Kehidupan Sosial Ekonomi Pemulung (Studi Antropologi Tentang Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga Pemulung Etnik Batak di Desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang).

(1)

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PEMULUNG

(Studi Antropologi Tentang Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga Pemulung Etnik Batak di Desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu

Kabupaten Deli Serdang)

D

I

S

U

S

U

N

Oleh

Nimrah Khairani Bb

020905007

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu kewajiban dan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Antropologi di Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak menerima bimbingan, dorongan, nasehat dan bahkan bantuan secara moral dan material dari berbagai pihak, untuk itu penulis dengan tulus ikhlas menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

- Bapak Prof. Dr. .M. Arif Nasution, M.A, selaku dekan FISIP USU. - Bapak Drs. Zulkifli B Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu

Antropologi Sosial FISIP USU

- Bapak Drs. Irfan Simatupang, MA selaku Sekretaris Departemen Ilmu Antropologi Sosial FISIP USU dan juga sekaligus Pembimbing I skripsi yang telah berkenan membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

- Bapak Drs. Agustrisno, M.A, selaku Pembimbing II skripsi - Ibu Dra. Mariana Makmur, M.A selaku Dosen Wali penulis


(3)

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada:

- Kedua orang tua atas segala do’a, kasih sayang, nasehat serta dukungan yang diberikan kepada ananda.

- Kepada abang-abang dan kakak-kakak serta adek penulis atas segala nasehat, dukungan dan bantuan moril ataupun material yang kalian beri untuk penulis.

- Kepada Sri Mulyani, kamu teman terbaik dalam hidupku. Kamu selalu ada di saat aku membutuhkanmu.

- Teman-temanku angkatan 02-03, David, Indra, Zulbahri, Rudolf, Wiyono, Tere, Maya, Indra Sinaga, Nana, Ana, Rahmi, Endang. Dan semua teman-teman yang penulis kenal.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa ilmu pengetahuan dan kemampuan penulis sangat terbatas dan tentunya masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, baik materi, sistematika maupun pembahasannya. Oleh karena itu, penulis senantiasa menerima kritikan dan saran-saran dari pembaca.

Medan, Oktober 2007 Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 6

1.3.3. Lokasi Penelitian ... 6

1.4. Tinjauan Pustaka ... 6

1.5. Metode Penelitian ... 13

1.5.1. Tipe Penelitian ... 13

1.5.2. Informan ... 13

1.6. Teknik Pengumpulan Data ... 14

1.6.1. Wawancara ... 14

1.6.2. Observasi ... 15

1.7. Teknik Analisa Data ... 15

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN DESA NAMO BINTANG ... 16

2.1. Sejarah Singkat Desa Namo Bintang ... 16

2.2. Letak Geografis ... 16

2.3. Struktur Organisasi Pemerintahan ... 17

2.4. Sarana Umum ... 21

2.5. Keadaan Penduduk ... 21

2.6. Gambaran Umum TPA Kodya Medan ... 26


(5)

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PEMULUNG ... 33

3.1. Keadaan Pemulung... 34

3.1.1. Seputar Kehidupan Ekonomi ... 34

3.1.2. Seputar Pendidikan ... 38

3.1.3. Seputar Sosial ... 40

3.1.4. Seputar Keagamaan ... 44

3.1.5. Seputar Kesehatan ... 47

3.2. Struktur Sosial Pemulung Barang Bekas ... 49

3.2.1. Sistem Kekerabatan ... 49

3.2.2. Hubungan Antara Suami dengan Istri ... 49

3.2.3. Hubungan Antara Anak dengan Orang Tua ... 50

3.2.4. Hubungan Antara Anak dengan Anak ... 52

3.2.5. Hubungan Antara Sesama Pemulung Barang Bekas ... 53

3.2.6. Hubungan Antara Pemulung dan Majikan / Penadah ... 55

3.2.7. Hubungan Antara Pemulung dengan Petugas Keamanan ... 60

3.2.8. Hubungan Antara Pemulung dengan Pemilik Warung ... 63

3.2.9. Hubungan Antara Pemulung dan Supir Truk ... 65

3.2.10. Hubungan Dalam Bidang Keagamaan atau Kepercayaan 66

3.2.11. Hubungan Dalam Bidang Kekerabatan ... 70

3.2.12. Hubungan Dalam Bidang Ketertiban ... 76

BAB IV DESKRIPSI KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI LIMA KELUARGA PEMULUNG BARANG BEKAS ... 79

4.1. Keluarga Khrisnayan Lumban Gaol... 79

4.2. Keluarga Joseph Napitupulu ... 84

4.3. Keluarga Parasian Purba ... 88

4.4. Keluarga Robert Sembiring... 95

4.5. Keluarga Marco Butar-Butar... 101

BAB V ANALISA DAN KESIMPULAN SERTA SARAN ... 105

5.1. Analisa ... 105

5.2. Kesimpulan ... 108

5.3. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 111 LAMPIRAN


(6)

ABSTRAKSI

Kehidupan Sosial Ekonomi Pemulung, Studi Deskriptif tentang kehidupan sosial ekonomi keluarga pemulung, (Nimrah Khairani BB. 2007). Skripsi ini terdiri dari lima bab, … halaman, … tabel, … daftar pustaka, … lampiran yang terdiri dari surat penelitian, surat pernyataan dan gambar-gambar kegiatan pemulung barang bekas.

Pemulung barang bekas identik dengan gelandangan, yang sebahagian masyarakat umum memendang pekerjaan ini adalah suatu pekerjaan yang hina dan dina. Tetapi bagi mereka pekerjaan ini mempunyai makna yang sangat besar karena dilakukan dengan cara yang halal. Bukan gelandangan yag melakukan pekerjaan sebagai pencuri atau menjadi WTS / Pelacur.

Walaupun mereka berada pada status sosial yang paling bawah, namun mereka tetap memiliki kebahagiaan dan harapan-harapan yang cerah untuk masa depan. Mereka tabah dan kuat menghadapi tantangan hidup dalam kehidupan sekaligus selalu berusaha membangun dan memupuk harapan-harapan, walaupun kehidupan hari esok belum tentu lebih baik dari hari ini.

Predikat “Laskar Mandiri” masih terasa berat untuk dipikul, karena uluran tangan yang begitu sangat diharapkan kini belum terealisasi makna dan wujudnya dari hasil penelitian, pemulung barang bekas yang berada di Tempat Pembuangan Akhir Sampah untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, mereka menjalin hubungan kerja sama yang saling menguntungkan dan akrab dengan berbagai pihak bersama-sama dengan mereka di tempat bekerja.

Hubungan antara sesama pemulung barang bekas adakalanya bekerjasama mengumpulkan barang bekas bagi mereka yang mempunyai status bujangan biasa. Bentuk kerja sama ini hanya bersifat sementara, demikian juga dengan anggota-anggota kelompoknya. Dengan kata lain, pembentukan kelompok ini berdasarkan atas kesepakatan bersama pada hari yang cerah dengan membentuk atau menentukan orang-orang yang akan memulung ke tiap-tiap sektor. Jumlah anggota kelompok ini beraneka ragam dan biasanya mencapai 4 sampai 5 orang.

Pemilihan untuk bergerak disektor informal adalah hal yang logis. Minimnya tingkat pendidikan membuat mereka tersingkir dari persaingan memperebutkan pekerjaan di sektor formal. Sedangkan apabila mereka bekerja di sektor informal khususnya sebagai pemulung barang bekas tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi. Ditambah lagi adanya ikatan primordial antara mereka yang berasal dari satu etnik.


(7)

ABSTRAKSI

Kehidupan Sosial Ekonomi Pemulung, Studi Deskriptif tentang kehidupan sosial ekonomi keluarga pemulung, (Nimrah Khairani BB. 2007). Skripsi ini terdiri dari lima bab, … halaman, … tabel, … daftar pustaka, … lampiran yang terdiri dari surat penelitian, surat pernyataan dan gambar-gambar kegiatan pemulung barang bekas.

Pemulung barang bekas identik dengan gelandangan, yang sebahagian masyarakat umum memendang pekerjaan ini adalah suatu pekerjaan yang hina dan dina. Tetapi bagi mereka pekerjaan ini mempunyai makna yang sangat besar karena dilakukan dengan cara yang halal. Bukan gelandangan yag melakukan pekerjaan sebagai pencuri atau menjadi WTS / Pelacur.

Walaupun mereka berada pada status sosial yang paling bawah, namun mereka tetap memiliki kebahagiaan dan harapan-harapan yang cerah untuk masa depan. Mereka tabah dan kuat menghadapi tantangan hidup dalam kehidupan sekaligus selalu berusaha membangun dan memupuk harapan-harapan, walaupun kehidupan hari esok belum tentu lebih baik dari hari ini.

Predikat “Laskar Mandiri” masih terasa berat untuk dipikul, karena uluran tangan yang begitu sangat diharapkan kini belum terealisasi makna dan wujudnya dari hasil penelitian, pemulung barang bekas yang berada di Tempat Pembuangan Akhir Sampah untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, mereka menjalin hubungan kerja sama yang saling menguntungkan dan akrab dengan berbagai pihak bersama-sama dengan mereka di tempat bekerja.

Hubungan antara sesama pemulung barang bekas adakalanya bekerjasama mengumpulkan barang bekas bagi mereka yang mempunyai status bujangan biasa. Bentuk kerja sama ini hanya bersifat sementara, demikian juga dengan anggota-anggota kelompoknya. Dengan kata lain, pembentukan kelompok ini berdasarkan atas kesepakatan bersama pada hari yang cerah dengan membentuk atau menentukan orang-orang yang akan memulung ke tiap-tiap sektor. Jumlah anggota kelompok ini beraneka ragam dan biasanya mencapai 4 sampai 5 orang.

Pemilihan untuk bergerak disektor informal adalah hal yang logis. Minimnya tingkat pendidikan membuat mereka tersingkir dari persaingan memperebutkan pekerjaan di sektor formal. Sedangkan apabila mereka bekerja di sektor informal khususnya sebagai pemulung barang bekas tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi. Ditambah lagi adanya ikatan primordial antara mereka yang berasal dari satu etnik.


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan pembangunan Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya berarti meliputi semua aspek kehidupan penduduk, baik yang bersifat material maupun spiritual. Manusia yang dalam hal ini merupakan bagian dari pembangunan memiliki kedudukan tersendiri yang perlu di upayakan penanganannya agar dapat memberi manfaat bagi perkembangan pembangunan yang sedang maupun yang akan berlangsung. Dari kedudukan manusia dalam proses pembangunan, memberi pengertian bagi kita bahwa faktor penduduk adalah sangat penting.

Seperti kita ketahui bersama bahwa keberhasilan suatu pembangunan antara lain diukur melalui kemampuan menyediakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan kegagalan pembangunan juga diukur melalui sejauh mana dapat mengatasi pengangguran. Mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan menomorduakan kesempatan kerja memang sering terjadi di banyak negara dunia ketiga (Juoro, dalam Prisma 1983:33).

Persoalan ketenaga kerjaan merupakan persoalan yang sangat menghantui negara-negara dunia ketiga pada saat sekarang ini termasuk Indonesia. Rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1998 membuat ketersediaan lapangan kerja menjadi sangat sedikit. Pada sisi lain jumlah angkatan kerja baru pada tiap tahunnya semakin meningkat jumlahnya. Oleh karena itu tingginya angka pengangguran semakin meningkat setiap tahunnya.

Lapangan pekerjaan merupakan suatu masalah yang cukup pelik bagi banyak pihak, baik bagi pemerintah sendiri yang dianggap sebagai pihak berkewajiban untuk menyediakan maupun bagi masyarakat sebagai pihak yang membutuhkannya. Program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah ternyata belum mampu untuk bisa menyediakan berbagai kebutuhan akan lapangan kerja bagi masyarakat. Ketidak tnampuan ini disebabkan oleh berbagai hal seperti pertumbuhan penduduk yang cukup


(9)

pesat, sehingga lapangan kerja yang diciptakan tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk, rendahnya tingkat investasi baik lokal maupun pihak-pihak luar lainnya.

Seperti telah di jelaskan di atas, Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, saat ini sedang menghadapi masalah yang krusial terutama dibidang ketenaga kerjaan. Data dari Biro Pusat Stastik melaporkan bahwa pada tahun 2004 penduduk Indonesia mencapai lebih 220 juta jiwa. Dari jumlah itu Indonesia digolongkan sebagai negara nomor empat paling banyak penduduknya di dunia ini.

