Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Yang Merupakan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Kasus Mary Jane).

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
RINGKASAN ……………………………………………………………….... 1
JUDUL PENELITIAN………………………………………………………… 2
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………........... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………. 4
1. Konsep Negara Hukum………………………………………………… 4
2. Perlindungan Pelaku dan Korban Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
dan Hukum Pidana…………………………………………………….. 7
3. Perkembangan Kejahatan Narkotika ………………………….............. 9
4. Perdagangan Perempuan………………………………………………. 14
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………. 15
1. Jenis Penelitian…………………………………………………………. 15
2. Spesifikasi Penelitian…………………………………………………... 15
3. Lokasi Penelitian………………………………………………………. 16
4. Sumber Bahan Hukum………………………………………………… 16
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum………………............................... 17
6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data………………………………..... 17

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN……………………………......... 18
1. Perdagangan Orang Dalam Mata Rantai Sindikat Peredaran dan
Perdagangan

Gelap

Narkotika

Internasional…………………………………………………………… 18

2. Analisis Kasus Mary Jane…………………………………………….. 19
3. Perlindungan Hukum Bagi Mary Jane Menurut Peraturan Perundangundangan Di Indonesia………………………………………………… 25
4. Kajian Perbandingan Terhadap Beberapa Negara…………………….. 33
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………. 40
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

RINGKASAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
NARKOTIKA YANG MERUPAKAN KORBAN TINDAK PIDANA

PERDAGANGAN ORANG
(STUDI KASUS MARY JANE)
PENELITI
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, SH. MH
Made Diah Sekar Mayang Sari, SH. MH

Kasus Mary Jane cukup mencengangkan dunia. Mary Jane terselamatkan dari
hukuman mati yang seyogyanya ia jalani sebagai pelaku tindak pidana narkotika.
Pengakuan Maria Kristina tentang perdagangan orang yang menjadikan Mary
Jane sebagai korban telah merubah nasib Mary Jane untuk sementara waktu ini.
Hukuman mati terhadap Mary Jane dinyatakan ditunda sampai terbukti bahwa
Mary Jane hanyalah korban dari sindikat-sindikat kejahatan transnasional seperti
sindikat narkotika dan perdagangan orang.
Apa yang terjadi pada Mary Jane merupakan suatu fenomena dalam penegakan
hukum pidana bahwa keberadaan bukti baru bisa menunda pelaksanaan pidana
mati. Penundaan tersebut memberi konsekuensi bahwa hukum di Indonesia masih
harus menunggu kebenaran-kebenaran materiil yang akan terungkap nantinya di
Filipina. Selama masa penantian tersebut, hukum di Indonesia tidak bisa menutup
mata akan arti pentingnya seorang saksi korban kejahatan transnasional. Oleh
karena itu pemberian perlindungan hukum yang menyeluruh terhadap Mary Jane

perlu dilakukan. Selain untuk menghormati hak-hak asasi manusia juga untuk
menjaga kewibawaan Indonesia di mata dunia tentang arti pentingnya hak-hak
tersangka dan korban serta saksi untuk mendapat perlindungan hukum.
Penelitian ini mencoba untuk menganalisis perlindungan hukum yang dapat
diberikan kepada pelaku sekaligus korban kejahatan. Metode pendekatan yang
digunakan adalah metode yuridis normative atau pendekatan terhadap perundangundangan dengan tidak meninggalkan pendekatan konsep dan analisis serta
pendekatan kasus dan pendekatan perbandingan.
Penelitian bermula dari kasus Mary Jane yang akan dianalisis dengan mengkaji
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan narkotika dan perlindungan
terhadap saksi korban. Selanjutnya akan dilakukan pengolahan terhadap informasi
hukum terkait perlindungan hukum yang dapat diterima oleh pelaku yang juga
merupakan korban kejahatan. Setelah melakukan pengolahan secara yuridis
normative kemudian akan dideskripsikan kembali dalam bentuk tulisan atau
laporan ilmiah. Dengan harapan laporan ini dapat memberikan hasil atau luaran
informasi mengenai perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana sekaligus
korban tindak pidana kejahatan transnasional khususnya.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
NARKOTIKA YANG


