MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI PADA PELATIHAN PENGEMBANGAN DESAIN KERAMIK: Studi Pada Komunitas Perajin Keramik Anjun, Plered, Purwakarta.

(1)

MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI PADA PELATIHAN

PENGEMBANGAN DESAIN KERAMIK

(Studi Pada Komunitas Perajin Keramik Anjun, Plered,

Purwakarta)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Sekolah

Oleh Yaya Sukaya

1101184

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2016


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI:

Promotor Merangkap Ketua

Prof. Dr. H. Achmad Hufad, M.Ed. NIP. 195501011981011001

Kopromotor Merangkap Sekretaris

Prof. Dr. H. Sutaryat Trisnamansyah, M.A. NIP. 194009051964031001

Anggota

Dr. Uyu Wahyudin, M.Pd. NIP. 196009261985031003

Ketua Program Studi Pendidikan Luar Sekolah SPS UPI

Dr. Jajat S. Ardiwinata, M.Pd NIP. 195908261986031003


(3)

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh belum berkembangnya kreativitas perajin keramik Kampung Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta dalam pengembangan desain keramik, sehingga produk keramik yang dihasilkan memiliki desain yang cenderung tidak berubah dari waktu ke waktu. Berbagai pelatihan desain telah dilaksanakan namun dirasakan belum efektif dalam menumbuhkembangkan kreativitas perajin keramik dalam membuat keramik dengan desain yang berbeda dari biasanya, yang berdampak pada nilai jual keramik yang relatif rendah. Tujuan penelitian ini adalah implementasi model pembelajaran mandiri dalam konteks pelatihan pengembangan desain.

Konsep yang dijadikan rujukan penelitian ini, diantaranya adalah (1) Konsep Pelatihan, (2) Konsep Belajar dalam Pelatihan, (3) Konsep Pembelajaran Mandiri, (4) Konsep Kompetensi, (5) Konsep Kreativitas dan Inovasi, dan (6) Konsep Difusi Inovasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat naturalistic-inquiry. Pengukuran efektivitas model pembelajaran mandiri dalam meningkatkan kompetensi desain keramik didasarkan pada aspek learning, reaction, result, dan behavior. Teknik Pengumpulan data melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi, tes, dan triangulasi.

Temuan yang diperoleh dari penelitian ini adalah (1) pelatihan desain yang selama ini diberikan bagi perajin keramik belum mampu menumbuhkembangkan kreativitas perajin dalam pengembangan desain keramik, (2) pelatihan desain keramik yang dirancang bertumpu pada pembelajaran mandiri, di mana setiap perajin keramik dituntut kreatif dalam pengembangan desain keramik secara mandiri. Prosesnya dilakukan secara bertahap dan memerlukan intervensi instruktur serta perlu adanya interaksi dua arah antara instruktur dan peserta pelatihan, (3) implementasi model pembelajaran mandiri telah memperhatikan kaidah-kaidah pengembangan desain keramik secara komprehensif dan tahapan konstruksi belajar mandiri mulai dari dependent, interested, involved, sampai dengan self-directed. (4) model pembelajaran mandiri ternyata berhasil dalam meningkatkan kompetensi desain, yang ditunjukkan dengan meningkatnya kognitif, psikomotorik, dan afektif perajin keramik berkenaan dengan desain keramik, respon positif perajin keramik terhadap pelaksanaan model pembelajaran mandiri, performansi produk keramik yang dihasilkan sangat baik, serta terjadinya proses difusi inovasi dalam skala yang terbatas dimana perajin keramik yang mengikuti pelatihan desain menjadi agen perubahan bagi masyarakat sekitarnya.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran mandiri dalam pengembangan desain dapat dijadikan sebagai standar bagi para stakeholders dalam membangun kreativitas perajin keramik untuk mengembangkan desain keramik, sehingga produk keramik yang dihasilkan benar-benar memiliki nilai jual yang tinggi dan dapat bersaing baik di pasar lokal maupun internasional.

Kata Kunci: Model Pembelajaran Mandiri, Komunitas Perajin Keramik, Pelatihan Pengembangan Desain Keramik


(4)

ABSTRACT

The background of this research is the underdevelopment of the ceramic artist’s creativity in Anjun’s village, placed in the subdistrict of Plered and regency of

Purwakarta. This phenomenon has caused the monotonous inclined product design of those artists from time to time. Many capacity building trainings had been done but it seems that those trainings are uneffective in order to increase the growth of ceramic

artists’s creativities in making new designs which has a significant impact on the dropped rating sales of the ceramics. The objectives of this research was to construct a directed learning model in the context of ceramics design training.

This research was conducted based on concepts, namely: (1) the concept of training, (2) the concept of learing in training, (3) the concept of self directed learning, (4) the concept of competency, (5) the concept of creativity and innovation, and (6) the concept of innovation diffution. This research used a qualitative method which has a characteristic of naturalistic-inquiry. The measurement of the effectivity of the self directed model in increasing the design competence was based on several aspect, which are; learning, reaction, result, and behavior. Data was collected through the use of interview, questionnaire, observation, documentation study, and triangulation.

The results of this research revealed that (1) the design capacity building which have been given to the ceramic artists wasn’t able to push the creativity of the artists in improving their ability to evolve the ceramics design (2) the design capacity building that will be used should be focus on the independent learning concept, wherein every each of the artist should be more creative in evolving their ability to make any new ceramic

design. The capacity building’s process also should be divided into several sequence of phases, need the instructor’s intervention, and need a dynamic interaction between the

instructor and the participant (3) self directed model which will be used already has a

special attention on the ceramic design’s development principle and construction phases

of an independent study method comprehensively, which consists of; dependent, interested, involved and self-directed. (4) the self directed model actually more effective

in increasing the design’s competence which is proved by the increasing level of artits’s cognitive, psikomotoric, and affective in terms of ceramic’s design, positive responses toward the actuating of the independent study method, a better performance of the

ceramic’s product, and actuating of the innovation diffusion in a limited scale wherein the ceramic’s artists who is joining the design capacity building became the agent of change for their respective community.

Based on those facts, it could be concluded that self directed learning model for the

development of ceramic’s design could become the standard study model for the

stakeholders in the development of the ceramic artists’s creativities in design creation, so that their ceramic products could have a high rating sales and could be finely compete whether in a local or international market.

Keywords: Model of Self-Directed Learning, Community of Ceramic Artisans, Development of Ceramic Design Training


(5)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR FOTO ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

1. Peranan Industri Kreatif dalam Pertumbuhan Ekonomi ... 1

2. Industri Kerajinan Keramik dan Pertumbuhannya ... 5

3. Kontribusi Desain dalam Pembuatan Keramik ... 9

4. Pembelajaran Mandiri dalam Pelatihan Desain Keramik ... 11

5. Komunitas Perajin Anjun dan Permasalahannya ... 13

B. Identifikasi Masalah ... 15

C. Perumusan Masalah... 15

D. Tujuan Penelitian ... 16

E. Manfaat Penelitian ... 16

F. Struktur Organisasi Disertasi ... 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 19

A. Konsep Pelatihan... 19

1. Pengertian Pelatihan ... 21

2. Tujuan dan Manfaat Pelatihan ... 22

3. Asas-Asas Pelatihan ... 23

4. Model-Model Pelatihan ... 24

B. Konsep Belajar dalam Pelatihan ... 30

1. Pengertian Belajar ... 30

2. Ciri-ciri Belajar ... 30

3. Teori Belajar ... 31

4. Pembelajaran Orang Dewasa ... 37

C. Konsep Pembelajaran Mandiri ... 40

1. Pengertian Pembelajaran Mandiri ... 40

2. Aspek dalam Pembelajaran Mandiri ... 41

3. Tahapan Pembelajaran Mandiri ... 43

4. Karakteristik Pembelajaran Mandiri ... 45

5. Perspektif Pembelajaran Mandiri ... 45

D. Konsep Kompetensi ... 47

1. Pengertian Kompetensi ... 47

2. Indikator Kompetensi ... 51


(6)

Yaya Sukaya, 2016

4. Desain dan Kompetensi Desain ... 52

E. Konsep Kreativitas dan Inovasi ... 59

1. Pengertian Kreativitas dan Inovasi ... 59

2. Berpikir Kreatif ... 61

F. Konsep Difusi Inovasi ... 63

1. Pengertian Difusi dan Inovasi ... 63

2. Elemen Difusi Inovasi ... 63

3. Keputusan Difusi Inovasi ... 64

4. Kategori Adopter ... 66

5. Inovasi dalam Sistem Sosial ... 67

G. Penelitian-Penelitian Relevan ... 69

H. Kerangka Berpikir ... 75

BAB III METODE PENELITIAN... 78

A. Pendekatan Penelitian ... 78

B. Metode Penelitian ... 81

C. Subyek Penelitian ... 82

1. Lokasi Penelitian ... 82

2. Sumber Data ... 83

D. Teknik Pengumpulan Data ... 84

1. Observasi Terkontrol ... 84

2. Tes ... 84

3. Wawancara ... 85

4. Studi Dokumentasi ... 85

5. Triangulasi ... 85

E. Definisi Operasional Penelitian ... 86

F. Pengembangan Instrumen Penelitian ... 87

G. Teknik Analisis Data ... 88

1. Analisis Terhadap Model Pembelajaran Mandiri ... 89

2. Analisis Tentang Keberhasilan Model Pembelajaran Mandiri dalam Pelatihan Desain Keramik ... 89

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN ... 93

A. Hasil Temuan Penelitian ... 93

1. Introduksi ... 93

2. Deskripsi Existing Pelatihan Pengembangan Desain Keramik .. 101

3. Program Pelatihan Pengembangan Desain Keramik ... 107

4. Studi Kasus Model Pembelajaran Mandiri Komunitas Perajin Keramik ... 137

5. Penililaian Keberhasilan Model Pembelajaran Mandiri ... 157

B. Pembahasan Hasil Temuan ... 163

1. Introduksi ... 163

2. Program Pelatihan Pengembangan Desain Keramik ... 163

3. Model Pembelajaran Mandiri dalam Pelatihan Pengembangan Desain Keramik ... 167

4. Keberhasilan Model Pembelajaran Mandiri ... 182

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ... 200

A. Simpulan ... 200

B. Implikasi ... 202


(7)

Yaya Sukaya, 2016

MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI PADA PELATIHAN PENGEMBANGAN DESAIN KERAMIK (Studi

DAFTAR PUSTAKA ... 205 LAMPIRAN ... 212 RIWAYAT HIDUP ... 229


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

1. Peranan Industri Kreatif dalam Pertumbuhan Ekonomi

Ketahanan industri kreatif di sebagian besar negara-negara di dunia cukup mengagetkan. Kesadaran pemerintah di tiap negara berdampak kepada dorongan untuk memajukan industri kreatif dengan berbagai kebijakan dan bantuan yang bertujuan untuk mendorong laju pertumbuhan indutri kreatif baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Negara-negara yang paling sungguh-sungguh melakukan pengembangan yang cukup radikal adalah Negara United Kingdom, New Zealand, Taiwan, Thailand, Malaysia, China, dan Singapura (Pangestu, 2008).

