Analisis Sosial Ekonomi Pemulung Dan Pengepul Sampah Di Kabupaten Ngawi COVER
commit to user
1 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
E. Kajian Teoritis
a. Pembangunan Ekonomi
Paham pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi memiliki perbedaan yang jelas, masing-masing pengertian mengandung makna yang berbeda satu dengan lainnya. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi menyangkut perkembangan yang berdimensi tinggi dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi dan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi biasanya ditelaah sebagai proses produksi yang melibatkan sejumlah jenis produk dengan menggunakan sejumlah saran produk tertentu.
Proses pembangunan harus disertai dengan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi yang produktif. Kegiatan yang produktif ini tentu saja akan memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan masyarakat, seperti pendapatan nyata yang bertambah dan memberikan surplus bagi pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam arti luas meliputi pertumbuhan sebagai ciri pokok. Hal ini sangat diperlukan karena pada kenyataannya di negara-negara berkembang memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi. Bertambahnya penduduk maka semakin banyak pula permasalahan tentang kependudukan di negara ini. Permasalahan ini dapat
(2)
dilihat dari meningkatnya kebutuhan hidup, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Pertumbuhan penduduk akan lebih cepat jika pertambahan penduduk di dukung dengan peningkatan produktivitas. Produktivitas merupakan pembentukan manusia yang produktif yaitu pembentukan manusia yang dengan karyanya mampu mengadakan bahan-bahan, barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat untuk menambah kesejahteraan masyarakat.
a. Sektor Informal
Keberadaan sektor informal yang umumnya tidak terorganisasi dan tertata secara khusus melalui peraturan, resminya baru di kenal pada tahun 1970 an sesudah diadakan observasi di beberapa negara dunia ketiga yang sejumlah besar tenaga kerja perkotaannya tidak memperoleh tempat atau pekerjaan di sektor modern yang formal (Todaro, 2000:143).
Sektor informal sering dianggap menjadi penyebab kesemrawutan lalu lintas dan menjadikan lingkungan kotor, meskipun demikian sektor informal sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan penyerapan tenaga kerja secara mandiri, selain itu juga menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah dengan harga yang relatif murah.
Para pekerja yang menciptakan sendiri lapangan kerjanya di sektor informal biasanya tidak memiliki pendidikan formal. Pada umumnya tidak mempunyai ketrampilan khusus dan sangat kekurangan modal kerja, oleh karena itu produktivitas dan pendapatan cenderung
(3)
lebih rendah daripada kegiatan-kegiatan bisnis yang ada di sektor formal. Para pekerja yang berada di sektor informal ini juga tidak memiliki jaminan keselamatan kerja dan fasilitas-fasilitas kesejahteraan seperti yang dinikmati rekan-rekan yang berada di sektor formal, misalnya tunjangan keselamatan kerja dan dana pensiun (Todaro, 2000:145).
Sektor informal muncul dalam kegiatan perdagangan yang bersifat kompleks oleh karena menyangkut jenis barang, tata ruang dan waktu. Berkebalikan dengan sektor formal yang pada umumnya menggunakan teknologi maju bersifat padat modal dan mendapat perlindungan pemerintah. Sektor informal lebih banyak ditangani oleh masyarakat golongan bawah, sektor informal dikenal juga dengan undergr ound economy). Sektor informal ini umumnya berupa usaha berskala kecil dengan modal, ruang lingkup dan pengembangan yang terbatas (Harsiwi, 2002:1).
b. Lingkungan Hidup
Kualitas lingkungan yang baik merupakan salah satu modal dasar penting bagi terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan. Kualitas lingkungan berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat lokal, penduduk yang bekerja serta berkunjung ke daerah. Banyak aktivitas manusia yang memiliki dampak buruk terhadap kualitas lingkungan karena pengelolaan sampah dan limbah yang kurang baik, kepedulian masyarakat yang rendah terhadap kebersihan lingkungan, penggunaan yang semakin meningkat bahan-bahan yang tidak mampu didegradasi
(4)
oleh alam serta bahan xenobiotik lain yang berdampak serius terhadap kualitas lingkungan.
