MAKALAH TENTANG KEKUASAAN NEGARA DI INDO
MAKALAH TENTANG
KEKUASAAN NEGARA DI
INDONESIA DAN DI DUNIA
NAMA
KELOMPOK:
1.INTAN NURAFNIH
2.SITI NURIYAH
3.SELLI ANGGRAENI
4.M.VIKRI
5.EKA WAHYU P.
6.A.GHOZI A.
XI-IPS 1
SMA AVISENA
TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa,karena atas rahmat dan karunia-Nya
0
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Di dalam
makalah yang berjudul KEKUASAAN NEGARA DI INDONESIA
DAN DI DUNIA ini akan dibahas megens jenis-jens kekusasaan
di indonesia dan di dunia dan bentuk-bentuk negara.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ibu
pembimbing kami karena telah mengarahkan kami dalam
penyusunan makalah melalui penyampaian materi tentang
kekuasaan negara di indonesia dan di dunia.
Dalam penyusunan makalah ini tak luput dari
kesalahan,untuk itu kami mohon maaf atas kesalahan dalam
penyusunan makalah ini. Dan demi menghasilkan makalah
yang lebih baik, kami mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Terima kasih..!
SIDOARJO, 20 Agustus 2016
PENYUSUN
DAFTAR ISI
1
Kata
Pengantar.....................................................................................
................1
Daftar
Isi.................................................................................................
.............2
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
masalah........................................................................3
B.Rumusan
masalah ................................................................................4
C.tujuan........................................................................................
............4
BAB II PEMBAHASAN
A.Definisi
kekuasaan................................................................................5
B.Definisi kekuasaan menurut beberapa
ahli ........................................5
C.Macam-macam cara menyelenggarakan
kekuasaan............................6
D.Sumber
kekuasaan................................................................................6
E. Pembagian kekuasaan negara secara vertikal dan
horizontal.............. 8
F. Jenis-jenis
kekuasaan............................................................................8
G.Bentuk
Negara......................................................................................1
2
2
H.Bentuk
pemerintahan..........................................................................17
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan........................................................................
..................22
B.saran.........................................................................................
..........22
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................
......22
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang masalah
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu
kelompok manusia untuk mempengaruhi perilaku seseorang
atu kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang
mempunyai tujuan itu.Maksudnya seseorang mempunyai
kemampuan mempengaruhi tingkah laku laku orang lain atau
sekelompok orang berdasarkan kewibawaan,wewenang,karisms
atau kekuasaan fisik yang dimiliki.Dalam buku dasar-dasar ilmu
politik,Miriam Budiarjo menuliskan bahwa:Menurut Robert
M.Mac Iver,”kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk
mengendalikan tingkah laku orang lain,baik secara langsung
dengan jalan memberi perintah,maupun secara tidak langsung
3
dengan mempergunakan segala alat dan cara yang
tersedia.”kekuasaan biasanya berbentuk hubungan
(relationship) dalam arti bahwa ada satu pihak yang
memerintah dan pihak yang lain untuk diperintah (the ruler ans
the ruled),satu pihak yang memberi perintah dan pihak lain
yang mematuhi perintah.”Diantaranya banyak bentuk
kekuasaan ,ada satu bentuk yang sangat penting,yaitu
kekuasaan politik.Dalam hal ini kekuasaan politik adalah
kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum
(pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya
sesuai dengan tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri.
Diantaranya konsep politik yang banyak dibahas adalh
kekuasaan.Hal ini tidak mengherankan sebab konsep sangat
krusial dalam ilmu sosial pada .Pada umumnya,dan ilmu politik
khususnya.Pada suatu ketika politik (politic)dianggap identik
dengan kekuasaan,dan kekuasaan dianggap sebagai cara untuk
mencapai hal yang diinginkan,antara lain membagi sumbersumber dinataranya kelompok-kelompok dalam masyarakat.
B.Rumusan masalah
1.
2.
3.
4.
Mengapa seorang pelaku mempunyai kekuasaan ?
Apa arti kekuasaan itu sendiri?
Apa sumber dari kekusaan?
Apa saja jenis-jenis kekuasaan dan jenis-jenis bentuk
negara
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi kekuasaan menurut beberapa
ahli?
2. Untuk mengetahui apa saja sumber kekuasan itu?
3. Untuk mengetahui jenis-jenis kekuasaan an bentuk negara
4
BAB II
PEMBAHASAN
A.Definisi kekusaan
Telah muncul banyak definisi beberapa ahli,seperti W.connoly
(1983) dan S.LUKES (1947) menganggap kekuasaan sebaga
konsep yang dipertetangkan (a conseted concept) yang artinya
merupakan hal yang tidak dapat dicapai suatu
consesus.Perumusan yang umumnya di kenal bahwa kekuasaan
adalah kemampuan seseoramg atau suatu kelompok manusia
untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain
sedemikian rup sehingga tingkah laku itu sesuai dengan
keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai tujuan
itu.Dalam hal ini pelaku bisa berupa seorang,sekelompok
orang,atau suatu kolektifitas.”’kekuasaan biasanya berbentuk
hubungan (relationship)dalam arti bahwa satu pihak yang
5
memerintah dan pihak lain yang diperintah.Satu pihak yang
memberi perintah dan pihak lain yang mematuhi perintah.”
B.Defini kekuasaan menurut beberapa ahli
1. Max weber (wirtschaft and gesellshaft (1992):kekuasaan
adalah kemampuan untuk dalam suatu hubungan
sosial,melaksanakan kemauan sendiri sekalipun
mengalami perlawanan ,dan apapun dasar kemampan ini.
2. Haroid D.lasswell dan Abraham Kaplan yang
definisinya sudah menjadi rumusan klasik menyebutkan
bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan dimana
seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan ke pihak
pertama.
3. Barbara Goodwin (2003) seorang ahli
kontemporer,mendefinisikan bahwa kekuasaan adalah
kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak
dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan
dipilih ,seandainya ia tidak dilinatkan.Dengan kata lain
memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kehendaknya.Biasanya kekuasaan
di selenggarakan melalui isyarat yang jelas.Ini sering
dinamakan kekuasaan mainfest.Namun kadang-kadang
isyarat itu tidak ada,misalnya dalam keadaan yang oleh
Cari Friendrich dinamakan the rule of anticipated
reactions.Perilaku B ditentukan oleh reaksi yang
diantisipasikan jika keinginan A tidak dilakukan oleh
B.Bentuk kekuasaan ini sering dinamakan kekuasaan
implisit.Suatu contoh dari kekuasaan manifes ialah jika
seseorang polisi menghentikan seseorang pengendara
motor karena melanggar peraturan lalu lintas.Contoh dari
kekuasaan implisit ialah seorang anak sekolah
membatalkan rencana unruk main bola dan memutuskan
untuk membuat pekerjaan rumahnya,karena takut akan
dimarahi bapaknya.
6
C. MACAM-MACAM CARA UNTUK
MENYELENGGARAKAN
KEKUASAAN
a. Dengan cara kekerasan fisik
b. Kekuasaan dapat juga diselenggarkan lewat
koersi,yaitu melalui ancaman akan diadakan sanksi.
c. Persuasion yaitu proses
menyakinkan,berargumentasi atau menunjuk pada
pendapat seorang ahli.
d. Pemberian imbalan ialah pemerintah yang berupaya
untuk mengatasi masalah sampah dapat melakukan
sanksi negatif dengan mendenda tiap pelanggar.
Akan tetapi karena pengawas terbatas mungkin
pemerintah cenderung memeberi sanksi positif
misalnya,berupa hadiah kepada rukun tetangga yang
paling bersih. Kadang hal ini dinamakan sanksi
positif.
D. SUMBER KEKUASAAN
Sumber kekuasaan dapat berupa kedududkan misalnya
seorang komandan terhadap anak buahnya atau seorang
majikan terhadap pegawainya, sumber kekuasaan dapat juga
pula berupa kekayaan.Misal seorang pengusaha kaya
mempunyai kekuasaan atau seorang politikus atau seoarang
bawahan yang mempunyai hutang yang belum di bayar
kembali. Kekuasaan dapat pula bersumber pada kepercayaan
atau agama.Di banyak tempat alim ulama’ mempunyai
kekuasaan terhadap umatnya ,sehingga mereka dianggap
sebagai pemimpin informal yang perlu di perhitungakan dalam
proses pembuatan keputusan di tempat itu.Kita perlu
membedakan dua istilah menyangkut konsep kekuasaan:
1. Cakupan kekuasaan (Scoope of power)
menunjuk pada kegiatan ,perilaku,serta sikap serta
sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi objek dari
kekuasaan.Misalnya seorang direktur perusahaan
mempunyai kekuasaan untuk memecat seorang karyawan
(asal sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
7
berlaku),akan tetapi tidak mempunyai kekusaan terhadap
karyawan diluar hubungan kerja ini.
2.Wilayah kekuasaan (domain of power)
Menjawab pertanyaan siapa-siapa saja yang dikuasai
oleh orang atau kelompok yang berkuasa,jadi menunjuk
pada pelaku,kelompok organiasasi atau kolektifitas kena
sasaran .Misalnya seorang direktur perusahaan
mempunyai kekuasaan tas semua karyawan dalam
perusahaan itu,baik di puasat maupun yang di cabangcabang.
Taloct parsons
Seorang sosiolog terkenal Taloct parsons,yang
cenderung melihat kekuasaan sebagai senjata yang
ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif dengan
jalan membuat keputusan-keputusan yang mengikat
di dukung dengan sanksi yang negatif
Dalam perumusan Taloct persons yang diterjemahkan secar
bebas mengatakan :
Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin
terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat,oleh
kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem dalam suatu organisasi
kolektif.
Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan
kolektif.Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksisanksi negatif wajar,terlepas dari siapa yang melaksanakan
pemaksaan itu.
Jadi ,Persons melihat segi positif dari kekuasaan jika di
hubungkan dengan authority dan kemungkinankemungkinan.Rencana-rencana dapat terlaksana dengan baik.
E. PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA SECARA
VERTIKAL DAN HORIZONTAL
8
Pembagian kekuasaan dibedakan menjadi pembagian
kekuasaan secara vertikal dan pembagian secara
horizontal.pembagian kekuasaan secra vertikal dapat diartikan
bahwa kekuasaan di bagi secra terotorial atau wilayah
kekuasaan.
1. Pembagian kekusaan secara horizontal
Pembagian kekuasaan secara horizontal dilakukan
menurut fungsi lembaga-lembaga tertentu.Pada tingkatan
pemerintahan daerah yang sederajat, yakni antara
pemerintahan Daerah (kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah)
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).Tingkat
provinsi,antara Pemerintah Provinsi (Gubernur/Wakil Gubernur)
dan DPRD provinsi. Tingkat kabupaten antara pemerintahan
kabupaten/kota (Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakilkota)
dan DPRD Kabupaten/Kota.
2. Pembagian kekuasaan secara vertikal
Pembagian kekusaan secara vertikal yaitu pembagian
kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintah. Pembagian
kekuasaan sexcara vertikal di negara indonesia berlangsung
antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah
(pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota).
Pembagian kekuasaan secara vertikal muncul akibat adanya
asas desentralsasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
F. JENIS-JENIS KEKUASAAN
1. Monarki dan Tirani
Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis
kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan
dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki biasanya
mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu
tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus
di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele,
9
pendapat yang beragam, atau persaingan antarkelompok menjadi relatif
terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan.
Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga
saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia,
Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara ini,
monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif, misalnya
sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah
masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris
dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki.
Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus berbagi
kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses berbagi
kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-undang Dasar),
dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern sesungguhnya
bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki konstitusional. Bahkan,
kekuasaannya hanya bersifat simbolik (sekadar kepala negara) ketimbang
amat menentukan praktek pemerintahan sehari-hari (kepala
pemerintahan). Di ke-10 negara monarki yang telah disebut di atas, pihak
yang relatif lebih berkuasa untuk menentukan jalannya pemerintahan
adalah parlemen dengan perdana menteri sebagai kepala
pemerintahannya.
Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi.
Negara ini berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan
pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara konstitusional, tidak
ada partai politik dan oposisi di sana. Pola kekuasaan di Arab Saudi juga
dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-Saud), di mana pewaris raja adalah
keturunannya.
Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah
Tirani. Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia
misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin. Meskipun Hitler atau
Stalin memerintah di era negara modern, tetapi jenis kekuasaan yang
mereka jalankan pada hakekatnya terkonsentrasi pada satu tangan, di
mana keduanya sama sekali tidak mau membagi kekuasaan dengan pihak
lain, dan kerap kali bersifat kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun
lawan politik.
2. Aristokrasi dan Oligarki
Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung
pada dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika
kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang ini (penasihat dan
birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada pada satu orang (mono)
melainkan beberapa (few).
Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit
(few) dalam masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial,
10
kekayaan, dan kekuasaan politik yang besar. Ketiga hal ini dinikmati
secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang tua kepada anak.
Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum
bangsawan (aristokrasi).
Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara politik,
maka di sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa
orang ini —aristokrasi— tidak bertahan lama, oleh sebab orang-orang
yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk mempengaruhi
keputusan politik negara asalkan mereka berprestasi, kaya, berpengaruh,
dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari kekuasaan para
bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan
sebagai peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.
Untuk menggambarkan peralihan di atas, baiklah kami kemukakan
apa yang terjadi di Inggris. Sebelum terjadinya Revolusi Industri padaa
abad ke-18 —tepatnya sebelum mesin uap ditemukan oleh James Watt—
Inggris menganut jenis kekuasaan monarki dengan kaum bangsawasan
(aristokrat) sebagai pemberi pengaruh yang besar.
Namun, setelah Revolusi Industri mulai menunjukkan efek, yaitu
berupa munculnya kelas menengah baru (pengusaha baru yang kekayaan
diperoleh sendiri bukan diwariskan), maka kekuasaan kaum bangsawasan
dalam mempengaruhi kekuasaan monarki mulai ‘digerogoti.’ Kelas
menengah baru ini mulai menentukan jalannya kekuasaan di parlemen,
dan, pengaruh kaum ‘Orang Kaya Baru’ ini dinyatakan sebagai jenis
kekuasaan oligarki.
Hingga saat ini, di parlemen Inggris terdapat dua kamar yaitu House
of Lords dan House of Commons. Kamar yang pertama berisikan kaum
bangsawan (namanya didahului dengan Sir), sementara yang kedua
banyak diisi oleh kaum kaya yang berpengaruh, meskipun mereka bukan
berdarah bangsawan. House of Commons lebih menentukan jalannya
parlemen Inggris ketimbang House of Lords. Dengan demikian, oligarki-lah
yang lebih berkuasa di Inggris ketimbang aristokrasi pada masa kini.
3. Demokrasi dan Mobokrasi
Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau
few, maka kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah
politik, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori.
Kategori pertama adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan
demokrasi perwakilan (representative democracy).
Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara
langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung
adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4
kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung
yaitu:
11
Jumlah warganegara harus kecil.
Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir
merata).
Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian
pertanian.
Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang
digambarkan Rousseau itu ada di era negara modern saat ini? Jumlah
warganegara negara-negara di dunia rata-rata berada di atas jumlah 1-2
juta jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara budaya
masyarakat relatif heterogen (beragam) yang ditambah dengan infiltrasi
budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah beralih dari
pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung
dilaksanakan?
Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih
terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua
warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa
ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi
langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa
kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam
proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh
ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern,
maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi
perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang
memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat berbondongbondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau
membuat UU. Tentu tidak demikian.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat
(utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4
atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap
berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si
wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari
rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira
mewakili 300.000 orang pemilih.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di
dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa
warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat
parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk
menjadi anggota DPR. Bandingkan kalau saja Indonesia menerapkan
demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di
12
parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya mahal, bukan? Dengan
kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang
demokrasi langsung.
Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung,
keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara.
Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentinganyalah yang terlebih
dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin didahulukan, dan
pihak lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada situasi chaos (kacau)
bahkan perang (bellum omnium contra omnes --- perang semua lawan
semua), maka bukan demokrasi lagi namanya melainkan mobokrasi.
Mobokrasi adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang
berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu
pun kesepakatan dapat dibuat secara damai.
4. Timokrasi
Menurut Stanley Rosen, Timokrasi adalah jenis kekuasaan yang
pernah disebutkan oleh Sokrates, filosof Yunani. Timokrasi dirujuk
Sokrates dalam menggambarkan rezim pemerintahan negara kota Sparta.
Konsep ini mengacu pada “timocratic man”, yaitu seseorang yang
gandrung akan kemenangan dan kehormatan. Timokrasi terletak di posisi
tengah antara Aristokrasi dan Oligarki. Juga disebutkan Timokrasi adalah
Aristokrasi yang tengah mengalami kemerosotan ke arah jenis kekuasaan
Oligarki.
Jika Aristokrasi adalah jenis pemerintahan ideal, penuh keberanian
dan kehormatan dalam pemerintahan. Namun, tatkala keberanian dan
kehormatan dari kekuasaan di tangan beberapa orang atau kelompok ini
(aristokrasi) mulai diwarnai motivasi kesejahteraan pribadi atau kelompok,
maka dimulaikan Timokrasi. Timokrasi bukan Oligarki, oleh sebab di dalam
Timokrasi, menurut Sokrates, masih meniru Aristokrasi. Barulah, tatkala
proses peniruan kualitatif atas Aristokrasi tidak lagi terjadi, Timokrasi
merosot menjadi Oligarki.
5. Oklokrasi
Mirip dengan definisi Mobokrasi. Oklokrasi adalah situasi negara
dalam anarki massa. Pemerintahan ini tidak legal dan konstitusional.
Namun, karena --biasanya-- kelompok-kelompok massa tersebut punya
senjata atau massa besar, mereka memerintah memanfaatkan rasa takut.
Amerika Serikat tahun 1930-an hampir masuk ke dalam kategori ini, di
mana keluarga-keluarga mafia mengendalikan negara secara ilegal dan
inkonstitusional.
6. Plutokrasi
Plutokrasi adalah jenis kekuasaan di mana negara “disetir” oleh
orang-orang kaya. Plutokrasi ini mirip dengan Oligarki. Namun, Plutokrasi
13
terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrim ketimpangan antara “kaya”
dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam
Plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik,
melainkan juga sumber-sumber militer (pasukan, senjata, teknologi).
Dalam kondisi seperti ini, Plutokrat biasanya, secara de facto, lebih
berkuasa ketimbang pemerintah resmi.
7. Kleptokrasi
Kleptokrasi adalah jenis kekuasaan dimana pejabat publik
menggunakan kekuasaan publiknya untuk mencuri kekayaan negara
(korupsi otomatis). Kleptokrasi juga disebut sebagai korupsi yang
dilakukan oleh para pejabat tingkat tinggi yang secara sistematis
menggunakan posisinya untuk mengalirkan dana publik ke dalam
kantong-kantong pribadinya. Semakin massal tindak korupsi oleh para
pejabat publik, maka semakin mendekati suatu negara menganut jenis
pemerintahan Kleptokrasi
G. BENTUK NEGARA
Bentuk-bentuk negara yang dikenal hingga saat ini terdiri dari tiga
bentuk yaitu Konfederasi, Kesatuan, dan Federal. Meskipun demikian,
bentuk negara Konfederasi kiranya jarang diterapkan di dalam bentukbentuk negara pada masa kini. Namun, untuk keperluan analisis, baiklah
di dalam materi kuliah ini dicantumkan pula masalah Konfederasi minimal
untuk lebih meluaskan wawasan kita mengenai bentuk-bentuk negara
yang ada.
1. Negara Konfederasi
Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang
berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke
luar) dan intern (ke dalam) bersatu atas dasar perjanjian internasional
yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan
tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota
Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara anggota Konfederasi itu.”
Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas,
maka Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa
negara yang berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi
mempertahankan kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam
Konfederasi tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah
membangun suatu Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk
mengantisipasi politik luar negeri yang agresif dari Indonesia di masa
14
pemerintahan Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan Konfederasi
lebih karena alasan pertahanan masing-masing negara.
Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya
berefek kepada masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia
dan Singapura), dengan tidak mempengaruhi warganegara (individu
warganegara) Malaysia dan Singapura. Meskipun terikat dalam perjanjian,
pemerintah Malaysia dan Singapura tetap berdaulat dan berdiri sendiri
tanpa intervensi satu negara terhadap negara lainnya di dalam
Konfederasi.
Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada
hakekatnya bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun
dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara ke dalam
suatu Konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi
kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota Konfederasi. Untuk lebih
jelasnya, mari kita lihat skema berikut:
Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai komando’ dari
Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan guna
menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua ‘negara’ tersebut
(tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat misalnya,
garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah
negara A, B, dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara.
Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing
negara dilakukan oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah
ketiga negara berdaulat untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih
disebabkan oleh motivasi sukarela ketimbang kewajiban. Pengaruh
Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya bersifat
kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing
pemerintah dan negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap
ada di masing-masing negara anggota Konfederasi.
2. Kesatuan
15
Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau
nasional memegang kedudukan tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh
dalam pemerintahan sehari-hari. Tidak ada bidang kegiatan pemerintah
yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan yang
lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau provinsi).
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa
melimpahkan banyak tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota,
kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun,
pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang yang dibuat
parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di
Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut bisa saja
ditarik sewaktu-waktu.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan
sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di
mana ini dikenal pula sebagai desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi
tetap berada di tangan pemerintah pusat dan dengan demikian, baik
kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar berada pada pemerintah
pusat.
Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara
Kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana
hal tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi
kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti
pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan
tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat-lah
sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah.
Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman UndangUndang, karena aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara
keseluruhan hanya dibuat oleh parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan
bisa tertimpa beban berat oleh sebab adanya perhatian ekstra
pemerintah pusat terhadap masalah-masalah yang muncul di daerah.
Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan
akan lama diselesaikan oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat
terlebih dahulu. Bentuk negara Kesatuan juga tidak cocok bagi negara
yang jumlah penduduknya besar, heterogenitas (keberagaman) budaya
tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau. Untuk lebih
memperjelas masalah negara Kesatuan ini, baiklah kami buat skema
berikut:
16
Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut
pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya.
Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya
lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi
pemerintah daerah itu sendiri.
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung
mengatur masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya,
pemerintah pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah,
mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat
kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan
radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur
kepala daerah.
3. Federasi
Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara
antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara
bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan
ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Sistem
pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki
kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan
ketimpangan ekonomi cukup tajam.
Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya,
ada! Negara-negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap
merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang
tergabung ke dalam suatu Federasi kehilangan kedaulatannya, oleh sebab
kedaulatan ini hanya ada di tangan pemerintahan Federasi.
Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama,
New Hampshire, New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota,
Wyoming, West Virginia, Nevada, New Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, New
Mexico, California, Kansas, Phoenix, Nebraska, Pennsylvania, atau Texas.
Negara-negara bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri melainkan
17
kedaulatan tersebut hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang
dikenal sebagai United States of America (Amerika Serikat) dengan
ibukotanya di Washington D.C. (District Columbia) itu!
Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi
dengan negara Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu
Federasi memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang dasar
sendiri serta pula wewenang untuk mengatur bentuk organisasi sendiri
dalam batas-batas konstitusi federal, sedangkan di dalam negara
Kesatuan, organisasi pemerintah daerah secara garis besar telah
ditetapkan oleh undang-undang dari pusat.
Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk
undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci
satu per satu dalam konstitusi Federal, sedangkan dalam negara
Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan
dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undangundang lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat
itu. Berikut hirarki negara Federasi:
Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah
Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang negaranegara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar
ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan.
Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum
secara rinci di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan
sendiri, memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum
pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri,
bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti
pernah dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di
Amerika Serikat di masa Orde Baru.
Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih
besar ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan
pemerintah Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan
Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri
(hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara
18
Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara
bagian.
H. BENTUK PEMERINTAHAN
1. Bentuk Pemerintahan Parlementer
Dalam sistem Parlementer, warganegara tidak memilih kepala
negara secara langsung. Mereka memilih anggota-anggota dewan
perwakilan rakyat, yang diorganisasi ke dalam satu atau lebih partai
politik. Umumnya, sistem Parlementer mengindikasikan hubungan
kelembagaan yang erat antara eksekutif dan legislatif.
Kepala pemerintahan dalam sistem Parlementer adalah perdana
menteri (disebut Premier di Italia atau Kanselir di Jerman). Perdana
menteri memilih menteri-menteri serta membentuk kabinet berdasarkan
suatu ‘mayoritas’ dalam parlemen (berdasarkan jumlah suara yang
didapat masing-masing partai di dalam Pemilu).
Dalam bentuk pemerintahan parlementer, pemilu hanya diadakan
satu macam yaitu untuk memilih anggota parlemen. Lewat mekanisme
pemilihan umum, warganegara memilih wakil-wakil mereka untuk duduk
di parlemen. Wakil-wakil yang mereka pilih tersebut merupakan anggota
dari partai-partai politik yang ikut serta di dalam pemilihan umum.
Jika sebuah partai memenangkan suara secara mayoritas (misalnya
51% suara pemilih), maka secara otomatis, ketua partai tersebut menjadi
perdana menteri. Selanjutnya, tugas yang harus dilakukan si perdana
menteri ini adalah membentuk kabinet, di mana anggota-anggota kabinet
diajukan oleh para anggota parlemen terpilih, sehingga anggota kabinet
dapat berasal baik dari partainya sendiri maupun partai saingannya yang
punya jumlah suara signifikan. Menteri-menteri inilah yang nantinya
mengarahkan atau mengepalai kementerian-kementerian yang dibentuk.
Jika pemilu tidak menghasilkan jumlah suara mayoritas (misalnya
30% hingga 50%), maka partai-partai harus berkoalisi untuk kemudian
memilih siapa perdana menterinya. Biasanya, partai dengan jumlah suara
paling besar-lah yang ketua partainya menjadi perdana menteri di dalam
koalisi (kabinet koalisi). Susunan kabinet pun, dengan koalisi ini, tidak bisa
dimonopoli oleh satu partai saja, layaknya ketika pemilu menghasilkan
suara mayoritas 51%. Masing-masing partai yang berkoalisi biasanya
menuntut ‘jatah’ menteri sesuai dengan jumlah suara yang mereka
hasilkan dalam pemilu. Untuk selanjutnya, perdana menteri (beserta
19
kabinetnya) bertanggung jawab kepada parlemen sebagai representasi
rakyat hasil pemilihan umum.
Dalam bentuk parlementer, perdana menteri menjadi kepala
pemerintahan sekaligus pemimpin partai. Dalam sistem parlementer,
partai yang menang dan masuk ke dalam kabinet menjadi ‘pemerintah’
sementara yang tetap berada di dalam parlemen menjadi ‘oposisi.’
Hal yang menarik adalah, anggota-angggota parlemen yang
menjadi oposisi membentuk semacam ‘kabinet bayangan.’ Jika kabinet
pemerintah ‘jatuh’, maka ‘kabinet bayangan’ inilah yang akan
menggantikannya lewat pemilu ‘yang dipercepat’ atau pemilihan perdana
menteri baru. Sistem ‘kabinet bayangan’ ini berlangsung efektif di Inggris
di mana ‘kabinet bayangan’ tersebut bekerja layaknya kabinet pemerintah
dan … digaji pula.
Matthew Soberg Shugart menyatakan bahwa, bentuk pemerintahan
parlementer murni adalah sebagai berikut:
Executive authority, consisting of a prime minister and cabinet,
arises out of the legislative assembly;
The executive is at all times subject to potential dismissal via a vote
of “no confidence” by a majority of the legislative assembly.
Shugart menekankan bahwa hubungan antara legislatif dan
eksekutif dalam parlementer bersifat hirarkis. Dalam poin 1, otoritas
eksekutif terdiri atas perdana menteri dan kabinet. Keduanya lahir dari
parlemen (legislatif). Karena keduanya lahir dari parlemen, maka baik
perdana menteri ataupun anggota kabinet merupakan sasaran potensial
bagi “mosi tidak percaya” yang disuarakan oleh parlemen. Mudahnya,
posisi perdana menteri dan para menterinya amat bergantung pada
kepercayaan politik yang diberikan para anggota parlemen. Sebab itu,
secara hirarkis, posisi perdana menteri dan anggota kabinet ada di bawah
parlemen atau, eksekutif berada di bawah legislatif.
Shugart juga menambahkan bahwa sistem pemerintahan
Parlementer punya 2 varian, yaitu : (1) Parlementer Mayoritas dan (2)
Parlementer Transaksional.
Parlementer Mayoritas. Sistem ini berkembang kala satu partai
memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Jika terjadi kondisi seperti ini,
maka hubungan antara legislatif dan eksekutif bersifat hirarkis di mana
legislatif berada di atas eksekutif. Kajian yang dilakukan Walter Bagehot
(1867-1963) menunjukkan derajat hirarkis seperti ini masih terjadi antara
kepemimpinan partai mayoritas di dalam parlemen terhadap eksekutif.
Namun, pasca Bagehot muncul keadaan di mana konsentrasi kekuasaan
ada di tangan kepemimpinan partai mayoritas (partai itu sendiri)
ketimbang kepemimpinan partai di dalam parlemen. Kondisi lain yang
juga mengemuka, pimpinan partai yang duduk di dalam kabinet semakin
beroleh otonomi yang lebih besar dan cenderung “lepas” dari sokongan
20
politik mereka di parlemen. Ini misalnya terjadi di Inggris atau negara
yang menganut demokrasi Westminster.
Parlementer Transaksional. Jika tidak terdapat mayoritas di
dalam parlemen, eksekutif dalam sistem parlementer akan terdiri dari
koalisi. Kabinet dalam koalisi ini bertahan selama koalisi mampu
menjamin mayoritas. Alternatif-nya, pemerintahan minoritas mungkin saja
terbentuk, di mana kabinet tetap ada sejauh oposisi tidak membangun
aliansi guna menghentikannya. Parlementer Transaksional ini bersifat
hirarkis dalam rangka hubungan legislatif – eksekutif-nya.
