RUKUN DAN SYARAT ISTISNA (1)

FIQIH MU’AMALAH
RUKUN DAN SYARAT ISTISNA’

Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fiqih Mu’amalah
Dosen Pengampun: Imam Mustofa

Disusun Oleh:
Putri Wulandari

(1502100099)

Kelas C
PROGRAM PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO
2016

RUKUN DAN SYARAT ISTISNA’

A. PENDAHULUAN

Fiqih muamalah merupakan sebuah ilmu yang diderivasi dari al-Qur’an dan
Al-Sunnah dengan menggunakan kerangka sebuah metode yang di sebut usul
fiqh.1 Muamalah merupakan bagian dari hukum islam yang mengatur hubungan
antara dua pihak atau lebih, baik antara seorang pribadi dengan peribadi lain,
maupun antar badan hukum, seperti perseroan, firma, yayasan, negara, dan
sebagainya. Awalnya cakupan muamalah didalam fiqih meliputi permasalahan
keluarga, seperti perkawinan dan peceraian. Akan tetapi setelah terjadi
disintegrasi di dunia islam, khususnya di zaman utsmani (turki ottoman), terjadi
perkembangan pembagian fiqh. Cakupan bidang muamalah dipersempit,
sehingga masalah yang berhubungan dengan hukum keluarga tidak masuk lagi
dalam pengertian muamalah. Muamalah kemudian difahami sebagai hukum yang
berkaitan dengan perbuatan manusia dengan sesamanya yang menyangkut
harta dan hak serta penyelesaian kasus diantara mereka.2
Sesungguhnya Islam adalah agama yang syumul. Kesyumulan Islam
dibuktikan melalui perbincangan aktiviti muamalat yang menjadi tunjang bagi
kehidupan harian manusia. Manusia tidak akan terlepas dari ikatan kontrak dan
pertukaran. Kontrak pertukaran secara umumnya menjadi salah satu amalan
dalam aktiviti ekonomi yang melibatkan hubungan dua hala. Pengaplikasian
kontrak pertukaran ini dapat dilihat dalam aktiviti perniagaan dan perdagangan
yang menjadi elemen penting dalam kehidupan berekonomi. Islam hadir dalam

memberi garis panduan bagi aktiviti ini dalam memastikan wujudnya hubungan
baik antara individu dalam masyarakat dan memelihara hak individu itu sendiri.
Kontrak hendaklah dibina atas dasar amanah dan saling menghormati agar
kesucian kontrak ini terpelihara. Hal ini dapat dilihat melalui firman Allah swt

1

Imam Mustofa, “Fiqih Mu‟amalah Kontemporer”, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2016), h.1
2
Nurfaizal, “Prinsip-Prinsip Muamalah Dan Implemenasinya Dalam Hukum
Perankan Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Islam. Vol. XII No. 1 Nopember 2013, (192205), h. 192-193

2

dalam surah al-Ma’idah: 1 yang membawa maksud “Wahai orang-orang Yang
beriman, penuhi serta sempurnakanlah perjanjian-perjanjian”.3
Jual beli Istishna’ menurut para ulama merupakan suatu jenis khusus dari
akad bay‟ as-salam (jual beli salam). Jenis jual beli ini dipergunakan dalam
bidang manufaktur. Pengertian bay‟ Istishna‟ adalah akad jual barang pesanan di

antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang
yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran. Pembayarannya
dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan kedua belah
pihak.4 Dalam fatwa DSN MUI akad istishna adalah akad jual beli dalm bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antar pemesan (pembeli, mustashni‟) dan penjual (pembuat,
shani‟).
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai‟ as- salam juga
berlaku pada bai‟ al-istishna‟. Menurut Hanafi, bai‟ al- istishna‟ termasuk akad
yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok
kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam
istishna‟, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab
Hanafi menyutui kontrak istishna‟ atas dasar istisnha.5

B. RUKUN ISTISNA’
Dalam mengerjakan suatu amal ibadah yang baik dan benar, tentunya
dibutuhkan aturan yang mengatur bagaimana amalan tersebut dilakukan
sehingga didapatkan ibadah yang baik dan benar. Rukun adalah ketentuan yang
harus dipenuhi, dalam melakukan suatu pekerjaan/ibadah. Bila tidak terpenuhi
maka ibadah/pekerjaan tersebut tidak sah.6