Pemerintahnya memberi motivasi dengan memberikan berbagai kemudahan, seperti bantuan modal yang besar tanpa bunga dan anggunan. Pelatihan dilakukan oleh tenaga ahli yang profesional dan berkesinambungan baik dari dalam maupun luar negeri, pengiriman ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan, pemasaran yang luas, dan sungguh-sungguh baik dilakukan pemerintah maupun swasta, sehinga berdampak pada kualitas produk yang dihasilkan, volume yang banyak, desain yang sangat variatif, dan harga yang relatif murah.

Pertama, di Negara United Kingdom mekanisme pengelolaan industri kreatif dilakukan dengan koordinasi tunggal oleh Department Culture, Media, and Sport (DCMS). DCMS mengkoordinasikan pemerintah dalam mengembangkan industri: Architecture, the Arts dan Antiques Markets, Crafts, Designer Fashion, Film dan Video, Music, Performing Arts, Televisons, dan Radio. DCMS bersama-sama dengan Departement for Business, Enterprise and Regulatory Reform (BERR) mengembangkan industri Advertising, Computer, Video Games, Design and Publishing. BERR ini merupakan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas beberapa perangkat lunak.

Kedua, di Negara New Zealand mekanisme pengelolaan melalui koordinasi tunggal oleh lembaga bentukan baru yaitu New Zealand Trade and Enterprise


(9)

(NZTE). NZTE ini adalah government’s national economic development agency yang mengkordinasikan kementrian industri kreatif melalui pembentukan task forces (pokja-pokja). Ketiga, di Negara Singapura mekanisme pengelolaannya melalui koordinasi tunggal oleh kementrian yang sudah ada yaitu Ministry of Information, Communication and the Art (MICA), koordinasi antar departemen dilakukan oleh instansi-instansi di dalam MICA.

Keempat, di Negara China mekanisme pengelolaannya dilakukan melalui kolaborasi antar departemen yang terkait dengan masing-masing subsektor industri kreatif dengan pemerintah daerah, departemen-departemen pusat bertanggung jawab membuat dan menyesuaikan kebijakan subsektoral industri kreatif yang terkait untuk mendukung pemerintah daerah. Pemerintah daerah bertanggung jawab mengimplementasi pengembangan klaster subsektor industri kreatif. Kelima, di Negara Taiwan, mekanisme pengelolaannya melalui koordinasi tunggal oleh Kementrian Bidang Ekonomi. Koordinator memimpin kolaborasi empat kementrian, berkaitan dengan perencanaan dan implementasi pengembangan industri kreatif.

Keenam, di Negara Malaysia mekanisme pengelolaanya dilakukan melalui kolaborasi antara beberapa lembaga pemerintah sesuai dengan subsektor industri kreatif yang akan dikembangkan. Ketujuh, di Negara Thailand mekanisme pengelolaan dilakukan melalui koordinasi tunggal oleh badan ad hoc bentukan yaitu Thailand Creative & Design Centre (TCDC). Secara umum perbandingan pengelolaan industri di negara-negara tersebut, yang menyangkut mekanisme pengelolaan dan lembaga terkait disajikan pada Tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1 Pengelolaan Industri Kreatif di Beberapa Negara

Negara Mekanisme Pengelolaan Lembaga Terkait

United Kingdom

1. Koordinasi tunggal oleh Departement Culture, Media, and Sport (DCMS).

2. DCMS mengkoordinasikan pemerintah dalam mengembangkan industri: Architecture, the Arts dan Antiques Markets, Crafts, Designer Fashion, Film dan Video, Music, Performing Arts, Televisons, dan Radio.

3. DCMS bersama-sama dengan Departement for Business, Enterprise and Regulatory Reform (BERR) mengembangkan industri Advertising, Computer, Video Games, Design and

Publishing.

4. BERR ini merupakan lembaga pemerintah yang

1. Departement Culture, Media, and Sport (DCMS) 2. Departement for Business, Enterprise and Regulatory Reform (BERR)

3. Design Council

4. National Endowment for Science, Technology, and the Arts (NESTA)


(10)

Negara Mekanisme Pengelolaan Lembaga Terkait

bertanggung jawab atas perangkat lunak New

Zealand

1. Koordinasi tunggal oleh lembaga bentukan baru yaitu New Zealand Trade and Enterprise (NZTE).

2. NZTE ini adalah government’s national economic development agency yang

mengkordinasikan kementrian industri kreatif melalui pembentukan task forces (pokja-pokja).

New Zealand Trade and Enterprise (NZTE)

Singapore 1. Koordinasi tunggal oleh kementrian yang sudah ada yaitu Ministry of Information,

Communication and the Art (MICA) 2. Koordinasi antar departemen dilakukan oleh

instansi-instansi di dalam MICA.

1. MICA konseptor, kordinator dan kolaborator,

2. Ministry of Trade and Industry

China 1. Kolaborasi antar departemen yang terkait dengan masing-masing subsektor industri kreatif dengan pemerintah daerah, pembagian peran

2. Departemen-departemen pusat bertanggung jawab membuat dan menyesuaikan kebijakan subsektoral industri kreatif yang terkait untuk mendukung pemerintah daerah. Pemerintah daerah bertanggung jawab mengimplementasi pengembangan klaster subsektor industri kreatif.

1. Ministry of Culture, 2. State Administration of

Radio, Film and TV (SARFT)

3. Administration of Press and Publishing (GAPP) 4. Ministry of science an

tecnology mengelola game. 5. Ministry of Science and

Tecnology

6. Ministry of Cintruction Taiwan 1. Koordinasi tunggal oleh Kementrian Bidang

Ekonomi.

2. Koordinator memimpin kolaborasi empat kementrian, berkaitan dengan perencanaan dan implementasi pengembangan industri kreatif.

1. Menteri Bidang Ekonomi 2. Menteri Pendidikan 3. Kantor Informas Pemerintah 4. Dewan Kebudayaan Malaysia Kolaborasi antara beberapa lembaga pemerintah

sesuai dengan subsektor industri kreatif yang akan dikembangkan

1. Ministry of art culture and heritage;

2. Ministry of enterpleneur and corporation;

3. MDIC (Malaysia design and Inovation Centre) Thailand Koordinasi tunggal oleh badan ad hoc bentukan

yaitu Thailand Creative & Design Centre (TCDC)

1. Departemen Luar negeri, 2. Departemen Perdagangan, 3. Departemen Perindustrian, 4. Bank untuk UKM

(Sumber: Pangestu, 2008)

Sementara itu, industri kreatif di Negara Indonesia keberadaanya memilki sejarah yang cukup panjang. Negara Indonesia terdiri dari banyak pulau, baik yang besar maupun kecil dengan banyak suku bangsa dan berbagai kebudayaan, seperti seni tari, seni musik, seni kerajinan, seni rupa dan seni-seni lainnya. Hal ini merupakan kekayaan yang tak ternilai dan apabila dikemas dengan profesional akan dapat menyumbang devisa negara yang sangat besar. Industri kreatif di Indonesia merupakan industri yang mampu bertahan, bahkan menjadi penopang laju roda perekonomian di Indonesia. Pada saat terjadinya krisis moneter di tahun 1997 begitu juga pada krisis keuangan tahun 2007, industri kreatif di Indonesia


(11)

memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 104,638 triliun di atas rata-rata kontribusi sektor: pengangkutan dan komunikasi, bangunan dan listrik, gas, dan air bersih, dengan kemampuan menyerap tenaga kerja sebesar 5,4 juta pekerja serta produktivitas tenaga kerja mencapai 19,5 juta per pekerja tiap tahunnya.

Sementara jumlah perusahaan yang bergerak di sektor ini hingga tahun 2006 mencapai 2,2 juta, berkisar 5,17% dari jumlah perusahaan yang ada di Indonesia. Pada tahun 2006 ini pula, industri kreatif telah melakukan ekspor sebesar 81,5 triliun rupiah mencapai hingga 9,13% dari total ekspor nasional. Kondisi ini disambut baik oleh berbagai pihak yang terkait termasuk pemerintah dengan mengeluarkan berbagai peraturan untuk menunjang berkembangnya industri kreatif. Pada tahun 2008, Pemerintah Republik Indonesia memasukan industri kreatif sebagai prioritas pembangunan industri nasional, melalui Peraturan Presiden no 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Industri Kreatif menjadi bagian penting untuk dikembangkan sebagai upaya menuju terwujudnya ekonomi kreatif tahun 2025.

Kemudian sebagai tindak lanjut Peraturan Presiden no 28 tahun 2008, presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang pengembangan ekonomi kreatif kepada 28 instansi Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mendukung kebijakan Pengembangan Ekonomi Kreatif tahun 2009-2015. Selain itu, Departemen Perdagangan RI mengelompokkan 14 (empat belas) jenis industri kreatif, yaitu: (a) periklanan, (b) arsitektur, (c) pasar seni dan barang antik, (d) kerajinan, (e) desain, (f) fesyen, (g) video, film, dan fotografi, (h) permainan interaktif, (i) musik, (j) seni pertunjukan, (k) penerbitan dan percetakan, (l) layanan komputer dan piranti lunak, (m) televisi dan radio, dan (n) riset dan pengembangan. Tindak lanjut dukungan pemerintah terhadap industri kreatif diantaranya, bantuan berupa pinjaman modal tanpa anggunan, pemasaran, izin usaha dipermudah, pengharusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menjadi mitra usaha dan berbagai pelatihan diberikan lewat instansi terkait, lembaga Swadaya Masyarakat, dan perguruan tinggi.


(12)

2. Industri Kerajinan Keramik dan Pertumbuhannya

Industri kerajinan merupakan subsektor industri kreatif. Menurut Pangestu (2008), industri kerajinan merupakan kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi produk yang dibuat dan dihasilkan oleh tenaga perajin yang berawal dari desain awal sampai dengan proses penyelesaian produknya, antara lain meliputi barang kerajinan yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan kulit, rotan, bambu, kayu, logam (emas, perak, lembaga, perunggu, besi), kaca, porselin, kain, marmer, tanah liat, dan kapur.

