Relasi Gender Dalam Perspektif Akses Dan Kontrol Terhadap Sumberdaya: Kasus Pada Sentra Industri Gerabah Di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta

(1)

RELASI GENDER DALAM PERSPEKTIF

AKSES DAN KONTROL TERHADAP SUMBERDAYA:

KASUS PADA SENTRA INDUSTRI GERABAH DI DESA ANJUN, KECAMATAN PLERED, KABUPATEN PURWAKARTA,

PROVINSI JAWA BARAT

TUBAGUS MAULANA HASANUDIN

I34050781

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOBOR 2009


(2)

ABSTRACT

Gender Relation in Access and Control Perspective: A Case of Gerabah Industry in Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, West Java. The objectives of this study were: (1) identified respondent’s characteristic in gerabah industry; (2) analyzed factors which related to access and control of craftsman; and (3) analyzed gender relation in household’s craftsman (consists of three main parts: access and control to productive resources in gerabah industry,

division of labour, and pattern of decision making). The research applied a quantitative approach which supported by qualitative information. The quantitative data were collected by using survey method on 32 craftsman. The results of these study showed that there were still happen the gender inequality which can identify by activities of craftsman’s household. Men has the bigger access and control to productive resources than women. The fact showed that the owner of these business mostly were men and there was stereotype in craftsman’s society that men convenience to operate this business. Generally, the division of labour influenced determined by sex. Men participated in productive and social activities and women participated in reproductive activities. Beside that, in the process of gerabah’s production, men did the activities which need physical power and women did the activities which need high accuration. The pattern of decision making in craftsman’s household dominant by one actor (man or woman only).

Key words : gender relation, access, control, division of labour, pattern of decision making


(3)

RINGKASAN

TUBAGUS MAULANA HASANUDIN. Relasi Gender dalam Perspektif

Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya. Kasus pada Sentra Industri Gerabah di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat

(Di bawah bimbingan SITI AMANAH).

Perkembangan industri kecil di pedesaan mendukung adanya penyerapan tenaga kerja dan peningkatan nilai tambah terhadap sumberdaya alam (bahan baku) yang tersedia. Akan tetapi, masih terdapat ketidaksetaraan dan bentuk ketidakadilan gender dalam usaha yang melibatkan tenaga kerja laki-laki maupun perempuan. Hal ini terlihat pada kasus sentra industri gerabah dimana

terdapat potensi perempuan yang dilumpuhkan oleh ideologi gender dalam masyarakat sehingga terdapat perbedaan akses dan kontrol terhadap

sumberdaya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik responden pada usaha gerabah, menganalisis faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan akses dan kontrol pengrajin terhadap sumberdaya pada usaha gerabah, serta menganalisis relasi gender dalam rumahtangga pengrajin pada usaha gerabah. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yang dilengkapi dengan analisis data secara kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode survai sedangkan data kualitatif diperoleh dengan menggunakan wawancara mendalam dan observasi. Lokasi penelitian ini adalah sentra industri gerabah yang terletak di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat yang ditentukan secara sengaja (purposive). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni dan Juli 2009. Populasi penelitian adalah seluruh rumahtangga pengrajin yang bertempat tinggal di Desa Anjun. Pemilihan responden dilakukan dengan simple random sampling (acak sederhana). Berdasarkan perhitungan dengan rumus Slovin, diperoleh 32 rumahtangga sebagai sampel dalam penelitian ini. Data primer diolah dengan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 15.0 for windows. Selanjutnya, data dianalisis dan diinterpretasikan. Analisis hubungan dianalisis dengan dengan uji Chi-Square dan korelasi Rank Spearman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan akses dan kontrol terhadap sumberdaya pada pengrajin laki-laki dan perempuan. Sumberdaya yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup: bahan baku, pelatihan, kredit usaha, teknologi, tenaga kerja, serta pemasaran komoditi. Hampir seluruh sumberdaya tersebut dapat diakses oleh pengrajin laki-laki sedangkan pengrajin perempuan hanya mampu mengakses bahan baku dan pemasaran komoditi saja. Kontrol dalam kegiatan usaha atau sumberdaya usaha dominan berada pada laki-laki (suami) karena dipengaruhi oleh stereotipe bahwa pencari nafkah utama dalam rumahtangga adalah laki-laki.

Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji Chi-Square dan Rank Spearman, diketahui faktor yang berhubungan dengan akses dan kontrol

pengrajin gerabah terhadap sumberdaya pada usaha gerabah. Faktor yang memiliki hubungan nyata dengan akses dan kontrol terhadap


(4)

sumberdaya adalah pendidikan formal, pendidikan nonformal (pelatihan), status pekerjaan, dan pendapatan rumahtangga. Faktor yang tidak memiliki hubungan nyata dengan akses dan kontrol terhadap sumberdaya mencakup umur, pengalaman bekerja, dan jumlah anggota rumahtangga. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kebutuhan atas sumberdaya pada masing-masing usaha pengrajin.

Pembagian kerja dapat dilihat melalui curahan waktu kerja pada profil aktivitas rumahtangga pengrajin. Berdasarkan total curahan waktu kerja anggota rumahtangga, perempuan memiliki jam kerja yang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Curahan waktu kerja perempuan berpusat pada pekerjaan reproduktif sedangkan kegiatan produktif (usaha gerabah) dan sosial dilakukan oleh laki-laki. Tingginya curahan waktu kerja perempuan pada pekerjaan reproduktif karena masih adanya anggapan bahwa tugas perempuan hanya mengurusi rumahtangga. Partisipasi perempuan dalam kegiatan usaha gerabah (mencari nafkah) dianggap sebatas membantu pekerjaan laki-laki (suami). Selain itu, curahan waktu kerja pada aktivitas sosial dominan dilakukan oleh laki-laki.

Pembagian kerja pada rumahtangga pengrajin mendukung adanya pola pengambilan keputusan yang dominan dilakukan oleh salah satu anggota rumahtangga. Pengambilan keputusan di bidang pemenuhan kebutuhan rumahtangga dilakukan oleh istri sendiri. Berbeda dengan pengambilan keputusan di bidang pembentukan rumahtangga yang dominan dilakukan bersama setara. Pada bidang kegiatan kemasyarakatan, pengambilan keputusan ditentukan sesuai jenis kegiatan yang ada dalam masyarakat pengrajin.

Adapun saran pada penelitian ini adalah: (1) pihak UPT Litbang Keramik memperjelas mekanisme pelatihan/pemberian kredit usaha dan memberikan perlakuan yang sama antara pengrajin laki-laki maupun perempuan sehingga akses dan kontrol terhadap sumberdaya seimbang; dan (2) menghilangkan stereotipe bahwa laki-laki merupakan pencari nafkah utama dalam rumahtangga sedangkan perempuan hanya membantu pendapatan laki-laki. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi gender pada setiap kegiatan pelatihan yang umumnya berfokus hanya pada teknik produksi gerabah.


(5)

RELASI GENDER DALAM PERSPEKTIF

AKSES DAN KONTROL TERHADAP SUMBERDAYA:

KASUS PADA SENTRA INDUSTRI GERABAH DI DESA ANJUN,

KECAMATAN PLERED, KABUPATEN PURWAKARTA, PROVINSI JAWA BARAT

TUBAGUS MAULANA HASANUDIN

I34050781

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOBOR

2009


(6)

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama : Tubagus Maulana Hasanudin

NRP : I34050781

Judul : Relasi Gender dalam Perspektif Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya: Kasus pada Sentra Industri Gerabah di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc NIP. 19670903 199212 2 001

Mengetahui,

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua

Dr. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001


(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”RELASI GENDER DALAM PERSPEKTIF AKSES DAN KONTROL TERHADAP SUMBERDAYA: KASUS PADA SENTRA INDUSTRI GERABAH DI DESA ANJUN, KECAMATAN PLERED, KABUPATEN PURWAKARTA, PROVINSI JAWA BARAT” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Agustus 2009

Tubagus Maulana Hasanudin I34050781


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Purwakarta pada tanggal 15 April 1988, anak dari almarhum H. Tubagus Abdul Wase dan Almarhumah Hj. Nurhayati. Penulis

menyelesaikan sekolah menengah atas pada SMA Negeri 1 Cianjur pada tahun 2005. Pada masa SMA, penulis aktif dalam kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan pernah menjabat sebagai Bendahara Umum OSIS tahun 2003/2004. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati satu tahun di TPB (Tingkat Persiapan Bersama), penulis diterima pada Mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, dengan Minor Manajemen Fungsional.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, yaitu sebagai Staf Departemen Pendidikan BEM KM IPB Kabinet Pembaharu tahun 2005/2006, Staf Departemen Budaya, Olahraga dan Seni BEM KM IPB Kabinet IPB Bersatu tahun 2006/2007, Staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia Internal BEM KM IPB Kabinet Totalitas Perjuangan tahun 2007/2008, anggota Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara IPB (Tenor 2) dan anggota Komunitas Seni Masyarakat Roempoet. Disamping itu, penulis aktif dalam beberapa kepanitiaan di lingkungan kampus, yaitu sebagai Koordinator Divisi Acara Cookies 2007, Wakil Ketua Gebyar Nusantara 2007, dan Ketua kegiatan Open House Paduan Suara Mahasisiwa Agriaswara 44 tahun 2007. Penulis juga pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Komunikasi Bisnis, Pengantar Ilmu Kependudukan, dan Sosiologi Umum.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan karunia dan Hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan

penulisan skripsi yang berjudul ”Relasi Gender dalam Perspektif Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya: Kasus pada Sentra Industri Gerabah di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat”.

Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengidentifikasi karakteristik responden sehingga dapat menganalisis faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan akses dan kontrol terhadap sumberdaya pada usaha gerabah. Disamping itu, skripsi ini juga mengkaji tentang relasi gender dalam rumahtangga pengrajin meliputi akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pembagian kerja, dan pola pengambilan keputusan.

Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Disamping itu, penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini sehingga mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2009

Penulis


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:

1. Dr. Ir. Siti Amanah M.Sc., selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan bimbingan, bantuan, arahan serta kesabaran

dalam proses penyusunan skripsi ini.

2. Dra. Winati Wigna MDS selaku dosen penguji utama dan Ir. Hadiyanto M.Si selaku dosen penguji wakil departemen dalam ujian sidang skripsi. Terima kasih atas saran yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS selaku dosen pembimbing Studi Pustaka

yang telah memberikan arahan dan masukan selama proses penyelesaian Studi Pustaka.

