Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2009-2013.

(1)

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, DAN DANA BAGI HASIL PADA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BALI

TAHUN 2009-2013

SKRIPSI

Oleh :

GEDE FERDI WILLIANTARA NIM : 1206305092

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(2)

i

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, DAN DANA BAGI HASIL PADA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BALI

TAHUN 2009-2013

SKRIPSI

Oleh :

GEDE FERDI WILLIANTARA NIM : 1206305092

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi

Universitas Udayana Denpasar


(3)

ii

Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetuji oleh pembimbing, serta diuji pada tanggal: 15 Januari 2016

Tim Penguji : Tanda Tangan

1. Ketua : Ni Luh Supadmi, SE., M.Si., Ak ...

2. Sekretaris : Prof. Dr. I Wayan Suartana, SE., M.Si., Ak ...

3. Anggota : I Made Karya Utama, SE., M.Com., Ak ...

Mengetahui,

Ketua Jurusan Akuntansi Pembimbing

Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE., M.Si., Ak Prof. Dr. I Wayan Suartana, SE., M.Si., Ak NIP. 19650323 199103 1 004 NIP. 19670729 199402 1 001


(4)

iii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam Naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila ternyata dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, saya bersedia diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 15 Januari 2016 Mahasiswa,

Gede Ferdi Williantara 1206305092


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil Pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2009-2013 dapat diselesaikan sesuai dengan yang direncanakan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada:

1) Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

2) Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE., M.S., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

3) Prof. Dr. Ni Luh Putu Wiagustini, SE., M.Si., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

4) Dr. I Dewa Gde Dharma Suputra, SE., M.Si., Ak selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

5) Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE., M.Si., Ak selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

6) Dr. I Dewa Nyoman Badera, SE., M.Si., Ak selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

7) Dr. I Gusti Ayu Made Asri Dwija P, SE., M.Si., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahannya.


(6)

v

8) Prof. Dr. I Wayan Suartana, SE., M.Si., Ak selaku Pembimbing Skripsi atas waktu, bimbingan, arahan, dan dukungan yang sangat besar kepada penulis selama penulisan skripsi.

9) I Made Karya Utama, SE., M.Com., Ak selaku dosen pembahas yang telah memberikan saran dan kritik terhadap skripsi ini.

10) Ni Luh Supadmi, SE., M.Si., Ak Selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan terhadap skripsi ini.

11) Segenap dosen pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana atas segala bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.

12) Seluruh pegawai dan staf di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, yang telah memberikan bantuan selama proses pengadministrasian skripsi.

13) Orang tua penulis I Nyoman Sunarya, Ediarti Sudarsih, SE., dan Ni Ketut Sukasih, SE., MM., Ak yang telah memberikan amanat kepada penulis sedari dini untuk menyelesaikan sekolah setinggi-tingginya, dan juga memberikan dukungan berupa materiil, semangat, dan doa yang tiada henti untuk penulis.

14) Adik penulis Tania atas bantuan yang telah diberikan selama perkuliahan dan penulisan skripsi.

15) Pendamping masa depan penulis Nofi Anggela atas cinta, motivasi, dan dorongan yang telah diberikan selama perkuliahan dan penulisan skripsi.


(7)

vi

16) Sahabat-sahabat terbaik penulis Dewa Ayu, Mayta, Puput atas dukungannya selama perkuliahan dan penulisan skripsi.

17) Seluruh teman-teman penulis di kampus yang sering membantu penulis terkait perkuliahan ataupun terkait dengan penulisan skripsi ini.

18) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan, saran dan dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih belum sempurna, sehingga segala kritik dan saran yang membangun mengenai skripsi ini sangat penulis butuhkan. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang berkepentingan,

Denpasar, 15 Januari 2016 Penulis


(8)

vii

Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil Pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2009-2013

Nama : Gede Ferdi Williantara NIM : 1206305092

ABSTRAK

Otonomi daerah memberikan wewenang kepada masing-masing daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri termasuk dalam hal mengatur keuangan daerah yang sering disebut dengan desentralisasi fiskal. Dengan diadakannya otonomi daerah diharapkan dapat mempercepat laju pembangunan daerah yang tercermin dari pembangunan manusia.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan sampling jenuh, dengan total sampel sebanyak 45 amatan. Data yang digunakan adalah Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, Belanja Modal (BM), dan Indeks Pembangunan Manusia yang berasal dari laporan realisasi APBD dan Tabel Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali tahun 2009-2013. Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil tidak mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan PAD, DAU, dan DBH dalam membiayai Belanja Modal tidak mempengaruhi capaian IPM. Namun Dana Alokasi Khusus menunjukan hasil yang berpengaruh negatif pada IPM. Hal tersebut mengindikasikan semakin besar DAK dalam membiayai Belanja Modal maka akan dapat menurunkan capaian IPM.

Kata Kunci: Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, Indeks Pembangunan Manusia


(9)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 13

1.4 Kegunaan Penelitian... 13

1.5 Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep ... 16

2.1.1 Teori Fiscal Federalism ... 16

2.1.2Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 19

2.1.3 Dana Perimbangan ... 20

2.1.4 Indeks Pembangunan Manusia ... 25

2.2 Hipotesis Penelitian ... 27

2.2.1Pengaruh Pendapatan Asli Daerah pada Indeks Pembangunan Manusia ... 28

2.2.2Pengaruh Dana Alokasi Umum pada Indeks Pembangunan Manusia ... 29

2.2.3Pengaruh Dana Alokasi Khusus pada Indeks Pembangunan Manusia ... 30


(10)

ix

2.2.4Pengaruh Dana Bagi Hasil pada Indeks

Pembangunan Manusia ... 31

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 33

3.2 Lokasi atau Ruang Lingkup Wilayah Penelitian ... 33

3.3 Obyek Penelitian ... 33

3.4 Identifikasi Variabel ... 33

3.5 Definisi Operasional Variabel ... 34

3.6 Jenis dan Sumber Data ... 36

3.6.1 Jenis Data ... 36

3.6.2 Sumber Data ... 36

3.7 Populasi, Sampel, dan Metode Penentuan Sampel ... 36

3.7.1 Populasi ... 36

3.7.2 Sampel ... 37

3.7.3 Metode Penentuan Sampel ... 37

3.8 Metode Pengumpulan Data ... 37

3.9 Teknik Analisis Data ... 38

3.9.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 38

3.9.2 Uji Asumsi Klasik ... 38

3.9.3 Analisis Regresi Linier Berganda ... 41

3.9.4 Koefisien Determinasi ... 41

3.9.5 Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 42

3.9.6 Uji Hipotesis (Uji t) ... 43

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Provinsi Bali ... 44

4.2 Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 46

4.3 Deskripsi Statistik ... 46

4.4 Hasil Uji Asumsi Klasik ... 48

4.4.1 Uji Normalitas ... 48

4.4.2 Uji Autokorelasi ... 49


(11)

