban untuk menunjuk wakil bagi wajib pajak badan
yang bertanggung jawab tentang pelaksanaan kewajiban perpajakan.
11. Wajib pajak wajib menunjuk kuasa hukum untuk mewakili wajib pajak diluar
maupun di dalam lembaga peradilan pajak.115
Berkaitan dengan kewajiban wajib pajak diatas, tentu saja dalam
pelaksanaannya tidak semua wajib pajak yang melaksanakan kewajibannya yakni
membayar pajak dengan patuh dan taat sesuai dengan aturan. Sehingga
kementerian keuangan melalui DJP harus melakukan beberapa cara penagihan

pajak kepada wajib pajak agar melakukan pembayaran. Prosedur penagihan pajak
pada wajib pajak yang tidak atau belum melakukan kewajibannya dilakukan
113

Ibid, hal 82
Ibid, hal 83
115
Ibid, hal 84

114

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku yakni UU KUP dan UU
PSP, yakni :
1. Ketetapan Pajak
Berdasarkan Undang-undang Perpajakan yang menjadi dasar dalam hal
melakukan penagihan adalah ketetapan pajak, maka DJP akan melakukan
beberapa tata cara untuk melakukan penagihan pajak pada penanggung pajak.
Dalam pelaksanaanya DJP akan mengeluarkan beberapa surat ketetapan pajak

yang akan diberikan kepada penanggung pajak, yakni:
a. Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat tagihan pajak diatur dalam Pasal 14 UU KUP yang menyebutkan
surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanski administrasi berupa bunga
dan atau denda. STP diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam hal-hal
sebagai berikut :
1. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
2. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran
pajak sebagai akibat salah tulis atau salah hitung
3. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau bunga
4. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, tetapi tidak
melaporkan kegiatan usahanya dikukuhkan sebagai PKP
5. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
tetapi membuat Faktur Pajak atau Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
PKP tetapi tidak membuat atau tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap.116
Pada Pasal 14 ayat 2 UU KUP menegaskan bahwa STP mempunyai
kekuatan hukum sama dengan Surat Ketetapan Pajak. Kemudian lebih lanjut lagi
pada Penjelasannya disebutkan bahwa Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini
dipersamakan kekuatan hukumnya dengan Surat Ketetapan Pajak, sehingga dalam
hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa. Surat Tagihan Pajak

dapat diterbitkan oleh DJP melalui pemeriksaan atau penelitian. Surat Tagihan
`116 Jhon L Hutagaol dkk, Perpajakan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI,
1999), hal 25.

Universitas Sumatera Utara

Pajak dapat diterbitkan pada jenis pajak, Pajak Penghasilan dan Pajak
Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan Barang Mewah.
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Pengertian SKPKB diatur dalam Pasal 1 ayat 16 UU KUP yang
menyebutkan bahwa SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang
masih harus dibayar117. SKPPKB ini diterbitkan berdasarkan dari hasil
pemeriksaan wajib pajak, dengan keadaan, seperti ini :
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau ketersangan lain pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar
2. Surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah
ditetapakan dan telah ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga seperti
ditentukan dalam surat teguran

3. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya
dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikompensasikan
selisih lebih atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0%.
4. Tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak memenuhi permintaan
dalam pemeriksaan Pajak, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang
terutang.118
Penerbitan SKPKB ini akan juga diikuti dengan sanksi administrasi yang
bisa berupa denda, maupun berupak kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda
2% sebulan (selama-lamanya 24 bulan=48%) akan dikenakan apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan diketahui bahwa wajib pajak tidak atau kurang membayar
besarnya pajak yang terutang.
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
117

Pasal 1 ayat 16 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan dan Tata
Cara Perpajakan
118
Jhon L Hutagaol dkk, Op,Cit, hal 26.

Universitas Sumatera Utara


Defenisi SKPKBT diatur pada Pasal 1 angka 17 UU KUP yang
menyebutkan SKPKBT merupakan surat ketetapan pajak yang menentukan
tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. SKPKBT merupakan hasil
koreksi atas SKPKB, SKPLB, dan SKPN. Penerbitan surat ini juga harus
berdasarkan adanya data baru (novum), dan atau data yang semula belum
terungkap yang menyebebakan penambahan pajak terutang dalam ketetapan pajak
sebelumnya. Data baru yang dimaksud adalah data yang belum dilaporkan oleh
wajib pajak dalam surat pemberitahuan. Sedangkan data yang semula belum
terungkap adalah data yang sudah dilaporkan oleh wajib pajak namun tidak
diungkapkan secara jelas.119
Penerbitan SKPKBT tersebut terdapat juga sanksi administrasi, jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak
tersebut. Kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pajak tidak dikenakan apabila
SKPKBT itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari wajib pajak atas
kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.
Seperti halnya SKPKB, penerbitan SKPKBT juga dapat dilakukan dalam
jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,

Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data baru yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Berdasarkan Pasal 1 ayat 19 UU KUP, SKPLB merupakan Surat
Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena
jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak
terutang. Penerbitan SKPLB ini diterbitkan jika ada permohonan secara terutulis
dari wajib pajak dan selanjutnya atas permohonan tersebut DJP yang dalam hal ini
dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus sudah menerbitkan SKPLB
selambat-lambatnya 12 bulan sejak permohonan diterima secara lengkap.120
Kemudian pada Pasal 17 UU KUP disebutkan bahwa:

119

Op,Cit¸hal 28.
Loc,Cit, hal 28

120


Universitas Sumatera Utara

1. Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak
yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
2. Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah
meneliti apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih
dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah
ditetapkan.
Kemudian pada penjelasannya ditegaskan bahwa ketentuan pasal 17 UU
KUP diterbitkan untuk :
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah
pajak yang terutang;
b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara

jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih
besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan
pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang
menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan

Universitas Sumatera Utara

permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Apabila Wajib Pajak
setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UU KUP.
e. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Ketentuan mengenai SKPN diatur pada Pasal 1 ayat 18 UU KUP, yang
menyebutkan Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak. Penerbitan SKPN dilakukan baik untuk jenis Pajak Penghasilan maupun
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Untuk pajak
penghasilan diterbitkan apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak
yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
SKLB akan diterbitkan jika ada permohonan tertulis dari wajib pajak
kepada DJP. Kemudian selanjutnya DJP akan diwakili Kepala Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) harus sudah menerbitkan SKPLB paling lambat 12 bulan sejak
permohonan diterima, kecuali untuk kegiatan tertentu akan ditetapkan lain oleh
DJP. Apabila jangka waktu 12 telah lewat, maka permohonan wajib pajak
dianggap diterima dan wajib pajak berhak memperoleh pengembalian atas
kelebihan pajaknya. Kemudian jika berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak
yang lebih dibayar jumlahnya lebih dibayar jumlahnya lebih besar dari kelebihan
pembayaran pajak yang telah ditetapkan maka SKPLB masih dapat diterbitkan
lagi.121
f. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang ( SPPT )
SPPT adalah surat yang diterbitkan oleh DJP untuk memberitahukan
besarnya pajak yang terutang kepada wajib pajak. Ketentuan SKPN diatur pada
Pasal 10 ayat 1 Undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan yang menyebutkan SPPT merupakan dokumen yang berisi besarnya
utang atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus dilunasi oleh wajib pajak
pada waktu yang telah ditentukan. SPPT diterbitkan berdasarkan Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang telah disampaikan oleh wajib pajak atau
berdasarkan data objek pajak yang telah ada di Kantor Pelayanan PBB.122
SPPT yang telah diterbitkan oleh Kantor Pelayanan PBB, pelunasanya
harus diselesaikan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya
121

Wirawan B Iliyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta: PT Salemba Emban
Patria, 2004 ), hal 36.
122
Ibid, hal 37

Universitas Sumatera Utara

SPPT oleh wajib pajak. Bila SPPT tidak dilunasi maka akan dikenakan sanksi
denda administrasi sebesar 2% sebulan dihitung dari saat jatuh tempo sampai hari
pembayaran untuk jangka waktu selama-lamanya 24 bulan.123
2. Tindakan Penagihan Pajak
Pada dasarnya yang menjadi tolak ukur keberhasilan dalam penerimaan
pajak pada suatu negara adalah dengan melihat sejauhmana kepatuhan rakyatnya
dalam melaksanakan kewajibannya membayar pajak kepada negara sesuai dengan
peraturan perpajakan. Karena pajak merupakan salah satu sumber serapan dana
cukup besar dari negara, maka untuk memenuhi target penerimaan pajak tersebut,
pemerintah melakukan berbagai upaya untuk memungut pajak dari wajib pajak
yang tidak taat atau belum membayar pajak sesuai dengan ketetapan aturan
perpajakan.
Adapun tindakan penagihan pajak yang akan dilakukan petugas DJP
sesuai dengan UU KUP dan UU PSP adalah :
1. Surat Teguran
Surat teguran dapat disebut juga sebagai surat peringatan atau surat lain
yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur ataupun
memperingatkan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 angka 10 UU PSP124. Surat ini merupakan prosedur
penagihan pada tahap awal, bagi wajib pajak yang sudah memiliki utang pajak
yang harus dibayar.
Surat teguran ini memberi waktu kepada penanggung pajak untuk
menyelesaikan kewajibanya selama 14 hari, sebelum diterbitkannya surat paksa
yang merupakan tahapan selanjutnya jika wajib pajak tidak melunasi utang
pajaknya. Apa bila dalam hingga waktu yang diberikan, wajib pajak tidak
melakukan pembayaran maka akan dilakukan tindakan sebagai berikut :
a. Wajib pajak disampaikan surat teguran setalah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh
tempo pengajuan keberatan, apabila wajib pajak tidak menyetujui sebagian
atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan dan wajib pajak tidak mengajukan keberatan atas Surat

123
124

Jhon L Hutagaol dkk, Op,Cit, hal 29.
Ida Zurida dan L.Y Hari Sih Advianto, Op, Cit, hal 65

