KINETIKA DAN APLIKASI ENZIM ENZIM PROTEA

KINETIKA DAN APLIKASI ENZIM
“ENZIM PROTEASE”

DOSEN PENGASUH :
Dr. Laksmi Ambarsari, MS

OLEH :
DEDE RIVAL NOVIAN G851140021
ELFIRA JUMRAH G851140071
NUR HASANAH G851140091

PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

Pengertian dan sumber Enzim Protease

Protease adalah enzim yang dapat menghidrolisis ikatan peptida pada protein

menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti peptide kecil dan asam amino
(Bains,1998). Sehingga enzim ini menjadi salah satu enzim yang banyak digunakan
baik dalam industri pangan maupun non pangan. Di bidang industri pangan enzim
protease digunakan pada industri keju, bir, roti dan daging, sedangkan di bidang non
pangan paling banyak digunakan di industri detergen, farmasi, fotografi, tekstil dan
kulit (Suhartono, 1989). Hal ini yang alasan utama protease sebagai satu dari tiga
kelompok terbesar dari industri enzim dan diperkirakan sebesar 60% dari
perdagangan enzim di seluruh dunia (Rao et al., 1998).
Sumber enzim protease bisa berasal dari hewan, tanaman dan mikroorganisme.
Penggunaan tumbuhan sebagai sumber protease dibatasi oleh tersedianya tanah untuk
penanaman dan kondisi yang cocok untuk pertumbuhan. Disamping itu proses
produksi protease dari tumbuhan sangat memakan waktu. Protease tumbuhan yang
dikenal antara lain papain, bromelain, dan karetinase. Protease hewan yang paling
dikenal adalah tripsin, kimotripsin, pepsin, dan rennin. Enzim ini dapat diperoleh
dalam keadaan murni dengan jumlah besar (Boyer, 1971). Namun secara ekomomi
produksi protease dari heawan dan tanaman membutuhkan sumber daya dan biaya
yang besar.
Untuk keperluan industri biasanya enzim diperoleh dari mikroorganisme.
Karena mikroorganisme mempunyai beberapa keunggulan bila dibanding protease
dari


sumber

lainnya,

diantaranya

dapat

diproduksi

dalam

jumlah

besar,

produktivitasnya mudah ditingkatkan, mutu lebih seragam, harga lebih murah, dapat
ditumbuhkan dengan cepat, pertumbuhannya mudah diatur, enzim yang dihasilkan
mudah diisolasi. Keunggulan lainnya adalah mikroorganisme dapat hidup dan

berkembang biak dalam media limbah pertanian yang relatif lebih murah. Adanya
mikroorganisme unggul merupakan salah satu faktor penting dalam usaha produksi
enzim (Stanbury and Whitaker, 1984). Mikroba yang telah dikembangkan secara
komersial sebagai penghasil protease antara lain Bacillus licheniformis, Bacillus
stearothermophilus, Bacillus pumilus, Aspergillus oryzae, Aspergillus niger, bakteri
asam

laktat

seperti

Lactobacillus

bulgaricus,

Streptococcus thermophilus. (Epi Supriwardi, 2011).
Kegunaan Enzim Protease

Bacillus


lichenoformis,

dan

Teknologi fermentasi merupakan salah satu cara pengolahan dan pengawetan
makanan, baik secara konvensional maupun modern, dengan memanfaatkan mikroba
baik langsung maupun tidak langsung. Dalam proses fermentasi, mikroba maupun
enzim yang dihasilkan dapat menstimulasi rasa yang spesifik, meningkatkan nilai
cerna bahan pangan, menurunkan kandungan anti gizi atau bahan lain yang tidak
dikehendaki, dan dapat menghasilkan produk atau senyawa turunan yang bermanfaat
Protease bakteri secara ekstensif digunakan dalam industri deterjen, yang
jumlahnya mencapai 25% dari total enzim yang dijual di dunia. Dimulai tahun 1993,
protease dari ekstrak kasar protease ditambahkan pada deterjen laundry untuk
mencapai hasil yang lebih baik dalam memindahkan noda proteinaceous. Akhir tahun
50-an, protease bakteri pertama kali digunakan dalam deterjen komersil. Saat ini
protease paling populer untuk digunakan dalam deterjen yang semuanya tergolong
protease serin dari Bacillus amyloliquefaciens, Bacillus. lichenformis, Bacillus alkali
kuat seperti Bacillus. lentus (Rao et al., 1998). Pada industri lain protease juga
digunakan dalam industry farmasi, produk-produk kulit, proses pengolahan limbah
industri (Nascimento & Martin, 2006), peragian, pengembang, penyamakan kulit dan