x

4.4.4 Uji Heteroskedastisitas ... 50

4.5 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda ... 51

4.6 Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 53

4.7 Hasil Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 53

4.8 Hasil Uji Hipotesis (Uji t) ... 54

4.9 Pembahasan Hasil Penelitian ... 56

4.9.1Pengaruh Pendapatan Asli Daerah pada Indeks Pembangunan Manusia ... 56

4.9.2Pengaruh Dana Alokasi Umum pada Indeks Pembangunan Manusia ... 57

4.9.3Pengaruh Dana Alokasi Khusus pada Indeks Pembangunan Manusia ... 58

4.9.4Pengaruh Dana Bagi Hasil pada Indeks Pembangunan Manusia ... 60

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 61

5.2 Saran ... 62

DAFTAR RUJUKAN ... 63


(12)

xi

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman

1.1 Tabel Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi

Bali Tahun 2009-2013 ... 3

1.2 Tabel Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 ... 4

1.3 Tabel Dana Alokasi Khusus Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 ... 6

1.4 Tabel Dana Bagi Hasil Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 ... 7

1.5 Tabel Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2009-2013 ... 9

4.1 Daftar Kabupaten/Kota di Provinsi Bali ... 45

4.2 Hasil Analisis Statistik Deskriptif ... 47

4.3 Hasil Uji Normalitas ... 48

4.4 Hasil Uji Autokorelasi ... 49

4.5 Hasil Uji Multikolinearitas ... 50

4.6 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 51

4.7 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda ... 52

4.8 Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 53

4.9 Hasil Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 54


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Halaman


(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Halaman

1 Tabulasi Data ... 68

2 Statistik Deskriptif Penelitian ... 70

3 Uji Normalitas ... 71

4 Uji Autokorelasi ... 72

5 Uji Multikolinearitas ... 73

6 Uji Heteroskedastisitas... 74

7 Regresi Linier Berganda ... 75

8 Uji Koefisien Determinasi ... 76

9 Uji Kelayakan Model (Uji F) ... 77


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah pada tahun 2001, pemerintah daerah memiliki wewenang dalam mengatur rumah tangganya sendiri dengan meminimalkan intervensi dari pemerintah pusat. Kebijakan otonomi daerah di Indoensia diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Otonomi daerah dipandang lebih demokratis dan mencerminkan desentralisasi yang sesungguhnya karena masing-masing daerah dapat lebih leluasa menggali potensi-potensi yang ada di daerahnya (Wertianti, 2013). Sistem otonomi daerah juga diharapkan dapat mempercepat laju pembangunan daerah.

Bali sebagai salah satu provinsi di Indonesia telah merasakan dampak dari diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, khususnya dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD tersusun dari komponen penerimaan daerah dan belanja daerah. Pengalokasian anggaran belanja ke dalam pos yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan akan memicu pertumbuhan yang positif pada kesejahteraan masyarakat (Zebua, 2014).


(16)

2

Alokasi belanja daerah seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dalam penyusunannya sering bercampur dengan kepentingan politis antara pihak eksekutif dan legislatif yang mengakibatkan kurang efektifnya belanja modal. Belakangan ini terdapat penurunan alokasi belanja modal untuk pembangunan daerah dan sebaliknya terjadi peningkatan proporsi belanja pegawai yang tidak berpengaruh langsung pada pembangunan daerah, hal tersebut menunjukkan belum efektifnya alokasi belanja daerah.

Sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004, dalam pelaksanaan otonomi daerah pemerintah daerah memiliki sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah yang terdiri atas: 1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), 2) Dana Perimbangan, 3) Pinjaman Daerah, 4) Lain-lain penerimaan yang sah. Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Provinsi Bali yang terdiri dari 8 kabupaten dan 1 kota merupakan daerah yang kaya akan budaya dan adat istiadat sehingga sektor pariwisata dapat berkembang secara pesat. Dengan daya tariknya tersebut Provinsi Bali mendapatkan Pendapatan Asli Daerah relatif besar dan kontribusinya terus mengalami peningkatan terhadap penerimaan daerah yang diharapkan sebagai sumber pembiayaan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat sehingga memacu perkembangan pembangunan manusia dan daerah di Provinsi Bali. Salah satu indikator pembangunan yaitu Indeks Pembangunan Manusia akan mengalami peningkatan yakni melalui pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan infrastruktur. PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil


(17)

3

pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Data yang berkaitan dengan PAD Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dari tahun 2009-2013 disajikan pada Tabel 1.1 berikut ini.

Tabel 1.1 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 (Dalam Miliar Rupiah)

Kabupaten/

2009 2010 2011 2012 2013 Kota

Buleleng 63,485 86,962 109,167 129,003 160,384 Jembrana 23,324 34,380 41,330 46,470 68,485 Tabanan 93,444 116,860 141,046 183,295 255,418 Badung 850,170 979,194 1.406,298 1.872,346 2.279,113 Gianyar 112,540 153,559 209,598 261,222 319,612 Bangli 16,301 16,252 22,963 40,751 56,661 Klungkung 29,566 31,331 40,735 48,561 67,401 Karangasem 47,842 62,696 129,556 144,019 168,652 Denpasar 215,156 260,482 424,959 511,326 658,974

Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi Bali, 2015

Berdasarkan Tabel 1.1 PAD tertinggi diperoleh Kabupaten Badung yaitu sebesar Rp. 2.279.110.000.000,00 pada tahun 2013 dan posisi kedua dengan PAD tertinggi diperoleh Kota Denpasar yaitu sebesar Rp. 658.974.707.435,78 pada tahun 2013, sedangkan PAD terendah diperoleh Kabupaten Bangli yaitu sebesar Rp. 16.301.547.341,74 pada tahun 2009. PAD seluruh daerah di Provinsi Bali mengalami peningkatan setiap tahunnya, seharusnya diimbangi dengan peningkatan capaian IPM karena daerah mengalokasikan belanja daerahnya untuk menaikkan sektor-sektor yang mendukung peningkatan capaian IPM.

Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dengan tujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal


(18)

4

antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan antar pemerintah pusat. Dana Perimbangan terdiri atas Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil.

Setiap daerah mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam membiayai kebutuhan daerahnya masing-masing, hal ini menyebabkan ketimpangan fiskal antar daerah satu dengan lainnya. Upaya pemerintah untuk menanggulangi ketimpangan fiskal adalah dengan cara mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah adalah Dana Alokasi Umum, yaitu dana yang berasal dari APBN yang bertujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhannya dalam rangka desentralisasi. Penggunaan DAU diharapkan untuk keperluan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Data yang berkaitan dengan DAU Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dari tahun 2009-2013 disajikan pada Tabel 1.2 berikut ini.

Tabel 1.2 Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 (Dalam Miliar Rupiah)

Kabupaten/

2009 2010 2011 2012 2013 Kota

Buleleng 506,292 512,748 568,131 687,697 796,419 Jembrana 306,361 308,567 339,501 396,762 450,919 Tabanan 424,281 429,919 463,073 574,346 663,156 Badung 280,987 131,919 157,052 353,067 372,625 Gianyar 405,118 387,493 434,899 532,883 609,293 Bangli 276,000 292,695 321,381 396,942 450,812 Klungkung 278,553 285,662 319,611 387,340 444,174 Karangasem 356,681 374,537 409,812 503,028 563,981 Denpasar 360,011 336,125 381,372 512,660 580,807


(19)

5

Berdasarkan Tabel 1.2 DAU tertinggi diperoleh Kabupaten Buleleng yaitu sebesar Rp. 796.419.224.000,00 pada tahun 2013 dan posisi kedua dengan DAU tertinggi diperoleh Kabupaten Tabanan yaitu sebesar Rp. 663.156.595.000,00 pada tahun 2013, sedangkan DAU terendah diperoleh Kabupaten Badung yaitu sebesar Rp. 131.919.568.000,00 pada tahun 2009. Pengalokasian DAU tertinggi pada Kabupaten Buleleng disebabkan karena kapasitas fiskalnya rendah sementara kebutuhan fiskalnya relatif besar. Sejalan dengan alokasi DAU Kabupaten Badung yang memperoleh DAU terendah disebabkan oleh kapasitas fiskalnya tinggi cukup untuk memenuhi kebutuhan fiskalnya.

Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Penggunaan DAK merupakan kewenangan dari pemerintah daerah karena DAK adalah bagian dari APBD, agar penggunaan DAK oleh pemerintah daerah (Pemda) sesuai dengan kepentingan nasional maka pemerintah pusat mengatur penggunaan DAK melalui berbagai regulasi. Setelah diberlakukannya sistem desentralisasi pada tahun 2001 maka cakupan sektor bidang atau kegiatan yang dibiayai DAK bertambah banyak meliputi tujuh bidang pelayananan pemerintahan, yaitu: 1) Pendidikan, 2) Kesehatan, 3) Pertanian, 4) Pekerjaan Umum (jalan, irigasi, dan air bersih), 5) Prasarana Pemerintahan, 6) Kelautan dan Perikanan, dan 7) lingkungan hidup. Pengalokasian DAK melalui Belanja Modal secara otomatis berorientasi pada kesejahteraan publik. Jika DAK dikelola dengan baik, maka dapat meningkatkan mutu pendidikan, kesehatan, dan


(20)

6

infrastruktur penunjang perekonomian masyarakat. Data yang berkaitan dengan DAK Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dari tahun 2009-2013 disajikan pada Tabel 1.3 berikut ini.

Tabel 1.3 Dana Alokasi Khusus Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 (Dalam Miliar Rupiah)

Kabupaten/

2009 2010 2011 2012 2013 Kota

Buleleng 50,231 65,768 54,719 62,589 67,312 Jembrana 51,898 34,720 35,488 40,170 45,403 Tabanan 56,388 47,642 41,516 47,366 48,921 Badung 41,648 3,616 0,218 1,838 0,560 Gianyar 59,614 43,762 41,069 35,930 45,158 Bangli 45,611 29,437 29,345 38,259 38,687 Klungkung 51,216 29,499 22,410 24,821 32,783 Karangasem 56,708 56,334 41,729 46,764 51,209 Denpasar 34,918 14,435 3,556 8,489 8,093

Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi Bali, 2015

Berdasarkan Tabel 1.3 DAK tertinggi diperoleh Kabupaten Buleleng yaitu sebesar Rp. 67.312.020.000,00 pada tahun 2013 dan posisi kedua dengan DAK tertinggi diperoleh Kabupaten Gianyar yaitu sebesar Rp. 59.614.000.000,00 pada tahun 2009, sedangkan DAK terendah diperoleh Kabupaten Badung yaitu sebesar Rp. 218.175.000,00 pada tahun 2011. DAK dialokasikan untuk daerah-daerah tertentu dalam rangka mendanai kegiatan khusus dan termasuk dalam program prioritas nasional. Kabupaten Buleleng dan Gianyar memperoleh alokasi DAK tertinggi karena Kabupaten Buleleng dan Gianyar merupakan kabupaten yang berkembang pembangunannya setelah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, sedangkan Kabupaten Badung mendapatkan alokasi DAK terendah karena


(21)

7

Kabupaten Badung sendiri merupakan kabupaten yang pembangunannya cukup pesat sehingga mendapatkan PAD yang tertinggi.

Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan utama dari DBH adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal vertikal. DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur melalui IPM. Data yang berkaitan dengan DBH Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dari tahun 2009-2013 disajikan pada Tabel 1.4 berikut ini.