Universitas Sumatera Utara

Ketetapan Pajak Kurang Bayar(SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT).
b. Wajib pajak disampaikan surat teguran setalah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh
tempo pengajuan banding, apabila wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau
seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dan wajib pajak tidak mengajukan permohonan banding atas
keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB atau SKPKBT.
c. Wajib pajak disampaikan surat teguran setalah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh
tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan putusan banding,
apabila wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang
masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan wajib
pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan
dengan SKPKB atau SKPKBT.
d. Wajib pajak disampaikan surat teguran setalah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh
tempo pelunasan (1 bulan sejak tanggal diterbikan) apabila wajib pajak
menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan
akhir hasil pemeriksaan.
e. Wajib pajak disampaikan surat teguran setalah 7 (tujuh) hari sejak tanggal
pencabutan pengajuan keberatan apabila wajib pajak mencabut pengajuan
keberatan atas SKPKB atau SKPKBT setelah tanggal jatuh tempo pelunasan
tetapi sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh wajib
pajak.
Kewajiban yang diberikan kepada penanggung pajak ini merupakan
kesempatan yang diberikan kepada wajib pajak, sebelum petugas penagih pajak

Universitas Sumatera Utara

melakukan tindakan yang lebih lanjut. Namun apabila sampai pada tanggal jatuh
tempo yang ditentukan ketetapan pajak tersebut tidak dilunasi oleh wajib pajak
maka akan menjadi utang pajak yang dapat dilakukan penagihan berdasakan UU
PSP.
Sesuai dengan fungsinya surat teguran pajak adalah untuk
memperingatkan penanggung pajak untuk segera melunasi utang pajaknya maka
kondisi diatas telah menunjukan bahwa sebenarnya wajib pajak atau penanggun
pajak secara sadar telah mengetahui bahwa dirinya memiliki utang pajak.
Sehingga dengan demikian upaya memperingatkan wajib pajak atau penanggung
pajak dengan surat teguran tidak diperlukan jika penanggung pajak menyelesaikan
kewajibannya.125
2. Surat Paksa
Surat paksa merupakan surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak. Surat paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan
hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.126 Hal ini didasarkan pada kepala surat paksa tercantum “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sehingga surat paksa
memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan.127
Surat paksa dilaksanakan oleh juru sita Pajak Negara, yaitu karyawan
Direktorat Jendral Pajak yang ditunjuk dan diangkat serta disumpah berdasarkan
keputusan Kepala KPP/KPPBB atas nama Menteri Keuangan. Selanjutnya surat
paksa ini memerintahkan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajak, denda
bunga, dan biaya penagihan dalam waktu 2x 24 jam. Jika tidak dilunasi akan
dilakukan penyitaan baik penyitaan atas barang bergerak maupun barang tidak
bergerak.128 Surat paksa diterbitkan dalam hal :
a. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan jatuh tempo
pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat
peringatan atau surat lain yang sejenis.

125

Ibid, hal 68
Mardiasmi, Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta,
2002), hal 47.
127
Ida Zurida dan L.Y Hari Sih Advianto, Op, Cit, hal 71
128
Jhon L Hutagaol dkk, Op,Cit, hal 34.
126

Universitas Sumatera Utara

b. Terhadap penanggung pajak yang telah dilaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, atau
c. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.129
Terkait penanggung pajak yang belum melakukan kewajibanya membayar
utang pajak sesuai dengan ketetentuan yang ada, maka dalam hal ini juru sita akan
menyampaikan Surat Paksa kepada :
1. Penanggung pajak
2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja di tempat usaha
Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat
dijumpai
3. Salah satu ahli waris atau pelaksanan wasiat atau yang mengurus harta
peninggalannya apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan
belum meninggal dunia.
4. Para ahli waris apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan
telah dibagi.
Surat paksa terhadap badan diberitahukan jurusita kepada:
a. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik
modal
b. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan, apabila jurusita
tidak menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud seperti diatas.
Berkaitan dengan wajib pajak dinyatakan pailit, surat paksa diberitahukan
kepada kurator, hakim pengawas atau Balai Harta Peninggalan. Sedangkan dalam
wajib pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, surat paksa diberitahukan
kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau
129

Ida Zuraida dan L.Y Hari Sih Advianto, Loc, Cit, hal 71

Universitas Sumatera Utara

likuidator.130 Surat pemberitahuan ini berlaku selama 2x24 jam dan jika dalam
waktu tersebut penanggung pajak atau wajib pajak tidak membayar utang pajak,
maka petugas selanjutnya akan melakakukan penyitaan terhadap barang bergerak
mapun tidak bergerak dari milik penanggung pajak.
3. Surat Sita atau Penyitaan
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 1 ayat 2 PP No.135 Tahun 2000 tentang
Tata Cara Penyitaan dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa diatur
bahwa penyitaan adalah tindakan juru sita pajak guna dijadikan jaminan untuk
melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku131.
Tujuan dilakukannya dari tindakan penyitaan ini sesungguhnya tidak untuk
melakukan penjualan barang milik penanggung pajak, melainkan hanya untuk
menguasi barang penanggung pajak sebagai jaminan pelunasan utang pajak.132
Penyitaan ini hanya dilakukan sebagai bentuk jaminan juru sita pajak dari
barang milik penanggung pajak yang tidak taat membayar pajak, dan juga tidak
telah menerima surat teguran dan surat paksa dari petugas juru sita. Penanggung
pajak diberi kesempatan untuk melunasi utang pajaknya oleh Undang-undang
selama waktu 14 hari sejak surat penyitaan diberikan oleh juru sita kepada
penanggung pajak atau wakil wajib pajak. Jika wajib pajak melunasi maka
penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak dikembalikan atau pencabutan
sita. Namun jika wajib tidak melunasi maka, DJP akan melakukan pelelangan
terhadap objek barang yang disita oleh juru sita pajak.
4. Pengumuman Lelang
Pengertian Lelang menurut Pasal 1 angka 17 UU PSP adalah setiap
penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan
atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Sementara
pelaksanaan penjualan lelang dilakukan oleh Kantor Lelang. Pengumuman lelang
dilakukan oleh pejabat DJP apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari
sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, penanggung pajak tidak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak. Pengumuman lelang dilakukan dan untuk
barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak
dilakukan 2 (dua) kali selama 10 (sepuluh) hari.
5. Penjualan Barang Sitaan

