Buku Pendidikan Karakter di Pesantren

PENDIDIKAN KARAKTER DI PESANTREN RIDWAN ABDULLAH SANI

  CIPTA PUSTAKA MEDIA PERINTIS

  BANDUNG ISBN: 978-602-3770-01-9

PENGANTAR

  Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan (Unimed) telah melakukan penelitian untuk memetakan good practices pendidikan karakter di pondok pesantren (ponpes). Penelitian didanai oleh Kementerian Agama dengan Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. Dj.I6382010 tanggal 23 September 2010. Penelitian yang dilakukan termasuk kategori penelitian kualitatif dan studi literatur. Ada beberapa alasan mengapa pendekatan kualitatif dianggap lebih tepat digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini. Pertama, penelitian ini dimaksudkan untuk memahami sebuah proses pendidikan karakter bangsa yang berbasis pesantren dan kitab kuning dalam setting alamiahnya, dan menginterpretasikan fenomena ini berdasarkan pengamatan dan pemaknaan yang diberikan informan. Kedua, realitas yang bersifat multidimensi dan merupakan akibat dari kompleksitas situasi yang beragam. Oleh karena itu, kajian terhadap sebuah fenomena dilakukan dengan menganalisa konteks yang mengitarinya, dan ini hanya mungkin dilakukan dengan pendekatan kualitatif.

  Dalam penelitian dilakukan penjaringan data tentang pem- bentukan karakter yang dilaksanakan di pesantren sedangkan penelitian studi literatur yaitu mendata buku-buku teks (kitab kuning) yang digunakan oleh pesantren dalam membentuk karakter bangsa. Metode penelitian yang digunakan untuk studi literatur (penelitian teks), yaitu bertumpu pada analisis konten (teks) dengan mengi- dentifikasi kitab-kitab yang diajarkan di pesantren dan menganalisis muatannya. Dengan menggunakan pendekatan analisis harafiah dan makna, nilai-nilai tertentu terkait dengan nilai-nilai yang mengandung pembentukan karakter akan dikumpulkan dan dianalisis berdasarkan arti harfiah, makna yang tersurat dan tersirat, dan bagaimana cara pengajarannya. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

  1. Apakah pesantren melakukan pendidikan karakter kebangsaan ?

  2. Atribut karakter apa yang paling dominan dibentuk dalam

  proses pendidikan di pesantren ?

  3. Faktor apa saja yang paling dominan mempengaruhi karakter

  santri dalam proses pendidikan di pesantren ?

  4. Bagaimana strategimodelmetodeteknik pesantren dalam

  membentuk karakter santri ?

  5. Bagaimana peran dan tanggung jawab ustadz dalam membentuk

  karakter santri ?

  6. Bagaimana kedudukan dan fungsi kitab kuning dalam

  pembentukan karakter santri ?

  7. Bagaimana bentuk pendidikan (sistem, strategi, model, dan

  metode) yang dapat diimplementasikan untuk membentuk karakter siswa dalam pendidikan secara umum ?

  Permasalahan yang dikaji dalam penelitian di pesantren terkait dengan pendekatan dan metode pembentukan karakter adalah bahwa sangat banyak faktor yang mempengaruhi anak dalam kehidupan sehari-hari. Sistem dan kondisi pendidikan di pesantren yang terkontrol dan hanya sedikit dipengaruhi lingkungan akan dipelajari dalam upaya pengembangan tahapan prosedur baku yang dapat dimanfaatkan dalam pendidikan karakter secara umum.

  Penelitian dilakukan di beberapa pesantren yang berada di propinsi Sumatera Utara, propinsi Nangroe Aceh Darussalam, propinsi Sumatera Barat, propinsi Riau, propinsi Jambi, dan propinsi Sumatera Selatan. Pesantren yang diteliti adalah sebagai berikut: Ponpes Madrasatul ‘Ulum (Padang Sumatera Barat), Ponpes Darul Ikhwan (Lhokseumawe, Aceh), Ponpes Itihadul Mubalighin (Sumatera Barat), Ponpes Syekh Burhanuddin (Kampar Riau), Ponpes Putra Ruhul Fata Ruhul Fatayat Putri (Aceh Besar), Ponpes Rubath Al-Muhibbien (Musi Banyuasin, Sumatera Selatan), Ponpes Nurul Huda Al-Islami (PekanBaru Riau), Ponpes Al-Munawwarah (Riau), Ponpes As’ad (Jambi), Ponpes Darussalam (Labuhan Haji, Aceh Selatan), Ponpes Musthafawiyah (Purba Baru Madina, SUMUT), Ponpes Darussalam (Pematang Siantar, SUMUT), Ponpes Babussalam (Langkat Sumatera Utara), Ponpes Uswatun Hasanah (Labuhan Batu Sumatera Utara), Ponpes Al-Kautsar Panei Tongah (Simalungun Sumatera Utara), Ponpes Hidayatullah (Tanjung Morawa Sumatera Utara), Ponpes Darus Sa’adah (Langkat Sumatera Utara), Pesantren Tahfizul Qur'an Utsman bin Affan (Sumatera Utara), Ponpes Nurul Hakim (Sumatera Utara), Pesantren Saifullah (Sumatera Utara), Ponpes Darul Mukhlisin (Sumatera Utara), Ponpes Mawaridussalam (Sumatera Utara), Ponpes Daar Al Ulum (Sumatera Utara), Ponpes Al Kautsar (Sumatera Utara), Pesantren TPI Darul Hikmah (Sumatera Utara), Ponpes Ulumul Qur’an (Langsa, Aceh), Ponpes Al Husna (Sumatera Utara), Ponpes Bina Ulama (Sumatera Utara), Ponpes Raudah (Sumatera Utara Ponpes Al- Mukhlishin (Sumatera Utara), Ponpes Darul Arafah Raya (Sumatera Utara), Ponpes At-Toyyibah (Rantau Parapat SUMUT).

  Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) tehnik yang lazim digunakan dalam penelitian dalam penelitian

  kualitatif, yaitu; observasi dan wawancara mendalam. Observasi dilakukan secara non-partisan, dimana peneliti berperan hanya sebagai pengamat fenomena yang sedang diteliti. Selama penelitian berlangsung, mengamati kegiatan-kegiatan para pengurus, guru (ustadz) dan santri Pondok Pesantren, melihat bagaimana proses belajar mengajar, khususnya berkaitan dengan pendidikan karakter bangsa berbasis pesantren dan kitab kuning berlangsung. Sedangkan wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah indepth interview dengan pola semi-structured interview. Wawancara dilaksanakan terhadap pimpinan pesantren dan pengurus yayasan sekaligus pemrakarsa pendirian Pondok Pesantren untuk mengetahui latar belakang pendirian Pesantren serta hambatan yang dihadapi mulai dari pendirian sampai saat ini. Wawancara juga dilakukan kepada pengelola (kepala sekolah) dan guru (ustadz) yang berperan dan bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran di Pondok Pesantren. Wawancara yang dilakukan terhadap pengurus yayasan (kiyai) dan guru (ustadz), peneliti memperoleh informasi tentang perkembangan pesantren dan bagaimana proses pembelajarannya berlangsung. Peneliti juga diminta untuk mendapatkan informasi tentang pandangan beberapa tokoh pesantren (kiyai maupun ustadz) mengenai beberapa tema-tema karakter kebangsaan melalui kasus-kasus yang diangkat. Untuk studi penelitian kualitatif ini sangat ditekankan pada wawancara tentang nilai-nilai pembentukan karakter di pesantren. Wawancara dilakukan pada pimpinan pondok pesantren, pada ustadz dan santrinya. Lebih lanjut dilakukan juga observasi (pengamatan) tentang aplikasi yang dilakukan oleh para santri dalam membentuk nilai-nilai kepribadian yang berhubungan dengan pembentukan karakter bangsa. Kemudian juga dilakukan studi tokoh, yaitu dengan metode indepth interview dengan para tokoh (ustadz), santri, pengasuh, dan orang-orang di sekitar lingkungan pesantren.

  Dalam kegiatan pengolahan informasi ditempuh beberapa langkah. Pertama, membuat proceeding lengkap secara tertulis dan catatan pinggir (berupa resume) dari semua informasi yang diperoleh dari kegiatan observasi dan interview. Kedua, melaksanakan seleksi atau validasi informasi dengan menggunkan teknik trianggulasi sehingga diperoleh data yang akurat dan obyektif, dan dalam waktu bersamaan dilakukan coding data. Ketiga, klasifikasi data ke dalam beberapa kategori data sesuai topik bahasan penelitian. Selanjutnya, dalam proses analisis data digunakan pendekatan analisis kualitatif. Data yang diperoleh melalui instrumen pengumpulan data disusun secara teratur dan sistematis serta selanjutnya dianalisis secara kualitatif, karena kajian Dalam kegiatan pengolahan informasi ditempuh beberapa langkah. Pertama, membuat proceeding lengkap secara tertulis dan catatan pinggir (berupa resume) dari semua informasi yang diperoleh dari kegiatan observasi dan interview. Kedua, melaksanakan seleksi atau validasi informasi dengan menggunkan teknik trianggulasi sehingga diperoleh data yang akurat dan obyektif, dan dalam waktu bersamaan dilakukan coding data. Ketiga, klasifikasi data ke dalam beberapa kategori data sesuai topik bahasan penelitian. Selanjutnya, dalam proses analisis data digunakan pendekatan analisis kualitatif. Data yang diperoleh melalui instrumen pengumpulan data disusun secara teratur dan sistematis serta selanjutnya dianalisis secara kualitatif, karena kajian

  Ucapan terima kasih disampaikan kepada peneliti yang telah melakukan wawancara dan observasi ke pesantren, terutama kepada bapak: Mussadad Lubis, M Yafiz, Ayi Darmana, Zulkifli Matondang, Zulkarnaen, Majda, Arif Wahyudi, Syaukani, Ansari Yamamah, Purwanto, Adenan, Al-Khafi, Ibnu Hajar Damanik, Abdul Hakim Daulay, Sakholid, Sudiran, Septian Prawijaya, dan Eddiyanto. Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan pada nara sumber yang umumnya merupakan ustadz di pesantren yang diteliti. Terima kasih juga disampaikan kepada adik-adik mahasiswa dan semua pihak yang telah membantu dalam mengumpulkan dan mengolah data.

PENDIDIKAN KARAKTER

Pengertian Pendidikan Karakter

  Secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendi- dikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behavior (Lickona, 1991), atau dalam arti utuh sebagai morality yang mencakup moral judgment and moral behavior baik yang bersifat prohibition-oriented morality maupun pro-social morality. Secara pedagogik, pendidikan karakter seyogyanya dikembangkan dengan menerapkan holistic approach , dengan pengertian bahwa “effective character education is not adding a program or set of programs, rather it is a transformation of the culture and life of the school” (Berkowitz, 2010). Sementara itu Lickona (1992) menegaskan bahwa: “In character education, it’s clear we want our children are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right-even in the face of pressure form without and temptation from within .” Eleanor Roosevelt istri mantan presiden Amerika mengemukakan bahwa karakter itu dibentuk, dan bukan merupakan sifat bawaan lahir, dalam pernyataannya: “People grow through experience if they meet life honestly and courageously. This is how character is built”.

  Istilah pendidikan karakter yang digunakan di Amerika meru- pakan transformasi dari pendidikan moral, atau pendidikan nilai-nilai

  (di Inggris) 1 . Istilah pendidikan moral lebih disukai di beberapa negara.