4. Kedua orangtua (almarhum) dan keluarga besar, yang senantiasa memberikan kasih sayang dan sumber inspirasi untuk tetap semangat menjalani hidup ini. “i’ll never forget who you are and what should i give for you…”

5. Bapak Nizar dan Bapak Jujun, selaku staf UPT Litbang Keramik, yang telah memberikan informasi yang berkaitan dengan penelitian ini.

6. Maria dan Lidia, teman satu bimbingan yang senantiasa menyemangati dalam proses penyusunan skripsi ini.

7. Ika Puspitasari, teman satu bimbingan Studi Pustaka yang senantiasa memberikan semangat dan berbagi suka duka selama proses penyusunan Studi Pustaka.

8. Fadli dan Mahendra, teman satu kamar asrama TPB (C1-093) yang senantiasa berbagi suka dan duka hingga sekarang.

9. Keluarga kedua di Saung Kuring (Garna, Jihad, Lenna, Erys, Irvan, Agus, Dwi, Indra dan Dian) yang memberikan kebersamaan dan keceriaan selama di kostan.

10.Teman-teman KPM 42 (khususnya Fachri, Tari, Palupi, Astrid, Wulan, Virgin, Vidya, Wina, Ficha, Idham, Mora, Fahmi, Reni, Tri Cahyo, Rio, Anvina, Andi, Arya, Sinta, Alwin, Sihol, Lussi, Aida). Senang pernah belajar sesuatu dan menjalani kebersamaan dengan kalian.


(11)

RELASI GENDER DALAM PERSPEKTIF

AKSES DAN KONTROL TERHADAP SUMBERDAYA:

KASUS PADA SENTRA INDUSTRI GERABAH DI DESA ANJUN, KECAMATAN PLERED, KABUPATEN PURWAKARTA,

PROVINSI JAWA BARAT

TUBAGUS MAULANA HASANUDIN

I34050781

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOBOR 2009


(12)

ABSTRACT

Gender Relation in Access and Control Perspective: A Case of Gerabah Industry in Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, West Java. The objectives of this study were: (1) identified respondent’s characteristic in gerabah industry; (2) analyzed factors which related to access and control of craftsman; and (3) analyzed gender relation in household’s craftsman (consists of three main parts: access and control to productive resources in gerabah industry,

division of labour, and pattern of decision making). The research applied a quantitative approach which supported by qualitative information. The quantitative data were collected by using survey method on 32 craftsman. The results of these study showed that there were still happen the gender inequality which can identify by activities of craftsman’s household. Men has the bigger access and control to productive resources than women. The fact showed that the owner of these business mostly were men and there was stereotype in craftsman’s society that men convenience to operate this business. Generally, the division of labour influenced determined by sex. Men participated in productive and social activities and women participated in reproductive activities. Beside that, in the process of gerabah’s production, men did the activities which need physical power and women did the activities which need high accuration. The pattern of decision making in craftsman’s household dominant by one actor (man or woman only).

Key words : gender relation, access, control, division of labour, pattern of decision making


(13)

RINGKASAN

TUBAGUS MAULANA HASANUDIN. Relasi Gender dalam Perspektif

Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya. Kasus pada Sentra Industri Gerabah di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat

(Di bawah bimbingan SITI AMANAH).

Perkembangan industri kecil di pedesaan mendukung adanya penyerapan tenaga kerja dan peningkatan nilai tambah terhadap sumberdaya alam (bahan baku) yang tersedia. Akan tetapi, masih terdapat ketidaksetaraan dan bentuk ketidakadilan gender dalam usaha yang melibatkan tenaga kerja laki-laki maupun perempuan. Hal ini terlihat pada kasus sentra industri gerabah dimana

terdapat potensi perempuan yang dilumpuhkan oleh ideologi gender dalam masyarakat sehingga terdapat perbedaan akses dan kontrol terhadap

sumberdaya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik responden pada usaha gerabah, menganalisis faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan akses dan kontrol pengrajin terhadap sumberdaya pada usaha gerabah, serta menganalisis relasi gender dalam rumahtangga pengrajin pada usaha gerabah. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yang dilengkapi dengan analisis data secara kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode survai sedangkan data kualitatif diperoleh dengan menggunakan wawancara mendalam dan observasi. Lokasi penelitian ini adalah sentra industri gerabah yang terletak di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat yang ditentukan secara sengaja (purposive). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni dan Juli 2009. Populasi penelitian adalah seluruh rumahtangga pengrajin yang bertempat tinggal di Desa Anjun. Pemilihan responden dilakukan dengan simple random sampling (acak sederhana). Berdasarkan perhitungan dengan rumus Slovin, diperoleh 32 rumahtangga sebagai sampel dalam penelitian ini. Data primer diolah dengan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 15.0 for windows. Selanjutnya, data dianalisis dan diinterpretasikan. Analisis hubungan dianalisis dengan dengan uji Chi-Square dan korelasi Rank Spearman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan akses dan kontrol terhadap sumberdaya pada pengrajin laki-laki dan perempuan. Sumberdaya yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup: bahan baku, pelatihan, kredit usaha, teknologi, tenaga kerja, serta pemasaran komoditi. Hampir seluruh sumberdaya tersebut dapat diakses oleh pengrajin laki-laki sedangkan pengrajin perempuan hanya mampu mengakses bahan baku dan pemasaran komoditi saja. Kontrol dalam kegiatan usaha atau sumberdaya usaha dominan berada pada laki-laki (suami) karena dipengaruhi oleh stereotipe bahwa pencari nafkah utama dalam rumahtangga adalah laki-laki.

Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji Chi-Square dan Rank Spearman, diketahui faktor yang berhubungan dengan akses dan kontrol

pengrajin gerabah terhadap sumberdaya pada usaha gerabah. Faktor yang memiliki hubungan nyata dengan akses dan kontrol terhadap


(14)

sumberdaya adalah pendidikan formal, pendidikan nonformal (pelatihan), status pekerjaan, dan pendapatan rumahtangga. Faktor yang tidak memiliki hubungan nyata dengan akses dan kontrol terhadap sumberdaya mencakup umur, pengalaman bekerja, dan jumlah anggota rumahtangga. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kebutuhan atas sumberdaya pada masing-masing usaha pengrajin.

Pembagian kerja dapat dilihat melalui curahan waktu kerja pada profil aktivitas rumahtangga pengrajin. Berdasarkan total curahan waktu kerja anggota rumahtangga, perempuan memiliki jam kerja yang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Curahan waktu kerja perempuan berpusat pada pekerjaan reproduktif sedangkan kegiatan produktif (usaha gerabah) dan sosial dilakukan oleh laki-laki. Tingginya curahan waktu kerja perempuan pada pekerjaan reproduktif karena masih adanya anggapan bahwa tugas perempuan hanya mengurusi rumahtangga. Partisipasi perempuan dalam kegiatan usaha gerabah (mencari nafkah) dianggap sebatas membantu pekerjaan laki-laki (suami). Selain itu, curahan waktu kerja pada aktivitas sosial dominan dilakukan oleh laki-laki.

Pembagian kerja pada rumahtangga pengrajin mendukung adanya pola pengambilan keputusan yang dominan dilakukan oleh salah satu anggota rumahtangga. Pengambilan keputusan di bidang pemenuhan kebutuhan rumahtangga dilakukan oleh istri sendiri. Berbeda dengan pengambilan keputusan di bidang pembentukan rumahtangga yang dominan dilakukan bersama setara. Pada bidang kegiatan kemasyarakatan, pengambilan keputusan ditentukan sesuai jenis kegiatan yang ada dalam masyarakat pengrajin.

Adapun saran pada penelitian ini adalah: (1) pihak UPT Litbang Keramik memperjelas mekanisme pelatihan/pemberian kredit usaha dan memberikan perlakuan yang sama antara pengrajin laki-laki maupun perempuan sehingga akses dan kontrol terhadap sumberdaya seimbang; dan (2) menghilangkan stereotipe bahwa laki-laki merupakan pencari nafkah utama dalam rumahtangga sedangkan perempuan hanya membantu pendapatan laki-laki. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi gender pada setiap kegiatan pelatihan yang umumnya berfokus hanya pada teknik produksi gerabah.


(15)

RELASI GENDER DALAM PERSPEKTIF

AKSES DAN KONTROL TERHADAP SUMBERDAYA:

KASUS PADA SENTRA INDUSTRI GERABAH DI DESA ANJUN,

KECAMATAN PLERED, KABUPATEN PURWAKARTA, PROVINSI JAWA BARAT

TUBAGUS MAULANA HASANUDIN

I34050781

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOBOR

2009


(16)

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama : Tubagus Maulana Hasanudin

NRP : I34050781

Judul : Relasi Gender dalam Perspektif Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya: Kasus pada Sentra Industri Gerabah di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc NIP. 19670903 199212 2 001

Mengetahui,

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua

Dr. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001


(17)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”RELASI GENDER DALAM PERSPEKTIF AKSES DAN KONTROL TERHADAP SUMBERDAYA: KASUS PADA SENTRA INDUSTRI GERABAH DI DESA ANJUN, KECAMATAN PLERED, KABUPATEN PURWAKARTA, PROVINSI JAWA BARAT” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Agustus 2009

Tubagus Maulana Hasanudin I34050781


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Purwakarta pada tanggal 15 April 1988, anak dari almarhum H. Tubagus Abdul Wase dan Almarhumah Hj. Nurhayati. Penulis

menyelesaikan sekolah menengah atas pada SMA Negeri 1 Cianjur pada tahun 2005. Pada masa SMA, penulis aktif dalam kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan pernah menjabat sebagai Bendahara Umum OSIS tahun 2003/2004. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati satu tahun di TPB (Tingkat Persiapan Bersama), penulis diterima pada Mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, dengan Minor Manajemen Fungsional.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, yaitu sebagai Staf Departemen Pendidikan BEM KM IPB Kabinet Pembaharu tahun 2005/2006, Staf Departemen Budaya, Olahraga dan Seni BEM KM IPB Kabinet IPB Bersatu tahun 2006/2007, Staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia Internal BEM KM IPB Kabinet Totalitas Perjuangan tahun 2007/2008, anggota Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara IPB (Tenor 2) dan anggota Komunitas Seni Masyarakat Roempoet. Disamping itu, penulis aktif dalam beberapa kepanitiaan di lingkungan kampus, yaitu sebagai Koordinator Divisi Acara Cookies 2007, Wakil Ketua Gebyar Nusantara 2007, dan Ketua kegiatan Open House Paduan Suara Mahasisiwa Agriaswara 44 tahun 2007. Penulis juga pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Komunikasi Bisnis, Pengantar Ilmu Kependudukan, dan Sosiologi Umum.


