EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI METODE PENEMUAN TERBIMBING DITINJAU DARI PRESTASI BELAJAR DAN KEAKTIFAN SISWA MAN YOGYAKARTA.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Matematika merupakan ilmu dasar yang memiliki peranan penting dalam proses kehidupan manusia. Sebagai ilmu dasar, matematika digunakan untuk mengembangkan cabang ilmu pengetahuan yang lain seperti fisika, kimia, biologi, teknik, dan geografi dengan menerapkan prinsip kalkulus, aljabar, geometri, maupun statistika dalam pengembangannya. Muijis dan Reynolds (2005:212) mengungkapkan "Mathemathics is also a prime vehicle for developing children's logical thinking and higher order cognitive skills." Berdasarkan pernyataan tersebut, kemampuan berpikir logis dan ketrampilan kognitif tingkat tinggi dapat dipelajari melalui matematika.
Matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari dan sebagai penentu kelulusan untuk jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA baik kelas peminatan IPA, IPS, Bahasa, atau Agama. Bahkan di perguruan tinggi, matematika menjadi salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh di berbagai program studi. Sehingga metode pembelajaran matematika perlu untuk selalu dikembangkan agar siswa dapat menguasai matematika dengan baik.
Namun dalam kenyataannya, penguasaan matematika tidak sejalan dengan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan hasil rata-rata nilai Ujian Nasional (UN) matematika tahun 2015. Berdasarkan laporan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan
(2)
2
bahwa rata-rata nilai UN matematika tahun 2015 mengalami penurunan 1,23 poin dari tahun 2014, yaitu 60,4 menjadi 59,17 (dari skala 0-100). Hal ini dapat dijadikan sebagai indikator yang menunjukkan bahwa pembelajaran matematika belum memperlihatkan hasil yang memuaskan (Kemdikbud, 2015).
Keberhasilan pembelajaran matematika dapat diukur dari prestasi belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. Keberhasilan ini dapat dilihat dari pemahaman dan penguasaan materi baik dari segi pengetahuan, sikap, dan ketrampilan matematis siswa. Semakin tinggi pemahaman dan penguasaan materi, semakin tinggi pula prestasi belajar siswa. Prestasi adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah mengikuti pembelajaran seperti yang dikemukakan oleh Nana Sudjana (2011:22) bahwa "prestasi adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya". Dari hasil laporan Mendikbud tentang hasil UN matematika tahun 2015, dapat diketahui bahwa prestasi belajar siswa masih rendah.
Rendahnya prestasi belajar siswa tersebut salah satunya disebabkan sebagian besar siswa masih menganggap bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit dipahami. Selain itu, kemungkinan masih digunakan metode ekspositori dan guru cenderung menjelaskan materi di depan kelas. Sedangkan siswa mendengarkan dan memperhatikan penjelasan guru tanpa dilibatkan dalam proses menemukan konsep/materi yang diajarkan secara
(3)
3
mandiri. Metode ekspositori seperti ini dapat menjadikan siswa cepat bosan dan tidak tertarik dengan pelajaran matematika (Gulo, 2004:140-141).
Keberhasilan pembelajaran matematika juga dapat dilihat dari ranah afektif seperti keaktifan siswa. Popham (1995:179) menyatakan bahwa ranah afektif dapat menentukan keberhasilan belajar seseorang. Keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran merupakan keterlibatan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran baik secara intelektual maupun emotional. Siswa yang aktif akan menunjukkan proses pembelajaran yang aktif. Menurut Syaiful Sagala (2010:59), proses belajar mengajar yang aktif adalah proses belajar mengajar dimana akan terciptanya suasana yang penuh dengan aktivitas, sehingga siswa akan aktif untuk bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan pendapat atau gagasannya. Tugas guru adalah menciptakan suasana pembelajaran yang aktif sehingga siswa mampu memahami dan menguasai materi pelajaran dengan baik.
Agar keberhasilan pembelajaran dapat dicapai, matematika perlu diajarkan melalui proses pembelajaran yang baik. Pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk membelajarkan siswanya agar mencapai tujuan yang diharapkan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan pembelajaran secara efektif dan efisien dengan hasil yang optimal. Guru sebagai fasilitator berkewajiban menyediakan lingkungan belajar yang aktif dan kreatif bagi siswa di kelas. Salah satu kegiatan yang harus dilakukan guru adalah melakukan pemilihan dan penentuan metode pembelajaran yang akan digunakan.
(4)
4
Penentuan metode pembelajaran perlu disesuaikan dengan kurikulum, beban belajar, materi ajar, fasilitas siswa, potensi, karakteristik, dan kondisi siswa, kemampuan siswa baik secara individu maupun kelompok. Penentuan metode yang tepat dapat berpengaruh pada kualitas proses belajar mengajar serta prestasi belajar siswa. Apabila guru menerapkan metode yang tepat maka dapat mendorong rasa senang terhadap belajar matematika, menumbuhkan dan meningkatkan motivasi dan keaktifan dalam mempelajari matematika, dan memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahami pelajaran matematika yang dianggap sulit. Pembelajaran yang diharapkan bukan hanya berpusat pada guru saja, namun juga melibatkan siswa secara langsung.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti di MAN Yogyakarta 2, beban belajar siswa MAN berbeda dengan SMA karena materi pembelajaran siswa MAN lebih banyak dibandingkan siswa SMA, yaitu adanya pelajaran agama yang lebih rinci. Selain pelajaran umum, siswa juga dituntut untuk memahami pelajaran agama. Kondisi tersebut dapat menjadikan konsep atau materi yang diajarkan oleh guru tidak bertahan lama dalam ingatan siswa jika guru menerapkan metode yang salah. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode pembelajaran yang dapat mempersiapkan siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran agar dapat mengingat konsep lebih lama. Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah metode penemuan terbimbing.
