PENGARUH PEMBELAJARAN PENDEKATAN RIGOROUS MATHEMATICAL THINKING (RMT) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEPTUAL, KOMPETENSI STRATEGIS, DAN BEBAN KOGNITIF MATEMATIS SISWA SMP BOARDING SCHOOL: Sekolah Berasrama.

(1)

ABSTRAK

Aan Hendrayana (2014). Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Rigorous Mathematical Thinking (RMT) terhadap Pemahaman Konseptual, Kompetensi Strategis, dan Beban Kognitif Matematis Siswa SMP Boarding School (Sekolah Berasrama).

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan pengaruh pembelajaran pendekatan RMT dan pembelajaran pendekatan langsung terhadap Pemahaman Konseptual Matematis (PKM), Kompetensi Strategis Matematis (KSM), dan Beban Kognitif Matematis (BKM) siswa SMP Boarding School (sekolah berasrama). Populasi penelitian ini adalah siswa SMP Boarding School dan sampelnya siswa SMP DT Boarding School Bandung. Selain faktor pembelajaran, dalam penelitian ini dilihat pula faktor gender, Kemampuan Awal Matematik (KAM), dan Gaya Belajar Matematis (GBM). Instrumen penelitian yang digunakan meliputi tes pemahaman konseptual, tes kompetensi strategis, dan kuesioner beban kognitif Matematik. Metode penelitian yang digunakan, yaitu metode campuran kual-KUAN. Analisis data yang digunakan pada fase kual adalah triangulasi, sedangkan fase KUAN, yaitu: uji t, uji ANOVA, uji Mann-Whitney U, uji Liniearitas dan uji Koefisien Regresi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran RMT mempunyai pengaruh yang lebih baik dibanding pembelajaran langsung terhadap PKM, KSM, dan BKM siswa. Dilihat dari faktor gender, KAM, dan GBM, secara umum siswa yang mendapat pembelajaran RMT juga lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran langsung. Pengelompokan atas dasar faktor-faktor tersebut tidak menjadi penentu perbedaan PKM, KSM, dan BKM.

Kata Kunci: rigorous mathematical thinking, pemahaman konseptual matematiks, kompetensi strategis matematis, beban kognitif matematis, sekolah berasrama.


(2)

ABSTRACT

Aan Hendrayana (2014). Effect of Rigorous Mathematical Thinking (RMT) Instruction to Mathematical Conceptual Understanding, Mathematical Competence Strategic, and Mathematical Cognitive Load of Junior High Boarding School Students.

This study aimed to compare the effect of RMT and direct instruction to the Mathematical Conceptual Understanding (MCU), Mathematical Strategic Competence (MSC), and Mathematical Cognitive Load (MCL) of boarding junior high school students. The population was students of junior high boarding school and the sampel are students of junior high school sample of DT Boarding School in Bandung. In addition to the learning factor, in this study also show the gender factor, Early Mathematics Ability (EMA), and Mathematical Learning Styles (MLS). The research instruments used include test for MCU and MSC and then questionnaires for MCL. The method used, the method mix Kual-KUAN. Analysis of the data used in the phase Kual is triangulation, while KUAN phases, namely: t-test, ANOVA, Mann-Whitney U test, test and test Liniearitas Regression Coefficients. In general, it can be concluded that the RMT instruction has a better effect than a direct instruction to MCU, MSC, and MCL of students. Judging from the gender factor, EMA, and MLS, in general, students who study RMT instruction is also better than the direct instruction. Grouping on the basis of these factors are not a decisive difference in MCU, MSC, and MCL.

Keywords : rigorous mathematical thinking, mathematical conceptual understanding, mathematical strategic competence, mathematical cognitive load, boarding school.


(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kecakapan matematis adalah salah satu syarat mencapai kemajuan di jaman modern (NRC, 2002:16; Hudojo, 2004:45). Kecakapan ini merupakan bekal untuk menghadapi abad ke-21 yang serba kompetitif (Kilpatrick, Swafford,

& Findell, 2001:1). Oleh karena itu, kecakapan tersebut merupakah hal yang perlu

dicapai agar menjadi kompetitif dan tidak ketinggalan jaman.

Pentingnya kecakapan matematis membuat bangsa-bangsa memprioritaskan matematika sebagai pelajaran utama di sekolah yang perlu diperhatikan (NRC, 2002). Hanya sayang, kebanyakan siswa di sekolah sulit untuk menguasai matematika (Susilo, 2004:4). Walaupun, kadang kesulitan tersebut sengaja dibuat secara sengaja untuk melatih dan membiasakan siswa agar terbiasa dalam aktifitas berpikir dan aktifitas memecahkan masalah (Reys, dkk., 2009:1; Hudojo, 2001:45). Oleh sebab itu, wajar kemudian bila kecakapan matematika menjadi wahana untuk menjadikan seseorang menjadi kompetitif karena di dalamnya ada pembiasan menghadapi masalah sulit.

Kesulitan dalam menguasai matematika sangat beralasan karena matematika merupakan mata pelajaran yang menuntut siswa untuk berpikir logis, sistematis, dan reflektif, serta membutuhkan usaha-usaha yang tekun, teliti, dan sungguh-sungguh (NRC, 2002:16; Reys, dkk., 2009:1-3). Sekalipun kadang persoalan matematika sengaja dibuat sulit untuk tujuan latihan menghadapi masalah dan menyelesaikannya tetapi perlu ada pembekalan pada siswa bagaimana tips dan trik agar mereka terbiasa dan dapat memecahkan masalah dengan baik atau setidaknya memahami langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah.


(4)

Untuk mencapai kecakapan matematis diperlukan lima komponen, yaitu: pemahaman konseptual (conceptual understanding), kompetensi strategis (strategic competence), kelancaran dalam prosedur pengerjaan (procedural fluency), penalaran adaptif (adaptive reasoning), dan disposisi yang produktif (productive disposition) (NRC, 2002:16; Kilpatrick, Swafford, dan Findell,

2001:1). Pemahaman konseptual, yaitu: pemahaman konsep matematika,

operasinya, serta membuat hubungan antara konsep. Kelancaran dalam prosedur pengerjaan adalah kelancaran dalam melakukan operasi yang bisa dilakukan atau dengan kata lain kemampuan memecahkan masalah yang rutin. Kompetensi strategis, yaitu: kemampuan untuk merumuskan, merepresentasikan, dan memecahkan masalah matematika yang tidak rutin. Penalaran adaptif adalah bagaimana siswa dapat menilai apakah suatu pemecahan masalah benar dan masuk akal. Oleh karena itu, Kemampuan ini mempunyai kemiripan dengan berpikir reflektif. Selanjutnya, disposisi matematis adalah sikap positif terhadap matematika. Sikap positif ini tidak lepas dari penguasaan pemahaman konseptual, kompetensi strategis, kelancaran prosedur, dan penalaran adaptif matematis yang baik sebagaimana pendapatnya Feuerstein (2009) bahwa disposisi matematika berkembang menjadi baik ketika pengelolaan domain kognitif dicapai secara baik. Dua komponen dari lima komponen kecakapan matematis yang penting untuk dicermati lebih mendalam, yaitu: Pemahaman Konseptual Matematis (PKM) dan Kecakapan Strategis Matematis (KSM). Sekalipun lima komponen itu saling berkaitan erat, namun dua komponen ini memiliki peran lebih penting dari kecakapan lainnya. Pemahaman konseptual matematis (PKM) memiliki peran penting karena dengan kemampuan ini siswa dapat mengingat kembali suatu konsep dengan baik ketika lupa. Selanjutnya, penguasan PKM yang baik akan menjadikan siswa mudah dalam membangun hubungan untuk memahamai ide dan konsep baru (Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001:120). Oleh karena itu, kemampuan PKM yang lemah akan menjadikan siswa menjadi bingung, frustasi, dan cemas ketika menghadapi konsep baru dari matematika. Akibat berikutnya,


(5)

tidak tercapainya kemampuan ini akan menjadikan siswa menolak untuk belajar matematika karena pembelajaran tidak memberi makna pada mereka (Orton, 2004:2). Sebagai ilustrasi, ketika siswa dihadapkan persoalan mencari luas jajarangenjang sementara mereka tidak hafal rumus mencari luasnya maka mereka tidak kesulitan mencari luas jajarangenjang tersebut asalkan mereka paham konsep kekekalan luas (gambar 1.1).

Gambar 1.1. Mencari Luas Jajarangenjang.

Kesulitan siswa dalam menghadapi persoalan matematika seringkali juga terjebak dengan miskinnya kecakapan dalam pemecahan masalah (Kinard & Kozulin, 2008:7). Ini artinya bisa jadi siswa dapat memahami, mengoperasikan, dan merelasikan konsep tetapi siswa tidak dapat memecahkan masalah karena tidak mempunyai kecakapan dalam pemecahan masalah yang baik. Adapun, kecakapan pemecahan masalah pada kecakapan matematika disebut kompetensi strategis matematis (Kilpatrick, Swafford & Findell, 2001).

Kompetensi Strategis Matematis (KSM) dibangun dari tiga komponen kemampuan, yaitu: merumuskan, merepresentasikan dan memecahkan masalah (Kilpatrick, Swafford, dan Findell, 2001:126). Tiga komponen kemampuan ini merupakan aktifitas penting untuk mencapai kompetensi dalam kehidupan nyata. Pertama, kemampuan merumuskan adalah penting karena kebanyakan persoalan yang ada di dunia nyata merupakan persoalan belum dalam bentuk model matematika sehingga perlu ada kecakapan untuk merumuskan dalam bentuk matematika. Untuk itu, kemampuan merumuskan memiliki peran sangat penting untuk memahami masalah. Kedua, kemampuan mereperesantasikan adalah kecakapan untuk menghadirkan persoalan dalam bentuk tabel, gambar, ataupun diagram. Kemampuan ini memberi jembatan untuk memperlihatkan bentuk abstrak ke bentuk konkrit atau semi konkrit. Dengan representasi ini, masalah lebih tergambarkan dan lebih konkrit sehingga tampak lebih mudah untuk


(6)

dipahami dan diselesaikan. Ketiga, kecakapan pemecahan masalah adalah kecakapan menyelesaikan masalah yang tidak langsung diketahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya berdasarkan pengalaman. Untuk itu, pencapaian kemampuan kompetensi strategis bagi siswa adalah penting untuk menjadi manusia yang kompetitif.

Sekolah merupakan salah satu lembaga formal untuk mencapai kemampuan pemahaman konseptual dan kompetensi strategis matematis siswa. Dua kemampuan itu dapat ditumbuh-kembangkan melalui pembelajaran di kelas. Untuk mencapai kecakapan tersebut, pembelajaran perlu memperhatikan keberagaman siswa (OECD, 2010a) karena pembelajaran yang mengakomodasi keberagaman menjadi lebih efektif, efesien, dan menarik (Paas, van Merrienboer, & van Gog, 2011: 3). Untuk itu, pembelajaran yang memperhatikan keragaman siswa merupakan tuntutan dalam sistem pendidikan di Indonesia (Sisdiknas, 1989). Tidak heran juga bila satu prinsip dari pembelajaran matematika adalah memperhatikan keberagaman siswa (NCTM, 2000:12-13). Keberagaman tersebut dapat berupa Latar Belakang Ekonomi Orang Tua (LBEOT), Gender (G), Kemampuan Awal Matematis (KAM) dan Gaya Belajar Matematis (GBM) siswa.

Keberagaman LBEOT siswa berpotensi mempengaruhi pemerolehan kecakapan belajar matematika siswa (OECD, 2010b). Orang tua yang mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup akan cenderung memfasilitasi anaknya dengan fasilitas belajar agar anaknya mencapai kemampuan-kemampuan yang diharapkan. Fasilitas yang diberikan orang tua dapat berupa: (1) buku pegangan, (2) buku pengkayaan, (3) fasilitas pendukung seperti komputer dengan aplikasi belajar dan koneksi internetnya, dan (4) pendampingan mediasi belajar berupa bimbingan belajar atau bimbingan private (individual). Sedangkan orang tua yang tidak mempunyai kemampuan yang cukup mempunyai potensi untuk tidak dapat memfasilitasi anaknya dengan baik. Hal ini dapat memunculkan potensi masalah bagi anak sehingga anak tersebut tidak dapat mencapai kemampuan-kemampuan yang diharapkan secara optimal.