MERUPAKAN KORBAN TINDAK PIDANA

PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS MARY JANE)
BAB I PENDAHULUAN
Permasalahan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan transnasional
perlu mendapat perhatian serius karena memiliki implikasi yang cukup luas baik
secara nasional maupun global. Kejahatan transnasional melibatkan kepentingan
dua negara atau lebih di dalamnya. Hal ini dikarenakan dalam kejahatan
transnasional terkandung unsur-unsur asing yang bergerak melampaui batas-batas
negara. Sepertinya misalnya dalam kasus Mary Jane yang terlibat dalam peredaran
dan perdagangan gelap narkotika.
Sebagaimana diketahui, Mary Jane bukanlah Warga Negara Indonesia
melainkan Warga Negara Filipina yang tertangkap lantaran membawa narkotika
dalam kopernya. Terhadap Mary Jane, peradilan Indonesia telah menetapkan
hukuman mati namun saat pelaksanaan hukuman mati tersebut Mary Jane
diselamatkan oleh kabar bahwa ia sejatinya adalah korban perdagangan orang. Hal
ini menyebabkan penundaan pelaksanaan hukuman mati terhadap Mary Jane
sampai terdapat kebenaran-kebenaran materiil baru dalam persidangan Maria
Kristina yang mengaku memperdagangkan Mary Jane ke Malaysia.
Sehubungan dengan belum pastinya keberadaan bukti-bukti baru yang akan

muncul dalam persidangan Maria Kristina terkait status Mary Jane sebagai korban
atau bukan maka sudah menjadi suatu kewajiban moral bagi bangsa Indonesia
untuk memberikan perlindungan hukum kepada Mary Jane terduga korban
perdagangan orang yang dilakukan oleh Maria Kristina. Dalam hal ini
perlindungan

hukum

dapat

diberikan

sekalipun

Mary

Jane

bukan


berkewarganegaraan Indonesia. Artinya perlindungan hukum dapat diberikan
kepada Mary Jane sebagai bentuk penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia
khususnya hak-hak tersangka sekaligus hak-hak korban. Dengan kata lain negara
Indonesia dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak Mary Jane

sebagai pelaku tindak pidana sekaligus korban kejahatan demi kepentingan
hukum.
Sehubungan dengan itu Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pengertian
perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu:
a. dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban
tindak pidana”, (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum
seseorang).
b. dapat

diartikan

sebagai

“perlindungan


untuk

memperoleh

jaminan/santunan hukum atas penderitaan/ kerugian orang yang telah
menjadi korban tindak pidana”, (jadi identik dengan “penyantunan
korban”). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik
(rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan
pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan
kesejahteraan sosial), dan sebagainya.1
Berbicara mengenai korban kejahatan dipahami bahwa korban kejahatan
merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana. Korban
kejahatan seringkali tidak mendapat perlindungan hukum sebanyak yang
diberikan

oleh

Undang-Undang

kepada


pelaku

kejahatan

sebagaimana

dikemukakan oleh Andi Hamzah bahwa dalam membahas hukum acara pidana
khususnya yang berkaitan dengan hak- hak asasi manusia, ada kecenderungan
untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak- hak tersangka tanpa
memperhatikan pula hak-hak korban.”2 Dalam hal ini Andi Hamzah mencoba
menguraikan bahwa antara hak-hak korban dan tersangka tidak ada perbedaannya.
Dengan kata lain lain harus diperlakukan sama.
Dalam kasus Mary Jane ini sudah terlihat adanya upaya negara Indonesia
untuk memberikan perlindungan hukum terhadap statusnya sebagai korban
1

Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 61
2


Andi Hamzah, 1986, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, Bandung: Binacipta, hal 33.