2. Bentuk Pemerintahan Presidensil
Presidensil cenderung memisahkan kepala eksekutif dari dewan
perwakilan rakyat. Sangat sedikit media tempat di mana eksekutif dan
legislatif dapat saling bertanya satu sama lain.
Dalam sistem presidensil, pemilu diadakan dua macam. Pertama
untuk memilih anggota parlemen dan kedua untuk memilih presiden.
Presiden inilah yang dengan hak prerogatifnya menunjuk pembantupembantunya, yaitu menteri-menteri di dalam kabinet. Pola penunjukkan
menteri oleh presiden ini efektif di dalam sistem dua partai, di mana
dengan dua partai yang bersaing tersebut, pasti salah satu partai akan
menang secara mayoritas. Di dalam sistem banyak partai, penunjukkan
menteri oleh presiden juga dapat efektif jika salah satu partai menang
secara 51%.
Di Indonesia yang bersistemkan presidensil, mekanisme
penunjukkan anggota kabinet efektif di masa pemerintahanan Soeharto.
Namun, di masa reformasi, pemenang pemilu, misalnya PDI-P, hanya
mengantongi sekitar 35% suara, dan itu tidaklah mayoritas, sehingga di
dalam menunjuk menteri-menteri Megawati harus mempertimbangkan
pendapat dari partai-partai lain, apalagi yang punya suara cukup besar
seperti Golkar, PPP, PAN, dan PKB.
Di dalam sistem presidensil, presiden tidak bertanggung jawab
kepada parlemen (DPR) tetapi langsung kepada rakyat. Sanksi jika
presiden dianggap tidak ‘menrespon hati nurani rakyat’ dapat berujung
pada dua jalan: pertama, tidak memilih lagi si presiden tersebut dalam
proses pemilihan umumj, dan kedua, mengadukan pelanggaranpelanggaran yang presiden lakukan kepada parlemen. Parlemen inilah
yang nanti menggunakan hak kontrolnya untuk mempertanyan sikapsikap presiden yang diadukan ‘rakyat’ tersebut. Jadi, berbeda dengan
Parlementer —di mana jika si perdana menteri dianggap tidak
bertanggung jawab, parlemen, terutama partai-partai oposisi, dapat
mengajukan mosi tidak percaya kepada perdana menteri yang jika
didukung oleh 51% suara parlemen, si perdana menteri tersebut beserta
kabinetnya terpaksa harus mengundurkan diri— dalam sistem presidensil,
hal seperti ini sulit untuk dilakukan mengingat yang memilih si presiden
bukanlah parlemen melainkan rakyat secara langsung.
21
Matthew Soberg Shugart menyatakan, bentuk murni dari presidensil
adalah sebagai berikut:
Eksekutif dikepalai oleh presiden yang dipilih rakyat secara langsung
dan ia merupakan “kepala eksekutif.”
Posisi eksekutif dan legislatif didefinisikan secara jelas dan
keduanya tidak saling bergantung.
Presiden memilih dan mengarahkan kabinet dan punya sejumlah
kewenangan pembuatan legislasi yang diatur secara konstitusional.
Bagi Shugart, posisi hubungan eksekutif dan legislatif adalah
transaksional. Keduanya independen satu sama lain karena dipilih rakyat
lewat dua pemilu berbeda. Posisi legislatif tidak lebih tinggi ketimbang
eksekutif dan demikian pula sebaliknya. Namun, eksekutif dan legislatif
terlibat dalam hubungan pertukaran (transaksional) seputar keputusankeputusan atau kebijakan-kebijakan politik bergantung permasalahan
yang mengemuka.
Varian bentuk sistem Presidensil terjadi bergantung kebutuhan
presiden dalam melakukan transaksi dengan legislatif. Kebutuhan tersebut
utamanya dalam hal presiden mengimplementasikan kebijakan.
Kala parlemen terdiri atas partai mayoritas, baik itu partai-nya
presiden atau bukan, pasti terdapat kapasitas institusional untuk tawarmenawar dengan presiden seputar kepentingan partai mayoritas tersebut.
Dalam konteks ini, presiden mungkin tidak membutuhkan kabinet yang
merefleksikan transaksi eksekutif-legislatif. Legislatif dan eksekutif yang
otonomi tercipta.
Kala parlemen terfragmentasi dan presiden punya dukungan yang
kurang memadai dari parlemen. Sementara itu, presiden memilih tidak
membentuk kabinet yang mencerminkan komposisi suara dalam parlemen
dengan alasan persetujuan dengan parlemen akan membatasi
kemampuannya mengimplementasi kebijakan. Jika ini yang terjadi, maka
akan tercipta pola “anarkis” di mana presiden terus menerus diganggu
dan tidak ada program-program pemerintah yang tuntas terlaksana akibat
gangguan tersebut.
Kala tidak terdapat mayoritas legislatif tetapi terdapat dukuan
partisan substansial bagi presiden di parlemen, maka presiden butuh dan
ingin melakukan transaksi dengan parlemen seputar kabinet. Transaksi ini
dalam rangka menghubungkan legislatif dan eksekutif bersama dan
memfasilitasi tawar-menawar legislatif.
3. Semi Presidensil
22
Shugart memuat pernyataan Maurice Duverger tahun 1980 tentang
sistem pemerintahan campuran. Sistem campuran ini ia sebut SemiPresidensial. Lebih lanjut, Shugart menyatakan bahwa ciri utama dari
Semi-Presidensial adalah:
Presiden dipilih langsung oleh rakyat;
Presiden punya kewenangan konstitusional terbatas;
Terdapat pula Perdana Menteri dan Kabinet, yang merupakan
kepanjangan tangan dari mayoritas di parlemen.
Semi-Presidensial juga disebut Blondell tahun 1984 sebagai “Dual
Excecutive”. Dual executive terjadi kala presiden tidak hanya kepala
negara yang kurang otoritas politiknya, tetapi juga bukan kepala
pemerintahan (eksekutif) yang sesungguhnya, karena juga terdapat
Perdana Menteri yang punya hubungan kuat dengan parlemen dan
merefleksikan demokrasi parlementer. Namun, rupa hubungan antara
Presiden, Perdana Menteri, Kabinet, dan Parlemen berbeda-beda antara
negara-negara yang menerapkan Semi-Presidensial tersebut.
Varian sistem Semi-Presidensial yaitu: (1) Premier-Presidensil dan (2)
President-Parlementer. Kedua varian ini akibat cukup bervariasinya
praktek-praktek Semi-Presidensial untuk hanya secara ketat dimasukkan
ke dalam terminologi Duverger. Variasi praktek tersebut dalam hal
kekuasan konstitusional formal ataupun perilaku aktual pemerintah di
masing-masing negara. Presiden mungkin terkesan sangat kuat di satu
negara, sementara amat lemah di negara lainnya.
Premier-Presidensil. Dalam Premier-Presidensil, perdana menteri
dan kabinet secara eksklusif bertanggung jawab kepada mayoritas
parlemen. Ini berbeda dengan President-Parlementer dimana perdana
menteri dan kabinet bertanggung jawab kepada dua pihak yaitu presiden
dan mayoritas parlemen.
Dalam Premier-Presidensil pula, hanya mayoritas parlemen saja
yang berhak memberhentikan kabinet. Ini membuat Premier-Presidensil
sangat dekat dengan Parlementer. Namun, ia tetap punya ciri Presidensil,
yaitu bahwa presiden punya kewenangan konstitusional untuk bertindak
secara independen di hadapan parlemen. Keindependenan tersebut bisa
dalam hal membentuk pemerintahan ataupun pembuatan undangundang.
Presiden-Parlementer. Dalam sistem ini presiden menikmatik
kekuasaan konstitusional yang lebih kuat atas komposisi kabinet
ketimbang di Premier-Presidensil. Otoritas presiden dalam Presiden23
Parlementer juga bisa terbatas akibat orang yang dinominasikan untuk
menjadi perdana menteri harus dikonfirmasi terlebih dahulu oleh
mayoritas parlemen. Presiden-Parlementer menciptakan
pertanggungjawaban ganda perdana menteri dan kabinet, yaitu kepada
presiden dan parlemen. Sistem ini juga menempatkan presiden dalam
posisi relatif kuat ketimbang Premier-Presidensil .
4. Hybryd Lainnya
Selain Semi-Presidensial, terdapat pula model hybryd sistem
pemerintahan yang bukan parlementer, bukan presidensil, dan bukan
Semi-Presidensial. Model pemerintahan ini terdapat di Swiss di mana
terdapat eksekutif yang dipilih dari parlemen dan memiliki jangka waktu
kekuasaan yang fix (tidak bisa diganggu oleh parlemen). Model ini juga
ada di Israel, di mana kepala eksekutif yang dipilih langsung rakyat
sekaligus punya posisi yang punya ketergantungan tinggi pada parlemen.
Demi memberikan gambaran lebih rinci seputar persebaran anutan
sistem pemerintahan di dunia, baiklah kami kutipkan taksonomi dari
Matthew Soberg Shugart berikut ini:
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam suatu hubungan kekuasaan selalu ada satu pihak yang lebih
kuat dari pihak lain.Jadi,selalu ada hubungan tidak seimbang.Ketidak
24
seimbangan inilah yang dering menimbulkan ketergantungan.Semakin
tidak seimbang maka semakin besar pula sifat ketergantungannya.
B.
SARAN
Penulis mengharapkan makalah ini dapat memberi manfaat dan ilmu
pengetahuan kepada para pembaca,dan disarankan pada pembaca untuk
mencari referensi yang lebih banyak lagi,baik dari sosial media maupun
media lain.