pengempukan daging biasanya protrase ini berasal dari Bacillus, Aspergillus oryzae
dan streptomyces spp. Tipe protease ini umumnya dihasilkan selama proses fermentasi
dan dikeluarkan ke dalam media produksi (Headon & Walsh, 1994).
Isolasi Bakteri
Isolasi bakteri dilakukan sesuai dengan standar metode uji mikrobiologi
menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 6887-1:2012. Sampel diambil sebanyak 60
ml yang dimasukkan ke dalam botol steril. Kemudian diperlakukan pengenceran
berseri 10-1–10-6 menggunakan pepton water steril. Hasil pengenceran 10-2, 10-4, dan
10-6ditanam menggunakan metode pour plate pada media Trypthone Soya Agar
(TSA), diinkubasi pada suhu 300C selama 48 jam. Pada hasil koloni yang
ditumbuhkan dilakukan penghitungan koloni serta pengamatan morfologi koloni.
Pemurnian bakteri dilakukan dengan menanam pada media TSA diinkubasi pada suhu
300C selama 48 jam. Target pemurnian adalah setiap koloni yang memiliki perbedaan
morfologi. Selanjutnya, dipilih 5 jenis koloni dominan untuk dilakukan karakterisasi
koloni dan bakteri. Masing-masing jenis koloni diambil 2 sampel sehingga
diperoleh10 isolat. Hasil permunian ditumbuhkan pada agar miring media TSA

diinkubasi pada suhu 300C selama 48 jam dan disimpan pada suhu -20 0C. Untuk uji
selanjutnya, dilakukan penanaman pada agar miring media TSA untuk mendapatkan
fresh culture.

Uji Aktivitas Protease
Uji aktivitas protease dilakukan menurut Baehaki (2011) yaitu dengan cara
bakteri yang memiliki nilai positif dari uji kualitatif ditumbuhkan pada media
pertumbuhan yaitu Nutrient Broth (NB). Kemudian dilihat kemampuan bakteri
proteolitik dalam membentuk zona bening di sekitar isolat yang ditumbuhkan dalam
media agar skim susu.
Menurut Pakpahan (2009), Susu merupakan media yang sesuai untuk
pertumbuhan bakteri karena mengandung banyak nutrien. Kasein merupakan protein
susu yang terdiri dari fosfoprotein yang berikatan dengan kalsium membentuk garam
kalsium yang disebut kalsium kalsenat. Molekul ini sangat besar dan tidak larut dalam
air serta membentuk koloid. Suspensi ini berwarna putih serta mampu diamati secara
langsung saat disuspensikan dalam kultur media padat.
Zona bening yang terbentuk di sekitar koloni bakteri merupakan tanda
hilangnya partikel kasein di media susu skim. Adanya enzim proteolitik ekstraseluler
bakteri, kasein akan terhidrolisis menjadi peptida- peptida dan asam amino yang larut.
Enzim ekstraseluler ini (diantaranya berasal dari: Bacillus sp) sangat efisien dalam
memecah berbagai senyawa karbohidrat, lipid dan protein rantai panjang menjadi
unit-unit rantai pendek atau senyawa-senyawa yang lebih sederhana
Produksi
Mikroorganisme yang kita ketahui adalah penghasil enzim intraseluler dan

ektraseluler dalam skala industri. Untuk menghasilkan enzim protease, maka setelah
dilakukan penanaman bakteri pada media tertentu dapat kita lihat kurva pertumbuhan
bakteri dan produksi enzim protease melalui uji aktivitas. Hasilnya bakteri terpilih
menunjukkan adanya produksi protease pada waktu inkubasi 4 jam hingga 32 jam.
Pada kurva pertumbuhan bakteri dan produksi setelah mengalami fase adaptasi, maka
bakteri akan memasuki fase log. Fase log adalah fase dimana bakteri mengalami
pertumbuhan yang sangat cepat, dan dapat dikatakan pada fase ini bakteri mengalami
pertumbuhan eksponensial. Pada fase ini bakteri mensekresikan enzim protease oleh

galur produsen selama pertumbuhan fase eksponensial (Schenell et al 1988). Dan
biasanya mengikuti pola klasik sintesis protein. yang diatur oleh plasmid DNA
ekstrakromosomal (piart et al 1993) dan umumnya disintesis melalui jalur ribosomal
sebagai propeptida kemudian mengalami modifikasi (Engelke et al, 1992). Pada
kondisi ini, kebutuhan akan energi bagi bakteri lebih tinggi dibandingkan pada fase
lainnya. Oleh karena itu bakteri banyak memproduksi zat-zat metabolit yang
dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan nutrisinya. (Mukhamad Kosim, 2010).
Sehingga peningkatan produksi protease seiring dengan meningkatnya pertumbuhan
bakteri dan dipengaruhi oleh nutrien, oksigen, potensial oksidasi reduksi dan adanya
zat-zat penghambat (Putri, 2012) waktu, suhu, PH inkubasi, (Soeka, et al 2011) Pada
waktu inkubasi setelah 32 jam, bakteri mengalami fase eksponensial diperlambat