Nurul Izza binti Ahad dan Mohd Adib Ismail, “ Pembentukan Parameter Syariah
Bagi Kontrak Jual Beli”, dalam Jurnal Prosiding Persidangan Kebangsaan Ekonomi
Malaysia Ke VIII 2013 Jilid 2 (2013) 593 – 602, h. 594
4
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam : Salam Dan Istisna‟ “, dalam
Jurnal Riset Akuntansi Dan Bisnis Vol 13 No . 2 / September 2013, h. 202
5
Enny Puji Lestari ,”Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum
Syariah”, dalam Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari‟ah, Vol. 02 No. 1, Mei 2014, h. 4
6
Ahmad Harisandi, “Pengertian Syarat, Rukun, Sah Da Batal” , dalam laman
https://ahmadharisandi7.wordpress.com/2015/01/05/pengertian-syarat-rukun-sah-danbatal/. diunduh pada 4 Oktober 2016
3

3

Rukun-rukun Bay„al-Istisna„ adalah juga mengikut rukun-rukun jual beli biasa.
Ini kerana kontrak ini adalah salah satu dari kontrak al-bay„.7 Rukun dari akad
istishna yang harus dipernui dalam transaksi ada beberap hal, yaitu :
1) Pelaku akad, yaitu mustashni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan

dan

memesa

barang,

dan

shani’

(penjual)

adalah

pihak

yang

memproduksi barang pesanan.
2) Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan

harga (tsaman); dan
3) Shighah, yaitu ijab dan qabul.8

Syarat orang yang berakad
Ulama fiqih sepakat, bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli harus
memenuhi syarat-syarat :
1. Berakal. Dengan syarat tersebut maka anak kecil yang belum berakal tidak
boleh melakukan transaksi jual beli, dan jika telah terjadi transaksinya tidak
sah. Jumhur ulama berpendapat, bahwa orang yang melakukan transaksi jual
beli itu harus telah akil baliqh dan berakal. Apabila orang yang bertransaksi
itu masih mumayyiz, maka transaksi jual beli itu tidak sah. Sekalipun
mendapat izin dari walinya.
2. Orang yang melakukan transaksi itu, adalah orang yang berbeda. Maksud
dari syarat tersebut adalah bahwa seorang tidak boleh menjadi pembeli dan
penjual pada waktu yang bersamaan.9
3. Pelaku harus cakap hukum.10

7

Mohd Sollehudin Shuib, Mohammad Taqiuddin Mohamad dan Ahmad Azam

Sulaiman, “Kemungkiran Pemaju dalam Produk Pembiayaan Perumahan Secara
Islam:Analisis Pendekatan Penyelesaian” dalam Jurnal Pengurusan 38 (2013) 141 – 149,
h. 144
8
Ascarya, “Akad Dan Produk Bank Syariah”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2011), h. 97
Syaifullah, “Etika Jual Beli Dalam Islam”, dalam Jurnal Studia Islamika Vol. 11,
No. 2, Desember 2014: 371-387, h. 377
10
Sri Nurhayati Dan Wasilah, “Akuntansi Syariah Di Indonesia”, (Jakarta :
Salemba Empat, 2015), h. 11
9

4

Syarat barang yang diperjual belikan.
Syarat yang diperjualbelikan secara umum, adalah sebagai berikut :
1. Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan
sanggup untuk mengadakan barang itu
2. Barang tersebut dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh

karena itu keluar dari syarat ini adalah menjual khamar, bangkai haram untuk
diperjualbelikan, karena tidak bermanfaat bagi manusia dalam pandangan
syara’.
3. Milik seseorang. Maksudnya adalah barang yang belum milik seseorang tidak
boleh menjadi objek jual beli, seperti menjual ikan yang masih di laut, emas
yang masih dalam tanah, karena keduanya belum menjadi milik penjual.11
Ketentuan syariah objek akad istisna’
a. Ketentuan tentang pembayaran adalah sebagai berikut.
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang, atau manfaat, demikian juga dengan cara pembayarannya.
2. Harga yang telah ditetapkan daam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi
apabila setelah akad di tandatanganni pembeli mengubah spesifikasi
dalam akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini menjadi
tanggung jawab pembeli.
3. Pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan
4. Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
b. Ketentuan tentang barang, sebagai berikut :
1. Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, mutu) sehingga
tidak ada lagi jahalah dan perselisihan dapat di hadapi.
2. Barang pesanan diserahkan kemudian.