Undang-Undang No.32 Tahun 2009 menyatakan bahwa:
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
Lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang terdapat di sekitar setiap mahluk dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya udara, tempat kediaman, tanah sekitar, tempat bekerja, tempat berkumpul dan sebagainya.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup karena persepsi tentang kebutuhan dasar, terutama kelangsungan hidup yang manusiawi tidak sama untuk semua golongan masyarakat dan berubah-ubah dari waktu ke waktu (Soemarwoto, 1997:76).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
1) Tanggung jawab negara 2) Kelestarian dan keberlanjutan 3) Keserasian dan keseimbangan 4) Keterpaduan
(5)
6) Kehati-hatian 7) Keadilan 8) Ekoregion
9) Keanekaragaman hayati
10)Pencemar membayar
11)Partisipatif 12)Kearifan lokal
13)Tata kelola pemerintahan yang baik 14)Otonomi daerah
b. Sampah
a. Pengertian Sampah
Sampah menurut kebanyakan orang dianggap barang sisa yang tidak berguna lagi dan harus dibuang. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008, menyatakan:
-hari manusia dan/atau proses alam
Adibroto (2004:1) menyatakan bahwa sampah bukanlah sesuatu yang harus dibuang melainkan dapat diolah menjadi produk baru. Sampah tidak berkonotasi kotor dan bau bila dikelola dengan baik karena mempunyai nilai tambah sebagai produk daur ulang maupun diolah menjadi produk baru. Sampah dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan cara pengolahan yang terintegrasi sedekat mungkin dari sumber sampah dan dapat menghasilkan produk baru atau bahan daur ulang sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
(6)
b. Jenis dan Sumber Sampah
Nilandari, dkk. (2006:58) mengungkapkan, berdasarkan asalnya sampah padat dapat digolongkan menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Sampah organik seperti misalnya sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah dan daun. Sampah anorganik berasal dari sumber daya alam tak terbaharui seperti mineral dan minyak bumi atau dari proses industri. Beberapa bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan alumunium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa botol plastik, tas plastik dan kaleng. Kertas, koran dan karton merupakan perkecualian. Berdasarkan asalnya, kertas, koran dan karton termasuk sampah organik, tetapi karena kertas, koran dan karton dapat didaur ulang seperti sampah anorganik lain (misalnya gelas, kaleng dan plastik) maka dimasukkan ke dalam kelompok sampah anorganik.
Suprihatin, dkk (1996:7) mengatakan, jenis sampah menurut sumbernya terdiri dari:
(7)
Umumnya sampah rumah tangga berupa sisa pengolahan makanan, perlengkapan rumah tangga bekas, kertas, kardus, gelas, kain, sampah kebun atau halaman.
2) Sampah pertanian dan perkebunan
Sampah dari kegiatan pertanian tergolong bahan organik seperti jerami dan sejenisnya. Sebagian besar sampah yang dihasilkan selama musim panen dibakar atau dimanfaatkan untuk pupuk. Untuk sampah bahan kimia seperti pestisida dan pupuk buatan perlu perlakuan khusus agar tidak mencemari lingkungan. Sampah pertanian lainnya adalah lembaran plastik penutup tempat tumbuh-tumbuhan yang berfungsi untuk mengurangi penguapan dan penghambat pertumbuhan gulma, namun plastik ini bisa di daur ulang.
3) Sampah sisa bangunan dan konstruksi gedung
Sampah yang berasal dari kegiatan pembangunan dan pemugaran gedung ini bisa berupa bahan organik maupun anorganik. Sampah organik, misalnya kayu, bambu, triplek. Sampah anorganik, misalnya semen, pasir, batu bata, ubin, besi dan baja, kaca serta kaleng.
