PERSENTASE PENETASAN TELUR IKAN GABUS (Channa striata) PADA PH AIR YANG BERBEDA
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 4(2) : 140-151 (2016)
ISSN : 2303-2960
PERSENTASE PENETASAN TELUR IKAN GABUS (Channa striata) PADA PH AIR
YANG BERBEDA
The Hatching Percentage of Snakehead (Channa striata) Egg with
Different Water pH
Ayu Altiara1, Muslim1*, Mirna Fitrani1
1
PS.Akuakultur Fakultas Pertanian UNSRI
Kampus Indralaya Jl. Raya Palembang Prabumulih KM 32 Ogan Ilir Telp. 0711 7728874
*
Korespondensi email : [email protected]
ABSTRACT
The success in egg hatching is determined by internal and external factors. One of
external factors is the acid level. The use of pH in egg hatching is to stimulate chorionase
enzyme that can make chorion become soft. The purpose of this research is to determine
the best pH value for hatching of snakehead eggs. This research had been conducted in
Laboratorium Dasar Perikanan, Departement of Aquaculture, Agriculture Faculty,
Sriwijaya University on January until February 2016. The research method used a
completely randomized design with five treatments and three replications. The treatment
were P1 (pH 5±0.2), P2 (pH 6±0.2), P3 (pH 7±0.2), P4 (pH 8±0.2) dan P5 (pH 9±0.2). The
results showed that different values of water pH in snakehead hatching gave significant
effect on hatching percentage, incubation time and survival rate of larvae but did not
indicate significant effect on percentage of abnormal larvae. The highest hatching
percentage was in treatment P5 (90.75%), the fastest incubation time was in treatment P4
(20.00 hours), the highest survival rate of larvae was in treatment P2 (85.31%) and the
highest percentage of abnormal larvae was in treatment P1 (1.67%). During the research,
water quality were in tolerance range for hatching and snakehead larvae rearing where DO
(5.27-6.01 mg/l), ammonia (0.00-0.29 mg/l), and alkalinity (26-106 mg/l).
Key words : Snakehead, Hatching, pH different
PENDAHULUAN
semakin
meningkat,
maka
lntensitas
penangkapan ikan ini di alam juga
Ikan gabus merupakan salah satu
semakin meningkat. Semakin intensifnya
jenis ikan perairan umum yang bernilai
penangkapan ikan gabus memberikan
ekonomis tinggi. Ikan ini mulai dari
dampak terhadap menurunnya populasi
ukuran kecil sampai ukuran besar dapat
ikan gabus di alam (Muslim, 2007).
dimanfaatkan. Produksi ikan gabus di
Upaya
Sumatera Selatan masih mengandalkan
mencukupi permintaan pasar akan ikan
hasil tangkapan nelayan dari alam. Untuk
gabus dapat dilakukan dengan kegiatan
memenuhi permintaan ikan gabus yang
budidaya.
yang
dapat
Kegiatan
dilakukan
budidaya
untuk
dapat
140
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
dilakukan
apabila
ketersediaan
benih
pada beberapa jenis ikan diantaranya
dapat terpenuhi. Keberhasilan pembenihan
penelitian
ikan gabus sangat bergantung dengan
penetasan telur ikan baung tertinggi
penetasan telur yang dihasilkan selama
(Hemibagrus nemurus Blkr) pada pH
proses pemijahan.
7±0,02. Pada penelitian Gao et.al. (2011),
Penetasan telur adalah perubahan
Irawan
(2010),
persentase
persentase penetasan telur catfish (Silorus
intracapsular ke fase kehidupan, pada
asotus)
fase
penelitian Nchedo dan Chijioke (2012),
ini
terjadi
perubahan-perubahan
tertinggi
pada
pH 7.
Pada
morfologi hewan. Penetasan merupakan
persentase penetasan telur
saat terakhir masa pengeraman sebagai
dumbo (Clarias gariepinus) tertinggi pada
hasil beberapa proses sehingga embrio
pH 8. Pada penelitian Calta dan Ural
keluar
(2001), persentase penetasan telur ikan
dari cangkangnya (Tang dan
ikan lele
dalam
mas (Cyprinus carpio L) tertinggi pada
penetasan telur sangat ditentukan oleh
pH 7,0-8,0. Pada penelitian Tataje et.al.
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
(2015), persentase penetasan telur ikan
internal diantaranya kualitas telur dari
tarpon (Prochilodus lineatus) tertinggi
induk,
eksternal
pada pH 8,5 namun pada jenis ikan-ikan
diantaranya faktor lingkungan perairan
rawa seperti ikan gabus belum pernah
seperti
ammonia,
diteliti. Dari hasil-hasil penelitian di atas
pencahayaan, salinitas dan pH (Ardias,
menunjukan bahwa nilai pH terbaik pada
2008).
setiap spesies ikan berbeda, sehingga
Affandi,
2001).
Keberhasilan
sedangkan
suhu,
faktor
alkalinitas,
Peran pH dalam proses penetasan
perlu dilakukan kajian-kajian spesifik
telur ikan ialah merangsang keluarnya
berdasarkan jenis ikan mengenai dampak
enzim
chorionase yang terdiri dari
pH terhadap penetasan telur, oleh karena
pseudokeratin dan unsur kimia lainnya
itu penelitian ini sangat penting dilakukan.
yang dihasilkan oleh kelenjar endodermal
di daerah pharink
(Effendie,
1997).
Menurut Blaxler (1969) dalam Tang dan
BAHAN DAN METODA
Affandi (2001), pada pH 7,1-9,6 kerja
enzim chorionase akan lebih optimum.