Tabel 1.4 Dana Bagi Hasil Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun Anggaran 2009-2013 (Dalam Miliar Rupiah)

Kabupaten/

2009 2010 2011 2012 2013 Kota

Buleleng 35,614 44,659 37,735 43,254 38,791 Jembrana 26,594 28,610 21,668 27,391 21,511 Tabanan 32,360 36,121 29,814 34,787 22,499 Badung 135,218 186,560 123,435 160,747 55,821 Gianyar 28,590 37,010 29,202 35,584 36,365 Bangli 20,817 23,796 21,634 24,211 22,687 Klungkung 17,297 19,309 16,878 19,970 19,328 Karangasem 25,131 29,539 26,742 28,662 29,001 Denpasar 127,566 148,634 106,085 134,193 72,201

Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi Bali, 2015

Berdasarkan Tabel 1.4 DBH tertinggi diperoleh Kabupaten Badung yaitu sebesar Rp. 186.560.094.466,00 pada tahun 2010 dan posisi kedua dengan DBH tertinggi diperoleh Kota Denpasar yaitu sebesar Rp. 148.634.014.820,00 pada


(22)

8

tahun 2010, sedangkan DBH terendah diperoleh Kabupaten Klungkung yaitu sebesar Rp. 17.297.507.524,00 pada tahun 2009. Pengalokasian DBH ini sesuai dengan PAD yang diperoleh masing-masing daerah dimana PAD tertinggi yaitu Kabupaten Badung yang diikuti dengan Kota Denpasar, namun dalam pengalokasian DBH terendah yaitu Kabupaten Klungkung berbeda dengan PAD terendah yang diperoleh Kabupaten Bangli.

Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesejahteraan adalah melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat (kesehatan), pengetahuan (pendidikan), dan kehidupan yang layak (ekonomi). Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka harapan hidup waktu lahir. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak. Data yang berkaitan dengan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dari tahun 2009-2013 disajikan pada Tabel 1.5 berikut ini.


(23)

9

Tabel 1.5 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2009-2013

Kabupaten/

2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata

Kota Kab/Kota

Buleleng 70,26 70,69 71,12 71,93 72,54 71,31 Jembrana 72,45 72,69 73,18 73,62 74,29 73,25 Tabanan 74,26 74,57 75,24 75,55 76,19 75,16 Badung 74,49 72,02 75,35 75,69 76,37 74,78 Gianyar 72,43 72,73 73,43 74,49 75,02 73,62 Bangli 70,21 70,71 71,42 70,80 72,28 71,08 Klungkung 70,19 70,54 71,02 71,76 72,25 71,15 Karangasem 66,06 66,43 67,07 67,83 68,47 67,17 Denpasar 77,56 77,94 78,31 78,80 79,41 78,40

Rata-rata IPM

71,99 72,04 72,90 73,39 74,09 Prov. Bali

Sumber: BPS Provinsi Bali, 2015

Berdasarkan Tabel 1.5 terdapat penurunan IPM yang sangat drastis pada Kabupaten Badung dari tahun 2009 ke 2010 yaitu minus 2,47 dari 74,49 menjadi 72,02. IPM tertinggi diperoleh Kota Denpasar yaitu sebesar 79,41 pada tahun 2013, sedangkan IPM terendah diperoleh Kabupaten Karangasem yaitu sebesar 66,06 pada tahun 2009. IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori capaian IPM yaitu IPM tinggi dengan kisaran 70-80 yang diperoleh seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Bali kecuali Kabupaten Karangasem yang diklasifikasikan IPM sedang dengan kisaran 60-70. Rata-rata Kabupaten/Kota di Provinsi Bali mengalami peningkatan IPM setiap tahunnya dalam kurun waktu 2009-2013, namun belum ada satupun perolehan IPM Kabupaten/Kota lebih dari 80 tetapi Kota Denpasar dengan capaian IPM tertinggi sudah mendekati angka tersebut. Apabila capaian IPM yang diperoleh


(24)

10

suatu daerah lebih dari 80 maka dapat dikatakan IPM daerah tersebut dapat diklasifikasikan sangat tinggi.

Lugastoro (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh PAD dan Dana Perimbangan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Jawa Timur” menyatakan bahwa rasio Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Khusus terhadap belanja modal berpengaruh positif signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di Jawa Timur dimana semakin besar kemampuan PAD dan DAK dalam membiayai belanja modal akan dapat meningkatkan IPM, sedangkan rasio Dana Alokasi Umum terhadap belanja modal berpengaruh negatif signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia sehingga semakin besar kemampuan DAU dalam membiayai belanja modal maka akan menurunkan IPM, serta rasio Dana Bagi Hasil terhadap belanja modal mempunyai pengaruh positif terhadap IPM namun tidak signifikan yang artinya semakin besar DBH membiayai belanja modal akan meningkatkan IPM namun tidak signifikan. Sejalan dengan penelitian Irwanti (2014) yang berjudul “Analisis Pengaruh Dana Perimbangan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota Provinsi di Papua Barat Periode 2008-2012” menunjukkan DAU dan DAK berpengaruh positif terhadap IPM namun terdapat perbedaan hasil penelitian dalam DBH dimana dalam penelitian ini DBH dikatakan tidak berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia.

Ardiansyah, dkk. (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa


(25)

11

Tengah” menunjukkan bahwa PAD berpengaruh positif signifikan, sedangkan DAU berpengaruh negatif tidak signifikan dan DAK berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyowati dan Yohana (2012) dimana sama-sama meneliti pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dengan judul “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Pendapatan Asli Daerah pada Indeks Pembangunan Manusia dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Sebagai Variabel Intervening” menunjukkan PAD, DAU, DAK berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia.

Penelitian terdahulu masih menunjukan adanya perbedaan hasil penelitian tentang hubungan PAD, DAU, DAK, dan DBH pada IPM. Berdasarkan uraian tersebut peneliti merasa perlu untuk meneliti kembali pengaruh PAD, DAU, DAK, dan DBH pada IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Perbedaan penelitian ini dengan riset-riset sebelumnya adalah menggunakan seluruh komponen Dana Perimbangan yang terdiri atas DAU, DAK, dan DBH serta PAD dari tahun 2009-2013 agar lebih menggambarkan pengaruh Desentralisasi Fiskal secara keseluruhan pada IPM. Penelitian ini dilakukan pada pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, Sedangkan pada penelitian Ardiansyah, dkk., (2014), Setyowati dan Yohana (2012) sama-sama meneliti pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, selanjutnya pada penelitian Lugastro (2013) meneliti pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur serta Irwanti (2014) meneliti pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat.


(26)

12

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh PAD, DAU, DAK, dan DBH pada IPM melalui pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Belanja Modal digunakan sebagai alat untuk memprediksi IPM karena Belanja Modal dapat memberikan dampak yang berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari peningkatan IPM melalui alokasi Belanja Modal (Setyowati dan Yohana, 2012). Menurut Mardiasmo (2002) dalam era otonomi, pemerintah daerah harus semakin mendekatkan diri pada berbagai pelayanan dasar masyarakat. Sejalan dengan peningkatan pelayanan melalui alokasi Belanja Modal maka dapat meningkatkan kualitas pembangunan manusia. Manusia dalam peranannya merupakan subjek dan objek pembangunan yang berarti manusia selain sebagai pelaku dari pembangunan juga merupakan sasaran pembangunan. Sarana dan prasarana publik dapat mendorong peran manusia dalam pembangunan sehingga terciptanya sumber daya manusia yang produktif.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

1) Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali?