(7)

Selain keberagaman LBEOT, keberagaman KAM siswa juga dapat berkontribusi pada pemerolehan kemampuan PKM dan KSM siswa. Siswa dengan KAM tinggi lebih mudah untuk mencapai kecakapan tersebut karena siswa dengan KAM ini telah mempunyai banyak skema tentang konsep matematika (Sweller, 1988). Akibatnya, mereka lebih mudah untuk mencapai kecakapan PKM dan KSM. Sedangkan bagi KAM sedang dan rendah itu tidak mudah karena skema pembangun kecakapan dari PKM maupun KSM belum lengkap. Dengan kondisi ini, pembelajaran tidak hanya memberikan konsep baru tetapi juga harus dapat melengkapi prasyarat skema untuk mencapai kecakapan PKM dan KSM agar dapat juga mengakomodasi siswa KAM sedang dan rendah.

Keragaman GBM harus juga mendapat perhatian dari guru. Keberadaan GBM siswa ini tidak terlepas dari faktor lingkungan belajar, pendekatan pembelajaran, dan fasilitas belajar yang tersedia (Pritchard, 2009:42). Faktor-faktor tersebut membentuk siswa untuk mempunyai GBM tertentu. Siswa yang biasa melakukan sesuatu secara mandiri dan sering dihadapkan pada soal problem solving (soal tidak rutin) maka mereka berpotensi mempunyai GBM Self-expressive Learning (SL). Siswa yang terbiasa berkolaborasi dengan rekan berpotensi menjadi siswa mempunyai GBM Interpersonal Learning (IL). Siswa yang terbiasa untuk menunggu penjelasan dan prosedur pengerjaan setahap demi setahap sampai jelas berpotensi mempunyai GBM Mastery Learning (ML). Dan siswa yang dibiasakan untuk bertanya dan bernalar terkait konsep yang diberikan dan biasa berhadapan dengan soal problem solving berpotensi mempunyai GBM Understanding Learning (UL). Untuk itu, aktifitas pembelajaran perlu mempertimbangkan keempat gaya belajar siswa kalau tidak maka pembelajaran tidak menciptakan keadilan dilhat dari sisi GBM.

Masalah keragaman siswa terjadi di semua sekolah. Namun, masalah keragaman yang dapat memunculkan masalah besar ada di sekolah berasrama berbasis islam. Hal itu terjadi karena sekolah berasrama berbasis islam (islamic boarding school) menuntut untuk mendisiplinkan siswanya agar terbiasa dengan


(8)

kebiasaan dan fasilitas yang relatif sama (Ulfiani, 2012). Sementara itu, siswa datang dari latar belakang keluarga, fasilitas, dan kebiasaan yang berbeda sehingga hal ini dapat menimbulkan shock (kekagetan yang cenderung negatif), khususnya bagi siswa baru masuk. Hal ini dapat berakibat buruk pada siswa, seperti: tidak fokus belajar, sakit-sakitan, dan bahkan memilih untuk pindah sekolah, khususnya pada siswa yang tidak mempunyai kesiapan metal yang kuat untuk berada di sekolah berasrama dan tidak mendapat dorongan yang kuat dari keluarga. Selain dari itu, kondisi siswa seperti ini dapat berakibat homesick (rindu dengan kondisi di rumah) yang berlebihan yang dapat berakibat buruk pada siswa. Gejala homesick dapat berupa sakit-sakitan dan meminta keluar dari sekolah (Boyce dan Boyce, 1983; Fisher, Eurelings-Bontekoe, Vingerhoets, & Fontijn, 1994). Akibat dari itu, banyak siswa pada tahun pertama di sekolah model ini mempunyai masalah dalam belajar di kelas dan tidak tuntas dalam mengerjakan tugas (Frazer & Murray, 1984). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di tiga sekolah berasrama di Indonesia, ada temuan bahwa selalu ada siswa yang pindah sekolah dan intensitas ijin siswa sangat tinggi karena sakit di semester pertama pada setiap tahunnya.

Siswa di sekolah berasrama akan memunculkan beberapa masalah belajar yang berbeda dengan siswa pada sekolah umum. Pertama, pemberlakuan kebiasaan dan fasilitas belajar yang cenderung sama akan memunculkan masalah dalam kecakapan belajar, khususnya matematika (NCTM, 2000, 11). Kedua, banyak siswa yang terbiasa berkolaborasi dengan rekan beda Gender (G) sedangkan di sekolah berasrama siswa beda gender dipisah dengan alasan religi dan ada kesan menomorduakan gender wanita (Haini, 2013). Ketiga, sebagian anak sudah terbiasa dengan pembelajaran tidak langsung, sebagian lagi terbiasa dengan pembelajaran langsung. Keempat, sebagian anak dengan KAM tertentu mempunyai skema lengkap, sebagian lagi tidak. Terakhir, sebagian anak biasa belajar dengan GBM tertentu yang membutuhkan fasilitas dan pendekatan yang


(9)

berbeda tetapi di sekolah berasrama kecenderungan mereka diperlakukan sama baik di kelas maupun di luar kelas.

Permasalahan belajar matematika siswa di sekolah berasrama perlu diperhatikan dan didapatkan solusinya oleh sekolah, khususnya oleh guru. Bila tidak diperhatikan maka siswa akan terus menumpuk kesulitan belajarnya. Kesulitan belajar akan menimbulkan persepsi diri yang tidak baik (Nurhadi, 2013). Persepsi tidak baik ini dapat memunculkan masalah akademik dan non akademik. Selain dari itu, kesulitan belajar tidak hanya berakibat pada prestasi belajar semata tetapi juga pada hubungan sosialnya (Octyvera, Siswati, & Sawitri, 2010). Kondisi ini akan membuat siswa menjadi putus asa dengan dua akibat, yaitu keluar sekolah tidak pada waktunya atau tidak mencapai kompetensi yang diharapkan pada akhir masa studi, contohnya tidak lulus Ujian Nasional (UN). Pada akhirnya, orang tua akan menuntut sekolah karena peran pendidikan dan pembimbingan siswa hampir semuanya diserahkan pada sekolah berasrama. Untuk itu, guru harus dapat memilih dan menerapkan pendekatan pembelajaran berorientasi pada kondisi keragaman yang terjadi di sekolah berasrama sehingga siswa tidak kesulitan dalam menerima materi pelajaran.

Secara umum, pemilihan pendekatan pembelajaran yang diadopsi oleh guru di sekolah agar siswanya mencapai kompetensi yang diharapkan terdiri dari tiga kelompok, yaitu: pembelajaran langsung, tidak langsung, dan gabungan (Suryadi, 2007). Pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang mengenalkan pemahaman konsep dan kompetensi strategi dengan memberitahukan ke siswa secara langsung, baik melalui metode penjelasan (ekspositori) maupun metode demonstrasi. Selanjutnya, pembelajaran tidak langsung adalah pembelajaran yang mengenalkan pemahaman konsep dan kompetensi strategi dengan memberikan masalah yang kemudian siswa dapat menemukannya sendiri ataupun berkelompok melalui bimbingan (guided) atau tanpa bimbingan guru. Pembelajaran gabungan adalah pembelajaran yang mengambil kelebihan dari pembelajaran lansung dan tidak langsung.


(10)

Terkait dengan pembelajaran pendekatan langsung, banyak penelitian yang telah dilakukan menganalisis hasil dari pembelajaran ini. Dari penelitian-penelitian itu berkesimpulan bahwa pembelajaran pendekatan langsung tidak meninggalkan pemahaman yang mendalam dan membuat makna yang berakibat pada kompetensi matematika siswa yang lemah (Hiebert, Stigler, & Manaster, 2009; Kinard & Kozulin, 2008;6). Selain dari itu, ketidakbermaknaan dalam pembelajaran langsung membuat siswa tidak dapat menyerap pengetahuan dengan baik (Ausuble & Robinson, 1969:53). Untuk itu, pendekatan pembelajaran ini tidak terlalu diapresiasi dalam matematika. Namun perlu dicatat, pembelajaran ini mempunyai kelebihan, yaitu tidak banyak meninggalkan salah konsep, mengenai matematika, khususnya siswa dengan kemampuan rendah (Peterson & Fennema, 1985; Kinard & Kozulin, 2008;6).

Terkait dengan pembelajaran pendekatan tidak langsung, pembelajaran ini sedang mendapat apresiasi di kalangan akademisi dan praktisi pembelajaran, guru maupun dosen. Banyak penelitian pada pelajaran matematika dan lainnya mengunggulkan pendekatan pembelajaran ini (Tarmizi & Bayat, 2012). Pendekatan pembelajaran ini berkembang dengan baik karena sesuai dengan aliran perkembangan psikologi belajar dari Piaget yang merupakan aliran psikologi kognitif yang juga mendapat tempat baik dari para akedemisi (Tobias & Duffy, 2009:i; Sweller, 2009: 127). Sekalipun begitu, ada beberapa penelitian pembelajaran yang menyimpulkan bahwa pembelajaran pendekatan tidak langsung merugikan siswa KAM rendah. Menurut Kirschner, Sweller & Clark, (2006) bahwa banyak penelitian pada pembelajaran tidak langsung mensimpulkan siswa dengan kemampuan sedang dan rendah mencapai kompetensi yang tidak diharapkan, bahkan dalam beberapa penelitian hasil tes awal lebih baik dari tes akhir. Selain dari itu, pembelajaran tidak langsung yang mengedepankan soal problem solving cenderung tidak mengakomodasi GBM siswa ML dan UL (Strong, dkk, 2004).


(11)

Salah satu contoh pembelajaran pendekatan tidak langsung yang populer adalah pembelajaran berbasis masalah (PBL). Banyak penelitian menyimpulkan bahwa PBL berhasil meningkatkan kompetensi matematik siswa (Tan, 2003). Namun, bagi siswa dan guru yang tidak siap dengan pembelajaran ini ternyata meninggalkan Beban Kognitif Matematis (BKM) pada siswa KAM rendah. Beban kognitif adalah kelebihan informasi pada memori kerja (working-memory) (Kirschner, Sweller dan Clark, 2006). Pada PBL misalnya, siswa dihadapkan dengan persoalan di awal pembelajaran. Persoalan yang diberikan adalah persoalan dunia nyata dan tipe soal pemecahan masalah. Contoh, siswa kelas VII diberi persoalan luas dengan bentuk belah ketupat (gambar 1.2), sebelumnya mereka sudah dibekali konsep luas. Mereka diminta untuk menemukan cara menghitung luas daerah belah ketupat dengan cara beragam, yang kemudian dapat menghasilkan generalisasi. Pada kasus tersebut akan mucul beberapa kesulitan. Kesulitan pertama, mereka membuat manipulasi geometri tidak mengarah pada konsep yang telah mereka kuasai sebelumnya. Siswa dituntut untuk mengaktifkan materi prasyarat terkait masalah yang diberikan dan dapat mengarahkan diri (Tan, 2003:35). Padahal, tidak semua siswa mempunyai pemahaman yang baik dan skema yang lengkap terkait dengan materi prasyarat, khususnya bagi siswa dengan kemampuan rendah dan sedang (Kinard & Kozulin, 2008).

Gambar 1.2. Belah Ketupat

Kesulitan kedua, siswa tidak mudah membuat perumusan ke dalam bentuk formal matematika, seperti memberikan ukuran panjang dengan p atau lebar dengan l atau tinggi dengan t atau sisi dengan s. Intinya, mereka akan sering terjebak dengan keengganan dengan penggunaan simbol sebagai bagian dari bahasa matematika. Hal ini diakibatkan karena mereka kesulitan mentransfer bahasa sehari-hari ke bahasa matematika (Kinard & Kozulin, 2008).