Studi tentang peran pH dalam proses
Penelitian ini telah dilakukan di
Laboratorium Dasar Perikanan, Program
penetasan telur ikan juga telah diteliti
141
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
Fakultas
berwarna merah. Induk ikan jantan yang
Pertanian, Universitas Sriwijaya pada
matang gonad ditandai dengan warna
bulan Januari-Februari 2016.
tubuh yang hitam mengkilat dan lubang
Studi
Budidaya
Bahan
yang
Perairan,
digunakan
dalam
urogenitalnya berwana merah. Induk yang
penelitian ini adalah induk ikan gabus
digunakan
(Induk betina dengan bobot 480 gram dan
didapatkan dari alam dengan bobot 480
panjang 41 cm, induk jantan dengan bobot
gram dan panjang 41 cm untuk induk
300 gram dan panjang 33 cm), ®Ovaprim,
betina dan bobot 300 gram dan panjang 33
larutan H2SO4 0,1 N, larutan NaOH 0,1 N,
cm untuk induk jantan.
timbangan,
pH-meter,
untuk
proses
pemijahan
DO-meter,
termometer, akuarium ukuran 30x30x30
Penyuntikan Hormon Gonadotropin
cm3, box stearofoam 70x40x25 cm3, spuit
Hormon yang digunakan dalam
suntik, blower , electronic heater dan
penyuntikan yaitu hormon gonadotropin
cawan petri.
yang terkandung dalam ®ovaprim dengan
dosis 0,5 ml/kg. Penyuntikan dilakukan
secara intramuscular pada otot punggung
Rancangan Penelitian
dirancang
induk. Induk betina dan induk jantan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap
dilakukan 1 kali penyuntikan. Setelah
(RAL) terdiri dari lima perlakuan dengan
dilakukan penyuntikan antara induk jantan
tiga ulangan. Adapun perlakuan dalam
dan induk betina maka induk ikan tersebut
penelitian ini adalah P1 (pH 5±0,2), P2
dimasukkan dalam box sterofoam untuk
(pH 6±0,2), P3 (pH 7±0,2), P4 (pH 8±0,2)
melakukan proses pemijahan.
Penelitian
ini
dan P5 (pH 9±0,2).
Pemijahan
Pemijahan
Cara Kerja
Persiapan Induk
sterofoam
Seleksi dilakukan untuk memilih
dilakukan
berukuran
di
box
70x40x25
cm3
sebanyak 1 buah. Rasio jantan dan betina
untuk
adalah 1:1 (1 jantan dan 1 betina). Dalam
dipijahkan atau telah matang gonad. Ikan
box sterofoam diberi enceng gondok dan
betina
penutup
induk
yang
yang
benar-benar
matang
siap
gonad
ditandai
dibagian
dengan perut yang membesar dan lunak
terjadinya
serta di sekitar lubang urogenitalnya
dilakukan secara alami.
atasnya.
perkawinan
dan
Proses
ovulasi
142
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
Pembuatan Media Air
telur tiap akuarium adalah 100 butir telur.
Pembuatan media dengan nilai pH
Telur yang digunakan adalah telur-telur
5±0,2 dan 6±0,2 dengan menambahkan
yang terbuahi, yang ditandai dengan ciri-
larutan H2SO4 0,1 N, sedangkan untuk
ciri berwarna putih kekuningan.
membuat media air dengan nilai pH
7±0,2, 8±0,2, dan 9±0,2 digunakan larutan
Pemeliharaan Larva
NaOH 0,1 N. Pembuatan media air
Larva ikan gabus hasil penetasan
dilakukan setelah proses penyuntikan
dipelihara selama 20 hari dalam akuarium
induk ikan gabus. Dalam pembuatan pH
pada pH sesuai perlakuan. Larva yang
perlakuan air didalam akuarium, terlebih
mati dibuang dengan menggunakan pipet
dahulu pH air diukur dengan pH meter.
tetes agar kualitas air tetap baik.
Setelah pH air media diketahui maka
untuk membuat kisaran pH perlakuan
Parameter
adalah dengan memberikan larutan H2SO4
Persentase Penetasan
atau NaOH yang telah diperoleh dengan
Persentase penetasan telur adalah
jumlah tertentu. Cara menjaga nilai pH
persentase jumlah telur yang menetas
agar tetap berada pada kisaran perlakuan
menjadi larva dari telur yang dibuahi
pada masing-masing akuarium adalah
dengan menggunakan rumus Slamet et al.,
dilakukannya pengecekan setiap 30 menit
(1989) dalam Putri et.al. (2013) :
sekali.
Persentase penetasan =
Penetasan Telur
Telur ikan yang telah dibuahi
dimasukkan ke dalam 15 akuarium yang
sudah diatur pH airnya sesuai dengan
perlakuan masing-masing yang diisi air
sebanyak 10 liter dan dilengkapi dengan
sistem aerasi. Pengamatan terhadap telur
ikan gabus terus dilakukan hingga telur
menetas. Telur ikan gabus yang digunakan
dalam penelitian ini sebanyak 1500 telur
Lama Waktu Penetasan Telur
Lama waktu penetasan telur (T)
diketahui dengan cara menghitung waktu
terjadi pembuahan (T0) hingga telur
menetas maksimal 90% dari 100 butir
telur yang ditebar (Tn) berdasarkan Putri
et al., (2013) yaitu :
T = Tn – T0
yang ditebar dalam 15 akuarium, jumlah
143
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
Analisis Data
Persentase Larva Abnormal
merupakan
Data yang diperoleh dari hasil
persentase jumlah telur yang menetas
penelitian disajikan dalam bentuk tabel
menjadi larva cacat (abnormal). Menurut
dan
Nirmala
persentase
Microsoft Excel 2007. Data persentase
abnormalitas larva dihitung berdasarkan
penetasan telur, waktu penetasan dan
rumus berikut:
kelangsungan hidup prolarva dianalisa
% abnormalitas larva =
dengan analisa sidik ragam (uji F).