DAFTAR PUSTAKA
Rodee,Carlton clymer dkk,pengantar ilmu politik,Jakarta:PT.Raja Grafindo
Persada,2011
Budiardjo,Miriam,Dasar-Dasar ilmu politik,Jakarta:PT.Gramedia Pustaka
Utama,2007.
www.setabasri01.blogspot.co.id
25
KEKUASAAN NEGARA DI
INDONESIA DAN DI DUNIA
NAMA
KELOMPOK:
1.INTAN NURAFNIH
2.SITI NURIYAH
3.SELLI ANGGRAENI
4.M.VIKRI
5.EKA WAHYU P.
6.A.GHOZI A.
XI-IPS 1
SMA AVISENA
TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa,karena atas rahmat dan karunia-Nya
0
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Di dalam
makalah yang berjudul KEKUASAAN NEGARA DI INDONESIA
DAN DI DUNIA ini akan dibahas megens jenis-jens kekusasaan
di indonesia dan di dunia dan bentuk-bentuk negara.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ibu
pembimbing kami karena telah mengarahkan kami dalam
penyusunan makalah melalui penyampaian materi tentang
kekuasaan negara di indonesia dan di dunia.
Dalam penyusunan makalah ini tak luput dari
kesalahan,untuk itu kami mohon maaf atas kesalahan dalam
penyusunan makalah ini. Dan demi menghasilkan makalah
yang lebih baik, kami mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Terima kasih..!
SIDOARJO, 20 Agustus 2016
PENYUSUN
DAFTAR ISI
1
Kata
Pengantar.....................................................................................
................1
Daftar
Isi.................................................................................................
.............2
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
masalah........................................................................3
B.Rumusan
masalah ................................................................................4
C.tujuan........................................................................................
............4
BAB II PEMBAHASAN
A.Definisi
kekuasaan................................................................................5
B.Definisi kekuasaan menurut beberapa
ahli ........................................5
C.Macam-macam cara menyelenggarakan
kekuasaan............................6
D.Sumber
kekuasaan................................................................................6
E. Pembagian kekuasaan negara secara vertikal dan
horizontal.............. 8
F. Jenis-jenis
kekuasaan............................................................................8
G.Bentuk
Negara......................................................................................1
2
2
H.Bentuk
pemerintahan..........................................................................17
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan........................................................................
..................22
B.saran.........................................................................................
..........22
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................
......22
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang masalah
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu
kelompok manusia untuk mempengaruhi perilaku seseorang
atu kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang
mempunyai tujuan itu.Maksudnya seseorang mempunyai
kemampuan mempengaruhi tingkah laku laku orang lain atau
sekelompok orang berdasarkan kewibawaan,wewenang,karisms
atau kekuasaan fisik yang dimiliki.Dalam buku dasar-dasar ilmu
politik,Miriam Budiarjo menuliskan bahwa:Menurut Robert
M.Mac Iver,”kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk
mengendalikan tingkah laku orang lain,baik secara langsung
dengan jalan memberi perintah,maupun secara tidak langsung
3
dengan mempergunakan segala alat dan cara yang
tersedia.”kekuasaan biasanya berbentuk hubungan
(relationship) dalam arti bahwa ada satu pihak yang
memerintah dan pihak yang lain untuk diperintah (the ruler ans
the ruled),satu pihak yang memberi perintah dan pihak lain
yang mematuhi perintah.”Diantaranya banyak bentuk
kekuasaan ,ada satu bentuk yang sangat penting,yaitu
kekuasaan politik.Dalam hal ini kekuasaan politik adalah
kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum
(pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya
sesuai dengan tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri.
Diantaranya konsep politik yang banyak dibahas adalh
kekuasaan.Hal ini tidak mengherankan sebab konsep sangat
krusial dalam ilmu sosial pada .Pada umumnya,dan ilmu politik
khususnya.Pada suatu ketika politik (politic)dianggap identik
dengan kekuasaan,dan kekuasaan dianggap sebagai cara untuk
mencapai hal yang diinginkan,antara lain membagi sumbersumber dinataranya kelompok-kelompok dalam masyarakat.
B.Rumusan masalah
1.
2.
3.
4.
Mengapa seorang pelaku mempunyai kekuasaan ?
Apa arti kekuasaan itu sendiri?
Apa sumber dari kekusaan?
Apa saja jenis-jenis kekuasaan dan jenis-jenis bentuk
negara
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi kekuasaan menurut beberapa
ahli?
2. Untuk mengetahui apa saja sumber kekuasan itu?
3. Untuk mengetahui jenis-jenis kekuasaan an bentuk negara
4
BAB II
PEMBAHASAN
A.Definisi kekusaan
Telah muncul banyak definisi beberapa ahli,seperti W.connoly
(1983) dan S.LUKES (1947) menganggap kekuasaan sebaga
konsep yang dipertetangkan (a conseted concept) yang artinya
merupakan hal yang tidak dapat dicapai suatu
consesus.Perumusan yang umumnya di kenal bahwa kekuasaan
adalah kemampuan seseoramg atau suatu kelompok manusia
untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain
sedemikian rup sehingga tingkah laku itu sesuai dengan
keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai tujuan
itu.Dalam hal ini pelaku bisa berupa seorang,sekelompok
orang,atau suatu kolektifitas.”’kekuasaan biasanya berbentuk
hubungan (relationship)dalam arti bahwa satu pihak yang
5
memerintah dan pihak lain yang diperintah.Satu pihak yang
memberi perintah dan pihak lain yang mematuhi perintah.”
B.Defini kekuasaan menurut beberapa ahli
1. Max weber (wirtschaft and gesellshaft (1992):kekuasaan
adalah kemampuan untuk dalam suatu hubungan
sosial,melaksanakan kemauan sendiri sekalipun
mengalami perlawanan ,dan apapun dasar kemampan ini.
2. Haroid D.lasswell dan Abraham Kaplan yang
definisinya sudah menjadi rumusan klasik menyebutkan
bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan dimana
seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan ke pihak
pertama.
3. Barbara Goodwin (2003) seorang ahli
kontemporer,mendefinisikan bahwa kekuasaan adalah
kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak
dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan
dipilih ,seandainya ia tidak dilinatkan.Dengan kata lain
memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kehendaknya.Biasanya kekuasaan
di selenggarakan melalui isyarat yang jelas.Ini sering
dinamakan kekuasaan mainfest.Namun kadang-kadang
isyarat itu tidak ada,misalnya dalam keadaan yang oleh
Cari Friendrich dinamakan the rule of anticipated
reactions.Perilaku B ditentukan oleh reaksi yang
diantisipasikan jika keinginan A tidak dilakukan oleh
B.Bentuk kekuasaan ini sering dinamakan kekuasaan
implisit.Suatu contoh dari kekuasaan manifes ialah jika
seseorang polisi menghentikan seseorang pengendara
motor karena melanggar peraturan lalu lintas.Contoh dari
kekuasaan implisit ialah seorang anak sekolah
membatalkan rencana unruk main bola dan memutuskan
untuk membuat pekerjaan rumahnya,karena takut akan
dimarahi bapaknya.
6
C. MACAM-MACAM CARA UNTUK
MENYELENGGARAKAN
KEKUASAAN
a. Dengan cara kekerasan fisik
b. Kekuasaan dapat juga diselenggarkan lewat
koersi,yaitu melalui ancaman akan diadakan sanksi.
c. Persuasion yaitu proses
menyakinkan,berargumentasi atau menunjuk pada
pendapat seorang ahli.
d. Pemberian imbalan ialah pemerintah yang berupaya
untuk mengatasi masalah sampah dapat melakukan
sanksi negatif dengan mendenda tiap pelanggar.
Akan tetapi karena pengawas terbatas mungkin
pemerintah cenderung memeberi sanksi positif
misalnya,berupa hadiah kepada rukun tetangga yang
paling bersih. Kadang hal ini dinamakan sanksi
positif.
D. SUMBER KEKUASAAN
Sumber kekuasaan dapat berupa kedududkan misalnya
seorang komandan terhadap anak buahnya atau seorang
majikan terhadap pegawainya, sumber kekuasaan dapat juga
pula berupa kekayaan.Misal seorang pengusaha kaya
mempunyai kekuasaan atau seorang politikus atau seoarang
bawahan yang mempunyai hutang yang belum di bayar
kembali. Kekuasaan dapat pula bersumber pada kepercayaan
atau agama.Di banyak tempat alim ulama’ mempunyai
kekuasaan terhadap umatnya ,sehingga mereka dianggap
sebagai pemimpin informal yang perlu di perhitungakan dalam
proses pembuatan keputusan di tempat itu.Kita perlu
membedakan dua istilah menyangkut konsep kekuasaan:
1. Cakupan kekuasaan (Scoope of power)
menunjuk pada kegiatan ,perilaku,serta sikap serta
sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi objek dari
kekuasaan.Misalnya seorang direktur perusahaan
mempunyai kekuasaan untuk memecat seorang karyawan
(asal sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
7
berlaku),akan tetapi tidak mempunyai kekusaan terhadap
karyawan diluar hubungan kerja ini.
2.Wilayah kekuasaan (domain of power)
Menjawab pertanyaan siapa-siapa saja yang dikuasai
oleh orang atau kelompok yang berkuasa,jadi menunjuk
pada pelaku,kelompok organiasasi atau kolektifitas kena
sasaran .Misalnya seorang direktur perusahaan
mempunyai kekuasaan tas semua karyawan dalam
perusahaan itu,baik di puasat maupun yang di cabangcabang.
Taloct parsons
Seorang sosiolog terkenal Taloct parsons,yang
cenderung melihat kekuasaan sebagai senjata yang
ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif dengan
jalan membuat keputusan-keputusan yang mengikat
di dukung dengan sanksi yang negatif
Dalam perumusan Taloct persons yang diterjemahkan secar
bebas mengatakan :
Kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin
terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat,oleh
kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem dalam suatu organisasi
kolektif.
Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuan-tujuan
kolektif.Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksisanksi negatif wajar,terlepas dari siapa yang melaksanakan
pemaksaan itu.
Jadi ,Persons melihat segi positif dari kekuasaan jika di
hubungkan dengan authority dan kemungkinankemungkinan.Rencana-rencana dapat terlaksana dengan baik.
E. PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA SECARA
VERTIKAL DAN HORIZONTAL
8
Pembagian kekuasaan dibedakan menjadi pembagian
kekuasaan secara vertikal dan pembagian secara
horizontal.pembagian kekuasaan secra vertikal dapat diartikan
bahwa kekuasaan di bagi secra terotorial atau wilayah
kekuasaan.
1. Pembagian kekusaan secara horizontal
Pembagian kekuasaan secara horizontal dilakukan
menurut fungsi lembaga-lembaga tertentu.Pada tingkatan
pemerintahan daerah yang sederajat, yakni antara
pemerintahan Daerah (kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah)
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).Tingkat
provinsi,antara Pemerintah Provinsi (Gubernur/Wakil Gubernur)
dan DPRD provinsi. Tingkat kabupaten antara pemerintahan
kabupaten/kota (Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakilkota)
dan DPRD Kabupaten/Kota.
2. Pembagian kekuasaan secara vertikal
Pembagian kekusaan secara vertikal yaitu pembagian
kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintah. Pembagian
kekuasaan sexcara vertikal di negara indonesia berlangsung
antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah
(pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota).
Pembagian kekuasaan secara vertikal muncul akibat adanya
asas desentralsasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
F. JENIS-JENIS KEKUASAAN
1. Monarki dan Tirani
Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis
kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan
dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki biasanya
mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu
tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus
di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele,
9
pendapat yang beragam, atau persaingan antarkelompok menjadi relatif
terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan.
Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga
saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia,
Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara ini,
monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif, misalnya
sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah
masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris
dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki.
Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus berbagi
kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses berbagi
kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-undang Dasar),
dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern sesungguhnya
bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki konstitusional. Bahkan,
kekuasaannya hanya bersifat simbolik (sekadar kepala negara) ketimbang
amat menentukan praktek pemerintahan sehari-hari (kepala
pemerintahan). Di ke-10 negara monarki yang telah disebut di atas, pihak
yang relatif lebih berkuasa untuk menentukan jalannya pemerintahan
adalah parlemen dengan perdana menteri sebagai kepala
pemerintahannya.
Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi.
Negara ini berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan
pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara konstitusional, tidak
ada partai politik dan oposisi di sana. Pola kekuasaan di Arab Saudi juga
dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-Saud), di mana pewaris raja adalah
keturunannya.
Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah
Tirani. Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia
misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin. Meskipun Hitler atau
Stalin memerintah di era negara modern, tetapi jenis kekuasaan yang
mereka jalankan pada hakekatnya terkonsentrasi pada satu tangan, di
mana keduanya sama sekali tidak mau membagi kekuasaan dengan pihak
lain, dan kerap kali bersifat kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun
lawan politik.
2. Aristokrasi dan Oligarki
Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung
pada dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika
kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang ini (penasihat dan
birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada pada satu orang (mono)
melainkan beberapa (few).
Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit
(few) dalam masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial,
10
kekayaan, dan kekuasaan politik yang besar. Ketiga hal ini dinikmati
secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang tua kepada anak.
Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum
bangsawan (aristokrasi).
Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara politik,
maka di sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa
orang ini —aristokrasi— tidak bertahan lama, oleh sebab orang-orang
yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk mempengaruhi
keputusan politik negara asalkan mereka berprestasi, kaya, berpengaruh,
dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari kekuasaan para
bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan
sebagai peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.
Untuk menggambarkan peralihan di atas, baiklah kami kemukakan
apa yang terjadi di Inggris. Sebelum terjadinya Revolusi Industri padaa
abad ke-18 —tepatnya sebelum mesin uap ditemukan oleh James Watt—
Inggris menganut jenis kekuasaan monarki dengan kaum bangsawasan
(aristokrat) sebagai pemberi pengaruh yang besar.
Namun, setelah Revolusi Industri mulai menunjukkan efek, yaitu
berupa munculnya kelas menengah baru (pengusaha baru yang kekayaan
diperoleh sendiri bukan diwariskan), maka kekuasaan kaum bangsawasan
dalam mempengaruhi kekuasaan monarki mulai ‘digerogoti.’ Kelas
menengah baru ini mulai menentukan jalannya kekuasaan di parlemen,
dan, pengaruh kaum ‘Orang Kaya Baru’ ini dinyatakan sebagai jenis
kekuasaan oligarki.
Hingga saat ini, di parlemen Inggris terdapat dua kamar yaitu House
of Lords dan House of Commons. Kamar yang pertama berisikan kaum
bangsawan (namanya didahului dengan Sir), sementara yang kedua
banyak diisi oleh kaum kaya yang berpengaruh, meskipun mereka bukan
berdarah bangsawan. House of Commons lebih menentukan jalannya
parlemen Inggris ketimbang House of Lords. Dengan demikian, oligarki-lah
yang lebih berkuasa di Inggris ketimbang aristokrasi pada masa kini.
3. Demokrasi dan Mobokrasi
Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau
few, maka kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah
politik, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori.
Kategori pertama adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan
demokrasi perwakilan (representative democracy).
Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara
langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung
adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4
kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung
yaitu:
11
Jumlah warganegara harus kecil.
Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir
merata).
Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian
pertanian.
Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang
digambarkan Rousseau itu ada di era negara modern saat ini? Jumlah
warganegara negara-negara di dunia rata-rata berada di atas jumlah 1-2
juta jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara budaya
masyarakat relatif heterogen (beragam) yang ditambah dengan infiltrasi
budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah beralih dari
pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung
dilaksanakan?
Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih
terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua
warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa
ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi
langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa
kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam
proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh
ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern,
maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi
perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang
memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat berbondongbondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau
membuat UU. Tentu tidak demikian.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat
(utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4
atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap
berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si
wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari
rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira
mewakili 300.000 orang pemilih.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di
dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa
warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat
parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk
menjadi anggota DPR. Bandingkan kalau saja Indonesia menerapkan
demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di
12
parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya mahal, bukan? Dengan
kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang
demokrasi langsung.
Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung,
keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara.
Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentinganyalah yang terlebih
dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin didahulukan, dan
pihak lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada situasi chaos (kacau)
bahkan perang (bellum omnium contra omnes --- perang semua lawan
semua), maka bukan demokrasi lagi namanya melainkan mobokrasi.
Mobokrasi adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang
berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu
pun kesepakatan dapat dibuat secara damai.
4. Timokrasi
Menurut Stanley Rosen, Timokrasi adalah jenis kekuasaan yang
pernah disebutkan oleh Sokrates, filosof Yunani. Timokrasi dirujuk
Sokrates dalam menggambarkan rezim pemerintahan negara kota Sparta.
Konsep ini mengacu pada “timocratic man”, yaitu seseorang yang
gandrung akan kemenangan dan kehormatan. Timokrasi terletak di posisi
tengah antara Aristokrasi dan Oligarki. Juga disebutkan Timokrasi adalah
Aristokrasi yang tengah mengalami kemerosotan ke arah jenis kekuasaan
Oligarki.
Jika Aristokrasi adalah jenis pemerintahan ideal, penuh keberanian
dan kehormatan dalam pemerintahan. Namun, tatkala keberanian dan
kehormatan dari kekuasaan di tangan beberapa orang atau kelompok ini
(aristokrasi) mulai diwarnai motivasi kesejahteraan pribadi atau kelompok,
maka dimulaikan Timokrasi. Timokrasi bukan Oligarki, oleh sebab di dalam
Timokrasi, menurut Sokrates, masih meniru Aristokrasi. Barulah, tatkala
proses peniruan kualitatif atas Aristokrasi tidak lagi terjadi, Timokrasi
merosot menjadi Oligarki.
5. Oklokrasi
Mirip dengan definisi Mobokrasi. Oklokrasi adalah situasi negara
dalam anarki massa. Pemerintahan ini tidak legal dan konstitusional.
Namun, karena --biasanya-- kelompok-kelompok massa tersebut punya
senjata atau massa besar, mereka memerintah memanfaatkan rasa takut.
Amerika Serikat tahun 1930-an hampir masuk ke dalam kategori ini, di
mana keluarga-keluarga mafia mengendalikan negara secara ilegal dan
inkonstitusional.
6. Plutokrasi
Plutokrasi adalah jenis kekuasaan di mana negara “disetir” oleh
orang-orang kaya. Plutokrasi ini mirip dengan Oligarki. Namun, Plutokrasi
13
terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrim ketimpangan antara “kaya”
dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam
Plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik,
melainkan juga sumber-sumber militer (pasukan, senjata, teknologi).
Dalam kondisi seperti ini, Plutokrat biasanya, secara de facto, lebih
berkuasa ketimbang pemerintah resmi.
7. Kleptokrasi
Kleptokrasi adalah jenis kekuasaan dimana pejabat publik
menggunakan kekuasaan publiknya untuk mencuri kekayaan negara
(korupsi otomatis). Kleptokrasi juga disebut sebagai korupsi yang
dilakukan oleh para pejabat tingkat tinggi yang secara sistematis
menggunakan posisinya untuk mengalirkan dana publik ke dalam
kantong-kantong pribadinya. Semakin massal tindak korupsi oleh para
pejabat publik, maka semakin mendekati suatu negara menganut jenis
pemerintahan Kleptokrasi
G. BENTUK NEGARA
Bentuk-bentuk negara yang dikenal hingga saat ini terdiri dari tiga
bentuk yaitu Konfederasi, Kesatuan, dan Federal. Meskipun demikian,
bentuk negara Konfederasi kiranya jarang diterapkan di dalam bentukbentuk negara pada masa kini. Namun, untuk keperluan analisis, baiklah
di dalam materi kuliah ini dicantumkan pula masalah Konfederasi minimal
untuk lebih meluaskan wawasan kita mengenai bentuk-bentuk negara
yang ada.
1. Negara Konfederasi
Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang
berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke
luar) dan intern (ke dalam) bersatu atas dasar perjanjian internasional
yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan
tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota
Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara anggota Konfederasi itu.”
Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas,
maka Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa
negara yang berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi
mempertahankan kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam
Konfederasi tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah
membangun suatu Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk
mengantisipasi politik luar negeri yang agresif dari Indonesia di masa
14
pemerintahan Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan Konfederasi
lebih karena alasan pertahanan masing-masing negara.
Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya
berefek kepada masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia
dan Singapura), dengan tidak mempengaruhi warganegara (individu
warganegara) Malaysia dan Singapura. Meskipun terikat dalam perjanjian,
pemerintah Malaysia dan Singapura tetap berdaulat dan berdiri sendiri
tanpa intervensi satu negara terhadap negara lainnya di dalam
Konfederasi.
Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada
hakekatnya bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun
dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara ke dalam
suatu Konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi
kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota Konfederasi. Untuk lebih
jelasnya, mari kita lihat skema berikut:
Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai komando’ dari
Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan guna
menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua ‘negara’ tersebut
(tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat misalnya,
garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah
negara A, B, dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara.
Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing
negara dilakukan oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah
ketiga negara berdaulat untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih
disebabkan oleh motivasi sukarela ketimbang kewajiban. Pengaruh
Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya bersifat
kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing
pemerintah dan negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap
ada di masing-masing negara anggota Konfederasi.
2. Kesatuan
15
Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau
nasional memegang kedudukan tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh
dalam pemerintahan sehari-hari. Tidak ada bidang kegiatan pemerintah
yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan yang
lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau provinsi).
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa
melimpahkan banyak tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota,
kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun,
pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang yang dibuat
parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di
Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut bisa saja
ditarik sewaktu-waktu.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan
sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di
mana ini dikenal pula sebagai desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi
tetap berada di tangan pemerintah pusat dan dengan demikian, baik
kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar berada pada pemerintah
pusat.
Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara
Kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana
hal tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi
kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti
pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan
tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat-lah
sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah.
Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman UndangUndang, karena aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara
keseluruhan hanya dibuat oleh parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan
bisa tertimpa beban berat oleh sebab adanya perhatian ekstra
pemerintah pusat terhadap masalah-masalah yang muncul di daerah.
Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan
akan lama diselesaikan oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat
terlebih dahulu. Bentuk negara Kesatuan juga tidak cocok bagi negara
yang jumlah penduduknya besar, heterogenitas (keberagaman) budaya
tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau. Untuk lebih
memperjelas masalah negara Kesatuan ini, baiklah kami buat skema
berikut:
16
Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut
pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya.
Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya
lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi
pemerintah daerah itu sendiri.
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung
mengatur masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya,
pemerintah pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah,
mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat
kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan
radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur
kepala daerah.
3. Federasi
Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara
antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara
bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan
ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Sistem
pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki
kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan
ketimpangan ekonomi cukup tajam.
Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya,
ada! Negara-negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap
merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang
tergabung ke dalam suatu Federasi kehilangan kedaulatannya, oleh sebab
kedaulatan ini hanya ada di tangan pemerintahan Federasi.
Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama,
New Hampshire, New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota,
Wyoming, West Virginia, Nevada, New Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, New
Mexico, California, Kansas, Phoenix, Nebraska, Pennsylvania, atau Texas.
Negara-negara bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri melainkan
17
kedaulatan tersebut hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang
dikenal sebagai United States of America (Amerika Serikat) dengan
ibukotanya di Washington D.C. (District Columbia) itu!
Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi
dengan negara Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu
Federasi memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang dasar
sendiri serta pula wewenang untuk mengatur bentuk organisasi sendiri
dalam batas-batas konstitusi federal, sedangkan di dalam negara
Kesatuan, organisasi pemerintah daerah secara garis besar telah
ditetapkan oleh undang-undang dari pusat.
Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk
undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci
satu per satu dalam konstitusi Federal, sedangkan dalam negara
Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan
dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undangundang lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat
itu. Berikut hirarki negara Federasi:
Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah
Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang negaranegara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar
ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan.
Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum
secara rinci di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan
sendiri, memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum
pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri,
bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti
pernah dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di
Amerika Serikat di masa Orde Baru.
Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih
besar ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan
pemerintah Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan
Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri
(hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara
18
Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara
bagian.
H. BENTUK PEMERINTAHAN
1. Bentuk Pemerintahan Parlementer
Dalam sistem Parlementer, warganegara tidak memilih kepala
negara secara langsung. Mereka memilih anggota-anggota dewan
perwakilan rakyat, yang diorganisasi ke dalam satu atau lebih partai
politik. Umumnya, sistem Parlementer mengindikasikan hubungan
kelembagaan yang erat antara eksekutif dan legislatif.
Kepala pemerintahan dalam sistem Parlementer adalah perdana
menteri (disebut Premier di Italia atau Kanselir di Jerman). Perdana
menteri memilih menteri-menteri serta membentuk kabinet berdasarkan
suatu ‘mayoritas’ dalam parlemen (berdasarkan jumlah suara yang
didapat masing-masing partai di dalam Pemilu).
Dalam bentuk pemerintahan parlementer, pemilu hanya diadakan
satu macam yaitu untuk memilih anggota parlemen. Lewat mekanisme
pemilihan umum, warganegara memilih wakil-wakil mereka untuk duduk
di parlemen. Wakil-wakil yang mereka pilih tersebut merupakan anggota
dari partai-partai politik yang ikut serta di dalam pemilihan umum.
Jika sebuah partai memenangkan suara secara mayoritas (misalnya
51% suara pemilih), maka secara otomatis, ketua partai tersebut menjadi
perdana menteri. Selanjutnya, tugas yang harus dilakukan si perdana
menteri ini adalah membentuk kabinet, di mana anggota-anggota kabinet
diajukan oleh para anggota parlemen terpilih, sehingga anggota kabinet
dapat berasal baik dari partainya sendiri maupun partai saingannya yang
punya jumlah suara signifikan. Menteri-menteri inilah yang nantinya
mengarahkan atau mengepalai kementerian-kementerian yang dibentuk.
Jika pemilu tidak menghasilkan jumlah suara mayoritas (misalnya
30% hingga 50%), maka partai-partai harus berkoalisi untuk kemudian
memilih siapa perdana menterinya. Biasanya, partai dengan jumlah suara
paling besar-lah yang ketua partainya menjadi perdana menteri di dalam
koalisi (kabinet koalisi). Susunan kabinet pun, dengan koalisi ini, tidak bisa
dimonopoli oleh satu partai saja, layaknya ketika pemilu menghasilkan
suara mayoritas 51%. Masing-masing partai yang berkoalisi biasanya
menuntut ‘jatah’ menteri sesuai dengan jumlah suara yang mereka
hasilkan dalam pemilu. Untuk selanjutnya, perdana menteri (beserta
19
kabinetnya) bertanggung jawab kepada parlemen sebagai representasi
rakyat hasil pemilihan umum.
Dalam bentuk parlementer, perdana menteri menjadi kepala
pemerintahan sekaligus pemimpin partai. Dalam sistem parlementer,
partai yang menang dan masuk ke dalam kabinet menjadi ‘pemerintah’
sementara yang tetap berada di dalam parlemen menjadi ‘oposisi.’
Hal yang menarik adalah, anggota-angggota parlemen yang
menjadi oposisi membentuk semacam ‘kabinet bayangan.’ Jika kabinet
pemerintah ‘jatuh’, maka ‘kabinet bayangan’ inilah yang akan
menggantikannya lewat pemilu ‘yang dipercepat’ atau pemilihan perdana
menteri baru. Sistem ‘kabinet bayangan’ ini berlangsung efektif di Inggris
di mana ‘kabinet bayangan’ tersebut bekerja layaknya kabinet pemerintah
dan … digaji pula.
Matthew Soberg Shugart menyatakan bahwa, bentuk pemerintahan
parlementer murni adalah sebagai berikut:
Executive authority, consisting of a prime minister and cabinet,
arises out of the legislative assembly;
The executive is at all times subject to potential dismissal via a vote
of “no confidence” by a majority of the legislative assembly.
Shugart menekankan bahwa hubungan antara legislatif dan
eksekutif dalam parlementer bersifat hirarkis. Dalam poin 1, otoritas
eksekutif terdiri atas perdana menteri dan kabinet. Keduanya lahir dari
parlemen (legislatif). Karena keduanya lahir dari parlemen, maka baik
perdana menteri ataupun anggota kabinet merupakan sasaran potensial
bagi “mosi tidak percaya” yang disuarakan oleh parlemen. Mudahnya,
posisi perdana menteri dan para menterinya amat bergantung pada
kepercayaan politik yang diberikan para anggota parlemen. Sebab itu,
secara hirarkis, posisi perdana menteri dan anggota kabinet ada di bawah
parlemen atau, eksekutif berada di bawah legislatif.
Shugart juga menambahkan bahwa sistem pemerintahan
Parlementer punya 2 varian, yaitu : (1) Parlementer Mayoritas dan (2)
Parlementer Transaksional.
Parlementer Mayoritas. Sistem ini berkembang kala satu partai
memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Jika terjadi kondisi seperti ini,
maka hubungan antara legislatif dan eksekutif bersifat hirarkis di mana
legislatif berada di atas eksekutif. Kajian yang dilakukan Walter Bagehot
(1867-1963) menunjukkan derajat hirarkis seperti ini masih terjadi antara
kepemimpinan partai mayoritas di dalam parlemen terhadap eksekutif.
Namun, pasca Bagehot muncul keadaan di mana konsentrasi kekuasaan
ada di tangan kepemimpinan partai mayoritas (partai itu sendiri)
ketimbang kepemimpinan partai di dalam parlemen. Kondisi lain yang
juga mengemuka, pimpinan partai yang duduk di dalam kabinet semakin
beroleh otonomi yang lebih besar dan cenderung “lepas” dari sokongan
20
politik mereka di parlemen. Ini misalnya terjadi di Inggris atau negara
yang menganut demokrasi Westminster.
Parlementer Transaksional. Jika tidak terdapat mayoritas di
dalam parlemen, eksekutif dalam sistem parlementer akan terdiri dari
koalisi. Kabinet dalam koalisi ini bertahan selama koalisi mampu
menjamin mayoritas. Alternatif-nya, pemerintahan minoritas mungkin saja
terbentuk, di mana kabinet tetap ada sejauh oposisi tidak membangun
aliansi guna menghentikannya. Parlementer Transaksional ini bersifat
hirarkis dalam rangka hubungan legislatif – eksekutif-nya.