2) Apakah Dana Alokasi Umum berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali?

3) Apakah Dana Alokasi Khusus berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali?


(27)

13

4) Apakah Dana Bagi Hasil berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.

2) Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Umum pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.

3) Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Khusus pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.

4) Untuk mengetahui pengaruh Dana Bagi Hasil pada Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.

1.4 Kegunaan Penelitian 1) Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kemampuan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil dalam memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

2) Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan Pendapatan Daerah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(28)

14 1.5 Sistematika Penelitian

Skripsi ini terdiri dari 5 bab yang saling berhubungan antara bab yang satu dengan yang lain dan disusun secara terperinci serta sistematis. Gambaran umum mengenai isi dari masing-masing bab adalah sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, serta sistematika dalam penulisan skripsi.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

Bab ini mengkaji landasan teori, konsep-konsep yang digunakan dan hasil penelitian sebelumnya yang diperlukan dalam menjawab masalah penelitian yang akan dibahas dalam skripsi.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan mengenai desain penelitian, lokasi dan obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel dan metode penentuan sampel, metode pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan mengenai data amatan, hasil uji asumsi klasik, deskripsi statistik, hasil uji model fit dan hasil uji hipotesis.


(29)

15 BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan simpulan dari keseluruhan hasil penelitian dan disertakan pula saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.


(30)

16 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Fiscal Federalism

Teori Fiscal Federalism menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat tercapai melalui pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal diartikan sebagai pelimpahan kewenangan terkait dengan pengambilan keputusan kepada pemerintah tingkat rendah (Akai & Sakata, 2002). Bodman et al. (2009) menyatakan bahwa secara teoritis desentralisasi fiskal merupakan devolusi tanggung jawab fiskal dan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang dapat meningkatkan atau mengurangi ekonomi pertumbuhan. Fungsi utama dari desentralisasi fiskal yaitu meningkatkan efisiensi sektor publik dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Faridi, 2011).

Menurut Bahl (1999), dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah, pelimpahan sebagian wewenang pemerintah dari pusat ke daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan


(31)

17

oleh daerah. Namun, dalam pengelolaan pembiayaan tugas desentralisasi, prinsip efisiensi juga menjadi suatu ketentuan yang harus dilaksanakan.

Teori Fiscal Federalism terbagi dalam dua perspektif yakni teori tradisional atau teori generasi pertama (First Generation Theories) dan teori perspektif baru atau teori generasi kedua (Second Generation Theories). Hayek (1945) mengemukakan bahwa teori tradisional menekankan keuntungan alokatif dari desentralisasi. Dalam pandangan teori tradisional terdapat dua pendekatan yang menekankan keuntungan alokatif desentralisasi. Pertama, adalah tentang penggunaan knowledge in society, yang menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang efisien karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakat. Dalam konteks keuangan publik, pemerintah daerah mempunyai informasi yang lebih baik dibanding pemerintah pusat tentang kondisi daerah masing-masing, sehingga pemerintah daerah akan lebih baik dalam pengambilan keputusan penyediaan barang dan jasa publik dibanding penyediaan hal tersebut oleh pemerintah pusat. Keadaan ini disebut alloocative efficiency. Kedua, Tiebout (1956) memperkenalkan dimensi persaingan dalam pemerintah dan kompetisi antar daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Hal ini tidak terjadi jika pemerintah pusat sebagai penyedia barang dan jasa publik yang seragam.

Teori generasi kedua yang dikenal dengan teori perspektif baru yang dikemukakan oleh Musgrave (1959) dan Oates (1972) lebih menekankan


(32)

18

pentingnya revenue dan expenditure assignment antar level pemerintahan. Teori ini menjelaskan bagaimana desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap perilaku pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah mempunyai kewenangan membuat peraturan tentang ekonomi lokal, maka campur tangan pemerintah pusat dalam perekonomian daerah dibatasi.

Menurut Mardiasmo (2002), desentralisasi fiskal menuntut tiap-tiap daerah memiliki kemandirian fiskal yang tinggi dengan mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal dikatakan menawarkan sejumlah manfaat bagi tata kelola sektor publik, termasuk pertumbuhan, akuntabilitas, dan responsivitas para pejabat pemerintah terhadap tuntutan lokal dan kebutuhan (Amagoh & Amin, 2012).

Desentralisasi fiskal dapat dibagi menjadi dua luas kategori, yaitu: (i) otonomi fiskal pemerintah daerah, dan (ii) pentingnya fiskal pemerintah daerah. Otonomi fiskal pemerintah daerah berkaitan dengan transfer fiskal antar pemerintah. Pinjaman daerah dan tanggung jawab untuk penyediaan barang dan jasa publik, sedangkan kepentingan fiskal terhubung langsung dengan tingkat tanggung jawab pengeluaran pemerintah daerah terhadap tingkat dari seluruh pengeluaran pemerintah (Aristovnik, 2012). Desentralisasi fiskal memberikan struktur insentif yang lebih besar bagi pemerintah untuk lebih efisien dalam mengalokasikan sumber daya keuangannya, namun itu tidak selalu mengaruh pada pertumbuhan yang kuat karena meningkatknya kesenjangan antar daerah terutama di tingkat kapasitas pembangunan dan sumber daya (Tirtosuharto, 2010).


(33)

19

Menurut Penthury (2011), dalam desentralisasi fiskal pemerintah daerah harus mampu memberikan fasilitas pelayanan publik dengan baik untuk seluruh masyarakat lokal. Infrastuktur merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi, dengan menyiapkan infrastuktur yang baik maka akan meningkatkan produktivitas (Modebe et al, 2012). Pemberian pelayanan publik kepada masyarakat sangat penting mengingat masyarakat telah memberikan sumber daya kepada daerah berupa pembayaran pajak-pajak yang mampu meningktakan penerimaan daerah. Untuk mencapai salah satu tujuan utama dari desentralisasi fiskal, yakni meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat maka pemerintah daerah dituntut untuk mengelola keuangan daerahnya dengan baik dan mengalokasikan pengeluaran yang lebih besar untuk belanja langsung, khususnya belanja modal (Irwanti, 2014).