(5)
5
Metode penemuan terbimbing adalah salah satu metode pembelajaran yang berpusat pada siswa karena metode ini dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika sendiri dengan kemampuan yang dimiliki (Moh. Amin, 1988:126). Melalui metode penemuan terbimbing, siswa dapat terlibat aktif dalam menemukan suatu konsep. Siswa juga diharapkan mampu memahami konsep dengan lebih baik dan mengingat lebih lama sehingga mampu mengaplikasikan ke dalam konteks yang lain. Penggunaan metode penemuan terbimbing dalam proses pembelajaran matematika di sekolah dapat menjadikan siswa aktif dalam proses pembelajaran sebab siswa ikut berpikir dan menggunakan kemampuannya dalam menemukan hasil akhir. Selain itu, siswa akan mengingat konsep materi pembelajaran lebih lama karena siswa mengalami dan mempelajari sendiri proses menemukan sehingga benar-benar memahami apa yang ia pelajari. Oleh sebab itu, keaktifan siswa dalam mempelajari materi sangat mendukung pemahaman dan penguatan prestasi belajar siswa.
Namun demikian, metode penemuan terbimbing ini belum pernah diujicobakan di MAN Yogyakarta 2. MAN Yogyakarta 2 adalah salah satu sekolah di Yogyakarta yang prestasi belajar dan keaktifan siswanya masih rendah, terutama dalam mata pelajaran matematika. Hal itu sesuai dengan data hasil UN tahun 2015 bahwa rata-rata skor UN matematika MAN Yogyakarta 2 tahun 2015 tergolong masih rendah yaitu 42,67. Oleh karena itu, peneliti ingin menguji efektivitas pembelajaran matematika melalui
(6)
6
metode penemuan terbimbing ditinjau dari prestasi belajar dan keaktifan di MAN Yogyakarta 2.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka teridentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Kurangnya penguasaan mata pelajaran matematika di Indonesia.
2. Pembelajaran matematika masih menggunakan metode ekspositori yang berpusat pada guru.
3. Metode pembelajaran matematika belum bervariasi.
4. Prestasi belajar dalam mata pelajaran matematika masih rendah.
5. Keaktifan siswa perlu ditingkatkan dengan metode pembelajaran yang berpusat pada siswa.
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian lebih terarah, maka penelitian ini memerlukan pembatasan masalah. Penelitian ini difokuskan pada efektivitas pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing ditinjau dari prestasi dan keaktifan siswa MAN Yogyakarta 2 pada materi Barisan dan Deret karena menyesuaikan dengan jadwal pelaksanaan penelitian.
(7)
7 D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing efektif ditinjau dari prestasi belajar siswa MAN Yogyakarta 2?
2. Apakah pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing efektif ditinjau dari keaktifan siswa MAN Yogyakarta 2?
3. Apakah pembelajaran matematika melalui metode ekspositori efektif ditinjau dari prestasi belajar siswa MAN Yogyakarta 2?
4. Apakah pembelajaran matematika melalui metode ekspositori efektif ditinjau dari keaktifan siswa MAN Yogyakarta 2?
5. Apakah pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing lebih efektif jika dibandingkan dengan metode ekspositori ditinjau dari prestasi belajar siswa MAN Yogyakarta 2?
6. Apakah pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing lebih efektif jika dibandingkan dengan metode ekspositori ditinjau dari keaktifan siswa MAN Yogyakarta 2?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Keefektifan pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing ditinjau dari prestasi belajar siswa MAN Yogyakarta 2.
(8)
8
2. Keefektifan pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing ditinjau dari keaktifan siswa MAN Yogyakarta 2.
3. Keefektifan pembelajaran matematika melalui metode ekspositori ditinjau dari prestasi belajar siswa MAN Yogyakarta 2.
4. Keefektifan pembelajaran matematika melalui metode ekspositori ditinjau dari keaktifan siswa MAN Yogyakarta 2.
5. Keefektifan pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing atau metode ekspositiri ditinjau dari prestasi belajar siswa MAN Yogyakarta 2.
6. Keefektifan pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing atau metode ekspositiri ditinjau dari keaktifan siswa MAN Yogyakarta 2.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Siswa
a. Siswa terbiasa belajar matematika secara aktif dengan metode penemuan terbimbing
b. Siswa dapat meningkatkan prestasi belajarnya dengan mengoptimalkan pemahaman materi dalam pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing.
2. Guru dan calon guru
(9)
9
b. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan metode yang tepat untuk meningkatkan prestasi belajar dan keaktifan siswa.
3. Peneliti
a. Memberikan pengalaman langsung kepada peneliti dan menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pembelajaran matematika dengan menggunakan metode penemuan terbimbing.
b. Sarana untuk menerapkan ilmu yang diterima di bangku kuliah. 4. Akademisi
(10)
10 BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori
1. Pembelajaran Matematika a. Pembelajaran
Pembelajaran berasal dari kata belajar, yang artinya berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Menurut Sugihartono (2007:84), belajar merupakan proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman sehingga menghasilkan perubahan tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relatif permanen atau menetap melalui interaksi individu dan lingkungan. Ia juga menyatakan bahwa pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh guru untuk memfasilitasi dan mengorganisasi siswa dalam memperoleh pengetahuan serta menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien.
Sri Rukmini, dkk. (2008:59) mengidentifikasi ciri-ciri belajar sebagai berikut:
1) Dalam belajar, ada perubahan tingkah laku, baik perubahan tingkah laku yang diamati dan perubahan tingkah laku yang tidak dapat diamati secara langsung.
2) Dalam belajar, perubahan tingkah laku mengarah ke aspek kognitif, afektif, psikomotor, dan campuran.
(11)
11
3) Dalam belajar, perubahan tingkah laku dapat melalui pengalaman dan latihan.
4) Dalam belajar, perubahan tingkah laku menjadi sesuatu yang lebih menetap.
5) Belajar merupakan suatu proses usaha, artinya belajar berlangsung dalam jangka waktu tertentu.
6) Belajar terjadi karena adanya interaksi dengan lingkungan. Sardiman (2011:26-27) mengungkapkan bahwa tujuan belajar adalah untuk mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep dan keterampilan, serta pembentukan sikap. Hal ini sesuai dengan tingkat keberhasilan pembelajaran yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (ketrampilan).