karena pada fase ini nutrisi yang tersedia sudah mulai berkurang dan hasil ekskresi
bakteri telah bertimbun dalam medium sehingga menganggu pembiakan dan
pertumbuhan bakteri selanjutnya. Sedangkan pada waktu inkubasi setelah 36 jam,
bakteri mengalami fase stasioner dimana pada fase ini sel kehabisan nutrien untuk
tumbuh dan membelah.
Isolasi Enzim
Ekstrak kasar enzim protease di produksi dari fermentasi media cair sintetik.
Fermentasi dilakukan di dalam “shaker waterbath” pada suhu 37 0C, 150 rpm. Isolasi
ekstrak kasar enzim protease dilakukan pada waktu inkubasi optimum yang
ditetapkan dengan kurva pertumbuhan yaitu 32 jam. Protease dari ekstraseluler
diperoleh dengan mensentrifugasi medium produksi pada kecepatan 6.000 rpm pada
suhu 4 0C, selama 15 menit. (Elfi, 2003) Enzim ini akan berada di supernatannya dan
merupakan ekstrak kasar protease. Ekstrak kasar ini kemudian dimurnikan melalui
tahap freeze drying, dan selanjutnya difraksinasi dengan amonium sulfat. Freeze
drying merupakan tahap pemekatan atau pengeringan larutan protein untuk mencegah
denaturasi protein. Sedangkan fraksinasi amonium sulfat merupakan proses
pengendapan protein dari larutannya. Hal ini dilakukan setelah ekstrak kasar protease
dipekatkan melalui freeze drying.
Fraksinasi dengan amonium sulfat merupakan salah satu cara pemurnian
protein melalui proses pengendapan garam. Pengendapan ini terjadi karena ion-ion

garam amonium sulfat akan berkompetisi dengan protein untuk menarik molekul air

sehingga mengurangi molekul air pada bagian permukaan hidrofob protein, dan
menurunkan kelarutan protein, selanjutnya protein berinteraksi satu sama lainnya
membentuk gumpalan dan mengendap. Molekul protein dengan berat molekul besar
memerlukan konsentrasi garam yang kecil untuk membentuk endapan dan akan
mengendap lebih dulu hal ini menyebabkan terjadinya efek salting out (Fatoni, 2008).
Salting out adalah peristiwa peningkatan muatan listrik di sekitar protein, yang akan
menarik mantel air dari koloid protein dan menyebabkan peristiwa hidrofobik
antarmolekul protein pada suasana ionik tinggi yang menyebabkan penurunan
kelarutan protein. Sedangkan pada konsentrasi rendah, ion-ion ini akan mengelilingi
molekul protein dan mencegah mereka bersatu sehingga protein melarut. Peristiwa ini
disebut salting in.
Pengendapan terjadi secara perlahan dan disetimbangkan selama 12 jam.
Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan cara sentrifugasi, Untuk menghilangkan
sisa-sisa garam amonium sulfat dan molekul-molekul kecil lainnya, maka endapan
yang diperoleh didialisis menggunakan tabung selovan (Elfi, 2003).
Karakterisasi
Karakterisasi enzim protease dapat ditentukan berdasarkan pengaruhnya
terhadap pH, temperatur serta penambahan aktivator dan inhibitor. pH optimum

ditentukan dengan mengukur aktivitas enzim pada variasi pH dari buffer fosfat 0,2 M
dan buffer karbonat 0,2 M pada temperatur 400C dengan lama inkubasi 10 menit.
Selanjutnya ditentukan temperatur optimum pada pH optimum yang diperoleh dari
pengukuran di atas, dengan cara mengukur aktivitas enzim pada variasi suhu inkubasi.
Pada pH dan suhu optimum, yang telah diketahui kemudian dilakukan
pengujian aktivitas enzim dengan menambahkan aktivator dan inhibitor pada substrat,
antara lain: ion Ca2+ , Mg2+ Zn2+ Fe2+ EDTA, SDS dengan variasi konsentrasi 10, 100,
1000 ppm.
Pada penelitian karakteristik protease dari Bacillus amyloliquefaciens uji
stabilitas Enzim yang dilakukan dengan cara menyimpan enzim protease pada suhu
40C selama 6 hari diperoleh hasil aktivitas enzim semakin menurun dengan
bertambahnya waktu penyimpanan. Menurut Suhartono dkk. (1994), enzim protease
memiliki stabilitas penyimpanan yang rendah.
Kemungkinan-kemungkinan penyebab stabilitas penyimpanan yang rendah

atau terjadinya penurunan aktivitas pada saat enzim disimpan, disebabkan antara lain:
1.