130

Mardiasmo, Ibid¸hal 48
Pasal 1 ayat 12 PP No.13 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan
132
Ida Zuraida dan L.Y Hari Sih Advianto, Op, Cit, hal 90.
131

Universitas Sumatera Utara

Penjualan Barang Sitaan penanggung pajak dilakukan oleh pejabat melalui
kantor lelang negara apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak
pengumuman lelang, penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak. Penawaran lelang dilaksanakan secara langsung, semua peserta
lelang yang sah atau kuasanya pada saat mengajukan penawaran.
Jika hasil penjualan barang sitaan telah mencukup untuk membayar utang
pajak dan biaya penagihan, maka penjualan barang lelang dihentikan. Kemudian
apabila terdapat sisa dari hasil penjualan maka uang tersebut dikembalik kepada
penanggung pajak.
F. Dasar Hukum Penagihan Pajak Pada Perusahaan Pailit
3. Dasar Hukum Penagihan Pajak
Sistem perpajakan di Indonesia, baik pajak pusat maupun pajak daerah
mengenal dua sistem pemungutan, yaitu self assessment dan official assessment.
Dasar penagihan pajak dalam kedua sistem tersebut tidak ada berbeda, keduanya
memerlukan penetapan pajak terlebih dahulu sebelum tindakan penagihan pajak.
Dalam sistem self assessment, pelakasanaan kewajiban perpajakan tidak
menggantunggkan adanya ketetapan pajak dari pihak otoritas perpajakan,
penetapan otoritas perpajakan yaitu DJP untuk pajak pusat atau Pemerintah
Daerah untuk pajak daerah.
Sistem self assessment penagihan pajak diperulkan jika terdapat utang
pajak yang berasal dari penetapan dari pihak otoritas perpajakan (pusat/daerah)
dan atas penetapan tersebut tidak dilunasi oleh wajib pajak sehingga menimbulkan
utang pajak. Dalam sistem official assessment hasil penetapan pajak yang tidak
dilunasi oleh wajib pajak akan menjadi utang pajak yang merupakan dasar
penetapan pajak.
Kemudian dalam penagihan pada wajib pajak, petugas perpajakan
melakukan penerapan aturan hukum yang sama. Sesuai dengan dengan pengertian
wajib pajak pada pasal 1 ayat 2 UU KUP melakukan klasifikasi wajib pajak,
yakni:

1. Orang pribadi
Hukum perikataan orang (Person) berarti pembawa hak atau subjek
didalam hukum. Pada suatu asas hukum perdata dinyatakan bahwa kekayaan

Universitas Sumatera Utara

sesorang akan menjadi tanggungan dalam rangka memenuhi kewajibannya133.
Pada UU KUP mengenal istilah wajib pajak orang pribadi yang menjalankan
pekerjaan bebas, yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang
mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang
tidak terikat pada suatu hubungan kerja, misalnya dokter, notaris, pengacara, atau
agen asuransi. UU KUP mengatur bagi wajib pajak yang telah memenuhi syarat
subjektif dan objektif maka wajib bagi mereka memperoleh NPWP.
Ketentuan lain terkait orang pribadi juga diatur pada Pasal 1 ayat 4 UU
KUP, yang menyebutkan pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam
bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan
barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
2. Badan
Ketentuan mengenai badan yang merupakan wajib pajak diatur pada Pasal
1 ayat 3 UU KUP yang menyebutkan bahwa badan adalah sekumpulan orang
dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Kedua golongan wajib pajak tersebut dalam penerapan aturan hukum pada
saat dilakukan penagihan pajak, petugas DJP melakukan tindakan berdasarkan
dasar hukum :
a. Dasar hukum formal
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terahkir kali
dengan Undang-undang 16 Tahun 2009

133

Ibid, hal 18

Universitas Sumatera Utara

2. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa sebagaiman telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19
Tahun 2000
3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak, dan
4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2000 tentang Pengadilan Pajak134.
b. Dasar hukum material
1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terahkir dengan Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2008
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terahkir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terahkir dengan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1984
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terahkir
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000

134

Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer ( Yogjakarta: Graha Ilmu, 2010 ),

hal.87.