Pada hakikatnya, pembelajaran tidak hanya dilakukan oleh guru, namun siswa juga perlu dilibatkan dalam mengontruksikan pengetahuan, artinya guru bukan sekedar mengajar melainkan membelajarkan siswa. Seperti yang dijelaskan oleh Trianto (2010:17) bahwa pembelajaran merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh/dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya dengan maksud untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Erman Suherman, dkk. (2003:8) juga mengemukakan bahwa pembelajaran adalah proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi siswa yang bersangkutan.
(12)
12
Agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik, guru perlu membuat rancangan kegiatan pembelajaran secara rinci. Gagne (Benny A., 2009:9) mengatakan bahwa pembelajaran berupa serangkaian kegiatan yang disengaja diciptakan dengan tujuan untuk memudahkan terjadinya proses belajar, meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Adapun perencanaan pembelajaran dibuat dalam bentuk RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) sebagaimana yang telah ditetapkan Kemendikbud (2013) yaitu mencakup: (1) data sekolah, mata pelajaran, dan kelas/semester; (2) materi pokok; (3) alokasi waktu; (4) tujuan pembelajaran; (5) materi pembelajaran; (6) metode pembelajaran; (7) media, alat, dan sumber belajar; (8) langkah-langkah kegiatan pembelajaran; (9) penilaian.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang sengaja diciptakan oleh guru (meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) untuk mengontruksi pengetahuan dan pembentukan sikap siswa melalui suatu kegiatan belajar yang efektif dan efisien.
b. Matematika
Istilah matematika bermula dari bahasa Yunani yaitu mathematike, yang berarti “relating to learning”. Pernyataan ini mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu. Perkataan mathematike berhubungan sangat erat dengan sebuah kata
(13)
13
lainnya yang serupa yaitu mathanein yang mengandung arti belajar/berpikir (Herman Hudoyo, 2003:63).
James dan James (Erman Suherman, dkk., 2003:16) berpendapat bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Akanmu dan Fujimidagba (2013:83) mengungkapkan bahwa matematika dianggap sebagai pilar dari hampir semua cabang ilmu di dunia akademik. Matematika penting untuk diberikan dalam pendidikan tinggi dan bermanfaat untuk berbagai jenis pekerjaan. Matematika bukan hanya bermanfaat tetapi juga penting. Oleh karena itu, matematika tidak hanya bahasa dan subjek dirinya sendiri, namun juga penting untuk melatih berpikir logis dan teliti.
Matematika memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuai dengan pendapat Erman Suherman, dkk. (2003:8) bahwa matematika merupakan suatu ilmu yang mendasari perkembangan teknologi modern yang mempunyai peran yang penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Selain itu, matematika juga memiliki karakteristik nilai-nilai yang luhur yang diperlukan untuk membentuk sikap seseorang. Ruseffendi (1989:16) mengemukakan bahwa matematika adalah bidang studi yang membantu
(14)
14
pembentukan sikap anak dan memiliki sikap-sikap kreatif, kritis, ilmiah, jujur, hemat, disiplin, dan tekun. Melalui matematika, siswa diharapkan mampu mempunyai nilai-nilai atau karakteristik matematika sehingga siswa dapat menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata.
Matematika juga dikenal dengan konsep-konsep abstrak. Herman Hudoyo (1990:4) mengungkapkan bahwa matematika berkenaan dengan ide-ide/konsep abstrak yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif. Artinya matematika merupakan ilmu pengetahuan yang tersusun dari ide-ide secara bertingkat dan sistematis serta kebenaran matematika dapat dikembangkan secara logis dengan pembuktian deduktif. Penalaran deduktif dimulai dari premis-premis umum yang memunculkan sesuatu untuk dapat ditarik kesimpulan secara khusus. Penalaran ini melibatkan penarikan kesimpulan dari apa yang diberikan. Sebagai contoh, perkalian dua bilangan ganjil selalu menghasilkan bilangan ganjil (premis umum) serta 3 dan 7 adalah bilangan ganjil (premis kedua). Maka diperoleh kesimpulan bahwa hasil kali 3 dan 7 adalah ganjil.
Istiani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012:161) mengatakan bahwa salah satu tujuan mata pelajaran matematika adalah agar siswa memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri
(15)
15
dalam pemecahan masalah. Oleh karena itu, pembelajaran matematika dianggap begitu penting dalam rangka pembentukan sikap dan pengembangan ilmu pengetahuan yang aplikasinya sering diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan ide-ide/konsep yang abstrak, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan penalaran dan pemikiran yang logis agar dapat menemukan pembuktian terhadap kebenaran suatu konsep dan menanamkan nilai-nilai luhur yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Pembelajaran Matematika
Berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang sengaja diciptakan oleh guru (meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) untuk mengontruksi pengetahuan dan pembentukan sikap siswa melalui suatu kegiatan belajar yang efektif dan efisien. Sedangkan matematika merupakan matematika merupakan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan ide-ide/konsep yang abstrak, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan penalaran dan pemikiran yang logis agar dapat menemukan pembuktian terhadap kebenaran suatu konsep dan menanamkan nilai-nilai luhur yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
(16)
16
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir siswa agar memiliki kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan matematika yang bertujuan mempersiapkan siswa menghadapi perubahan di sekelilingnya yang selalu berkembang.
2. Efektivitas Pembelajaran
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) efektivitas didefinisikan sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna, atau menunjang tujuan.
Secara ideal pembelajaran yang diharapkan adalah pembelajaran yang efektif. Nana Sudjana (2004:34-35) mengungkapkan bahwa suatu pembelajaran yang efektif dapat ditinjau dari proses dan hasilnya. Prosesnya sesuai dengan yang direncanakan dan hasilnya sesuai kriteria yang ditentukan. Menurut Slavin (2006:277), keefektifan pembelajaran ditentukan oleh empat kriteria, yaitu: 1) kualitas pembelajaran, 2) kesesuaian tingkat pembelajaran, 3) intensif, 4) waktu.