4) Sampah perdagangan dan perkantoran
Sampah yang berasal dari perdagangan seperti toko, pasar tradisional, warung, pasar swalayan ini terdiri dari kardus, pembungkus, kertas dan bahan organik termasuk sampah makanan
(8)
dan restoran. Sampah yang berasal dari lembaga pendidikan, kantor pemerintah dan swasta biasanya terdiri dari kertas, alat tulis menulis (bolpoint, pensil, sidol dan lain-lain), toner fotocopy, pita printer, kotak tinta printer, baterai bahan kimia dari laboratorium, pita mesin ketik, klise film, komputer rusak dan lain-lain. Baterai bekas dan limbah bahan kimia harus dikumpulkan secara terpisah dan harus memperoleh perlakuan khusus karena berbahaya dan beracun.
5) Sampah industri
Sampah ini berasal dari seluruh rangkaian proses produksi (bahan-bahan kimia serpihan atau potongan bahan), perlakuan dan pengemasan produk (kertas, kayu, plastik, kain/lap yang jenuh dengan pelarut untuk pembersihan). Sampah industri berupa bahan kimia yang seringkali beracun memerlukan perlakuan khusus sebelum dibuang.
c. Permasalahan Sampah
Sampah memang telah menjadi polemik sendiri. Masalah sampah tidak hanya merupakan masalah krusial, tetapi telah menjadi problematika kultural yang dirasakan semua lapisan. Dampak sampah ini tidak hanya dirasakan sebagian kecil golongan tetapi mengenai keberbagai sisi kehidupan. Jika masalah ini tidak tertangani secara bijaksana, cepat atau lambat sampah akan menenggelamkan kehidupan dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan antara lain:
(9)
1) Dampak bagi Kesehatan Manusia
Sampah dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti diare, tifus, mentaber, demam berdarah dan sebagainya yang menyebar secara bebas karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan yang tidak tepat. Sampah mengandung merkuri dan raksa yang dibuang ke laut atau sungai akan dapat mengkontaminasi makluk hidup yang hidup di perairan tersebut, misalnya ikan. Jadi jika ikan dimakan oleh manusia maka manusia akan ikut terkontaminasi zat ini, selain itu ada pula penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan misalnya penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita.
2) Dampak bagi lingkungan
Sampah cair atau cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam aliran sungai atau aliran air tanah, dapat mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesien akan lenyap, mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas cair organik seperti metana selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak.
3) Dampak bagi sosial ekonomi
Pengelolaan sampah yang kurang baik dan tepat akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat.
(10)
Bau yang tidak sedap ada dimana-mana dan pemandangan kota yang buruk. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyumbat aliran air sehingga bisa menimbulkan banjir, disamping itu juga meningkatkan jumlah biaya atau dana yang harus dikeluarkan untuk pengelolaan air. Pengelolaan sampah yang kurang baik juga akan memberikan dampak negatif bagi perkembangan pariwisata.
d. Perlunya Partisipasi semua pihak
Adanya berbagai ragam sampah menyebabkan diperlukannya pola pengolahan sampah terpadu (integrated solid waste) yang efektif tanpa mengandalkan pihak lain untuk menanggulangi masalah yang sewajarnya menjadi tanggung jawab masing-masing, oleh karena itu agar berhasil diperlukan beberapa syarat utama mengenai persepsi sampah dan pengolahannya. Pertama, tidak semua sampah itu adalah lawan manusia, melainkan bisa menjadi kawan yang dapat diberdayakan baik itu sebagai bahan baku maupun sebagai sumber energi. Kedua perlunya kerjasama semua pihak berdasarkan proporsi tanggung jawab, peran dan kemampuan yang telah disepakati.