Abnormalitas
et
larva
al.,
(2006)
diolah
menggunakan
program
Apabila hasil uji F menunjukkan pengaruh
berbeda nyata dilakukan dengan uji lanjut
BNJ dengan selang kepercayaan 95%.
Sedangkan data kualitas air dianalisa
secara deskriptif.
Kelangsungan Hidup Larva
Kelangsungan hidup larva ikan
gabus
selama
pemeliharaan
dihitung
dengan menggunakan rumus Effendie
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Penetasan
(1997) adalah sebagai berikut :
Persentase penetasan telur ikan
SR =
gabus selama penelitian disajikan pada
Tabel 1.
Berdasarkan analisis ragam pH air
yang berbeda berpengaruh nyata terhadap
persentase penetasan telur ikan gabus. Uji
Kualitas Air
Kualitas air yang diukur selama
penetasan telur
yaitu
suhu,
oksigen
terlarut, alkalinitas, dan ammonia. Suhu
diukur 30 menit sekali, oksigen terlarut
diukur
sebanyak
tiga
kali
selama
pemeliharaan yaitu pada awal, tengah, dan
akhir
pemeliharaan,
alkalinitas
dan
BNJ
menunjukkan
bahwa
persentase
penetasan paling tinggi terdapat pada
perlakuan P5 namun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan P4 dan P3. Sementara
itu, perlakuan P1 menghasilkan persentase
penetasan telur ikan gabus terendah dan
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
ammonia diukur sebanyak dua kali yaitu
pada awal dan akhir pemeliharaan.
144
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
Tabel 1. Persentase penetasan telur ikan gabus selama penelitian
Perlakuan
Ulangan
2
56
70
87
87
93
1
53
65
85
85
90
P1 (pH 5±0,2)
P2 (pH 6±0,2)
P3 (pH 7±0,2)
P4 (pH 8±0,2)
P5 (pH 9±0,2)
3
49
69
79
83
89
Rerata (%)
BNJ 0.05 = 8.06
52,67a
68,00b
83,67c
85,00c
90,67c
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf superscrib yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Tingginya persentase penetasan
kematian pada embrio. Pada pH media
ikan gabus pada perlakuan P3, P4 dan P5
penetasan yang asam dapat menyebabkan
dibandingkan dengan perlakuan P2 dan P1
metabolisme yang terjadi dalam telur
diduga
tidak optimal sehingga kerja mekanik
kondisi
pH
air
7-9
dapat
merangsang kinerja enzim chorionase.
tidak
berjalan
dengan
baik
yang
Blaxter (1969) dalam Tang dan Affandi
mengakibatkan embrio kesulitan dalam
(2001), menyatakan bahwa pada pH 7,1-
membebaskan diri dari cangkang bahkan
9,6 enzim chorionase akan bekerja secara
akan dapat mengalami kematian pada
optimum. Enzim chorionase adalah enzim
embrio (Irawan, 2010).
protease yang diproduksi oleh sel-sel
kelenjar
penetasan
berpengaruh
telur
dalam
ikan
proses
dan
penetasan
Persentase telur menetas terendah
yaitu pada perlakuan P1. Hal ini diduga
pH
air
yang
Lama waktu penetasan telur ikan
gabus selama penelitian disajikan pada
(Luberda et.al., 1990).
karena
Lama Waktu Penetasan Telur
asam
akan
menyebabkan terganggunya metabolisme
Tabel 2.
Berdasarkan analisis ragam pH air
yang berbeda berpengaruh nyata terhadap
lama waktu penetasan telur ikan gabus.
dalam telur dan dapat menyebabkan
Tabel 2. Lama waktu penetasan telur ikan gabus selama penelitian
Ulangan
Rerata (jam)
Perlakuan
BNJ 0.05 = 1,07
1
2
3
P1 (pH 5±0,2)
29,25
27,93
27,82
28,33d
P2 (pH 6±0,2)
27,57
27,62
27,72
27,64d
P3 (pH 7±0,2)
23,80
23,57
23,72
23,70c
P4 (pH 8±0,2)
20,25
20,50
19,93
20,23a
P5 (pH 9±0,2)
22,47
22,05
22,00
22,17b
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf superscrib yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
145
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
bahwa
semakin cepat sehingga proses pemecahan
waktu penetasan paling cepat terdapat pada
cangkang telur semakin cepat dan waktu
perlakuan P4 dan berbeda nyata dengan
yang dibutuhkan untuk penetasan akan
perlakuan lainnya. Sementara itu, waktu
semakin singkat.