Universitas Sumatera Utara

6. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang sebagaimana telah beberapa
kali diubah terahkir dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Pajak Daerah dan Restribusi, serta
7. Berbagai peraturan Daerah Provinsi, baik Peraturan Daerah Provinsi
maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur tentang
pemberlakukan

suatu

jenis

pajak

aderah

disuatu

provinsi

atau

kabupaten/kota.135
Ketentuan di atas merupakan aturan hukum yang diterapkan bagi wajib
pajak pada umumnya sehingga dalam penagihan pajak terdapat kepastian hukum
dan adanya perlakuan hukum yang sama bagi seluruh wajib pajak di Indonesia.
Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, yang
memberi ketegasan bahwa dalam setiap tindakan yang dilakukan pemerintah
termasuk dalam melakukan penagihan pajak pada masyarakat harus ada aturan
hukum yang mendasari tindakan tersebut. Sehingga penagihan pajak yang
dilakukan DJP kepada wajib pajak adil dan tidak melakukan perbedaan atau
tindakan khusus.
Kemudian untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi
masyarakat terkait penagihan utang pajak. Undang-undang Perpajakan juga
mengatur tentang hapusnya utang pajak, sehingga debitur tidak harus melakukan
pembayaran. Hapusnya perikatan pajak, meliputi :
1. Pembayaran,
2. Kompensasi utang,
3. Pembebasan utang,
4. Pembatalan
5. Daluwarsa136
Hapusnya utang karena pembayaran apabila suatu utang pajak dibayar
lunas maka akan menjadi hapuslah utang pajak tersebut. Mereka yang diwajibkan
membayar pajak adalah wajib pajak, yakni subjek pajak yang mempunyai
135

Ibid, hal 88
Y.Sri.Pudyatmoto, Op,Cit, hal. 71

136

Universitas Sumatera Utara

kewajiban untuk membayar pajak. Pembayaran pajak yang diwakilkan oleh pihak
ketigajuga dimungkinkan137 Dalam hal ini jika pada perusahaan pailit maka yang
menjadi pihak ketiga ada kurator sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat 3(a) UU
KUP.
Selanjutnya hilangnya utang akibat kompensasi utang, apabila terjadi
kelebihan pembayaran pajak, misalnya yang dapat disebabkan oleh berbagai hal
seperti perubahan peraturan, adanya pemberian pengurangan, kekeliruan
pembayaran dan lain sebagainya, maka kelebihan pembayaran pajak itu menjadi
hak wajib pajak. Dalam hal ini pajak dapat direstitusikan (dikembalikan) kepada
wajib pajak, dikompensasikan (diperhitungkan) dengan utang pajak untuk tahun
pajak berikutnya ataupun disumbangkan kepada negara. Hal ini berdasarkan
ketentuan pada Pasal 11 ayat 1 UU KUP.138
Hilangnya atau hapusnya utang pajak dapat disebabkan karena adanya
pembebasan utang. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan adanya keputusan
administrasi dibidang pajak.139 Pembebasan merupakan sarana hukum pajak untuk
melepaskan tanggung jawab wajib pajak berupa membayar pajak. Pembebasan
hanya diperuntukkan terhadap wajib pajak yang secara nyata dikenakan pajak,
tetapi tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang Pajak
untuk diberikan pembebasan. Sekalipun demikian, wajib pajak tetap wajib
menaati Undang-undang Pajak yang memberikan pembebasan sehingga tidak
terjadi pelanggaran hukum yang berakibat dapat dikenakan sanksi hukum
pajak.140
Hapusnya utang pajak juga dapat disebabkan karena pembatalan. Dalam
hukum pajak, pajak yang terutang hanya dapat dihapuskan atau dibatalkan karena
adanya surat keputusan dari DJP. Peniadaan utang pajak hanya dapat terjadi
karena berdasarkan permohonan wajib pajak yang dikabulkan oIeh pejabat pajak
dapat berupa sebagai berikut:
a. Peniadaan sebagian utang pajak adalah perbuatan hukum oleh pejabat pajak
untuk melakukan pengurangan atas sejumlah utang pajak yang seyogianya
dibayar.

137

Ibid, hal.69.
Ibid,
139
Ibid, hal.70
140
http://www.kabarpajak.com/, “Timbul dan Hapusnya Utang Pajak”, diakses dari
http://www.kabarpajak.com/2013/07/makalah-pajak-timbul-dan-hapusnya-utang.html,Pada
tanggal 1 Agustus 2016, Pukul 11.00 WIB.
138

Universitas Sumatera Utara

b. Peniadaan secara keseluruhan utang pajak adalah perbuatan hukum oleh
pejabat pajak untuk meniadakan seluruh utang pajak yang seharusnya
dibayar.141
Perikatan pajak yang juga dapat terhapus karena adanya daluwarsa.
Daluwarsa yang mengakibatkan hilangnya kewenangan dari DJP untuk
mengenakan Surat Ketetapan Pajak meupun hak untuk penagihan dengan surat
paksa.142 Mengenai daluwarsa ini di atur pada Pasal 22 ayat 1 UU KUP , yang
menyebutkan bahwa hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga
denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui 5
(lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.143
Sehingga dengan adanya ketentuan mengenai hapusnya utang pajak ini
memberi penegasaan bahwa didalam pemungutan pajak terdapat kepastian
hukum. Hal ini diberikan agar wajib pajak diberikan rasa keadilan dan kepastian
terkait utang pajak.
4. Penagihan Pajak Terhadap Perusahaan Pailit
Keadaan debitor (wajib pajak) yang dinyatakan pailit, maka dasar hukum
dalam melakukan penagihan utang pajak petugas menerapkan aturan hukum UU
KUP dan UU PSP serta mempertimbangkan UUK untuk proses penagihannya
kepada wajib pajak yang dinyatakan pailit. Hal disebabkan terkait hak yang
dimiliki wajib pajak yang dinyatakan pailit dalam melakukan pengurusan harta
kekayaannya hilang, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 24 UUK yang
menyebutkan bahwa “debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasi
dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak tanggal putusan
pernyataan pailit itu diucapkan”144.
Hal ini menyebabkan dalam melaksanakan kewajibannya, akan
dilaksanakan oleh kurator, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 16 dan 69 UUK
yang menenetukan tugas dan kewenangan kurator adalah melakukan pengurusan
dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan
141