  Permasalahannya, pendidikan moral pada umumnya bersifat teoritis menggunakan pendekatan liberal, konstruktivistik, dan kognitif. Sedangkan pendidikan nilai-nilai menggunakan pendekatan empiris (praktek) dan tingkah laku. Pendidikan moral umumnya dititipkan pada mata pelajaran moral pancasila (PMP pada masa lalu) atau pelajaran kewarganegaraan (PPKn). Pendidikan karakter dapat dititipkan pada semua mata pelajaran, bahkan sebaiknya merupakan program sekolah secara umum.

  Pendidikan karakter menurut Ryan dan Bohlin (1999) adalah upaya mengembangkan karakter (virtues) yang mencakup kebiasaan

  1 MW Berkowitz dalam Damon (2002). Bringing a New Era in Character Education, Stanford : Hoover Institution Press, hal 44.

  dan semangat yang baik, sehingga siswa menjadi pribadi yang

  bertanggung jawab dan dewasa 2 . Sedangkan Anne Lockwood (1997) 3

  mendefinisikan pendidikan karakter (character education) sebagai: “any school-instituted program, designed in cooperation with other community institutions, to shape directly and systematically the behaviour of young people by influencing explicitly the non-relativistic values believed directly to bring about that behavior ”. Berdasar pada pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pembentukan karakter seharusnya dilakukan secara terprogram oleh sekolah dalam upaya membentuk pribadi siswa yang bertanggung- jawab. Terkait dengan pendekatan dalam pembentukan karakter,

  Berkowitz dan Bier (2005) 4 mengemukakan praktek yang sangat perlu

  dilakukan, yakni: 1) problem solving, 2) empati, 3) keterampilan social, 4) pemecahan konflik, 5) upaya mendamaikan, dan 6) keterampilan hidup (life skills).

  Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukumkonstitusi, adat istiadat, dan estetika. Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginter- nalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Pendidikan karakter bukanlah semata-mata tanggung jawab pemerintah, melainkan juga orangtua, institusi pendidikan, organisasi agama, dan masyarakat. Untuk memperkuat pentingnya pendidikan karakter, kita ingat akan sabda Rasulullah saw, yaitu : “Innamaa bu’itstu liutammima makaarimal akhlaaq” , artinya Sesungguhnya aku dibang- kitkan di bumi ini untuk menyempurnakan akhlaq”. Ini menegaskan bahwa betapa pentingnya akhlaq itu bagi kehidupan baik di mata manusia maupun Tuhan. Juga ditegaskan lagi Rasulullah, yaitu “hubbul wathan minal iimaan” , artinya cinta tanah air adalah sebagian daripada

  2 Contemporary Definitions of Character Education dalam Handbook of Moral and

  Character Education, Larry P Nucci dan Darcia Narvaez, penerbit: Routledge, 2008, hal 90.

  3 Anne Lockwood dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P Nucci

  dan Darcia Narvaez, penerbit: Routledge, 2008, hal 90. 4 Berkowitz, M. V., Bier, M. C. (2005). What works in character education? A

  research-driven guide for educators , Washington, D.C.: Character Education Partnership.

  iman. Hal ini menegaskan bahwa setiap warga negara wajib menjunjung tinggi bangsa dan negaranya, tidak bersifat merusak apalagi menghancurkan.

  Karakter berkaitan dengan tingkah laku manusia. Definisi tentang karakter dinyatakan oleh Berkowitz (dalam Damon, 2002) sebagai: an individual’s sets of psychological characteristics that affects that person’s ability and inclination to function morally . Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan watak yang buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifes- tasikan karakter mulia. Istilah karakter juga erat kaitannya dengan ‘personality’ , Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Sembilan indicator pendidikan karakter yang umum ditemukan adalah sebagai berikut:

  1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya

  2. Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian

  3. KejujuranAmanah dan Arif

  4. Hormat dan Santun

  5. Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royongKerjasama

  6. Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras

  7. Kepemimpinan dan Keadilan

  8. Baik dan Rendah Hati

  9. Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan Berdasarkan penelitian oleh ahli psikologi, ada atribut 8 variabel yang

  sering diteliti terkait karakter, yakni: orientasi sosial, kontrol diri, kepatuhan, percaya diri, empati, kesadaran, pemahaman moral, dan rasa kemanusiaantoleransi (Berkowitz, 2002).

  Secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Atribut karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokan dalam: Olah Hati (spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (physical and Secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Atribut karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokan dalam: Olah Hati (spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (physical and

  FATHONAH

  SIDDIK

  OLAH HATI :

  OLAH

  JUJUR

  PIKIR: BERTANGGUNG

  JAWAB

  CERDAS

  Nilai- nilai luhur

  OLAH RASA

  KARSA :

  OLAH RAGA:

  PERDULI KREATIF

  BERSIH SEHAT

  AMANAH

  TABLIGH

  Gambar 1. Atribut karakter (sumber: Kementerian Koordinator

  Kesejahteraan Rakyat RI, 2010 dengan dimodifikasi)

  Bagan atribut karakter tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

  Gambar 2. Atribut karakter yang dideskripsikan dalam grand design

  pendidikan karakter oleh Kemendiknas

  Elemen moral yang perlu dicapai dengan pelaksanaan

  pendidikan moral menurut Durkheim (1925) adalah: 5 1) semangat

  disiplin , 2) semangat membantu orang lain, dan 3) kebebasan. Berdasar pada pendapat Durkheim tersebut, Damon (1996) 6 mengemukakan cara membentuk karakter bermoral sebagai berikut:

  a. Guru dan orang tua memodelkan karakter individu yang

  diinginkan.

  b. Siswa dilibatkan dalam aktivitas social membantu masyarakat.

  c. Siswa dihadapkan pada contoh aspirasi moral, wewenang moral,

  dan perilaku dalam literature, sejarah, dan budaya. Pendekatan untuk proses belajar mengajar yang sesuai dengan

  pendapat di atas telah dikembangkan oleh Kohlberg 7 , yaitu:

  a. Interaksi dengan individu teladan (adult role model)

  b. Interaksi dengan teman sejawat melalui “diskusi dilema”

  c. Interaksi dengan komunitas sekolah (program pendidikan

  karakter oleh sekolah)