Jumlah penduduk yang besar ini disatu sisi merupakan modal besar bagi pembangunan nasional, namun di sisi lain merupakan masalah serius dalam penyediaan lapangan kerja dan segera mendapat pembangunan. Ketidak seimbangan antara besarnya jumlah angkatan kerja dengan sektor ketenaga kerjaan atau peluang-peluang untuk mendapatkan pekerjaan, menimbulkan masalah yang rumit pada saat ini. Ketimpangan itu jelas kita lihat antara peningkatan angkatan kerja disatu pihak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kemampuan penyerapan tenaga kerja itu sendiri.

Sejalan dengan uraian di atas dapat kita lihat bahwa masih banyak tenaga kerja yang menganggur terutama di perkotaan. Hal ini disebabkan betapa sulitnya saat saat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, terutama disektor formal yang sampai saat ini masih merupakan jenis pekerjaan yang ideal dan diminati banyak orang. Mereka yang gagal memasuki pekerjaan disektor formal karena berbagai alasan akan memasuki pekerjaan disektor lain, dalam hat ini sektor informal. Bagi banyak orang merupakan pilihan terakhir, tetapi bukan tidak banyak yang memilih jadi pengangguran ataupun setengah pengangguran. Keadaan ini memang sangat membingungkan berbagai pihak, teruma pihak pemerintah sebagai penyusun kebijakan-kebijakan ekonomi yang mencakup tentang kesempatan kerja.

Tenaga-tenaga kerja yang tidak mampu masuk dalam pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan pemikiran pada akhirnya banyak yang berusaha disektor informal, termasuk didalamnya adalah pemulung. Sesuai dengan pernyataan di atas,


(10)

ternyata bidang pekerjaan ini cukup mampu memberikan sumbangan yang berarti terhadap penanggulangan masalah kependudukan yang berkaitan dengan sektor ketenaga kerjaan.

Saat ini perkembangan kota telah melaju pesat sebagai akibat pertambahan penduduk kota secara alami, ditambah lagi dengan terjadinya urbanisasi.Urbanisasi itu sendiri seperti kita ketahui umumnya dilakukan mereka yang berada pada usia produktif, hingga kemudian melahirkan masalah melimpahnya tenaga kerja tersebut, sedangkan lapangan kerja di sektor formal dan industri belum lagi dapat menampungnya. Persoalan ini pada akhirnya akan bermuara pada persoalan kemiskinan. Meskipun sebenarnya alternatif untuk memperoleh pekerjaan lebih terbuka di perkotaan dibanding dengan di pedesaan, namun kemiskinan di perkotaan itu tetap saja ada atau laten (Suparlan,1984).

Kehidupan kota yang kompleks dengan penekanan terhadap penting dan tingginya nilai pekerjaan yang menggunakan pemikiran dan keahlain serta adanya suatu spesialisasi-spesialisasi kerja dalam pekerjaan, telah menyebabkan adanya berbagai industri jasa (dari yang sederhana sampai yang kompleks dan modern). Memulung sebagai salah satu pilihan pekerjaan di sektor informal, dalam hal ini memberikan jalan keluar dari keruwetan para pencari kerja, karena ia tidak menuntut keahlian yang begitu khusus. Modal utama sebenarnya adalah tenaga, kesabaran dan mental (motivasi), ditambah fasilitasnya. Mereka tentunya masih memiliki nilai-nilai budaya tertentu yang dalam melakukan aktivitas pekerjaan atau memberikan arah dan pendorong dalam setiap tata kehidupannya (Koentjaraningrat,l986). Walaupun mereka telah terpisah jauh secara fisik dengan pusat budaya-nya, namun di daerah rantau mereka berusaha untuk menyesuaikan diri. Sebuah falsafah hidup yang berbunyi "dimana tanah dipijak, di situ langit dijunjungan" selalu mengiringi misi budaya dan setiap tindak-tanduk mereka di daerah rantau untuk menjaga mereka agar bisa tetap survive.

Selain dari kenyataan di atas dapat pula kita jumpai bahwa pada umumnya pemulung ini (suku Batak) memang memiliki tingkat pendidikan yang rendah (tamat SD atau tidak tamat) dan bahkan ini tentunya akan turut menentukan atau


(11)

berpengaruh terhadap cara-cara berpikir mereka, yang ada giliranya akan berakibat pada kehidupan sosial ekonomi mereka. Kondisi kehidupan mereka yang selama ini senantiasa akrab dengan berbagai bentuk kekurangan, dalam hal ini tampak dari hasil pendapatan yang mereka peroleh sebagai pemulung yang mana hanya cukup untuk mengganjal perut dari hari-ke hari. Dengan kata lain hanya pas - pasan saja. Bahkan kenyataan yang tampak bahwa dari kebanyakan keluarga pemulung asal suku Batak, mereka tetap saja marginal dan cenderung miskin. Masalah mereka sebenarnya berkaitan dengan permasalahan relasi sosioal budaya sebagai implikasi dari konstruksi citra negatif yang dialamatkan pada kehidupan semacam ini oleh masyarakat dan pemerintah. Parsudi Suparlan (1984:179) melihat bahwa kaum marginal tidak memiliki tempat tinggal tetap, mempunyai pekerjaan tak layak, seperti pemulung, pedagang asongan, pengemis, dan lainnya. Moeliono dan Anggal menjelaskan, bahwa mereka bekerja disektor informal, hidup secara subsisten dari ke hari-hari, dan menjadi massa mengambang secara sosial dan politik. Mereka terabaikan dan tak terlayani oleh berbagai bentuk pelayanan formal: pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, partisipasi politik, dan lain-lain. Selanjutnya keseluruhan kondisi tersebut diatas menimbulkan cenderung miskin, yang pada akhirnya menimbulkan beberapa pertanyaan : (1) Apa yang menjadi latar belakang mereka terjun kebidang pekerjaan tersebut : ( 2 ) Apa yang menjadi permasalahan mereka dan faktor-faktor apa saja yang mungkin menjadi pengaruh terhadap kondisi kehidupan sosial ekonomi mereka.

1.2. Perumusan Masalah

Sebagai pemulung penghasilan yang diperoleh dipengaruhi berbagai faktor, baik dari dirinya sendiri maupun dari luar ( eksternal ). Mengenai jam kerja mereka biasanya dimulai pagi hari sekitar pukul 6.00 wib, dan berakhir pada sore harinya.

Dari sekian panjang jam kerja mereka bisa dikatakan hanya sebagian kecil jam kerja saja yang tergolong produktif.

Adanya tingkat pendidikan yang rendah bahkan tidak sama sekali tentunya menentukan atau berpengaruh terhadap cara berpikir mereka yang pada gilirannya


(12)

akan berakibat terhadap situasi kehidupan sosial ekonomi mereka. Penerapan strategi dalam bekerja, pengaturan penghasilan, pembina di dalam keluarga hingga orientasi hidup setidaknya bertitik tolak dari sana. Dengan kondisi yang demikian kelihatannya mustahil bagi para pemulung untuk pindah ( pekerjaan ) ke sektor formal. Dari keadaan-keadaan seperti diatas kiranya dapat dirumuskan beberapa hal yang menjadi permasalahan. Adapun penelitian ini nantinya difokuskan pada kehidupan sosial ekonomi pemulung. Dengan demikian tentunya menyoroti hal-hal yang berhubungan dengan masalah produksi, konsumsi maupun distribusi hasil pendapatan. Adapun perumusan masalah yang lengkap adalah sebagai berikut :

1. Apa latar belakang mereka memilih sektor informal, dalam hal ini sebagai pemulung. Apakah ada sebab lain yang membuat mereka tetap menekuni pekerjaan tersebut ?

2. Masalah - masalah apa sebenarnya yang mereka hadapi sehingga dapat berada dalam kehidupan yang marginal itu ?

3. Faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi terhadap pendapatan mereka yang pada akhirnya juga memberikan warna pada corak kehidupan mereka ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan penelitian

Bertitik tolak dari permasalahan yang diuraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dan menyelidiki segi-segi kehidupan sosial dan ekonomi keluarga para pemulung. Merujuk pada Melly G. Tan ( 1977 ) maka keadaan sosial ekonomi itu mencakup 3 ( tiga ) aspek yaitu : pekerjaan, pendidikan dan penghasilan. Dari itu akan terlihat bagaimana cara mereka menjalani kehidupan dengan memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki, cara mengalokasikan penghasilan sehingga dapat terus survive. Untuk lebih jelasnya maka latar belakang sosial ekonomi itu akan diperhatikan secara "life history". Kajian Antropologi yang bersifat holistik ini akan menjadikan penelitan ini dapat pula meliputi antar hubungan sosial sesama pemulung. Dimana juga akan terlihat hubungan antara seama mereka, baik cara mereka dalam bekerja.


(13)

Kemudian hubungan antara pemulung dengan elemen-elemen (orang--orang) yang terdapat pada sistem sosial di lokasi kerja (mangkalnya), seperti halnya hubungan para petugas dengan orang-orang yang berada di sekitar lokasi mangkalnya.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah terutama dalam penerapan teori-teori atau konsep ilmu antropologi yang selama ini diperoleh dalam perkuliahan. 5elain itu mernberitahukan tentang usaha sektor informal ini kepada masyarakat luas agar dapat mengetahuinya. Khususnya bagi penentu kebijakan yang berhubungan dengan masalah ini, di mana diharapkan hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan, perbandingan ataupun acuan. Selanjutnya untuk penulis pribadi sebagai bahan untuk menulis skripsi guna menyelesaikan pendidikan dari FISIP USU Medan.

1.3.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, dengan alasan kawasan ini mempakan tempat pembuangan akhir sampah yang berasal dari penduduk kota Medan.

1.4. Tinjauan Pustaka

Sudah menjadi ciri umum dan merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal lagi di kebanyakan negara berkembang saat ini, bahwa begitu jelas terdapat adanya ketimpangan yang mencolok dalam hal tersedianya jumlah sektor produksi terhadap kemampuan untuk menyerap tenaga kerja itu sendiri. Dengan kata lain dapat dikatakan kurang terjadi pemerataan dalam hal memperoleh kesempatan dan peluang pekerjaan. Masalah - masalah tingkat pendidikan yang rendah, ketrampilan dan kurang tersedianya modal yang relatif cukup, semakin kompleksnya permasalahan yang ada di kota-kota khususnya di Indonesia.


(14)

Konsekuensi logis yang dirasa paling cocok sebagai jalan keluarnya adalah menyeimbangkan potensi yang ada dengan sektor - sektor peluang kerja yang tersedia. Alternatif yang paling cocok adalah berkecimpung di sektor informal, dimana secara umum di sektor ini tidak bagitu banyak menuntut persyaratan kerja yang lebih khusus dan lebih memberi peluang. Secara langsung maupun tidak langsung dalam hal ini jelas sektor informal mampu menanggulangi masalah kependudukan, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesempatan bekerja, terutama di daerah perkotaan. Tindak lanjut dari fenomena ini dapat kita lihat dari kenyataan bahwa begitu banyak pilihan yang terlibat ke dalam sektor ini seperti misalnya : Tukang Becak, Pedangang Kaki Lima, Pembantu Rumah Tangga, Penjual makanan dan minuman ringan di penggir jalan dan lain-lain. Banyaknya ragam kegiatan di sektor informal ini lama kelamaan semakin menarik perhatian untuk diketahui bagaimana keberadaan mereka lebih jauh lagi dalam menekuni bidang pekerjaanya. Pembahasan mengenai kenyataan bahwa sektor informal telah menjadi wadah yang tepat dan ampuh dalam meyerap sejumlah besar tenaga kerja terutama di perkotaan, haruslah tentunya didasarkan pada pengetahuan siapa dan apa alasan yang mendorong mereka untuk memasuki sektor informal ini ( Ramli, 1992 : 14 ). Pandangan beberapa ahli lebih lanjut, dipakai penulis dalam membahas apa sebenarnya sektor informal ini.