Sementara itu, berdasarkan Simposium Internasional UNESCO/ITC “Craft and the International Market Trade and Custom Codification” dalam Pangestu (2008) kerajinan adalah industri yang menghasilkan produk-produk, baik secara keseluruhan dengan tangan atau menggunakan peralatan biasa, peralatan mekanis mungkin juga digunakan sepanjang kontribusi para perajin tetap lebih substansial pada komponen produk akhir. Produk kerajinan tersebut dibuat dari bahan baku dalam jumlah yang tidak terbatas, produk itu berupa produk kegunaan, estetik, artistik, kreatif, pelestarian budaya, dekoratif, tradisional, religius, dan simbol-simbol sosial. Dengan demikian, berdasarkan bahan baku, produk kerajinan dapat dikategorikan menjadi: (a) keramik, (b) logam, (c) natural fiber, (d) batu-batuan, (e) tekstil, dan (f) kayu.

Industri kerajin memiliki posisi strategis dalam kebijakan pembangunan industri di Indonesia, yaitu membangun struktur industri yang kuat, unggul bersaing di pasar domestik dan asing, dengan local content intensive. Tiga arah utama untuk mencapai sasaran pengembangan industri kerajinan adalah (a) stabilisasi dan ekspansi pasar, dengan tujuan unfreezing the value dari pekerja kreatif kerajinan, sehingga lebih mudah dibangun menjadi pondasi yang kokoh, (b) penguatan struktur industri, baik industri hulu, rantai produksi dan distribusi, dan (c) inovasi rantai kreasi bermuatan lokal. Berkaitan dengan hal ini, telah dirumuskan peta jalan pengembangan industri kerajinan, seperti yang tersaji pada Gambar 1.1.

Stabilisasi dan ekspansi pasar pada dasarnya merupakan penguatan pondasi people, karena pelatihan, pengembangan, pusat inovasi, dan inkubator bisnis yang selama ini dilakukan ternyata belum memberikan hasil yang signifikaan.


(13)

Penguatan struktur industri bertujuan untuk mencapai industri yang semakin efisien pada seluruh rantai nilai.Sementara itu, inovasi rantai kreasi bermuatan lokal bertujuan untuk menciptakan loyalitas konsumen terhadap produk kerajinan bermutu, harga kompetitif, dan desain yang inovatif.

Gambar 1.1 Peta Jalan Pengembangan Industri Kerajinan di Indonesia (Sumber: Pangestu, 2008)

Berdasarkan Gambar 1.1 ditunjukkan bahwa Peta Jalan Pengembangan Subsektor Industri Kerajinan dimulai tahun 2009 s.d. 2015, di mana terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu (a) Pemerintah, (b) Bisnis, dan (c) Cendikiawan. Strategi yang dilakukan oleh pemerintah, bisnis, dan cendekiawan pada arah kebijakan stabilisasi dan ekspansi pasar diantaranya adalah (a) melaksanakan sistem lokomotif memanfaatkan ikon-ikon nasional, (b) melakukan intensifikasi kerjasama dengan ritel-ritel modern, (c) mengembangkan trading house, (d) melakukan promosi di dalam dan luar negeri, (e) merancang skema pembiayaan yang sesuai, (f) memberikan insentif pertumbuhan, (g) menyelenggarakan ajang apresiasi kreatif, dan (h) melakukan arahan edukatif.

Strategi yang dilakukan oleh pemerintah, bisnis, dan cendekiawan pada arah kebijakan efisinesi industri diantaranya adalah (a) melakukan revitalisasi regulasi ekspor, (b) menyempurnakan public service dan administrasi kreatif, (c) melakukan revitalisasi regulasi impor bahan baku, (d) melakukan revitalisasi


(14)

rgulasi lain yang terkait, (e) membangun jalur distribusi dan konektivitas antar daerah, (f) menganalisis kemungkinan relokasi, (g) mengembangkan budidaya bahan baku, dan (h) meningkatkan riset bahan baku.

Sementara itu, strategi yang dilakukan oleh pemerintah, bisnis, dan cendekiawan pada arah kebijakan inovasi rantai kreasi bermuatan lokal diantaranya adalah (a) mendirikan pusat desain, (b) memperbaiki infrastruktur teknologi komunikasi dan informasi, (c) melakukan pencitraan dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), (d) meningkatkan riset inovasi multidisiplin, (e) menyelenggarakan pelatihan kewirausahaan dan business coaching, dan (f) membangun lembaga pendidikan dan pelatihan.

Salah satu industri kerajinan yang mempunyai prospek untuk terus dikembangkan adalah industri keramik. Prospek industri keramik nasional dalam jangka panjang cukup baik seiring dengan pertumbuhan pasar dalam negeri yang terus meningkat, terutama untuk jenis tile/ubin karena didukung oleh pertumbuhan pembangunan baik properti maupun perumahan. Produksi keramik nasional setiap tahunnya terus meningkat dan memberikan kontribusi yang cukup baik dalam mendukung pertumbuhan perekonomian nasional. Oleh karena itu industri keramik terus meningkatkan kualitas maupun desainnya guna merebut pangsa pasar dalam negeri dan manca negara.

Indonesia sudah menjadi salah satu produsen top dunia di bidang keramik, peringkat ke-6 di antara 30 negara produsen teratas pada tahun 2012 dan salah satu dari 10 negara teratas dalam hal konsumsi keramik sejak 2010. Dengan total impor dan ekspor Rp20 triliun pada 2012, diperkirakan tahun ini nilainya akan mencapai Rp 30 triliun. Menurut data Asosiasi Industri Keramik Indonesia (Asaki), industri keramik di Indonesia diperkirakan akan tumbuh 15% - 20% tahun ini. Didukung oleh ekonomi Indonesia yang terus berkembang, saat ini konsumsi domestik yang kuat dari produk keramik dan pesatnya pertumbuhan di sektor properti dan konstruksi lokal, permintaan untuk produk-produk keramik berkualitas seperti lantai, ubin dinding, ubin atap dan barang sanitary terus meningkat.

Sejak tahun 2011, industri keramik lokal telah mengalami pertumbuhan permintaan domestik 10% - 15% per tahun. Konsumsi produk keramik di


(15)

Indonesia juga meningkat, sekitar 8% - 10% peningkatan konsumsi per kapita per tahun. Total penjualan untuk industri keramik di Indonesia mencapai Rp 4,6 triliun (USD 500 juta) pada kuartal pertama tahun 2012. Kemampuan Indonesia untuk menghasilkan produk-produk berkualitas tinggi keramik, desain yang kuat serta kelimpahan sumber daya alam dan bahan baku, membuat posisi Indonesia untuk menjadi pusat regional untuk pembuatan keramik dan ritel.

Menurut Dyah dan Ai (2008) keramik mempunyai fungsi dan peranan startegi dalam tradisi masyarakat Indonesia, di mana Indonesia sebagai negara kepulauan yang dikelilingi laut dan dilintasi banyak sungai merupakan wilayah strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan di masa lalu. Karena kondisi strategis inilah, interaksi terjadi antara masyarakat pribumi dengan kaum pendatang, salah satunya dalam perkembangan keramik di beberapa wilayah Indonesia. Sampai saat ini, penggunaan aneka benda keramik masih terlihat dalam kegiatan tradisi, seperti dalam upacara perkawinan, kelahiran, kematian, dan persembahan. Produk keramik yang paling sering ditemukan untuk kegiatan-kegiatan tersebut adalah kendi, yaitu sejenis wadah penyimpanan air.

Pada awalnya produk keramik diciptakan dan digunakan sebagai benda pragmatis, yaitu benda keramik yang berorientasi pada segi utilitas untuk menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari (Arimbawa, 2011). Pembuatan produk keramik pada awalnya berfungsi sebagai “wadah” seperti penemuan beberapa mangkuk, priuk, kendi, dan sebagainya (Mulyadi, 2007). Dewasa ini, ranah perkembangan keramik semakin meluas dan kompleks sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Penciptaan keramik tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan sendiri, namun diproduksi secara masal dan dijadikan sebagai barang yang memiliki nilai finansial, sehingga produk keramik termasuk di Indonesia dapat dipasarkan secara regional, nasional, atau diekspor ke manca negara.

Usaha keramik di Indonesia tanpa disadari telah memasuki era globalisasi ekonomi dalam lingkup perdagangan bebas atau lingkungan pasar global (global market) yang ditandai dengan terjadinya integrasi ekonomi dunia (Arimbawa, 2011). Hal ini merupakan persoalan krusial bagi perkembangan keramik di Indonesia, karena pasar global membawa pengaruh dan dampak ganda, di satu sisi


(16)

merupakan kesempatan atau peluang untuk menjalin kerjasama yang seluas-luasnya dengan berbagai negara produsen dan konsumen produk keramik di dunia, sebagai pintu untuk meningkatkan kemampuan dalam mendesain, menciptakan produk keramik berkualitas dengan harga yang kompetitif. Sementara di sisi lain, dapat menjadi ancaman atau tantangan yang perlu diwaspadai (Piliang, 2005).

3. Kontribusi Desain dalam Pembuatan Keramik

Istilah desain memiliki pengertian yang berbeda-beda (Widagdo, 2005). Desain mencakup pengertian yang luas, meliputi merancang software, menyusun kerangka penelitian, merancang mesin, gedung, dan ruang. Kata desain bukan sekedar rancang bangun karena kata tersebut tidak dapat mewadahi kegiatan, keilmuan, keluasan dan pamor profesi atau kompetensi (Sachari, 1989). Desain menurut Heskett (1986) merupakan “hasil karya seseorang atau hasil karya suatu kelompok kerja sama, bisa saja kumpulan dari ledakan intuisi kreatif, atau hasil dari keputusan yang telah diperhitungkan berdasarkan data-data teknis atau penelusuran pasar. Desain dapat diartikan pula sebagai rancangan (KBBI, 2008). Desain juga dapat diartikan sebagai mencari mutu yang lebih baik, mutu material, teknis, performansi, bentuk dan semuanya baik secara bagian maupun keseluruhan. Dikaitkan dengan produk keramik, desain ditempatkan dalam konteks kegiatan perancangan yang menghasilkan wujud benda untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam lingkup seni rupa.