Urgensi Pendidikan Karakter

  Komitmen nasional tentang perlunya pendidikan karakter, secara imperatif tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkem- bangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

  Merunut secara historis, Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, menyatakan secara filosofis bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar pendidikan mampu memajukan kesempurnaan hidup anak sebagai peserta didik. Hakikat, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional tersebut menyiratkan bahwa melalui

  5 Durkheim dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P Nucci dan

  Darcia Narvaez, penerbit: Routledge, 2008, hal 56-57. 6 Damon dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P Nucci dan Darcia

  Narvaez, penerbit: Routledge, 2008, hal 57. 7 Kohlberg dalam Handbook of Moral and Character Education, Larry P Nucci dan

  Darcia Narvaez, penerbit: Routledge, 2008, hal 67.

  pendidikan hendak diwujudkan peserta didik yang secara utuh memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan kinestetika. Pendidikan nasional mempunyai misi mulia (mission sacre) terhadap individu peserta didik.

  Dalam instrumentasi dan praksis pendidikan nasional sudah dikembangkan program rintisan, walaupun belum menyeluruh, dengan fokus dan muatan yang cukup beragam, misalnya : (1) pengembangan nilai esensial budi pekerti yang dirinci menjadi 85 butir (Dikdasmen: 1989 sd 2007); (2) pengembangan nilai dan ethos demokratis dalam konteks pengembangan budaya sekolah yang demokratis dan bertanggung jawab (Dikdasmen: 1991 sd 2007); (3) pengembangan nilai dan karakter bangsa (Dikdasmen: 2001-2005); dan (4) pengembangan nilai-nilai anti korupsi yang mencakup jujur, adil, berani, tanggung jawab, mandiri, kerja keras, peduli, sederhana, dan disiplin (Dikdasmen dan KPK: 2008-2009); serta pengembangan nilai dan prilaku keimanan dan ketaqwaan dalam konteks tauhidiyah dan religiositas-sosial (Dikdasmen: 1998-2009). Selain itu, banyak pula sekolah-sekolah unggulan yang telah berupaya mengembangan pendidikan karakter secara terpadu dalam pelaksanaan pendidikannya. Banyak pondok pesantren di daerah pedesaan yang mampu menumbuhkembangkan karakter peserta didik. Budaya beajar melalui pembiasaan dalam kehidupan keseharian di dalam lingkungan pondok menempatkan teladan guru (ustadzKiyaipengasuh) sebagai kunci sukses. Dalam Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, di Hotel Bumikarsa, Jakarta pada tanggal 14 Januari 2010, diketahui bahwa ternyata banyak sekolah yang sudah mengembangkan pendidikan karakter dan berdampak pada peningkatan prestasi belajar siswa (Balitbang Diknas, 2010). Tantangan ke depan adalah bagaimana berbagai kesuksesan dan praktek baik (best practice ) dapat didesiminasikan untuk membangun pendidikan karakter yang mampu menyentuh semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan di seluruh Indonesia.

  Menurut Lickona: Throughout history, and in cultures all over the world, education rightly conceived has had two great goals: to help students

  become smart and to help them become good 8 . Kebutuhan akan pendidikan

  karakter ternyata terjadi juga di USA pada saat memasuki abad 21, karena mulai tampak tanda zaman sebagai berikut (Lickona):

  8 Thomas Lickona Matthew Davidson dalam 11 Principles of Effective Character Education, Character Education Partnership website, www.character.org diakses pada

  b. penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk;

  c. pengaruh peer-group (geng) dalam tindak kekerasan;

  d. meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan

  narkoba; alkohol dan seks bebas;

  e. semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;

  f. menurunnya etos kerja;

  g. semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru;

  h. rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok;

  i. membudayanya kebohonganketidakjujuran; j. adanya rasa saling curiga dan kebencian antar sesama.

  Beranjak dari situasi tersebut, pendidikan nilaimoral sangat diperlukan atas dasar argument: adanya kebutuhan nyata dan mendesak, serta peranan sekolah sebagai pendidik moral yang vital pada saat melemahnya pendidikan nilai dalam masyarakat. Tantangan globalisasi yang semakin kuat dan beragam, serta proses pendidikan yang lebih mementingkan penguasaan dimensi pengetahuan (knowledge) dan hampir mengabaikan pendidikan nilaimoral saat ini, merupakan alasan yang kuat bagi Indonesia untuk membangkitkan komitmen dan melakukan gerakan nasional pendidikan karakter. Lebih jauh dari itu adalah Indonesia dengan masyarakatnya yang ber-Bhinneka tunggal ika dan dengan falsafah negaranya Pancasila yang sarat dengan nilai dan moral, merupakan alasan filosofik-ideologis sekaligus sosial-kultural tentang pentingnya pendidikan karakter untuk dibangun dan dilaksanakan secara nasional dan berkelanjutan.

  Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saat ini dan di masa mendatang. Karena itu, pengembangan nilai yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa yang diperoleh melalui berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, akan mendorong mereka menjadi anggota masyarakat, anak bangsa, dan warga negara yang memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Sampai saat ini, secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekadar memberi pengetahuan pada tataran kognitif, tetapi juga menyentuh tataran afektif dan konatif melalui mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Jasmani. Namun demikian harus diakui Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saat ini dan di masa mendatang. Karena itu, pengembangan nilai yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa yang diperoleh melalui berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, akan mendorong mereka menjadi anggota masyarakat, anak bangsa, dan warga negara yang memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Sampai saat ini, secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekadar memberi pengetahuan pada tataran kognitif, tetapi juga menyentuh tataran afektif dan konatif melalui mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Jasmani. Namun demikian harus diakui

  Kebutuhan tersebut bukan hanya dianggap penting tetapi sangat mendesak mengingat berkembangnya godaan-godaan (temptations) dewasa ini marak dengan tayangan dalam media cetak maupun non- cetak (televisi, jaringan maya, dan lain-lain) yang memuat fenomena dan kasus perseteruan dalam berbagai kalangan yang memberi kesan seakan-akan bangsa kita sedang mengalami krisis etika dan krisis kepercayaan diri yang berkepanjangan. Pendidikan karakter bangsa diharapkan mampu menjadi alternatif solusi berbagai persoalan tersebut. Kondisi dan situasi saat ini tampaknya menuntut pendidikan karakter yang perlu ditransformasikan sejak dini, yakni sejak pendidikan anak usia dini dan pada tahap pendidikan dasar secara holistik dan berkesinambungan.