Kajian mengenai sektor informal pertama sekali dikemukakan oleh seorang Antropologi Inggris bernama Keith Hart pada 1973. Konsep Keit Hart selanjutnya dijadikan acuan dalam menyoroti masalah - masalah kesempatan kerja terutama terhadap keluarga-keluarga kurang mampu di daerah perkotaan yang selanjutnya disebutnya sebagai kaum pekerja perkotaan ( urban labour force ). Secara jelas dalam, konsep Hart dinyatakan adanya perbedaan antara sektor formal dan informal , diantaranya dilihat dari keteraturan waktu kerja, curahan waktu kerja, status hukumnya, serta hubungannya dengan sektor kerja yang lain. Khusus terhadap sektor informal, Hart mengemukakan ciri khusus di mana secara umum ditandai dengan adanya pendidikan yang rendah, modal usaha yang relatif kecil, upah yang rendah dan kegiatan usaha yang berskala kecil. Hal lain yang menarik perhatian dalam mengkaji


(15)

pembahasan di sektor informal ini adalah terdapatnya perbedaan khusus dalam sektor itu sendiri antara lain yaitu sektor informal sah dan sektor informal tidak sah.

Yang termasuk dalam sektor informal sah adalah :

a. Kegiatan-Kegiatan primer dan sekunder seperti : pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengannya, pengrajin usaha sendiri, pembuatan sepatu, penjahit, pengusaha BIR dan Alkohol.

b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar, seperti : perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan sewa menyewa.

c. Distribusi kecil-kecilan, seperti : pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, usaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkutan barang agen atas komisi dan penyalur.

d. Jasa jasa yang lain seperti : pemusik (ngamen), pengusaha binatu, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, j uru potret, pekerj a reperasi kendaraan maupun reperasi lainnya dan juga pemulung.

Selanjutnya yang termasuk dalam sektor informal tidak sah adalah :

a. Jasa kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya, seperti : penadah barang curian, lintah darat (tukang kredit) dan pegadaian (dengan tingkat bunga yang tidak sah), perdagangan obat bius, pelacuran, mucikari, penyeludupan, suap - menyuap, pelbagai macam korupsi politik, perlindungan kejahatan dan sebagainya.

b. Transaksi pencurian kecil ( misalnya : pencopetan), pencurian besar (misalnya : pembongkaran), pemalsuan uang dan penipuan , perjudian dan lain-lain ( Hart dalam Chirs Manning dan Tadjuddin N. Effendy, 1985:78-80).

Pendapat Hart tentang sektor informal sebagai kegiatan yang berskala kecil, didukung oleh Sethuraman yang menganggap kehadiran sektor informal terutama disebabkan manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara sedang berkembang. Mereka yang bergerak di sektor informal tidak membutuhkan jalur birokrasi formal dalam proses mobilitas vertikal (Sethuraman dalam Chris Manning


(16)

dan Tadjuddin N. Effendy, 1985 :91). Selanjutnya Sethuraman berpendapat bahwa sektor informal terdiri dari unit-unit berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan usaha ini sangat dihadapkan pada berbagai kendala seperti faktor modal (Sethuraman dalam Titik Handayani, 1993 :285).

Sri Edi Swasono (1986) berpendapat bahwa adanya sektor informal bukun karena sekedar kurangnya lapangan kerja, apalagi menampung lapangan kerja yang terbuang dari sektor formal, tetapi sektor informal tersebut adalah sebagai pilar bagi keseluruhan sistem ekonomi. Kenyataan bahwa sektor formal dapat hidup karena adanya pembayaran upah buruh secara murah. Selanjutnya upah yang rendah ini diterima parah buruh, karena sektor informal dapat menyediakan kehidupan murah bagi buruh yang berupah rendah ini. Kenyataan ini menujukkan bahwa sektor informal telah mensubsidi sektor formal, dan merupakan sektor yang efisien karena mampu menyediakan kehidupan murah.

Menurut Kartini Syahrir, sektor informal berkembang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Bahwa terdapat hubungan saling membutuhkan diantara sektor formal dan sektor informal dengan ciri padat karya. Ragam pekerjaan di sektor informal terjadi sebagai respon pembangunan itu sendiri, yang memberikan tempat bagi bertambahnya sektor jasa sedemikian rupa sehingga memungkinkan sektor informal berperan penting di dalamnya ( Kartini Syahrir, 1985 :102).

Mazumdar menganalisa sektor informal ini dari sudut dikotomi sektor informal dan sektor formal. Ia mengatakan bahwa sektor formal adalah sektor yang lebih mendapat proteksi, sedangkan sektor informal tidak mendapat proteksi. Dikotomi seperti ini mampu menjalankan kondisi struktural dari pasar tenaga kerja tersebut, khusunya dalam kaitan kebebasan dan rintangan dari mobilitas buruh (dalam Rachbini dan Hamid, 1994: 3 ).

Sektor informal, tumbuh dan berkembangnya di berbagai kota merupakan gambaran sosial ekonomi dari pola kehidupan masyarakat. Rangkaian pengamatan terhadap sektor informal dapat mengembangkan berbagai persepsi baru tentang


(17)

masalah ketenagakerjaan, karena sektor ini dikenal sebagai katup pengaman dalam menanggulangi masalah pengangguran.

Faktor-faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan tingkat pendapat pedagang sektor informal adalah besarnya jumlah modal usaha, curahan jam kerja, dan tingkat pendidikan pedagang sektor informal itu sendiri (Edi Purnomo dan S.R.Gunawan, 1993 :154-155).

Berbagai pendapat mengenai sektor informal dan formal menurut para ahli adalah sebagai berikut. Boeke mengidentikkannya dengan sektor ekonomi kapitalis prakapitalis (Titik Handayani 1993:214). Sedangkan Geertz (1973) menyebutnya sebagai "ekonomi Firma/ bazaar (Firms/Bazaar economi), istilah dari Weeks adalah sektor modern tradisional (Titik Handayani, 1993), serta "Inti masa apung" dari Evers (1982).

Sedangkan LL.O pada tahun 1972 (Titik Handayani, 1993;215) lebih menekankan ciri-ciri yang membedakan sektor formal dan informal dengan mengajukan tujuh ciri utama sektor informal yaitu :

1. Mudah dimasuki siapa saja.

2. Menggunakan sumber daya manusia 3. Usaha umumnya dimiliki keluarga 4. Beroperasi dalam skala kecil.

5. Bersifat padat karya menggunakan teknologi yang telah disesuaikan dengan kondisi setempat.

6. Tidak menuntut ketrampilan yang berasal dari jalur pendidikan formal 7. Pasar yang dihadapi tidak diatur oleh pemerintah dan sangat kompetitif.

Hidayat mendefenisi sektor informal sebagai "unprocted sector " (Hidayat. 1978:445). Selanjutnya Hidayat menambahkan dua butir defenisi sektor informal yaitu:

1. Sektor informal adalah sektor yang belum dapat menggunakan bantuan meskipun pemerintah telah menyediakannya.


(18)

2. Sektor informal adalah sektor yang telah menerima bantuan tetapi belum sanggup membuat sektor ini berdikari ( Hidayat, 1990).

Selanjutnya Belen berpendapat bahwa pekerja di sektor informal pada dasarnya adalah orang-orang yang memiliki jiwa wiraswasta, yaitu ulet, berani mengambil resiko, tidak begitu tergantung pada orang lain, serta percaya diri sendiri. Selanjutnya Belen mengatakan bahwa sektor informal merupakan arena penanaman dan pembinaan jiwa wiraswasta pada generasi mendatang (Belen, 1985:5).

Keberadaan manusia dimuka bumi ini selalu dihadapkan situasi dan kondisi terus berubah. Masalah pemenuhan kebutuhan hidup tetap menjadi persoalan utama, dan oleh sebab itu seseorang dengan alasan apapun harus bekerja demi untuk diri sendiri maupun keluarganya. Dalam bekerja pun, manusia kembali dihadapkan pada pilihan yang sesuai dengan keadaan dan potensi yang ada pada dirinya. Sulitnya memasuki lapangan pekerjaan di sektor formal yang memang masih diminati dan dianggap ideal, memaksa orang untuk mencari peluang-peluang pekerjaan di sektor informal yang memang masih diminati dan dianggap ideal, memaksa orang untuk mencari peluang-peluang pekerjaan disektor lain demi mempertahankan hidup. Munculnya pekerjaan disektor informal yang memang memberikan peluang kerja yang lebih luas memang dapat dijadikan jalan keluar bagi permasalahan dibidang ketenaga kerjaan, sekaligus bidang kependudukan yang berkaitan dengan hal tersebut.

Setiap manusia merupakan anggota dari salah satu bangsa yang selalu berusaha untuk dapat hidup sesuai dengan nilai - nilai terkandung dalam khasanah budayanya (Pelly, 1985:8). Demikian juga dengan masyarakat Batak yang bekerja sebagai pemulung yang menjadi pokus dalam penelitian ini. Ketika kampung halaman tidak memberikan harapan lagi untuk penghidupan mereka mencari alternatif lain untuk dapat bertahan hidup. Seperti telah di jelaskan di atas bahwa pemulung adalah orang yang mencari naflcah, dengan jalan mencari dan memungut barang-barang bekas, dikumpulkan dan dijual kepada pengusaha yang akan


(19)

mengolahnya kembali menjadi barang komoditi. Moelino dan Anggal, menjelaskan mengenai pemulung ini, bahwa mereka sebagai pekerja sektor informal, datang secara individual atau berkelompok, yang berasal dari desa sebagai kaum migran. Selain mereka sebagai pekerja sektor informal, mereka sering disebut juga sebagai kelompok marginal; baik secara ekonomi, politik maupun sosial. Mereka terdiri atas kelompok yang tersisih dari berbagai kegiatan dan pelayanan formal yang disediakan oleh kota-kota bagi warganya yang beridentitas jelas. Kenyataan adalah mereka tidak serta-merta dapat menikmati berbagai bentuk pelayanan dan kemudahan yang tersedia di kota-kota besar dikarenakan posisi dan status mereka sebagai kelompok marginal yang tidak berdaya.

Kelompok masyarakat yang satu ini umumnya hidup dan tinggal dalam kumpulan gubuk kertas, plastik dan papan-papan rombeng namun memiliki kegiatan. Di sini ada yang harus mengumpulkan barang bekas. Bertimbun berbagai macam barang yang sudah tidak terpakai lagi, logam dari segala jenis, plastik, pecahan kaca (beling), alumunium, potongan-potongan kayu, dan aneka macam kertas. Oleh kelompok mereka, tempat pengumpulan barang sering dikenal dengan istilah lapak.

Bagi kelompok pemulung, selain mereka hidup di dunia perdagangan atau usaha barang bekas sebagai suatu pekerjaan atau mata pencaharian, juga untuk bertahan hidup. Bahkan oleh Parsudi Suparlan, pemulung atau pengumpulan barang bekas tersebut merupakan salah satu mata pencaharian atau pekerjaan orang-orang gelandangan. Berbeda halnya dengan Moeliono dan Anggal, mereka pemulung itu bagian dari kaum subsisten kota. Mereka hidup dari hari ke hari dengan penghasilan yang cukup untuk konsumsi per hari. Menurut Jatiman, seperti dikutip Moeliono dan Anggal, menyebutkan bahwa subsistensi adalah ekonomi yang mencukupi kebutahan sendiri mereka itu hidupnya dari hari ke hari.

Oleh karena mereka merasa terabaikan dan tertekan, dan ada peluang untuk melampiaskan , maka muncullah ledakan -ledakan psikologis, emosional, dan sosial dalam berbagai bentuk, seperti perampokan, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, pelacur, tawuran, atau agresivitas massa. Semua itu, sampai saat ini merupakan


(20)

ekspresi dari kekecewaan dan keterbatasan kemampuan kelompokan marginal dalam penderitaan dan kesmiskinannya.

Hal senada menurut Rodger seperti yang dikutip oleh Septiarti, mendeskripsikan bahwa dalam sektor perbaikan ekonomi kelompok ini hanya mampu terlihat dan mernperoleh mata pencaharian pada sektor-sektor informal, tidak lain karena tergolong unskilled labor. Akibat perolehan penghasilan mereka menjadi minimal dan tidak tetap serta sama sekali tidak ada jaminan sosial.Selain itu, dibidang sosial kelompok ini ada pada strata "terendah" dalam masyarakat, dengan tingkat pendidikan rendah,atau sama sekali belum pernah menikmati bangku pendidikan; jauh dari jangkauan fasilitas umum.

1.5. Metode Penelitian 1.5.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif yang berusaha untuk menggambarkan bagaimana kehidupan para pemulung. Adapun penggambaran kehidupan dilakukan dengan cara life history yang berusaha menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dalam konteks antropologi.