Kualitas desain merupakan suatu hal yang penting dalam suatu karya baik karya seni murni maupun terapan seperti halnya keramik. Pada dasarnya, keindahan merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah desain. Faktor yang merupakan hambatan dalam pengembangan desain adalah lemahnya tradisi cipta kita (Sachari, 1989). Desain yang berkualitas adalah desain yang mampu memenuhi permintaan pasar. Proses membuat desain umumnya membutuhkan pertimbangan aspek estetika, fungsional, dan banyak aspek lain yang biasanya memerlukan riset serius, pemikiran, pembuatan model, penyesuaian perhitungan, dan desain ulang. Sementara langkah pertama dari pencarian ide atau gagasan dan proses penciptaan biasanya digunakan nama “konsep desain”.


(17)

Pertimbangan yang dipakai dalam proses desain yang juga merupakan syarat bagi suatu desain yang baik adalah faktor kegunaan, fungsi, produksi, pemasaran keuntungan, dan nilai rupa atau estetis dari benda pakai itu (Sachari. 1989). Jadi desain dan kriya keramik merupakan hal yang saling terkait dan berkesinambungan dan memiliki peran yang sangat penting dalam seni rupa. Dalam merancang desain pastinya menggunakan unsur titik, garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika.

Minat pasar internasional terhadap produk keramik cukup besar, aspek desain menjadi salah satu hal penting dalam industri keramik. Konsumen industri keramik menuntut perubahan yang terus menerus pada aspek desain sesuai kebutuhan pasar. Oleh karena itu, pelaku dunia industri keramik dituntut terus untuk selalu mengembangkan kreativitas desainnya. Di dalam pengembangan desain keramik, ada banyak sekali fakor yang dapat digunakan dalam pelaksanaanya. Menurut Masri (2010), pengembangan desain yaitu dengan cara “strategi eksplorasi unsur visual dan strategi eksplorasi matrial. Jadi strategi yang digunakan untuk mengangkat/meningkatkan harga pasar sebuah produk kriya keramik adalah desain, sehingga desain merupakan suatu hal yang sangat penting untuk sebuah industri di bidang seni, termasuk keramik.

Penciptaan desain keramik yang berkualitas tidak terlepas dari kreativitas. Hal ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Zainuddin (2010) yaitu desain sebagai kegiatan yang menuntut kreativitas dan daya imajinasi pembuatnya, menawarkan mutu estetis. Melalui kreativitas dapat dikembangkan desain keramik yang bersumberkan motif-motif dan bentuk-bentuk baru dengan menuangkan ide-idenya di atasnya. Menciptakan desain keramik tidak hanya dapat dikerjakan oleh orang-orang berbakat saja melainkan perlu latihan untuk mengembangkan ide-ide terbarunya secara kreatif. Desain produk kerajinan, termasuk keramik, mengandung upaya mencari struktur dan material yang tepat. Penciptaan desain juga memerlukan proses berfikir yang sistematis untuk mencapai mutu hasil yang optimal.

Dengan demikian pada hakekatnya desain adalah mencari mutu yang lebih baik, mutu material, teknis dan performansi, dan bentuk baik secara perbagian maupun secara keseluruhan yang membutuhkan proses berpikir kreatif, karena


(18)

dalam penciptaan desain ada tahapan-tahapan berfikir, yaitu: (a) pencarian gagasan, yang dipengaruhi oleh pengalaman internal dan eksternal, (b) pengolahan gagasan, yang hasilnya memunculkan gagasan awal, (c) penyesuaian dengan fungsi yang akan dibuat, sehingga menghasilkan gagasan baru, dan (d) pengembangan yang berkelanjutan tergantung kepada kreativitas dan kemampuan seseorang. Keempat hal tersebut dipengaruhi oleh pengalaman, baik secara faktual maupun proses berpikir.

Masri (2010) mengatakan kemunduran ekspor produk industri kreatif khususnya kerajinan diantaranya disebabkan oleh pola pikir pelaku industri kerajinan yang masih banyak mengandalkan pola tradisi. Akibatnya dari sisi kualitas desain, kerajinan Indonesia hampir tidak pernah menawarkan inovasi. Walaupun ada kecepatan pertumbuhannya sangat lambat. Kenyataan saat ini persoalan kompetensi desain merupakan persoalan yang dihadapi hampir di seluruh sub sektor industri kreatif, termasuk industri kerajinan keramik. Akibatnya produk yang dihasilkan seringkali jenuh, monoton dan bernilai jual rendah. Hal ini dapat berakibat buruk terhadap eksistensi industri keramik, karena daya saing kompetitifnya menjadi menurun. Ketidakmampuan dalam hal desain ditunjukan oleh kebiasaan mereka menjiplak produk perajin lainnya tanpa sedikit pun melakukan pengembangan dan terjebak membuat produk dengan desain yang diwariskan secara turun temurun

4. Pembelajaran Mandiri dalam Pelatihan Desain Keramik

Belajar mandiri atau kemandirian dalam belajar mempunyai pengertian sebagai “…the ability to take charge of one’s learning” (Holec, 1981) yaitu kemampuan seseorang dalam bertanggungjawab atas proses pembelajarannya. Belajar mandiri disebut juga sebagai self directed learning atau independent learning atau self regulated learning. Harrison (1978) melihat self directed learning sebagai proses pengorganisasian instruksi, yaitu memfokuskan perhatian peserta didik pada tingkat otonomi atas proses instruksional. Guglielmino (1977), Kasworm (1988), dan (Candy, 1991) mendefinisikan self directed learning

sebagai pengarahan diri sendiri sebagai atribut pribadi, dengan tujuan pendidikan digambarkan sebagai individu berkembang yang dapat mengasumsikan otonomi moral, emosional, dan intelektual.


(19)

Belajar mandiri dalam pengertian self regulated learning menurut Bell dan Akroyd (2006) merupakan bagian dari teori pembelajaran kognitif yang menyatakan bahwa perilaku, motivasi, dan aspek lingkungan belajar mempengaruhi prestasi seorang peserta didik. Chamot dkk (1999) menyatakan bahwa, self regulated learning adalah sebuah situasi belajar di mana peserta didik memiliki kontrol terhadap proses pembelajaran tersebut melalui pengetahuan dan penerapan strategi yang sesuai, pemahaman terhadap tugas-tugasnya, penguatan dalam pengambilan keputusan dan motivasi belajar. Montalvo dan Torres (2004) berpendapat bahwa peserta didik yang telah mampu melakukan self regulated learning akan tercermin dari kemampuan mereka berpartisipasi aktif dalam pembelajaran baik dari segi metakognitif, motivasi dan kesungguhan perilaku dalam pencapaian tujuan belajar.

Pada dasarnya belajar mandiri dikembangkan untuk meningkatkan tanggungjawab peserta didik dalam proses pembelajaran. Tanggungjawab peserta didik dalam proses pembelajaran akan meningkatkan motivasi intrisik, yang dibangun dengan pemahaman bahwa segala sesuatu yang dilakukan sekarang dalam rangka mempersiapan masa yang akan datang, sehingga peserta didik mempunyai keyakinan dan dorongan kuat untuk mengembangkan dirinya. Motivasi intrisik membantu peserta didik membuat pilihan informasi dan mengambil tanggung jawab untuk memutuskan apa yang perlu dilakukan dalam rangka untuk belajar. Untuk melakukan ini dan untuk memiliki motivasi belajar independen, peserta didik harus: (a) percaya diri dalam mengambil keputusan dan bertindak, (b) menghargai nilai dalam merefleksikan pembelajaran, dan (c) memutuskan apakah pembelajaran telah efektif atau apakah perlu mencoba pendekatan lain.

Dalam konteks kerajinan keramik, kompetensi desain dari seorang perajin sangat dibutuhkan untuk menciptakan kerajinan keramik yang berkualitas sesuai dengan standar pasar yang berlaku, baik pasar domestik maupun pasar internasional. Selain itu, kompetensi desain dari perajin akan berimplikasi pada variasi produk. Kompetensi desain pada dasarnya merupakan pengetahuan, kemampuan, dan sikap dalam mendesain untuk menghasilkan desain yang lebih


(20)

variatif dan inovatif serta meningkatkan keberagaman bentuk produk berdasarkan fungsi yang sama namun dikembangkan dalam bentuk bentuk yang berbeda.

Pengetahuan tentang desain (design knowledge), menurut Walker (2010) secara garis besar dibedakan menjadi empat kategori: (a) pengetahuan tentang objek (design object), yaitu pengetahuan tentang sistem, struktur, kualitas fisik, dan bentuk objek, (b) pengetahuan tentang praktik (design practice), yaitu pengetahuan tentang kegunaan, fungsi, dan utilitas objek, (c) pengetahuan tentang proses (design process), yaitu pengetahuan tentang metodologi desain, proses produksi, dan konsumsi, dan (d) pengetahuan tentang teori (design theory), yaitu pengetahuan tentang pelbagai aspek teoritis dari desain, baik tentang teori objek itu sendiri, dimensi mental, dimensi sosial, dan dimensi estetik.

5. Komunitas Perajin Anjun dan Permasalahannya

Anjun merupakan salah satu kampung dan desa yang berada di wilayah Kecamatan Plered, berjarak ±13 km dari kota Purwakarta. Desa Anjun merupakan sentra industri keramik Plered, tempat perajin memproduksi keramik. Nama Anjun ini sudah terkenal sebagai sentra kerajinan keramik di Plered sejak ratusan tahun silam. Nama Anjun sendiri berasal dari kata “Panjunan” yang berarti tempat membuat barang-barang dari tanah liat yang kemudian disebut dengan istilah gerabah. Di daerah Panjunan, penduduknya sudah membuat gerabah dan tanah liatnya diambil dari Citalang dan Citeko. Sebenarnya bukan desa Anjun saja yang mempunyai industri keramik, tetapi masih ada desa lain di Plered, seperti desa Pamoyanan dan Citeko. Perajin keramik di Desa Anjun jumlahnya lebih banyak daripada desa-desa lainnya, di mana terdapat ratusan unit usaha kecil perajin keramik yang mampu menampung sekitar 3.000 tenaga kerja dan eksis dalam memproduksi berbagai model keramik.

Permasalahan utama yang dihadapi perajin keramik Desa Anjun adalah kelemahan dalam mengembangkan desain keramik, yang menyebabkan produk keramik yang dihasilkan tidak variatif dan inovatif, berdampak pada terjadinya kejenuhan pasar. Desain cenderung mengikuti pola lama yang sifatnya turun temurun. Dengan meniru pola lama, menyebabkan ciri khas karya keramik pasif dan tidak terlihat. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan perajin dalam mengembangkan bentuk-bentuk yang ada. Kemandirian perajin keramik dalam


(21)

mengembangkan desain keramik belum nampak, sehingga perlu peningkatan kreativitas dari perajin untuk mengungkap ide dan gagasan dalam mengembangkan desain. Dengan demikian, pelatihan pengembangan desain yang bertumpu pada pembelajaran mandiri menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa ditunda, dengan tujuan agar perajin keramik mempunyai kemandirian dan kepercayaan diri dalam pengembangan desain keramik.