Keterlibatan dan kerjasama pihak terkait dalam pola pengolahan sampah sangat diperlukan. Untuk di Indonesia sebenarnya pola ini mengikutsertakan peran institusional formal, warga pemukiman dan sektor informal. Pengumpulan sampah sementara, transportasi dan pembuangan akhir sampah di dominasi oleh institusi formal yaitu pemerintah. Peran warga pada titik pengumpulan sampah, sedangkan
(11)
sektor informal seperti pemulung dan pengepul hanya bergerak dalam pengumpulan dan perdagangan sampah yang layak jual.
e. Pengelolaan Sampah
Sistem pengolahan sampah meliputi beberapa proses yang pada prinsipnya menyiapkan sampah yang akan diolah sehingga sesuai dengan karakteristik teknologi pengolahannya. Sistem pengolahan pendahuluan sering dilakukan umumnya terdiri dari dua macamyaitu pemisahan sampah (sparation) dan pengolahan ukuran sampah (sisa reduction). Pemisahan dapat dilakukan dengan sanitasi tangan, penyaringan, sistem manguistik, sistem sanitasi optik dan lain-lain.
Usaha daur ulang pada dasarnya merupakan usaha memanfaatkan kembali sampah melalui ekonososiotekno dan keterpaduan antara pembinaan manusia, sumberdaya dan lingkungan yaitu: (Djuwendah, 2000:36)
1) Pengelolaan sampah tidak hanya berorientasi pada kegiatan pengumpulan pengangkutan dan pemusnahan saja namun adanya usaha pemanfaatan kembali sampah sebagai sumber daya yang bersifat ekonomi
2) Pengelolaan sampah diselenggarakan secara terpadu antar semua pelaku terkait seperti penghasil sampah, pemulung, industri pengomposan serta Pemda dengan berorientasi pemecahan secara menyeluruh dari aspek teknologi, ekonomi, sosial dan politis.
(12)
3) Mengubah citra sampah dari beban lingkungan menjadi sumber daya ekonomi.
Pengelolaan sampah padat kota (solid waste management), usaha daur ulang dan pengomposan baik yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui instansi terkait, para pemulung dan pelaku lainnya mempunyai titik singgung dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Selama ini kegiatan ini terkesan berjalan secara sendiri-sendiri. Kegiatan para pemulung dan usaha pengomposan sampah belum terintegrasi dalam sistem penanganan sampah secara menyeluruh. Efisiensi penanganan sampah perlu memadukan semua pelaku dalam menjaga kebersihan kota termasuk peran serta masyarakat.
F. Kajian Empiris
Penelitian mengenai kajian tentang sampah dan analisis sosial ekonomi pengelolanya dapat dirangkum dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu tentang Sampah dan Analisis Sosial Ekonomi Pengelolanya
No
Nama, Tahun dan Lokasi Penelitian
Metode
Penelitian Hasil Penelitian
1. Djuwendah, 2000,
Kotamadya Bandung
Deskriptif Kualitatif
Kelembagaan transaksi yang ada memperlihatkan adanya distribusi biaya dan keuntungan yang seimbang serta dapat menekan biaya transaksi. Bahan dauran sampah anorganik yang dapat dimanfaatkan langsung oleh pemulung 479,06 ton per hari dengan nilai ekonomi Rp. 593.224,23/ton. Usaha ini dapat memberikan lapangan pekerjaan kepada 13.687 orang pemulung
(13)
dengan rata-rata pendapatan Rp. 20.763,50/hari
2. Indri Wahyu
Susanti, 2003, Kota Solo
Deskriptif Kuantitatif
Salah satu usaha informal adalah usaha yang berskala kecil dan dari hasil uji Chi-Square diketahui bahwa variabel pengalaman usaha, umur, tingkat pendidikan dan lokasi usaha berpengaruh terhadap pendapatan usaha sektor informal, sedangkan uji Chi-Square juga diketahui bahwa variabel jumlah tenaga kerja tidak berhubungan dengan pendapatan usaha di sektor informal.