1.5.2. Informan

Informan dalam penelitian ini berbagai atas tiga macam yaitu informan pangkal, informan kunci dan informan biasa. Informan pangkal adalah informan pertama-tama peneliti jumpai di lapangan (Moleong, 1994). Dari Informan pangkal ini lah peneliti berharap mendapat petunjuk tentang siapa-siapa dari pemulung yang bisa dijadikan dengan sebagai informan pokok untuk diwawancarai secara mendalam.

Informan kedua adalah informan kunci (key informan). Dari informan kunci inilah peneliti mengharapkan data utama penelitian ini. Informal kunci ini terdiri dari lima keluarga pemulung yang diteliti pengalamannya selama menjadi pemulung dalam kehidupan kesehariannya.


(21)

Informan ketiga adalah informan biasa. Informan biasa ini adalah sesama rekan pemulung yang dianggap mengetahui tentang kehidupan para keluarga pemulung. Dari informan biasa ini diharapkan didapatkan data-data yang dapat dijadikan pembanding dari data yang didapat dari informan utama, sehingga penelitian ini menjadi valid.

1.6. Teknik Pengumpulan Data 1.6.1. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan cara berkomunikasi langsung dengan para informan. Wawancara dilakukan dengan cara terbuka agar para informan dapat menjawab pertanyaan dan bercerita panjang lebar tentang kehidupan dan segala informasi yang dimilikinya. Wawancara dilakukan ketika mereka dirumah, atau ketika mereka mempunyai waktu senggang sehabis memulung. Dengan cara ini diharapkan suasana menjadi lebih tenang dan peneliti dapat menggali informasi riwayat kehidupan informan selama menjalani profesi sebagai pumulung. Pertanyaan -pertanyaan dikembangkan dalam hubungan yang mengarah pada sifat dari hati ke hati yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan dalam model-model pendekatan yang pernah di lakukan oleh Oscar Lewis (dalam suparlan,1984), yaitu :

1. Pendekatan otobiografi yang luas dan intensif, tetapi lebih terbatas dari segi luas atau kedalamnya.

2. Pendekatan yang mempelajari masalah atau kejadian di luar dari yang biasa yang terjadi dalam kehidupan mereka.

3. Pendekatan yang bertujuan mendeskripsikan secara detail kehidupan keluarga dalam sehari-hari.

Dalam melakukan wawancara peneliti akan mempergunkan pedoman wawancara (interview guide). Pedoman wawancara dipergunakan hanya sebagai arahan bagi penulis dalam melakukan wawancara, bukan sebagai patokan. Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, maka penelitian akan dihentikan apabila data telah berulang (Moleong, 1994).


(22)

1.6.2. Observasi

Untuk mencari kevalidan data observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi partisipatif. Artinya dalam melakukan observasi ini peneliti ikut langsung beraktifitas dengan responden. Peneliti mengikuti para informan ketika mereka sedang melaksanakan aktifitas di lapangan.

1.7. Teknik Analisa Data

Setelah informasi dan data terkumpul, maka data disusun secara sistematis sesuai kepentingan:

1. Mengadakan pengeditan terhadap informasi dan data sehingga menghasilkan uraian terperinci, sistematis dan mudah dimengerti oleh mereka yang membaca dan mempelajarinya.

2. Mengadakan penganalisaan dari setiap bagian yang disusun dengan metode kualitatif untuk tujuan memahami isi yang terkandung dalam setiap informasi dan data yang diberikan oleh informan.


(23)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN DESA NAMO BINTANG

2.1 Sejarah Singkat Desa Namo Bintang

Desa Namo Bintang adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. Desa Namo Bintang yang ada sekarang adalah penggabungan dari dua desa di sekitarnya, yaitu Desa Rumah Mbacang/Ujung Jawi dan Desa Sumbringen. Pada tahun 1985 ditetapkan nama ketiga desa ini menjadi Desa Namo Bintang dan kedua desa yang ada di sekitarnya diubah menjadi Dusun I dan Dusun II.

Untuk dapat mengetahui asal mula bermukimnya penduduk di desa ini, penulis menemui kesulitan dengan tidak adanya catatan tentang hal itu. Namun diperkirakan daerah ini sudah dihuni sejak tahun 90 tahun yang lalu.

Menurut penduduk setempat, daerah Namo Bintang berupa rawa-rawa dan sawah serta perladangan yang terlantar. Nama Namo Bintang diambil dari nama sebuah sungai yang mengalir di pinggiran desa dan sungai tersebut mempunyai Namo, yang mana kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti Lubuk. Lubuk-lubuk tersebut dijadikan tempat pemandian dan pemancingan oleh penduduk yang berada di sekitar lubuk-lubuk tersebut. Menurut cerita orang-orang tua, di sekitar Namo (lubuk) dapat mengeluarkan cahaya terang-benderang dikala bulan purnama, dan inilah cikal bakal diberinya nama desa tersebut menjadi Namo Bintang.

2.2 Letak Geografis

Desa Namo Bintang di bagian Selatan Kotamadya Medan dan bagian Timur Ibukota kecamatan Pancur Batu. Luas desa ini seluruhnya 495,2 hektare yang terdiri dari 50 hektare daerah pemukiman, 35 hektare daerah pertanian sawah, 200 hektare daerah perladangan dan 150 hektare daerah perkebunan serta 60,2 hektare untuk fasilitas umum dan lain-lain. Desa ini terdiri dari 5 (lima) dusun, yaitu:


(24)

Dusun II : Desa Sumberingen dan Kloni IV Dusun III : Desa Rumah Mbacang dan Ujung Jawi Dusun IV : Desa Simpang Gardu dan Simpang Kongsi Dusun V : Desa GRT Tahap I dan GRT Tahap II.

Secara administratif Desa Namo Bintang berbatasan dengan Kota Medan di sebelah Utara, Desa Namo Simpur kecamatan Pancur Batu di sebelah Selatan, Desa Durin Tonggal kecamtan Pancur Batu di sebelah timur dan berbatasan dengan Desa Baru kecamatan Pancur Batu di sebelah Barat. Desa Namo Bintang mempunyai dua iklim yaitu musim kemarau dan musin penghujan, dimana kedua iklim tersebut dipengaruhi oleh angin laut dan angin pegunungan yang merupakan salah satu faktor pendukung dalam kesuburan tanah.

2.3 Sturuktur Organisasi pemerintahan

Struktur organisasi suatu hal yang harus dimiliki oleh suatu lembaga untuk mencapai hasil kerja yang efisien dan afektif. Di samping itu sturuktur organisasi merupakan kerangka landasan bagi pengemban tugas untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan hirarki yang ada. Struktur organisasi pada dasarnya mengandung penetapan batas-batas wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Dengan demikian diharapkan adanya satu kesatuan komando dalam penggerak dan langkah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pemerintahan desa Namo Bintang sebagai suatu organisasi pemerintah berdasarkan keputusan MENDAGRI dengan merujuk pada dua Undang-Undang yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Desa dan Undang-Undang No .5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Desa mempunyai struktur organisasi yang didukung oleh sejumlah bawahan, maka dibentuk LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) sebagai DPR-nya desa yang mendampingi Kepala Desa dan LMD (lembaga Musyawarah Desa) sebagai MPR-nya desa yang bekerja sama dengan Kepala Desa dalam membuat keputusan desa, seperti terlihat pada gambar di bawah ini:


(25)

Gambar 2.1

Struktur Organisasi Pemerintahan Desa

DESA : NAMO BINTANG

KECAMATAN : PANCUR BATU

KABUPATEN : DELI SERDANG

PROVINSI : SUMATERA UTARA

Keputusan MENDAGRI No. 7 Tahun 1979

Sumber : kantor Kepala Desa Namo Bintang, 2007

Dari gambar di atas, terlihat bahwa desa Namo Bntang terbagi atas 5 (lima) dusun, dimana kepala dusun langsung bertanggaung jawab kepada kepala desa, dan masing-masing dusun mempunyai 2 (dua) rukun tetangga yang membantu tugas-tugas kepala dusun.

Kepala Desa LMD

Sekretaris Desa

1 2 3 4

Dusun I Dusun II Dusun III Dusun IV Dusun V


(26)

Sedangkan untuk membantu tugas-tugas Sekretaris Desa ada 4 (empat) orang pembantu yang disebut dengan Kaur (Kepala Urusan) yakni masing-masing Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kaur Kesejahteraan Rakyat dan Kaur Keuangan. Disamping itu struktur pemerintahan desa juga dilengkapi dengan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Di bawah ini diterangkan Struktur Organisasi desa Namo Bintang sesuai dengan keputusan MENDAGRI No. 7 Tahun 1979.

Gambar 2.2

STRUKTUR ORGANISASI LKMD DESA NAMO BINTANG KECAMATAN PANCUR BATU KABUPATEN DELI SERDANG

PROPINSI SUMATERA UTARA

KEPUTUSAN MENDAGRI NO. 27 TAHUN 1984

Sumber : Data Desa Namo Bintang

Dari gambar di atas terlihat bahwa Ketua Umum didampingi oleh dua orang ketua (ketua I dan Ketua II), disamping itu terlihat pula Sekretaris dan Bendahara. Sepuluh seksi yang bertanggung jawab kepada diadakan guna melengkapi organisasi tersebut, seperti tertera dalam keputusan MENDAGRI No. 7 Tahun 1979. Kesepuluh seksi itu masing-masing Seksi I bidang Agama, Seksi II bidang P4, Seksi III bidang

Ketua Umum Ketua I Ketua II

Bendahara Bendahara


(27)

Kamtibmas, Seksi IV bidang Pendidikan, Seksi V bidng PPLH (Lingkungan Hidup), Seksi VI bidang Pembangunan, Ekonomi dan Koperasi, Seksi VII bidang Pemuda dan Olahraga, Seksi VIII bidang Kesejahteraan Rakyat, Seksi IX bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana dan Seksi ke X bidang PKK (Program Kesejahteraan Keluarga).

Sarana Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Namo Bintang yang bertujuan untuk mengembangkan aspek-aspek kehidupan masing-masing seksi jumahnya relatif kecil. Sarana-sarna LKMD yang sudah tersedia antara lain :

- Sarana keagamaan, dengan membentuk satu kelompok remaja mesjid yang diberi nama Himpunan Remaja Mesjid Amal Nahdatul Namo Bintang (HIRMAN) dan satu kelompok pemuda Gereja (PERMATA) GBKP serta Naposo Nauli Bulung Gereja HKBP dan GKPS.

- Sarana Pemuda, dengan membentuk satu kesatuan Karang Taruna Namo Bintang.

- Sarana olahraga, dengan membentuk satu kesatuan olahraga yang memanfaatkan sarana lapangan olahraga volley dan lapangan sepak bola.

- Sarana kesehatan, dengan membangun satu unit Puskesmas pembantu serta satu unit POSYANDU.

- Sarana organisasi sosial dengan membentuk satu kelompok anggota PKK dan delapan anggota Dasawisma.

2.4 Sarana Umum

Seperti desa-desa lain di kecamatan Pancur Batu, sarana transportasi dalam bentuk jalan, keseluruhannya sudah diaspal.arus hilir mudik kenderaan sering terlihat di jalan raya, karena jalan tersebut merupakan sarana jalan yang menghubungkan antara kecamatan Pancur Batu dengan kecamatan Deli Tua. Jarak antara Desa Namo Bintang dengan Ibukota kecamatan Pancur Batu hanya berkisar 1,5 km yang biasa di tempuh dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan beca mesin dengan ongkos


(28)

lima ribu rupiah. Sudah hal yang biasa apabila penduduk Desa Namo Bintang setiap hari tampak berjalan kaki ke Pancur Batu untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya dalam hal kebutuhan sehari-hari atau belanja dapur.

Sarana air bersih untuk keperluan sehari-hari dapat menggali sumur dengan kedalaman 7-8 meter, serta dapat menggunakan fasilitas air ledeng atau PAM. Dalam hal penerangan, sudah lama Perusahaan Listrik Negara (PLN) memasuki daerah ini dan hal ini dimanfaatkan oleh warga masyarakat yang mampu.