Uji
BNJ
menunjukkan
penetasan telur paling lama terdapat pada
Waktu penetasan paling lama yaitu
perlakuan P1, namun tidak berbeda nyata
pada perlakuan P1. Hal ini diduga karena
dengan perlakuan P2.
pada media penetasan yang asam, kerja
Lama waktu penetasan tercepat
enzim chorionase tidak bekerja dengan
pada perlakuan P4 yang diikuti dengan
baik sehingga membuat chorion menjadi
perlakuan P5 dan P3, hal ini diduga karena
lebih lama. Sukendi (2003) dalam Irawan
pada pH 7-9 merupakan pH yang baik
(2010), menyatakan bahwa pH dalam
untuk
chorionase.
media penetasan tidak optimal maka kerja
Menurut Tang dan Affandi (2001), pada
enzim chorionase akan terganggu yang
pH 7,1-9,6 kerja enzim chorionase yang
mengakibatkan
dikeluarkan oleh kelenjar endodermal di
bergerak sehingga waktu yang dibutuhkan
daerah phrynk embrio akan optimum
telur untuk menetas akan semakin lama.
mereduksi
mereduksi
chorion
enzim
yang
terdiri
embrio
tidak
aktif
dari
pseudokeratine hingga menjadi lembek.
Persentase Larva Abnormal
Pada saat akan terjadi penetasan gerakan
Persentase larva abnormal dengan
embrio akan semakin aktif bergerak.
pH air berbeda selama penelitian disajikan
Bersamaan dengan gerakan tersebut akan
pada Tabel 3.
diikuti oleh gerakan tubuh melingkar yang
Tabel 3. Persentase larva abnormal selama penelitian
Perlakuan
P1 (pH 5±0,2)
P2 (pH 6±0,2)
P3 (pH 7±0,2)
P4 (pH 8±0,2)
P5 (pH 9±0,2)
1
1,89
1,54
0
0
0
Ulangan
2
1,79
0
1,15
0
0
3
0
1,45
0
1,20
1,12
Rerata (%)
1,23
1,00
0,38
0,40
0,37
146
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
dalam
abnormalitas larva ikan gabus yang didapat
Yusiana (2016), keabnormalitasan (cacat)
pada masing-masing perlakuan terlihat dari
larva ikan dapat diamati dari bentuk
bentuk tubuh yang bengkok, bentuk sirip
kepala, tubuh dan atau ekor yang bengkok,
ekor dan sirip dada yang tidak sempurna.
Menurut
Mukti
(2005)
tubuh menyusut atau lebih pendek dari
Gambar larva ikan gabus normal
ukuran normal maupun perbesaran kelopak
dan larva ikan gabus abnormal disajikan
mata
pada Gambar 1 dan Gambar 2.
dan
kepala
ikan.
Sedangkan
Gambar 1. Larva normal
(A)
(B)
(C)
Gambar 2. Larva abnormal : sirip dada tidak ada satu (A), sirip ekor tidak sempurna
(B) dan bentuk tulang punggung bengkok (C)
Kelangsungan Hidup Larva
Kelangsungan hidup larva dengan pH air berbeda selama penelitian disajikan
pada Tabel 4 :
Tabel 4. Kelangsungan hidup larva ikan gabus selama penelitian
Perlakuan
P1 (pH 5±0.2)
P2 (pH 6±0.2)
P3 (pH 7±0.2)
P4 (pH 8±0.2)
P5 (pH 9±0.2)
1
75,47
86,15
85,88
61,18
47,78
Ulangan
2
71,43
85,71
81,61
55,17
43,01
3
75,51
84,06
86,08
60,24
41,57
Rerata (%)
BNJ 0.05 = 7.04
74,14c
85,31d
84,52d
58,86b
44,12a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf superscrib yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
147
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
Berdasarkan analisis ragam pH
media
berpengaruh
nyata
terhadap
hari menunjukkan nilai tertinggi terdapat
pada pH 6-6,5.
Kelangsungan
kelangsungan hidup larva ikan gabus. Uji
hidup
larva
BNJ menunjukkan bahwa kelangsungan
terendah pada perlakuan P5 (pH 9±0,2).
hidup larva paling tinggi terdapat pada
Hal ini diduga nilai pH yang sudah tidak
perlakuan P2 (pH 6±0,2) namun tidak
dapat ditolelir oleh larva ikan gabus
berbeda nyata pada perlakuan P3 (pH
sehingga
7±0,2).
mampu
Sementara
itu,
kelangsungan
banyak
larva
beradaptasi.
yang
belum
Surbakti
(2015)
hidup larva ikan gabus paling rendah pada
menyatakan kandungan pH yang tidak
perlakuan P5 (pH 9±0,2) dan berbeda
optimum akan menyebabkan ikan stres
nyata dengan perlakuan lainnya.
dan
Kelangsungan hidup larva ikan
mengalami
gangguan
fisiologis
bahkan dapat menyebabkan kematian.
gabus paling tinggi pada perlakuan P2 (pH
6±0,2) dan P3 (pH 7±0,2), hal ini diduga
Kualitas Air
pada perlakuan P2 (pH 6±0,2) dan P3 (pH
Data hasil kualitas air beberapa
7±0,2) merupakan pH yang sesuai untuk
parameter dalam penetasan telur ikan
media hidup larva ikan gabus. Menurut
gabus selama penelitian disajikan pada
Surbakti (2015), kelangsungan hidup larva
Tabel 5.