(12)

Kesulitan ketiga, anak dengan kemampuan kurang sering terjebak dengan kesalahan-kesalahan penghitungan yang berakibat tidak dihasilkannya solusi yang benar. Guru biasanya tidak telalu mengindahkan persoalan ini, padahal kelancaran dalam penghitungan dapat berakibat fatal pada pencapaian pemecahan masalah dan dapat berakibat buruk pada pengembangan konsep berikutnya (Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001:160).

Kesulitan keempat, siswa dengan kemampuan lemah tidak dapat menilai apakah suatu pekerjaan sudah benar atau tidak karena mereka tidak mempunyai skema yang lengkap mengenai matematika. Sebagai gambaran, ketika mereka diminta untuk membandingkan pekerjaan rekannya, yang guru anggap benar, mereka akan kesulitan memberikan pembenaran terhadap hasil yang berbeda-beda dengan persoalan yang sama karena kapasitas kemampuan mereka untuk menilai tidak cukup lengkap (Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001:164).

Kesulitan-kesulitan siswa dalam menghadapi masalah matematika, khususnya pada siswa yang kurang, diyakini akibat kurang lengkapnya skema yang ada pada memori jangka panjang (Sweller, 1988). Ketidaklengkapan skema mengakibatkan kelambatan dalam menyelesaikan masalah. Ketika masalah diminta selesaikan dalam waktu singkat dan pada saat itu dibutuhkan banyak informasi dan konsep matematika maka memori kerja (working-memory) mereka kelebihan muatan, padahal memori kerja terbatas pada 7±2 informasi yang diproses (Miller, 1956). Semakin rumit masalah maka akan menimbulkan beban kerja memori kerja semakin tinggi. Dan sebaliknya, semakin mudah masalah akan menimbulkan efek bosan (expertise reversal effect) pada siswa dengan kemampuan tinggi (Sweller, dkk., 2003)


(13)

Gambar 1.3. Beragam Manipulasi Siswa dari Belah Ketupat

Kesulitan-kesulitan siswa berkemampuan lemah akibat dari kurangnya kecakapan dalam mengelola memori kerja (Shell, 2010:1). Kurang cakap dalam mengelola memori kerja akan berakibat pada kelebihan muatan pada memori kerja. Kondisi ini disebut beban kognitif (Sweller, 1988). Semakin besar beban kognitif pada suatu pembelajaran maka pembelajaran tidak efektif (Paas, 1992). Untuk itu, bila dalam pembelajaran mempunyai tingkat beban kognitif yang tinggi maka perlu ada evaluasi dan perbaikan yang dilakukan agar tingkat beban kognitif menjadi lebih rendah. Memperhatikan hal ini, temuan dari Kirschner, Sweller, & Clark (2006) yang mengatakan bahwa proses pembelajaran tidak langsung meninggalkan beban kognitif yang tinggi adalah beralasan karena siswa dengan kemampuan yang kurang tidak mempunyai skema yang lengkap terkait masalah yang mereka hadapi. Ketidaklengkapan skema berakibat pada pengelolaan informasi tidak bagus yang berujung pada bertumpuknya informasi pada memori kerja (Sweller, 1988). Kondisi ini sejalan dengan temuan Pass (1992) bahwa beban kognitif dapat menjadi prediktor bagi siswa berkemampuan rendah.


(14)

Dengan paparan di atas berakibat pada target pencapaian kemampuan pemecahan masalah pada pembelajaran tidak langsung perlu dikaji ulang, khususnya untuk siswa KAM rendah. Sweller (1994) mengatakan bahwa ketika siswa dapat menyelesaikan soal pemecahan masalah tetapi tidak membuat pembentukan skema pada mentalnya maka pencapaian tersebut tetap tidak menjadi bekal yang berpengaruh secara signifikan pada pencapaian kemampuan berikutnya. Artinya bahwa ketika siswa dapat menyelesaikan suatu persoalan pemecahan masalah bukan dengan spontan disimpulkan bahwa ada progres pencapaian kemampuan yang signifikan pada siswa.

Memperhatikan kasus pembelajaran tidak langsung, semestinya pembelajaran memberikan aktifitas yang memfasilitasi siswa untuk mengaktifkan skema terkait materi, perangkat, dan strategi prasyarat terlebih dahulu sehingga siswa kemampuan rendah tidak tertinggal jauh dalam pembelajaran. Padahal, satu prinsip dalam pembelajaran adalah siswa dapat mengaktifkan skema terkait dengan pembelajaran yang diberikan (Merrill, 2007; Tan, 2003). Untuk itu, kesiapan skema merupakan hal penting dalam pemecahan masalah matematika.

Pembentukan skema sangat bergantung dengan prasyarat kognitif (Kinard & Kozulin, 2008:81). Atau dengan kata lain, ketiadaan skema bukan dari kurangnya pengetahuan matematika saja tetapi bagaimana kesiapan prasyarat kognitif dalam mengembangkan skema siswa terkait dengan matematika yang mereka pelajari. Untuk itu, pembangunan dan pengembangan kemampuan matematika dibutuhkan pemahaman siswa tentang kultur matematika untuk kesiapan prasyarat kognitif dan pengembangan skema yang baik (Kinard & Kozulin, 2008:81).

Ciri kultur dalam matematika, yaitu: memahami bahasa, peralatan psikologis, dan strategi untuk membangun konsep dan memecahkan masalah matematika (Hmelo-Silver, Chernobilsky & DaCosta, 2004; Tan, 2004:205). Peralatan psikologis yang digunakan dalam matematika, di antaranya: simbol, tabel, koordiant katesius, gambar, dan garis bilangan (Kinard & Kozulin, 2008).


(15)

Adapun, beberapa strategi dalam matematika berupa membaca pola, membandingkan, menganalisis, mensintesis dan menggeneralisasi (Suherman, 2001). Kemudian bahasa dalam matematika adalah bagaimana membahasakan masalah sehari-hari ke bahasa matematika dan sebaliknya.

Pemahaman dan penguasan tentang kultur dan alat psikologis matematika seharusnya dapat dikuasai oleh setiap siswa yang ingin sukses dalam mencapai kecakapan matematika (Kinard & Kozulin, 2008:16; Tan, 2004:205), dalam hal ini pemahaman konseptual dan kompetensi strategis matematis. Pemahaman dan penguasaan yang baik terkait kultur dan alat psikologis matematika juga dapat memberikan skema untuk menata informasi yang ada pada long-term memory dan mengelolanya secara efesien di working-memory (Sweller, Ayres & Kalyuga, 2011:vii). Akibat dari ini, BKM pada anak ketika belajar matematika tidak terlalu besar. Dengan beban kognitif yang tidak terlalu besar maka diharapkan ada manfaat langsung atau tidak langsung pada siswa ketika mereka menata skema untuk mencapai kemampuan pemahaman konseptual dan komptensi strategisnya. Kemudian pemahaman dan penguasaan tentang kultur dan alat psikologis matematika juga akan memberi manfaat langsung pada kemampuan pemahaman konseptual dan kompetensi strategis matematis karena skema untuk mencapai kemampuan tersebut sudah dipunyai (Hmelo-Silver, Chernobilsky & DaCosta, 2004).

Pendekatan pembelajaran yang memediasi siswa memahami kultur serta mendorong siswa untuk memguasai alat psikologis matematika agar terjadinya pembentukan skema tarkait matematika adalah pembelajaran pendekatan Rigorous mathematical thinking (RMT). Prinsip mediasinya mengadopsi dari Feuerstien (2000), yaitu: intentionality (kesengajaan) dan reciprocity (interaksi), transcendence (menjembatani), dan meaning (memberi makna) pada setiap tahap pembelajarannya (Kinard & Kozulin, 2008). Dengan begitu, RMT memantau akitivitas siswa untuk siap dalam memahami dan membangun konsep serta pemecahan masalah dalam matematika.


(16)

Rangkaian pembelajaran RMT merupakan pembelajaran yang menjebatani antara pembelajaran langsung dan tidak langsung. RMT menekankan perlunya kematangan konsep dan materi prasyarat dalam pembelajaran dengan memberikan skema (Kinard & Kozulin, 2008). Pembekalan skema memudahkan siswa dalam mengolah pengetahuan yang berakibat pada ringannya beban memori kerja (Sweller, 1994). Selain dari itu, siswa dipantau dan diarahkan selama proses pembelajaran dengan agar siswa mencapai kecakapan dalam matematika sesuai harapan. Intensitas pemantauan dan pengarahan diturunkan secara bertahap sampai akhirnya terbentuk kemandirian dalam pemerolehan pengetahuan dan pemecahan masalah (Kinard & Kozulin, 2008). Pada saat kemandirian dicapai maka kesulitan dalam pemerolehan pengetahuan dan pemecahan akan lebih mudah karena skema sudah menyatu dalam jiwa. Akibatnya, ketika informasi atau skema dipanggil tidak memerlukan usaha sadar dari siswa. Kondisi seperti ini disebut otomatisasi, yaitu pemanggilan informasi atau skema dari memori jangka panjang diambil secara tidak sadar (Sweller, 1994), akibatnya memori kerja tidak terbebani sehingga kinerjanya menjadi ringan dan ruangnya dapat digunakan untuk menampung informasi baru dan juga prosesnya.

Pembelajaran yang secara filosofis sama dengan RMT ini telah banyak dilakukan pada sekolah dengan karaketerisik siswa yang berkemampuan lemah dan imigran dengan kultur yang berbeda-beda (Feuerstein, 2007). Hasil dari beberapa penelitian di luar negeri menghasilkan pemahaman dan penerapan konsep matematika siswa yang mendapat pembelajaran pendekatan RMT lebih baik dari pembelajaran pendekatan langsung (Kinard & Kozulin, 2008). Di Indonesia, penelitian pembelajaran pendekatan RMT belum pernah ada yang melakukan baik itu di sekolah berasrama maupun bukan kalaupun ada baru pada konteks pengembangan media pembelajaran seperti yang telah dilakukan oleh

Khabib & Manoy (2013). Kemudian, penelitian lain yang pernah dilakukan di Indonesia adalah penelitian RMT sebagai suatu kompetensi siswa bukan sebagai


(17)

rangkaian pembelajaran seperti yang telah dilakukan Fitriyani(2013) dan Zubaidah (2012).

Salah satu kelebihan dari pembelajaran pendekatan RMT adalah mengakomodasi keberagaman karakteristik siswa yang datang dari kultur berbeda, hal ini sesuai dengan karakteristik siswa sekolah berasrama di Indonesia. Untuk itu, baik adanya bila ada penelitian yang mendalami pemahaman koseptual, kompetensi strategis, dan beban kognitif matematis siswa dengan melihat aspek gender, KAM, dan GBM melalui penerapan pendekatan pembelajaran RMT di sekolah berasrama.

Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti “Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Rigorous Mathematical Thinking (RMT) terhadap Pemahaman Konseptual, Kompetensi Startegis, dan Beban Kognitif Matematis Siswa SMP Boarding School (Sekolah Berasrama)”. Tentu saja, penelitian ini akan memperluas kajian PKM, KSM, dan BKM siswa dengan melihat faktor gender, KAM, GBM, unsur-unsur pembangunnya, dan kaitan dari ketiganya.

1.2 Rumusan Masalah

Secara umum rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana mengetahui pengaruh RMT terhadap pemahaman konseptual, kompetensi strategis matematis, dan beban kognitif matematis siswa SMP boarding school. Adapun, rumusan masalah secara khusus, yaitu:

1. Bagaimana fenomena pada sekolah berasrama, ditinjau dari: a. Sekolahnya?

b. Alasan memilih sekolah? c. Pembelajaran?

2. Apakah kemampuan Pemahaman Konseptual Matematis (PKM) siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan RMT lebih besar dari siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan langsung, ditinjau dari: a. Keseluruhan siswa?


(18)

c. KAM siswa? d. GBM siswa?

e. KAM dengan memperhatikan GBM siswa?