Desain Pendidikan Karakter

  Urgensi dari implementasi komitmen nasional pendidikan karakter, secara kolektif telah dinyatakan pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai berikut :

  1. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian

  integral yang tidak terpisahkan dari pendidikan nasional yang utuh,

  2. Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh,

  3. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung

  jawab bersama antara Pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orang jawab bersama antara Pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orang

  4. Dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budaya karakter

  bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.

  Untuk memenuhi keperluan tersebut di atas, Kementerian Pendidikan Nasional telah menyusun Desain Induk Pendidikan Karakter, yang merupakan kerangka paradigma implementasi pembangunan karakter bangsa melalui sistem pendidikan. Secara keseluruhan pendidikan karakter dalam Desain Induk Pendidikan Karakter tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga

  tahap, yakni : perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan, dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan : 1) filosofis-agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU No. 20 Tahun 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunannya, 2) pertimbangan teoretis, teori tentang otak (brain theories), psikologis (cognitive development theories, learning theories, theories of personality ), pendidikan (theories of instruction, educational management, curriculum theories ), nilai dan moral (axiology, moral development theories), dan sosio-kultural (school culture, civic culture ), dan 3) pertimbangan empiris berupa pengalaman dan praktek terbaik (best practice) dari antara lain : tokoh-tokoh, satuan pendidikan unggulan, pesantren, kelompok cultural, dan lain-lain.

  2. Pada tahap implementasi, dikembangkan pengalaman belajar

  (learning experience) dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pembelajaran sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penye- lenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Dalam masing-masing pilar pendidikan akan ada dua jenis pengalaman belajar (learning experience) yang dibangun melalui dua pendekatan, yakni : intervensi dan habituasi. Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembe- lajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pem- bentukan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur

  (structured learning experiences). Agar proses pembelajaran tersebut berhasil guna, peran guru sebagai sosok anutan (role model) sangat penting dan menentukan. Sementara itu, dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi (persistent life situation), dan penguatan (reinforcement) yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masya- rakatnya, membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui proses intervensi. Proses pembudayaan dan pemberdayaan yang mencakup pemberian contoh, pembelajaran, pembiasaan, dan penguatan harus dikembangkan secara sitematik, holistic, dan dinamis.

  3. Dalam konteks makro kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, pelaksanaan pendidikan karakter merupakan komitmen seluruh sector kehidupan, bukan hanya sector pendidikan nasional. Keterlibatan aktif dari sektor-sektor pemerintahan lainnya, khususnya sektor keagamaan, kesejahteraan, pemerintahan, komunikasi dan informasi, kesehatan, hukum dan hak azasi manusia, serta pemuda dan olah raga.

  4. Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan asesmen program untuk perbaikan berkelanjutan yang sengaja dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik.

  Pada tahap mikro, pendidikan karakter ditata sebagai berikut :

  1. Secara mikro, pengembangan nilaikarakter dapat dibagi dalam empat pilar yakni: kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya satuan pendidikan (school culture ), kegiatan ko-kurikuler danatau ekstra kurikuler, serta pada keseharian di rumah dan dalam masyarakat,

  2. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, pengembangan nilaikarakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan integrasi dalam semua mata pelajaran (embedded approach). Khusus, untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, karena memang misinya adalah mengem- bangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilaikarakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategimetode pendidikan nilai (valuecharacter education). Untuk kedua mata pelajaran tersebut, nilaikarakter dikembangka 2. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, pengembangan nilaikarakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan integrasi dalam semua mata pelajaran (embedded approach). Khusus, untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, karena memang misinya adalah mengem- bangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilaikarakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategimetode pendidikan nilai (valuecharacter education). Untuk kedua mata pelajaran tersebut, nilaikarakter dikembangka

  3. Dalam lingkungan satuan pendidikan dikondisikan agar ling- kungan fisik dan sosio-kultural satuan pendidikan memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga satuan pendidikan lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di satuan pendidikan yang mencerminkan perwujudan nilaikarakter.

  4. Dalam kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran, atau kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan satuan pendidikan yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam, dan lain-lain, perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dalam rangka pengembangan nilaikarakter.

  5. Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tuawali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulai yang dikem- bangkan di satuan pendidikan menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.

  Desain pendidikan karakter secara mikro tersebut sesuai dengan pendapat Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) yang mengemukakan tentang pentingnya melibatkan orang tua dan anggota komunitas dalam pembentukan karakter siswa. Lickona, Schaps, dan Lewis menge- mukakan:

  A school’s character education mission statement should state explicitly what is true: Parents are the first and most important moral educators of their children. Next, the school should take pains at every stage to communicate with parents about the school’s goals and activities regarding character development—and how families can help…. Finally, schools and families will enhance the effectiveness of their partnership if they recruit the help of the wider community— A school’s character education mission statement should state explicitly what is true: Parents are the first and most important moral educators of their children. Next, the school should take pains at every stage to communicate with parents about the school’s goals and activities regarding character development—and how families can help…. Finally, schools and families will enhance the effectiveness of their partnership if they recruit the help of the wider community—

  Secara diagram, Pendidikan Karakter Bangsa pada tataran mikro tersebut digambarkan sebagai berikut:

  Integrasi ke dalam KBM

  Pembiasaan dalam kehidupan

  pada setiap Mapel

  keseharian di satuan pendidikan

  BUDAYA SEKOLAH: (KEGIATANKEHIDUPAN

  KEGIATAN

  KESEHARIAN DI

  KESEHARIAN

  SATUAN PENDIDIKAN)

  DI RUMAH

  Penerapan pembiasaan

  Integrasi ke dalam kegiatan

  kehidupan keseharian di

  Ektrakurikuler Pramuka, Olahraga,

  rumah yang sama dengan di

  Karya Tulis, dan sebagainya.

  satuan pendidikan

  Gambar 3. Desain pendidikan karakter secara mikro

  Dalam pendidikan karakter perlu dilakukan pendekatan dan metode yang relevan, efektif, dan efisien. Pendekatan terkait dengan proses, perbuatan atau cara untuk mendekati suatu aktivitas tertentu. Pendekatan mungkin cocok dipergunakan untuk kalangan tertentu, namun belum tentu sesuai untuk kalangan lain. Pendekatan lebih menekankan pada proses berjalannya upaya untuk menyampaikan sesuatu. Sedangkan, metode memiliki makna sebagai suatu cara kerja yang bersistem, yang memudahkan pelaksanaan kegiatan. Penentuan pendekatan yg tepat dalam kegiatan belajar mengajar (KBM)

  9 Lickona, T., Schaps, E., Lewis, C. (2007). Eleven principles of effective character education. Eleven principles of effective character education. Cortland, NY: Center for

  the 4th and 5th Rs: Respect and Responsibility. Dapat diakses pada http:www.cortland.educharacterarticles the 4th and 5th Rs: Respect and Responsibility. Dapat diakses pada http:www.cortland.educharacterarticles

  Esensi dalam menentukan pendekatan yang tepat adalah pengetahuan tentang teknik membentuk tingkah laku anak dalam upaya membangun karakter adalah sebagai berikut:

  • Memahami: Tingkah laku anak harus dipahami guru dengan

  sewajarnya walaupun tampak mengesalkan (misal: berteriak) • Mengabaikan: Tingkah laku yang tidak pantas, dihilangkan dengan

  cara mengabaikan (misal: merengek) • Mengalihkan perhatian: Caranya dengan mengajukan pertanyaan ke

  arah lain, mengajak melakukan sesuatu dan menyuruh melakukan kegiatan lain

  • Keteladanan: Keteladanan lebih efektif dari kata-kata, anak lebih

  memerlukan teladan daripada kritik • Hadiah: Caranya dengan memberitahu secara langsung dan secara

  tidak langsung • Perjanjian: Tuntutan akan lebih jelas dan berisi syarat tingkah laku

  dan hadiah • Membentuk: Mengubah tingkah laku anak yang cukup kompleks

  (misalnya: anak memakai seragam sendiri dengan rapi) • Memuji : Dorongan yang cukup kuat pada setiap orang adalah ingin

  dianggap penting (misalnya: warna lukisanmu bagus dan serasi) • Mengubah lingkungan rumah: Mencegah tingkah laku negatif lebih

  efektif daripada memperbaikinya (misal: menambahmengurangi dan merapikan kembali lingkungan di sekitar anak)

  • Mengajak: Caranya mempengaruhi anak untuk melakukan sesuatu

  yang membangkitkan perasaan, dorongan, cita-cita. Strategi yang dapat dilakukan dengan menghimbau, dramatisasi.

  • Menantang: Bila anak tidak mengalami benturan dengan

  lingkungan maka tidak ada motivasi dan perkembangannya tidak maju, kalah bersaing tidak perlu malu

  • Menggunakan akibat yang wajar dan alamiah: Membiarkan anak

  untuk belajar mengalami sendiri konsekuensi wajar dari kesalahan mereka

  • Sugesti: Memasukkan sesuatu pikiran ke dalam jiwa anak. Sugesti

  positif akan mengarahkan pada tingkah laku positif dan sebaliknya bila sugesti negatif.

  • Meminta: Menghimbau anak untuk melakukan sesuatu bagi orang

  tua. Orang tua yang bijak akan lebih sedikit menggunakan perintah dan lebih sering menggunakan permintaan, sugesti atau ajakan.

  • Peringatan atau isyarat: Biasanya berupa verbal atau non verbal.

  Peringatan bersifat objektif, sedangkan omelan bersifat emosional • Kerutinan dan kebiasaan: Merupakan penanaman disiplin sehari-

  hari. Harus dilaksanakan konsisten, dan penyimpangan terhadap aturan jangan ditolerir

  • Menghadapkan suatu problem: Beritahu anak secara jelas bahwa

  tingkah laku mereka menimbulkan masalah yang tidak menye- nangkan orang lain

  • Memecahkan perselisihan: Penyelesaian konflik lebih efektif dengan

  argumentasi yang logis, daripada dengan berkelahi. Mintakan argumentasi terhadap poin masalah dan cari penyebab yang lebih mengena

  • Menentukan batas-batas aturan: Jangan terlalu banyak pembatasan.

  Batasan harus jelas dan spesifik • Menimpakan hukuman: Terdiri dari hukuman saat melakukan

  perbuatan yang tidak menyenangkan, pencabutan suatu kesenangan dan menimpakan kesakitan baik kejiwaan maupun fisik.