ikan gabus setelah dipelihara selama 24
Tabel 5. Data kualitas air selama penelitian
Perlakuan
P1 (pH 5±0,2)
P2 (pH 6±0,2)
P3 (pH 7±0,2)
P4 (pH 8±0,2)
P5 (pH 9±0,2)
Referensi
DO (mg/l)
5,55-5,84
5,33-5,87
5,27-5,68
5,58-6,01
5,77-5,93
>51)
Parameter (satuan)
Amonia (mg/l)
Alkalinitas (mg/l) CaCO3
0,02-0,24
26-34
0,00-0,19
40-48
0,00-0,28
50-60
0,00-0,29
68-74
0,00-0,19
80-106
ISSN : 2303-2960
PERSENTASE PENETASAN TELUR IKAN GABUS (Channa striata) PADA PH AIR
YANG BERBEDA
The Hatching Percentage of Snakehead (Channa striata) Egg with
Different Water pH
Ayu Altiara1, Muslim1*, Mirna Fitrani1
1
PS.Akuakultur Fakultas Pertanian UNSRI
Kampus Indralaya Jl. Raya Palembang Prabumulih KM 32 Ogan Ilir Telp. 0711 7728874
*
Korespondensi email : [email protected]
ABSTRACT
The success in egg hatching is determined by internal and external factors. One of
external factors is the acid level. The use of pH in egg hatching is to stimulate chorionase
enzyme that can make chorion become soft. The purpose of this research is to determine
the best pH value for hatching of snakehead eggs. This research had been conducted in
Laboratorium Dasar Perikanan, Departement of Aquaculture, Agriculture Faculty,
Sriwijaya University on January until February 2016. The research method used a
completely randomized design with five treatments and three replications. The treatment
were P1 (pH 5±0.2), P2 (pH 6±0.2), P3 (pH 7±0.2), P4 (pH 8±0.2) dan P5 (pH 9±0.2). The
results showed that different values of water pH in snakehead hatching gave significant
effect on hatching percentage, incubation time and survival rate of larvae but did not
indicate significant effect on percentage of abnormal larvae. The highest hatching
percentage was in treatment P5 (90.75%), the fastest incubation time was in treatment P4
(20.00 hours), the highest survival rate of larvae was in treatment P2 (85.31%) and the
highest percentage of abnormal larvae was in treatment P1 (1.67%). During the research,
water quality were in tolerance range for hatching and snakehead larvae rearing where DO
(5.27-6.01 mg/l), ammonia (0.00-0.29 mg/l), and alkalinity (26-106 mg/l).
Key words : Snakehead, Hatching, pH different
PENDAHULUAN
semakin
meningkat,
maka
lntensitas
penangkapan ikan ini di alam juga
Ikan gabus merupakan salah satu
semakin meningkat. Semakin intensifnya
jenis ikan perairan umum yang bernilai
penangkapan ikan gabus memberikan
ekonomis tinggi. Ikan ini mulai dari
dampak terhadap menurunnya populasi
ukuran kecil sampai ukuran besar dapat
ikan gabus di alam (Muslim, 2007).
dimanfaatkan. Produksi ikan gabus di
Upaya
Sumatera Selatan masih mengandalkan
mencukupi permintaan pasar akan ikan
hasil tangkapan nelayan dari alam. Untuk
gabus dapat dilakukan dengan kegiatan
memenuhi permintaan ikan gabus yang
budidaya.
yang
dapat
Kegiatan
dilakukan
budidaya
untuk
dapat
140
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
dilakukan
apabila
ketersediaan
benih
pada beberapa jenis ikan diantaranya
dapat terpenuhi. Keberhasilan pembenihan
penelitian
ikan gabus sangat bergantung dengan
penetasan telur ikan baung tertinggi
penetasan telur yang dihasilkan selama
(Hemibagrus nemurus Blkr) pada pH
proses pemijahan.
7±0,02. Pada penelitian Gao et.al. (2011),
Penetasan telur adalah perubahan
Irawan
(2010),
persentase
persentase penetasan telur catfish (Silorus
intracapsular ke fase kehidupan, pada
asotus)
fase
penelitian Nchedo dan Chijioke (2012),
ini
terjadi
perubahan-perubahan
tertinggi
pada
pH 7.
Pada
morfologi hewan. Penetasan merupakan
persentase penetasan telur
saat terakhir masa pengeraman sebagai
dumbo (Clarias gariepinus) tertinggi pada
hasil beberapa proses sehingga embrio
pH 8. Pada penelitian Calta dan Ural
keluar
(2001), persentase penetasan telur ikan
dari cangkangnya (Tang dan
ikan lele
dalam
mas (Cyprinus carpio L) tertinggi pada
penetasan telur sangat ditentukan oleh
pH 7,0-8,0. Pada penelitian Tataje et.al.
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
(2015), persentase penetasan telur ikan
internal diantaranya kualitas telur dari
tarpon (Prochilodus lineatus) tertinggi
induk,
eksternal
pada pH 8,5 namun pada jenis ikan-ikan
diantaranya faktor lingkungan perairan
rawa seperti ikan gabus belum pernah
seperti
ammonia,
diteliti. Dari hasil-hasil penelitian di atas
pencahayaan, salinitas dan pH (Ardias,
menunjukan bahwa nilai pH terbaik pada
2008).
setiap spesies ikan berbeda, sehingga
Affandi,
2001).
Keberhasilan
sedangkan
suhu,
faktor
alkalinitas,
Peran pH dalam proses penetasan
perlu dilakukan kajian-kajian spesifik
telur ikan ialah merangsang keluarnya
berdasarkan jenis ikan mengenai dampak
enzim
chorionase yang terdiri dari
pH terhadap penetasan telur, oleh karena
pseudokeratin dan unsur kimia lainnya
itu penelitian ini sangat penting dilakukan.
yang dihasilkan oleh kelenjar endodermal
di daerah pharink
(Effendie,
1997).
Menurut Blaxler (1969) dalam Tang dan
BAHAN DAN METODA
Affandi (2001), pada pH 7,1-9,6 kerja
enzim chorionase akan lebih optimum.