Enzim protease hanya aktif secara katalitik dalam jangka waktu yang pendek karena
adanya autolisis. Autolisis adalah proses dimana enzim protease mengkatalis

hidrolisis protein enzim protease yang sama, misalnya tripsin menghidrolisa
molekul tripsin lainnya (Suhartono, 1989).
2. Enzim ini berbentuk larutan dan air berfungsi sebagai medium untuk substrat
berdifusi ke dalam sisi aktif enzim dan produk berdifusi dari sisi aktif enzim,
sehingga dengan adanya air akan lebih mempermudah enzim mengalami degradasi
oleh enzim lain (protease) sehingga enzim yang berbentuk larutan lebih tidak stabil
daripada enzim yang telah dikeringkan Fox (1991).
Pengaruh pHterhadap Aktivitas enzim protease
Aktivitas enzim dipengaruhi oleh pH, karena pH mempengaruhi keadaan
muatan listrik substrat atau enzim. Perubahan muatan dapat mempengaruhi aktivitas,
baik dengan perubahan struktur maupun dengan perubahan muatan pada residu asam
amino yang berfungsi mengikat substrat atau terjadi katalisis. Misalnya enzim
bermuatan negatif (Enz-) bereaksi dengan substrat (SH+):
Enz- + SH+ → EnzSH
Pada nilai pH kurang dari 7,5 untuk protease netral atau kurang dari 9 untuk protease
alkali, Enz- akan diprotonasi dan kehilangan muatan negatifnya.
Enz- + H+ → EnzH
Pada nilai pH lebih dari 7,5 untuk protease netral atau lebih dari 9 untuk protease
alkali, SH+ akan terionisasi dan kehilangan muatan positifnya.
SH+ →S+H+
Jadi nilai pH yang lebih rendah atau lebih tinggi akan menurunkan konsentrasi Enz dan SH+, padahal yang bereaksi adalah Enz - dan SH+ sehingga akan menurunkan
kecepatan reaksi (Martin et al., 1983).
Pengaruh Suhu terhadap Aktivitas enzim protease
Peningkatan suhu pada suatu reaksi berhubungan dengan bertambahnya energi
kinetik molekul, baik molekul enzim maupun molekul substrat. Dengan energi kinetik
yang lebih besar justru akan mempercepat gerakan-gerakan vibrasi, translasi dan

rotasi enzim dan substrat molekul sehingga kontak antara substrat dan enzim dapat
terjadi dengan frekuensi yang lebih banyak (Suhartono, 1989).
Namun energi kinetik molekul-molekul enzim menjadi demikian besar
sehingga melampaui energi untuk memecahkan ikatan-ikatan sekunder (ikatan
hidrogen, ikatan hidrofobik, ikatan elektrostatik) yang mempertahankan enzim dalam
keadaan alaminya, dimana enzim akan kehilangan struktur tiga dimensi sehingga
enzim akan kehilangan kemampuan katalitik pada suhu reaksi yang lebih tinggi dari
suhu optimumnya (Martin et al. 1983).
Aktivator dan Inhibitor
Pada penelitian karakteristik protease dari Bacillus amyloliquefaciens untuk
melihat sifat aktivator dan inhibitor digunakan Ca2+, Mg2+, Zn2+, Fe2+, SDS dan
EDTA, yang masing-masing diukur dengan variasi konsentrasi 10, 100, 1000 ppm.
Hasilnya dengan semakin bertambahnya konsentrasi ion Ca2+ tidak memberi pengaruh
secara nyata terhadap aktivitas relatif enzim. Hal ini menunjukkan bahwa ion Ca 2+
kurang berperan sebagai aktivator pada enzim protease netral, namun dapat digunakan
untuk meningkatkan stabilitas enzim (Endo, 1962 dalam Rose, 1980). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa enzim dapat distabilkan dengan penambahan ion kalsium karena
inaktivasi enzim sangat dipengaruhi oleh kondisi ikatan kalsium. Parameter aktivitas
untuk inaktivasi menunjukkan penguraian protein enzim saat pemanasan. Nilai entalpi
aktivitas dan entropi akan meningkat dengan peningkatan konsentrasi ion kalsium.
Model kinetik inaktivasi didasarkan pada asumsi bahwa dua tahap penguraian transisi
dimana disosiasi ion bivalen terjadi pada tahap pertama dan kemudian diikuti tahap
kedua yaitu penguraian struktur. Model kinetik tersebut menginterpretasikan ikatan
ion kalsium terhadap protein enzim secara quantitatif maupun qualitatif dan
pengaruhnya terhadap inaktivasi. Afinitas entalpi yang kuat semakin memperkuat
ikatan ion bivalen terhadap protein enzim sehingga bersifat sebagai penstabil
(Hoshino and Tanaka, 2002). Ion Mg2+ pada enzim protease berperan sebagai inhibitor
karena dengan penambahan 1000 ppm ion Mg2+ dapat menurunkan aktivitas enzim.
Dengan semakin bertambahnya konsentrasi ion Zn2+ memberikan peningkatan
aktivitas relatif enzim. Hai ini menunjukkan bahwa ion Zn2+ berperan sebagai
aktivator Penambahan ion Fe2+ juga meningkatkan aktivitas enzim. Peran ion Fe2+ ini
juga sama dengan ion Zn2+ yaitu sebagai aktivator.