2. Bentuk Pemerintahan Presidensil
Presidensil cenderung memisahkan kepala eksekutif dari dewan
perwakilan rakyat. Sangat sedikit media tempat di mana eksekutif dan
legislatif dapat saling bertanya satu sama lain.
Dalam sistem presidensil, pemilu diadakan dua macam. Pertama
untuk memilih anggota parlemen dan kedua untuk memilih presiden.
Presiden inilah yang dengan hak prerogatifnya menunjuk pembantupembantunya, yaitu menteri-menteri di dalam kabinet. Pola penunjukkan
menteri oleh presiden ini efektif di dalam sistem dua partai, di mana
dengan dua partai yang bersaing tersebut, pasti salah satu partai akan
menang secara mayoritas. Di dalam sistem banyak partai, penunjukkan
menteri oleh presiden juga dapat efektif jika salah satu partai menang
secara 51%.
Di Indonesia yang bersistemkan presidensil, mekanisme
penunjukkan anggota kabinet efektif di masa pemerintahanan Soeharto.
Namun, di masa reformasi, pemenang pemilu, misalnya PDI-P, hanya
mengantongi sekitar 35% suara, dan itu tidaklah mayoritas, sehingga di
dalam menunjuk menteri-menteri Megawati harus mempertimbangkan
pendapat dari partai-partai lain, apalagi yang punya suara cukup besar
seperti Golkar, PPP, PAN, dan PKB.
Di dalam sistem presidensil, presiden tidak bertanggung jawab
kepada parlemen (DPR) tetapi langsung kepada rakyat. Sanksi jika
presiden dianggap tidak ‘menrespon hati nurani rakyat’ dapat berujung
pada dua jalan: pertama, tidak memilih lagi si presiden tersebut dalam
proses pemilihan umumj, dan kedua, mengadukan pelanggaranpelanggaran yang presiden lakukan kepada parlemen. Parlemen inilah
yang nanti menggunakan hak kontrolnya untuk mempertanyan sikapsikap presiden yang diadukan ‘rakyat’ tersebut. Jadi, berbeda dengan
Parlementer —di mana jika si perdana menteri dianggap tidak
bertanggung jawab, parlemen, terutama partai-partai oposisi, dapat
mengajukan mosi tidak percaya kepada perdana menteri yang jika
didukung oleh 51% suara parlemen, si perdana menteri tersebut beserta
kabinetnya terpaksa harus mengundurkan diri— dalam sistem presidensil,
hal seperti ini sulit untuk dilakukan mengingat yang memilih si presiden
bukanlah parlemen melainkan rakyat secara langsung.
21
Matthew Soberg Shugart menyatakan, bentuk murni dari presidensil
adalah sebagai berikut:
Eksekutif dikepalai oleh presiden yang dipilih rakyat secara langsung
dan ia merupakan “kepala eksekutif.”
Posisi eksekutif dan legislatif didefinisikan secara jelas dan
keduanya tidak saling bergantung.
Presiden memilih dan mengarahkan kabinet dan punya sejumlah
kewenangan pembuatan legislasi yang diatur secara konstitusional.
Bagi Shugart, posisi hubungan eksekutif dan legislatif adalah
transaksional. Keduanya independen satu sama lain karena dipilih rakyat
lewat dua pemilu berbeda. Posisi legislatif tidak lebih tinggi ketimbang
eksekutif dan demikian pula sebaliknya. Namun, eksekutif dan legislatif
terlibat dalam hubungan pertukaran (transaksional) seputar keputusankeputusan atau kebijakan-kebijakan politik bergantung permasalahan
yang mengemuka.
Varian bentuk sistem Presidensil terjadi bergantung kebutuhan
presiden dalam melakukan transaksi dengan legislatif. Kebutuhan tersebut
utamanya dalam hal presiden mengimplementasikan kebijakan.
Kala parlemen terdiri atas partai mayoritas, baik itu partai-nya
presiden atau bukan, pasti terdapat kapasitas institusional untuk tawarmenawar dengan presiden seputar kepentingan partai mayoritas tersebut.
Dalam konteks ini, presiden mungkin tidak membutuhkan kabinet yang
merefleksikan transaksi eksekutif-legislatif. Legislatif dan eksekutif yang
otonomi tercipta.
Kala parlemen terfragmentasi dan presiden punya dukungan yang
kurang memadai dari parlemen. Sementara itu, presiden memilih tidak
membentuk kabinet yang mencerminkan komposisi suara dalam parlemen
dengan alasan persetujuan dengan parlemen akan membatasi
kemampuannya mengimplementasi kebijakan. Jika ini yang terjadi, maka
akan tercipta pola “anarkis” di mana presiden terus menerus diganggu
dan tidak ada program-program pemerintah yang tuntas terlaksana akibat
gangguan tersebut.
Kala tidak terdapat mayoritas legislatif tetapi terdapat dukuan
partisan substansial bagi presiden di parlemen, maka presiden butuh dan
ingin melakukan transaksi dengan parlemen seputar kabinet. Transaksi ini
dalam rangka menghubungkan legislatif dan eksekutif bersama dan
memfasilitasi tawar-menawar legislatif.
3. Semi Presidensil
22
Shugart memuat pernyataan Maurice Duverger tahun 1980 tentang
sistem pemerintahan campuran. Sistem campuran ini ia sebut SemiPresidensial. Lebih lanjut, Shugart menyatakan bahwa ciri utama dari
Semi-Presidensial adalah:
Presiden dipilih langsung oleh rakyat;
Presiden punya kewenangan konstitusional terbatas;
Terdapat pula Perdana Menteri dan Kabinet, yang merupakan
kepanjangan tangan dari mayoritas di parlemen.
Semi-Presidensial juga disebut Blondell tahun 1984 sebagai “Dual
Excecutive”. Dual executive terjadi kala presiden tidak hanya kepala
negara yang kurang otoritas politiknya, tetapi juga bukan kepala
pemerintahan (eksekutif) yang sesungguhnya, karena juga terdapat
Perdana Menteri yang punya hubungan kuat dengan parlemen dan
merefleksikan demokrasi parlementer. Namun, rupa hubungan antara
Presiden, Perdana Menteri, Kabinet, dan Parlemen berbeda-beda antara
negara-negara yang menerapkan Semi-Presidensial tersebut.
Varian sistem Semi-Presidensial yaitu: (1) Premier-Presidensil dan (2)
President-Parlementer. Kedua varian ini akibat cukup bervariasinya
praktek-praktek Semi-Presidensial untuk hanya secara ketat dimasukkan
ke dalam terminologi Duverger. Variasi praktek tersebut dalam hal
kekuasan konstitusional formal ataupun perilaku aktual pemerintah di
masing-masing negara. Presiden mungkin terkesan sangat kuat di satu
negara, sementara amat lemah di negara lainnya.
Premier-Presidensil. Dalam Premier-Presidensil, perdana menteri
dan kabinet secara eksklusif bertanggung jawab kepada mayoritas
parlemen. Ini berbeda dengan President-Parlementer dimana perdana
menteri dan kabinet bertanggung jawab kepada dua pihak yaitu presiden
dan mayoritas parlemen.
Dalam Premier-Presidensil pula, hanya mayoritas parlemen saja
yang berhak memberhentikan kabinet. Ini membuat Premier-Presidensil
sangat dekat dengan Parlementer. Namun, ia tetap punya ciri Presidensil,
yaitu bahwa presiden punya kewenangan konstitusional untuk bertindak
secara independen di hadapan parlemen. Keindependenan tersebut bisa
dalam hal membentuk pemerintahan ataupun pembuatan undangundang.
Presiden-Parlementer. Dalam sistem ini presiden menikmatik
kekuasaan konstitusional yang lebih kuat atas komposisi kabinet
ketimbang di Premier-Presidensil. Otoritas presiden dalam Presiden23
Parlementer juga bisa terbatas akibat orang yang dinominasikan untuk
menjadi perdana menteri harus dikonfirmasi terlebih dahulu oleh
mayoritas parlemen. Presiden-Parlementer menciptakan
pertanggungjawaban ganda perdana menteri dan kabinet, yaitu kepada
presiden dan parlemen. Sistem ini juga menempatkan presiden dalam
posisi relatif kuat ketimbang Premier-Presidensil .
4. Hybryd Lainnya
Selain Semi-Presidensial, terdapat pula model hybryd sistem
pemerintahan yang bukan parlementer, bukan presidensil, dan bukan
Semi-Presidensial. Model pemerintahan ini terdapat di Swiss di mana
terdapat eksekutif yang dipilih dari parlemen dan memiliki jangka waktu
kekuasaan yang fix (tidak bisa diganggu oleh parlemen). Model ini juga
ada di Israel, di mana kepala eksekutif yang dipilih langsung rakyat
sekaligus punya posisi yang punya ketergantungan tinggi pada parlemen.
Demi memberikan gambaran lebih rinci seputar persebaran anutan
sistem pemerintahan di dunia, baiklah kami kutipkan taksonomi dari
Matthew Soberg Shugart berikut ini:
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam suatu hubungan kekuasaan selalu ada satu pihak yang lebih
kuat dari pihak lain.Jadi,selalu ada hubungan tidak seimbang.Ketidak
24
seimbangan inilah yang dering menimbulkan ketergantungan.Semakin
tidak seimbang maka semakin besar pula sifat ketergantungannya.
B.
SARAN
Penulis mengharapkan makalah ini dapat memberi manfaat dan ilmu
pengetahuan kepada para pembaca,dan disarankan pada pembaca untuk
mencari referensi yang lebih banyak lagi,baik dari sosial media maupun
media lain.
DAFTAR PUSTAKA
Rodee,Carlton clymer dkk,pengantar ilmu politik,Jakarta:PT.Raja Grafindo
Persada,2011
Budiardjo,Miriam,Dasar-Dasar ilmu politik,Jakarta:PT.Gramedia Pustaka
Utama,2007.
www.setabasri01.blogspot.co.id
25