(19)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan karunia dan Hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan

penulisan skripsi yang berjudul ”Relasi Gender dalam Perspektif Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya: Kasus pada Sentra Industri Gerabah di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat”.

Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengidentifikasi karakteristik responden sehingga dapat menganalisis faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan akses dan kontrol terhadap sumberdaya pada usaha gerabah. Disamping itu, skripsi ini juga mengkaji tentang relasi gender dalam rumahtangga pengrajin meliputi akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pembagian kerja, dan pola pengambilan keputusan.

Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Disamping itu, penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini sehingga mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2009

Penulis


(20)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:

1. Dr. Ir. Siti Amanah M.Sc., selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan bimbingan, bantuan, arahan serta kesabaran

dalam proses penyusunan skripsi ini.

2. Dra. Winati Wigna MDS selaku dosen penguji utama dan Ir. Hadiyanto M.Si selaku dosen penguji wakil departemen dalam ujian sidang skripsi. Terima kasih atas saran yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS selaku dosen pembimbing Studi Pustaka

yang telah memberikan arahan dan masukan selama proses penyelesaian Studi Pustaka.

4. Kedua orangtua (almarhum) dan keluarga besar, yang senantiasa memberikan kasih sayang dan sumber inspirasi untuk tetap semangat menjalani hidup ini. “i’ll never forget who you are and what should i give for you…”

5. Bapak Nizar dan Bapak Jujun, selaku staf UPT Litbang Keramik, yang telah memberikan informasi yang berkaitan dengan penelitian ini.

6. Maria dan Lidia, teman satu bimbingan yang senantiasa menyemangati dalam proses penyusunan skripsi ini.

7. Ika Puspitasari, teman satu bimbingan Studi Pustaka yang senantiasa memberikan semangat dan berbagi suka duka selama proses penyusunan Studi Pustaka.

8. Fadli dan Mahendra, teman satu kamar asrama TPB (C1-093) yang senantiasa berbagi suka dan duka hingga sekarang.

9. Keluarga kedua di Saung Kuring (Garna, Jihad, Lenna, Erys, Irvan, Agus, Dwi, Indra dan Dian) yang memberikan kebersamaan dan keceriaan selama di kostan.

10.Teman-teman KPM 42 (khususnya Fachri, Tari, Palupi, Astrid, Wulan, Virgin, Vidya, Wina, Ficha, Idham, Mora, Fahmi, Reni, Tri Cahyo, Rio, Anvina, Andi, Arya, Sinta, Alwin, Sihol, Lussi, Aida). Senang pernah belajar sesuatu dan menjalani kebersamaan dengan kalian.


(21)

11.Keluarga besar Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara (khususnya Melvin, Max, Joe, Meilina, Ahmad Budi, Irwan), BEM KM IPB (khususnya Gusri,

Yuni, Kak Tuko, Kak Syamsu, Kak Ame, Kak Erik, Kak Dara), dan Masyarakat Rumput (khususnya Rita dan Nando). Pengalaman berharga bersama kalian takkan terlupakan.

12.Teman-teman selama kuliah di IPB, khususnya Kak Redy, Toni, Lina Kristina, Maulani, Faiz, Alien, Liena, Nanda, Dyah Dewi, Jap Mai Cing. 13.Teman-teman facebook di grup TUBAGUS, yaitu Aria, Andi, dan Chaki.

Senang bisa berbagi pengalaman hidup dengan kalian meskipun hanya bertemu di dunia maya.

14.Seluruh dosen pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dan Departemen Manajemen yang telah memberikan pengetahuan selama perkuliahan.

15.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang secara tidak langsung membantu saya dalam proses penyusunan skripsi ini.


(22)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... viii DAFTAR TABEL ... xi DAFTAR GAMBAR ... xiv DAFTAR LAMPIRAN ... xv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 5 1.3 Tujuan Penelitian... 6 1.4 Kegunaan Penelitian ... 7 BAB II PENDEKATAN TEORITIS... 8

2.1 Tinjauan Pustaka... 8 2.1.1 Definisi, Fungsi, dan Pentingnya Industrialisasi Pedesaan ... 8 2.1.2 Tipologi Industri Kecil ... 10 2.1.3 Konsep Jenis Kelamin dan Gender ...…. 14 2.1.4 Analisis Gender...………...15

2.1.5 Relasi Gender dalam Rumahtangga Industri Kecil di Pedesaan………....………... 17

2.1.6 Konsep Keadilan dan Kesetaraan Gender... 22 2.2 Kerangka Pemikiran... 23

2.3 Hipotesis Penelitian... 24 2.4 Definisi Operasional... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 30 3.1 Metode Penelitian ... 30 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30 3.3 Teknik Pemilihan Responden ... 31 3.4 Metode Pengumpulan Data ... 31 3.5 Teknik Analisis Data ... 32 BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

DAN PROFIL USAHA SENTRA INDUSTRI


(23)

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 34 4.1.1 Sejarah Industri Gerabah Plered... 34

4.1.2 Kondisi Fisik Desa Anjun ... 37 4.1.3 Keadaan Umum Penduduk Desa Anjun ... 39 4.1.4 Kelembagaan ... 46 4.2 Profil Usaha Sentra Industri Gerabah ...………… 48 4.2.1 Potensi Sentra Industri Gerabah di Desa Anjun ... 48 4.2.2 Informasi Umum (Keragaan Usaha) ... 50 4.2.3 Informasi Teknis ... 52 4.2.3.1 Persiapan Alat dan Bahan Baku... 52 4.2.3.2 Proses Pembuatan Produk Gerabah... 54 4.2.4 Informasi Bisnis beserta Pendukung Lainnya... 57 BAB V KARAKERISTIK RESPONDEN DAN DUKUNGAN

UPT LITBANG KERAMIK... 60 5.1 Karakteristik Individu... 60 5.1.1 Umur... 60 5.1.2 Pendidikan Formal... 61 5.1.3 Pendidikan Nonformal ... 62 5.1.4 Pengalaman Bererja ... 65 5.1.5 Status Pekerjaan ... 66 5.2 Karakteristik Rumahtangga ... 67 5.2.1 Jumlah Anggota Rumahtangga ... 67 5.2.2 Pendapatan Rumahtangga ... 68 5.3 Dukungan UPT Litbang Keramik...70 BAB VI AKSES DAN KONTROL PENGRAJIN TERHADAP

SUMBERDAYA PADA USAHA GERABAH ... 72 6.1 Karakteristik Individu dan Hubungannya dengan Akses

dan Kontrol terhadap sumberdaya ... 72 6.1.1 Hubungan Umur dengan Akses dan Kontrol

terhadap Sumberdaya ... 72 6.1.2 Hubungan Pendidikan Formal dengan Akses dan Kontrol

terhadap Sumberdaya ... 74 6.1.3 Hubungan Pendidikan Nonformal dengan Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya ... 77


(24)

6.1.4 Hubungan Pengalaman Bekerja dengan Akses dan Kontrol

terhadap Sumberdaya ...79 6.1.5 Hubungan Status Pekerjaan dengan Akses dan Kontrol

terhadap Sumberdaya ... 81 6.2 Karakteristik Rumahtangga dan Hubungannya dengan Akses dan Kontrol terhadap sumberdaya ... 83 6.2.1 Hubungan Jumlah Anggota Rumahtangga

dengan Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya...83 6.2.1 Hubungan Pendapatan Rumahtangga

dengan Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya...85 6.3 Hubungan Dukungan UPT Litbang Keramik

Dengan Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya... 87 BAB VII RELASI GENDER DALAM RUMAHTANGGA

PENGRAJIN GERABAH ... 91 7.1 Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya ... 91 7.1.1 Akses dan Kontrol terhadap Bahan Baku ... 92 7.1.2 Akses dan Kontrol terhadap Pelatihan ... 93 7.1.3 Akses dan Kontrol terhadap Kredit Usaha ... 94 7.1.4 Akses dan Kontrol terhadap Teknologi ... 95 7.1.5 Akses dan Kontrol terhadap Tenaga Kerja ... 96 7.1.6 Akses dan Kontrol terhadap Pemasaran Komoditi ... 96 7.2 Pembagian Kerja ... 97 7.3 Pola Pengambilan Keputusan ... 100

7.4 Budaya Lokal pada Masyarakat Pengrajin...102 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

8.1 Kesimpulan ... 107 8.2 Saran ... 109 DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ...110 DAFTAR PUSTAKA ... 111 LAMPIRAN ... 115


(25)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Rincian Metode Pengumpulan Data... 32 2. Analisis Hubungan dengan Uji Chi-Square dan Rank Spearman ... 33 3. Sebaran Penduduk Desa Anjun menurut Golongan Umur

dan Jenis Kelamin, 2007 ... 41 4. Sebaran Penduduk Desa Anjun menurut Tingkat Pendidikan

dan Jenis Kelamin, 2007 ... 43 5. Sebaran Penduduk Desa Anjun menurut Jenis Pekerjaan, 2007 ... 45 6. Sebaran Penduduk Desa Anjun menurut Etnis, 2007 ... 46 7. Jadwal Pengajian Laki-laki dan Perempuan Dewasa

di Desa Anjun, 2009...48 8. Sebaran Responden menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin

di Desa Anjun, 2009 ... 60 9. Sebaran Responden menurut Pendidikan Formal dan Jenis Kelamin

di Desa Anjun, 2009 ... 62 10. Sebaran Responden menurut Pendidikan Nonformal dan Jenis Kelamin

di Desa Anjun, 2009 ... 63 11. Sebaran Responden menurut Pengalaman Bekerja dan Jenis Kelamin

di Desa Anjun, 2009 ... 65 12. Sebaran Responden menurut Status Pekerjaan dan Jenis Kelamin

di Desa Anjun, 2009 ... 67 13. Sebaran Jumlah Anggota Rumahtangga menurut Jenis Kelamin

Responden di Desa Anjun, 2009 ... 68 14. Sebaran Pendapatan Rumahtangga menurut Jenis Kelamin

Responden di Desa Anjun, 2009 ... 69 15. Sebaran Responden menurut Dukungan UPT Litbang Keramik

dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 71 16. Jumlah dan Persentase Responden menurut Umur,


(26)

17. Jumlah dan Persentase Responden menurut Umur,

Kontrol terhadap Sumberdaya dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 74 18. Jumlah dan Persentase Responden menurut Pendidikan Formal,

Akses terhadap Sumberdaya dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 76 19. Jumlah dan Persentase Responden menurut Pendidikan Formal,

Kontrol terhadap Sumberdaya dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 77 20. Jumlah dan Persentase Responden menurut Pendidikan Nonformal,