2.1.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tujuan dari PAD adalah untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi. PAD merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi yang oleh PAD terhadap APBD, semakin besar kontribusi yang dapat diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat (Ardiansyah, dkk., 2014).


(34)

20

Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 6, Pendapatan Asli Daerah bersumber dari: (1) pajak daerah, (2) retribusi daerah, (3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan (4) lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Dari keempat Sumber Pendapatan Asli Daerah tersebut, pajak merupakan sumber pendapatan terbesar bagi daerah (Olatunji, et al, 2009)

Pendapatan Asli Daerah diperoleh dengan sumber dari daerah itu sendiri, maka dalam pemanfaatannya lebih fleksibel. Semakin besar rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap pengeluaran daerah yang disebut sebagai derajat kemandirian daerah, akan berdampak terhadap pengalokasian anggaran yang lebih banyak untuk publik. Salah satu komponen PAD adalah pajak daerah dimana pajak tersebut merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaran otonomi daerah (Feltensein dan Iwata, 2005). Syahril (2011) mengatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu sumber penerimaan yang harus dipacu pertumbuhannya secara berkesinambungan. Agar hal ini dapat dicapai, tentunya komponen-komponen yang berkaitan dengan itu harus ditindak lanjuti dengan cara memberikan pelayanan yang baik dan perbaikan-perbaikan fasilitas umum bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat turut merasakan manfaat pajak yang dibayarkan.

2.1.3 Dana Perimbangan

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana


(35)

21

Perimbangan mempunyai tujuan untuk mengurangi kesenajangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah maupun antar pemerintah daerah.

Menurut Saragih (2003), Dana perimbangan yang merupakan bentuk dari perimbangan pusat dan daerah diimplementasikan melalui tiga pendekatan, yaitu: presentase (by percentage), formula (by formula), dan berdasarkan kebutuhan yang bersifat khusus atau insidental (by specific need). Pendekatan persentase adalah strategi yang paling baik untuk menciptakan keadilan bagi semua daerah, artinya daerah yang potensial dari sudut ekonomi dan SDA maka wajar jika daerah tersebut mendapatkan bagian pendapatan (share) yang relatif lebih besar dibandingkan daerah yang tidak memiliki potensi SDA (bukan daerah penghasil). Pendekatan formula bertujuan untuk mendekati pembagian yang relatif objektif sesuai dengan kondisi terakhir daerah. Sedangkan pendekatan khusus untuk menanggulangi pengeluaran daerah yang disebabkan oleh suatu keadaan tertentu.

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 159 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 10 Ayat 1, Dana Perimbangan terdiri atas:

1) Dana Alokasi Umum (DAU)

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi. DAU berperan dalam pemerataan horizontal (horizontal equalization) dengan cara menutup celah fiskal (fiscal gap) yang berada diantara kebutuhan fiskal dan potensi ekonomi yang dimiliki daerah. DAU sering disebut dengan bantuan tak bersyarat (unconditional grants) karena


(36)

22

merupakan jenis transfer antar tingkat pemerintah yang tidak terikat dengan program pengeluaran tertentu (Ardiansyah, dkk., 2014).

Selanjutnya dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan selisih antara kapasitas fiskal daerah/potensi daerah (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal Daerah (fiscal need). Sedangkan alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (Mardiasmo, 2002).

2) Dana Alokasi Khusus (DAK)

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK atau specifict grants merupakan jenis transfer yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait di dalam


(37)

23

bantuan tersebut. Bentuk transfer pemerintah pusat ini diberikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam menambah barang dan jasa publik tertentu sesuai dengan program pemerintah pusat, tanpa harus membebani pembiayaan dari pemerintah daerah (Mardiasmo, 2002).

Berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Kegiatan khusus yang dimaksud diatas adalah: (1) kegiatan dengan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan suatu daerah tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, serta saluran irigasi primer, dan (2) Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

3) Dana Bagi Hasil (DBH)

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan utama dari DBH adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal vertikal.

DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas: (1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), (2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan (3) Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21.


(38)

24

Sedangkan DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: (1) Kehutanan, (2) Pertambangan Umum, (3) Perikanan, (4) Pertambangan Minyak Bumi, (5) Pertambangan Gas Bumi, dan (6) Pertambangan Panas Bumi. Perimbangan dalam bentuk prosentase ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah nomor: 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Untuk DBH PBB, 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut: 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota dan 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu (Badrudin, 2011).

Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. Penerimaan Pertambangan Umum terdiri atas Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent); dan Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti). Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh


(39)

25

persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota (Saragih, 2003).

2.1.4 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Tujuan akhir pembangunan adalah kesejahteraan rakyat dimana manusia bukan hanya merupakan obyek pembangunan tetapi diharapkan dapat menjadi subyek, sehingga dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi kemajuan suatu wilayah yang secara makro menjadi kemajuan suatu negara. Keberhasilan pembangunan diukur dengan beberapa parameter, dan paling populer saat ini adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI) (Pratowo, 2011). Indeks Pembangunan Manusia adalah suatu indikator yang dapat menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara terukur dan representatif yang diperkenalkan melalui United Nations Development

Programe (UNDP) pada tahun 1990 oleh seorang pemenang nobel India Amartya

Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom dari Pakistan yang dibantu oleh Gustav Ranis. Artaningtyas, dkk. (2011) mengemukakan bahwa IPM lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya pendapatan per kapita untuk melihat kemajuan pembangunan yang selama ini digunakan. IPM dapat mengetahui kondisi pembangunan di daerah dengan alasan:

1) IPM merupakan indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam pembangunan kualitas manusia.

2) IPM menjelaskan tentang bagaimana manusia mempunyai kesempatan untuk mengakses hasil dari proses pembangunan, sebagai bagian dari


(40)

26

haknya seperti dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.

3) IPM digunakan sebagai salah satu ukuran kinerja daerah, khususnya dalam hal evaluasi terhadap pembangunan kualitas hidup masyarakat penduduk. 4) Meskipun menjadi indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam

pembangunan kualitas hidup manusia, IPM belum tentu mencerminkan kondisi sesungguhnya namun untuk saat ini IPM merupakan satu-satunya indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pembangunan kualitas hidup manusia.