3. Apakah kemampuan Kompetensi Strategis Matematis (KSM) siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan RMT lebih besar dari siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan langsung, ditinjau dari:

a. Keseluruhan siswa? b. Gender?

c. KAM siswa? d. GBM siswa?

e. KAM dengan memperhatikan GBM siswa?

4. Apakah Beban Kognitif Matematis (BKM) siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan RMT lebih kecil dari siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan langsung, ditinjau dari:

a. Keseluruhan siswa? b. Gender?

c. KAM siswa? d. GBM siswa?

e. KAM dengan memperhatikan GBM siswa?

5. Bagaimana pengaruh langsung dan tidak langsung pada komponen-komponen pembangun PKM siswa pada penerapan pendekatan pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung)?

6. Bagaimana pengaruh langsung dan tidak langsung pada komponen-komponen pembangun KSM siswa pada penerapan pendekatan pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung)?

7. Bagaimana pengaruh langsung dan tidak langsung pada komponen-komponen pembangun beban kognitif matematis siswa pada penerapan pendekatan pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung)?


(19)

8. Bagaimana pengaruh langsung dan tidak langsung di antara BKM, PKM, dan KSM pada penerapan pendekatan pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung)?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh RMT terhadap pemahaman konseptual matematis, kompetensi strategis matematis, dan beban kognitif matematis siswa SMP boarding school. Adapun, tujuan penelitian secara khusus, yaitu:

1. Mengkaji fenomena yang terjadi sekolah berasrama, ditinjau dari: a. Sekolahnya

b. Alasan memilih sekolah c. Pembelajaran

2. Mengkaji kemampuan PKM siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan RMT lebih besar dari siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan langsung ditinjau dari:

a. Keseluruhan siswa b. Gender

c. KAM siswa d. GBM siswa

e. KAM dengan memperhatikan GBM siswa

3. Mengkaji pengaruh langsung dan tidak langsung pada komponen-komponen pembangun PKM siswa pada penerapan pendekatan pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung).

4. Mengkaji kemampuan KSM siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan RMT lebih besar dari siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan langsung ditinjau dari:

a. Keseluruhan siswa b. Gender


(20)

d. GBM siswa

e. KAM dengan memperhatikan GBM siswa

5. Mengkaji pengaruh langsung dan tidak langsung pada komponen-komponen pembangun KSM siswa pada penerapan pendekatan pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung).

6. Mengkaji BKM antara siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan RMT lebih kecil dari siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan langsung ditinjau dari:

a. Keseluruhan siswa b. Gender

c. KAM siswa d. GBM siswa

e. KAM dengan memperhatikan GBM siswa

7. Mengkaji pengaruh langsung dan tidak langsung pada komponen-komponen pembangun BKM siswa pada penerapan pendekatan pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung).

8. Mengkaji pengaruh langsung dan tidak langsung di antara BKM, PKM, dan KSM pada penerapan pendekatan pembelajaran (pendekatan RMT dan pendekatan langsung).

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat siswa, guru, sekolah, dan peneliti. Manfaat tersebut, antara lain :

1. Bagi siswa, mereka dapat mengetahui bagaimana mengelola beban kognitif agar kecakapan pemahaman konseptual dan kompetensi strategi matematis menjadi lebih baik disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan GBM dalam matematika. Selanjutnya, RMT memberikan salah pendekatan alternatif yang digunakan untuk memahami matematika, khususnya membekali pemahaman konseptual dan kompetensi strategi matematis.


(21)

2. Bagi guru, penelitian ini dapat menjadi rujukan wawasan mendalam tentang kondisi belajar peserta didik yang kesulitan mencapai kemampuan pemahaman konseptual dan kompetensi strategi matematis. Berikutnya, guru akan mendapat wawasan mendalam bagaimana mengelola beban kognitif siswa agar tidak berpengaruh buruk pada kemampuan pemahaman konseptual dan kompetensi strategi matematis. Selain dari itu, guru mendapat pengetahuan bagaimana pendekatan RMT dapat dijadikan untuk meningkatakan pemahaman konseptual dan kompetensi strategi matematis, khususnya bagi dengan kemampuan rendah. Di akhir, guru mendapat perluasan wasasan tentang kemampuan pemahaman konseptual, kompetensi strategi, dan beban kognitif matematis ditinjau dari GBM siswa.

3. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan tuntutan pengembangan ilmu pengetahuan yang berkontribusi pada penyelesaian masalah pendidikan di Indonesia, khususnya pada masalah pembelajaran matematika bagi siswa di sekolah berasrama berbasis islam. Selain itu, peneliti dapat menghasilkan bahan ajar dengan pendekatan RMT yang dapat berpengaruh pada pemahaman konseptual, kompetensi strategis, dan beban kognitif matematis yang lebih baik.

4. Bagi pengelola sekolah berasrama, institusi mendapatkan masukan yang berharga untuk merumuskan kebijakan-kebijakan tekait dengan pembelajaran di kelas maupun di luar kelas dikaitkan dengan gender, KAM, dan GBM siswa.

1.5 Definisi Operasional

Untuk menyamakan persepsi terhadap kata-kata kunci (key words) pada proposal ini maka penulis memberikan definisi operasional, antara lain:

1. Beban Kognitif Matematis (BKM) merupakan istilah lain dari cognitive load matematis. Cognitive load adalah kelebihan muatan informasi pada memori kerja (working-memory) akibat tidak efektifnya pembuatan skema


(22)

ke informasi jangka panjang (long-term-memory) ketika belajar matematika (Sweller, 1988). Adapun, BKM yang dimaksud pada penelitian ini adalah beban kognitif siswa terhadap materi dan pembelajaran. Atau dengan kata lain, BKM adalah kemampuan pengelolaan informasi seseorang pada memori kerjanya.

2. Pemahaman Konseptual Matematis (PKM) adalah kemampuan memahami konsep, mengoperasikan konsep, dan mengkaitkan konsep dengan konsep lain (Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001). Atau dengan kata lain, PKM adalah pemahaman terhadap konsep matematika dan dapat mengintegrasikannya dengan konsep lain melalui operasi-operasi matematika.

3. Kompetensi Strategis Matematis (KSM) adalah kemampuan untuk merumuskan masalah, membuat representasi, dan memecahkan masalah

(Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001). Dengan kata lain pula, KSM

adalah kemampuan pemecahan masalah siswa yang didukung oleh kemampuan perumusan dan perepresentasian masalah matematis.

4. Rigorous Mathematical Thinking (RMT) adalah pembelajaran yang menekankan perlunya meletakkan dasar pengetahuan, dan kultur matematika berupa: alat, bahasa, dan strategi matematika di awal pembelajaran. Kemudian, proses pembelajaran RMT menutut guru terus mengontrol kemampuan dan aktifitas siswa selama pembelajaran, melalui formatif assessment. Untuk mengontrolnya, pendekatan pembelajaran ini memediasi siswa dengan intentionality (mempertahankan perhatian) dan reciprocity (interaksi antara siswa dengan guru), meaning (pemberian makna) dan bridging (menjembatani). Sedang rancangan pembelajarannya adalah siswa aktif mengkonstruksi pengetahuan (Kinard & Kozulin, 2008). Atau dengan kata lain, RMT adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa hanya saja penekaanan dan pengontrolan materi prasyarat menjadi


(23)

fokus serta pemahaman kultur bermatematika adalah salah satu bagian pentingnya.

5. Sekolah berasrama adalah sekolah yang menjadikan semua siswa belajar dan tinggal pada lokasi yang sama. Adapun, kegiatan sekolah dan asrama terintegrasi dan dikelola oleh pihak sekolah (Wijayanti, 2010). Sekolah berasama pada penelitian ini dibatasi pada sekolah berasrama berbasis islam di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) pada kelas VII. 6. Gaya Belajar Matematika (GBM) adalah gaya siswa dalam memahami

materi matematika yang diberikan di dalam maupun di luar sekolah. GBM ini terdiri dari empat macam, yaitu: Mastery Learning (ML), Self-expressive Learning (SL), Interpersonal Learning (IL) dan Understanding Learning (UL).


(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Disain Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pembelajaran pendekatan RMT dan pembelajaran pendekatan langsung tehadap PKM, KSM, dan BKM siswa di SMP berasrama. Agar penelitian ini mendapatkan temuan yang lebih luas dan mendalam maka dipilih metode campuran (mixed methods). Adapun strategi dari metode campuran yang diambil adalah kual-KUAN dan kual-KUAN-kual. Strategi metode campuran tersebut diambil dari

Craswell (2010:316-317). Strategi tersebut kemudian disintesis lagi dengan disain

penelitian eksperimen dari Fraenkel & Wallen (1993:249). Berikut disain yang di ajukan:

1. Fase pertama

Kelas kuasi eksperimen yaitu: kual Kelas kontrol yaitu: kual 2. Fase kedua

Kelas kuasi eksperimen yaitu: KUAN (X O) Kelas kontrol yaitu: KUAN (X O) 3. Fase pertama

Kelas kuasi eksperimen yaitu: kual Kelas kontrol yaitu: kual Keterangan:

Kual : metode kualitatif KUAN : metode kuantitatif R : random kelas

X : perlakuan dengan pendekatan RMT O : tes PKM dan atau KSM

* huruf kapital menandakan dominasi penelitian, sedang yang tidak sebagai bekal penggali dan penjelas

Pada fase pertama terdiri dari dua kegiatan. Pertama menemukan fenomena dari subjek penelitian, yaitu terkait fenomena-fenomena yang terjadi pada sekolah berasrama. Fenomena-fenomena tersebut didapatkan dari hasil observasi, wawancara dengan orang tua siswa, wawancara dengan siswa,


(25)

wawancara dengan guru, dan wawancara dengan guru sebagai wali asrama. Kedua mencari data siswa terkait dengan gender, KAM, dan GBM sebagai bekal untuk menganalisis data pada fase KUAN agar dapat lebih luas dan mendalam. Kegiatannya adalah pemberian kuesioner, observasi, dan wawancara. Untuk itu, model kualitatif yang digunakan adalan model fenomenologi.

Pada fase kedua, penelitian mendapatkan data-data kuantitatif terkait Pemahaman Konseptual Matematik (PKM), Kompetensi Strategis Matematik (KSM) dan Beban Kognitif Matematik (BKM) siswa yang mendapat pembelajaran pendekatan RMT dan langsung dengan melihat faktor gender, KAM, dan GBM. Data-data tersebut kemudian diuji menggunakan uji statistika (lihat gambar 3.01).

Gambar 3.01 Variabel-Variabel Penelitian

Fase ketiga, pada fase ini adalah fase kualitaif yang membahas data hasil pada fase dua dengan dukungan hasil wawancara, obeservasi, portofolio siswa,


(26)

dan teori-teori yang berkaitan dengan mencari tahu apa yang terjadi pada hasil kerja belajar siswa terkait PKM, KSM, dan BKM yang kemudian dicari tahu bagimana itu dapat terjadi. Untuk itu, model kulaitatif yang berkaitan dengan hal tersebut adalah model phenomenography (Neuman, 1998:64-65).

Adapun penyelenggarakan pembelajaran pada penelitian in terdiri dari: satu kelas eksperimen pria, satu kelas eksperimen wanita, satu kelas kontrol pria, dan satu kelas kontrol wanita. Kelas eksperimen diberi perlakuan pembelajaran pendekatan RMT (X) dan kelompok kontrol diberi perlakuan pembelajaran pendekatan langsung. Setelah perlakuan pembelajaran selesai, siswa diberi tes tertulis terkait kemampuan PKM dan KSM. Sementara itu, BKM diukur dengan menggunakan kuesioner setiap pada akhir pertemuan pembelajaran. Gambaran variabel dapat dilhat pada tabel 3.01.