Di bidang kesehatan, di desa Namo Bintang terdapat satu unit Puskemas Pembantu. Puskesmas ini mempunyai satu orang mantri yang melayani masyarakat setiap hari untuk memeriksa kesehatannya. Apabia keadaan pasien dianggap cukup serius, mantri tersebut merujuk pasien ke Puskesmas kecamatan di Pancur Batu yang mempunyai tenaga medis sebanyak 6 orang. Selain Puskesmas Pembantu di desa tersebut juga terdapat satu unit Pos Yandu (Pos Pelayanan Terpadu) yang merupakan wadah penunjang kesehatan dan memusatkan perhatianya untuk memberi penyuluhan tentang keluarga sehat dan bahagia.

2.5 Keadaan Penduduk

Berdasarkan Sensus pendataan Daftar Keadaan Jumlah Rumah Tangga Desa Namo Bintang tahun 2007, jumlah penduduknya sebanyak 4.550 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.107 KK. Jumlah penduduk trsebut, terdiri dari 2.283 jiwa laki-laki dan 2.267 jiwa perempuan yang tersebar dalam lima dusun (Data Desa Namo Bintang). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut.

Tabel 1

Komposisi Penduduk Desa Namo Bintang

No. Jenis Kelamin Jumlah(jiwa)

1 Laki-laki 2.283

2 Perempuan 2.267


(29)

Sumber : Data Desa Namo Bintang Tahun 2007

Tabel 2

Komposisi Penduduk Desa Namo Bintang Menurut Kelompok Umur

No . Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

1 0-5 182 199 381

2 6-15 403 547 950

3 16-25 582 425 1007

4 26-55 973 862 1835

5 56 ke atas 163 214 377

Jumlah 2303 2247 4550

Sumber : Data Desa Namo Bintang

Dari tabel 2 di atas, tampak bahwa mayoritas penduduk Namo Bintang berusia antara 26 tahun hingga 55 tahun sebanyak 1.835 jiwa yang terdiri dari jumlah laki-laki 973 orang dan perempuan 862 orang. Kemudian diikuti oleh kelompok umur 16 tahun hingga 25 tahun yang berjumlah 1007 orang. Kelompok umur 6 – 15 tahun jumlah keseluruhannya sebanyak 950 orang. Sedangkan kelompok umur balita antara 0–5 tahun berjumlah 381 orang. Kelompok umur yang paling sedikit adalah kelompok umur 56 tahun ke atas yang berjumlah 377 orang.

Sarana pendidikan di desa Namo Bintang hanya tersedia untuk Sekolah Dasar yaitu Sekolah Dasar Negeri dan Sekolah Dasar Inpres. Umumnya warga masyarakat telah tamat SD melanjutkan sekolah SMP ke ibukota kecamatan Pancur Batu.Demikian juga halnya untuk tingkat SLTA dilanjutkan ke Pancur Batu dimana SLTP dan SLTA telah banyak tersedia baik itu negeri maupun swasta.

Pendidikan pada masa sekarang ini merupakan kebutuhan pokok atau dirasakan sangat perlu. Di bawah ini disajikan data penduduk menurut pendidikan.


(30)

Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan No. Tingkat pendidikan Jumlah

1 Tidak pernah sekolah 799

2 Belum sekolah 790

3 TK 409

4 Tidak Tamat SD 442

5 Tamat SD 822

6 Tamat SLTP 401

7 Tamat SLTA 356

8 Kursus/keterampilan 285

9 Diploma 216

10 Sarjana 30

Jumlah 4550

Sumber : Data Desa Namo Bintang

Dari tabel 3 di atas, dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk yang tamat sekolah SLTA sangat besar jumlahnya yaitu sebanyak 799 orang, hal ini sudah dapat dikatakan baik. Kemudian penduduk yang tamat SLTP berjumlah 790 orang disusul penduduk yang tamat SD sebanyak 822 orang. Penduduk yang tidak pernah sekolah berjumlah 285 orang, penduduk yang belum sekolah sebanyak 356 orang, sedangkan TK sebanyak 30 orang dan kursus/keterampilan sebanyak 401 orang. Penduduk yang setelah tamat SLTA yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi Akademi berjumlah 442 orang. Penduduk yang telah berhasil dari perguruan tinggi sebanyak 216 orang. Berdasarkan Agamanya mayoritas penduduk desa Namo Bintang beragama Islam, yaitu 2452 orang. Di bawah ini disajikan data penduduk desa Namo Bintang menurut agama.

Tabel 2

Komposisi Penduduk Menurut Agama No. Agama Jumlah (jiwa)


(31)

1 Islam 2452

2 Protestan 186

3 Khatolik 1613

4 Hindu 16

5 Budha 0

6 Lainnya 283

Jumlah 4550

Sumber : Data Desa Namo Bintang

Dari tabel di atas, tampak bahwa mayoritas penduduk desa namo bintang menganut agama islam sejumlah 2452 orang, kemudian diikuti penganut agama Khatolik sebanyak 1613 orang. Penganut agama Kristen Protestan sebanyak 186 orang. Sementara itu penganut agama Hindu sebanyak 16 orang dan penganut agama Budha tidak ada, sedangkan yang mengikuti kepercayaan lain terdapat 284 orang. Tempat ibadah berupa Mesjid, dan Gereja cukup tersedia kecuali untuk Vihara dan Pura belum ada di desa Namo Bintang. Dengan perincian yaitu 4 buah Mesjid dan 9 buah Gereja.

Jenis mata pencaharian penduduk desa Namo Bintang beragam-ragam. Di bawah ini disajikan data tentang jenis mata pencaharian penduduk.

Tabel 5

Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No. Mata pencaharian Jumlah (KK)

1 PNS/ABRI/TNI/POLRI 65

2 Pegawai Swasta 143

3 Pemungut Barang Bekas 241

4 Bertani 256

5 Pedagang 67

6 Jasa 84

7 Pensiunan 62

8 Buruh 87

Jumlah 1005


(32)

Dari tabel 5 tampak bahwa mayoritas penduduk Namo Bintang bekerja sebagai petani, yaitu sejumlah 256 KK, kemudian diikuti oleh Pemungut barang bekas sejumlah 241 KK.pegawai swasta sebanyak 143 KK, buruh sebanyak 87 KK. Jasa misalnya supir, kondektur dan lain sebagainya berjumlah 84 KK, pedagang berjumlah 67 KK, PNS/ABRI/TNI/POLRI berjumlah 65 KK sedangkan pensiunan sebanyak 62 KK.

Akhirnya berdasarkan suku bangsa, data kepedudukan yang mendiami desa Namo Bintang sebagai berikut.

Tabel 6

Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa

No. Suku Bangsa Jumlah (jiwa)

1 Jawa 1137

2 Batak Karo 910

3 Batak Toba 489

4 Batak Simalungun 419

5 Nias 85

6 Melayu 283

7 Lain-lain 1227

Jumlah 4550

Sumber : Data Desa Namo Bintang

2.6 Gambaran Umum Tempat Pembuangan Akhir Sampah Kotamadya

Medan

Tempat pembuangan Akhir Sampah Kotamadya Medan atau lazimnya disingkat dengan TPA di desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang, terletak di sebelah Utara desa Namo Bintang dan mempunyai luas areal sekitar 25 hektare. Jarak dari pemukiman ke areal TPA ini sekitar 1,5 km dan terletak di pinggir jalan arah jalan besar Pancur Batu. Sedangkan jarak dari Kotamadya Medan ke TPA ini berkisar 17 km.


(33)

Areal ini mulai diaktifkan sejak tahun 1987 yang pada mulanya hanya memiliki lahan 5 hektare. Tetapi lahan yang sedemikian tidak dapat menampung jumlah sampah, maka areal TPA ini ditambah dengan memilih lahan berupa rawa-rawa. Sejak tahun 1992, TPA sampah Kotamadya Medan dibagi menjadi 2 bagian yaitu di desa Terjun Kecamatan Belawan terletak di sebelah Utara Kotamadya Medan dengan luas lahan 10 hektare.

Areal TPA di desa Namo Bintang ini mempunyai batas-batas sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Medan.

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Namo Bintang. - Sebelah Timur berbatasan dengan PTP II Bekala. - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Baru.

Adapun latar belakang berdirinya Tempat Pembuangan Sampah di desa Namo Bintang ini, tidak begitu jelas, karena menurut penduduk setempat setelah ditutupnya areal penampungan sampah di desa Simalingkar B kecamatan Medan Johor pada tahun 1986, tiba-tiba tanah mereka yang berupa rawa-rawa ditimbun untuk sarana jalan kenderaan. Tahun 1987 mulailah berdatangan truk-truk kontainer kecil membuang sampah manutupi areal yang berupa rawa-rawa tersebut. Kemudian ketika mereka menanyakan hal ini kepada Kepala Desa, maka Kepala Desa manerangkan bahwa areal Namo Bintang dijadikan TPA, dan mereka tidak akan diberi ganti rugi.

Jalan yang menghubungkan TPA dengan pemukiman penduduk cukup baik, yaitu jalan yang dibangun PD. Dinas Kebersihan Tingkat II Medan, sepanjang 1 km dan diaspal.

2.7 Jenis, Sumber dan Jumlah Sampah

Pengelola sampah Namo Bintang adalah Perusahaan Daerah Kebersihan Tangkat II Medan. Sampah-sampah yang masuk ke lokasi TPA ini berasal dari Kotamadya Medan seluruhnya. Sampah yang masuk ke lokasi ini dapat digolongkan dalam beberapa golongan yaitu :


(34)

Yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan organik yang sifat sampah adalah cepat busuk.

Contoh : sisa sayuran, daging, buah-buahan, daun-daunan dan lain-lain. 2. Sampah Kering (Rubish)

Yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan organik maupun anorganik yang sifatnya sukar membusuk.

Contoh : logam dan bukan logam. 3. Sampah Lunak

Yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berupa partikel halus, dapat beterbangan di udara dan bersifat menimbulkan gangguan/bahaya bagi pernafasan dan pemandangan.

Sedangkan sumber sampah dapat digolongkan atas : 1. Sampah Pasar/Komersil

Sampah komersil adalah sampah yang berasal dari kegiatan-kegiatan komersil dan perdagangan seperti toko-toko serba ada (super market), restaurant, pasar, tempat hiburan dan lain-lain sehingga sampah pasar dapat berupa sisa –sisa makanan sayuran, buah-buahan, plastik bekas, karet, karet tekstil dan lain-lain. 2. Sampah Domestik

Sampah domestik adalah sampah pemukiman dan merupakan produk kegiatan sehari-hari di rumah dan di sekitar rumah. Sebahagian besar bahan-bahan yang diperlukan di rumah berasal dari pasar. Sampah domestik juga termasuk sampah yang berasal dari sisa-sisa pembersihan pekarangn/halaman, sisa-sisa makanan dan sayuran, sisa buah-buahan, bekas pembungkus, kertas, kaca, kaleng bekas, perabot rusak dan lain sebagainya.

3. Sampah Industri/Pabrik

Sampah industri/pabrik merupakan barang material bekas proses industri pabrik. Misalnya sisa bahan baku yang tidak terpakai lagi, sisa bahan pengepakan atau pembungkus. Jadi sampah ini tergantung pada jenis dan proses industrinya.


(35)

Sebagai contoh : industri farmasi mengahasilkan sampah berupa sisa bahan obat-obatan, kosmetik dan lain-lain. Industri pengalengan makanan menghasilkan sampah berupa kaleng bekas, kawat dan lain sebagainya

Jumlah sampah diangkut setiap harinya ke TPA sangat besar, dimana metoda pengangkutannya dibagi atas dua cara, yaitu :

1. Pengangkutan yang dimekanisasi, dilengkapi dengan alat-alat mekanis ke dalam kenderaan disertai alat pemadat atau tidak dilengkapi dengan alat pemadat.

2. Pengangkutan dengan tenaga manusia.

Pengangkutan yang dimekanisasi adalah truk-truk kontainer besar atau kecil yang menurut petugas kebersihan tingkat II Medan di lokasi penelitian berjumlah 40 unit. Masing-masing unit dapat mengangkut 3-4 kali rit setiap hari, dimana kontainer tiap ritnya mengangkat sampah sekitar 7-8 ton, sedangkan kontainer kecil mengangkut sampah setiap ritnya sebanyak 3-4 ton. Berdasarkan pengamatan selama penelitian terhadap beberapa aktivitas sehari-hari, sudah dimulai sejak subuh. Beberapa Pemungut barang bekas mulai berangkat dari rumah pada pukul 04.00 Wib dengan membawa penerangan berupa obor yang terbuat dari bambu. Umumnya yang bekerja pada dini hari ini adalah kaum laki-laki. Mereka mulai mengais-gais di antara tumpukan-tumpukan sampah yang sudah menggunung. Sedangkan para perempuan tinggal di rumah mempersiapkan makanan pagi dan siang, sekaligus memberangkatkan anak-anak bersekolah.