Menurut BPS (2015) IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and helathy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living). Dalam publikasi BPS mengenai variabel dalam IPM metode baru maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Angka Harapan Hidup Saat Lahir – AAH (Life Expectancy – e0) yaitu rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang sejak lahir. 2) Rata-rata Lama Sekolah – RLS (Mean Years of Scholling – MYS) yaitu jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal.

3) Angka Harapan Lama Sekolah – HLS (Expected Years of Scholling – EYS) yaitu lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang.


(41)

27

4) Pengeluaran Per Kapita Disesuaikan yang dapat ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli (Purchasing Power Parity – PPP).

Penghitungan IPM dihitung sebagai rata-rata aritmatik dari indeks kesehatan, pendidikan, dan pengeluaran yang disajikan dalam rumus sebagai berikut:

IPM = 1/3 (Ikesehatan + Ipendidikan + Ipengeluaran) X 100 ... (1)

Dimana:

Ikesehatan = indeks angka harapan hidup

Ipendidikan = indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-rata

lama sekolah)

Ipengeluaran = indeks pengeluaran per kapita disesuaikan

Untuk melihat capaian IPM antar wilayah dapat dilihat melalui pengelompokkan IPM ke dalam beberapa kategori, yaitu:

IPM < 60 : IPM rendah

60 ≤ IPM < 70 : IPM sedang

70 ≤ IPM < 80 : IPM tinggi

IPM ≥ 80 : IPM sangat tinggi

2.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang, landasan teori, dan hasil penelitian sebelumnya, maka berikut disajikan kerangka pemikiran yang dituangkan dalam model penelitian. Hubungan beberapa variabel tersebut di atas dapat digambarkan sebagai berikut.


(42)

28

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

2.2.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah pada Indeks Pembangunan Manusia

Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah, pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi tersebut menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan (Darwanto dan Yustikasari, 2007).

PAD merupakan sumber pembiayaan yang paling penting dalam mendukung kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Artinya suatu daerah harus memiliki sumber-sumber pendapatan sendiri, karena salah satu indikator untuk melihat kadar otonomi suatu daerah terletak pada besar kecilnya kontribusi daerah tersebut dalam PAD. Besar kecilnya hasil PAD paling tidak dapat mengurangi tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat dan pada gilirannya akan membawa dampak pada peningkatan kadar otonomi daerah tersebut. PAD merupakan pendapatan daerah yang secara bebas dapat digunakan

H1

Pendapatan Asli Daerah (X1)

Dana Alokasi Umum (X2)

Dana Alokasi Khusus (X3)

Dana Bagi Hasil (X4)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Y) H3

H4


(43)

29

untuk masing-masing daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah (Wijaya, 2007). Pertumbuhan PAD seharusnya sensitif terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi yang akan berdampak secara langsung terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada daerah tersebut (BAPPENAS, 2003). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah, dkk. (2014) menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap IPM. Lugastro (2013) menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif signifikan terhadap IPM. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

H1: Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan

Manusia

2.2.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum pada Indeks Pembangunan Manusia Setiap daerah mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mendanai kegiatan-kegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antar daerah satu dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini, pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintah (UU No. 32 Tahun 2004).

Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari pemerintah pusat kepemerintah daerah, dan pemerintah daerah seharusnya mengalokasikan dana ini untuk belanja langsung, yakni belanja yang memberikan


(44)

30

pelayanan lebih baik kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana tuntutan dari otonomi daerah. Oleh karena itu, alokasi yang tinggi bagi daerah bukan indikator kekayaan, melainkan pengalokasian dana yang lebih tinggi bagi belanja langsung yang sangat berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irwanti (2014) menunjukkan bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Setyowati dan Yohana (2012) menyatakan bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

H2: Dana Alokasi Umum berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan

Manusia

2.2.3 Pengaruh Dana Alokasi Khusus pada Indeks Pembangunan Manusia Dalam hubungannya dengan perimbangan antara keuangan pusat dengan daerah, Dana Alokasi Khusus hanya mempunyai fungsi sebagai pelengkap dari jenis dana perimbangan lainnya. Namun dewasa ini peran Dana Alokasi Khusus sangat penting dalam pembangunan daerah, hal ini disebabkan karena pada umumnya komponen-komponen utama Dana Perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum digunakan untuk belanja tidak langsung. Oleh sebab itu, pemanfaatan dan penggunaan DAK menjadi faktor penting guna pembangunan daerah itu sendiri yang akan berdampak pada pembangunan nasional.

Sejak pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2001, cakupan sektor atau kegiatan yang dibiayai oleh DAK bertambah banyak. Pada


(45)

31

tahun 2007, penggunaan DAK telah meliputi tujuh bidang pelayanan pemerintahan, yakni pendidikan, kesehatan, pertanian, pekerja umum, prasana pemerintahan, kelautan dan perikanan, serta lingkungan hidup. Jadi APBN mengalokasikan DAK untuk membiayai pelayanan publik tertentu yang disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah. Selain berperan dalam menunjang penerimaan daerah DAK juga berperan cukup penting dalam meningkatkan kapasitas belanja modal pemda dengan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Jadi hal ini mampu mendorong pemerintah daerah agar dapat meningkatkan mutu kualitas pembangunan manusia melalui pengalokasian anggaran belanja modal yang secara otomatis berorientasi pada kesejahteraan masyarakat (Usman, 2008). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irwanti (2014) menunjukkan bahwa Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap IPM. Lugastro (2013) menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif signifikan terhadap IPM. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

H3: Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan

Manusia

2.2.4 Pengaruh Dana Bagi Hasil pada Indeks Pembangunan Manusia

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan angka presentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi hasil dimaksudkan untuk mengatasi ketidakseimbangan vertikal antar tingkat pemerintah (dana bagi


(46)

32

hasil & dana alokasi umum) menyamakan kemampuan fiskal pemerintah daerah mendorong belanja daerah untuk kegiatan-kegiatan prioritas pembangunan nasional, mendorong pencapaian pelayanan dan standar minimum, dan merangsang mobilisasi pendapatan. Dana Bagi Hasil merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah, khususnya belanja langsung sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai yang dapat diukur dengan IPM (Colfer, 2005 dalam Irwanti, 2014). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lugastro (2013) menyatakan bahwa Dana Bag Hasil berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

H4: Dana Bagi Hasil berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan

Manusia


(1)

27

4) Pengeluaran Per Kapita Disesuaikan yang dapat ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli (Purchasing Power Parity PPP).