Tabel 3.01 Tabel Weiner PKM, KSM, dan BKM Mengenai Keterkaitan antar Variabel Bebas, Terikat, dan Kontrol

GBM Kemampuan PKM, KSM, atau BKM

Pendekatan Pembelajaran RMT (E) Kontrol (K) Gender (G) Pria (P) Wanita (W) Pria (P) Wanita (W)

Kemampuan Awal Matematis (KAM)

Tinggi (T)

ML TMLE TMLK

IL TILE TILK

UL TULE TULK

SL TSLE TSLK

Sedang (S)

ML SMLE SMLK

IL SILE SILK

UL SULE SULK

SL SSLE SSLK

Rendah (R)

ML RMLE RMLK

IL RILE RILK

UL RULE RULK

SL RSLE RSLK

Keterangan :

TMLE : Siswa KAM tinggi GBM mastery learning kelas eksperimen TILE : Siswa KAM tinggi GBM interpersonal learning kelas eksperimen


(27)

TULE : Siswa KAM tinggi GBM understanding learning kelas eksperimen TSLE : Siswa KAM tinggi GBM self-expressive learning kelas eksperimen SMLE : Siswa KAM sedang GBM mastery learning kelas eksperimen SILE : Siswa KAM sedang GBM interpersonal learning kelas eksperimen SULE : Siswa KAM sedang GBM understanding learning kelas eksperimen SSLE : Siswa KAM sedang GBM self-expressive learning kelas eksperimen RMLE : Siswa KAM sedang GBM mastery learning kelas eksperimen RILE : Siswa KAM sedang GBM interpersonal learning kelas eksperimen RULE : Siswa KAM sedang GBM understanding learning kelas eksperimen RSLE : Siswa KAM sedang GBM self-expressive learning kelas eksperimen TMLK : Siswa KAM tinggi GBM mastery learning kelas kontrol

TILK : Siswa KAM tinggi GBM interpersonal learning kelas kontrol TULK : Siswa KAM tinggi GBM understanding learning kelas kontrol TSLK : Siswa KAM tinggi GBM self-expressive learning kelas kontrol SMLK : Siswa KAM sedang GBM mastery learning kelas kontrol SILK : Siswa KAM sedang GBM interpersonal learning kelas kontrol SULK : Siswa KAM sedang GBM understanding learning kelas kontrol SSLK : Siswa KAM sedang GBM self-expressive learning kelas kontrol RMLK : Siswa KAM sedang GBM mastery learning kelas kontrol RILK : Siswa KAM sedang GBM interpersonal learning kelas kontrol RULK : Siswa KAM sedang GBM understanding learning kelas kontrol RSLK : Siswa KAM sedang GBM self-expressive learning kelas kontrol

Strategi menemukan jawaban dari fenomena data, setelah dianalisis, adalah mencari fenomena umum dari kolompok yang diwakili, baik itu gender, KAM, GBM, maupun kombinasi dari KAM dan GBM. Bila kemudian ada individu yang sangat menyipang dari fenomena kelompoknya maka diadakan wawancara secara khusus pada individu-individu yang berbeda tersebut.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah sekolah berasrama berbasis islam yang memiliki kelas paralel tidak lebih dari tiga kelas. Adapun, sekolah yang dijadikan sampel adalah SMP Boarding School Daarut Tauhid Kota Bandung di kelas VII. Sesuai dengan latar belakang penelitian, dipilihnya sekolah tersebut karena sekolah tersebut sekolah boarding yang diidentifikasi sebagai sekolah yang


(28)

siswanya berasal dari beragam latar belakang kultur atau dengan kata lain berasal dari beragam daerah, dengan kriteria sekolah dan jumlah kelas seperti yang telah disebutkan.

Pemilihan subyek penelitian dilakukan sampel purposif pada siswa SMP berasrama kelas VII. Pertimbangan pemilihan kelas satu sebagai sampel karena pada level kelas ini masalah keragaman menjadi masalah pada keberlangsungan siswa di sekolah berasrama. Kondisi ini menjadi indikator penting bagi suksesnya pembelajaran pendekatan RMT sebagai pembelajaran yang mengakomodasi siswa keragaman siswa (Kinard & Kozulin, 2008). Adapun, waktu penelitian ini dilakukan pada semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014.

3.3 Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini dikembangkan tujuh buah instrumen yang terbagi dari dua kategori, yaitu tes dan non-tes. Instrumen kategori tes adalah tes Kemampuan Awal Matematika (KAM), tes kemampuan Pemahaman Konseptual Matematis (PKM) dan tes kemampuan Kompetensi Strategis matematis (KSM) keduanya berkaitan dengan bahan ajar yang diberikan. Adapun instrumen kategori non-tes yaitu Beban Kognitif Matematis (BKM), Gaya Belajar Matematika (GBM), dan wawancara untuk siswa, guru, serta orang tua siswa.

3.3.1 Instrumen Tes 3.3.1.1 Tes KAM Siswa

Tes dilakukan untuk mengukur KAM siswa sebelum perlakuan pembelajaran dimulai. KAM siswa dikelompokan menjadi tiga, yaitu: siswa KAM tinggi, sedang dan tinggi. Pengkelompokan KAM ditentukan dengan menggunakan pembagian mengacu pada diagram distribusi normal dengan bilangan baku Z (Arikunto, 2003:40). Siswa dengan KAM rendah berada di daerah nilai Z ≤ -1, KAM sedang di daerah -1 < Z < 1, dan KAM tinggi di daerah Z  1. Adapun soal yang dijadikan untuk menguji KAM siswa adalah soal ujian tengah semester yang dimodifikasi oleh guru setiap tahunnya dengan standar yang telah ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Kota Bandung. Keyakinan


(29)

pengelompokan KAM siswa tidak hanya terbatas pada tes namun juga pada observasi selama setengah semester dan wawancara dengan rekan siswa dan guru.

3.3.1.2 Tes PKM Siswa

Tes dilakukan untuk mengukur PKM siswa, yaitu kemampuan untuk memahami konsep matematika, mengoperasikan konsep matematika dan mengkaitkan konsep matematika. Setiap kemampuan pada PKM siswa mengikuti kompetensi dasar yang dipersyaratkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMDIKBUD). Kemudian, soal yang diberikan dalam bentuk isian dengan tujuan untuk mengetahui jejak kerja siswa dalam menyelesaikan persoalan yang diberikan.

3.3.1.3 Tes KSM Siswa

Tes dilakukan untuk mengukur KSM siswa, yaitu kemampuan untuk merumusan masalah, merepresentasikan masalah, dan memecahkan masalah matematik. Sama halnya dengan PKM, tes KSM siswa mengikuti kompetensi dasar yang dipersyaratkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMDIKBUD). Begitu juga, soal yang diberikan dalam bentuk isian dengan tujuan untuk mengetahui jejak kerja siswa dalam menyelesaikan persoalan yang diberikan.

3.3.1.4 Analisa Hasil Uji Coba Tes

Pengukuran ketepatan (validitas) dan keajegan (reliabilitas) instrumen untuk PKM dan KSM, sebelumnya dilakukan uji coba instrumen terhadap siswa SMP yang telah memperoleh materi aljabar. Berikut ini adalah analisis instrumennya:

3.3.1.4.1 Validitas Logis

Pengujian validitas instrumen di lapangan/kelas (pada siswa), terlebih dahulu dikonsultasikan ke dosen pembimbing disertasi. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui validitas logis dari instrumen yang akan digunakan. Menurut Arikunto (2003) validitas logik merupakan alat pengujian yang dilakukan berdasarkan hasil penalaran. Kondisi valid terpenuhi bila instrumen sudah


(30)

dirancang secara baik, mengikuti teori, dan ketentuan yang ada pada ahlinya. Instrumen PKM dan KSM pada penelitian ini merupakan hasil konsultasi aktif dengan masukan, perbaikan, dan pertimbangan promotor, ko-promotor, dan pembimbing.

3.3.1.4.2 Validitas Konstruksi

Instrumen PKM dan KSM dikembangkan sendiri dan dikonsultasikan secara aktif kepada para pembimbing. Setelah itu, instrumen dilanjutkan pada uji validitas konstruksi. Tujuan uji ini adalah mengukur setiap aspek dari PKM dan KSM siswa SMP. Untuk tujuan uji tersebut, instrumen diperiksa oleh tiga dosen pendidikan bahasa Matematika Universitas Sultan Ageng Tirtayasa agar memvalidasi dan mengkoreksi kebenaran dan kesesuaian PKM dan KSM untuk siswa SMP. Ketiga dosen tersebut mempunyai gelar master di bidang matematika dan ketiganya sedang menempuh gelar doktor jurusan pendidikan matematika Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Adapun, instrumen PKM dan KSM beserta rubrik jawaban pada kedua isntrumen tersebut dapat dilihat pada lampiran.

3.3.1.4.3 Reliabilitas

Reliabilitas instrumen merupakan ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau ketetapan siswa dalam menjawab alat evaluasi(Ruseffendi, 2005:158). Suatu alat evaluasi dikatakan baik jika ia dapat dipercaya dan konsisten. Ukuran klasifikasi dari reabilitas diperlihatkan pada tabel 3.02. Klasifikasi reabilitas mempunyai interpretasi dari sangat rendah sampai dengan sangat tinggi.

Tabel 3.02 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas

Besarnya nilai r Interpretasi 0,00 – 0,20 sangat rendah 0,21 – 0,40 rendah 0,41 – 0,70 sedang 0,71 – 0,90 tinggi 0,91 – 1,00 sangat tinggi


(31)

Sedangkan untuk mengetahui signifikasi koefesiem reliabilitas dibandingkan dengan rtabel , dengan kaidah keputusan jika r11 > rtabel maka data

reliabel dan sebaliknya.

Penghitungan reliabilitas hasil dari uji coba instrumen PKM didapat r11 =

0,70 dan rtabel = 0,355 dengan taraf signifikasi 5%. Dari nilai r11 dan rtabel didapat

r11 > rtabel , disimpulkan soal instrumen adalah reliabel dengan katagori sedang.

Adapun, penghitungan reliabilitas hasil dari uji coba instrumen KSM didapat r11 = 0,75 dan rtabel = 0,405 dengan taraf signifikasi 5%. Dari nilai r11 dan

rtabel didapat r11 > rtabel , disimpulkan soal instrumen adalah reliabel dengan

katagori tinggi.

3.3.1.4.4 Validitas Empirik

Setelah melewati pengujian validitas logis dan muka, instrumen dilanjutkan pada pengujian validitas empirik. Suatu instrumen lolos dari uji validitas empirik setelah diadakan uji coba di lapangan. Untuk memperoleh soal yang valid jika hasil sesuai dengan kriteria yang diinginkan (kriterium), artinya ada kesejajaran antara hasil tes dan kriterium. Tes yang digunakan untuk mengetahui kesejajaran dihitung dengan menghitung korelasi Product moment dari Pearson (Arikunto, 2003:72). Adapun, kriteria dari koefisien validitasnya dapat dilihat pada tabel 3.03. Klasifikasi validitas mempunyai interpretasi dari tidak valid sampai dengan validitas sangat tinggi.

Tabel 3.03 Klasifikasi Koefisien Validitas

Nilai rxy Interpretasi

rxy ≤ 0,00 Tidak valid

0,00 < rxy ≤ 0,20 Validitas sangat rendah 0,20 < rxy ≤ 0,40 Validitas rendah 0,40 < rxy≤ 0,60 Validitas sedang 0,60 < rxy≤ 0,80 Validitas tinggi 0,80 < rxy≤ 1,00 Validitas sangat tinggi

Selanjutnya koefisien korelasi yang diperoleh dengan menggunakan pengolahan data Microsoft Excel diinterpretasikan ke dalam kategori-kategori menurut J.P Guilford (Ruseffendi, 2005:160) sebagaimana diperlihatkan pada


(32)

tabel 3.03. Pada tabel tersebut terdiri dari enam interpretasi, yaitu: tidak valid, valiiditas sangat rendah, rendah, tinggi, dan sangat tinggi.

Adapun validitas hasil uji coba instrumen yang dilakukan pada penelitian ini dirangkum pada tabel tabel 3.04 untuk PKM dan 3.5 untuk KSM. Pada tabel 3.03, soal nomor 1a dan 3b dari instrumen PKM mempunyai validitas sangat rendah. Untuk itu, peneliti membuat perbaikan soal dengan pertimbangan dari pembimbing. Kemudian tabel 3.04 terkait instrumen KSM, semua soal mempunyai validitas tinggi dan sedang. Untuk itu. Untuk itu, peneliti tidak perlu membuat perbaikan soal dengan pertimbangan dari pembimbing.