kejahatan. Salah satunya dengan melakukan penundaan terhadap pelaksanaan
pidana mati setidaknya hukum di Indonesia harus memberikan kesempatan
penemuan kebenaran akan status Mary Jane sebagai korban atau memang anggota
sindikat peredaran narkotika internasional. Jika benar Mary Jane adalah korban
kejahatan transnasional maka sebagai negara yang sudah turut serta meratifikasi
Konvensi tentang kejahatan transnasional maka Indonesia memiliki kewajibankewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan baik itu berupa pencegahan
terjadinya tindak pidana ataupun perlindungan hukum terhadap korban. Dalam
konteks ini kepentingan hukumlah yang harus diutamakan sehingga Mary Jane
perlu untuk mendapat perlindungan hukum.
Berdasarkan latar belakang tersebut dan dalam kaitannya dengan kasus Mary
Jane dapat dijumpai permasalahan yang hendak diteliti yaitu :
1. Adakah instrument hukum nasional yang dapat diberlakukan dalam
memberikan perlindungan hukum bagi pelaku tindak pidana yang juga
merupakan korban tindak pidana?
2. Bagaimana konkritasi perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada
pelaku tindak pidana sekaligus korban tindak pidana lainnya?


II. TINJAUAN PUSTAKA
Terkait dengan latar belakang tersebut diatas, ada beberapa teori yang dapat
dipergunakan sebagai landasan konsep ukur terkait pentingnya perlindungan
hukum bagi pelaku tindak pidana narkotika yang juga merupakan korban tindak
pidana khususnya tindak pidana transnasional seperti perdagangan orang.
1. Teori Negara Hukum
Konsep negara hukum yang menganut rule of law, menurut Dicey
mengandung 3 unsur, yaitu : (1) HAM dijamin lewat undang-undang, (2)
persamaan di muka hukum (equality before law), (3) supremasi aturanaturan hukum dan tidak ada kesewenang-wenangan tanpa aturan yang

jelas.3 Menurut Emmanuel Kant dan Julius Stahl negara hukum
mengandung 4 (empat) unsur, yaitu : (1) adanya pengakuan HAM,(2)
adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut; (3)
pemerintahan

berdasarkan

peraturan-peraturan


bestuur), (4) adanya peradilan tata usaha negara.

(wetmatigheid

van

4

Apabila diseksamai maka dipahami bahwa konsep negara hukum yang
dikemukakan oleh Dicey lebih mengarah pada konsep negara hukum
yang berkembang di negara-negara Anglo Saxon sedang konsep yang
dikembangkan Emmanuel Kant dan Stahl lebih mengarah konsep negara
hukum di negara-negara Eropa Kontinental.
Dalam konsep negara hukum, pengakuan diberikan terhadap hak-hak
negara sebagai pengatur tata kehidupan sosial. Dalam konteks ini negara
berhak mengatur restriksi dan limitasi kekuasaan, untuk menjaga agar
pengaturan tersebut tetap dalam keseimbangan, keselarasan dan
keserasian antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat dan
kepentingan pribadi. Dalam negara hukum, rambu-rambu pengaturan ini
terbentuk dalam asas-asas hukum.
Asas-asas hukum mempunyai karakteristik antara lain :
(a) Merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dituntut oleh rasa
susila dan berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan
yang bersifat langsung dan menonjol;
(b) Merupakan ungkapan-ungkapan yang sifatnya sangat umum, yang
bertumpu pada perasaan yang hidup pada setiap orang;
(c) Merupakan pikiran-pikiran yang memberikan arah/pimpinan menajdi
dasar kepada tata hukumyang ada;
(d) Dapat diketemukan dengan menunjukkan hal-hal yang sama dari
peraturan yang berjauhan satu sama lain;
(e) Merupakan sesuatu yang diyakini oleh setiap orang, apabila mereka
ikut serta bekerja mewujudkan undang-undang;
3

Dicey dalam Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 11

4

Emmanuel Kant dan Julius Stahl dalam Ibid.