Berdasarkan survei pendahuluan terhadap pelatihan pengembangan desain bagi komunitas perajin keramik yang selama ini dilaksanakan, baik oleh instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun LSM di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta ditemukan beberapa permasalahan mendasar, diantaranya adalah: a. Pelatihan pengembangan desain keramik dilaksanakan dalam rentang waktu

singkat dan tidak berkelanjutan, sehingga tidak pernah mencukupi memberi wawasan desain

b. Pelatihan pengembangan desain keramik tidak memberi bekal secara optimal bagi perajin untuk mengembangkan diri.

c. Pelatihan pengembangan desain keramik yang diberikan belum dapat membuka pikiran dan memberikan rangsangan bagi perajin untuk mengetahui teknik‐teknik baru atau ide-ide baru dalam desain.

d. Pada pelatihan pengembangan desain keramik, komunitas perajin keramik tidak didorong untuk belajar mandiri dalam mengembangkan desain, di mana intervensi instruktur lebih dominan dalam proses pembelajarannya.

e. Pada pelatihan pengembangan desain keramik, komunitas perajin keramik tidak mampu memperdalam pengetahuan desain sendiri, mengingat desain adalah bidang yang sangat dinamis dan terus berkembang sesuai trend, sehingga pengetahuan desain harus selalu di-update.

f. Pada pelatihan pengembangan desain keramik belum secara optimal meningkatkan kompetensi desain bagi komunitas perajin keramik.

Dengan adanya berbagai persoalan yang dihadapi dalam program pelatihan pengembangan desain, dipandang perlu dilakukan penelitian yang menekankan penggunaan model pembelajaran mandiri dalam pelatihan pengembangan desain keramik untuk meningkatkan kompetensi desain bagi komunitas perajin keramik di Kampung Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Hal yang berbeda


(22)

dari program pelatihan ini adalah para perajin akan lebih didorong atau dimotivasi untuk dapat melakukan pembelajaran mandiri dalam mengembangkan ide dan gagasan untuk desain kerajinan keramik. Hal ini akan bermuara pada produk yang dihasilkan sangat bervariatif dan inovatif, dengan tidak meniru desain lama atau mencontoh pada desain keramik yang sudah ada.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang masalah dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam program pelatihan pengembangan desain yang selama ini dilaksanakan baik oleh instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun LSM di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta adalah sebagai berikut:

1. Persoalan rentang waktu pelatihan yang demikian singkat dan tidak berkelanjutan berdampak cukup luas bagi komunitas perajin keramik. Selain kurang optimalnya dalam pengembangan wawasan desain dari komunitas perajin keramik, juga terjadinya kemandegan dalam proses berfikir kreatif dari komunitas perajin keramik dalam mengembangkan desain keramik. Wawasan tentang desain dipandang perlu mengingat perkembangan desain sangat dinamis disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan pasar.

2. Pelatihan pengembangan desain keramik yang bersifat instructur oriented menyebakan komunitas perajin keramik kurang memiliki motivasi yang kuat untuk belajar mandiri dalam mengembangkan desain. Desain keramik yang dibuat hanya bersifat meniru dari desain yang sudah ada menunjukkan kurangnya keberanian komunitas perajin dalam mengembangkan desain berdasarkan ide-ide yang mereka miliki. Selain kurang diberikan keleluasaan untuk berkreasi, juga kurangya dorongan, intervensi, dan rangsangan instruktur bagi komunitas perajin keramik untuk berfikir kreatif dalam mengembangkan desain.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, model pembelajaran mandiri dapat dijadikan salah satu solusi untuk mengembangkan kompetensi komunitas perajin keramik dalam mengembangkan desain keramik yang lebih inovatif. Dengan demikian, rumusan utama penelitian ini adalah


(23)

bagaimana model pembelajaran mandiri dapat diimplementasikan pada pelatihan pengembangan desain keramik bagi komunitas perajin keramik di Kampung Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta dengan tujuan peningkatan kompetensi desain keramik?. Untuk memperjelas pertanyaan utama, dirumuskan beberapa pertanyaan pendukung sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi empirik pelatihan pengembangan desain keramik yang selama ini dilaksanakan bagi komunitas perajin kerajinan keramik di Kampung Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta?

2. Bagaimana ragam model pembelajaran mandiri dalam pelatihan pengembangan desain keramik bagi komunitas perajin kerajinan keramik di Kampung Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta?

3. Bagaimana keberhasilan model pembelajaran mandiri dalam pelatihan pengembangan desain keramik bagi komunitas perajin kerajinan keramik di Kampung Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengkaji implementasi model pembelajaran mandiri dalam pelatihan pengembangan desain keramik bagi komunitas perajin keramik di Kampung Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, disusun tujuan khusus penelitian sebagai berikut:

1. Memetakan kondisi empirik pelatihan pengembangan desain keramik yang selama ini dilaksanakan bagi komunitas perajin kerajinan keramik di Kampung Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta

2. Memetakan ragam model pembelajaran mandiri yang dapat meningkatkan kompetensi desain untuk komunitas perajin kerajinan keramik di Kampung Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta;

3. Mengevaluasi keberhasilan model pembelajaran mandiri yang dapat meningkatkan kompetensi desain untuk komunitas perajin kerajinan keramik di Kampung Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan keilmuan dan kajian pendidikan luar sekolah. Model pembelajaran mandiri pada


(24)

pelatihan pengembangan desain keramik diharapkan mampu meningkatkan kompetensi desain perajin keramik, sehingga dapat dihasilkan keramik yang memiliki nilai jual yang tinggi baik di pasar domestik maupun internasional. Manfaat penelitian lebih rinci dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Mengembangkan teori dan konsep yang telah ada dalam program pelatihan bagi komunitas perajin keramik khususnya pengembangan model pembelajaran mandiri untuk pengembangan desain keramik;

2. Dapat digunakan sebagai salah satu referensi oleh peneliti lain yang bermaksud melakukan penelitian dalam bidang pelatihan pengembangan desain, baik sebagai referensi pendukung maupun penemuan terbaru hasil-hasil yang telah ada;

3. Dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan/keputusan sebagai masukan dalam kegiatan pelatihan pengembangan desain keramik;

4. Diharapkan sebagai masukan efektif dan efisien bagi industri keramik untuk meningkatkan kompetensi desain para perajin keramik.

F. Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini akan disajikan ke dalam lima bab, yaitu: (1) Bab I Pendahuluan, (2) Bab II Kajian Pustaka, (3) Bab III Metode Penelitian, (4) Bab IV Temuan dan Pembahasan, dan (5) Bab V Simpulan, Implikasi, dan Rekomendasi. Kelima bab tersebut dijelaskan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab I menjelaskan apa yang akan diteliti dan mengapa perlu diteliti yang dituangkan dalam beberapa subbab, yaitu: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Perumusan Masalah, (4) Tujuan Penelitian, (5) Manfaat Penelitian, dan (6) Struktur Organisasi Disertasi.

Bab II Kajian Pustaka

Bab II menjelaskan berbagai konsep yang mendasari penelitian ini, yaitu: (1) Konsep Pelatihan, (2) Konsep Belajar dalam Pelatihan, (3) Konsep Pembelajaran Mandiri, (4) Konsep Kompetensi, (5) Konsep Kreativitas dan Inovasi, (6) Konsep Difusi Inovasi. Selain itu pada bab


(25)

ini disampaikan pula tentang Penelitian-Penelitian Relevan dan Kerangka Berpikir.

Bab III Metode Penelitian

Bab III menjelaskan tentang bagaimana penelitian ini dilakukan yang secara rinci dituangkan dalam beberapa subbab, yaitu: (1) Pendekatan Penelitian, (2) Metode Penelitian, (3) Subyek Penelitian, (4) Teknik Pengumpulan Data, (5) Definisi Operasional Penelitian, (6) Pengembangan Instrumen Penelitian, dan (7) Teknik Analisi Data. Bab IV Temuan dan Pembahasan

Bab IV menjelaskan hasil temuan penelitian yang berkaitan dengan masalah penelitian, pertanyaan penelitian, dan tujuan penelitian. Kemudian berdasarkan hasil hasil temuan tersebut akan dilakukan pembahasan atau analisis temuan.

Bab V Simpulan, Implikasi, dan Rekomendasi

Bab V menjelaskan penafsiran dan pemaknaan peneliti terhadap hasil analisis temuan penelitian yang dituangkan dalam beberapa subbab, yaitu: (1) Simpulan, (2) Implikasi, dan (3) Rekomendasi.


(26)

Yaya Sukaya, 2016

MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI PADA PELATIHAN PENGEMBANGAN DESAIN KERAMIK (Studi BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam disertasi ini adalah penelitian kualitatif (qualitative research). Menurut Sugiono (2005) penelitian kualitatif sering disebut sebagai penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi alamiah (natural setting). Di samping itu pula, penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan lebih menekankan pada makna daripada generalisasi.

Penelitian kualitatif merupakan pendekatan untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif mulai tema yang khusus ke tema yang umum, dan menafsirkan data (Creswell, 2009). Penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.

Penggunaan penelitian kualitatif digunakan dalam disertasi ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: (a) penelitian ini mengutamakan interaksi situasi sosial tertentu yang meliputi tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity), (b) penelitian ini melibatkan berbagai sumber data (perajin, instruktur, dan perwakilan UPTD) untuk diobservasi dan diwawancarai, (c) pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dokumentasi, dan triangulasi, (d) analisis data dilakukan secara induktif yaitu analisis yang didasarkan pada data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi teori, dan (e) model


(27)

Yaya Sukaya, 2016

pembelajaran mandiri memberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan-perbaikan pembelajaran, sehingga masalah dalam penelitian ini masih bersifat sementara, tentatif, dan akan berkembang berdasarkan hasil temuan di lapangan.