Alasan mereka berangkat dini hari melakukan pekerjaan memungut barang bekas, seperti yang di tuturkan oleh Bapak Joseph (etnik Toba) mengatakan :

“….. Kalau pagi-pagi begini bekerja, hasil yang saya peroleh ini semua otomatis untuk saya sendiri. Karena kalau sudah siang nanti saingan sudah banyak sekali ditambah lagi kami bekerja berkelompok. Jadi kalau siang nanti semua hasil kami bagi. Lagi pula kalua pagi-pagi begini baunya tidak seberapa apabila dibandingkan dengan siang, karena siang hari itu matahari sudah timbul mengakibatkan bau sampah itu menguap ke atas…..”


(36)

Hal tersebut dapat diterima, karena jumlah yang bekerja pada pagi hari maksimum 30-35 orang. Mereka bekerja hingga pukul 18.30 Wib dengan penghasilan sekitar dua karung goni barang-barang bekas.

Setelah tiba di rumah, Pemungut barang bekas yang bekerja dini hari tersebut hanya untuk makan pagi sekaligus memberi makan ternak seperti babi dan ayam. Kemudian bersama-sama dengan istri dan anak-anak mereka berangkat lagi ke TPA untuk memungut barang bekas dengan membawa makan siang mereka ke TPA dan makan bersama-dama di antara kerumunan lalat dan bau sampah yang menusuk hidung. Istirahat siang bagi para Pemungut barang bekas hanya sebentar saja, yaitu antara pukul 12.00-13.00 Wib kemudian dilanjutkan dengan mengais-ngais tumpukan sampah dengan alat gancu besa dan terus mencari barang-barang bekas yang mereka butuhkan.

Pemandangan yang paling menakjubkan terlihat ketika Pemungut barang bekas yang ada pada umumnya laki-laki saling mengejar truk kontainer yang masih jauh dari kejauhan datang membuang sampah ke lokasi. Dengan tidak merasa takut, mereka memanjat truk naik ke dalam bak kontainer tersebut, para Pemungut barang bekas mengais-ngais dan mengorek sampah dengan cepat sebelum sampah dibuang pada tempat yang telah ditentukan oleh petugas keamanan. Kejadian seperti ini telah pernah meminta korban iwa pada tahun 1989, yaitu seorang anak berumur 15 tahun, seperti yang dituturkan oleh Bapak Tarigan (etnik Karo) :

“….. Ketika itu sekitar pukul 10.00 Wib hujan turun di TPA ini, sehingga truk tidak dapat melangsir ke dalam melainkan membuang sampah hanya bisa di lokasi yang padat tanahnya. Ketika truk itu datang beberapa anak laki-laki mengejar dan memanjat serta langsung masuk ke bak kontainer. Ketika hendak membuang, anak itu belum turun dan terus mengais. Supir dan petugas keamanan tidak tahu kalau masih ada anak yang tinggal di bak kontainer, dan sampah diturunkan bersaman dengan anak itu sehingga anak itu tertimbun sampah yang barangkali beratnya 16 ton. Kami di sini satupun tidak mengetahui hal itu, bahkan kami masih mengais itu sebelum didorong oleh buldozer ke atas itu (sambil menunjuk tumpukan-tumpukan sampah yang menggunung). Sore harinya buldozer mendorong sampah tersebut dan alangkah terkejutnya kami ketika melihat anak itu telah menjadi mayat…..”


(37)

Kejadian-kejadian yang menguntungkan atau rezeki yang didapat secara tiba-tiba, sering dialami oleh Pemungut barang bekas. Mereka sering mendapat sepatu yang masih layak pakai, rokok satu selop atau beberapa bungkus dari merek terkenal, tas belanja, tas sekolah, dompet dan nasi bungkus atau nasi kotak yang belum disentuh. Barang-barang yang demikian tidak mereka jual, melainkan dipakai sendiri, sedangkan nasi bungkus atau nasi kotak itu mereka manfaatkan untuk makanan ternak peliharaan. Bahkan mereka pernah mendapat cincin emas ataupun jam tangan yang mungkin pemiliknya tanpa sengaja membuang ke tong sampah.

Peristiwa lain, terjadi pada tahun 1997, ketika Ibu Yuli (etnik Karo) mendapat rezeki yang besar yaitu sebuah tas genggam berwarna merah. Berikut ini hasil penuturannya kepada penulis :

“….. waktu itu siang hari, saya dan beberapa orang teman pemulung bekerja ditumpukan sampah yang dibuang tadi pagi. Tiba-tiba gancu saya mengait sebuah tas berwarna merah, ketika saya buka isinya ternyata uang pecahan Rp 10.000 dan Rp 20.000 banyak sekali. Saya sangat terkejut dan hampir tidak percaya melihat hal itu. Saya bisikkan kepada suami saya dan dia langsung mengajak saya ke rumah. Setiba di rumah kami menghitung jumlah uang yang sudah lembab dan jumlahnya sangat besar bagi kami yaitu Rp. 1.550.000. kami sangat gembira, sehingga suami saya tidak dapat menyimpan rahasia ini dan memberitahukannya kepada teman-teman Pemungut. Sore harinya kami tidak lagi ke TPA dan di rumah menjemur uang itu. Malam harinya teman saya datang dan menceritakan bahwa siang tadi ada polisi datang ke TPA menanyakan kalau kami ada mendapat tas berisikan uang. Saat itulah suami saya tidak dapat menahan rahasia itu dan memberitahukan bahwa sayalah yang mendapat tas berisi uang itu.Esok harinya tersebarlah berita di antara Pemungut barang bekas, bahwa kami beruntung mendapatkan uang sebesar itu…..”.

Beberapa Pemungut barang bekas mengisahkan bahwa tas adalah hasil kejahatan di daerah Medan Perjuangan Kotamadya Medan. Mungkin saja ketika penjahat melakukan aksinya, masyarakat melihat dan mengejarnya. Untuk menyelamatkan tas itu penjahat melemparkan tas tersebut ka dalam tong sampah dengan maksud setelah situasi aman akan mengambilnya kembali. Tapi naas bagi penjahat, karena sebelum diambil kembali, petugas kebersihan telah mengangkat tong


(38)

sampah dan menumpahkan segala isinya ke bak kontainer, selanjutnya dibawa atau dibuang ke TPA Namo Bintang.

Ketika penulis menjelaskan ibu Yuli bahwa tindakan itu adalah tindakan kriminal, karena mengambil barang yang bukan sah menjadi miliknya, ibu Yuli menjawab dengan enteng :

“…..Kakak ini bagaimana, saya kan bukan mencuri atau merampas milik orang itu. Ini kan hasil dari pekerjaan saya sebagai Pemungut barang bekas. Jadi segala yang saya dapat di sini adalah rezeki saya kak, apa bedanya tas itu dengan sampah bekas yang lain yang kami kumpukan selama ini, hanya saja isi tas itu berupa uang tunai…..”


(39)

BAB III

Gambaran Umum Tentang Pemulung

3.1 Sekilas tentang pemulung

Rebong mendeskripsikan tentang pemulung, dimana kelompok masyarakat yang satu ini, umumnya hidup dan tinggal dalam kumpulan gubuk kertas, plastik dan papan-papan rombeng namun memiliki kegiatan. Ada usaha mengumpulkan barang bekas dari timbunan berbagai macam barang yang sudah tidak terpakai lagi seperti logam dari segala jenis, plastik, pecahan kaca (beling), aluminium, potongan-potongan kayu dan aneka macam kertas. Oleh mereka, tempat pengumpulan barang sering dikenal dengan istilah lapak. Kondisi mereka telah cukup baik karena telah terorganisir dan terkontrol, sehingga dari kondisi hunian pun mereka telah cukup baik. Artinya mereka tidak tercecer dan asal bangun saja, mereka telah menetap walupun sifatnya hanya sementara (Rebong, 1984:140)

Dalam perkembangannya, bahwa mereka bekerja di sektor informal, hidup secara subsisten dari hari ke hari, dan menjadi massa mengambang secara sosial dan politik. Mereka terabaikan dan tidak terlayani oleh berbagai bentuk pelayanan formal : pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, partisipasi politik dan lain-lain. Semakin mereka terabaikan dan tertekan, dan ada peluang untuk melampiaskan, maka muncullah ledakan-ledakan psikologis, emosional, dan sosial dalam berbagai bentuk, seperti perampokan, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, pelacuran, tawuran atau agresivitas massa. Semua itu merupakan ekspresi dari kekecewaan dan keterbatasan kemampuan untuk bertahan dalam penderitaan dan kemiskinannya.


(40)

Faktor yang menjadikan seseorang itu jadi pemulung adalah dikarenakan tidak mempunyai keterampilan, tidak mempunyai uang unuk modal, tingkat pendidikan rendah dan bahkan belum pernah menikmati bangku pendidikan. Oleh karena itu mereka memilih bekerja sebagai pemulung yang memang gratis dan tidak membutuhkan modal yang besar.

Inilah sekelumit tentang pemulung yang telah peneliti peroleh, kiranya dapat membantu dalam memahami dan mengenal asal-usul mereka.

Sebagai pembahasan selanjutnya, dibawah ini penulis akan mendeskripsikan keadaan para pemulung tersebut.

3.2 Keadaan Pemulung

Pembahasan mengenai keadaan pemulung ini, dalam pendeskripsiannya akan lebih tampak kepada persoalan seputar profil. Adapun poin-poin yang akan diuraikan dalam pembahasan ini adalah seputar kehidupan sehari-hari mereka dalam bidang perekonomian, kehidupan sosial, pendidikan dan kehidupan keagamaan, hingga kesehatan mereka.

a. Seputar Kehidupan Ekonomi

Berdasarkan pengamatan dan informasi, bagi pemulung di sini, “mulung” atau “nyari” umumnya sebagai bentuk mata pencaharian atau pekerjaan. Terutama untuk menafkahi anak-anak dan isteri mereka, informan komar (bukan nama sebenarnya) menuturkan bahwa ia datang ke Medan adalah untuk mencari nafkah. Penuturan lainnya, Ali (bukan nama sebenarnya) sudah hampir dua tahun menjadi pemulung


(41)

dan mengaku sebelumnya pernah bekerja di Jakarta juga menuturkan, ia menjadi pemulung karena disana baginya tidak ada pekerjaan (pen).

Selain sebagai migran yang datang ke Kota Medan untuk mencari pekerjaan. Mereka menjadi pemulung, karena faktor pendidikan yang minim serta ekonomi yang kurang. Untuk pendidikan mereka umunya terbilang rendah, sangat jarang ditemui yang berpendidikan menengah apalagi pendidikan tinggi. Informan Maman (bukan nama sebenarnya) menuturkan karena faktor pendidikan mereka kurang dan faktor tidak punya uang untuk modal, maka bekerja sebagai pemulung yang memang gratis dan tidak membutuhkan modal yang besar lebih baik.

Selain faktor pekerjaan dan pendidikan, diantara mereka menjadi pemulung karena menunggu masa panen saja. Artinya, mereka datang ke kota ini selama musim paceklik, dan kembali setelah mereka mendapatkan modal yang cukup untuk apa yang mereka ingin lakukan di desa, terutama untuk kebutuhan pasca panen. Seperti penuturan Naima (bukan nama sebesarnya) salah satu pemulung disini asal Langkat, ketika ditanya tentang apa yang mendorongnya menjadi pemulung. Ia menuturkan, bahwa mulung baginya untuk sementara saja, yakni mengisi waktu kosong (menganggur) di kampung. Musim panen ia kembali pulang, pada musim mandur (menyamai benih padi sampai ditanam) ia kembali ke sini sebagai pemulung. Hal ini ia lakukan berulang-ulang, dan ia pun menikmatinya. Informan lain menuturkan, bahwa mulung (nyari) baginya pekerjaan kedua, karena di pagi hari ia bekerja sebagai penarik becak dan siang hari ia sebagai pemulung. Ia melakukan hal ini sebagai pengisi waktu kosong saja. Dari informasi tersebut, dapat dilihat bahwa di antara mereka ada yang menjadikan pekerjaan mulungnya sebagai pekerjaan pertama


(42)

(pokok). Disisi lain ada juga yang menjadikannya sebagai pekerjaan kedua saya (sampingan atau sementara).