Tabel 3.04 Validitas Butir Soal PKM

No Soal Koef Korelasi rxy

Tingkat Validitas No Soal Koef Korelasi rxy

Tingkat Validitas

1a 0.6247 sedang 3d 0.2339 rendah

1b 0.4559 sedang 3e 0.4746 sedang

1c 0.5228 sedang 4a 0.3877 sedang

1d 0.5886 sedang 4b 0.4703 sedang

2 0.5816 tinggi 4c 0.6066 sedang

3a 0.2268 rendah 5a 0.6130 sedang

3b 0.1307 sangat rendah 5b 0.6247 sedang 3c 0.3946 sedang

Tabel 3.05 Validitas Butir Soal KSM

No Soal Koef

Korelasi rxy Tingkat Validitas

1a 0.7343 tinggi 1b 0.6720 sedang 1c 0.7671 tinggi 2a 0.5216 sedang 2b 0.5373 sedang 2c 0.7485 tinggi 3a 0.6179 tinggi 3b 0.4843 sedang 3c 0.7111 tinggi

3.3.1.4.5 Daya Pembeda (DP)

Penghitungan daya pembeda digunakan untuk membedakan apakah suatu soal dapat membedakan siswa berdasarkan kemampuan jelek, cukup, dan baik dalam mengerjakan soal. Klasifikasi pertimbangan suatu soal dapat dilihat pada


(33)

tabel 3.06. Kemudian, pertimbangan suatu soal atau instrumen diterima, direvisi, atau ditolak dapat dilihat pada tabel 3.07.

Tabel 3.06 Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda Besarnya DP Interpretasi

0,00 – 0,20 Jelek 0,21 – 0,40 Cukup 0,41 – 0,70 Baik 0.71 – 1,00 Baik Sekali

Sumber: (Arikunto, 2003:218)

Tabel 3.07 Pertimbangan Koefisien Daya Pembeda

Besarnya DP Keputusan > 0,3 Diterima 0,1 – 0,29 Direvisi

< 0,1 Ditolak

Sumber: (Surapranata, 2005)

Tabel 3.08 Daya Pembeda PKM

No Soal Dp Interpretasi No Soal Dp Interpretasi

1a 0.29 direvisi 3d 0.14 direvisi

1b 0.57 diterima 3e 0.57 diterima

1c 0.43 diterima 4a 0.57 diterima

1d 0.71 diterima 4b 0.57 diterima

2 0.57 diterima 4c 0.86 diterima

3a 0.29 direvisi 5a 0.43 diterima

3b 0.14 direvisi 5b 0.29 direvisi

3c 0.57 diterima

Hasil penghitungan daya pembeda PKM dapat lihat pada tabel 3.08. Memperhatikan tabel 3.08, soal nomor 1a, 3a, 3b, 3d, dan 5b perlu direvisi. Revisi soal kemudian dilakukan dengan konsultasi pada dosen pembimbing.

Kemudian untuk daya pembeda PKM dapat dilihat pada tabel 3.09. Mencermati tabel 3.09, semua soal yang diberikan pada uji istrumen tidak ada soal satupun yang perlu direvisi apalagi ditolak untuk tidak digunakan dalam pengukuran kemampuan PKM siswa. Ini artinya bahwa semua soal dapat menjadi pembeda siswa berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi.

Tabel 3.09 Daya Pembeda KSM

No Soal Dp Interpretasi 1a 0.50 diterima


(34)

1b 0.61 diterima 1c 0.86 diterima 2a 0.32 diterima 2b 0.32 diterima 2c 0.50 diterima 3a 0.46 diterima 3b 0.43 diterima 3c 0.32 diterima 3.3.1.4.6 Tingkat kesukaran

Penghitungan tingkat kesukaran digunakan untuk menunjukkan apakah suatu soal yang diberikan sukar, sedang, atau mudah. Indeks ini diambil dari bukunya Arikunto (2003). Adapun, klasifikasi indeks kesukaran soal diperlihatkan pada tabel 3.10. Pada indeks kesukaran tersebut terdiri dari tiga interpertasi soal, yaitu: soal, sukar, sedang, atau mudah.

Tabel 3.10 Klasifikasi Indeks Kesukaran

Besarnya P Interprestasi 0,00 – 0,30 sukar 0,31 – 0,70 sedang 0,71 – 1,00 mudah Sumber: Arikunto, 2003

Tabel 3.11 Indeks Kesukaran PKM

No Soal P Interpretasi No Soal P Interpretasi

1a 0.08 sukar 3d 0.20 sukar

1b 0.72 mudah 3e 0.64 sedang

1c 0.80 mudah 4a 0.52 sedang

1d 0.56 sedang 4b 0.52 sedang

2 0.68 sedang 4c 0.40 sedang

3a 0.76 mudah 5a 0.12 sukar

3b 0.20 sukar 5b 0.08 sukar

3c 0.56 sedang

Hasil penghitungan tingkat kesukaran instrumen PKM yang diperlihatkan pada tabel 3.11. Soal nomor 1a, 3b, 3d, 5a, dan 5b mempunyai interpretasi sukar, nomor 1d, 2, 3c, 3e, 4a, 4b, 4,c, dan 7 interpretasi sedang, kemudian nomor 1b, 1c, dan 3a interpretasinya mudah.

Selanjutnnya, hasil penghitungan tingkat kesukaran instrumen KSM diperlihatkan pada tabel 3.12, soal nomor 2c, 3b, dan 3c mempunyai interpretasi sukar, nomor 1b, 1c, 2a, 2b, dan 3a interpretasi sedang, kemudian hanya nomor 1a yang interpretasinya mudah.


(35)

Tabel 3.12 Indeks Kesukaran KSM

No Soal P Interpretasi

1a 0.78 mudah

1b 0.69 sedang

1c 0.54 sedang

2a 0.61 sedang

2b 0.45 sedang

2c 0.20 sukar

3a 0.37 sedang

3b 0.21 sukar

3c 0.10 sukar

3.3.2 Instrumen Non Tes 3.3.2.1 BKM Siswa

Pengukuran BKM tidak menggunakan instrumen yang disusun secara sendiri namun menggunakan instrumen yang telah digunakan oleh peneliti lain. Adapun, instrumen BKM yang digunakan di ambil dari Paas (1992). Pemilihan instrumen yang digunakan oleh Paas (1992) dengan pertimbangan bahwa instrumen yang telah dibuat telah diuji reabilitasnya, dengan menggunakan koefesien Cronbach alpha dan dengan koefesien 0,92 dan 0,82 (Paas, 1992; 1994b). Untuk itu, pada penelitian ini menggunakan koefesien reabilitas yang sama. Selain dari itu, banyak penelitian populer tentang beban kognitif juga menggunakan intrumen ini (Sweller, 1992).

Cara pengukuran BKM yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengukuran subjektif secara langsung. Paas (1994b) menilai bahwa penelitian dengan cara ini lebih baik dari pengukuran menggunakan pengukuran kardiovaskuar (rekam jantung). Pengukuran BKM, pada penelitian ini, menggunakan pengukuran pelaporan diri (self-report) yang digunakan oleh Paas (1994b). Instrumen ini mengkur dua kondisi. Pertama, mengukur BKM pada kesulitan materi. Kedua, mengukur beban kognitif proses pembelajaran. Indeks BKM menggunakan skala 9, dimana 1 menunjukan usaha berpikir yang sangat rendah sekali dan 9 menunjukan usaha berpikir yang sangat tinggi sekali. Sekalipun data ini nampak seperti ordinal, namun data ini dapat diolah seperti data interval sebagaimana pendapatnya Al Rasyid (1994), Suliyanto (2011), dan


(36)

Wu (2007). Adapun, instrumen tingkatan tingkatan usaha berpikir dapat dilihat pada lampiran.

Instrumen BKM yang diambil dari Pass(1992) dalam bentuk kuesioner berbahasa Inggris. Agar Instrumen ini dapat difahami oleh siswa maka instrumen dialih bahasakan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Setelah dialih-bahasa, instrumen dikoreksi salah satu dosen pendidikan bahasa Inggris Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen tersebut mempunyai gelar di bidang bahasa Inggris dan sedang menempuh gelar doktor. Intrumen BKM hasil alih bahasa dapat dilihat pada lampiran.

3.3.2.2 GBM Siswa

Instrumen untuk GBM siswa pada penelitian ini menggunakan instrumen dari Strong dkk (2004). Instrumen ini terdiri dari 40 pertanyaan yang masing-masing gaya belajar mempunyai 10 pertanyaan dan skor setiap pertanyaan maskimal 2 dan skor minimal 0. Reabilitas intrumen telah diuji Abrams (2013).

Instrumen GBM yang diambil dari Strong dkk (2004) dan di uraikan oleh Golden (2010) dalam bentuk kuesioner berbahasa Inggris. Sama seperti BKM, Instrumen GBM dialih-bahasakan ke bahasa Indonesia. Sebagaimana instrumen BKM, instrumen GBM bahasakan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Setelah dialih-bahasa, instrumen dikoreksi salah satu dosen pendidikan bahasa Inggris Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen tersebut mempunyai gelar di bidang bahasa Inggris dan sedang menempuh gelar doktor. Intrumen GBM hasil alih bahasa dapat dilihat pada lampiran.

3.3.2.3 Wawancara

Wawancara ini dilakukan ketika sebelum perlakuan dan saat pembelajaran. Wawancara sebelum perlakuan pembelajaran dilakukan untuk mengetahui pendapat siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan RMT. Adapun wawancara setelah pembelajaran dilakukan untuk mengetahui apa yang terjadi dengan pekerjaan yang hasilkan. Wawancara tidak dilakukan untuk semua siswa,


(37)

akan tetapi dipilih berdasarkan fenomena yang muncul untuk mencari penjelasan dari fenomena tersebut.

3.3.2.4 Observasi

Observasi dilakukan ketika sebelum perlakuan dan saat pembelajaran. Observasi sebelum pembelajaran dilakukan untuk memastikan apakah pengelompokan KAM dan GBM dilakukan secara benar. Adapun, observasi saat pembelajaran dilakukan untuk melihat perilaku belajar siswa. Kedua observasi ini kebanyakan menggunakan video untuk kebutuhan pengulangan pengamatan.

3.4 Sumber Data

Sumber data yang ada pada penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Gambaran data primer dan sekunder dapat dilihat pada tabel 3.13. Pada tabel tersebut digambarkan fase, tujuan, kegiatan, subjek, dan jenis data primer atau sekunder.

Tabel 3.13 Data Primer dan Sekunder Penelitian

Fase Tujuan Kegiatan Subjek Data

Primer Sekunder

Kual

Mengapa memilih orang tua siswa boarding school

Wawancara Orang Tua 

Konfirmasi Wali Asrama 

Konfirmasi Siswa 

Apa kelebihan dan kekurangan guru di sekolah berasrama

Wawancara guru 

Mengetahui KAM dan GBM siswa

Wawancara Siswa 

Konfirmasi Rekan siswa 

Konfirmasi Guru 

Konfirmasi Wali Asrama  Melihat kegiatan

belajar siswa Observasi Siswa  KUAN

PKM Tes Evaluasi Siswa 

KSM Tes Evaluasi Siswa 

BKM Kuesioner Siswa 

Kual

PKM Pencermatan

Portofolio Siswa 

KSM Pencermatan

Portofolio Siswa 

BKM Pencermatan

Portofolio Siswa 

Data primer pada penelitian ini, yaitu: wawancara dengan orang tua siswa, wawancara dengan siswa, wawancara dengan wali asrama, wawacara dengan


(38)

guru, aktivitas belajar siswa, data hasil non tes, dan data hasil tes. Media yang digunakan untuk wawancara dan aktivitas belajar siswa berbentuk audio dan video. Adapun, media hasil non tes berbentuk kuesioner pada setiap akhir dari tatap muka, hal ini terkait dengan BKM. Kemudian hasil tes terdiri dari dua. Pertama, portofolio sekelompok siswa hasil pembelajaran pada suatu tatap muka, hal ini terkait dengan lembar kerja siswa. Kedua, portofolio evaluasi belajar siswa terkait PKM dan KSM.