3. Endry Setiawan, 2005, Kab. Bantul DIY
Deskriptif eksploratif
Rata rata pendapatan WKRT pemulung asal Gunung Kidul lebih besar dari pada Bantul yaitu Rp.720.000-Rp.920.000 asal Gunung Kidul dan Rp.510.000-Rp.710.000 asal Bantul dengan pendapatan total rumah tangga antara Rp.1.151.000-Rp.1.551.000 sebesar 66,67%. Pembagian kerja pada aktivitas kemasyarakatan tidak terjadi ketimpangan yang signifikan atau relatif seimbang antara suami istri rumah tangga pemulung. Pada pembagian kerja bidang
kerumahtanggaan istri terlihat lebih mendominsi ketimbang suami. Pada aktivitas ekonomi produktif suami istri sama bekerja diatas batas normal/kerja berlebih.
4. Nunuk Hariyani,
Hendro Prasetyo, Soemarno, 2013, Kota Malang
Deskriptif Kualitatif
Bentul-bentuk kegiatan dalam pengelolaan sampah adalah penyapuan, pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan dan pembuangan akhir. Ada tiga pola pengangkutan sampah, yaitu pola pengangkutan dengan arm roll pada TPS container, pola pengangkutan dengan dump-truck yang di bantu dengan loader pada TPS landasan
(14)
dan pola pengangkutan dengan dump-truck pada TPS transfer depo. Pembuangan sampah terakhir dapat bermacam-macam bentuk, seperti: Lahan tempat pembuangan akhir (TPA), pembakaran sampah,
pengkomposan sampah organic, dan lainnya.
5. Nina Wulan Ari, 2009, Semarang
Deskriptif Kualitatif
Sebagian besar responden
berdomisili di tempat bos pemulung (86.7%), sedangkan alasan
pemulung melakukan mobilitas non permanen ke Banyumanik karena alasan lokasi yang lebih strategis (60%) dibandingkan di daerah asal mereka. Kontribusi pendapatan keluarga pemulung setiap hari sebesar 72,43% dari seluruh pendapatan keluarga yang mereka peroleh.
6. Riki Andriyani dan Maryono, 2009, Kota Semarang
Deskriptif Kuantitatif
Karakteristik sampah yang didaur ulang di wilayah studi adalah sampah anorganik dengan mayoritas berupa sampah kertas, plastik, logam. Hubungan radius dan modal pemulung
terhadap nilai jual di lapak besar campuran menunjukkan hubungan linear negatif, berarti bahwa semakin jauh radius pengambilan sampah maka nilai jual yang akan diterima berkurang.
7. Rina Susanti dan Hesti Asriwandari, 2012, Kota Pekanbrau Deskriptif Kuantitatif
Pola bekerja pemulung di TPA Muara Fajar bisa dikatakan cukup baik. Sementara hubungan pola bekerja menunjukkan kondisi sedang terbukti dari tingkat pendapatan yang terima pemulung dari hasil penjualan sampah berkisar Rp 1.200.001 Rp 2.500.00
perbulan. Perhitungan hasil
penelitian ditemukan pengaruh yang signifikan antara pola bekerja dengan tingkat pendapatan yang diterima pemulung, dengan
(15)
0,260 X. Dimana setiap penambahan 1 pola bekerja pemulung maka akan
mempengaruhi tingkat pendapatan pemulung sebesar 0,260
8. Rina Yulyanti, 2012, Kota Bengkulu
Deskriptif Kualitatif
Dorongan utama pilihan kerja memulung adalah adalah pemenuhan kebutuhan dasar keluarga. Hal ini yang mendorong informan melakoni pekerjaan memulung, ataupun bertempat tinggal di lokasi TPA dengan segala keterbatasan yang ada. Dari sekian kebutuhan dasar yang terdiri dari sandang, pangan dan papan,
pemulung di TPA Air Sebakul lebih mementingkan kebutuhan pangan dibandingkan kebutuhan sandang dan papan, seperti makan.