3. Waktu

dan

penyerahan

barang

harus

ditetapkan

berdasarkan

kesepakatan.
4. Barang pesanan yang beum diterima tidak boleh dijual
5. Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.

11


Syaifullah, “Etika Jual Beli..., h. 378

5

6. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan dan
membatalkan akad.
7. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak
dirugikan

karena

ia

telah

menjalankan


kewajibannya

sesuai

kesepakatan.12

Ijab kabul (sighat) dalam akad jual beli
Ijab dan kabul sebagai salah satu rukun akad merupakan manifestasi
kerelaan yang terdapat dalam batin seseorang. Namun harus dipahami juga
bahwa dalam ijab dan kabul terdapat dua dimensi yang satu sama lain tidak
terpisahkan, keduanya saling terpaut yaitu dimensi perijinan atau kerelaan dan
ungkapannya berupa ijab dan kabul. Dimensi perijinan atau kerelaan merupakan
substansi dari sebuah akad yang dijalin sedangkan ungkapan yang diwujudkan
dengan ijab dan kabul adalah sarana atau penanda adanya kerelaan tersebut.
Karena bersifat substansi, maka perijinan atau kerelaan merupakan sesuatu
yang bersifat abstrak, batin dan berada dalam sanubari hati seseorang yang
tidak mungkin bisa diketahui oleh orang lain.
Oleh karena itu, perlu ada perwujudan perijinan atau kerelaan tersebut
dalam bentuk tanda yang dapat dipahami bahwa itu merupakan cerminan dari
batin seseorang. Dari uraian ini, menurut Syamsul Anwar jelas bahwa yang
dimaksud dengan shigat akad dalam rukun jual beli adalah “an taradhin” yang
diartikan sebagai kerelaan atau perijinan yang bersifat substansi. Sedangkan apa
yang dimaksud dengan ungkapan atau ijab dan kabul tidak menjadi rukun,
karena itu adalah hanya penenda dari yang bersifat subtansi di atas. Sebuah
ungkapan ijab dan kabul tanpa adanya “an taradhin” dalam sebuah transaksi
dinyatakan sebagai sebuah transaksi yang hampa, tanpa substansi.18 Hal ini
sejalan dengan apa yang terungkap dalam Alquran surah An-Nisaa ayat 29 yang
artinya:

12

Sri Nurhayati Dan Wasilah, “Akuntansi Syariah..., h. 119

6

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku suka sama suka di antara kamu”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa shigat ijab dan kabul yang
menjadi salah satu rukun dalam sebuah transaksi merupakan media untuk
memunculkan dan mendeskripsikan kehendak batin yang tersembunyi. Oleh
karena itu, shigat ijab dan kabul bisa saja dilakukan berupa ucapan, tindakan
atau perbuatan, isyarat dan juga tulisan.
Shigat akad ijab dan kabul berupa ucapan merupakan yang lazim dan
biasa dilakukan oleh, terutama di tengah masyarakat yang masih bertransaksi
secara tradisional dan memegang teguh budaya dan kebiasaan, seperti di
daerah Kalimantan Selatan pada umumnya yang bermazhab Syafi ’i. Ada dua
bentuk shigat akad berupa ucapan yaitu dengan kalimat yang jelas (kalimah
sharih) dan kalimat sindiran (kalimah kinayah). Kalimat yang jelas (sharih) adalah
shigat jual beli yang mengandung makna jual beli, dan tidak ada arti yang lain
seperti kalimat “saya jual kepada engkau barang ini dengan harga sekian”
kemudian dijawab dengan kalimat “saya beli barang tersebut dari kamu dengan
harga sekian”. Sedangkan sindiran (kinayah) adalah kalimat yang tidak hanya
mengandung makna jual beli saja, namun juga mengandung makna lain. Apabila
kalimat tersebut disertai dengan penyebutan harga maka kalimatnya menjadi
sharih. 13
Shigat akad berupa perbuatan dalam literatur fi kih dikenal dengan
konsep ta‟athi atau mua‟atah. Yang dimaksud dengan konsep ini adalah bahwa
para pihak yang bertransaksi tidak menggunakan kata, isyarat ataupun tulisan
dalam menyatakan persetujuannya terhadap transaksi yang mereka lakukan,
namun dengan cara perbuatan langsung untuk menutup transaksi yang mereka
lakukan. Jual beli yang dilakukan dengan shigat akad seperti ini disebut dengan
ba‟i al-mu‟athah.Praktik jual beli seperti ini biasa di lakukan di pasar-pasar
modern seperti mall, swalayan, mini market, dan lain-lain yang mana pembeli
dan kasir sama-sama menyerahkan uang dan barang sebagai bukti terjadinya
Rusdiyah, Zainal Muttaqin, Sa'adah, “Sighat Ijab Kabul Transaksi Jual Beli:
Perspektif Ulama Kalimantan Selatan”, dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Vol. 14, 198
No. 2, Juli-Desember 2015, h. 199-200
13

7

kesepakatan untuk bertransaksi tanpa mengeluarkan kata-kata yang merupakan
bentuk shigat akad.
Shigat akad berupa isyarat adalah salah satu cara untuk mengungkapkan
kehendak bertransaksi melalui isyarat yang dapat dipahami. Dengan demikian,
bentuk isyarat merupakan solusi bagi pihak yang bisu untuk menggantikan
kedudukan ucapan dalam berkomunikasi. Sehubungan dengan hal ini menurut
Hasbi ash-Shiddieqy ada kaidah yang ditetapkan yang maknanya adalah bahwa
isyarat bagi orang yang bisu sama dengan ucapan lidah (sama dengan
penjelasan menggunakan lidah). Penggunaan isyarat sebagai shigat akad
menurut Syamsul Anwar harus memenui kriteria berupa isyarat yang dapat
dipahami yaitu jelas maksudnya dan tegas menunjukkan kepada suatu kehendak
untuk melakukan transaksi.14
Shigat akad dengan tulisan adalah merupakan salah satu cara untuk
mewujudkan akad dengan melalui sebuah tulisan. Kedudukan tulisan ini sesuai
dengan kaidah fikih yang artinya bahwa tulisan sama dengan ucapan. Pilihan
untuk melakukan shigad akad dengan tulisan ini muncul dari kenyataan bahwa
para pihak yang ingin melakukan sebuah transaksi berada pada tempat yang
saling berjauhan, tidak pada satu tempat (satu majelis), sehingga komunikasi
transaksi sangat sulit untuk dilakukan. Dalam praktiknya, apabila ada seseorang
yang berada pada tempat yang jauh dengan pemilik barang dan mereka sepakat
untuk menjalin komunikasi transaksi, maka ijab dan kabul bisa dilakukan pada
tempat yang terpisah berupa ijab dalam bentuk tulisan disampaikan kepada
pihak lain dan menerima pernyataannya (kabul) pada tempat dia menerima
tulisan itu, maka transaksinya dinyatakan sah, bahkan selama tulisan itu masih
ada pada pihak yang menerima (kabul) maka transaksinya tetap dinyatkan sah
walaupun yang menerima tidak menyatakan penerimaannya di tempat dia
menerima tulisan tersebut.15