(f) Dipositifkan baik dalam bentuk perundang-undangan maupun
yurisprudensi;
(g) Tidak bersifat transdental atau melampaui alam kenyataan dan dapat
ditangkap oleh panca indera;
(h) Artikulasi dan penjabaran asas-asas hukum tergantung dari kondisikondisi

sosial,

sehingga

open-ended,

multi-interpretable

dan

dipengaruhi oleh perkembangan sosial dan bukannya bersifat
absolute;
(i) Berkedudukan relative otonom, melandasi fungsi pengendalian
masyarakat dan penyelenggara ketertiban;
(j) Legitimitas

dalam

prosedur,

pembentukan,

penemuan,

dan

pelaksanaan hukum;
(k) Berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan pejabat-pejabat
resmi (penguasa), sehingga tidak merupakan keharusan untuk
mengaturnya dalam hukum positif.5
Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo mengatakan bahwa hukum adalah
untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus
memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.6 Lanjutnya
masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum, keadilan diperhatikan.7
Dalam penegakan hukum pidana ada 4 (empat) aspek dari perlindungan
masyarakat yang harus mendapat perhatian, yaitu :
a. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial
yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek
ini maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk
penanggulangan kejahatan.
5

Ibid., hal 12

6

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 2

7

Ibid.

b. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya
seseorang. Wajar pula apabila penegakan hukum pidana bertujuan
memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan
mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan
menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.
c. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan
sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun dari warga
masyarakat pada umumnya. Wajar pula apabila penegakan hukum
pidana masayrakat harus mencegah terjadinya perlakuan atau
tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum.
d. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan ata
keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai
akibat dari adanya kejahatan. Wajar pula apabila penegakan hukum
pidana harus daapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat.8
Dalam konteks negara hukum, adanya perlindungan hukum merupakan
salah satu esensi yang cukup penting sebab perlindungan hukum ini
menggambarkan adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.
2. Teori Keadilan
Penggunaan hukum sebagai sarana memberikan perlindungan haruslah
memperhatikan prinsip-prinsip universal yang berlaku dalam hukum.
Sehubungan dengan ini Paul Scholten menyebutkan ada 5 (lima) asas,
yaitu :
1. Asas kepribadian
2. Asas kemasyarakatan
3. Asas persamaan
4. Asas kewibawaan
8

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 13-14

5. Asas pemisahan antara baik dan buruk.
Dalam asas persamaan menurut Sudikno Mertokusumo dikehendaki
adanya keadilan dalam arti bahwa setiap orang adalah sama di dalam
hukum (equality before law). Adil dan keadilan merupakan prinsip yang
utama dalam mencapai kemanfaatan dan kepastian. Hukum dan keadilan
adalah tidak dapat dipisahkan. Isi dari hukum adalah keadilan itu sendiri.
Oleh karena itu eksistensi hukum tidak dapat dilepaskan dari tujuan
hukum itu sendiri.
Menurut konsepsi Bentham, keadilan bukan untuk perorangan, keadilan
diukur dari seberapa besar dampaknya pada kesejahteraan masyarakat.
Pendapat Bentham ini kemudian menjadi pijakan dari pendapat John
Rawls. Ia tidak setuju jika konsep keadilan hanya memikirkan manfaat.
Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi
dan kepentingan bersama, dalam arti konsep keadilan harus bersandar
pada hak dan kewajiban.9
Teori Rawls tentang 2 (dua) konsep “prinsip keadilan” yaitu :10
1. Di dalam masyarakat yang berkeadilan, setiap orang memiliki
kemerdekaan dan kebebasan yang sangat besar yang setara dengan
kemerdekaan atau kebebasan yang dimiliki oleh orang lain, dan
2. Ketimpangan sosial dan ekonomi adalah dapat dibenarkan sejauh jika
ketimpangan tersebut dapat memberikan keuntungan atau manfaat
yang sebesar-besarnya bagi kelompok yang paling tidak diuntungkan,
yang ada dalam masyarakat.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa paham keadilan Rawls
mengandung tiga tuntutan moral yaitu pertama, tuntutan kebebasan untuk
menentukan diri sendiri dan sekaligus juga independensi terhadap pihak
lain; kedua, tuntutan atas pentingnya distribusi yang adil atas semua
kesempatan, peranan, kedudukan, serta berbagai manfaat atau nilai-nilai