Studi tentang peran pH dalam proses
Penelitian ini telah dilakukan di
Laboratorium Dasar Perikanan, Program
penetasan telur ikan juga telah diteliti
141
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
Fakultas
berwarna merah. Induk ikan jantan yang
Pertanian, Universitas Sriwijaya pada
matang gonad ditandai dengan warna
bulan Januari-Februari 2016.
tubuh yang hitam mengkilat dan lubang
Studi
Budidaya
Bahan
yang
Perairan,
digunakan
dalam
urogenitalnya berwana merah. Induk yang
penelitian ini adalah induk ikan gabus
digunakan
(Induk betina dengan bobot 480 gram dan
didapatkan dari alam dengan bobot 480
panjang 41 cm, induk jantan dengan bobot
gram dan panjang 41 cm untuk induk
300 gram dan panjang 33 cm), ®Ovaprim,
betina dan bobot 300 gram dan panjang 33
larutan H2SO4 0,1 N, larutan NaOH 0,1 N,
cm untuk induk jantan.
timbangan,
pH-meter,
untuk
proses
pemijahan
DO-meter,
termometer, akuarium ukuran 30x30x30
Penyuntikan Hormon Gonadotropin
cm3, box stearofoam 70x40x25 cm3, spuit
Hormon yang digunakan dalam
suntik, blower , electronic heater dan
penyuntikan yaitu hormon gonadotropin
cawan petri.
yang terkandung dalam ®ovaprim dengan
dosis 0,5 ml/kg. Penyuntikan dilakukan
secara intramuscular pada otot punggung
Rancangan Penelitian
dirancang
induk. Induk betina dan induk jantan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap
dilakukan 1 kali penyuntikan. Setelah
(RAL) terdiri dari lima perlakuan dengan
dilakukan penyuntikan antara induk jantan
tiga ulangan. Adapun perlakuan dalam
dan induk betina maka induk ikan tersebut
penelitian ini adalah P1 (pH 5±0,2), P2
dimasukkan dalam box sterofoam untuk
(pH 6±0,2), P3 (pH 7±0,2), P4 (pH 8±0,2)
melakukan proses pemijahan.
Penelitian
ini
dan P5 (pH 9±0,2).
Pemijahan
Pemijahan
Cara Kerja
Persiapan Induk
sterofoam
Seleksi dilakukan untuk memilih
dilakukan
berukuran
di
box
70x40x25
cm3
sebanyak 1 buah. Rasio jantan dan betina
untuk
adalah 1:1 (1 jantan dan 1 betina). Dalam
dipijahkan atau telah matang gonad. Ikan
box sterofoam diberi enceng gondok dan
betina
penutup
induk
yang
yang
benar-benar
matang
siap
gonad
ditandai
dibagian
dengan perut yang membesar dan lunak
terjadinya
serta di sekitar lubang urogenitalnya
dilakukan secara alami.
atasnya.
perkawinan
dan
Proses
ovulasi
142
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
Pembuatan Media Air
telur tiap akuarium adalah 100 butir telur.
Pembuatan media dengan nilai pH
Telur yang digunakan adalah telur-telur
5±0,2 dan 6±0,2 dengan menambahkan
yang terbuahi, yang ditandai dengan ciri-
larutan H2SO4 0,1 N, sedangkan untuk
ciri berwarna putih kekuningan.
membuat media air dengan nilai pH
7±0,2, 8±0,2, dan 9±0,2 digunakan larutan
Pemeliharaan Larva
NaOH 0,1 N. Pembuatan media air
Larva ikan gabus hasil penetasan
dilakukan setelah proses penyuntikan
dipelihara selama 20 hari dalam akuarium
induk ikan gabus. Dalam pembuatan pH
pada pH sesuai perlakuan. Larva yang
perlakuan air didalam akuarium, terlebih
mati dibuang dengan menggunakan pipet
dahulu pH air diukur dengan pH meter.
tetes agar kualitas air tetap baik.
Setelah pH air media diketahui maka
untuk membuat kisaran pH perlakuan
Parameter
adalah dengan memberikan larutan H2SO4
Persentase Penetasan
atau NaOH yang telah diperoleh dengan
Persentase penetasan telur adalah
jumlah tertentu. Cara menjaga nilai pH
persentase jumlah telur yang menetas
agar tetap berada pada kisaran perlakuan
menjadi larva dari telur yang dibuahi
pada masing-masing akuarium adalah
dengan menggunakan rumus Slamet et al.,
dilakukannya pengecekan setiap 30 menit
(1989) dalam Putri et.al. (2013) :
sekali.
Persentase penetasan =
Penetasan Telur
Telur ikan yang telah dibuahi
dimasukkan ke dalam 15 akuarium yang
sudah diatur pH airnya sesuai dengan
perlakuan masing-masing yang diisi air
sebanyak 10 liter dan dilengkapi dengan
sistem aerasi. Pengamatan terhadap telur
ikan gabus terus dilakukan hingga telur
menetas. Telur ikan gabus yang digunakan
dalam penelitian ini sebanyak 1500 telur
Lama Waktu Penetasan Telur
Lama waktu penetasan telur (T)
diketahui dengan cara menghitung waktu
terjadi pembuahan (T0) hingga telur
menetas maksimal 90% dari 100 butir
telur yang ditebar (Tn) berdasarkan Putri
et al., (2013) yaitu :
T = Tn – T0
yang ditebar dalam 15 akuarium, jumlah
143
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
Analisis Data
Persentase Larva Abnormal
merupakan
Data yang diperoleh dari hasil
persentase jumlah telur yang menetas
penelitian disajikan dalam bentuk tabel
menjadi larva cacat (abnormal). Menurut
dan
Nirmala
persentase
Microsoft Excel 2007. Data persentase
abnormalitas larva dihitung berdasarkan
penetasan telur, waktu penetasan dan
rumus berikut:
kelangsungan hidup prolarva dianalisa
% abnormalitas larva =
dengan analisa sidik ragam (uji F).