EDTA menurunkan aktivitas enzim protease secara nyata. Hal ini
mengindikasikan ion logam divalen dibutuhkan untuk aktivitas enzim protease
sebagai kofaktor (Kim, et al, 2005).
Penambahan SDS yang merupakan detergen menurunkan aktivitas enzim,
tetapi peran SDS bukan untuk mengikat logam, melainkan mendenaturasi protein
enzim.
Reaksi Pemutusan Ikatan Peptida pada Protein oleh Protease

Gambar 1. Reaksi Pemutusan Ikatan peptida Protein oleh Protease

Imobilisasi Enzim
Enzim terimobilisasi didefinisikan sebagai enzim yang secara spesifik
ditempatkan dalam suatu ruang tertentu dengan tetap memiliki aktivitas katalitiknya
dan dapat digunakan secara berulang atau secara terus-menerus (Chibata 1978).
Imobilisasi enzim adalah usaha untuk memisahkan antara enzim dengan produk
selama reaksi dengan menggunakan sistem dua fase, satu fase mengandung enzim dan
fase lainnya mengandung produk, sehingga tidak terjadi saling kontaminasi antara
enzim dan produk (Chaplin, Buckle 1990).

Imobilisasi merupakan suatu modifikasi untuk meniru keadaan asalnya di alam
yang diyakini berada dalam keadaan terikat pada membran atau partikel partikel
dalam sel. Tujuan utama mengimobilisasi enzim adalah untuk mendayagunakan
enzim yang dapat memberikan proses katalitik yang berkesinambungan (Zaborsky
1973). Teknik imobilisasi enzim pertama kali dilakukan oleh Nelson dan Griffin pada
tahun 1916 (Muchtadi et al. 1992) Nelson dan Griffin mengimobilisasi enzim
interfase dari khamir dengan cara adsorpsi pada arang aktif (Chibata 1978). Menurut
Soehartono (1989) dan Winarno (1995), selama enzim belum mengalami kerusakan
struktur, enzim masih dapat dipakai secara berulang-ulang. Kekurangan-kekurangan
tersebut dapat diatasi dengan teknologi enzim yaitu membuat enzim amobil
(Immobilized enzyme). Penggunaan enzim terimobilisasi akan memberikan beberapa
keuntungan yaitu:
1. enzim dapat digunakan secara berulang
2. proses dapat dihentikan secara cepat dengan mengeluarkan enzim dari larutan
substrat
3. kestabilan enzim dapat diperbaiki
4. larutan hasil proses tidak terkontaminasi oleh enzim
5. dapat digunakan untuk tujuan analisis yang melibatkan enzim.
Imobilisasi enzim dapat dilakukan secara fisik, kimia atau kombinasi
keduanya. Metode imobilisasi terbagi atas tiga kelompok yaitu metode pengikatan
pada penyangga (carrier binding), metode pengikatan silang (crosslinking) dan
metode pemerangkapan (entrapping) (Chibata 1978).
Imobilisasi

enzim

protease

dengan

metode

penjebakan

menggunakan

poliakrilamid (Alexander, R.R. dan J. M Griffiths, 1993)
Enzim yang tidak diamobilisasi disebut enzim bebas. imobilisasi enzim
dilakukan menggunakan metode penjebakan dengan bahan pendukung poliakrilamida.
Prosesnya dilakukan sebagi berikut: Ekstrak kasar protease yang diperoleh dari
Bacillus sp ditambahkan bis-akrilamid, TEMED ammonium peroksodisulfat.
Kemudian dilakukan pengadukan selama penambahan campuran. Reaksi polimerisasi
dibiarkan terjadi pada suhu dingin dan tertutup, tidak terkena udara maupun cahaya
(sekitar 10 menit). Gel poliakrilamida yang terbentuk dipotong kecil-kecil (3x2x2
mm), kemudian dicuci dengan buffer yang sama dua kali untuk menghilangkan enzim
yang tidak terjerap. Enzim amobil dan buffer pencucinya dilakukan uji aktivitas dan

kadar protein untuk mengetahui efektivitas amobilisasi. Enzim yang telah
diamobilisasi disebut enzim amobil. Enzim amobil juga dilakukan karakterisasi untuk
mengetahui suhu dan pH optimum.
Penentuan Suhu Optimum Enzim Amobil