14
15

Ibid, h. 201
Ibid, h. 202

8

C. SYARAT-SYARAT ISTISNA’
Berkaitan dengan syarat istishna’, kalangan hanafiayah mensyaratkan tiga
hal agar istisna’ sah. Tiga syarat ini apabola salah satunya tidak terpenuhi, maka
akad istisna’ dianggap rusak atau batal.
a) Barang yang menjadi objek istisna harus jelas, baik jenis, macam , kadar dan
sifatnya. Apabila salah satu unsur ini tidak jelas, maka akad istisna rusak.
Karena barang tersebut pada dasarnya adalah objek jual beli yang harus
diketahui. Apabila seseorang memesan suatu barang, harus dijelaskan
spesifikasinya; bahan, jenis, mode, ukuran, bentuk, sifat, kualitasnya serta
hal-hal yang terkaitu dengan barang tersebut. Jangan sampai ada hal yang
tidak jelas, karena hal tersebut dapat menimbukan perselisihan di antara para
pihak yang bertransaksi.
b) Barang yang dipesan merupakan barang yang biasa digunakan untuk
keperluan dan sudah umum digunakan, seperti pakaian, perabotan rumah,
furnitur dan sebagainya.
c) Tidak diperbolehkan menetapkan dan memastikan waktu tertentu untuk
menuerahkan barang pesanan. Apabila waktu penyerahan telah ditetapkan
maka dikategorikan sebagai akad salam.16
Adapun syarat-syarat lainnya yaitu, sebagai berikut:



Produsen dan pemesan (shani dan mustashni) cakap hukum, tidak dalam
keadaan terpaksa, dan tidak ingkar janji.
Produsen (shani) memiliki kapasitas dan kesanggupan untuk membuat/
mengadakan barang yang dipesan.17

Imam Mustofa, “Fiqih Mu‟amalah..., h. 96-97
Veithzal Rivai dan Andriana Permata Veithzal, “Islamic Financial Management:
teori, konsep, dan aplikasi panduan praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi,
dan mahasiswa” (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), h.175
16

17

9

DAFTAR PUSTAKA

Imam Mustofa, “Fiqih Mu‟amalah Kontemporer”, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2016
Ascarya, “Akad Dan Produk Bank Syariah”, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2011
Veithzal Rivai dan Andriana Permata Veithzal, “Islamic Financial
Management”, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008
Sri Nurhayati Dan Wasilah, “Akuntansi Syariah Di Indonesia”, Jakarta:
Salemba Empat, 2015
Nurfaizal, “prinsip-prinsip muamalah dan implemenasinya dalam hukum
perankan indonesia”, dalam Jurnal Hukum Islam. Vol. XII No. 1 Nopember 2013,
(192-205),
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Salam Dan Istisna‟“,
Jurnal

Riset

Akuntansi

Dan

Bisnis,

(Sumatera

Utara:

Universitas

Muhammadiyah, Vol 13, No . 2, September 2013).
Enny Puji Lestari ,”Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank
Umum Syariah”, Jurnal Hukum dan Ekonomi Syari‟ah, (Metro: STAIN Jurai Siwo,
Vol. 02, No. 1, Mei 2014)
Mohd Sollehudin Shuib, Mohammad Taqiuddin Mohamad dan Ahmad
Azam Sulaiman, “Kemungkiran Pemaju dalam Produk Pembiayaan Perumahan
Secara Islam: Analisis Pendekatan Penyelesaian” Jurnal Pengurusan, (Malaysia:
Universitas Islam Malaysia, Vol 38, 141 – 149, Oktober 2013)
Rusdiyah dan Zainal Muttaqin, Sa'adah, “Sighat Ijab Kabul Transaksi Jual
Beli: Perspektif Ulama Kalimantan Selatan”, Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman
(Banjarmasin: IAIN Antasari, Vol. 14, 198 No. 2, Juli-Desember 2015)
Syaifullah, “Etika Jual Beli Dalam Islam”, Jurnal Studia Islamika, ( Palu:
IAIN Palu, Vol. 11, No. 2, Desember 2014: 371-387)
10

Nurul Izza binti Ahad dan Mohd Adib Ismail, “ Pembentukan Parameter
Syariah Bagi Kontrak Jual Beli”, Jurnal Prosiding Persidangan

( Malaysia:

Universitas Kebangsaan Malaysia, Ke VIII 2013 Jilid 2 (2013) 593 – 602)
Ahmad Harisandi, “Pengertian Syarat, Rukun, Sah Da Batal” ,
https://ahmadharisandi7.wordpress.com/2015/01/05/pengertian-syarat-rukunsah-dan-batal/. diunduh pada 4 Oktober 2016

11