Akses terhadap Sumberdaya dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 78 21. Jumlah dan Persentase Responden menurut Pendidikan Nonformal,

Kontrol terhadap Sumberdaya dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 79 22. Jumlah dan Persentase Responden menurut Pengalaman Bekerja,

Akses terhadap Sumberdaya dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 80 23. Jumlah dan Persentase Responden menurut Pengalaman Bekerja,

Kontrol terhadap Sumberdaya dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 81 24. Jumlah dan Persentase Responden menurut Status Pekerjaan,

Akses terhadap Sumberdaya dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 82 25. Jumlah dan Persentase Responden menurut Status Pekerjaan,

Kontrol terhadap Sumberdaya dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 83 26. Jumlah dan Persentase Rumahtangga Responden

menurut Jumlah Anggota Rumahtangga, Akses terhadap Sumberdaya,

dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 84 27. Jumlah dan Persentase Rumahtangga Responden

menurut Jumlah Anggota Rumahtangga, Kontrol terhadap Sumberdaya, dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 85 28. Jumlah dan Persentase Rumahtangga Responden

menurut Pendapatan Rumahtangga, Akses terhadap Sumberdaya,

dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 86 29. Jumlah dan Persentase Rumahtangga Responden

menurut Pendapatan Rumahtangga, Kontrol terhadap Sumberdaya,


(27)

30. Jumlah dan Persentase Responden

menurut Dukungan UPT Litbang Keramik, Akses terhadap Sumberdaya dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 88 31. Jumlah dan Persentase Responden

menurut Dukungan UPT Litbang Keramik, Kontrol terhadap Sumberdaya dan Jenis Kelamin di Desa Anjun, 2009 ... 89 32. Persentase Akses dan Kontrol pada 32 Rumahtangga Pengrajin Gerabah

di Desa Anjun, 2009 ... 92 33. Pembagian Kerja pada 32 Rumahtangga Pengrajin Gerabah

di Desa Anjun, 2009 ... 99 34. Persentase Pengambilan Keputusan di Bidang Pengeluaran

Kebutuhan Pokok pada 32 Rumahtangga Pengrajin Gerabah

di Desa Anjun, 2009 ... 100 35. Persentase Pengambilan Keputusan di Bidang Pembentukan

Rumahtangga pada 32 Rumahtangga Pengrajin Gerabah

di Desa Anjun, 2009 ... 101 36. Persentase Pengambilan Keputusan di Bidang Kegiatan

Kemasyarakatan pada 32 Rumahtangga Pengrajin Gerabah

di Desa Anjun, 2009 ... 102 37. Persentase Responden menurut Penerapan Budaya Lokal


(28)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 24 2. Persentase Luas Wilayah Desa Anjun menurut Penggunaan Lahan, 2007 ... 39 3. Persentase Jumlah Penduduk Desa Anjun menurut Jenis Kelamin, 2007 .... 40


(29)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 115 2. Analisis data dengan korelasi Rank Spearman dan uji Chi-Square ... 121 3. Dokumentasi penelitian ... 127 4. Peta Lokasi Penelitian ... 128


(30)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industrialisasi di Indonesia merupakan salah satu aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, baik secara struktural maupun kultural. Menurut Sastrosoenarto (2006), hal ini didukung oleh adanya

kebijakan industrialisasi yang disusun pada periode Pelita IV-V (periode 1983-1993) yang dapat digolongkan menjadi dua kategori, yaitu

kebijakan strategis utama dan kebijakan strategis penunjang.1 Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan sektor industri memiliki daya saing yang kuat yang dapat dijadikan acuan pada saat ini dan sampai tahun 2030 dan bahkan tahun-tahun berikutnya dengan syarat didukung oleh kemampuan penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan peluang dan ancaman dari lingkungan strategis. Djojohadikusumo (1985) menegaskan bahwa industrialisasi dapat diusahakan baik secara vertikal maupun horizontal.2

Secara makro, sektor industri mempunyai kontribusi besar terhadap perekonomian di Indonesia. Sektor industri merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB3 Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Pada tahun

1

Terdapat enam butir kebijakan strategis utama, mencakup: (1) pendalaman struktur industri sejauh mungkin terkait dengan sektor ekonomi lainnya, (2) pengembangan industri permesinan

dan elektronika, (3) pengembangan industri kecil, (4) pengembangan ekspor hasil industri, (5) pengembangan litbang terapan, rancang bangun dan perekayasaan, serta perangkat lunak, dan

(6) pengembangan kewiraswastaan dan tenaga profesi. Selain itu, terdapat lima butir kebijakan strategis penunjang, mencakup: peletakan landasan hukum, (2) pengelompokkan industri untuk mempermudah pembinaan, (3) program keterkaitan antara industri kecil, menengah, dan besar; antara industri hilir, antara, dan hulu; maupun antarsektor, (4) pemanfaatan pasar dalam negeri, dan (5) peningkatan kemampuan dunia usaha. 

2

Secara vertikal, industrialisasi dapat meningkatkan nilai tambah pada hasil kegiatan ekonomi sedangkan secara horizontal mengakibatkan perluasan lapangan pekerjaan produktif bagi penduduk yang jumlahnya semakin bertambah. 

3


(31)

2007, kontribusi sektor industri pengolahan diperkirakan mencapai lebih dari seperempat (27,01 persen) dalam komponen pembentukan PDB (BPS, 2008c). Hal ini didukung oleh daya serap tenaga kerja pada sektor industri sebesar 12,6 persen dan lebih besar dibandingkan sektor jasa yang menyerap tenaga kerja sebesar 11,9 persen dari 95,5 juta penduduk yang bekerja (BPS, 2007a).

Data BPS (2008c) menunjukkan bahwa perkembangan struktur industri di Indonesia pada tahun 2007 masih didominasi oleh industri mikro yang mencapai sekitar 91,79 persen diikuti dengan penyerapan tenaga kerja yang relatif tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik industri mikro yang menggunakan baku relatif murah dan mudah didapatkan, modal yang relatif rendah serta teknologi yang tergolong sederhana.

Perkembangan pekerjaan di sektor nonpertanian melalui industrialisasi mendukung penyerapan tenaga kerja dalam rangka mengurangi jumlah rumahtangga miskin pedesaan di Indonesia. BPS (2008a) mengemukakan data penduduk menurut jenis kelamin kepala rumahtangganya. Pada tahun 2007, dari total 37,12 juta penduduk miskin, 90,59 persen diantaranya berasal dari rumahtangga miskin yang dikepalai laki-laki (RMKL) dan sisanya merupakan rumahtangga yang dikepalai perempuan (RMKP). Distribusi penduduk miskin di Indonesia menurut jenis kelamin tahun 2007 menunjukkan persentase yang hampir sama, baik laki-laki (50,04 persen) maupun perempuan (49,96 persen). Akan tetapi, terjadi ketimpangan distribusi penduduk miskin di Indonesia tahun 2007 dimana persentase penduduk miskin di pedesaan (63,5 persen) hampir mencapai dua kali lipat lebih besar dibandingkan di perkotaan (36,4 persen).


(32)

Merespon tingginya angka kemiskinan di pedesaan dan adanya kebijakan industrialisasi oleh pemerintah, salah satu solusi alternatif yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan industri kecil di pedesaan. Sajogyo (1990) menegaskan bahwa industri kecil merupakan bentuk yang membawa benih kemantapan dalam perekonomian uang yang meluas dan lebih lanjut mekanisme kaitan antara industri kecil dengan industri rumahtangga berperan penting dalam dinamika ekonomi pedesaan. Industri kecil mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan industri kerajinan rumahtangga. Hal ini disebabkan oleh rata-rata output per usaha pada industri kecil lebih besar, yaitu Rp 273,59 juta per usaha sedangkan industri kerajinan rumahtangga hanya sebesar Rp 25,04 juta per usaha. Selain mempunyai output rata-rata per usaha yang besar, usaha industri kecil umumnya juga menggunakan pekerja dibayar sehingga usaha industri kecil lebih mampu menciptakan lapangan pekerjaan (BPS, 2007b).

Terciptanya lapangan pekerjaan pada usaha industri di pedesaan mengakibatkan semakin tingginya peluang daya serap tenaga kerja, baik laki-laki maupun perempuan. Umumnya status pekerjaan laki-laki dan perempuan pada usaha industri kecil di pedesaan dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu pengusaha, buruh, dan pekerja keluarga. Status pekerjaan akan menentukan sejauhmana peranan individu terhadap usaha industri kecil yang dijalankan. Berdasarkan studi Sukardi (1997), laki-laki maupun perempuan mempunyai kontribusi dalam proses produksi gerabah dan kesejahteraan rumahtangga, akan tetapi peranan produktif perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki. Kontribusi laki-laki dan perempuan dalam sektor industri kecil di pedesaan dipengaruhi pula oleh nilai bekerja yang berbeda dalam kehidupan bermasyarakat.


(33)

Penelitian Wijaya (1992) menjelaskan bahwa pada industri kerajinan tembaga kuning di Desa Cepogo dipengaruhi oleh nilai bekerja masyarakat Jawa sehingga mengakibatkan adanya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan.

Masalah kesenjangan gender dalam sektor industri sangat beragam. Data ILO sebagaimana dikutip dalam Jurnal Perempuan (2005), menunjukkan bahwa dari 51 persen umur produktif perempuan di Indonesia hanya 37,2 persen yang berhasil masuk dalam angkatan kerja. Selain itu, diskriminasi upah dan eksploitasi beban kerja juga masih menjadi masalah perempuan di sektor

industri pedesaan. Rata-rata jam kerja perempuan yang lebih panjang sekitar 30-50 persen dari laki-laki untuk pekerjaan yang dibayar maupun tidak dibayar dalam kelompok umur yang sama. Hal tersebut mempertegas bahwa diperlukan adanya kajian gender dalam industri kecil di pedesaan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Kabupaten Purwakarta merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang mempunyai potensi besar dalam pengembangan industri kecil di pedesaan. Berdasarkan data komoditi andalan industri kecil tahun 2005 di Kabupaten

Purwakarta, industri keramik merupakan unit usaha industri kecil terbesar di Kabupaten Purwakarta yang mampu menyerap 1069 pekerja dan dominan

berada di Kecamatan Plered (BPS, 2008b). Komoditi utama industri keramik di Kecamatan Plered yang mampu mendukung terciptanya lapangan pekerjaan, memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi serta mengurangi jumlah penduduk miskin adalah sentra industri gerabah yang terletak di Desa Anjun.