Gambar 2. Perbandingan suhu optimum enzim bebas dan enzim amobil

Penentuan suhu optimum EK bebas dan amobil (dalam tinjauan ini dari
Bacillus sp. BT 1) dilakukan dengan menginkubasi enzim pada berbagai variasi suhu.
Menurut Sadikin (2002), suhu yang sangat rendah menyebabkan kerja enzim terhenti
secara reversibel, karena tidak terjadi benturan antara enzim (E) dan substrat (S)
sehingga tidak terbentuk kompleks enzim-substrat (ES) dan menyebabkan tidak
terbentuknya produk (P). Suhu apabila dinaikkan perlahan maka benturan antara E
dan S untuk membentuk kompleks ES semakin besar sehingga P yang dihasilkan
semakin banyak hingga suhu optimum tercapai. Peningkatan suhu diatas suhu
optimum Molekul menyebabkan perubahan konformasi struktur molekul protein
sehingga enzim kehilangan sifat alamiahnya atau terdenaturasi, akibatnya aktivitas
enzim mengalami penurunan. Suhu optimum pada enzim amobil lebih besar
dibandingkan enzim bebas, hal ini dikarenakan adanya tambahan energi yang
dibutuhkan agar substrat dapat menembus halangan ruang yang disebabkan bahan
penyangga. Menurut Soehartono (1989), proses amobilisasi meningkatkan daya tahan
enzim terhadap suhu, karena pemakaian bahan penyangga dalam amobilisasi enzim
akan melindungi enzim terhadap pengaruh denaturasi panas.

Penentuan pH Optimum Enzim Amobil

Gambar 3. Perbandingan pH optimum enzim bebas dan enzim amobil

Penentuan pH optimum Penentuan pH optimum dilakukan dengan mengukur
aktivitas EK bebas dan amobil pada berbagai variasi pH substrat kasein dan dilakukan
pada suhu optimum. Enzim berada pada struktur tiga dimensi yang tepat saat kondisi
pH optimum, sehingga enzim dapat mengikat dan mengolah substrat dengan
kecepatan tertinggi.
Struktur tiga dimensi enzim mulai berubah pada kondisi di luar pH optimum,
sehingga substrat tidak lagi berada pada posisi yang tepat pada bagian molekul enzim.
Hal ini menyebabkan proses katalisis tidak berjalan optimum, sehingga aktivitas
enzim berkurang (Sadikin, 2002). Aktivitas suatu enzim sangat dipengaruhi oleh
konsentrasi ion hidrogen (keasaman dan kebasaan). Hal ini disebabkan residu asam
amino yang terdapat pada pusat aktif enzim harus berada dalam keadaan ionisasi yang
tepat agar menjadi aktif. Penentuan waktu inkubasi enzim amobil
bertujuan untuk mengetahui waktu inkubasi pada menit berapa
enzim dapat bekerja maksimum menghasilkan produk tinggi. Waktu
inkubasi yang terlalu lama membuat aktivitas enzim semakin menurun, hal ini
dikarenakan enzim mengalami perubahan konformasi struktur molekul atau
terdenaturasi, sehingga tidak terbentuk kompleks enzim-substrat dan menyebabkan
tidak terbentuknya produk akibatnya aktivitas enzim mengalami penurunan.
Uji Pemakaian Berulang Enzim Amobil

Gambar 4. Uji pemakaian berulang enzim amobil

Uji pemakaian berulang enzim amobil bertujuan untuk mengetahui stabilitas
EK amobil terhadap pemakaian berulang. EK amobil diuji aktivitasnya pada suhu
optimum, pH optimum dan waktu inkubasi. Dengan pemakaian berulang aktivitas EK
amobil mengalami penurunan secara drastis. Hal ini menunjukkan bahwa amobilisasi
enzim protease dengan poliakrilamida meningkatkan kestabilan untuk pemakaian
berulang. Proses imobilisasi menyebabkan penurunan aktivitas enzim namun
meningkatkan stabilitas enzim. Penghambatan reaksi enzimatis oleh pengaturan difusi
dari pemindahan substrat dan produk merupakan salah satu kelemahan metode
penjebakan enzim dalam gel. Pada enzim yang telah diamobilisasi, substrat dan
produk dengan berat molekul tinggi lebih sulit melewati pori-pori gel. Substrat yang
mempunyai berat molekul tinggi akan sulit masuk ke dalam gel, begitu juga apabila
produk yang dihasilkan molekul, mempunyai berat molekul tinggi akan sulit keluar
dari gel, sehingga aktivitasnya menjadi berkurang (Smith, 1990). Menurut Soehartono
(1989), penurunan aktivitas enzim amobil kemungkinan disebabkan oleh matriks
penyangga yang digunakan bersifat porous, sehingga enzim mudah keluar dari gel.