Abnormalitas
et
larva
al.,
(2006)
diolah
menggunakan
program
Apabila hasil uji F menunjukkan pengaruh
berbeda nyata dilakukan dengan uji lanjut
BNJ dengan selang kepercayaan 95%.
Sedangkan data kualitas air dianalisa
secara deskriptif.
Kelangsungan Hidup Larva
Kelangsungan hidup larva ikan
gabus
selama
pemeliharaan
dihitung
dengan menggunakan rumus Effendie
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Penetasan
(1997) adalah sebagai berikut :
Persentase penetasan telur ikan
SR =
gabus selama penelitian disajikan pada
Tabel 1.
Berdasarkan analisis ragam pH air
yang berbeda berpengaruh nyata terhadap
persentase penetasan telur ikan gabus. Uji
Kualitas Air
Kualitas air yang diukur selama
penetasan telur
yaitu
suhu,
oksigen
terlarut, alkalinitas, dan ammonia. Suhu
diukur 30 menit sekali, oksigen terlarut
diukur
sebanyak
tiga
kali
selama
pemeliharaan yaitu pada awal, tengah, dan
akhir
pemeliharaan,
alkalinitas
dan
BNJ
menunjukkan
bahwa
persentase
penetasan paling tinggi terdapat pada
perlakuan P5 namun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan P4 dan P3. Sementara
itu, perlakuan P1 menghasilkan persentase
penetasan telur ikan gabus terendah dan
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
ammonia diukur sebanyak dua kali yaitu
pada awal dan akhir pemeliharaan.
144
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
Tabel 1. Persentase penetasan telur ikan gabus selama penelitian
Perlakuan
Ulangan
2
56
70
87
87
93
1
53
65
85
85
90
P1 (pH 5±0,2)
P2 (pH 6±0,2)
P3 (pH 7±0,2)
P4 (pH 8±0,2)
P5 (pH 9±0,2)
3
49
69
79
83
89
Rerata (%)
BNJ 0.05 = 8.06
52,67a
68,00b
83,67c
85,00c
90,67c
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf superscrib yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
Tingginya persentase penetasan
kematian pada embrio. Pada pH media
ikan gabus pada perlakuan P3, P4 dan P5
penetasan yang asam dapat menyebabkan
dibandingkan dengan perlakuan P2 dan P1
metabolisme yang terjadi dalam telur
diduga
tidak optimal sehingga kerja mekanik
kondisi
pH
air
7-9
dapat
merangsang kinerja enzim chorionase.
tidak
berjalan
dengan
baik
yang
Blaxter (1969) dalam Tang dan Affandi
mengakibatkan embrio kesulitan dalam
(2001), menyatakan bahwa pada pH 7,1-
membebaskan diri dari cangkang bahkan
9,6 enzim chorionase akan bekerja secara
akan dapat mengalami kematian pada
optimum. Enzim chorionase adalah enzim
embrio (Irawan, 2010).
protease yang diproduksi oleh sel-sel
kelenjar
penetasan
berpengaruh
telur
dalam
ikan
proses
dan
penetasan
Persentase telur menetas terendah
yaitu pada perlakuan P1. Hal ini diduga
pH
air
yang
Lama waktu penetasan telur ikan
gabus selama penelitian disajikan pada
(Luberda et.al., 1990).
karena
Lama Waktu Penetasan Telur
asam
akan
menyebabkan terganggunya metabolisme
Tabel 2.
Berdasarkan analisis ragam pH air
yang berbeda berpengaruh nyata terhadap
lama waktu penetasan telur ikan gabus.
dalam telur dan dapat menyebabkan
Tabel 2. Lama waktu penetasan telur ikan gabus selama penelitian
Ulangan
Rerata (jam)
Perlakuan
BNJ 0.05 = 1,07
1
2
3
P1 (pH 5±0,2)
29,25
27,93
27,82
28,33d
P2 (pH 6±0,2)
27,57
27,62
27,72
27,64d
P3 (pH 7±0,2)
23,80
23,57
23,72
23,70c
P4 (pH 8±0,2)
20,25
20,50
19,93
20,23a
P5 (pH 9±0,2)
22,47
22,05
22,00
22,17b
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf superscrib yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
145
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
bahwa
semakin cepat sehingga proses pemecahan
waktu penetasan paling cepat terdapat pada
cangkang telur semakin cepat dan waktu
perlakuan P4 dan berbeda nyata dengan
yang dibutuhkan untuk penetasan akan
perlakuan lainnya. Sementara itu, waktu
semakin singkat.