Sedangkan Peterson (Slamet Soewardi, 2005:44) menyatakan keefektifan pembelajaran lebih ditekankan pada hasil, yaitu hasil belajar yang dapat dicapai, jangka waktu pencapaiannya, dan jangka waktu bertahannya sesuatu. Sementara Arends (2012:90) berpendapat bahwa
(17)
17
pembelajaran yang efektif dapat dicapai apabila dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang baik untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Salah satu yang berperan dalam keefektifan pembelajaran adalah guru. Menurut Hasibuan dan Moedjiono (2012:43) guru yang efektif adalah mereka yang mampu membawa siswanya dengan berhasil mencapai tujuan pembelajaran. Tolok ukur mengenai efektivitas mengajar adalah tercapainya tujuan dan hasil belajar yang tinggi. Tercapainya tujuan dan hasil belajar tersebut terlihat dari prestasi belajar siswa. Ketercapaiannya tujuan dan hasil belajar siswa dapat dilihat dari hasil tes prestasi yang dilaksanakan dibandingkan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Menurut Slameto (2003:92), agar dapat melaksanakan pembelajaran yang efektif diperlukan syarat-syarat antara lain:
1) Guru harus banyak menggunakan metode dalam mengajar. 2) Guru mempertimbangkan perbedaan individual.
3) Guru selalu membuat perencanaan dalam mengajar. 4) Guru harus menciptakan suasana yang demokratis.
5) Guru perlu memberikan masalah-masalah yang merangsang untuk berpikir.
6) Semua pelajaran yang diberikan perlu diintegrasikan sehingga memiliki pengetahuan yang terintegritas.
7) Pelajaran yang diberikan di sekolah perlu dihubungkan dengan kehidupan nyata di masyarakat.
(18)
18
8) Dalam interaksi belajar mengajar, guru harus banyak memberikan kebebasan pada siswa, untuk dapat menyelidiki sendiri, mengamati sendiri, belajar sendiri, dan pemecahan masalah sendiri.
Dari penjelasan tersebut, keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari ketuntasan belajar siswa yaitu pencapaian standar penguasaan minimal yang diterapkan pada setiap sekolah. Pembelajaran yang prosesnya sesuai dengan yang direncanakan dan hasilnya sesuai yang diharapkan.
Ukuran keefektifan dapat diketahui melalui skor tes. Kemp (1994:298) mengungkapkan “evaluate effectiveness of an instructional program must recognize that there may be intangible outcome (often expressed as affective objective)”. Maksudnya adalah dalam evaluasi keefektifan program pembelajaran harus mengenali bahwa terdapat kemungkinan hasil yang tidak berwujud (sering diekspresikan sebagai tujuan afektif). Hal ini menunjukkan bahwa keefektifan pembelajaran tidak hanya dapat diukur melalui aspek kognitif saja melainkan melalui aspek afektif, salah satunya adalah keaktifan.
Efektivitas pembelajaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat keberhasilan pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing ditinjau dari prestasi belajar dan keaktifan siswa berdasarkan Kriteria Ketuntasan Minimal yang ditetapkan.
(19)
19 3. Metode Penemuan Terbimbing
Menurut Jerome Bruner (Cooney, 1975:138), penemuan adalah suatu proses. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah, praktik membentuk, dan menguji hipotesis. Proses penemuan tersebut berupa penyajian masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah. Sedangkan Ali Gunay Balim (2009:2) berpendapat bahwa “discovery learning is a method that encourages students to arrive at a conclusion based upon their own activities and observations”. Artinya pembelajaran penemuan adalah suatu metode yang mendorong siswa untuk sampai pada kesimpulan berdasarkan aktivitas dan observasi mereka.
Menurut Herman Hudojo (2003:123), metode penemuan merupakan suatu cara penyampaian suatu cara penyampaian topik-topik matematika, sedemikian hingga proses belajar memungkinkan siswa menemukan sendiri pola-pola atau struktur-struktur matematika melalui serentetan pengalaman-pengalaman belajar lampau. Keterangan-keterangan yang harus dipelajari itu tidak disajikan di dalam bentuk akhir, siswa diwajibkan melakukan aktivitas mental sebelum keterangan yang dipelajari itu dipahami.
Saat penyampaian materi pengajaran, siswa tidak diberitahukan secara langsung mengenai isi materi yang diajarkan sehingga sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Menurut Johnson (Wasty Soemanto,
(20)
20
2003:228) pembelajaran penemuan adalah usaha untuk memperoleh pengertian dan pemahaman yang lebih dalam. Thorset (2002) mengungkapkan “discovery learning is a learning situation in which the principal content of what is to be learned is not given but must be independently discovered by the student”. Metode penemuan adalah situasi pembelajaran yang pada prinsipnya siswa tidak diberi pengetahuan akan tetapi siswa harus menemukan sendiri hal yang baru. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metode penemuan sengaja dirancang untuk meningkatkan keaktifan siswa yang lebih besar, berorientasi pada proses, menemukan sendiri informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan instruksional. Metode penemuan juga berorientasi pada proses dan hasil secara bersama-sama.
Kegiatan pembelajaran penemuan menjadikan siswa aktif dalam proses pembelajaran, guru hanya berperan sebagai fasilitator untuk mengatur jalannya pembelajaran. Proses pembelajaran yang demikian membawa dampak positif pada pengembangan kreativitas berpikir siswa. Menurut Joyce dan Weil (1992:199) keuntungan metode penemuan adalah membantu siswa mengembangkan disiplin intelektual dan kebutuhan keterampilan untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan mencari jawaban dari keingintahuannya.
(21)
21
Sedangkan Biknell-Holmes dan Hoffman (Castronova, 2002:2) menjelaskan tiga ciri utama pembelajaran dengan metode penemuan, yaitu:
1) Mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan. Melalui eksplorasi dan pemecahan masalah, siswa dapat berperan lebih aktif dalam menciptakan, menggabungkan dan melakukan generalisasi pengetahuan.
2) Berpusat pada siswa. Siswa didorong belajar dengan langkah mereka sendiri.