  • Penentuan waktu dan jumlah hukuman: Hukuman lebih baik segera

  dijatuhkan bila anak melakukan kesalahan. • Menggunakan pengendalian secara fisik: Digunakan jika segala

  teknik yang telah dilakukan menemui kegagalan

  Pembentukan karakter sangat terkait dengan pembentukan moral anak. Seiring perkembangan kognitif anak yang dapat dilihat dari perkembangan bahasanya, anak pada usia tersebut diharapkan mulai memahami aturan dan norma yang dikenalkan oleh orang tua melalui penjelasan-penjelasan verbal dan sederhana. Orang tua atau orang dewasa di sekitarnya sudah mulai mengenalkan, mengajarkan, dan membentuk sikap dan perilaku anak. Komunikasi dan interaksi antara orang tua dan anak dalam hal ini menjadi sangat penting keberadaannya. Upaya penanaman dan pengembangan perilaku moral yang dilakukan orang tua pada anak tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi yang terjadi antara mereka. Minat anak untuk berhubungan dengan orang lain mulai terlihat sejalan dengan perkembangan fisik, motorik, dan bahasanya. Setelah anak berusia 2 tahun ruang geraknya sudah luas. Pada saat itulah kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan orang lain mulai berkembang, tidak hanya sebatas orang tuanya saja, tetapi juga dengan orang lain. Saat inilah orang tua mulai mengajarkan aturan, nilai, norma yang berlaku di

  masyrakat sekitar agar anak dapat menjalin hubungan dan dapat diterima oleh lingkungan sosial sekitar dengan baik. Orang tua mengajarkan nilai moral tersebut dengan penjelasan verbal dan sederhana, sambil memberi contoh secara nyata. Keterbatasan anak dalam perkembangan bahasa menyebabkan ia masih selalu butuh contoh-contoh nyata agar ia dapat lebih memahami maksud pembicaraan orang tua. Apabila anak tidak melakukan apa yang dikatakan maka orang tua perlu melakukan koreksi atas perilaku anak. Koreksi sebaiknya disampaikan dengan cara yang baik, dengan pendekatan yang lebih bersifat persuasif (membujuk) karena perilaku tidak pantas yang ditunjukan anak mungkin tidak disadarinya. Perlu proses dan waktu untuk pembentukan dan pembiasaan sikap, serta perilaku moral pada anak. Untuk itu dibutuhkan kesabaran pendidik (orang tua dan guru) dalam memberikan penjelasan dan contoh pada anak. Pendidik harus banyak memberikan penjelasan dan contoh nyata tentang apa yang harus dilakukan anak dan bagaiamana cara ia melakukan sesuatu tersebut. Pendidik harus mampu menunjukkan sikap taat asas (konsisten) terhadap anak untuk memudahkan anak mempelajari dan memahami apa yang diharapkan darinya. Pentingya pujian dan contoh dalam membentuk perilaku moral sangat sesuai dengan apa yang disampaikan Kohlberg dan pandangan aliran perilaku (behaviorist). Menurut Kohlberg pada awalnya anak berperilaku baik agar ia mendapatkan pujian dan terhindar dari hukuman, dan agar ia diterima oleh lingkungan sekitar dan terhindar dari kecaman orang lain. Menurut aliran behaviorist perilaku moral adalah hasil dari pemberian reinforcement (penguatan), berupa hukuman dan model dari orang tua. Pada anak yang lebih muda usia (2 atau 3 tahun) hukuman sedapat mungkin tidak diberikan, kalaupun orang tua perlu melakukan koreksi terhadap perilaku anak yang tidak pantas, dianjurkan dengan cara yang lebih persuasif mengingat pada usia itu anak baru mulai mengenal aturan, nilai dan norma. Kekeliruan yang dibuat anak pada usia itu dilakukan bukan karena disengaja tetapi karena ia tidak atau belum tahu cara yang diharapkan oleh lingkungannya. Bila orang tua menghukumnya, ia belum mengerti mengapa orang tua menghukumnya. Tetapi apabila kekeliruan terjadi berulang kali, boleh saja orang tua menghukumnya, dalam arti memberikan reaksi atau sikap yang membuat anak mengerti bahwa perilaku yang ia lakukan tidak diharapkan oleh orang tuanya. Seiring dengan bertambahnya usia anak hukuman yang diberikan dapat bervariasi dan proporsional.

  Banyak orang yang tidak menyadari bahwa sikap dan perilakunya merugikan atau menyakitkan orang lain sehingga mengambat kelancaran hubungannya dengan orang lain. Pada dasarnya

  hal itu dipengaruhi oleh sikap egois dan acuh tak acuh terhadap kepentingan orang lain. Banyaknya berbagai kasus yang dipengaruhi oleh faktor egoisme ini membuktikan pentingya penanaman moral anak sejak dini. Seiring dengan perkembangan berbahasa dan berpikirnya, berbagai informasi yang dilihat dan didengarnya dapat merupakan pelajaran bagi anak. Perilaku anak uisa dini yang mengarah kepada perilaku moral yang kurang baik, dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Kemajuan di bidang teknologi merupakan nara sumber yang jauh lebih sarat informasi bagi anak dibandingkan informasi yang diperoleh dari orang tua atau gurunya. Masuknya informasi kepada anak sudah sulit dibendung dan dibatasi, apalagi dengan berkembangnya media telekomunikasi dan siaran televisi. Salah satu cara untuk menghindari dampak negatif dari berbagai informasi tersebut adalah dengan menanamkan moral secara lebih intensif dan efektif. Pendidik harus mampu bersikap lebih terbuka dalam memberi informasi dan menanggapi pertanyaan anak, dan dalam setiap kesempatan yang tepat berusaha memasukan nilai dan norma yang dapat mengarahkannya kepada perilaku positif. Pendidik dituntut untuk membekali dirinya dengan berbagai informasi yang luas dan dapat dipertanggungjawabkan. Pendidik juga harus lebih banyak melakukan pendekatan yang bersifat demokratis, dengan memberi peluang bagi anak untuk berdiskusi dengan tetap memperhatikan tatakrama dan sopan santun. Pendidik yang masih bersikap otoriter yang cenderung memaksakan pendapat dan kehendak kepada anak akan kehilangan kesempatan untuk membina hubungan yang baik dengan anaknya, bahkan akan menjauhkannya dari anak. Bila anak menjadi jauh dari pendidik maka ia akan mencoba mencari nara sumber lain untuk mendapatkan informasi melalui media dan teman-teman sebaya yang masih dangkal pengetahuan dan cara berpikirnya. Penanaman moral kepada anak sejak dini seharusnya menggunakan pendekatan yang bersifat individual, persuasif, dan informal (santai dan penuh keakraban).