(34)

Gerabah Plered4 merupakan salah satu komoditi yang memperhatikan desain yang unik dan kreativitas yang tinggi. Berdasarkan definisi BPS, industri gerabah di Desa Anjun dapat digolongkan sebagai industri kecil karena melibatkan 5-19 pekerja, baik laki-laki maupun perempuan. Pada umumnya, masyarakat di sekitar industri gerabah bekerja sebagai pengrajin sehingga dinamika ekonomi masyarakat sangat ditentukan oleh pengembangan usaha tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Pada tahun 2008, perkembangan usaha di sentra industri gerabah Plered tergolong cukup pesat dimana terdapat 286 unit usaha5 dan menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi. Hal ini didukung pula dengan adanya partisipasi pemerintah melalui Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten

Purwakarta yang berusaha memfasilitasi masyarakat melalui pendirian UPT Litbang Keramik pada tahun 2002 untuk mengembangkan desain, teknologi

dan pemasaran produk. Selain itu, pihak UPT Litbang Keramik bekerjasama dengan stakeholder terkait seperti kerjasama dengan Fakultas Seni Rupa ITB melalui penelitian dan pengembangan desain, kerjasama dengan Bank BRI, Bank Jabar, Bank Mandiri di bidang permodalan dan bentuk kerjasama lainnya.

Sentra industri gerabah Plered merupakan pusat perekonomian masyarakat di Desa Anjun karena sebagian besar aktivitas ekonomi masyarakat setempat dilakukan pada sektor ini. Dalam pengelolaannya, terdapat pembagian kerja antara

4

Nama lain untuk usaha industri gerabah di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta.

5

Unit usaha dalam industri gerabah di Desa Anjun dapat digolongkan menjadi empat kategori: pengelola bahan baku, pembuat produk gerabah, pemasok, dan pemasar. 


(35)

laki-laki dan perempuan mulai dari tahap persiapan alat dan bahan yang dibutuhkan, proses produksi hingga pemasaran produk. Keterlibatan

laki-laki dan perempuan pada industri ini didorong oleh ketersediaan bahan baku, modal usaha yang relatif rendah serta keterampilan yang dimiliki secara turun temurun sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Akan tetapi, terdapat potensi tenaga kerja perempuan yang dilumpuhkan oleh ideologi gender yang berkembang dalam masyarakat pengrajin, seperti tidak diikutsertakannya perempuan terhadap pelatihan dan rendahnya akses perempuan terhadap sumberdaya lainnya. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan akses dan kontrol terhadap sumberdaya antara pengrajin laki-laki dan perempuan dalam sentra industri gerabah. Hal ini akan berdampak pula terhadap kondisi relasi gender dalam rumahtangga pengrajin tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji akses dan kontrol terhadap sumberdaya pada pengrajin gerabah.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik responden pada usaha gerabah?

2. Faktor-faktor apa saja yang memiliki hubungan dengan akses dan kontrol pengrajin terhadap sumberdaya pada usaha gerabah?

3. Bagaimana relasi gender dalam rumahtangga pengrajin gerabah?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:


(36)

2. Menganalisis faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan akses dan kontrol terhadap sumberdaya pada pengrajin gerabah.

3. Menganalisis relasi gender dalam rumahtangga pengrajin gerabah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan pada penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti merupakan sarana untuk menerapkan beragam konsep, teori dan pendekatan mengenai studi gender.

2. Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut mengenai studi gender dalam industri kecil di pedesaan pada kasus industri gerabah.

3. Bagi para penentu kebijakan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam strategi pengembangan industri gerabah dengan mengoptimalkan partisipasi laki-laki dan perempuan.


(37)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Definisi, Fungsi, dan Pentingnya Industrialisasi Pedesaan

Saith (1986) dalam Tambunan (1990) mengartikan industrialisasi pedesaan sebagai suatu bentuk transisi antara industri yang bersifat artisan dengan industri modern dan dapat berfungsi sebagai mediator (alat pertumbuhan) pada periode tertentu dan berfungsi mengakumulasi dan transfer modal dari sektor pertanian ke industri melalui mekanisme pasar. Mandagi (1990) dalam Sajogyo dan Tambunan (1990) berpendapat bahwa industrialisasi pedesaan didefinisikan sebagai pengembangan aktivitas-aktivitas ekonomi yang produktif dalam kelompok-kelompok aktivitas basis dan bukan basis, yang satu terhadap yang lainnya saling berkaitan. Tujuan utama adanya industrialisasi pedesaan adalah mengurangi kesenjangan ekonomi (Sitorus, 1990 dalam Sajogyo dan Tambunan, 1990).

Saith (1987) dalam Saptari dan Holzner (1997) menggolongkan industri pedesaan ke dalam tiga kategori berdasarkan potensi relatif hasil produksinya, mencakup: (1) industri proto, yaitu industri yang mempunyai kemampuan untuk berkembang menjadi industri modern melalui inovasi teknologi dan institusi, contohnya industri tekstil dan sepatu, (2) industri inferior, yaitu industri yang tidak mempunyai kemampuan untuk berkembang menjadi industri modern karena permintaan akan hasil pertanian menurun apabila permintaan efektif meningkat, contohnya industri tikar anyaman dan kerajinan tanah liat yang digantikan oleh plastik, (3) industri kerajinan pedesaan yang diubah, yaitu industri yang mendapat


(38)

keuntungan dari peningkatan permintaan hasil produksi melalui peningkatan permintaan efektif karena operasi mereka yang berskala kecil mempunyai keuntungan dibandingkan dengan industri kota yang berskala besar, contohnya industri batik dan perabotan rotan.

Tambunan (1990) menjelaskan mengenai beberapa fungsi industrialisasi pedesaan, yaitu mencakup: (1) mendorong pertumbuhan pedesaan dengan mendiversifikasi sumber pendapatan, (2) meningkatkan dampak pertumbuhan permintaan di dalam atau di luar suatu daerah, (3) meningkatkan kesempatan kerja baru, (4) mendekatkan hubungan fungsional (functional linkage) antara sektor pertanian dengan sektor urban/industri, (5) meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan industri, dan (6) mengurangi kemiskinan di pedesaan. Oleh karena itu, industrialisasi pedesaan dapat diartikan sebagai transformasi potensi pedesaan baik segi perbaikan kualitas sumberdaya manusia dan tata nilai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berkelanjutan melalui peningkatan pemerataan pendapatan, kesempatan kerja serta nilai tambah sehingga jumlah pengangguran dan gejala migrasi berkurang.

Industrialisasi pedesaan mempunyai peranan besar di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan empat alasan utama mengenai pentingnya industrialisasi pedesaan yang disampaikan pada simposium industrialisasi pedesaan di Bogor meliputi: (1) jumlah penduduk Indonesia (sekitar 70 persen) sebagian besar bermata pencaharian di pedesaan meskipun jumlah penduduk pedesaan telah berkurang, (2) sumber penghasilan penduduk pedesaan sebagian besar berasal dari pertanian skala kecil, (3) terdapat kecenderungan menurunnya daya absorbsi sektor pertanian terhadap pertambahan tenaga kerja sedangkan kemampuan sektor


(39)

industri masih sangat terbatas baik di perkotaan apalagi di pedesaan, dan (4) keadaan pedesaan yang selalu kalah dalam keunggulan-keunggulan ekonomi akan selalu menyebabkan perkembangan ekonomi pedesaan menjadi beban bagi perkembangan ekonomi nasional (Arsyad, 1989 dalam Sajogyo dan Tambunan, 1990).

2.1.2 Tipologi Industri Kecil

Penggolongan industri dapat dikategorikan berdasarkan karakteristik tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan BPS (2008c), industri dapat digolongkan ke dalam empat kategori menurut banyaknya pekerja yaitu mencakup: (a) industri besar, yaitu perusahaan industri yang mempunyai jumlah pekerja 100 orang atau lebih, (b) industri sedang/menengah, yaitu perusahaan industri yang mempunyai jumlah pekerja 20-99 orang, (c) industri kecil, yaitu perusahaan industri yang mempunyai jumlah pekerja 5-19 orang, dan (d) industri kerajinan rumahtangga/mikro, yaitu perusahaan industri yang mempunyai jumlah pekerja 1-4 orang. Penggolongan industri menurut BPS tergolong mudah dalam keperluan statistik, akan tetapi memiliki kelemahan karena tidak dapat menjelaskan produktivitas, mekanisasi, jumlah modal, keuntungan dan hubungan kerja (Saptari dan Holzner, 1997).

Tambunan (1997) dalam Saputrayadi (2004) menjelaskan perbedaan antara industri rumahtangga dengan industri kecil. Industri rumahtangga dikelompokkan sebagai industri yang memakai tempat kerja khusus yang biasanya digabungkan dengan rumah dan menggunakan teknologi sederhana sedangkan industri kecil merupakan industri dengan sifat-sifat tempat produksi terpisah dari


(40)

rumah, tetapi masih dalam halaman rumah, menggunakan tenaga kerja yang digaji dan teknologi serta metode yang digunakan lebih maju dibandingkan dengan industri rumahtangga.

Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dalam Yaniprasetyanti (2002), usaha kecil/industri kecil merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak dua ratus juta rupiah tidak termasuk tanah dan

bangunan tempat usaha. Selain itu, Departemen Perindustrian (1999)

dalam Siahaan (2008) turut menyempurnakan industri kecil melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 589/MPP/Kep/10/1999 tanggal 13 Oktober 1999, yang menyatakan bahwa industri kecil merupakan suatu industri dengan nilai kekayaan perusahaan seluruhnya tidak lebih dari satu milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

Ditinjau dari segi pengelolaan dan teknologi yang digunakan, Sinaga (2002) dalam Widiyanti (2007) mengemukakan bahwa industri kecil digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu:

1. kelompok industri kecil tradisional, memiliki ciri penggunaan teknologi yang sederhana berlandaskan dukungan unit pelayan teknis dan mempunyai keterkaitan dengan sektor ekonomi lain secara regional. Pengelolaannya bersifat sektoral dan dalam batas pembinaan administratif pemerintah.

2. kelompok industri kerajinan menggunakan teknologi tepat guna tingkat madya dan sederhana, merupakan perpaduan industri kecil yang menerapkan proses modern dengan keterampilan nasional. Ciri yang sangat spesifik adalah


(41)

mengembangkan misi pelestarian budaya bangsa yang erat kaitannya dengan seni budaya bangsa.

3. kelompok industri kecil modern menggunakan teknologi madya dengan skala produksi terbatas, didasarkan atas dukungan penelitian dan pengembangan di bidang teknik. Penanganannya lebih bersifat lintas sektoral dan menggunakan peralatan/mesin produksi khusus.