3) Menggunakan pengetahuan yang sudah ada sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan baru.
Ada beberapa metode penemuan yang diterapkan dalam pembelajaran. Musthafa (2004:206) membagi metode penemuan menjadi tiga jenis, yaitu penemuan murni (pure discovery), penemuan terbimbing (guided discovery), dan open-ended discovery. Sedangkan Trowbidge dan Bybee (1990:212) membagi metode penemuan menjadi dua jenis yaitu: (1) penemuan terbimbing (guided inquiry); (2) penemuan bebas (free inquiry). Dalam penemuan terbimbing, guru menyediakan data dan siswa diberi pertanyaan atau masalah untuk membantu mereka menemukan jawaban, kesimpulan generalisasi dan solusi. Pada penemuan bebas, murid merencanakan solusi, mengumpulkan data dan selebihnya sama dengan penemuan terbimbing.
(22)
22
Dalam metode penemuan (pure discovery), guru tidak memberikan bimbingan secara eksplisit dalam kegiatan penemuan. Metode ini cocok untuk siswa yang sudah menguasai konsep dasar materi yang dipelajari. Namun untuk siswa yang konsep dasarnya masih rendah (seperti di MAN Yogyakarta 2), metode penemuan perlu dimodifikasi dengan bimbingan. Metode seperti ini kemudian disebut metode penemuan terbimbing.
Metode penemuan yang dipandu oleh guru atau penemuan terbimbing ini pertama kali dikenalkan oleh Plato dalam suatu dialog antara Socrates dan seorang anak, maka sering disebut juga dengan metode Socratic. Metode ini melibatkan suatu dialog atau interaksi antara siswa dan guru dalam mencari kesimpulan yang diinginkan melalui suatu urutan pertanyaan yang diatur oleh guru (Markaban, 2008:10).
Metode penemuan terbimbing adalah suatu metode dimana guru sebagai fasilitator dan pengarah sedangkan siswa aktif melakukan kegiatan sesuai prosedur atau langkah kerja untuk mengembangkan rasa ingin tahunya. Trowbridge (2004:191) menyatakan bahwa “In a guided inquiry approach the instructor provides the problem and encourages students to work out the procedures to resolve it, in a guided inquiry plan, students are encouraged to resolve problems either on their own or in groups.” Dalam pendekatan penemuan terbimbing guru memberikan masalah dan mendorong siswa untuk bekerja dari prosedur untuk menyelesaikannya. Dalam penemuan terbimbing, siswa juga didorong untuk menyelesaikan masalah baik sendiri maupun kelompok.
(23)
23
Metode penemuan terbimbing dirancang agar siswa menemukan sendiri suatu konsep yang diajarkan. Guru berperan untuk memberikan bimbingan dan petunjuk kepada siswa untuk mengontruksikan pengetahuan dan menemukan konsep sehingga siswa lebih paham mengenai konsep yang diberikan. Pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing juga dapat mengoptimalkan prestasi belajar, keaktifan, motivasi, dan pemahaman siswa. Sesuai dengan pernyataan Borasi, dkk. (Regine Philippeaux, 2009:33) bahwa “Inquiry-based mathematics is believed to help students learn mathematics with greater understanding. It has also been shown to increase student academic achievement on such assessments as standardized tests”. Matematika berbasis penemuan dipercaya dapat membantu siswa untuk mempelajari matematika dengan pengetahuan yang lebih dalam. Hal itu juga terbukti untuk meningkatkan prestasi belajar seperti standar penilaian tes.
Peranan guru dalam pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing adalah menyatakan persoalan, kemudian membimbing siswa untuk merumuskan penyelesaian dari persoalan itu dengan perintah atau dengan pertanyaan-pertanyaan. Siswa mengikuti perintah-perintah atau dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai petunjuk menemukan sendiri penyelesaiannya (Krismanto, 2003:4).
Berdasarkan pendapat di atas, dalam metode penemuan terbimbing guru menyediakan masalah dan mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut secara individu maupun berkelompok. Guru bertindak
(24)
24
sebagai penunjuk jalan, membantu siswa agar mempergunakan konsep, ide-ide dan keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Bimbingan ini merupakan pengarahan yang dapat berbentuk pertanyaan-pertanyaan baik secara lisan ataupun tulisan yang dituangkan dalam Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Lembar kegiatan ini biasanya digunakan dalam memberikan bimbingan kepada siswa untuk menemukan konsep atau prinsip (rumus, sifat). Selain itu, pengajuan pertanyaan yang tepat oleh guru akan merangsang kreativitas dan siswa menemukan pengetahuan yang baru. Pengetahuan yang baru akan melekat lebih lama jika siswa dilibatkan secara langsung dalam proses pemahaman dan mengonstruksi konsep atau prinsip pengetahuan tersebut.
Metode penemuan ini juga menekankan adanya interaksi dalam kegiatan belajar-mangajar. Interaksi tersebut dapat terjadi antara siswa dengan siswa, siswa dengan bahan ajar, siswa dengan guru (S – G), siswa dengan bahan ajar dan siswa (S – B – S), dan siswa dengan bahan ajar dan guru (S – B – G). Interaksi juga dapat dilakukan antara siswa dalam kelompok-kelompok kecil maupun kelompok besar (kelas). Dalam melakukan aktivitas atau penemuan dalam kelompok-kelompok kecil, siswa berinteraksi dengan yang lain (Markaban, 2008:11).
(25)
25
Markaban (2008:17-18) juga menyatakan agar pelaksanaan penemuan terbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang perlu ditempuh oleh guru adalah sebagai berikut:
1) Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya, perumusannya harus jelas, menghindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah.
2) Dari data yang diberikan oleh guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja.
3) Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan , atau LKS. 4) Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang
dilakukannya.
5) Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai. 6) Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur
tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya.
7) Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.
(26)
26
Menurut Erman Suherman, dkk. (2003:213), langkah-langkah pembelajaran penemuan terbimbing sebagai berikut:
1) Identifikasi kebutuhan siswa.
2) Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep, dan generalisasi pengetahuan.
3) Seleksi bahan, problema/tugas-tugas.
4) Membantu dan memperjelas tugas atau permasalahan yang dihadapi siswa serta peranan masing-masing siswa.
5) Mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan.
6) Mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang dipecahkan. 7) Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan. 8) Membantu siswa dengan informasi/data jika diperlukan oleh siswa. 9) Memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang
mengarahkan dan mengidentifikasi masalah.
10) Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa.
11) Membantu siswa untuk menemukan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.
Adapun menurut Joyce Bruce dan Marsha Well (2000:179-181), langkah-langkah metode pembelajaran penemuan adalah:
1) Guru menyajikan situasi problematik dan menjelaskan prosedur penemuan kepada siswa.
2) Pengumpulan data dan verifikasi mengenai suatu informasi yang dilihat dan dialami.
(27)
27
3) Pengumpulan data dan eksperimen, para siswa diperkenalkan dengan elemen baru dalam situasi yang berbeda.
4) Memformulasikan penjelasan. 5) Menganalisis proses penemuan.
Erman Suherman, dkk. (2003:214) menjelaskan beberapa kelebihan metode penemuan terbimbing adalah sebagai berikut:
1) Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir.
2) Siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab ia menemukannya sendiri. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat. 3) Menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini
mendorong ingin melakukan penemuan lagi hingga minat belajarnya meningkat.
4) Metode ini dapat melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri. 5) Dapat menanamkan rasa ingin tahu.
6) Menumbuhkan kerja sama dan interaksi antar siswa.
Sementara beberapa kelemahan metode penemuan terbimbing adalah sebagai berikut:
1) Metode ini banyak menyita waktu.
2) Tidak setiap guru mempunyai kemampuan mengajar menggunakan metode penemuan terbimbing.
3) Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan, apabila bimbingan guru tidak sesuai dengan kesiapan pengetahuan siswa.
(28)
28
4) Metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran matematika hanya cocok untuk pokok bahasan tertentu.
5) Kelas dengan banyak siswa, akan merepotkan guru dalam melakukan bimbingan.
Dalam menerapkan metode pembelajaran penemuan terbimbing tersebut, guru hendaknya mampu merumuskan lagkah-langkah pembelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kompetensi dasar yang dimiliki siswa. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merumuskan sintaks pembelajaran dengan implementasi metode penemuan terbimbing dengan tahap sebagai berikut:
1) Penyajian masalah. 2) Identifikasi masalah. 3) Pengumpulan data. 4) Pengolahan data. 5) Pembuktian.
6) Penarikan kesimpulan (generalisasi).
4. Metode Ekspositori
Menurut Erman Suherman, dkk. (2003:203), metode ekspositori sama seperti metode ceramah. Guru berbicara di awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal. Sedangkan siswa mendengar dan mencatat, serta boleh bertanya jika tidak mengerti. Pembelajaran dengan metode ekspositori ini menjadikan siswa cenderung pasif, tetapi untuk beberapa topik pembelajaran ini efektif digunakan dimana siswa
(29)
29
mengerjakan soal latihan sendiri, berdiskusi dengan teman, dan menuliskan jawaban di papan tulis.
Menurut Wina Sanjaya ( 2008:179), metode ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru . Hal itu disebabkan guru memegang peran yang sangat dominan. Melalui metode ini guru menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan itu dapat dikuasai siswa dengan baik.
Dimyati dan Mudjiono (2002:172) mengatakan metode ekspositori adalah memindahkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai kepada siswa. Peranan guru yang penting adalah: 1) menyusun program pembelajaran, 2) memberi informasi yang benar, 3) pemberi fasilitas yang baik, 4) pembimbing siswa dalam perolehan informasi yang benar, dan 5) penilai perolehan informasi. Sedangkan peranan siswa adalah: 1) pencari informasi yang benar, 2) pemakai media dan sumber yang benar, dan 3) menyelesaikan tugas dengan penilaian guru.
Adapun prosedur-prosedur metode ekpositori menurut Wina Sanjaya (2008:183-188) sebagai berikut.
1. Persiapan
Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran. Tahap ini berupa penyajian contoh dan pengajuan pertanyaan dasar sebelum penjelasan materi
(30)
30
pembelajaran. Dalam metode ekspositori, keberhasilan pelaksanaan pembelajaran sangat bergantung pada langkah persiapan.
2. Penyajian
Tahap penyajian adalah langkah penyampaian atau penjelasan materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. Hal yang harus diperhatikan oleh guru adalah bagaimana materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan langkah ini, diantaranya: penggunaan bahasa, intonasi suara, menjaga kontak mata dengan siswa, serta menggunakan kemampuan guru untuk menjaga agar suasana kelas tetap hidup dan menyenangkan.
3. Korelasi
Tahap korelasi adalah langkah yang dilakukan untuk memberikan makna terhadap materi pelajaran, baik makna untuk memperbaiki struktur pengetahuan yang telah dimiliki siswa maupun makna untuk meningkatkan kualitas kemampuan berpikir dan kemampuan motorik siswa.
4. Menyimpulkan
Menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami inti (core) dari materi pelajaran yang telah disajikan. Sebab melalui langkah menyimpulkan, siswa dapat mengambil inti sari dari proses penyajian. Menyimpulkan berarti pula memberikan keyakinan
(31)
31
kepada siswa tentang kebenaran suatu konsep sehingga siswa tidak merasa ragu lagi akan penjelasan guru. Menyimpulkan bisa dilakukan dengan cara mengulang kembali inti-inti materi yang menjadi pokok persoalan, memberikan beberapa pertanyaan yang relevan dengan materi yang diajarkan, dan membuat maping atau pemetaan keterkaitan antar pokok-pokok materi.
5. Mengaplikasikan
Tahap aplikasi adalah langkah unjuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru. Langkah ini merupakan langkah yang sangat penting dalam proses pembelajaran ekspositori sebab melalui langkah ini, guru akan dapat mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman siswa terhadap materi yang telah diajarkan. Teknik yang biasa dilakukan pada langkah ini diantaranya dengan membuat tugas yang relevan serta memberikan tes materi yang telah diajarkan untuk dikerjakan oleh siswa.