Ibid,
Y.Sri.Pudyatmoto, Loc,Cit hal 71.
143
Pasal 22 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan
144
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
142

Universitas Sumatera Utara

meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.145
Sehingga setelah ada pernyataan pailit maka kurator yang akan melaksanakan
kewajiban debitor pailit untuk melakukan pelunasan utang-utang pajak.
Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 21 ayat 3(a) UU KUP, yang
menyatakan dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar atau likuidasi maka
kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran
atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum
menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
Sehingga UU KUP dan UUK menyatakan untuk pemberesan utang pajak debitor
pailit, pelunasannya dilaksanakan oleh kurator yang ditunjuk oleh Hakim.
Utang pajak pada debitor (wajib pajak) pailit pada dasarnya tetap sama
dengan keadaan wajib pajak pada umumnya, yaitu negara tetap memiliki hak
istimewa yang mana pembayaran utang-utang harus didahulukan dibanding
dengan kreditor lainnya. Terkait dengan kreditur, dalam Hukum kepailitan,
kedudukan kreditor diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) macam yaitu
a. kreditor separatis (secured creditors),
b. kreditor preferen (preferred creditors), dan
c. kreditor konkuren (unsecured creditors).

Utang pajak merupakan kreditor preferen yang mana harus didahulukan terlebih
dahulu pembayarannya daripada utang-utang lainnya.146
Status utang pajak yang masuk dalam kreditur prefren dan dipertegas pada
ketentuan Pasal 41 ayat 3 UUK dan juga pada penjelasannya yang menyebutkan
bahwa perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian
dan/atau karena undang-undang. Lebih lanjut lagi pada penjelasannya disebutkan
bahwa perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang misalnya
kewajiban membayar pajak. Hal ini jelas mengarahkan bahwa utang pajak pada
perusahaan pailit menduduk hak istimewa dibanding dengan para kreditur lainnya
seperti separatis dan konkuren.
Penagihan pajak pada perusahaan pailit yang mendapat kedudukan
istimewa ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 21 ayat 3 UU KUP yang
menegaskan bahwa negara mempunyai hak mendahului untuk tagihan pajak atas
145

Sunarmi, Op, Cit, hal. 118.
Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2006), hal.34
146

Universitas Sumatera Utara

barang-barang milik penanggung pajak. Ketentuan ini meliputi pokok pajak,
bunga denda administrasi, kenaikan dan biaya penagihan.147
Sesuai dengan UUK, UU KUP dan UU PSP maka yang menjadi dasar
hukum penagihan pajak dan hak mendahului pada perusahaan pailit adalah
sebagai berikut :
a. Pasal 21 UU KUP menyatakan bahwa :
1. Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang
milik Penanggung Pajak.
2. Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan,
dan biaya penagihan pajak.
3. Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya,
kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk
melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak
b.

biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
dan/ atau

c.

biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan
penyelesaian suatu warisan.

Pada penjelasan Pasal 21 ayat 3 UU KUP secara tegas disebut negara
memiliki hak mendahului diatas kreditur lainnya. Kecuali untuk biaya perkara dan
biaya lainnya seperti yang telah ditentukan pada ketentuan UU Perpajakan.
b. Pasal 19 ayat 6 UU PSP yang menyatakan bahwa
Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu
lainnya, kecuali terhadap:

147

Sunarmi, Ibid, hal. 154.

Universitas Sumatera Utara

1. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk
melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;
2. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
3. biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian
suatu warisan.
c. Pasal 21 ayat 3 UUK, yang menyatakan bahwa :
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian
dan/atau karena undang-undang. Kemudian pada penjelasannya disebutkan bahwa
perbuatan yang wajib dilakukan karena Undang-undang misalnya kewajiban
membayar pajak.
d. Pasal 60 ayat 2 UUK, yang menyebutkan bahwa :
Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan yang
kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditor pemegang hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) maka kreditor pemegang hak tersebut wajib menyerahkan
bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah
tagihan yang diistimewakan. Kemudian dalam penjelasan pasal ini menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan "kreditor yang diistimewakan" adalah kreditor
pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Negara yang telah memiliki dasar hukum dan hak yang didahulukan maka
selanjutnya untuk proses pembayaran DJP harus mengikuti tata cara pemberesan
pada debitor pailit. Salah satu proses untuk menentukan pemberesan tagihan pajak
pada debitor pailit yakni pada rapat verifikasi utang. Dalam rapat verifikasi ini
diadakan pemeriksaan, pencocokan dan pengujian atas tagihan-tagihan kreditor
dengan pembukuan-pembukuan yang dimiliki debitor pailit. Untuk menentukan
apakah tagihan-tagihan yang diajukan oleh kreditor akan diterima atau ditolak
oleh kurator tergantung pada alat-alat bukti yang diajukan oleh kreditor. Untuk itu
kreditor harus menyertakan perhitungan-perhitungan serta keterangan yang
dimilikinya pada saat ia memasukkan tagihannya ke kurator.148
Ketentuan ini menegaskan bahwa semua kreditor wajib menyerahkan
piutang masing-masing kepada kurator disertai perhitungan atau keterangan
148

Sunarmi, Op, Cit, hal. 136.