Pemulung di sini rela menyusuri jalan berkilo-kilo meter demi mencari barang-barang bekas sebagai tumpuan yang dapat merubah masa depan mereka ada yang mulai berangkat kerja antara jam lima dan jam enam pagi. Ada juga yang mulai kerja jam tujuh pagi. Hal tersebut tergantung tempat yang akan mereka tuju. Bila tempat itu relatif dekat, maka berangkatnya pun sekitar jam tujuh pagi. Namun bila tempat itu jauh, maka berangkatnya sekitar jam lima atau jam enam pagi. Informasi Komar menuturkan, mereka biasanya mulai bangun tidur antara jam empat dan lima pagi. Ibu Yuli (bukan nama sebenarnya) salah satu pemulung asal Tanjung Balai juga menuturkan, bila ia kelilingnya jauh maka berangkatnya setelah sholat subuh, dan bila kelilingnya dekat ia berangkat jam tujuh pagi setelah selesai pekerjaanya di rumah. Pulangnya kadang-kadang siahg atau sore sebelum maghrib. Ia biasa keliling ke Jl. H.M. Thamrin sampai ke Jl. Putri Hijau.

Berbeda dengan penuturan Bang Ali ketika ditanya seputar mulai berangkat kerja. Ia menuturkan berangkat kerja jam enam pagi, pulang kadang-kadang jam dua belas siang, kadang-kadang bagaimana pendapatannya. Bila sudah dapat banyak, jam dua belas ia sudah pulang, kadang-kadang sore jam tiga baru pulang. Dari beberapa keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa keberangkatan dan kepulangan mereka dalam kerja adalah tidak tentu tergantung keadaan saat itu. Dalam artian tergantung penghasilan yang mereka peroleh.

Sikap tidak kenal menyerah dan kerja keras nampak dalam diri mereka. Dimana dengan status mereka sebagai pendatang telah mengharuskan mengambil


(43)

sikap demikian yakni bersaing dan kerja keras dalam bekerja. Persaingan yang terjadi diantara mereka adalah persaingan sehat. Hal tersebut tampak dari kebebasan dalam bentuk usaha. Tampak diantara lapak yang ada, mengumpulkan dan menjual barang bekas yang sama tanpa ada pelarangan yang berakibat persaingan yang tidak sehat dan melahirkan konflik. Begitu juga dengan sesama pemulung, tampak mencari dan menjual barang-barang bekas ditempat yang sama pula.

Ada satu hal yang menarik mengenai bidang pekerjaan mereka. Dimana seperti berdasarkan keterangan sebelumnya, diantara mereka ada yang menjadi pekerjaan mulung ini sebagai pekerjaan kedua saya (sampingan atau sementara). Bagi mereka yang menjadi pemulung sementara ini, tampak juga memiliki pekerjaan lain seperti buruh bangunan, tukang cuci, penarik becak. Biasanya hal ini terjad manakala mereka mengalami penurunan penghasilan (usaha sedang sepi, pen).

Berdasarkan pengamatan dan informasi, pendapatan mereka untuk masa-masa sekarang tampak mengalami penurunan, tampak ketika mereka kembali dari pencariannya. Bagi mereka penghasilan yang dulunya mudah didapatkan, sekarang menjadi lebih susah. Kemungkinan terbesar adalah diakibatkan oleh semakin banyaknya jumlah pemulung yang tersebar di daerah ini. Mereka biasanya sehari itu mendapat penghasilan sebesar tiga puluh ribu rupiah saja. Bahkan ada juga seperti penuturan Ibu Yuli, kadang-kadang ia sehari hanya mendapatkan lima belas ribu rupiah, itu pun bila ia sudah berusaha keliling kesana kemari.

Dari keterangan di atas, memberi pemahaman bahwa perubahan telah terjadi dalam diri mereka, terutama dalam sisi penghasilan atau pendapatan mereka.


(44)

Moeliono dan Anggal (2000) menjelaskan, bahwa mereka sebagai pekerja sektor informal, datang secara individual atau berkelompok, yang berasal dari desa sebagai kaum migran. Selain mereka sebagai pekerja sektor informal, mereka sering disebut sebagai orang-orang marginal, baik secara ekonomi, politik maupun sosial. Mereka terdiri atas kelompok yang tersisih dari berbagai kegiatan dan pelayanan formal yang disediakan oleh kota-kota besar bagi warganya yang beridentitas jelas. Kenyataannya adalah mereka tidak serta-merta dapat menikmati berbagai bentuk pelayanan dan kemudahan yang tersedia di kota-kota besar dikarenakan posisi dan status mereka sebagai orang-orang marginal yang tidak berdaya.

Bila dikaitkan dengan keadaaan pemulung disini, apa yang digambarkan oleh Moeliono dan Anggal tersebut ada beberapa kesamaan. Pemulung disini, pada dasarnya secara umum mereka datang ke kota adalah untuk bekerja. Mereka statusnya sebagai pendatang dari daerah-daerah atau pedesaan. Keluh-kesah kadang-kadang tak terlepas dari diri mereka, yang memang sebagai orang-orang kecil, yang hanya mampu kerja disektor informal. Informan Komar menuturkan, ia kadang-kadang suka mengeluh mengenai kerja yang susah, pemasukan tidak ada, bahkan pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Walupun keluh-kesah tak terhindari, yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana harus berusaha dan bertahan hidup untuk meningkatkan taraf hidup mereka yang saat ini mereka jalani. Dengan kerja keras, mereka berharap suatu saat mereka bisa menatap hari esok yang lebih baik. Karena itu, mereka selalu bekerja keras mengumpulkan barang-barang bekas yang laku dijual untuk sekadar penyambung hidup, sekaligus memperbaiki nasibnya dikemudian hari.


(45)

Harapan untuk hidup lebih baik adalah dambaan setiap orang. Begitu halnya dengan pemulung, mereka hanya dengan bekal keberanian dan tekad yang kuat datang ke kota dengan segudang harapan. Seperti penuturan Kak Anum (bukan nama sebenarnya), ia menaruh harpan untuk dapat hidup bahagia, selamat dunia dan akhiratnya. Ia juga menuturkan, yang akan menentukan adalah tetap Tuhan, sedangkan manusia hanya berusaha. Penuturan senada, bagi Bapak Ali ketika ditanya “harapan Bapak untuk perubahan ke depan apa saja pak?”. Harapannya, pokoknya harapan saya jangan sampai didunia aja deh, tapi juga untuk di akhriat.” Jawabnya. Dari keterangan tersebut, sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa betapa besar harapan mereka akan masa depan. Baik masa depan mereka selama di dunia yang fana ini maupun masa depan di akhirat kelak yang abadi, seperti yang mereka yakini selama ini.

Dalam penjelasan lain tentang perekonomian pemulung, menurut Rodger yang dikutip oleh Septiarti, bahwa dalam sektor perbaikan ekonomi kelompok ini hanya mampu terlihat dan memperoleh mata pencaharian pada sektor-sektor informal, tidak lain karena tergolong unskilled labor. Akibatnya perolehan penghasilan mereka menjadi minimal dan tidak tetap serta sama sekali tidak ada jaminan sosial.selain itu disidang sosial kelompok ini ada pada strata terendah dalam masyarakat, dengan tingkat pendidikan rendah, atau sama sekali belum pernah menikmati bangku pendidikan. Jauh dari jangkauan fasilitas umum dan sebagai penghuni bangunan sementara di lahan yang kosong atau sebagai wilde ccupatie, maka acapkali tingkat kebersihan, kebutuhan akan air minum, sanitasi tidak memenuhi standart kesehatan (Septiarti dalam Cakrawala Pendidikan, 1994:11-12).


(46)

Apa yang diutarakan oleh Rodger tersebut, memang ada persamaan dengan pemulung disini, terutama dengan persoalan ekonomi dan pendidikan. Namun dalam hal kondisi hunian untuk kasus disini, seperti yang telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya, adalah cukup berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Rodger tersebut. Karena, secara umum mereka sudah tinggal menetap dalam hunian yang semi permanen yang disewa atau dikontrak oleh mereka. Selain itu, mereka telah menjadi anggota masyarakat setempat telah terorganisir dan terkontrol baik, sehingga kondisinya sedikit lebih baik dari mereka yang kurang terorganisir dan tinggal dalam hunian yang tidak jelas statusnya. Untuk kebutuhan air minum yang bersih dan sehat pun disini terpenuhi dengan baik.

Itulah beberapa deksripsi seputar perekonomian pemulung, yang memang tergambar dalam penelitian ini. Kemudian untuk keadaan pendidikan pemulung ini akan dibahas dalam permbahasan selanjutnya di bawah ini.

b. Seputar Pendidikan

Menurut Rodger seperti dikutip oleh Septiarti (1994), untuk orang-orang seperti ini, dibidang sosial ada pada strata “terendah” dalam masyarakat, dengan tingkat pendidikan rendah, atau sama sekali belum pernah menikmati bangku pendidikan jauh dari jangkauan fasilitas umum.

Berdasarkan pengamatan dan informasi, seperti yang sebelumnya telah diutarakan, untuk pendidikan mereka umumnya memang terbilang rendah. Sangat jarang ditemui yang berpendidikan menengah apalagi pendidikan tinggi. Informan Maman (bukan nama sebenarnya), menuturkan karena faktor pendidikan mereka


(47)

kurang dan faktor tidak punya uang untuk modal, maka bekerja sebagai pemulung yang memang gratis dan tidak membutuhkan modal yang besar lebih baik ia menambahkan, rata-rata pemulung disini untuk pendidikannya adalah SD kelas enam dan SMP kelas tiga.

Untuk kasus pendidikan para pemulung ini ada kesamaan dengan apa yang diutarakan oleh Rodger tersebut. Berdasarkan keterangan tersebut, bila pendidikan para pemulung dikelompokkan menjadi dua yaitu pendidikan rendah untuk mereka yang tidak pernah sekolah dan yang pernah menduduki Sekolah Dasar (SD) dan pendidikan tinggi untuk mereka yang mencapai tingkat SLTP atau yang sederajat sampai Perguruan Tinggi atau Akademi. Maka pemulung yang ada disini untuk tingkat pendidikannya dapat dikatakan masih rendah.

Walaupun keadaan pendidikan mereka relatif rendah, namun secerah harapan untuk pendidikan, terutama harapan adanya perbahan kearah kemajuan dalam pendidikan generasi setelah mereka yakni putera-puterinya cukup besar. Seperti penuturan Ibu Yani (bukan nama sebenarnya) beserta suaminya, mereka tidak mau putra-putrinya berhenti sekolah, sekalipun hanya pada tingkat Sekolah Dasar saja. Mereka senang dan berharap agar anak-anak mereka tetap sekolah (mendapatkan pendidikan, pen). Harapan lainnya, seperti penuturan informan Ali, mengharapkan anak-anaknya dan juga anak-anak pemulung lainnya mendapatkan perhatian dan tunjangan pendidikan, baik dari pemerintah maupun instansi lainnya yang merasa turut peduli akan keadaan mereka.

Dari beberapa keterangan tersebut, dipahami bahwa harapan mereka, terutama untuk perbaikan pendidikan anak-anak mereka sebagai generasi penerus mereka


(48)

cukup besar. Mereka tidak menginginkan anak-anak mereka mengalamai keadaan (nasib) yang sama dengan mereka.

Pada masa sekarang, terutama dengan semakin melambungnya biaya pendidikan, bagi orang-orang seperti mereka adalah cukup menjadi beban. Dimana, harapan-harapan mereka untuk menyekolahkan anak-anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi menjadi bahan pertimbagan tersendiri. Terutama alasan biaya, adalah menjadi salah satu pertimbangannya.