Metode ekspositori memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Gulo (2004:138-141), kelebihan dan kekurangan metode eksositori adalah sebagai berikut.
Kelebihan metode ekspositori: 1) Hemat dalam penggunaan waktu
Waktu yang diperlukan untuk menyampaikan informasi kepada satu atau dua orang siswa sama dengan yang diperlukan oleh seratus orang.
(32)
32
2) Mampu membangkitkan minat dan antusias siswa
Kontak yang terjadi antara guru dan siswa tidak hanya sekedar kontak bicara, tetapi kontak pribadi dimana pribadi guru bertemu dengan pribadi siswa. Jika guru memiliki pribadi yang menarik dan berwibawa, maka penampilannya merupakan sarana komunikasi untuk menyampaikan informasi dan nilai-nilai tertentu kepada siswa. Melalui metode ekspositori, guru dapat membangkitkan minat dan motivasi siswa dengan pribadi dan sikap yang dimiliki oleh guru. 3) Membantu siswa untuk membangkitkan kemampuan mendengarnya
Guru lebih banyak menjelaskan materi dalam pembelajaran ekspositori. Hal itu menjadikan siswa lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan apa yang dijelaskan oleh guru agar memahami materi.
4) Mampu menyampaikan pengetahuan siswa yang belum pernah diketahui siswa
Metode ini mempermudah guru untuk menyampaikan secara langsung tentang materi atau konsep yang belum dikatahui atau diajarkan kepada siswa. Ha ini juga mempermudah guru untuk menyampaikan hal-hal penting atau yang dibutuhkan siswa saat proses pembelajaran berlangsung.
(33)
33 Kekurangan metode ekspositori:
1) Berpusat pada guru
Pada komunikasi cenderung satu arah, mengakibatkan guru sukar untuk mengetahui dengan pasti sejauh mana siswa memahami informasi yang disampaikan. Siswa juga akan cepat bosan karena kurang dilibatkan dalam mengontruksi pengetahuan.
2) Menempatkan siswa sebagai pendengar dan pencatat
Cara belajar siswa aktif (CBSA) tidak dapat dikembangkan secara optimal. CBSA berubah pada pola datang, duduk, dengar, catat.
3) Keterbatasan kemampuan pada tingkat rendah
Metode ini hanya mampu mengembangkan kemampuan siswa pada tingkat pengetahuan sampai pemahaman. Olah karena bersifat verbal, maka kemampuan mengingat yang diharapkan juga terbatas.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merumuskan sintaks pembelajaran dengan implementasi metode ekspositori dengan tahap sebagai berikut:
1) Persiapan.
2) Penjelasan materi secara terstuktur. 3) Tanya jawab dan diskusi.
4) Penarikan kesimpulan (generalisasi). 5) Latihan soal.
(34)
34 5. Pendekatan Saintifik
Berdasarkan Permendikbud nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan saintifik (ilmiah). Pendekatan saintifik adalah pendekatan dengan pembelajaran yang diorientasikan dalam membina kemampuan siswa memecahkan masalah melalui serangkaian aktivitas yang menggunakan langkah-langkah ilmiah (Yunus Abidin, 2014:126). Adapun Panhuizen (2005:36) mengatakan bahwa dalam pendekatan saintifik, guru membimbing siswa selama aktivitas belajar serta memfasilitasi siswa dalam memahami masalah dan pengetahuan formal lebih lanjut berupa sistem dan simbol matematika.
Dijelaskan dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013 lampiran IV bahwa proses pembelajaran dengan pendekatan saintifik terdiri dari lima pengalaman belajar pokok (5M), yaitu:
1) Mengamati
Mengamati merupakan kegiatan yang menyajikan media objek yang nyata untuk kebermaknaan pembelajaran (meaningfull learning). Kegiatan mengamati menurut Kurik (2008:429) berupa pengamatan terhadap objek nyata dan hubungan konsep dengan kehidupan nyata untuk mendapatkan ide dari konsep. Guru membuka secara luas dan bervariasi kesempatan siswa untuk melakukan pengamatan.
(35)
35
Kegiatan mengamati akan melibatkan indra untuk membaca, mendengar, menyimak, melihat, menonton, dengan atau tanpa alat. Mengamati dapat membuat siswa tertantang dalam mengeksplorasi keingintahuan tentang fenomena yang akan dianalisis sesuai dengan perkembangan siswa. Adapun kompetensi yang dikembangkan adalah melatih kesungguhan, ketelitian, dan mencari informasi. 2) Menanya
Setelah kegiatan mengamati, guru hendaknya memberikan kesempatan secara luas kepada siswa untuk bertanya mengenai apa yang sudah dilihat, disimak, atau dibaca. Guru perlu membimbing siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang hasil pengamatan objek konkrit sampai abstrak yang berkenaan dengan fakta atau konsep.
Kegiatan menanya dalam pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013 adalah mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati. Kegiatan menanya ini dapat mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, dan kemampuan merumuskan pertanyaan untuk berpikir kritis. Pertanyaan tidak selalu dalam bentuk kalimat tanya melainkan dalam bentuk pernyataan. Dalam kegiatan menanya, guru membuka kesempatan secara luas kepada siswa untuk bertanya mengenai apa yang sudah dilihat, disimak, dibaca. Guru perlu membimbing siswa untuk dapat mengajukan pertanyaan.
(36)
36
Kompetensi yang dikembangkan dari kegiatan menanya dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013 adalah dapat mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat. Adapun kegiatan menanya memiliki beberapa fungsi, antara lain: (a) dapat mengecek pemahaman siswa; (b) mebangkitkan respon siswa terhadap materi yang akan dipelajari; (c) merangsang kemampuan kognitif dan proses interaksi; dan (d) mengembangkan keterampilan berbicara.