Universitas Sumatera Utara

tertulis lainnya yang menunjukan sifat dan jumlah piutang disertai dengan surat
bukti atau salinannya dan suatu pernyataan ada atau tidaknya kreditor mempunyai
suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak
agunan atas kebendaan lainnya atau hak untuk menahan benda. Atas penyerahan
piutang tersebut, kreditor berhak meminta tanda149.
Hal ini juga memberi kewajiban bagi DJP untuk melakukan penagihan
pajak juga harus mengikuti aturan verfikasi utang pada rapat verifikasi kreditor
untuk menetukan kedudukan utang. Utang pajak masuk sebagai kreditur prefren
seperti yang ditegaskan dalam UUK dan UU KUP, sehingga negara mempunyai
hak mendahului dari kreditor lainnya.
Selanjutnya hak mendahului ini dapat hilang sesuai dengan ketentuan pada
Pasal 21 ayat 4 UU KUP yang menyatakan hak mendahulu hilang setelah
melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah. Sehingga berdasarkan ketentuan ini negara tetap
menerapkan asas keadilan dalam penagihan pajak pada wajib pajak.
G. Status Utang Pajak Pada Perusahaan Pailit
Pada dasarnya pajak merupakan suatu perikatan antara subjek hukum.
Namun perikatan pada pajak tidak sama dengan perikatan yang dimaksud dalam
perdata. Dalam perikatan perdata, perikatan dapat terjadi karena adanya perjanjian
dan dapat pula karena undang–undang. Sedangkan perikatan pajak adalah
perikatan yang timbul karena undang-undang. Perikatan perdata dilingkupi oleh
suasana hukum privat yang mengatur hubungan-hubungan hukum dari subjeksubjek yang sederajat. Sementara perikatan pajak dilingkupi oleh hukum publik di
mana salah satu pihaknya adalah negara yang mempunyai kewenangan untuk
memaksa.150
Kemudian lebih lanjut untuk defenisi utang pajak diatur pada Pasal 1 ayat
(8) UU PPSP yang menyebutkan bahwa Utang Pajak merupakan pajak yang
masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau
kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya
149

Op, Cit, hal. 137.
Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2009),

150

hal.65.

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal tersebut
kemudian ditegaskan pada Pasal 12 ayat (1) UU KUP setiap wajib pajak wajib
membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan
pajak. Utang pajak timbul apabila terdapat adanya sebab-sebab taatbestand yang
terdiri dari (keadaan, peristiwa ataupun perbuatan tertentu) yang menyebabkan
orang tersebut dikenakan pajak menurut undang-undang perpajakan.
Timbulnya utang pajak karena undang-undang yakni taatbestand yang
dalam hukum pajak disebut ajaran materil tentang timbulnya utang pajak.
Sedangkan ada pendirian lain yang dikenal dengan ajaran formil, di mana para
penganut ajaran ini berpendirian bahwa utang pajak itu timbul karena adanya surat
ketetapan pajak oleh fiskus. Dengan demikian meskipun sudah dipenuhi adanya
taatbestand, namun belum ada SKP, maka ini berarti belum ada utang pajak.151
Secara umum utang pajak digolongkan ke dalam 2 ajaran yakni material
dan formal. Menurut ajaran material utang pajak timbul karena keadaan adanya
undang-undang pajak dan peristiwa/keadaan perbuatan tertentu, serta tidak
menunggu dari tindakan pihak fiskus/pemerintah. Utang pajak yang timbul karena
keadaan tertentu misalnya pengenaan pajak kendaraan bermotor. Pajak yang
timbul karena perbuatan misalnya : BPHTB, BBNKB, Bea Meterai, PPh, PPn,
dan PPn BM (taatbestand). Timbulnya utang pajak karena peristiwa tertentu

151

Bohari, op.cit, hal.112

Universitas Sumatera Utara

misalnya pengenaan BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena
warisan, BBNKB atas penyerahan kendaraan karena warisan, dan sebagainya.152
Sedangkan menurut ajaran formal utang pajak timbul yang tidak melihat
tentang adanya taatbestand sebagai dasar yang menimbulkan utang pajak tetapi
menggantungkan pada adanya suatu SKP. Tanpa adanya SKP yang dikeluarkan
oleh fiskus maka tidak ada utang pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak, atau
dengan kata lain walaupun taatbestand telah dipenuhi akan tetapi apabila belum
dikeluarkan SKP maka belum ada suatu utang pajak. 153 Menurut ajaran formal
apabila seorang wajib pajak meninggal dunia sebelum dikeluarkannya SKP maka
orang tersebut luput dari pengenaan pajak, dan kewajiban pembayaran pajak
dengan sendirinya tidak dapat berpindah kepada ahli warisnya. Hal ini didasari
pada pendapat yang menyatakan bahwa utang pajak belum pernah timbul karena
belum pernah dikeluarkan SKP.
Berkaitan dengan hal tersebut, ajaran formil pada dasarnya menyatakan
bahwa utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang
dikenakan pajak karena adanya suatu keadaan dan perbuatan (taatbestand).
Ajaran ini diterapkan pada self assessment system sebagaimana yang berlaku di
Indonesia termasuk pada penagihan pajak.
Kemudian jika dilihat dari timbulnya utang pajak tersebut maka yang
mendasari pertama ajaran materil dan selanjutnya ajaran formil. Hal disebabkan,
walaupun saat ajaran materil sudah terpenuhi yaitu utang pajak telah ditetapkan
oleh undang-undang, melainkan pada ajaran formil belum terpenuhi dimana
152