Dalam bingkai penelitian kualitatif, pengembangan desain yang dilakukan oleh para perajin keramik dilakukan secara bertahap, mulai dari pelatihan ke-1 sampai dengan pelatihan ke-6, seperti yang tersaji pada Gambar 3.1. Tahapan yang dirancang oleh perajin keramik merupakan hasil diskusi antara para perajin dengan UPTD, instruktur, dan peneliti. Ide-ide yang disampaikan oleh para perajin didasarkan pada pengalaman mereka dalam mengembangkan desain keramik. Tahapan pada Gambar 3.1 dijadikan acuan bagi peneliti untuk implementasi model pembelajaran mandiri dari perajin keramik dalam pengembangan desain. Atau dengan perkataan lain bahwa inisiatif dan peran aktif para perajin dalam kegiatan pelatihan pengembangan desain menjadi fokus dalam penelitian kualitatif ini, sehingga hasil observasi terhadap kegiatan tersebut menjadi dasar dalam imlementasi model pembelajaran mandiri.

Pelatihan Ke-1:

Mengenal Perubahan Bentuk/Menumbuhkan

Keberanian

Pelatihan Ke-2:

Menggambar dengan pikiran/mendesain dengan teknik hayalan

Pelatihan Ke-3:

Mendesain yang Proporsional

Pelatihan Ke-4:

Mendesain yang bercitra/bernilai seni

Pelatihan Ke-5:

Mendesain yang memiliki nilai jual

Pelatihan Ke-6:

Evaluasi Proses dan Pengukuran Kinerja

Produk

Gambar 3.1 Tahapan Pelaksanaan Pelatihan Desain

Ragam model pembelajaran mandiri dalam pelatihan pengembangan desain akan menjadi luaran dalam penelitian kualitatif ini. Creswell (2009) menyatakan bahwa salah satu tujuan melaksanakan penelitian kualitatif adalah mengeksplorasi suatu topik untuk membangun sebuah teori. Istilah yang sering digunakan dalam


(28)

penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat naturalistic-inquiry, yaitu memandang kenyataan (realitas) sebagai sesuatu yang berdimensi jamak, utuh, dan merupakan kesatuan serta open-ended yang tidak mungkin disusun rancangan penelitian yang terinci dan fixed sebelumnya, sehingga rancangan penelitian berkembang selama proses penelitian berlangsung.

Emic atau rekonstruksi sosial dari orang yang diteliti sangat diutamakan dalam penelitian kualitatif ini. Kesadaran untuk belajar mandiri melalui proses pelatihan desain dari komunitas perajin keramik anjun dalam mengembangkan kemampuan desain terus ditingkatkan merupakan sebuah emic yang menjadi fokus dalam penelitian disertasi ini. Kesadaran perajin keramik tersebut pada awalnya dibangun dengan adanya intervensi beberapa pihak, diantaranya adalah (a) perwakilan UPTD dan (b) instruktur pelatihan. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji ragam model pembelajaran madiri berdasarkan perilaku komunitas perajin keramik dalam mengembangkan desain keramik.

Pelatihan Ke-1:

Mengenal Perubahan Bentuk/ Menumbuhkan Keberanian

Pelatihan Ke-2:

Menggambar dengan pikiran/ mendesain dengan teknik hayalan

Pelatihan Ke-3:

Mendesain yang Proporsional

Pelatihan Ke-4:

Mendesain yang bercitra/bernilai seni

Pelatihan Ke-5:

Mendesain yang memiliki nilai jual

Pelatihan Ke-6:

Evaluasi Proses dan Pengukuran Kinerja Produk P emb en tu k a n Bel a ja r M a n d iri

Desain Penelitian Kualitatif

Pelatihan Desain Model Pembelajaran Mandiri

Dependent (Bergantung) Self-Directed (Mandiri) Interested (Tertarik) Involved (Terlibat) 2 3

Instruktur Peserta Didik Interaksi

Intervensi

1

4

Motivasi Kreativitas Inovasi

Kompetensi Awal Kompetensi Akhir Learning (Pembelajaran) Reaction (Reaksi) Result (Hasil) Behavior (Perilaku) Efektivitas Model

Gambar 3.2 Penelitian Kualitatif dalam Model Pembelajaran Mandiri

Model pembelajaran mandiri komunitas perajin keramik didasarkan pada konsep yang disampaikan Grow (1991), yaitu: (a) bergantung (dependent), (b)


(29)

Yaya Sukaya, 2016

tertarik (interested), (c) terlibat (involved), dan (d) mandiri (self-directed). Belajar mandiri memposisikan pembelajar sebagai subjek, pemegang kendali, pengambil keputusan atau pengambil inisiatif atas belajarnya sendiri. Kemampuan dalam mengendalikan atau mengarahkan belajarnya sendiri merupakan syarat utama bagi pembelajar. Kemampuan dalam mengendalikan atau mengarahkan belajar sendiri seseorang pada dasarnya merupakan suatu kontinuum.

Melalui intervensi dan interaksi, baik antara instruktur dan perajin keramik maupun antara perajin keramik yang satu dengan yang lainnya, diharapkan adanya transformasi model pembelajaran mandiri dari kontinum dependent ke interested, interested ke involved dan begitu seterusnya sampai dengan ke self-directed, atau bahkan mungkin langsung dari kontinum dependent ke self-directed. Model pembelajaran mandiri ini dilakukan melalui media kegiatan pelatihan pengembangan desain. Proses transformasi model pembelajaran mandiri perajin keramik, intervensi, dan interaksi melalui komunikasi antara instruktur dan perajin keramik/perserta pelatihan akan diobservasi secara mendalam pada setiap tahap pelatihan desain, sehingga nantinya dapat didapatkan suatu model pembelajaran mandiri perajin keramik dalam pengembangan desain keramik.

Keberhasilan model pembelajaran mandiri akan ditinjau dari empat aspek, yaitu: (a) learning, yaitu hasil belajar pelatihan desain berupa tes unjuk kerja awal dan unjuk kerja akhir, (b) reaction, yaitu respon atau persepsi perajin, instruktur, dan perwakilan UPTD terhadap pelaksanaan model pembelajaran mandiri, (c) result, yaitu penilaian performansi produk keramik dan nilai jual keramik, dan (d) behavior, yaitu proses penyebaran pengetahuan perajin keramik ke masyarakat sekitar (difusi inovasi). Desain penelitian kualitatif dalam model pembelajaran mandiri melalui kegiatan pelatihan pengembangan desain keramik disajikan pada Gambar 3.2.

B. Metode Penelitian

Untuk menjawab permasalahan dan pertanyaan penelitian, pemilihan metode penelitian merupakan langkah awal yang sangat penting dalam melakukan penelitian. metode penelitian diperlukan sebagai pedoman operasional dalam penelitian. Yin (2015) mengidentifikasi 5 (lima) metode penelitian, yaitu : (a)


(30)

survai, (b) eksperimen, (c) historical research, (d) studi kasus, dan (e) analisis informasi dokumenter. Pemilihan metode penelitian tergantung pada tiga kriteria, yaitu : (a) tipe pertanyan penelitian, (b) kontrol yang dimiliki peneliti terhadap peristiwa perilaku yang akan ditelitinya, dan (c) fokus pada fenomena penelitian (fenomena kontemporer atau historis). Karakteristik kelima metode penelitian dijelaskan pada Tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1 Situasi-situasi Relevan untuk Jenis Penelitian yang Berbeda

Jenis Bentuk pertanyaan penelitian

Membutuhkan kontrol terhadap

peristiwa t.l.

Fokus terhadap peristiwa kontemporer

Eksperimen Bagaimana, mengaapa ya ya

Survai Siapa, apa, di mana, berapa banyak

tidak ya

Analisis Arsip

Siapa, apa, di mana, berapa banyak

tidak ya/tidak

Historis Bagaimana, mengapa tidak tidak

Studi Kasus Bagaimana, mengapa tidak ya

Sumber : Yin (2015)

Metode penelitian yang digunakan dalam disertasi ini adalah studi kasus. Seperti yang telah disajikan pada Tabel 3.1, Yin (2015) menyatakan bahwa studi kasus yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa masa lalu, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam kehidupan nyata. Pemilihan metode ini didasarkan pada ketiga kriteria tersebut, yaitu: (a) tipe pertanyaan dalam disertasi ini dimulai dengan kata “bagaimana”, (b) sedikitnya kontrol terhadap peristiwa yang telah lalu, artinya peristiwa lalu tidak dikaji secara mendalam dan digunakan hanya sebagai dasar analisis saja, dan (3) fokus penelitian bersifat peristiwa kontemporer karena kajian yang dilakukan dalam disertasi ini adalah tentang model belajar mandiri komunitas perajin keramik yang terjadi saat ini.

C. Subyek Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kampung Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Pemilihan lokasi ini didasarkan berdasarkan pertimbangan, diantaranya yaitu:


(31)

Yaya Sukaya, 2016

a. Plered merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat yang cukup terkenal di Indonesia bahkan sampai ke mancanegara sebagai sentra industri keramik.

b. Nilai ekspor produk keramik Plered ke negara USA, Inggris, Korea, Brazil, dan Cezna sudah mencapai ratusan juta.

2. Sumber Data

Menurut Yin (2015) pengumpulan data dari berbagai sumber yang bersifat broader dan narrower level merupakan bagian penting dalam perancangan dan pelaksanaan penelitian kualitatif. Pada broader level, pada umumnya pengumpulan data bersumber pada satu unit organisasi atau entitas atau instansi, atau dikenal pula sebagai key person. Sementara pada narrower level, pengumpulan data bersumber pada individu yang jumlahnya lebih dari satu, atau dikenal sebagai subyek. Dengan demikian, berdasarkan emic yang menjadi perhatian dalam penelitian ini maka sumber data yang digunakan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Emic dan Sumber Data Penelitian Fokus Kajian

(Emic)

Level Pengumpulan Data Broader Level

(Key Person)

Narrower Level (Subject) Model Belajar

Mandiri

Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Keramik Plered Purwakarta

 Perajin Keramik Kampung Anjun, Kecamatan Plered (Peserta Pelatihan)

 Instruktur Pelatihan

Key person dalam penelitian ini adalah 1 orang perwakilan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Keramik Plered Purwakarta, sementara subyek dalam penelitian ini adalah (a) 2 orang instruktur pelatihan dan (b) 5 orang perajin keramik. UPTD memfasilitasi pelaksanaan kegiatan pelatihan dengan menyediakan tempat pelatihan, peralatan, bahan baku dan mengkondisikan perajin keramik. Perajin keramik yang dijadikan peserta pelatihan berasal dari Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, dengan karakteristik sebagai berikut: (a) perajin keramik tradisional, (b) tidak pernah dilibatkan dalam


(32)

pelatihan desain keramik, (c) berjumlah 5 orang dengan komposisi 2 laki-laki dan 3 perempuan.