  Pendidikan karakter harus dilakukan secara holistik. Pendidikan holistik membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspekpotensi spiritual, potensi emosional, potensi intelektual (intelegensi kreativitas), potensi sosial, dan potensi jasmani siswa secara optimal. Membangun karakter itu harus dimulai sedini mungkin, atau bahkan sejak dilahirkan, dan harus dilakukan secara terus menerus dan terfokus. Pendidikan holistik juga untuk membentuk manusia pembelajar sepanjang hayat yang sejati (lifelong learners ). Di samping itu, pendidikan karakter juga mengembangkan semua potensi anak sehingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam hal Pendidikan karakter harus dilakukan secara holistik. Pendidikan holistik membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspekpotensi spiritual, potensi emosional, potensi intelektual (intelegensi kreativitas), potensi sosial, dan potensi jasmani siswa secara optimal. Membangun karakter itu harus dimulai sedini mungkin, atau bahkan sejak dilahirkan, dan harus dilakukan secara terus menerus dan terfokus. Pendidikan holistik juga untuk membentuk manusia pembelajar sepanjang hayat yang sejati (lifelong learners ). Di samping itu, pendidikan karakter juga mengembangkan semua potensi anak sehingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam hal

  Contoh metode pembentukan karakter melalui pendidikan adalah sebagai berikut:

  1. Curiousity : timbulkan rasa ingin tahu anak

  2. Share : ajak berdiskusi

  3. Planning : apa yang akan dilakukan

  4. Action : anak melakukan rencana yang disusun

  5. Reflection : anak mengevaluasi apa yang telah ia lakukan Upaya memunculkan rasa ingin tahu anak harus diikuti dengan diskusi

  dalam upaya menanamkan konsep moral (kognitif) berupa kesadaran moral, pengetahuan nilai moral, penalaran moral, pandangan ke depan. Penanaman konsep moral dapat dilakukan melalui metode diskusi partisipatoris, jajak pendapat, ungkapan pemikiran tentang suatu kasus, dan sebagainya. Tahapan selanjutnya berupa rencana aksi dan pelaksanaan aktivitas untuk melatih moral adalah ajang pembinaan karakter. Berdasarkan hasil penelitian disarankan bahwa aktivitas yang dilakukan sebaiknya terkait dengan kegiatan social kemasyarakatan yang dapat menumbuhkan rasa toleransi dan rasa kemanusiaan. Proses refleksi dilakukan sebagai tahapan integrasi karakter, dimana anak melakukan introspeksi diri, menyadari pentingnya memiliki karakter mulia, merasakan kepercayaan diri, dan memperoleh kepuasan.

  Dalam upaya membentuk karakter, anak harus memahami, merasakan, dan mengaplikasikan perilaku moral yang dilatihkan. Tahapan yang dapat dilakukan dalam pembentukan karakter adalah sebagai berikut:

  1. Ajak anak melihat di sekitarnya dan ajak ia berpikir

  2. Tanyakan kepada anak jika ia berada dalam situasi sebagai pelaku

  sesuai dengan apa yang dilihatnya

  3. Manfaatkan kesempatan emas (golden opportunity)

  4. Ajari anak keahlian yang menunjang karakter

  5. Minta anak untuk melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan sesuai

  kemampuannya

  6. Biasakan anak melakukan perbuatan atau pekerjaan tersebut secara

  konsisten

  7. Kadang-kadang orang tua atau pendidik perlu terlibat dalam

  kegiatan anak

  8. Berikan teladan yang baik setiap waktu

  Kevin Ryan dan Thomas Lickona (1987) mengajukan model pembentukan karakter yang mencakup tiga elemen dasar, yakni:

  pengetahuan, afektif, dan tindakan 10 . Lickona mengacu pada pemikiran

  filosof Michael Novak yang berpendapat bahwa watak atau karakter seseorang dibentuk melalui tiga aspek, yaitu: Konsep moral (moral Knowing), sikap moral (moral feeling), perilaku moral (moral behavior). Bagan keterkaitan ketiga konsep tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

  KONSEP MORAL

  SIKAP MORAL

  Kesadaran moral

  Kata hati

  Pengetahuan nilai moral

  Simpati

  Pandangan ke depan

  Empati

  Penalaran moral

  Cinta kebaikan

  Pengambilan keputusan

  Toleransi Kasih sayang

KARAKTER

  PERILAKU MORAL Kemampuan Kebiasaan

  Gambar 4. Keterkaitan aspek kognitif, konatif, dan psikomotor dalam

  karakter

  10 Ryan, K. and Lickona, T. (1987), ‘Character education: the challenge and the model’, dalam K. Ryan and G.F. McLean (eds), Character Development in

  Schools and Beyond , New York: Praeger

  Lickona menekankan pada pentingnya menanamkan aspek afektif sebelum siswa melakukan tindakan moral. Ryan dan Bohlin (1999) memperkuat pendapat Lickona dengan mendeskripsikan pendekatan pendidikan karakter sebagai proses: knowing the good, loving the good, and

  doing the good 11 .

  Lickona (dalam Arthur, 2003) 12 mendeskripsikan 8 prinsif yang

  diadopsi oleh Character Education Partnership di USA untuk memberikan penghargaan pada institusi pendidikan yang menyeleng- garakan pendidikan karakter, sebagai berikut:

  a. schools should be committed to core ethical values;

  b. character should be comprehensively defined to include thinking, feeling

  and behaviour;

  c. schools should be proactive and systematic in teaching character

  education and not simply wait for opportunities;

  d. schools must develop caring atmospheres and become a microcosm of

  the caring community;

  e. opportunities to practise moral actions should be varied and available to

  all;