Marihat Pahala Siahaan, Op Cit, hal. 129.
Loc,Cit, hal. 129

153

Universitas Sumatera Utara

belum diterbitkan SKP oleh DJP, maka saat ini utang pajak belum dapat dianggap
timbul atau ada. Hal tersebut yang menjadi dasar pada proses penagihan pajak
yang dilakukan, DJP sebagi penagih pajak yang akan melaksanakan
kewenangannya apabila telah dikeluarkannya SKP.
Selanjutnya penagihan pajak pada wajib pajak pailit atau perusahaan pailit
maka dalam hal ini diatur oleh hukum kepailitan melakukan penggolongan
kreditur. Hal ini didasari oleh, pada syarat pengajuan permohonan pailit harus
memiliki 2 atau lebih kreditur. Sehingga dalam UUK untuk pembagian kreditur
dilakukan klasifikasi, sebagai berikut :
1. Kreditor konkuren (Unsecured Creditor), kreditor yang harus berbagai dengan

kreditor lainnya secara proposional, atau disebut juga harus secara pari passu,
yaitu menurut perbandingan besarnya masinng-masing tagihan mereka
2. Kreditor Prefren (secured creditor), kreditor yang didahulukan dari kreditor-

kreditor lainnya untuk memperoleh pelunasan tagihannya dari hasil penjualan
harta kekayaan debitor dan kreditor ini mendapat hak istimewa karena
diberikan oleh undang-undang.
3. Kreditor separatis, yaitu kreditor yang dapat menjual sendiri benda jaminan

seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Tergolong sebagai kreditur separatis adalah
kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, atau hak agunan
atas kebendaan lainnya.154
Berdasarkan pembagian golongan kreditur diatas, maka utang pajak masuk
dalam kreditur prefren, dimana memiliki hak istimewa. Status utang pajak pada

154

Sunarmi, Op, Cit, hal. 153.

Universitas Sumatera Utara

perusahaan pailit yang sudah tegas diatur pada hukum kepailitan, melalui
ketentuan pada Pasal 41 ayat 3 UUK dan penjelasnnya. Kemudian kedudukan
negara yang pembayarannya wajib didahulukan ini lahir atau timbul karena
adanya Undang-undang yang mengatur status penagihan tersebut.
H. Penerapan Hukum Penagihan Pajak Pada Perusahaan Pailit PT. Bestindo
Tata Industri
Pada dasarnya pelaksanaan penagihan pajak pada perusahaan pailit tidak
ada penerapan hukum yang berbeda jika wajib pajak taat dan seusai aturan dalam
hal melakukan proses pembayaran kewajibannya membayar pajak. Karena dalam
penagihan utang pajak, DJP memperlakukan wajib pajak sesuai dengan ketentuan
Undang-undang Perpajakan dan tidak ada perlakukan yang beda.
Pada kasus penagihan pajak perusahaan pailit PT. Bestindo Tata Industri
(PT.BTI), negara kehilangan hak untuk menagih dan kehilangan hak didahulukan
atas utang pajak debitor (wajib pajak) pailit. Hilangnya hak tagih negara ini
berawal dari penolakan dan bantahan dari kurator atas tagihan utang pajak pada
DJP Banten KPP Pratama Serang.
Sebelumnya kasus ini berawal dari PT. BTI dinyatakan pailit oleh
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 17 Oktober 2000 dengan Nomor
Putusan: 69/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST. Selanjutnya kurator Amalia
Santoso ditunjuk oleh hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat melakukan tugasnya
sesuai dengan ketentuan pada Pasal 69 ayat 1 UUK yang menyebutkan bahwa
kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas
harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Selanjutnya kurator menjalankan tugasnya sesuai dengan amanah Undangundang, termasuk untuk melakukan pembayaran atau pelunasan utang pajak
PT.BTI (debitur pailit). Proses penagihan pajak pada dasarnya sama dan tidak ada
yang berbeda dengan penagihan pada wajib pajak yang dinyatakan pailit. Wajib

Universitas Sumatera Utara

pajak melaporkan utang pajaknya dan selanjutnya melakukan pembayaran, jika
data yang diberikan sudah benar dan diterima oleh DJP atau KPP.
Pada kasus PT.BTI yang dinyatakan pailit, kurator dianggap tidak
memberikan laporan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan PPh badan
tahun pajak 2000 yang diserahkan kurator pada tanggal 31 Maret 2000. Hal ini
disebabkan karena kurator dianggap tidak melampirkan neraca dan/atau laporan
rugi laba dan surat pernyataan tidak aktif sebagai suatu kesatuan yang merupakan
unsut keabsahan Surat Pemberitahuan.
Ketentuan terkait SPT ini diatur pada Pasal 3 ayat 1 UUK, yang
menyebutkan bahwa, Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan
dengan benar, lengkap,dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan
huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menan