9. Gunawan, 2012,
Tanjungpinang
Deskriptif Kualitatif
Strategi bertahan hidup pemulung Ganet adalah adanya suatu kepercayaan, jaringan serta hubungan timbal balik yang
diciptakan dalam kelompok mereka. Sebaiknya meningkatkan lagi kepercayaan serta mempereratkan lagi hubungan timbal balik yang dimiliki oleh kelompok pemulung di tempat pembuangan akhir Ganet.
10. Ana Martiana,
2013, Magelang
Deskriptif Kualitatif
hubungan yang terjalin antara pemulung, pembeli barang bekas dengan pengepul berpola asosiatif. Tercipta hubungan timbal balik (reciprocal) yang saling
menguntungkan. Kebutuhan seperti modal dan informasi harga barang diberikan oleh pengepul kepada pembeli barang bekas yang setia bekerja sama dengannya. Sedangkan pemulung tidak memerlukan informasi harga barang. Relasi memberikan indikasi di bidang ekonomi berupa
keuntungan terhadap pengepul dengan terbukanya jalan bagi perkembangan usaha pengepulan.
(16)
Pembeli barang bekas keliling memperoleh keuntungan dari barang bekas yang disetorkan dan beberapa strategi pengepul yang mendukung pekerjaan mencari barang bekas. Keakraban antaraktor sebagai dampak sosial yang
berfungsi untuk memperkuat relasi kerja.
Sumber : Data diolah, 2014
G. Kerangka Pemikiran
Sumber : Data diolah, 2014
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini mengkaji faktor sosial ekonomi para pemulung sebelum dan sesudah bekerja sebagai pemulung. Faktor ekonomi yang mendorong sebagai pemulung meliputi kondisi keuangan atau pendapatan pemulung sebelum memulung, sedangkan faktor sosial merupakan hal yang mendorong
Anorganik TPS & TPA Organik
Daur Ulang
Pemulung Pengepul
Pendapatan pemulung
Faktor Ekonomi dan Sosial
Pendapatan pengepul
Pengomposan
Sampah RT Sampah Fasilitas Umum
TC
TR
Pd
(17)
pemulung untuk memulung meliputi pendidikan, asal keluarga, alasan lain. Kondisi sosial ekonomi pemulung setelah memulung akan terjawab dalam penelitian ini. Pada saat pemulung memulung terlihat kondisi dan kehidupan sosial ekonomi diantaranya meliputi jenis pekerjaan lain, tabungan, konsumsi, pendapatan, umur, status perkawinan, lama kerja, jam kerja, modal dan harapan ke depan sehingga yang dikaji adalah apa yang menyebabkan orang bekerja sebagai pemulung dan juga kondisi sosial ekonomi setelah menjadi pemulung.
Kegiatan daur ulang sampah juga memberikan lapangan kerja baru dengan timbulnya para pengepul yang membeli barang yang telah dikumpulkan oleh pemulung. Keuntungan yang diraih oleh para pengepul dipengaruhi oleh sektor eksternal dan sektor internal. Faktor eksternal merupakan faktor yang menunjukkan kemampuan pengepul dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum. Faktor eksternal misalnya modal, biaya operasional, perputaran uang per hari. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri pedagang yang meliputi lama usaha, pendidikan serta usia pedagang.
H. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah pernyataan yang masih lemah kebenarannya dan masih perlu dibuktikan kenyataannya. Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang ada dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
(18)
1. Variabel lokasi kerja, jenis kelamin, lama kerja, jam kerja, modal, status pernikahan dan umur diduga berpengaruh terhadap pandapatan para pemulung sampah di Kabupaten Ngawi.
(1)
dengan rata-rata pendapatan Rp. 20.763,50/hari
2. Indri Wahyu
Susanti, 2003, Kota Solo
Deskriptif Kuantitatif
Salah satu usaha informal adalah usaha yang berskala kecil dan dari hasil uji Chi-Square diketahui bahwa variabel pengalaman usaha, umur, tingkat pendidikan dan lokasi usaha berpengaruh terhadap pendapatan usaha sektor informal, sedangkan uji Chi-Square juga diketahui bahwa variabel jumlah tenaga kerja tidak berhubungan dengan pendapatan usaha di sektor informal.