Data sekunder dari penelitian ini adalah dokumentasi yang didapat dari guru maupun sekolah. Data sekunder dapat berupa jadwal kegiatan, perilaku siswa, dan deskripsi peserta didik selama berada di sekolah/kelas. Dari sekunder guru berupa konfirmasi tanggapan siswa dan orang tua terkait dengan alasan mereka memilih sekolah berasrama. Data sekunder dari siswa adalah pendapat mereka terhadap GBM rekannya. Data sekunder dari sekolah adalah seberapa banyak calon siswa yang ikut seleksi untuk menjadi siswa sekolah berasrama.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari empat, yaitu: evaluasi tes, obervasi, wawancara, dan dokumentasi. Keempat data tersebut saling tekait satu sama lain. Maksud saling terkait adalah data tes disandingkan dengan observasi kemudian diklarifikasi melalui wawancara yang kemudian dibuktikan dengan dekumentasi berupa hasil kerja (portofolio).

3.5.1 Teknik Pengumpulan Hasil Tes

Nilai hasil evaluasi berupa skor hasil tes setelah rangkaian suatu materi matematika selesai dilaksanakan dalam kelas. Tes yang diselenggarakn adalah tes kemampuan PKM dan KSM siswa. Selanjutnya, data hasil tes tersebut diolah dengan statistika deskripif juga inferensial.

3.5.2 Teknik Pengumpulan Hasil Observasi

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data observasi melalui pengamatan di kelas. Observer pada penelitian ini adalah peneliti atau observer yang paham dengan pembelajaran matematika agar tidak terlalu bias dalam


(39)

memahami kejadian penting (Jaworski, 1998). Bila diperlukan, peneliti memilih dari rekan peneliti yang mempunyai pemahaman dan kecondongan paradigama tentang konsep yang diteliti mempunyai kemiripan yang dekat dengan peneliti.

3.5.3 Teknik Pengumpulan Hasil Wawancara

Wawancara adalah aktifitas pemerolehan data atau keterangan melalui tanya jawab. Wawancara pada pembelajaran matematika dapat terdiri dari wawancara terstruktur dan tidak terstruktur (Goldin, 1998). Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan pada orang tua siswa, siswa, dan guru. Wawancara tidak terstruktur dilakukan pada siswa terkait portofolio yang mereka punya berupa pertaanyaan apa dan bagaimana.

3.5.4 Teknik Pengumpulan Hasil Dokumentasi

Dokumentasi pada penelitian ini dengan cara mendapatkan dokumentasi berupa gambar, audio dan video. Operator dokumentasi adalah peneliti atau rekan yang sama pada proses observasi.

3.6 Peranan Penelitian dan Persoalan-Persoalan Etis yang Potensial 3.6.1 Peranan Penelitian

Penelitian ini berperan untuk mengeksplorasi kemampuan Pemahaman Konseptual Matematis (PKM), kemampuan Kompetensi Strategis Matematis (KSM) dan Beban Kognitif Matematis (BKM) siswa dengan menggunakan pendekatan pembelajaran RMT yang hasilnya dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran langsung. Eskplorasi mempertimbangkan faktor Gender (G), Kemampuan Awal Matematis (KAM) dan Gaya Belajar Matematis (GBM) siswa. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi usulan korektif terhadap pemegang kebijakan, orang tua, dan siswa di sekolah berasrama. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi para peneliti yang hendak mengadakan penelitian pada aspek PKM, KSM, atau BKM.


(40)

Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai pengumpul data dan sebagai instrument aktif dalam upaya mengumpulkan data-data di lapangan. sedangkan instrument pengumpulan data yang lain selain manusia adalah berbagai bentuk alat-alat bantu dan berupa dokumen-dokumen lainnya yang dapat digunakan untuk menunjang keabsahan hasil penelitian, namun berfungsi sebagai instrumen pendukung. Oleh karena itu, kehadiran peneliti secara langsung di lapangan sebagai tolak ukur keberhasilan untuk memahami kasus yang diteliti, sehingga keterlibatan peneliti secara langsung dan aktif dengan informan dan atau sumber data lainnya di sini mutlak diperlukan.

3.6.3 Peranan Pewawancara

Agar tidak terlalu bias dalam mewawancarai responden penelitian, peneliti memilih pewawancara secara hati-hati dan selektif. Pewawancara terdiri dari peneliti sendiri dan guru yang pernah mengajar di sekolah berasrama yang telah diberi penjelasan maksud dan esensi dari penelitian. Peran pewawancara pada penelitian adalah menjadi pewawancara fenomena dari subjek penelitian.

3.7 Prosedur Pelaksanaan Penelitian 3.7.1 Tahap Persiapan

Tahapan persiapan terdiri dari tiga rangkaian. Pertama menyusun Rencana Program Pembelajaran (RPP), instrumen penelitian dan bahan ajar, berikut uji coba dan revisinya. Kedua memilih kelas kontrol dan kelas eksperimen pada kelas pria maupun wanita. Ketiga melakukan pengontrolan terhadap faktor atau variabel yang diduga besar kemungkinan akan berpengaruh terhadap kemampuan yang diamati. Faktor-faktor tersebut adalah guru, waktu dan lama pembelajaran serta fasilitas yang didapatkan siswa. Faktor-faktor tersebut dipastikan mempunyai kesamaan.

3.7.2 Tahap Kual

Tahapan kual terdiri dari dua rangkaian. Pertama melakukan pendalam fenomena sekolah berasrama melalui wawancara dengan orang tua siswa, guru,


(41)

dan siswa. Kedua mengidentifikasi kategori siswa dari faktor-faktor pada sekolah berasrama antara lain: gender, KAM, dan GBM melalui observasi dan wawancara.

3.7.3 Tahap KUAN

Pemberian perlakuan kepada kelas eksperimen dan kontrol yang dilaksanakan selama setengah semester penuh (sembilan pertemuan ditambah dua pertemuan untuk tes kemampuan PKM dan KSM). Adapun, kegiatan pembelajaran pada kelas kontrol menggunakan pendekatan langsung. Pada setiap akhir dari pertemuan siswa diberi koesioner BKM untuk menilai beban kognitif matematik mereka terhadap materi dan pembelajaran.

Pembelajaran kelas eksperimen mengacu pada RPP dan bahan ajar (handout) yang telah disusun dan telah didiskusikan dengan dosen pembimbing. Kegiatan pembelajaran pada kelas eksperimen menggunakan pendekatan RMT. Pada setiap akhir dari pertemuan siswa diberi koesioner BKM untuk menilai beban kognitif matematik mereka terhadap materi dan pembelajaran.

Pembelajaran diakhiri dengan ujian tengah semester yang sekaligus merupakan tes untuk mengukur PKM dan KSM. Pengukuran kemampuan PKM dan KSM ini dilakukan dalam hari yang berbeda karena waktu yang tidak mencukupi.

3.7.3 Tahap Analisis, Pembahasan, dan Pelaporan Hasil Penelitian

Setelah data PKM, KSM, dan BKM terkumpul, data tersebut kemudian dianalisis, dibahas, dan disimpulkan. Tahap ini dapat juga disebut dengan tahap kulailtatif kedua tetapi dengan model yang berbeda, yaitu model phenomenography. Pemilihan model tersebut didasarkan pada pencarian apa yang terjadi dengan hasil kerja siswa dan bagaimana itu dapat terjadi (Neuman, 1998:64-65).

3.8 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari enam macam, yaitu tes, observasi, wawancara, portofolio (hasil kerja siswa), dan kuesioner. Untuk tes dilakukan setelah pembelajaran, observasi dilakukan selama proses pembelajaran,


(42)

untuk portofoli, dan kuesioner dilakukan setelah pembelajaran, sedangkan wawancara dilakukan sebelum, dalam, dan setelah pembelajaran.

3.9 Teknik Pengolahan Data 3.9.1 Statistika Deskriptif

Statistika deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data yang bersifat umum dan bergantung pada pemakai informasi (Siregar, 2005:14). Namun, penyajian data dengan menggunakan statistika deskriptif lebih lengkap dan komunikatif (Sugiono, 2007:29). Penyajian data dalam statistika deskriptif dapat berupa tabel, diagram, dan grafik. Pada analisis data statistika deskriptif hasil penelitian ini, peneliti menganalisis pemusatan data dan penyebaran data dalam bentuk tabel statistika deskriptif. Data yang dianalisis, yaitu: data perbandingan PKM, KSM, dan BKM siswa kelas kontrol dengan kelas eksperimen. Data tersebut akan dilihat juga dari faktor gender, KAM, GBM, dan KAM dan GBM secara bersama-sama.

3.9.2 Statistika Inferensial

Alat uji statistika inferensial yang digunakan pada penelitian ini, yaitu: uji asumsi, uji parametrik, dan uji non-parametrik. Uji asumsi, yaitu: uji normalitas dan kehomogenan data yang dibandingkan. Uji parametrik, yaitu: (1) uji banding dua rerata menggunakan uji t, (2) uji banding rerata tiga data atau lebih menggunkan uji ANOVA dengan uji lanjutan LSD bila homogen atau Games-Howell bila tidak homogen, dan (3) uji jalur yang menggunakan uji linieritas dan koefisien. Uji non-parametrik menggunakan Mann-Whitney U.

3.9.2.1 Uji Asumsi

Pengujian asumsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah sebaran data berdistribusi normal atau tidak. Selain itu, pengujian asumsi untuk mengetahui apakah data yang diolah mempunyai variansi yang homogen atau tidak. Uji asumsi ini dilakukan sebagai dasar pemilihan alat statistika inferensial.


(1)

mempunyai pengaruh langsung terhadap pemecahan masalah, dari hal tersebut kemudian ada pengaruh tidak langsung perumusan masalah terhadap pemecahan masalah. Pada kelas kontrol, yaitu: perumusan masalah berpengaruh langsung terhadap pereprentasian masalah dan pemecahan masalah tetapi tidak mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap pemecahan masalah kemudian pereprentasian masalah tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap pemecahan masalah.

6. BKM siswa pada pembelajaran pendekatan RMT lebih kecil dari pembelajaran pendekatan langsung. Dilihat dari faktor gender menghasilkan simpulan bahwa BKM siswa pria kelas eksperimen labih kecil secara signifikan dari kelas kontrol, akan tetapi pada kelas wanita tidak berbeda secara signifikan. Dilihat dari faktor KAM menghasilkan simpulan bahwa BKM siswa KAM sedang dan rendah pada kelas eksperimen lebih kecil secara signifikan, akan tetapi pada siswa KAM tinggi tidak berbeda secara signifikan. Dilihat dari faktor GBM menghasilkan simpulan bahwa BKM siswa GBM ML dan IL pada kelas eksperimen lebih kecil secara signifikan, akan tetapi pada siswa GBM SL dan UL tidak berbeda secara signifikan. Dilihat dari faktor KAM dan GBM secara bersama-sama menghasilkan simpulan bahwa BKM siswa tidak berbeda secara signifkan.

7. Simpulan PKM, KSM, dan BKM siswa secara bersamaan, antara lain: dilihat dari keseluruhan pembelajaran RMT lebih unggul dari pembelajaran pendekatan langsung, dilihat dari gender bahwa secara EW paling banyak mengambil keuntungan dari pada EP, dilihat dari KAM bahwa SE dan RE lebih bannyak mengambil keuntungan dibanding KAM TE, dilihat dari GBM bahwa kelompok GBM MLE dan ILE paling banyak mengambil keuntungan dari GBM lain pada kelas eksperimen, dan dilihat dari KAM memperhatikan GBM tidak dapat diambil simpulan secara bersama-sama karena hasil analisisnya beragam.