Rahardjo (1984) menegaskan bahwa pada masa Repelita III, program industri kecil dan pedesaan digolongkan berdasarkan sifat dan orientasinya menjadi tiga kategori, yaitu:

1. industri yang memanfaatkan potensi dan sumber alam, umumnya berorientasi pada pemrosesan bahan mentah menjadi bahan baku, baik dari hasil pertanian, bahan galian, hasil laut, dan sebagainya.

2. industri yang memanfaatkan keterampilan dan bakat tradisional yang banyak ditemukan di sentra-sentra produksi.

3. industri yang terletak di daerah pedesaan, yaitu yang berkaitan dan merupakan bagian dari kehidupan dan ekonomi daerah pedesaan.

Berdasarkan ciri-ciri industri, industri kecil dapat digolongkan menjadi dua kategori, yaitu industri lokal dan industri sentral/sentra. Industri lokal merupakan jenis industri kecil yang bercirikan: kelangsungan hidupnya tergantung pada pasar lokal yang terbatas, lokasinya relatif tersebar dan berskala sangat kecil; sedangkan industri sentral/sentra diartikan sebagai jenis industri kecil yang bercirikan: unit usahanya berskala kecil, berkelompok, menghasilkan barang

sejenis dan selain untuk memenuhi kebutuhan lokal juga untuk keluar (Saleh, 1986 dalam Yaniprasetyanti, 2002).


(42)

Menurut Hubeis (1997), tipologi industri kecil dapat pula dinyatakan secara umum menurut aspek usaha (kelembagaan) dan aspek pengusaha (pelaku). Aspek usaha ditinjau dari indikator seperti aspek hukum, lokasi usaha, jam kerja, jumlah dan sumber modal, omzet penjualan, jumlah dan sumber serta kebutuhan tenaga kerja, dan masalah yang dihadapi (manajemen, pemasaran, produksi dan pengembangan produk, permodalan dan sumberdaya manusia) sedangkan aspek pengusaha dilihat dari lama usaha, kebutuhan pengembangan keahlian dan rencana pengembangan usaha. Cara lain untuk menjabarkan tipologi industri kecil adalah melihat dari jenis informasi yang dimiliki, digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) informasi umum (kepemilikan, tenaga kerja, jam kerja/shift,

luas perusahaan/bangunan, investasi, biaya produksi dan lama usaha) yang digunakan untuk mengetahui keragaan suatu unit usaha; (2) informasi teknis

(bahan baku, kapasitas alat produksi, jenis produk, volume produksi dan harga jual) yang mendukung pengambilan keputusan dalam proses produksi; dan (3) informasi bisnis beserta pendukungnya (pemasaran, pangsa pasar, promosi, merek, mutu produk, persaingan, sasaran usaha dan perluasan usaha, perizinan dan fasilitas litbang). Ketiga kategori tersebut dapat dijadikan sebagai profil usaha

dengan indikator dari komponen yang terdapat pada masing-masing informasi yang bersangkutan.

Hubeis (1997) mengemukakan pula tipologi industri kecil berdasarkan komponen penilaian bisnis yang digolongkan menjadi enam kategori, yaitu: (1) keuangan (permodalan: sendiri dan luar; asset, omzet/bulan atau per tahun, persediaan barang: barang jadi, barang setengah jadi dan bahan baku; laba rata-rata per bulan atau per tahun, (2) administrasi/manajemen (organisasi, jumlah


(43)

karyawan, peralatan kantor, kendaraan, bangunan dan peralatan lainnya), (3) pemasaran (penjualan dan distribusi secara lokal, regional, nasional dan internasional), (4) teknis (tata letak pabrik/usaha, sumber bahan baku,

produksi dan penyimpanan), (5) yuridis (akta notaris, badan hukum, SIUP, TDP, dll) serta 6) jaminan (nilai dan status).

Menurut Direktorat Jenderal Industri Kecil (1999) dalam Siahaan (2008), terdapat lima ciri industri kecil, yaitu: (1) jumlahnya besar dan tersebar di seluruh pelosok tanah air, (2) mencakup bagian terbesar dari kelompok masyarakat

golongan ekonomi lemah, (3) mampu mendorong proses pemerataan dan penanggulangan kemiskinan karena mudah diakses oleh rakyat kecil dan masyarakat yang tergolong miskin, (4) mampu menggali dan memanfaatkan

keunggulan komparatif serta ketersediaan tenaga kerja dan sumberdaya alam, dan (5) dapat hidup walaupun dengan modal yang sangat terbatas.

2.1.3 Konsep Jenis Kelamin dan Gender

Istilah jenis kelamin (sex) berbeda dengan gender. Menurut Fakih (1996), jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Hal ini dapat ditunjukkan dengan perbedaan bagian anatomi dan genital eksternal antara laki-laki dan perempuan. Wood (2001) dalam Mugniesyah (2007) menjelaskan bahwa jenis kelamin ditentukan oleh kromosom yang memprogram bagaimana suatu janin berkembang. Pada 23 pasangan kromosom yang menentukan perkembangan manusia, hanya terdapat satu pasangan yang menentukan jenis kelamin. Pasangan tersebut selalu terdiri atas kromosom X dan yang dapat atau


(44)

tidak memiliki kromosom Y. Pada umumnya, kromosom XX menghasilkan jenis kelamin perempuan sedangkan kromosom XY menghasilkan jenis kelamin laki-laki.

Berbeda dengan konsep gender sebagaimana dikutip Mugniesyah (2007), definisi gender memiliki banyak pengertian, baik oleh lembaga, ahli, atau peminat studi perempuan/gender. Gender adalah suatu konstruksi sosial yang bervariasi lintas budaya, berubah sejalan perjalanan waktu dalam suatu kebudayaan tertentu, bersifat relasional, karena feminitas dan maskulinitas memperoleh maknanya dari

fakta dimana masyarakat kitalah yang menjadikan mereka berbeda (Wood, 2001 dalam Mugniesyah, 2007).

Gender diartikan pula sebagai perbedaan-perbedaan (dikotomi) sifat perempuan dan laki-laki yang tidak hanya berdasarkan biologis semata tetapi lebih pada hubungan-hubungan sosial-budaya antara perempuan dan laki-laki

yang dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang lebih luas (Donnel, 1988; Eviota 1993 dalam Mugniesyah, 2007). Disamping itu, Fakih (1996) mengartikan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada kaum

laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Berdasarkan definisi tersebut, diketahui bahwa gender tidak bersifat universal dan bersifat dinamis dalam kerangka waktu tertentu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin merupakan kodrat sedangkan gender bukanlah kodrat.


(45)

2.1.4 Analisis Gender

Analisis gender adalah analisis sosial (meliputi aspek ekonomi, budaya, dan sebagainya) yang melihat perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi kondisi (situasi) dan kedudukan (posisi) di dalam keluarga dan komunitas atau

masyarakat. Fokus utama analisis situasi gender meliputi tiga bagian utama, yaitu: (1) pembagian kerja atau peran, (2) akses dan kontrol terhadap sumberdaya serta

manfaat program pembangunan, dan (3) partisipasi dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan di dalam keluarga (Prasodjo et al., 1993). Pada tingkat keluarga/rumahtangga, analisis gender dilihat dari (a) pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif, reproduktif dan pengelolaan kelembagaan masyarakat serta curahan waktu dalam kegiatan tersebut, (b) akses dan kontrol perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya keluarga (lahan, anak, harta, pendidikan). Pada tingkat masyarakat, analisis gender menyoroti akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya yang mencakup informasi, kredit, teknologi, pendidikan/penyuluhan/pelatihan, sumberdaya alam, peluang bekerja dan berusaha; sementara di tingkat negara/pemerintah dapat dipelajari melalui kebijaksanaan pembangunannya (Donnel, 1988; Feldstein dan Poats, 1989; Fao, 1990; Anonymous, 1991 dalam

Mugniesyah et al., 2002)

Menurut Handayani dan Sugiarti (2002), teknik analisis gender dapat mengidentifikasi berbagai kesenjangan maupun isu gender yang terjadi dalam masyarakat dan lingkungannya. Sebagai suatu alat, analisis gender tidak hanya melihat peran, aktivitas, akan tetapi mencakup hubungan dalam hal ”siapa


(46)

mengerjakan apa”, siapa yang membuat keputusan, siapa yang membuat keuntungan, dan siapa yang menggunakan sumberdaya pembangunan.

Salah satu kategori utama alat analisis gender adalah kerangka Harvard. Alat ini digunakan untuk melihat suatu profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek pembangunan yang menjelaskan pentingnya tiga

komponen dan interaksi satu sama lain, yaitu: profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol (Overholt, 1985 dalam Handayani dan Sugiarti, 2002). Alat ini

berguna untuk menganalisis situasi keluarga/rumahtangga dan komunitas masyarakat. Pada kerangka analisis Harvard, terdapat tiga komponen utama yaitu: (1) pembagian kerja (dapat dilihat dari profil kegiatan laki-laki dan perempuan),

(2) profil akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat, dan (3) faktor-faktor yang mempengaruhi profil kegiatan, akses dan kontrol

terhadap sumberdaya dan manfaat, partisipasi dalam lembaga dan pengambilan keputusan (Prasodjo et al., 2003).

2.1.5 Relasi Gender dalam Rumahtangga Industri Kecil di Pedesaan

Merujuk pendapat Agarwal (1994) dalam Mugniesyah (2007), relasi gender dapat diartikan sebagai suatu hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan (ide), praktek, dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan definisi tersebut, relasi gender menitikberatkan hubungan kekuasaan (akses dan kontrol) antara laki-laki dan perempuan terhadap pembagian kerja, peranan, dan alokasi sumberdaya.