3. Endry Setiawan,
2005, Kab. Bantul DIY
Deskriptif eksploratif
Rata rata pendapatan WKRT pemulung asal Gunung Kidul lebih besar dari pada Bantul yaitu Rp.720.000-Rp.920.000 asal Gunung Kidul dan Rp.510.000-Rp.710.000 asal Bantul dengan pendapatan total rumah tangga antara Rp.1.151.000-Rp.1.551.000 sebesar 66,67%. Pembagian kerja pada aktivitas kemasyarakatan tidak terjadi ketimpangan yang signifikan atau relatif seimbang antara suami istri rumah tangga pemulung. Pada pembagian kerja bidang
kerumahtanggaan istri terlihat lebih mendominsi ketimbang suami. Pada aktivitas ekonomi produktif suami istri sama bekerja diatas batas normal/kerja berlebih.
4. Nunuk Hariyani,
Hendro Prasetyo, Soemarno, 2013, Kota Malang
Deskriptif Kualitatif
Bentul-bentuk kegiatan dalam pengelolaan sampah adalah penyapuan, pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan dan pembuangan akhir. Ada tiga pola pengangkutan sampah, yaitu pola pengangkutan dengan arm roll pada TPS container, pola pengangkutan dengan dump-truck yang di bantu dengan loader pada TPS landasan
(2)
dan pola pengangkutan dengan dump-truck pada TPS transfer depo. Pembuangan sampah terakhir dapat bermacam-macam bentuk, seperti: Lahan tempat pembuangan akhir (TPA), pembakaran sampah,
pengkomposan sampah organic, dan lainnya.
5. Nina Wulan Ari,
2009, Semarang
Deskriptif Kualitatif
Sebagian besar responden
berdomisili di tempat bos pemulung (86.7%), sedangkan alasan
pemulung melakukan mobilitas non permanen ke Banyumanik karena alasan lokasi yang lebih strategis (60%) dibandingkan di daerah asal mereka. Kontribusi pendapatan keluarga pemulung setiap hari sebesar 72,43% dari seluruh pendapatan keluarga yang mereka peroleh.
6. Riki Andriyani
dan Maryono, 2009, Kota Semarang
Deskriptif Kuantitatif
Karakteristik sampah yang didaur ulang di wilayah studi adalah sampah anorganik dengan mayoritas berupa sampah kertas, plastik, logam. Hubungan radius dan modal pemulung
terhadap nilai jual di lapak besar campuran menunjukkan hubungan linear negatif, berarti bahwa semakin jauh radius pengambilan sampah maka nilai jual yang akan diterima berkurang.
7. Rina Susanti
dan Hesti Asriwandari, 2012, Kota Pekanbrau Deskriptif Kuantitatif
Pola bekerja pemulung di TPA Muara Fajar bisa dikatakan cukup baik. Sementara hubungan pola bekerja menunjukkan kondisi sedang terbukti dari tingkat pendapatan yang terima pemulung dari hasil penjualan sampah berkisar Rp 1.200.001 Rp 2.500.00
perbulan. Perhitungan hasil
penelitian ditemukan pengaruh yang signifikan antara pola bekerja dengan tingkat pendapatan yang diterima pemulung, dengan
(3)
0,260 X. Dimana setiap penambahan 1 pola bekerja pemulung maka akan
mempengaruhi tingkat pendapatan pemulung sebesar 0,260
8. Rina Yulyanti,
2012, Kota Bengkulu
Deskriptif Kualitatif
Dorongan utama pilihan kerja memulung adalah adalah pemenuhan kebutuhan dasar keluarga. Hal ini yang mendorong informan melakoni pekerjaan memulung, ataupun bertempat tinggal di lokasi TPA dengan segala keterbatasan yang ada. Dari sekian kebutuhan dasar yang terdiri dari sandang, pangan dan papan,
pemulung di TPA Air Sebakul lebih mementingkan kebutuhan pangan dibandingkan kebutuhan sandang dan papan, seperti makan.