Uji
BNJ
menunjukkan
penetasan telur paling lama terdapat pada
Waktu penetasan paling lama yaitu
perlakuan P1, namun tidak berbeda nyata
pada perlakuan P1. Hal ini diduga karena
dengan perlakuan P2.
pada media penetasan yang asam, kerja
Lama waktu penetasan tercepat
enzim chorionase tidak bekerja dengan
pada perlakuan P4 yang diikuti dengan
baik sehingga membuat chorion menjadi
perlakuan P5 dan P3, hal ini diduga karena
lebih lama. Sukendi (2003) dalam Irawan
pada pH 7-9 merupakan pH yang baik
(2010), menyatakan bahwa pH dalam
untuk
chorionase.
media penetasan tidak optimal maka kerja
Menurut Tang dan Affandi (2001), pada
enzim chorionase akan terganggu yang
pH 7,1-9,6 kerja enzim chorionase yang
mengakibatkan
dikeluarkan oleh kelenjar endodermal di
bergerak sehingga waktu yang dibutuhkan
daerah phrynk embrio akan optimum
telur untuk menetas akan semakin lama.
mereduksi
mereduksi
chorion
enzim
yang
terdiri
embrio
tidak
aktif
dari
pseudokeratine hingga menjadi lembek.
Persentase Larva Abnormal
Pada saat akan terjadi penetasan gerakan
Persentase larva abnormal dengan
embrio akan semakin aktif bergerak.
pH air berbeda selama penelitian disajikan
Bersamaan dengan gerakan tersebut akan
pada Tabel 3.
diikuti oleh gerakan tubuh melingkar yang
Tabel 3. Persentase larva abnormal selama penelitian
Perlakuan
P1 (pH 5±0,2)
P2 (pH 6±0,2)
P3 (pH 7±0,2)
P4 (pH 8±0,2)
P5 (pH 9±0,2)
1
1,89
1,54
0
0
0
Ulangan
2
1,79
0
1,15
0
0
3
0
1,45
0
1,20
1,12
Rerata (%)
1,23
1,00
0,38
0,40
0,37
146
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
dalam
abnormalitas larva ikan gabus yang didapat
Yusiana (2016), keabnormalitasan (cacat)
pada masing-masing perlakuan terlihat dari
larva ikan dapat diamati dari bentuk
bentuk tubuh yang bengkok, bentuk sirip
kepala, tubuh dan atau ekor yang bengkok,
ekor dan sirip dada yang tidak sempurna.
Menurut
Mukti
(2005)
tubuh menyusut atau lebih pendek dari
Gambar larva ikan gabus normal
ukuran normal maupun perbesaran kelopak
dan larva ikan gabus abnormal disajikan
mata
pada Gambar 1 dan Gambar 2.
dan
kepala
ikan.
Sedangkan
Gambar 1. Larva normal
(A)
(B)
(C)
Gambar 2. Larva abnormal : sirip dada tidak ada satu (A), sirip ekor tidak sempurna
(B) dan bentuk tulang punggung bengkok (C)
Kelangsungan Hidup Larva
Kelangsungan hidup larva dengan pH air berbeda selama penelitian disajikan
pada Tabel 4 :
Tabel 4. Kelangsungan hidup larva ikan gabus selama penelitian
Perlakuan
P1 (pH 5±0.2)
P2 (pH 6±0.2)
P3 (pH 7±0.2)
P4 (pH 8±0.2)
P5 (pH 9±0.2)
1
75,47
86,15
85,88
61,18
47,78
Ulangan
2
71,43
85,71
81,61
55,17
43,01
3
75,51
84,06
86,08
60,24
41,57
Rerata (%)
BNJ 0.05 = 7.04
74,14c
85,31d
84,52d
58,86b
44,12a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf superscrib yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
147
Altiara, et al. (2016)
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia
Berdasarkan analisis ragam pH
media
berpengaruh
nyata
terhadap
hari menunjukkan nilai tertinggi terdapat
pada pH 6-6,5.
Kelangsungan
kelangsungan hidup larva ikan gabus. Uji
hidup
larva
BNJ menunjukkan bahwa kelangsungan
terendah pada perlakuan P5 (pH 9±0,2).
hidup larva paling tinggi terdapat pada
Hal ini diduga nilai pH yang sudah tidak
perlakuan P2 (pH 6±0,2) namun tidak
dapat ditolelir oleh larva ikan gabus
berbeda nyata pada perlakuan P3 (pH
sehingga
7±0,2).
mampu
Sementara
itu,
kelangsungan
banyak
larva
beradaptasi.
yang
belum
Surbakti
(2015)
hidup larva ikan gabus paling rendah pada
menyatakan kandungan pH yang tidak
perlakuan P5 (pH 9±0,2) dan berbeda
optimum akan menyebabkan ikan stres
nyata dengan perlakuan lainnya.
dan
Kelangsungan hidup larva ikan
mengalami
gangguan
fisiologis
bahkan dapat menyebabkan kematian.
gabus paling tinggi pada perlakuan P2 (pH
6±0,2) dan P3 (pH 7±0,2), hal ini diduga
Kualitas Air
pada perlakuan P2 (pH 6±0,2) dan P3 (pH
Data hasil kualitas air beberapa
7±0,2) merupakan pH yang sesuai untuk
parameter dalam penetasan telur ikan
media hidup larva ikan gabus. Menurut
gabus selama penelitian disajikan pada
Surbakti (2015), kelangsungan hidup larva
Tabel 5.
ikan gabus setelah dipelihara selama 24
Tabel 5. Data kualitas air selama penelitian
Perlakuan
P1 (pH 5±0,2)
P2 (pH 6±0,2)
P3 (pH 7±0,2)
P4 (pH 8±0,2)
P5 (pH 9±0,2)
Referensi
DO (mg/l)
5,55-5,84
5,33-5,87
5,27-5,68
5,58-6,01
5,77-5,93
>51)
Parameter (satuan)
Amonia (mg/l)
Alkalinitas (mg/l) CaCO3
0,02-0,24
26-34
0,00-0,19
40-48
0,00-0,28
50-60
0,00-0,29
68-74
0,00-0,19
80-106