(47)

Pembagian kerja dilihat dari profil aktivitas dan curahan waktu antara laki-laki dan perempuan. Pada beberapa studi industri kecil di pedesaan, umumnya terdapat pembagian kerja yang tegas antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan penelitian Murdianto (1999) mengenai studi gender dalam rumahtangga pengrajin gula aren di daerah lahan kering di Jawa Barat, perempuan (istri) lebih banyak terlibat dalam proses produksi terutama dalam tahap yang membutuhkan banyak energi. Pada tahap pra pengolahan dilakukan oleh laki-laki, kecuali pada pekerjaan mengangkut nira dan pengambilan kayu bakar dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Pekerjaan yang berkaitan dengan pengolahan nira sampai menjadi gula dilakukan oleh perempuan. Pada tahap pemasaran, umumnya dilakukan oleh perempuan. Disamping itu, curahan waktu total perempuan pada industri gula aren 2,5 kali lipat dari laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi tentang kemampuan kerja laki-laki dan perempuan dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Pada penelitian Wijaya (1992) mengenai industri tembaga kuning di Desa Cepogo menjelaskan bahwa terdapat pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki bekerja di bidang produksi sedangkan perempuan bekerja di bidang perdagangan. Curahan waktu kerja laki-laki dalam bidang produksi selama 6 jam sedangkan perempuan bertugas dalam bidang pemasaran yang hanya mencurahkan waktu 2 jam. Pekerjaan rumahtangga seperti memasak, mencuci, mengambil air, bersih dari bak penampungan air, memandikan anak, dan mengasuh anak dilakukan oleh perempuan (istri). Hal tersebut dipengaruhi oleh nilai budaya ketug6. Grijns et al. (1992) menegaskan

6

Nilai budaya ketug menjelaskan bahwa laki-laki bekerja dengan cara ngeluk boyok atau bekerja keras sedangkan perempuan bekerja ngurus pawon atau mengurusi dapur. 


(48)

bahwa pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan masih dipengaruhi oleh nilai dan norma masyarakat, dimana semua jenis pekerjaan yang bersifat domestik atau feminin yang menggunakan teknologi tradisional yang tidak memerlukan tenaga kerja yang kuat dominan dikerjakan oleh perempuan. Faktor internal yang mempengaruhi alokasi waktu kerja rumahtangga pengusaha tetapi tidak berpengaruh kuat adalah umur pengusaha, jumlah angkatan kerja, dan pengalaman kerja pengusaha. Pada rumahtangga pengusaha berdampak terhadap peningkatan pendapatan total rumahtangga pekerja sehingga seluruh pengeluaran rumahtangga pekerja meningkat (Elinur, 2004).

Sebagaimana penelitian yang dilakukan Sukardi (1997), faktor yang mempengaruhi curahan waktu kerja ibu rumahtangga pada industri kerajinan

gerabah adalah: umur, jumlah anggota keluarga, total pendapatan rumahtangga,

status pengrajin (binaan/non binaan), pendidikan, curahan waktu kerja suami pada kerajinan, curahan waktu kerja anak pada kerajinan, anak balita, dan pendapatan rumahtangga dari luar kerajinan. Grijns et al. (1992) menjelaskan

bahwa pendidikan akan berpengaruh pada status kerja karena posisi pekerja akan lebih tinggi dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Kesempatan kerja perempuan pengusaha dibatasi oleh adanya anak kecil dan tingkat pendidikan yang rendah. Akses perempuan pengusaha lebih kecil dibandingkan laki-laki dalam hal modal, bahan dasar, tenaga kerja, latihan dan informasi serta teknologi.

Sebagaimana studi Mugniesyah dan Kusumastuti (1991) tentang peranan

dan status perempuan dalam industri pengolahan pangan di Kabupaten Subang dan Majalengka, tingkat pendidikan turut mempengaruhi keterlibatan perempuan


(49)

pendidikan yang rendah. Pada penelitian Saptari (1989), kontribusi pengrajin dalam industri logam/kaleng di Desa Tarikolot dalam proses produksi dipengaruhi oleh kemampuan rumahtangga pengrajin atau pengusaha logam/kaleng dalam mengerahkan modal, mengerahkan tenaga kerja, dan menembus pemasaran produk. Peluang kerja dimasuki oleh laki-laki disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya nilai-nilai yang melahirkan anggapan bahwa ibu rumahtangga tidak pantas bekerja di luar rumah dan pembagian kerja antara laki-laki (kepala rumahtangga) dan perempuan (ibu rumahtangga) menempatkan ibu rumahtangga bukan sebagai pencari nafkah utama tetapi sebagai pelaksana untuk kegiatan-kegiatan reproduktif. Tenaga kerja perempuan diikutsertakan dalam melakukan bagian-bagian pekerjaan yang dianggap halus, ukuran produk yang dihasilkan kecil, dan perlu ketelitian yang tinggi. Kesempatan kerja pun rendah disebabkan oleh tingkat pendidikan formal yang tergolong rendah.

Konsep peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukan, maka ia telah menjalani suatu peranan.7 Mengacu pendapat Moser (1993) yang dikutip Mugniesyah (2007), peranan gender diartikan sebagai peranan yang dilakukan laki-laki dan perempuan sesuai status, lingkungan,

budaya dan struktur masyarakatnya. Selain itu, peranan gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu

yang menjadikan aktivitas-aktivitas, tugas dan tanggung jawab tertentu dipersepsikan sebagai peranan perempuan dan laki-laki. Moser (1993) mengemukakan tiga kategori peranan (triple roles), meliputi:

7

 Nuraini W. Prasodjo dan Nurmala K. Pandjaitan . 2003. Sosiologi Umum. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Pustaka Wirausaha Bogor, halaman 74. 


(50)

1. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya.

2. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan keluarga. Peranan ini tidak hanya terdiri atas kegiatan reproduksi secara

biologis tetapi juga dalam kepedulian dan pemeliharaan angkatan kerja (suami dan pekerjaan anak) dan angkatan kerja berikutnya (bayi dan anak sekolah).

3. Peranan pengelolaan masyarakat dan politik. Peranan ini dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: (a) peranan pengelolaaan masyarakat (kegiatan sosial), yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas

sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat volunter dan tanpa upah, dan (b) pengelolaan masyarakat politik (kegiatan politik), yakni peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal

secara politik, umumnya dibayar (langsung atau tidak langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status.

Menurut Sajogyo (1981), pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga dapat digolongkan menjadi lima kategori: (1) keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan dibuat bersama oleh suami dan istri tetapi pengaruh istri lebih besar, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami dan istri (dengan tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar), (4) keputusan dibuat bersama oleh suami


(1)

atom karbon, yang terdiri dari 8 unit isoprene dan 11 ikatan rangkap, serta mempunyai dua cincin β-ionon yang terletak masing-masing satu cincin pada ujung molekulnya (Hurst 2002). Gross (1991) mengatakan bahwa β-karoten dengan dua cincin β merupakan provitamin A dengan aktivitas yang paling tinggi. Menurut Andarwulan dan Koswara (1992), perbedaan antara satu provitamin A dengan yang lainnya terletak pada struktur cincin yang terdapat dikedua sisi rantai alifatik. β-karoten mempunyai dua struktur cincin β-ionon, α-karoten mempunyai satu struktur cincin β-ionon dan sisi lainnya terdapat struktur cincin α-ionon (ikatan rangkap pada posisi 4 dan 5), γ-karoten pada satu sisi mempunyai struktur cincin β-ionon sedangkan pada sisi lainnya tidak mempunyai struktur cincin, tetapi memiliki jumlah atom karbon yang sama dengan provitamin A lainnya.

Senyawa β-karoten jauh lebih aman dikonsumsi daripada vitamin A yang dibuat secara sintetis. Pendekatan yang terbaik untuk mencegah defisiensi vitamin A adalah dengan menghimbau agar suplementasi β-karoten dosis tinggi dilakukan pada diet intake. Tubuh manusia mempunyai kemampuan mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A (retinol), sehingga karoten ini disebut provitamin A. Untuk menyatakan aktivitas vitamin A dari karotenoid dalam diit secara umum, FAO/WHO pada tahun 1967 memperkenalkan konsep retinol equivalent (RE) yang kemudian juga diadopsi oleh National Research Council (1989). Konsep tersebut menyatakan bahwa satu RE setara dengan 12 μ g β-karoten.

Namun Pada tahun 2001 Institute of Medicine (IOM) memperkenalkan konsep baru yang disebut retinol activity equivalent (RAE). Konsep RAE diperkenalkan berdasarkan kajian dari berbagai hasil penelitian yang menunjukan bahwa penyerapan karotenoid dari diit lebih rendah dari β-karoten murni di dalam minyak. Berdasarkan konsep baru tersebut, satu RAE untuk karotenoid provitamin A ditetapkan setara dengan 12 μ g β-karoten. Untuk lebih jelasnya perbandingan antara konsep RE dan RAE disajikan pada tabel 4.


(2)

Tabel 4. Perbandingan Interkonversi Unit Vitamin A dan karotenoid antara NRC 1989 dan IOM 2001.

NRC, 1989 IOM, 2001

1 retinol equivalent (RE) = 1 μ g all-trans-retinol

= 2 μ g suplemen all-trans-β-karoten = 6 μ g all-trans-β-karoten dalam

makanan

= 12 μ g karotenoid provitamin A lain dari makanan

1 retinol equivalent (RE) = 1 μ g all-trans-retinol

= 2 μ g suplemen all-trans-β- karoten = 12 μ g all-trans-β-karoten dalam

makanan

= 24 μ g karotenoid provitamin A lain dari makanan

Sumber :Dietary Reference Intakes(2001)

Dapat terlihat bahwa banyaknya aktivitas vitamin A dari provitamin A karotenoid dalam μ g RAE adalah setengah dari kandungan karotenoid jika menggunakan satuan μ g RE. Berdasarkan konsep baru tersebut maka ketika mengkonversi dari IU (Internasional Unit)β-karoten ke μ g RAE, IU dibagi dengan 20 (2x10). Hal tersebut karena 10 IU didasarkan atas 3,33 SI aktivitas vitamin A x 3 (relatif aktivitas vitamin dari β-karoten dalam sulemen versus dalam diit) (IOM 2001).

Karoten memberikan karakteristik warna jingga pada wortel (Suojala 2000). Menurut Skrede (1997), ada korelasi positif antara derajat kemerahan dengan kadar karoten pada wortel, yaitu semakin tinggi kadar karotennya semakin merah komoditi wortel tersebut tetapi semakin rendah nilai hue.

Salah satu faktor yang mempengaruhi biosintesi dan degradasi karotenoid adalah air. Karotenoid akan dengan cepat dioksidasi pada produk yang kering atau mengalami dehidrasi, karena air yang terikat di dalam permukaan produk membentuk lapisan pelindung. Bahan makanan yang dikeringkan sangat mudah mengalami kehilangan aktivitas provitamin A karena pengeringan memberi kesempatan terjadinya oksidasi melalui mekanisme oksidasi radikal bebas (Andarwulan dan Koswara 1992). Menurut Wiseman (2002) kandungan karotenoid juga dipengaruhi oleh tingkat kemasakan. Karoten pada wortel akan lebih mudah diabsorbsi oleh tubuh jika wortel dimasak terlebih dahulu hingga lunak atau di jus dibandingkan dalam keadaan mentah (Wiseman 2002). Namun menurut Pitojo (2006), pada wortel mentah mengandung zat gizi seperti β-karoten lebih tinggi dibandingkan wortel yan telah dimasak.