Penghitungan IPM dihitung sebagai rata-rata aritmatik dari indeks kesehatan, pendidikan, dan pengeluaran yang disajikan dalam rumus sebagai berikut:

IPM = 1/3 (Ikesehatan + Ipendidikan + Ipengeluaran) X 100 ... (1) Dimana:

Ikesehatan = indeks angka harapan hidup

Ipendidikan = indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-rata lama sekolah)

Ipengeluaran = indeks pengeluaran per kapita disesuaikan

Untuk melihat capaian IPM antar wilayah dapat dilihat melalui pengelompokkan IPM ke dalam beberapa kategori, yaitu:

IPM < 60 : IPM rendah 60 ≤ IPM < 70 : IPM sedang 70 ≤ IPM < 80 : IPM tinggi

IPM ≥ 80 : IPM sangat tinggi

2.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang, landasan teori, dan hasil penelitian sebelumnya, maka berikut disajikan kerangka pemikiran yang dituangkan dalam model penelitian. Hubungan beberapa variabel tersebut di atas dapat digambarkan sebagai berikut.


(2)

28

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

2.2.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah pada Indeks Pembangunan

Manusia

Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah, pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi tersebut menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan (Darwanto dan Yustikasari, 2007).

PAD merupakan sumber pembiayaan yang paling penting dalam mendukung kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Artinya suatu daerah harus memiliki sumber-sumber pendapatan sendiri, karena salah satu indikator untuk melihat kadar otonomi suatu daerah terletak pada besar kecilnya kontribusi daerah tersebut dalam PAD. Besar kecilnya hasil PAD paling tidak dapat mengurangi tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat dan pada gilirannya akan membawa dampak pada peningkatan kadar otonomi daerah tersebut. PAD merupakan pendapatan daerah yang secara bebas dapat digunakan

H1 Pendapatan Asli Daerah (X1)

Dana Alokasi Umum (X2) Dana Alokasi Khusus (X3)

Dana Bagi Hasil (X4)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Y) H3

H4 H2


(3)

29

untuk masing-masing daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah (Wijaya, 2007). Pertumbuhan PAD seharusnya sensitif terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi yang akan berdampak secara langsung terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada daerah tersebut (BAPPENAS, 2003). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah, dkk. (2014) menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap IPM. Lugastro (2013) menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif signifikan terhadap IPM. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

H1: Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan Manusia

2.2.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum pada Indeks Pembangunan Manusia

Setiap daerah mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mendanai kegiatan-kegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antar daerah satu dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini, pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintah (UU No. 32 Tahun 2004).

Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari pemerintah pusat kepemerintah daerah, dan pemerintah daerah seharusnya mengalokasikan dana ini untuk belanja langsung, yakni belanja yang memberikan


(4)

30

pelayanan lebih baik kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana tuntutan dari otonomi daerah. Oleh karena itu, alokasi yang tinggi bagi daerah bukan indikator kekayaan, melainkan pengalokasian dana yang lebih tinggi bagi belanja langsung yang sangat berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irwanti (2014) menunjukkan bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Setyowati dan Yohana (2012) menyatakan bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

H2: Dana Alokasi Umum berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan Manusia

2.2.3 Pengaruh Dana Alokasi Khusus pada Indeks Pembangunan Manusia

Dalam hubungannya dengan perimbangan antara keuangan pusat dengan daerah, Dana Alokasi Khusus hanya mempunyai fungsi sebagai pelengkap dari jenis dana perimbangan lainnya. Namun dewasa ini peran Dana Alokasi Khusus sangat penting dalam pembangunan daerah, hal ini disebabkan karena pada umumnya komponen-komponen utama Dana Perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum digunakan untuk belanja tidak langsung. Oleh sebab itu, pemanfaatan dan penggunaan DAK menjadi faktor penting guna pembangunan daerah itu sendiri yang akan berdampak pada pembangunan nasional.

Sejak pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2001, cakupan sektor atau kegiatan yang dibiayai oleh DAK bertambah banyak. Pada


(5)

31

tahun 2007, penggunaan DAK telah meliputi tujuh bidang pelayanan pemerintahan, yakni pendidikan, kesehatan, pertanian, pekerja umum, prasana pemerintahan, kelautan dan perikanan, serta lingkungan hidup. Jadi APBN mengalokasikan DAK untuk membiayai pelayanan publik tertentu yang disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah. Selain berperan dalam menunjang penerimaan daerah DAK juga berperan cukup penting dalam meningkatkan kapasitas belanja modal pemda dengan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Jadi hal ini mampu mendorong pemerintah daerah agar dapat meningkatkan mutu kualitas pembangunan manusia melalui pengalokasian anggaran belanja modal yang secara otomatis berorientasi pada kesejahteraan masyarakat (Usman, 2008). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irwanti (2014) menunjukkan bahwa Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap IPM. Lugastro (2013) menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif signifikan terhadap IPM. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

H3: Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan Manusia

2.2.4 Pengaruh Dana Bagi Hasil pada Indeks Pembangunan Manusia

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan angka presentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi hasil dimaksudkan untuk mengatasi ketidakseimbangan vertikal antar tingkat pemerintah (dana bagi


(6)

32

hasil & dana alokasi umum) menyamakan kemampuan fiskal pemerintah daerah mendorong belanja daerah untuk kegiatan-kegiatan prioritas pembangunan nasional, mendorong pencapaian pelayanan dan standar minimum, dan merangsang mobilisasi pendapatan. Dana Bagi Hasil merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah, khususnya belanja langsung sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai yang dapat diukur dengan IPM (Colfer, 2005 dalam Irwanti, 2014). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lugastro (2013) menyatakan bahwa Dana Bag Hasil berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis penelitian yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

H4: Dana Bagi Hasil berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan Manusia


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Sumatera Barat

7 91 72

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara

5 90 92

Pengaruh Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Pada Pemerintahan Kabupaten/Kota Di Provinsi Riau

12 97 86

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Belanja Daerah di Provinsi Aceh

1 50 99

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

2 39 85

Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Pada Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara

4 50 84

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

1 40 75

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat periode Tahun 2009-2012

1 17 161

Pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Sumatera Barat

0 1 12

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara

0 0 11