9

Andre Ata Ujan, 2001, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat John Rawls, Penerbit Kanisius,
Jakarta, hal. 39

10

Ibid., hal. 52-53

sosial dasar yang tersedia dalam masyarakat; ketiga, tuntutan distribusi
beban kewajiban secara adil.

3. Konsep Perlindungan Hukum
Pemikiran untuk memberikan perlindungan terhadap korban sebenarnya
telah ada sejak lama. Berawal dari pemahaaman bahwa persoalan keadilan
adalah persoalan HAM, maka apabila ada pihak yang lemah dalam
masyarakat mereka perlu mendapat perlindungan hukum.
Berbicara mengenai perlindungan terhadap korban kejahatan atau tindak
pidana diketahui dapat dilakukan dalam beberapa cara, seperti misalnya
memberikan kesempatan kepada korban untuk berpartisipasi dalam sistem
peradilan pidana.
Upaya untuk memberikan perlindungan terhadap korban pada dasarnya
tidak terlepas dari perkembangan dalam hukum pidana yang mulai
memperhatikan pola restorative justice.
Restorative justice merupakan suatu model baru yang berusaha
menyelesaikan persoalan antara pelaku dan korban serta masyarakat
tentunya

dengan

memperhatikan

kepentingan-kepentingan

mereka.

Restorative justice berupaya untuk memberikan perdamaian kepada para
pihak sehingga dapat menghindarkan mereka dari perilaku-perilaku yang
justru menimbulkan korban baru atau kejahatan baru.

III. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat di
dalam tujuan penyusunan penelitian ini, maka jenis penelitian yang
dipergunakan adalah penelitian normative, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yakni
dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum dan kaedah-kaedah
hukum positif yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan dan peraturan

perundang-undangan.11 Khususnya yang berkaitan dengan UU Perlindungan
Saksi dan Saksi Korban kemudian UU Perdagangan Orang, KUHP, KUHAp
dan masih banyak lagi.
2.

Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis.12 Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini peneliti
bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis
dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana khususnya tindak
pidana perdagangan orang. Sedangkan analitis berarti mengelompokkan,
menghubungkan, membandingkan data-data yang diperoleh dari teori-teori
dan norma-norma yang ada dalam perundang-undangan.
Penelitian ini tidak hanya bertujuan memberikan gambaran tentang faktafakta yang ada yang diperoleh di lapangan maupun dari studi kepustakaan.
Tetapi setelah dipelajari ketentuan hukumnya dan diteliti di lapangan,
diadakan analisa untuk memperoleh faktor pendukung dan hambatannya.
3.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Udayana. Untuk menambah wawasaan dan
pengetahuan penelitian juga akan dilaksanakan di Perpustakaan FH UNUD
dan Laboratorium FH UNUD.
4.

Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini hanya mengembangkan sumber bahan hukum yang yang
berasal dari peraturan perundang undangan (hukum positif di Indonesia),
maupun peraturan pelaksanaannya, termasuk didalamnya berbagai peraturan
daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat, hasil-hasil
penelitian, artikel-artikel ilmiah, buku (literatur), dokumen resmi, arsip.

11

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 13

12

Bambang Sunggono, 2002, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 76.

Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier13. Data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu terdiri dari:
1.

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat14, seperti:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
d. UU No. 13 Tahun 2006 jo UU No. 31 Tahun 2014 tentang
perlindungan hukum saksi dan korban.
e. UU No. 21 Tahun 2007 tentang perdagangan orang

2.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer15, seperti buku-buku, hasil penelitian,
jurnal ilmiah dan artikel-artikel.

3.

Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder16, seperti
kamus.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, akan dikumpulkan

melalui

studi kepustakaan (liabrary research) yang dilakukan dengan

tahapan-tahapan sebagai berikut17:
1.

Pada tahap orientasi awal, disamping akan dilakukan studi kepustakaan,
yang dilakukan dengan cara menginventarisir peraturan perundangundangan, buku-buku dan literatur lain sebagai sumber data sekunder
yang berkaitan dengan fokus permasalahan, juga akan dilakukan

13

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Normatif suatu Tinjauan Singkat, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.13.

14

Soejono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, hal. 52.

15

Roni Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia , hal.12.

16

Roni Hanitijo Soemitro, ibi.,, hal.12.

17

S.Nasution, 1998, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, hal.73.

observasi awal. Cara ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang
bersifat umum dan relatif menyeluruh, tentang apa yang tercakup di
dalam fokus permasalahan yang akan diteliti. Dengan demikian
diharapkan dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang
obyek permasalahan yang akan diteliti.
2.

Pada tahap orientasi terfokus, akan dilakukan penelusuran terhadap
peraturan perundang-undangan terkait kebijakan-kebijakan hukum
dalam memberikan perlindungan terhadap pelaku tindak pidana yang
juga merupakan korban tindak pidana khususnya dalam kejahatan
transnasional.

3.

Studi dokumen, yaitu meneliti berbagai dokumen serta bahan-bahan
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
6. Teknik Pengelolahan dan Analisis Data
Metode analisis data yang dipergunakan adalah analisis kualitatif yaitu
data yang diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisa
secara kualitatif agar dapat kejelasan masalah yang akan dibahas.
Analisis

data

kualitatif

adalah

suatu

cara

penelitian

yang

menghasilkan data diskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh
narasumber secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya secara
nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.18
Pengertian dianalisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan
penginterpretasian

secara

logis,

sistematis.

Logis

sistematis

menujukkan cara berpikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib
dalam penulisan laporan-laporan penelitian ilmiah.
Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara
deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya
sesuai dengan permasalahan yang diteliti.19

18

Soejono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grasindo, Jakarta,
h 12.
19

H.B. Sutopo, 1988, Metode Penelitian Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta, h. 37.

Kemudian untuk menarik kesimpulan dapat menggunakan metode
metode deduktif dan metode induktif, penarikan kesimpulan secara
deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum
menuju hal yang bersifat khusus. Secara induktif adalah menarik
kesimpulan dengan cara berangkat dari pengetahuan yang khusus
kemudian menilai suatu kejadian yang umum.
Penelitian ini menggunakan metode penarikan kesimpulan yang
induktif, yaitu menilai suatu kejadian yang bersifat khusus menuju
yang sifat umum.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan bahasan ditemukan beberapa simpulan,
antara lain :
1. Instrument

hukum

yang

dapat

dipergunakan

untuk

memberikan

perlindungan kepada pelaku yang merangkap juga sebagai korban tindak
pidana adalah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban serta PP NO. 2
TAHUN 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan
Saksi Dalam Pelanggaran Ham Berat.
2. Konkritisasi perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pelaku
yang merangkap sebagai korban kejahatan adalah perlindungan hukum
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014 dan juga
UU lainnya yang berkaitan dimana pelaku berperan sebagai korban.
Adapun bentuk perlindungannya antara lain rehabilitasi dan perlindungan
akan keamanan pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Andi Hamzah, 1986, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung

Andre Ata Ujan, 2001, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat John Rawls,
Penerbit Kanisius, Jakarta
Bambang Sunggono, 2002, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta
H.B. Sutopo, 1988, Metode Penelitian Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung
Roni Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Normatif suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja
Grasindo, Jakarta
S. Nasution, 1998, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
KUHP
KUHAP
UU NO. 21 TAHUN 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
UU NO. 31 TAHUN 2014 Tentang Perubahan Uu No. 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban

PP NO. 2 TAHUN 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan
Saksi Dalam Pelanggaran Ham Berat