β-karoten bermanfaat untuk penanggulangan kebutaan karena xerophtalmia, rabun senja, konjungtivitis (radang kelopak mata), retinopati, katarak dan penurunan fungsi bagian dari retina yang terletak di bagian belakang mata. Selain itu juga dapat mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker


(3)

ataupun membantu menekan kanker terutama kanker saluran pernapasan prostat, dan pankreas.β-karoten juga dapat membantu mengatasi masalah yang sering diderita oleh wanita seperti mentruasi yang tidak normal, abnormal pap smear, premenstrual syndrom, vaginitis, dan infeksi saluran kencing (Pitojo 2006). Menurut Widayanto 2007, β-karoten dapat mencegah penuaan dini, meningkatkan imunisasi tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif.

Menurut Suwandi (1991), karotenoid mampu menetralkan atau memadamkan (quench) reaktivitas singlet oksigen penyebab oksidatif pada sel dengan cara menghamburkan energi ke seluruh molekul karotenoid. Supaya dapat memadamkan singlet oksigen tersebut, karotenoid harus mempunyai sedikitnya 9 ikatan rangkap dengan ikatan tunggal di antara ikatan rangkap. Susunan ikatan kimia ini dinamakan conjugated double bonds. β-karoten mempunyai 11 ikatan kimia tersebut. Energi dari singlet oksigen dipindahkan ke β-karoten dan dihamburkan ke semua ikatan tunggal dan rangkap, kemudian dilepas sebagai panas dan molekul β-karoten kembali ke energi semula. Pada saat itu singlet oksigen telah diubah menjadi oksigen normal. β-karoten tidak rusak oleh pemindahan energi dari singlet oksigen tersebut dan dapat mengulangi proses yang sama dengan singlet oksigen lain.

Menyimpan Sayuran

Setelah sayuran dipanen atau dibeli dari pasar ada yang langsung diolah atau dimasak, tetapi ada pula yang disimpan untuk cadangan selama beberapa hari. Setelah dipanen masih terdapat proses fisiologis yang terjadi di dalam sayuran, yaitu proses respirasi dan proses enzimatis. Kerja enzim tersebut menyebabkan terjadinya perubahan tekstur sayuran selama penyimpanan. Pemecahan pektin yang merupakan penyusun dinding sel tanaman mengakibatkan terjadinya perubahan tekstur sayuran dari keras menjadi lunak. Selain itu, tiap-tiap jenis sayuran memiliki kandungan bahan yang berbeda-beda yang juga berpengaruh terhadap umur simpan (Agoes & Lisdiana 1995).

Perubahan-perubahan yang terjadi selama penyimpanan tidak saja disebabkan oleh faktor yang ada pada sayuran, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan, di antaranya suhu dan kelembapan. Dengan memperhatikan faktor lingkungan selama penyimpanan, proses kerusakan yang terjadi pada sayuran dapat diperlambat (Agoes & Lisdiana 1995).

Kerusakan dapat pula terjadi akibat aktivitas yang dilakukan oleh mikroorganisme. Setelah dipanen biasanya sayuran dicuci. Namun, air yang


(4)

digunakan kadang berupa air sungai yang kotor. Akibatnya, jasad renik terutama bakteri melekat pada sayuran dan menimbulkan proses pembusukan. Usaha untuk mengurangi jasad renik yang melekat pada sayuran dapat dilakukan dengan membuang bagian-bagian sayuran yang telah mengalami proses pembusukan. Selain itu, sayuran dicuci dengan air bersih sebelum disimpan. Pencucian sayuran dimaksudkan pula untuk menghilangkan adanya sisa obat-obatan yang mungkin digunakan petani sesaat sebelum panen (Agoes & Lisdiana 1995).

Setelah dilakukan pencucian, sayuran dapat ditiriskan dan disimpan. Sayuran yang masih berakar dicuci tanpa membuang akarnya. Jenis umbi-umbian seperti wortel dan kentang dapat disimpan tanpa pencucian (Agoes & Lisdiana 1995).

Penyimpanan Wortel Pada Suhu Dingin

Wortel dapat tetap awet dan terjaga kualitasnya selama 2 sampai 4 bulan pada penyimpanan suhu rendah yaitu pada suhu 00C, kelembapan 98%-100% dan RH 90%-95%. Pada keadaan penyimpanan ini, aktivitas metabolisme menjadi rendah sehingga laju respirasinya menjadi turun (Suojala 2000). Menurut Rubatzky & Yamaguchi (1997), laju respirasi umbi relatif rendah dibandingkan dengan sayuran lain. Gula akan meningkat selama penyimpanan pada suhu rendah. Tetapi menurut Szymczak et al (2007) pada penyimpan 4-6 bulan kualitas rasa dan tekstur wortel akan lebih rendah jika dibandingkan dengan kualitas wortel yang baru dipanen.

Selama penyimpanan kandungan gula akan menurun sehingga kandungan terpenoids penyebab rasa pahit pada wortel akan mendominasi, hal ini membuat wortel menjadi lebih pahit. Namun pada penyimpanan beku, wortel mempunyai rasa yang lebih manis karena terpenoids akan hilang pada saat proses pembekuan dan thawing (Kjellenberg 2007).

Wortel sangat mudah menjadi layu apabila kehilangan kandungan air di dalamnya, sehingga penting untuk menjaga kadar air selama penyimpanan. Kehilangan air yang besar berhubungan dengan luas penampang wortel. Wortel dengan ukuran besar memiliki laju transpirasi yang tinggi, sehingga akan mudah mengalami kehilangan air melalui penguapan di permukaannya. Hal ini juga dapat menyebabkan wortel kehilangan bobot (Suojala 2000). Menurut Rubatzky & Yamaguchi (1997), dalam kondisi ini, sebaiknya wortel dibungkus plastik agar dapat bertahan dan kualitasnya tetap baik selama penyimpanan. Namun, pada


(5)

wortel yang diikat daya simpannya menjadi buruk, dan kekerasan umbinya mudah menyusut karena kandungan lengasnya terserap oleh daun. Akibatnya kualitas umbi dan umur simpannya menurun, dan hanya dapat bertahan sampai tujuh hari.

Menurut Suojala (2000) , wortel dapat juga terserang penyakit selama penyimpanan suhu rendah yang disebabkan oleh fungi. Hal ini dikarenakan kelembapan yang tidak sesuai pada tempat penyimpanan. Etilen yang dihasilkan selama penyimpanan juga dapat menurunkan mutu organoleptik wortel. Karena zat ini dapat merangsang sintesis komponen fenolik yang kadang dapat menyebabkan rasa pahit pada wortel.

Uji Organoleptik

Menurut Soekarto (1985) penilaian dengan indera disebut juga penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian dengan indera ini banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Kadang-kadang penilaian ini dapat memberi hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif.

Uji Organoleptik pada sayuran berguna untuk memberikan informasi mengenai kualitas dan karakteristik dari suatu produk sayuran dan merupakan salah satu faktor utama untuk meningkatkan daya terima dan kepuasan konsumen. Kualitas organoleptik dari wortel ditentukan oleh kemanisan rasanya, tidak adanya rasa pahit, kerenyahan, kelunakan tekstur dan juiceness (kandungan airnya). Sifat sensori wortel tergantung jenis genotifnya, kandungan volatil dan non-volatil pada wortel. Komponen non-volatil terdiri dari gula dan asam amino, yang dapat menetukan kesegaran wortel. Sedangkan komponen volatil bersama dengan gula akan menentukan rasa dari wortel (Szymczak et al 2007).

Rasa

Rasa dapat dideteksi oleh indera perasa. Agar suatu senyawa dapat dikenali rasanya, senyawa tersebut harus dapat larut dalam air liur sehingga dapat mengadakan hubungan denga mikrovillus dan impuls yang dikirim melalui syaraf ke pusat susunan syaraf (Winarno 1995). Rasa makanan yang kita kenal sehari-hari sebenarnya bukan satu tanggapan melainkan campuran dari tanggapan cicip, bau, dan trigeminal yang diramu oleh kesan-kesan lain seperti


(6)

penglihatan, sentuhan dan pendengaran. Peranan pendengaran terutama terlihat dari penilaian terhadap kerenyahan makanan tertentu seperti kerupuk, mentimun, wortel, keripik. Peramuan rasa itu ialah suatu sugesti kejiwaan terhadap makanan yang menentukan nilai pemuasan orang yang memakannya (Soekarto 1985).

Pada wortel, kualitas organoleptik yang utama ditentukan oleh kemanisannya. Karena rasa manis merupakan daya tarik bagi konsumen untuk mengkonsumsi wortel. Kualitas organoleptik dan kemanisan wortel dipengaruhi oleh kandungan gulanya. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa temperatur yang rendah akan mempengaruhi rasa asam, rasa pahit, kerenyahan dan kandungan air pada wortel, sedangkan pada suhu tinggi akan mempengaruhi rasa pahit dan kekerasan tekstur pada wortel (Szymczaket al 2007). Kjellenberg (2007) mengemukakan bahwa rasa manis dan pahit pada wortel tergantung dari genetik dan faktor lingkungan. Pemilihan cara penanaman dapat sangat berpengaruh terhadap rasa wortel sebelum sampai ke konsumen.

Warna

Banyak sifat atau mutu komoditi berkaitan dengan warna. Tingkat matang dan kandungan vitamin dalam banyak jenis buah-buahan serta sayuran dapat dikenali atau dinilai dari warnanya. Jika warna dari bahan pangan ada yang menyimpang segera dinilai berkurang mutunya (Soekarto 1985). Warna pada wortel tergantung dari genotifnya. Wortel berdasakan jenisnya terdiri dari warna orange, merah, kuning, dan putih. Warna juga menunjukan kualitas dan rasa dari wortel tersebut (Szymczaket al 2007).

Aroma

Dalam banyak hal enaknya makanan ditentukan oleh aromanya. Industri pangan menganggap sangat penting uji aroma karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian produksinya, disukai atau tidak disukai (Winarno 1995).

Karakteristik aroma pada wortel mentah disebabkan karena adanya komponen volatil yang terkandung di dalamnya. aroma tersebut terbentuk dari komponen prekusor ketika bereaksi dengan enzim pembentuk flavor (Alabran dan Mabrouk 1973). Menurut Gormley (1981), Aroma pada sayuran dapat hilang karena proses blanching atau pemanasan karena rusaknya enzim pembentuk aroma, selain itu volatil pada wortel juga akan menurun selama pengeringan dan penyimpanan pada suhu beku.