Pemilihan Desa Anjun sebagai obyek kajian dengan pertimbangan bahwa Anjun merupakan pusatnya pembuatan kerajinan keramik. Berbagai bentuk kerajinan keramik hiasan maupun perlengkapan rumah tangga bisa dijumpai di desa ini. Meskipun Desa Anjun sebagai pusatnya kemajuan keramik di Plered, masih ada perajin tradisional yang terisolasi dalam konteks pergaulan masyarakat dan keilmuan, sehingga para perajin ini belum dilibatkan secara optimal dalam berbagai kegiatan pelatihan atau kegiatan lainnya. Sementara itu, produk keramik yang menjadi fokus kajian adalah berupa kendi. Sejak dulu kendi merupakan produk yang sangat laku di pasaran. Perkembangan teknologi dan kepercayaan menyebabkan minat masyarakat terhadap kendi ini menurun, di mana masyarakat lebih memilih keramik sebagai hiasan dengan desain yang lebih menarik. Desain kendi belum berkembang secara optimal, di mana desainnya kurang menyesuaikan dengan perkembangan pasar sehingga perlu dilakukan inovasi lebih lanjut. Penggunaan keramik sebagai fungsi hiasan menuntut adanya inovasi dalam desain kendi, sehingga kendi menjadi primadona kembali bagi masyarakat. D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan oleh peneliti adalah (a) observasi terkontrol, (b) tes, (c) wawancara, (d) studi dokumentasi, dan (e) triangulasi. Kelima metode pengumpulan data ini digunakan untuk menggali semua informasi dari berbagai sumber data yang terlibat dalam program pelatihan pengembangan desain, sehingga diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh dan komprehensif sebagai acuan dalam implementasi model pembelajaran mandiri. Informasi yang diperoleh dari berbagai sudut pandang akan memberikan penguatan terhadap penyempurnaan model pembelajaran mandiri.

1. Observasi Terkontrol

Dalam penelitian disertasi ini observasi dilakukan selama kegiatan pelatihan berpikir kreatif berlangsung. Kegiatan yang diamati berkenaan proses pembelajaran dalam pelatihan, diantaranya meliputi: (a) kegiatan yang dilakukan instruktur, (b) kegiatan yang dilakukan peserta pelatihan, dan (c) hambatan atau


(33)

Yaya Sukaya, 2016

kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran. Observasi dilakukan berupa observasi terkontrol yaitu peneliti ikut serta dalam mengontrol kegiatan yang sedang berlangsung untuk mendapatkan data terhadap objek yang diamati (Rohidi, 2011).

2. Tes

Tes merupakan instrumen pengumpul data yang berupa serangkaian pertanyaan atau latihan yang digunakan untuk mengukur pengetahuan, intelegensi, kemampuan, atau bakat yang dimiliki individu atau kelompok. Pada penelitian ini, tes digunakan untuk pengukuran sebagai berikut: (a) pengukuran unjuk kerja awal dan akhir kompetensi perajin keramik dan (b) pengukuran performansi produk keramik.

3. Wawancara

Dalam penelitian ini wawancara digunakan untuk mengetahui berbagai informasi dari berbagai sumber data, diantaranya yaitu: (a) wawancara dengan UPTD Keramik Plered untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang kondisi pelatihan desain keramik yang selama ini dilakukan dan ekspektasi terhadap model pelatihan berpikir kreatif, (b) wawancara dengan instruktur untuk memperoleh informasi tentang profil instruktur dan harpan-harapan terhadap model pelatihan berpikir kreatif, (c) wawancara dengan peserta pelatihan untuk memperoleh persepi dan ekpektasi terhadap pelatihan yang dilaksanakan.

4. Studi Dokumentasi

Studi dokumen digunakan untuk mengumpulkan berbagai informasi dengan cara mempelajari dokumen atau catatan catatan yang berkaitan dengan pokok masalah yang diteliti, diantaranya adalah (a) profil lokasi/wilayah penelitian, Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, (b) profil UPTD keramik Plered sebagai lembaga yang selalu berperan dalam pelaksanaan berbagai pelatihan-pelatihan bagi perajin keramik, dan (c) profil produk-produk keramik yang telah dihasilkan oleh perajin keramik. Studi dokumentasi ini menggunakan data sekunder dari berbagai lembaga, misalnya Biro Pusat Statistik dan UPTD Keramik Plered.


(34)

5. Triangulasi

Triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Metode triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi teknik dan triangulasi sumber. Triangulasi teknik digunakan untuk mendapatkan data dari sumber yang sama dengan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda. Triangulasi sumber digunakan untuk memperoleh data dari sumber yang berbeda dengan teknik pengumpulan data yang sama. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah instruktur, peserta pelatihan/perajin keramik, dan perwakilan UPTD.

Triangulasi teknik diguanakan pada saat mendapatkan data baik dari instruktur, perajin keramik/peserta pelatihan, maupun perwakilan UPTD secara terpisah dengan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda, sedangkan triangulasi sumber digunakan pada saat mendapatkan data dari dari instruktur, perajin keramik/peserta pelatihan, maupun perwakilan UPTD secara bersamaan dengan teknik pengumpulan data yang sama.

E. Definisi Operasional Penelitian

Agar tidak terjadi kesalahan persepsi yang menimbulkan ambiguitas dalam memahami penelitian ini, maka ditetapkan beberapa definisi operasional penelitian sebagai berikut:

1. Model adalah abstraksi dari sistem yang sebenarnya, dalam gambaran yang lebih sederhana. Kata lain model adalah pola, contoh, acuan, ragam, dari sesuatu hal yang akan dihasilkan. Istilah “Model” dalam penelitian ini sebagai kerangka konseptual.

2. Pembelajaran mandiri merupakan suatu pembelajaran yang memposisikan pembelajar (peserta pelajar/perajin keramik) sebagai penanggung jawab, pemegang kendali, pengambil keputusan atau pengambil insiatif dalam memenuhi dan mencapai keberhasilan belajarnya.

3. Pelatihan desain merupakan upaya sistematis dan terencana yang dilakukan oleh instruktur dan peserta pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mendesain keramik.


(35)

Yaya Sukaya, 2016

4. Kompetensi desain merupakan pengetahuan, kemampuan, dan sikap dalam mendesain untuk menghasilkan desain yang lebih variatif dan inovatif serta mempunyai keberagaman bentuk produk berdasarkan fungsi yang sama namun dikembangkan dalam bentuk bentuk yang berbeda.

5. Desain keramik tradisional merupakan desain keramik yang selama ini biasa digunakan oleh perajin keramik/peserta pelatihan dalam membuat keramik (sebelum memperoleh pelatihan pengembangan desain).

6. Desain keramik yang inovatif merupakan desain keramik yang menggunakan kekuatan pikiran, desain yang proporsional, desain yang bercitra/bernilai seni, desain yang bernilai jual tinggi

7. Pengembangan desain merupakan perubahan desain keramik dari yang tradisional menjadi desain keramik yang menggunakan kekuatan pikiran, proporsional, bercitra/bernilai seni, dan bernilai jual tinggi.

F. Pengembangan Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah nafas dari penelitian. Arikunto (1995) menyatakan bahwa instrumen penelitian merupakan sesuatu yang terpenting di dalam keseluruhan kegiatan penelitian. Instrumen penelitian merupakan alat bantu untuk pengumpulan data. Kualitas instrumen akan menentukan mutu dari data yang dikumpulkan. Menyusun instrumen untuk kegiatan penelitian merupakan langkah terpenting dan harus dilakukan dengan tepat dan benar.

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Pengembangan Instrumen Penelitian

Aspek Dimensi Indikator Metode Sumber

Existing Pelatihan

Tujuan Tujuan Pelatihan

Observasi Terkontrol, Wawancara, Studi Dokumentasi UPTD, Instruktur, Perajin Waktu Lamanya Waktu Pelatihan

Metode Metode Pelatihan Pelaksana Pengelola Pelatihan Frekuensi Intensitas Pelatihan Instruktur Instruktur Pelatihan Peserta Peserta Pelatihan

Model Pembelajaran Mandiri Media Pembelajaran Mandiri

a. Mengenal Perubahan

Observasi

Terkontrol Perajin b. Mendesain dengan

Teknik Khayalan c. Mendesain yang

Proporsional d. Mendesain yang

Bernilai Seni e. Mendesain yang


(36)

Aspek Dimensi Indikator Metode Sumber Memiliki Nilai Jual

Proses Pembelajaran

a. Intervensi Observasi

Terkontrol, Wawancara

Instruktur, Perajin b. Komunikasi

Tahapan Belajar Mandiri

a. Dependent

Observasi Terkontrol, Wawancara

Instruktur, Perajin b. Interested

c. Involved d. Self-Directed

Keberhasilan Model Pembelajran Mandiri

Learning a. Kompetensi Awal Tes Perajin

b. Kompetensi Akhir

Reaction

a. Persepsi Peserta Pelatihan

Wawancara

Perajin b. Persepsi Instruktur

Pelatihan

Instruktur c. Persepsi Perwakiltan


(1)

Yaya Sukaya, 2016

MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI PADA PELATIHAN PENGEMBANGAN DESAIN KERAMIK (Studi Pada Komunitas Perajin Keramik Anjun, Plered, Purwakarta)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Cruickshank, D.R. dkk. (2006). The Act of Teaching. New York: McGraw Hill Inc.

Departemen Perdagangan RI, (2008), Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 : Rencana pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015 Djamarah, dan Aswan Z. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka

Cipta

Dudung, A., (2012). Merancang Produk. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Dyah, A. dan Ai, J.R. (2008). Fungsi dan Peranan Keramik dalam Tradisi Masyarakat di Indonesia. Imaji. Vol. 4 No.1. Hal 27 – 40.

Fisher, M., Jennifer K., dan Grace, T. (2001). Development of a Self-Directed Learning Readiness Scale For Nursing Education. Nurse Education Today (2001) 21, 516–525

Franco, E.A. (1991). Training How to Book For Trainer. National Book Store Teacher. Manila.

Garrison, D. R. (1997). Self-directed learning: Toward a comprehensive model. Adult Education Quarterly. 48(1), 18-33.

Gibbons, M. (2002). The self-directed learning handbook: Challenging adolescent student to excel. San Francisco: Jossey-Bass Publishers .

Grow, G. (1991) Teaching Learners to Be Self-directed: A Stage Approach." Adult Education Quarterly. 41(3). pp. 125-49

Guglielmino, L.M., (1977). Development of the self-directed learning readiness scale. Unpublished Doctoral Dissertation. The University of Georgia, Atherns. GA

Guglielmino, P.J. dan Guglielmino, L.M. (1991). Expanding Your Readiness for Self Directed Learning.Don Mills Ontario: Organization Design and Development Inc.