Kenyataannya, memang masih banyak orang-orang dasn anak-anak terutama yang masa depannya masih menjadi tanda tanya besar. Dan sekiranya kasus orang-orang ini menjadi bahan renungan tersendiri bagi kita yang memang peduli dan mau peduli, terutama pada seputar persoalan bangsa ini.

c. Seputar Sosial

Moeliono dan Anggal menjelaskan bahwa, selain mereka bekerja di sektor informal, hidup secara subsisten dari hari ke hari. Mereka jadi massa mengambang secara sosial dan politik. Mereka terabaikan dan tak terlayani oleh berbagai bentuk pelayanan formal, seperti pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, partisipasi politik, dan lain-lain (dalam Atma Nan Jaya, 2000). Berdasarkan informasi, berkenaan dengan kasus pada pemulung disini, sedikit berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Moeliono dan Anggal. Walaupun mereka statusnya sebagai pendatang atau migran, mereka telah mampu beradaptasi. Kemungkinan adaptasi ini berkenaan dengan keberadaan mereka yang telah cukup lama dan telah kenal luas masyarakat di sekelilingnya. Nampak, dalam kurun waktu yang telah cukup lama tersebut mereka


(1)

keluarganya masing-masing. Latar belakang ini secara keseluruhan ternyata membuat menjadi ulet serta dalam menghadapi situasi bekerja saat ini.

Para pemulung barang bekas ini rata-rata termasuk orang yang berani mengambil resiko dalam bekerja. Melihat dari status pekerjaan mereka saat ini secara khusus belum mendapat perhatian dari pemerintah, mereka tidak begitu risau akan nasib yang akan diterima kelak. Mereka pada umunya sadar akan kesinambungan pekerjaan mereka ini nantinya, namun mereka juga tidak kelihatan terlalu takut untuk setiap tindakan yang mereka terima kelak. Para pekerja sektor informal sebagai mana disebutkan sebelumnya merupakan orang-orang yang tidak begitu mau tergantung pada orang lain. Khusus bagi pemulung barang bekas kenyataan ini jelas dapat dibuktikan. Misalnya untuk salah seorang pemulung barang bekas memberi kepuasan tersendiri baginya dan bekerja untuk orang lain baginya hanyalah sesuatu yang membosankan karena tidak bisa untuk bergerak bebas.

Demikian halnya pemulung barang bekas lainnya seperti Khrisnayan juga memiliki latar belakang pengalaman bekerja lain yang cukup lama dan akhirnya memperoleh kepuasan bekerja sebagai pemulung saat sekarang ini. Secara umum dapat dianalisa bahwa mereka ini bekerja biasanya tidak begitu senang untuk diperintah orang lain atau tergantung atas perintah orang lain.

Sebagaimana kita lihat bersama pada kenyataannya jumlah para pemulung barang bekas ini dari hari kian bertambah saja. Tidak hanya dari kalangan etnik Batak saja sebagai perintis pekerjaan ini, tetapi juga sudah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tahun 1972 sebagaimana telah dijelaskan oleh Titik Handayani (1993:325) yang memberikan ciri-ciri tersebut padanya antara lain mudah dimasuki siapa saja, menggunakan SDM, bersifat padat karya dan umumnya dimiliki oleh keluarga.

Seperti kita ketahui bersama bahwa para pemulung dalam penelitian ini adalah berasal dari etnik Batak. Etnik Batak disamping etnik Jawa dan sukung bangsa lainnya yang terdapat di Indonesia juga memiliki nilai-nilai tertentu yang terkandung di dalam khasanahnya yang memberikan pengaruh terhadap bidang pekerjaanya sekarang ini. Etnik Batak mengenal dengan apa yang mereka sebut sebagai takdir


(2)

(nasib). Keyakinan akan takdir (nasib) ternyata menjadikan orang toba selalu pasrah akan sesuatu yang dimiliki atau dihadapinya. Menjadi seorang pemulung barang bekas bagi mereka sudah merupakan takdir yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini terbukti dari hasil wawancara yang diperoleh dari mereka, dimana secara umum berpendapat bahwa menjadi seorang pemulung barang bekas sudah merupakan nasib dan kelihatan tidak ingin lagi untuk beralih ke jenis pekerjaan lainnya walaupun peluang untuk itu masih ada.

5.2. KESIMPULAN

Dalam bab pendahuluan telah diuraikan bahwa setiap individu dalam melangsungkan kehidpannya akan melakukan penyesuaian diti terhadap lingkungan yang dihadapi. Sehubungan dengan usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya interpretasi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan yang dirasakan yaitu tindakan untuk berurbanisasi dari desa ke kota.

Berhadapan dengan situasi ditempat yang baru, seorang individu akan berusaha memahami lingkungan tersebut sebelum menentukan sikap dan memilih cara yang terbaik dalam menghadapi tantangan yang ada. Demikian juga terhadap para pemulung barang bekas, mereka dengan memiliki kemampuan yang terbatas akan mencoba memahami dan memilih tindakan yang dimiliki sesuai dengan situasi yang dihadapi.

Pemulung barang bekas tersebut sebagai pendapat memilih mata pencaharian seperti memulung barang bekas, karena dalam melakukan pekerjaan itu tidak diperlukan pendidikan yang bersifat resmi atau keterampilan khusus, tetapi cukup dengan kemauan, keuletan dan tenaga fisik saja. Sehubungan dengan itu kemudahan memasuki lapangan pekerjaan sebagai pemulung barang bekas di lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Kotamadya Medan di desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang. Karena adanya sumber daya seperti mengandalkan tenaga fisik yang dibutuhkan ditempat tersebut tanpa adanya persyaratan yang terlalu berat. Tempat tinggal selalu tersedia walaupun mesti


(3)

menyewa dengan sewa yang relatif murah, dan diberi ijin untuk tinggal oleh kepala dusun setempat.

Adanya kesempatan bekerja di TPA Sampah desa Namo Bintang serta kemungkinan untuk tetap bertahan hidup dapat dirasakan apabila mereka tetap menjalankan hubungan dengan mentaati aturan-aturan yang telah ditentukan baik oleh kepala dusun setempat maupun oleh majikan / penadah.

Hal ini dapat dilihat dari kegiatan ekonomi yang diperoleh dari pemulung barang bekas. Mereka mempunyai sumber pendapatan yang relatif tetap untuk menjamin pemenuhan kebutuhan hidup mereka agar tidak sampai kelaparan. Maksudnya penghasilan yang mereka peroleh sebagai pemulung barang bekas mampu untuk menunjang kebutuhan rumah tangga mereka, dan mereka memilih sebagai pemulung barang bekas karena mata pencaharian ini sesuai dengan kemampuan mereka yang kurang memerlukan pendidikan sehingga hanya dapat menjual tenaga fisik saja.

Mereka dalam rangka melangsungkan kehidupan di kota untuk memenuhi kebutuhan dasar harus menghadapi kenyataan bahwa hubungan baik yang mereka miliki dengan kerabat di daerah asal sangatlah kecil artinya untuk memperbaiki keadaan dan kesejahteraan hidup mereka. Salah satu pilihan dan usaha yang dilakukan oleh pemulung barang bekas dalam menghadapi masalah itu adalah dengan membina hubungan baik dengan orang-orang yang dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi seperti berhubungan dengan majikan / penadah barang-barang yang mereka kumpulkan di tempat mereka bekerja, dengan petugas keamanan, dengan pemilik warung dan hubungan mereka dengan supir truk pengangkut kontainer ke TPA.

Hubungan-hubungan dengan orang-orang tersebut berjalan cukup baik walaupun kadang-kadang ada ganjalan-ganjalan kecil yang harus mereka hadapi. Ganjalan ini bersumber dari reaksi terhadap persaingan hidup yang keras di kota. Sebagian dari mereka tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang kurang baik karena status yang mereka miliki adalah status sosial yang paling bawah.


(4)

Dengan demikian para pemulung barang bekas sebagai pendatang di kota dapat tetap bertahan hidup oleh karena mereka mendapatkan sumber penghasilan yang memenuhi kebutuhan dasar yaitu dengan cara menjalin hubungan baik denga orang-orang yang ada disekitar mereka, baik hubungan antara mereka sendiri ataupun dengan tetangga yang bersangkutan, yang mereka anggap seperti saudara sendiri. Hal ini terwujud dari sikap mereka dalam pesta-pesta yang berlangsung seperti upacara keagamaan, upacara-upacara adat dan sikap mereka menghadapi masalah-masalah ketertiban sosial yang berlaku dalam kelompok atau yang berlaku pada daerah yang mereka diami.

Corak dari struktur sosial pemulung barang bekas merupakan corak yang masih sederhana. Hal ini diketahui berdasarkan atas kesederhanaan pada status dan peranan masing-masing individu yang bersumber pada jumlah dan keaneka ragaman pranata yang terbatas. Mereka hidup dalam kesatuan atau kelompok kecil yang mempunyai serangkaian aturan-aturan dan dipakai untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan warganya. Corak dan struktur sosial mereka merupakan hasil kombinasi dai sistem kekerabatan, sistem tolong menolong, sistem norma dan sistem stratifikasi sosialnya.

Pada sektor lain, mereka dianggap sebagai pendekar-pendekar pada sektor industri di perkotaan, karena barang-barang bekas yang mereka kumpulkan masih berfungsi sebagai bahan untuk diolah kembali menjadi barang-barang yang baru dan dapat dipergunakan melalui proses pengolahan.

5.3. SARAN

Saran yang perlu diutarakan disini berupa harapan yang disampaikan kepada pihak-pihak yang erat hubungannya dengan pemulung barang bekas. Harapan utama kepada pemulung barang bekas agar lebih giat dalam mencari barang-barang bekas demi kesejahteraan kehidupan keluarga, dengan kata lain tidak hanya cukup untuk makan, tetapi pendidikan anak juga agar lebih diperhatikan.

Demikian juga untuk masyarakat umum agar mau memberikan kepedulian terhadap pemulung, misalnya memilih sampah menurut kegunaannya denga tujuan sipemulung lebih mudah memperolehnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Helen, S, 1985, Jungkir Balik Tentang Informal, Kompas, Jakarta

Edi, Purnomo dan Edi Gunawan, 1993, Study Tentang Pendapatan Pedagang Sektor Informal Di Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kodya Bandar Lampung, dalam Buletin Ilmiah Universitas Lampung.

Geertz, Clifford, 1973, Penjajah dan Raja, Gramedia, Jakarta

Hart, Keith, 1985, Sektor Informal, Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, Gramedia, Jakarta.

Hidayat, 1978, Peranan Sektor Informal dalam Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Jakarta.

Juoro, Umar, 1985, Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi Bukan Kawan Seiring, dalam Prisma No. 10/12 Tahun XII November / Desember

Koentjaraningrat, 1986, Penggunaan Data : Pengalaman Individu dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta

Manning, Chirs dan Tadjuddin N Effendy, Urbandisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, Gramedia, Jakarta

Moleong, Lexy, 1994, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung

Pelly, Usman, 1993, Pandangan Tentang Makna Hidupdan Tradisionalitas Masyarakat, Kasus Sumatera Utara, dalam seminar Orientasi Sosial Budaya ke III, Banjar Masin.

Rachbini dan Hamid, 1994, Ekonomi Informal Perkotaan, LP3ES, Jakarta

Ramli, Rusdi, 1992, Sektor Informal Perkotaan Pedagang Kaki Lima, Ind-Hill Co, Jakarta.

Sobari, Muhammad, 1986, Orang Jawa di Tanjung Pinang : Potret Tiga Keluarga Tukang Ojek, dalam Masyarakat Indonesia, Majalah ilmu-ilmu sosial Indonesia, No. 1 Tahun XII, Jakarta.


(6)

Swasono, Sri Edi, 1986, Sektor Informal : Pembinaan Masyarakat dan Pembinaan Ekonomi, Warta Demografi, Jakarta Lembaga FE UI.

Suparlan, Parsudi, 1984, Kemiskinan di Perkotaan, Sinar Harapan, Jakarta

Syahrar, Kartini, 1985, Wanita Beberapa Catatan Antropologi, dalam prisma No. 10 Tahun XIV Oktober.


Dokumen yang terkait

Kondisi Kehidupan Sosial Ekonomi Buruh Harian Lepas di Kelurahan Muliorejo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang

7 122 122

Pengaruh Pengembangan Industri Kerupuk Opak Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus : Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang)

0 24 111

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

5 82 169

Tinjauan Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga Pemulung di Desa Tapian Nauli Lingkungan IX Kelurahan Sunggal Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan

0 5 102

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

0 0 14

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

0 0 2

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

0 0 16

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

0 0 41

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

0 0 2

Dampak Peralihan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Terhadap Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Pemulung di Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu, Kabupatem Deli Serdang

0 0 24