(2)

8. Pengaruh langsung dan tidak langsung dari komponen-komponen BKM pada kelas eksperimen maupun kontrol mempunyai jalur yang sama, yaitu: beban kognitif matematis pembelajaran berpengaruh langsung terhadap beban kognitif matematis materi. Namun, pengaruh BKM pembelajaran terhadap BKM materi siswa kelas eksperimen lebih kecil dari BKM materi siswa kelas kontrol

9. Pengaruh langsung dan tidak langsung antar PKM, KSM, dan BKM siswa kelas eksperimen dan kontrol mempunyai jalur-jalur yang berbeda. Pada kelas eksperimen, yaitu: BKM siswa mempunyai pengaruh langsung KSM tetapi tidak pada PKM, kemudian PKM siswa mempunyai pengaruh langsung pada KSM. Pada kelas kontrol, yaitu: BKM siswa tidak mempunyai pengaruh langsung pada KSM maupun PKM, sedangkan PKM mempunyai pengaruh langsung pada KSM.

10. RMT telah dapat menjawab beberapa fenomena yang ada pada sekolah berasrama berbasis islam, antara lain: (1) mendekat peran guru sebagai konselor akademis selama pembelajaran, (2) menghemat waktu pembelajaran, (3) memungkinkan untuk menjadikan siswa nyaman dalam pembelajaran, (4) pendekatan pembelajaran yang dapat menjadi harapan orang tua terkait akademis anak tercapai dengan baik

5.2 IMPLIKASI

Berdasarkan simpulan di atas, terdapat dua implikasi yang dihasikan dari penelitian ini, yaitu: implikasi praktis dan teoritis. Implikasi praktisnya tersebut, yaitu:

1. Sekolah berasrama akan semakin menjadi pilihan para orang tua siswa pada masa-masa mendatang bila pembelajaran RMT diterapkan di sekolah berasrama berbasis islam.

2. Pembelajaran pendekatan RMT dapat diterapkan di sekolah berasrama islam dengan pertimbangan bahwa RMT merupakan pembelajaran berkeadilan


(3)

dilihat dari aspek gender, KAM, dan GBM siswa untuk mencapai kemampuan PKM, KSM, dan GBM.

3. Pembelajaran pendekatan RMT dapat diterapkan di sekolah berasrama berbasis islam karena telah menunjukkan PKM, KSM, dan BKM yang lebih baik dibanding pembelajaran pendekatan langsung.

4. Pembelajaran pendekatan RMT dapat diterapkan di sekolah berasrama berbasis islam karena telah menunjukkan akselerasi kemampuan PKM, KSM, dan BKM pada siswa wanita.

5. Pembelajaran pendekatan RMT dapat diterapkan di sekolah berasrama berbasis islam karena telah menunjukkan akselerasi kemampuan PKM, KSM, dan BKM pada siswa KAM rendah dan sedang.

6. Pembelajaran pendekatan RMT dapat diterapkan di sekolah berasrama berbasis islam karena telah menunjukkan perhatian pada siswa yang cederung belajar dengan suasana kerjasama (IL) dan prosedural (ML). 7. Pembelajaran pendekatan RMT dapat diterapkan di sekolah berasrama

berbasis islam karena guru dapat menyelenggarakan pembelajaran berfilosofi pada konstruktivisme sebagaimana anjuran pemerintah pada kurikulum 2013.

Implikasi teoritisnya, yaitu:

1. Temuan bahwa pembelajaran pendekatan RMT memberikan peluang yang sama dilihat dari faktor gender, KAM, dan GBM untuk mencapai PKM, KSM, dan BKM yang baik berimplikasi pada tambahan keunggulan lain dari pembelajaran pendekatan RMT khususnya pada sekolah berasrama berbasis islam, selain keunggulan-keunggulan yang telah diungkapkan oleh Kinard & Kozulin (2008).

2. Temuan bahwa KAM siswa kelompok tinggi yang tidak berbeda secara signifikan pada PKM, KSM, maupun BKM menguatkan fenomena umum bahwa siswa dengan KAM tinggi akan mudah beradaptasi dengan berbagai pendekatan pembelajaran apapun dibanding KAM rendah dan sedang,


(4)

khususnya pada sekolah berasrama berbasis islam, hal ini sejalan dengan pendapatnya Sweller (1994) yang menyatakan bahwa siswa dengan skema lengkap, dalam hal ini siswa KAM tinggi, lebih mudah untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

3. Temuan siswa KAM sedang dan rendah pada pembelajaran pendekatan RMT lebih unggul dibanding pendekatan langsung, khususnya pada sekolah berasrama berbasis islam, menguatkan pendapat Kinard & Kozulin (2008) yang menyatakan bahwa RMT adalah lahir dari teori Feuerstein dengan

Structural Cognitive Modifiability (SCM) dan Mediated Learning Exsperience (MLE) dan Feuerstein (2009) menyatakan bahwa pembelajaran

yang memperhatikan asas teori SCM dan MLE akan menjadikan siswa KAM sedang dan rendah dapat mencapai kemampuan yang baik.

4. Temuan siswa GBM ML (Mastery Learning) pada pembelajaran pendekatan RMT lebih unggul dibanding pendekatan langsung menguatkan pendapat Kinard & Kozulin (2008) yang menyatakan guru aktif memediasi siswa untuk mengaktifkan siswa untuk memahami tahapan-tahapan dalam menghadapi konsep dan masalah pada pendekatan RMT, khususnya pada sekolah berasrama berbasis islam. Hal tersebut juga menguatkan pendapat Feuerstein (2009) menyatakan mediasi yang terus dilakukan akan menjadikan siswa dapat mencapai kemampuan yang baik.

5. Temuan siswa GBM IL pada pembelajaran pendekatan RMT lebih unggul dibanding pendekatan langsung, khususnya subjek penelitian sekolah berasrama berbasis islam, menguatkan pendapat Kinard dan Kozulin (2008) yang menyatakan bahwa RMT sebagai pendekatan yang mengaktifkan siswa untuk bekerjasama dan berkolaborasi dengan rekannya untuk mencapai kemampuan tertertentu.

6. Temuan bahwa tidak terdapat perbedaan secara signifikan kemampuan PKM, KSM, dan BKM siswa GBM SL pada pembelajaran pendekatan RMT dengan pendekatan langsung, khususnya subjek penelitian sekolah


(5)

berasrama berbasis islam, memperlihatkan bahwa ada dugaan siswa GBM SL mempunyai self-efficay (keyakinan diri) yang baik dan hal ini berimplikasi pada tidak terdapat perbedaan secara signifikan kemampuan yang diukur pada dua pendekatan tersebut. Hal ini relefan dengan temuan OECD (2010c).

7. Temuan terdapatnya pengaruh langsung perumusanan masalah ke perepresentasian masalah pada pembelajaran pendekatan RMT, akan tetapi tidak terdapat pengaruh langsung perumusanan masalah ke perepresentasian masalah pada pembelajaran pendekatan langsung memberikan gambaran bahwa pembelajaran langsung tidak secara baik mengkaitkan perumusan untuk representasi masalah, hal ini khususnya pada subjek penelitian sekolah berasrama berbasis islam. Atau dengan kata lain, RMT dengan alat psikologisnya telah membuat siswa mengintegarasikan perumusan masalah denga representasi masalah. Tentu saja, temuan ini merupakan penguatan terhadap pendapatnya Kozulin (1998) dan Vygotsky (1978).

5.3 REKOMENDASI

Berdasar hasil penelitian ini, terdapat beberapa rekomedasi pada beberapa pihak yang berkepentingan:

1. Bagi guru, pembelajaran pendekatan RMT direkomendasi untuk diterapkan dalam proses pembelajaran di SMP berasrama. Atau setidaknya, pembelajaran pendekatan RMT direkomendasi menjadi salah satu alternatif pilihan pembelajaran ketika hendak meningkatkan kemampuan pemahaman konseptual, kompetensi strategis, dan beban kognitif matematik siswa lebih baik dari pembelajaran pendekatan langsung. Selain dari itu, pembelajaran pendekatan RMT direkomendasi menjadi salah satu alternatif pilihan pembelajaran ketika hendak mendapatkan kemampuan pemahaman konseptual, kompetensi strategis, dan beban kognitif matematik siswa yang berkeadilan dari faktor gender, kemampuan awal matematik, atau gaya belajar matematik. Terakhir, guru dapat menjadikan RMT sebagai jembatan


(6)

menuju PBL sebagai salah satu pilihan dari pendekatan scientific method pada kurikulum 2013.

2. Bagi peneliti lain, ada tiga hal yang peneliti rekomendasikan pada peneliti lain yang hendak mendalami dan memperluas cakupan dari hasi penelitian ini. Pertama, pengambilan sampel yang lebih banyak sehingga perwakilan dari kelompok data, khususnya gaya belajar matematika siswa agar semuanya dapat terwakili. Kedua, kompetensi yang diukur pada penelitian diperluas tidak hanya dua komponen kecakapan matematik tetapi menyempurnakannya menjadi lima komponen matematik sehingga tergambar kemampuan siswa secara terintegrasi. Ketiga, pengambilan sampel pada siswa SMA berasrama akan memungkinan memunculkan hasil lain karena siswa SMA diindikasikan sudah taraf berpikir formal semua dan karena materinya lebih abstrak.

3. Bagi sekolah berasrama, peneliti memberikan dua rekomendasi. Pertama, perlu ada pelatihan secara khusus bagi guru terkait pembelajaran matematika dengan keberagaman siswa pada sekolah berasrama. Kedua, sekolah menyediakan fasilitas standar yang memungkinan mengakomodasi keberagaman siswa dari kemampuan awal matematik maupun dari gaya belajar matematik, fasilitas tersebut dapat berupa sumber belajar seperti perpustakaan yang lengkap atau akses internet yang menunjang keberagaman tersebut.

4. Untuk siswa, peneliti merekomendasikan siswa untuk mempelajari dan menguasai bentuk alat psikologis agar dapat memahami materi matematika dan memecahkan masalah matematik secara lebih mudah.


Dokumen yang terkait

PENDEKATAN RIGOROUS MATHEMATICAL THINKING (RMT) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN MOTIVASI BELAJAR SISWA SMA : Penelitian Kuasi Eksperimen di kelas XI pada salah satu SMA di Kota Bandung.

12 47 892

PENDEKATAN RIGOROUS MATHEMATICAL THINKING (RMT) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN MOTIVASI BELAJAR SISWA SMA: Penelitian Kuasi Eksperimen di kelas XI pada salah satu SMA di Kota Bandung.

6 31 50

PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP.

0 0 59

PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP.

2 8 63

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMPETENSI STRATEGIS MATEMATIS SISWA SMP.

4 9 52

PROFIL KEMAMPUAN SPASIAL SISWA SMP PADA MATERI GEOMETRI BANGUN RUANG SISI DATAR DITINJAU DARI KEMAMPUAN RIGOROUS MATHEMATICAL THINKING (RMT) DI SMPN 1 SIDOARJO.

1 3 200

KEMAMPUAN LITERASI DAN DISPOSISI STATISTIS MAHASISWA MELALUI PENDEKATAN RIGOROUS MATHEMATICAL THINKING (RMT) - repository UPI T MAT 1402122 Title

0 0 12

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN BRPIKIR MATEMATIS RIGOROUS (RMT) PADA MATERI BANGUN RUANG DI KELAS VIII D SMP NUSANTARA KRIAN

0 0 8

PELAKSANAAN PENDEKATAN RIGOROUS MATHEMATICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEPTUAL, PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SERTA PENGARUHNYA PADA SELF-REGULATED LEARNING SISWA DI SMA Fiki Purnawan UNPAS (email: fiki.purnawan1009@gmail.com) Abstr

0 0 36

Eksperimentasi Model Pembelajaran Rigorous Mathematical Thinking dan Problem Based Learning terhadap Pemahaman Konseptual dan Kompetensi Strategis pada Materi Geometri ditinjau dari Perbedaan Jenis Kelamin Siswa SMPN di Kabupaten Ngawi Tahun Pelajaran 201

0 1 17