Guglielmino, P.J. dan Guglielmino, L.M. (2011). An Exploration of Cultural Dimensions and Economic Indicators As Predictors of Self-Directed Learning Readiness. International Journal of Self-Directed Learning. Volume 8, Number 1. pp. 1-6

Gupta, Vijay dan Murthy, P.N. (1980). An Introduction to Engineering Method. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited.


(2)

Yaya Sukaya, 2016

MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI PADA PELATIHAN PENGEMBANGAN DESAIN KERAMIK (Studi Pada Komunitas Perajin Keramik Anjun, Plered, Purwakarta)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Halpern, Diane F. (1989). Thought and knowledge: An introduction to critical thinking (2nd ed.). Hillsdale, NJ, England: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. xvii 517

Handayani, N.N.L., Dantes, N. Wayan, S. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Mandiri Terhadap Kemandirian Belajar dan Prestasi Belajar IPA Siswa Kelas VIII SMPN 3 Singaraja. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Volume 3

Harrison, R. (1978). How to Design and Conduct Self-Directed Learning Experiences. Group and Organization Studies. 3(2), 149-167.

Heskett, J. (1986). Design in Germany 1870 – 1918. London

Holec, H., (1981). Autonomy and foreign language learning. Oxford: Pergamon. (First published 1979, Strasbourg: Council of Europe)

Horenstein, M.N. (2002): Design Concepts for Engineer. New York: Prentice Hall.

Hulukati, W. (2011). Pengembangan Model Bahan Belajar Mandiri Berbasis Andragogi Untuk Meningkatkan Kompetensi Pendidik Anak Usia Dini. Jurnal Penelitian dan Pendidikan. Volume 8. Nomor 1. pp. 87-93

Hutapea, P dan Nurianna, T., (2008). Kompetensi Plus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

John Howkins (2007). The Creative Economy : How People Make Money From Ideas. Penguin Books

Jones, J.C., (1970), Design Methods. Chichester: John Wiley & Sons

Kamil, M. (2003). Model-Model Pelatihan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Kanter, R. M. (2005). Leadership for Change: Enduring Skills for Change Masters. Harvard Business School Cases.

Kasworm, C. (1988). Self-directed learning in institutional contexts: an exploratory study of adult self-directed learners in higher education. In H. Long & Associates, Self-directed learning: application and theory. Georgia: Adult Education Department, University of Georgia, 65-97.

KBBI. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Jakarta Kirkpatrick, D.L. dan James, D.K. (2008), Evaluating Training Programs: the


(3)

Yaya Sukaya, 2016

MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI PADA PELATIHAN PENGEMBANGAN DESAIN KERAMIK (Studi Pada Komunitas Perajin Keramik Anjun, Plered, Purwakarta)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Kop, R. dan Hélène, F. (2010). New Dimensions of Self-Directed Learning in an Open-Networked Learning Environment. International Journal of Self-Directed Learning. Volume 7. Number 2. pp. 1-20

Kotler, P dan Gary A., (2001). Principles of Marketing. America: Pearson Prentice Hall.

Knowles, M.S. (1950). Informal Adult Education: A Guide For Administrators, Leaders, and Teachers. New York: Associated Press.

Liyan, S. dan Janette, R.H. (2007). A Conceptual Model for Understanding Self-directed Learning in Online Environment. “Journal of Interactive Online Learning”. Volume 6. Nomor 1. pp. 139-154

Manopo, C. (2011). Competency Based Talent and Performance Management System. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Masri, A. 2010. Startegi Visual. Jakarta: Jala Sutra

Milles, M.B. and Huberman, M.A. (1984). Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication.

Miyazaki, K. dan Dudy W., (2006). Perkembangan Pendidikan Desain dan Ilmu Desain di Jepang. Jurnal Desain. Fakultas Seni Rupa dan Desain

Montalvo, F. T. and Torres, M. C. G. (2004). “Self-Regulated Learning: Current

and Future Directions”, Electronic Journal of Research of Educational Psychology, 2(1), pp. 1-34

Mulyadi, U.A. (2007). Wawasan dan Tinjauan Seni Keramik. Denpasar: Institut Seni Indonesia.

Munandar, U. (1995). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta

Murad, M. dan Prathibha. V. (2008). Self-directed Learning in Health Professions Education. Medical Education. Vol 37. 580-590

Murdoko, E.W.H. dan Hindiarto, F. (2011). What It Takes to be An Effective and Attractive Trainer. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Nawawi, H. (1997). Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Pangestu, M. E. (2008). Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif 2009-2015. Jakarta: Departemen Perdagangan Republik Indonesia


(4)

Yaya Sukaya, 2016

MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI PADA PELATIHAN PENGEMBANGAN DESAIN KERAMIK (Studi Pada Komunitas Perajin Keramik Anjun, Plered, Purwakarta)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Pehkonen, E. (1997). The state-of-the-art in mathematical creativity. ZDM, 29(3), 63-67.

Piliang, Y.A. (2005). Menciptakan Keunggulan Lokal untuk Merebut Peluang Global, Sebuah Pendekatan Kultural. Seminar Membedah Keunggulan Lokal dalam Konteks Global. Denpasar: Institut Seni Indonesia.

Pulat, M.B. (1992). Fundamental of Industrial Ergonomics. New Jersey USA: Prentice Hall Inc.

Rivai, V. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan: Dari Teori ke Prkaitk. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Robbins, S dan Coulter, M, (1999). Management. International Edition. New Jersey: Prentice Hall.

Rogers, E.M., (1983). Diffusion of Innovations. London: The Free Press.

Rogers, E. M., D. L. Kincaid. (1981). Communication Networks: Toward a New Paradigm for Research. New York: The Free Press

Rogers, E.M. dan F.F. Shoemaker. (1971). Communication of Innovation A Cross-Cultural Approach. The Free Press: New York

Rohidi, T.R. (2011). Metodologi Penelitian Seni. Semarang: Cipta Prima Nusantara

Rusman. (2011). Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada

Sachari, A. (1989). Desain di Indonesia, Paradigma Desain Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.

Seamolec. (2008). The Utilization of Information and Tecnology by Student in Universitas Terbuka. Jakarta, Indonesia: Seamolec

Sekaran, U. (2003). Research Methods for Business: A Skill Building Approach. San Francisco: John Willey and Son Inc.

Scarborough, N. dan Zimmerer, T., (1993). Effective Small Business Management: An Entrepreneurial Approach. Upper Saddle River. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Shokar, G.S., Navkiran K. S., Cecilia M. R. Robert J.B. (2002). Self-directed Learning: Looking at Outcomes With Medical Students. Medical Student Education. Vol. 34. No. 3. pp. 197-200


(5)

Yaya Sukaya, 2016

MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI PADA PELATIHAN PENGEMBANGAN DESAIN KERAMIK (Studi Pada Komunitas Perajin Keramik Anjun, Plered, Purwakarta)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Silberman, M. (2006). Active Training: A Handbook of Techniques, Designs, Case Examples, and Tips. San Francisco: John Willey and Son Inc.

Silen, C. dan Lars, U. (2008). Self-directed Learning: a Learning Issue for Students and Faculty. Teaching in Higher Education. Vol. 13. No. 4. pp. 461-475

Siminică, M. dan Aurelia, T. (2013). Self-Directed Learning in Economic Education. International Journal of Education and Research Vol. 1 No. 12. pp. 1-14

Slameto, (2003). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta

Srinivasan, L. (1977). Perspectives on Non Formal Adult Learning: Functional Education For Individual, Community and National Development, Connecticut Prentice Hall.

Sudjana. J, (2005). Strategi Pembelajaran. Bandung: Falah Production

Sudjana (2010). Pendidikan Nonformal: Wawasan, Sejarah Perkembangan, Filsafat, Teori Pendukung, dan Asas. Bandung: Falah Production.

Sugiyono, (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Suryadi, A. (2009). Mewujudkan Masyarakat Pembelajar: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Bandung: Widya Aksara Press.

Suryana, (2003), Kewirausahaan: Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses, Jakarta: PT.Salemba Empat.

Susanto, S. (1999). Impelementasi Wawasan Entrepreneurship dalam Penelitian di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta

Spencer, L.M. dan S.M. Spencer, (1993). Competence at Work: Model for Superior Performance. New York: Wiley.

Tahar, I. dan Enceng. (2006). Hubungan Kemandirian Belajar Dan Hasil Belajar Pada Pendidikan Jarak Jauh. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh. Volume. 7. Nomor 2. pp. 91-101

Tennant, M., (2006). Psychology and Adult Learning. New York: Routledge. Undang-Undang Pendidikan Indonesia Nomor 20 tahun 2003. Sistem pendidikan


(6)

Yaya Sukaya, 2016

MODEL PEMBELAJARAN MANDIRI PADA PELATIHAN PENGEMBANGAN DESAIN KERAMIK (Studi Pada Komunitas Perajin Keramik Anjun, Plered, Purwakarta)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Wagner, S.R. (2011). After the Final Bell: The Self-Directed Learning Practices of Elementary Teachers. Unpublished Doctoral Dissertation. University of Tennessee, Knoxville.

Walker, J.A. (2010). Desain, Sejarah, Budaya: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Wibowo, (2007). Manajemen Kinerja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Widagdo, (2005). Desain dan Kebudayaan. Bandung: Penerbit ITB.

Widagdo, (2006). Estetika dalam Perjalanan Sejarah: Arti dan Peranannya dalam Desain. Jurnal Desain. Fakultas Seni Rupa dan Desain.

Yin, R. K., (2011). Qualitative research from start to finish, New York, NY: The Guilford Press.

Yoder, D. (1962). Personel Principles and Policies. Prentice Hall Inc.

Yuhui, H. and Liu, H. (2014). Self-Directed Learning and the Effectiveness of e-Learning in Enterprises. International Journal of e-Education, e-Business, e-Management and e-Learning. Vol. 4. No. 3. Pp. 187-190

Zainuddin, I.B., (2010). Wacana Desain: Karya & Pemikiran. Bandung: Penerbit ITB.

Zainuddin, I.B., (2006). Desain, Sains Desain dan Sains tentang Desain: Telaah Filsafat Ilmu. Jurnal Desain. Fakultas Seni Rupa dan Desain

Zwell, M. (2007). Creating A Culture of Competence. Hoboken: John Wiley & Sons