9. Gunawan, 2012,
Tanjungpinang
Deskriptif Kualitatif
Strategi bertahan hidup pemulung Ganet adalah adanya suatu kepercayaan, jaringan serta hubungan timbal balik yang
diciptakan dalam kelompok mereka. Sebaiknya meningkatkan lagi kepercayaan serta mempereratkan lagi hubungan timbal balik yang dimiliki oleh kelompok pemulung di tempat pembuangan akhir Ganet.
10. Ana Martiana,
2013, Magelang
Deskriptif Kualitatif
hubungan yang terjalin antara pemulung, pembeli barang bekas dengan pengepul berpola asosiatif. Tercipta hubungan timbal balik (reciprocal) yang saling
menguntungkan. Kebutuhan seperti modal dan informasi harga barang diberikan oleh pengepul kepada pembeli barang bekas yang setia bekerja sama dengannya. Sedangkan pemulung tidak memerlukan informasi harga barang. Relasi memberikan indikasi di bidang ekonomi berupa
keuntungan terhadap pengepul dengan terbukanya jalan bagi perkembangan usaha pengepulan.
(4)
Pembeli barang bekas keliling memperoleh keuntungan dari barang bekas yang disetorkan dan beberapa strategi pengepul yang mendukung pekerjaan mencari barang bekas. Keakraban antaraktor sebagai dampak sosial yang
berfungsi untuk memperkuat relasi kerja.
Sumber : Data diolah, 2014
G. Kerangka Pemikiran
Sumber : Data diolah, 2014
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini mengkaji faktor sosial ekonomi para pemulung sebelum dan sesudah bekerja sebagai pemulung. Faktor ekonomi yang mendorong sebagai pemulung meliputi kondisi keuangan atau pendapatan pemulung sebelum memulung, sedangkan faktor sosial merupakan hal yang mendorong
Anorganik TPS & TPA Organik
Daur Ulang
Pemulung Pengepul
Pendapatan pemulung
Faktor Ekonomi dan Sosial
Pendapatan pengepul
Pengomposan
Sampah RT Sampah Fasilitas Umum
TC
TR
Pd
(5)
pemulung untuk memulung meliputi pendidikan, asal keluarga, alasan lain. Kondisi sosial ekonomi pemulung setelah memulung akan terjawab dalam penelitian ini. Pada saat pemulung memulung terlihat kondisi dan kehidupan sosial ekonomi diantaranya meliputi jenis pekerjaan lain, tabungan, konsumsi, pendapatan, umur, status perkawinan, lama kerja, jam kerja, modal dan harapan ke depan sehingga yang dikaji adalah apa yang menyebabkan orang bekerja sebagai pemulung dan juga kondisi sosial ekonomi setelah menjadi pemulung.
Kegiatan daur ulang sampah juga memberikan lapangan kerja baru dengan timbulnya para pengepul yang membeli barang yang telah dikumpulkan oleh pemulung. Keuntungan yang diraih oleh para pengepul dipengaruhi oleh sektor eksternal dan sektor internal. Faktor eksternal merupakan faktor yang menunjukkan kemampuan pengepul dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum. Faktor eksternal misalnya modal, biaya operasional, perputaran uang per hari. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri pedagang yang meliputi lama usaha, pendidikan serta usia pedagang.
H. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah pernyataan yang masih lemah kebenarannya dan masih perlu dibuktikan kenyataannya. Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang ada dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
(6)
1. Variabel lokasi kerja, jenis kelamin, lama kerja, jam kerja, modal, status pernikahan dan umur diduga berpengaruh terhadap pandapatan para pemulung sampah di Kabupaten Ngawi.