1. Imobilisasi dinding sel
Protease yang berasal dari bakteri alkali adalah enzim ekstraseluler,
imobilisasi seluruh sel adalah metode pilihan. Dengan menggunakan sel amobil,
protease dapat diproduksi dalam waktu reaksi yang lebih singkat. Selanjutnya,

produksi protease dapat ditingkatkan melalui fermentasi batch yang terendam.
Jebakan fisik sel utuh dalam matriks gel polimer digunakan sebagai metode amobil.
Proses fermentasi menggunakan busa urethane sebagai amobilisasi operator.
Selanjutnya sel-sel bakteri yang bergerak pada serat selulosa triasetat dan film, diikuti
oleh ikatan silang dengan reagen bifungsional, glutaraldehid.
2. Imobilisasi sel-bebas
Berbagai operator yang digunakan untuk tujuan ini diantaranya: bentonit, kaca
berpori, nilon telah banyak digunakan, biaya yang relatif tinggi. Dukungan ini telah
menjadi faktor pembatas untuk aplikasi industri. Metode imobilisasi dari protease
alkali pada alat bantu tersebut menggunakan glutaraldehid melibatkan lampiran
kovalen kelompok amino dari enzim kepada kelompok aldehida yang tersedia dalam
glutaraldehid-diaktifkan. Dalam satu studi, Srokova dan Cik berhasil amobil suatu
protease alkalin ke gel O-hidroksietilselulosa melalui fotokimia polimer-operator
silang yang disebabkan oleh fotolisis azida aromatik. Beberapa studi imobilisasi telah
membahas peningkatan profil termostabilitas dan profil pH-aktivitas enzim ke sisi
basa. Peningkatan termal stabilitas terutama karena multipoint kovalen dan stabilisasi
yang lemah, ikatan ionik dan ikatan hidrogen antara protease dengan senyawa yang
melindungi enzim dari inaktivasi dan autolisis. Selanjutnya, perubahan nilai pH dapat
dikaitkan dengan partisi efek yang menyebabkan konsentrasi yang berbeda dari ion
hidrogen dalam lingkungan mikro dari amobil enzim ketika digabungkan dengan
pembawa yang memiliki interaksi elektrostatik
Imobilisasi enzim protease menggunakan Kitosan untuk penggembang film
dengan sifat anti-biofilm (Henri Elchinger-pierre et. Al. 2014)
Kitosan merupakan polimer polikationik turunan dari kitin yang diperoleh
melalui proses deasetilasi dengan menggunakan alkali kuat. Knorr (1982) menyatakan
bahwa kitosan adalah polimer dari 2-deoksi 2-amino glukosa yaitu kitin yang
terdeasetilasi. Kitosan memiliki gugus asetil yang sangat rendah bila dibandingkan
dengan kitin. Gugus asetil yang rendah ini akan semakin meningkatkan interaksi antar
ion dan ikatan hidrogen dari kitosan. Menurut (Shahidi et al. 1999) kitosan juga
memiliki 3 (tiga) tipe gugus fungsi yang reaktif, yaitu sebuah gugus amino, gugus
hidroksil primer dan gugus sekunder pada posisi C-2, C-3 dan C-6 secara berurutan.

Alternatif matriks pengganti yang banyak dipilih oleh para ilmuwan dan
pengusaha adalah kitin dan kitosan, hal ini karena kitin jumlahnya lebih melimpah
dan keberadaannya terbesar kedua di alam setelah selulosa. Kitin dan kitosan
memiliki beberapa keunggulan jika digunakan sebagai matriks imobil, antara lain:
bentuk fisiknya dapat diubah (serpihan, manikmanik berpori, gel, fiber, membran),
biodegradasi, murah, mudah penanganannya, memiliki afinitas yang tinggi pada
protein dan non toksik. Stanley et al. (1975) menambahkan bahwa kitin dan kitosan
mempunyai struktur yang keras, inert, dan densitas kamba (bulky) yang rendah.
Kelebihan kitosan inilah yang dapat digunakan sebagai matriks penyangga pada
imobilisasi enzim. Kitosan diharapkan dapat mengikat enzim bebas dan mampu
menjaga stabilitas aktivitas katalitik enzim dengan lebih baik. Enzim protease
merupakan salah satu enzim yang telah banyak diaplikasikan dalam industri pangan
sebagai katalisator. Proses imobilisasi enzim ini diharapkan memberikan beberapa
keuntungan penggunaan enzim terimobil dibandingkan dengan enzim bebasnya.
Immobilisasi enzim protease dengan menggunkan kitosan film, digunakan
protease anti-biofilm berbagai jenis yaitu Proteinase K yang diperoleh dari
Tritirachium album, protease A dari aspergillus oryzae, protease B dari Bacillus
licheniformis, Neutrase dari Bacillus amyloliquefaciens dan alcalase. Sedangkan
biofilm yang digunakan yaitu staphylococcus aureus, staphylococcus aureus aureus,
Pseudomonas aeruginosa dan Listeria monocytogenes.
Terdapat 2 tahapan pendekatan yang dilakukan, pertama mengevaluasi
aktivitas protease sebagai anti-biofilm untuk menentukan enzim yang paling efektif
terhadap bakteri biofilm dalam kondisi standar, kedua mengevaluasi aktivitas enzim
protease yang telah diimmobilisasi. Dengan hasil yang ditunjukan sebagai berikut :
Pengujian aktivitas enzim Protease B dan Neutrase imobilisasi dengan film
menunjukkan efisiensi anti-biofilm Pseudomonas aeruginosa dan staphylococcus
aureus sedangkan aktivitas Proteinase konstan seperti terlihat pada gambar 2 dan 3.

Gambaran 2. % aktivitas enzim protease bebas dengan konsentrasi yang berbedabeda terhadap biofilm :

Gambaran 3. % aktivitas enzim imobilisasi dengan film pada konsentrasi yang
berbeda-beda terhadap biofilm.

Daftar Pustaka
Alexander, R.R. dan J. M Griffiths, 1993, Basic Biochemical Methods. Wiley-Liss,
Inc.
Chaplin J, Buckle GB. 1990. Enzyme Immobilization Technology. New York: AVI
Publishing.
Chibata I. 1978. Imobilized Enzyme, Research and Development. New York: John
Wiley and Sons Inc.

Fatoni Amin, Zusfahair, Puji Lestari. 2008. Isolasi dan karakterisasi Protease
Ekstraseluler dari Bakteri dalam Limbah Cair Tahu. Prog.study Kimia.
Fakultas Sains dan teknik. Univ.Jendral Sudirman.
Henri Elchinger-Pierre, et.al. 2014. Immobilization of proteases on chitosan for the
development of filmswith anti-biofilm properties. International Journal of
Biological Macromolecules 72 (2015) 1063–1068
Knorr D. 1982. Functional properties of chitin and chitosan. Journal of Food Science
48:36-41.
Muchtadi DS, NS Palupi dan M Astawan. 1992. Enzim dalam Industri Pangan.
Bogor: PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Nascimento, W.C.A & Meire, L.L.M. 2004. Production and Properties of an
extracellular Protease from Thermophilic Bacillus Sp. Brazilian. Journal of
microbiology. 35 : 91-96.
Pant Gaurav, Prakash Anil, Pavani JVP, Bera Sayantan, Deviram GVNS, Kumar
Akaya, Panchpuri Mitali, Gyana Prasuna Ravi. 2014. Production, optimization
and partial purification of protease from Bacillus subtilis. Department of
Microbiology, GITAM Institute of Science, GITAM University,
Visakhapatnam, Andhra Pradesh and Department of
Pharmaceutical Sciences, H.N.B. Garhwal University (Central
University), Srinagar, Uttarakhand, India. ScienceDirect.
Putri, S.Y. 2012. Skrining dan Uji Aktivitas Enzim Protease Bakteri dari Limbah
Rumah Pemotongan Hewan. Departemen Biologi. Univ Airlangga.
Rao, M.B., A.M. Tanksal, M.S. Ghatge, and V.V. Deshpande. 1998. Molecular and
Biotechnological Aspects of Microbial Protease. Microbiology and Molecular
Biology

Reviews.

India.

http://mmbr.asm.org/cg/content/f

ull/62/3/597#FN151.html. Tanggal akses 4 Maret 2004. Jam 07:40. Dalam
Novita W, K.Arief, F.C.Nisa, dan U. Murdiyatmo. 2006. Karakterisasi Parsial
Ekstrak Kasar Enzim Protease dari Bacillus Amylolique faciens. Jur.Teknik
Hasil Pertanian. Univ. Brawijaya
Sadikin, M., 2002, Biokimia Enzim, Penerbit Widya Medika, Jakarta.
Shahidi F, Janak KVA, You JJ. 1999. Food Applications of chitin and chitosan. J.
Food Sci and Technology 10:37–51

Smith JE. 1990. Prinsip Bioteknologi. Sumantri B, Subono A, penerjemah; Jakarta:
PT. Gramedia.
Soehartono, M. T., 1989, Bioteknologi Enzim, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi antar Universitas, Jakarta.
Suhartono, M. T., N. Andarwulan, I. Malikah dan Mariani. 1994. Daya Tahan Simpan
Protease. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. Volume 5. Nomor 3. (Dalam
jurnal W Novita, Arief K, Nisa F.C, dan Murdiyatma U. 2006.
Winarno, F. G., 1995, Enzim Pangan, Gramedia, Jakarta
Zaborsky OR. 1973. Immobilized Enzyme. Cleveland: CRC Press Inc.