3) Mengumpulkan informasi
Kegiatan mengumpulkan informasi merupakan kegiatan mencari informasi dari pengamatan, berbagai sumber dan melalui berbagai cara seperti membaca buku lebih banyak, memperhatikan fenomena dengan teliti, atau melakukan eksperimen. Dalam aktvitas ini siswa akan mengeksplorasi, mencoba, berdiskusi, membaca sumber lain, dan memodifikasi. Informasi yang diperoleh selanjutnya diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan yang akan digunakan sebagai asosiasi.
Kompetensi yang diharapkan dalam kegiatan mengumpulkan informasi adalah sikap teliti, jujur, bertanggung jawab, dan menghargai pendapat orang lain. Sedangkan manfaat mengumpulkan informasi memiliki beberapa fungsi antara lain: (a) mengembangkan minat siswa dalam mempelajari materi; (b) mengembangkan rencana
(37)
37
penyelidikan; (c) membantu siswa dalam mencari fakta-fakta; dan (d) mendiskusikan dalam pelaksanaan penyelidikan.
4) Mengasosiasikan
Kegiatan mengasosiasi dalam pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013 adalah memproses informasi yang sudah dikumpulkan. Mengasosiasi merupakan kemampuan mengelompokkan beragam ide dan berbagai peristiwa yang telah dikumpulkan, baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan yang mengamati dan kegiatan yang mengumpulkan informasi. Saat mengasosiasi, siswa akan mengolah informasi yang sudah dikumpulkan, menganalisis data, menghubungkan informasi yang terkait dalam rangka menemukan pola, dan menyimpulkan.
Kompetensi yang diharapkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur, dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan. Kegiatan ini bertujuan untuk menentukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lain, menemukan pola dari keterkaitan informasi dan menarik kesimpulan berdasarkan data. Selain itu, mengasosiasikan efektif sebagai landasan menanamkan sikap ilmiah dan motivasi dari pembelajaran partisipasif. Menurut teori asosiasi, proses pembelajaran akan berhasil jika terjadi interaksi langsung antar pedidik dan peserta didik. Sehingga keterlibatan
(38)
38
pendidik dalam mengasosiasi diperlukan agar aktivitas ini berjalan optimal. Kegiatan mengasosiasi memiliki beberapa manfaat, yaitu: (a) siswa lebih terlatih menginterpretasikan data; (2) memberikan argumen; dan (3) memberikan solusi dengan beberapa penyelesaian alternatif.
5) Mengomunikasikan
Pada tahap ini siswa mengomunikasikan apa yang telah dipelajari selama proses pembelajaran yang telah disusun baik secara kelompok maupun individu dari hasil kesimpulan yang telah dibuat bersama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan (presentasi). Kegiatan mengomunikasikan dapat diberikan klasifikasi oleh guru agar siswa mengetahui kebenaran dari pekerjaan yang telah dilakukan. Kegiatan komunikasi dapat membentuk kemampuan berbicara di depan umum, kepemimpinan, dan keterampilan organisasional. Kegiatan mengomunikasikan yang dimaksud dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013 adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya.
Adapun kompetensi yang diharapkan daam kegiatan ini adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.
(39)
39
Dalam penelitian ini, langkah-langkah pendekatan saintifik yang digunakan adalah mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.
6. Langkah-langkah Pembelajaran Melalui Metode Penemuan Terbimbing dengan Pendekatan Saintifik
Berdasarkan langkah-langkah metode penemuan terbimbing dan pendekatan saintifik yang telah dijelaskan sebelumnya, berikut Tabel 1 mengenai langkah-langkah/sintaks pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing dengan pendekatan saintifik yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini.
Tabel 1. Sintaks Metode Pembelajaran Penemuan Terbimbing dengan Pendekatan Saintifik
Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa Tahap 1
Penyajian Masalah (Mengamati)
Guru menyajikan contoh kejadian atau fenomena yang memungkinkan siswa menemukan masalah.
Guru dapat memulai kegiatan belajar dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan
menemukan solusi permasalahan.
Siswa mengamati contoh kejadian atau fenomena yang diberikan guru serta mengembangkan
ketrampilan berpikir melalui observasi atau pengamatan secara spesifik.
(40)
40
Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa Tahap 2
Identifikasi masalah (Menanya)
Guru membimbing siswa untuk mengidentifikasi masalah berdasarkan contoh kejadian atau fenomena yang telah diberikan.
Siswa mengidentifikasi masalah pada persoalan yang masih mengandung teka-teki serta menetapkan jawaban sementara (hipotesis). Tahap 3 Pengumpulan data (Mengeksplorasi)
Guru membimbing siswa dalam mengumpulkan berbagai informasi yang relevan dengan membaca buku/literatur, mengamati objek, wawancara,
bertanya, berdiskusi, melakukan uji coba, dan sebagainya.
Siswa mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut, misalnya: membaca buku/literatur, mengamati objek, wawancara, bertanya, berdiskusi, melakukan uji coba, dan sebagainya. Tahap 4
Pengolahan data (Mengasosiasi)
Guru membantu siswa melakukan pengamatan tentang hal-hal yang penting dan membantu mengumpulkan dan menganalisis data.
Siswa mengolah data yang telah dikumpulkan lalu menganalisisnya untuk menemukan suatu konsep.
Tahap 5 Pembuktian (Mengasosiasi)
Guru membantu siswa untuk membuktikan konsep yang telah ditemukan siswa.
Siswa membuktikan kebenaran konsep dengan membandingkan konsep yang telah ditemukan dengan teman
sekelompok sebelum menarik kesimpulan.
(41)
41
Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa Tahap 6
Penarikan kesimpulan
(Mengomunikasikan)
Guru membimbing siswa mengambil kesimpulan berdasarkan data dan menemukan sendiri konsep yang ingin ditanamkan.
Guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan hasil diskusi
Secara berkelompok siswa menarik
kesimpulan, merumuskan kaidah, prinsip, ide generalisasi atau konsep berdasarkan data yang diperoleh. Beberapa perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok masing-masing.
7. Langkah-langkah Pembelajaran Melalui Metode Ekspositori dengan Pendekatan Saintifik
Berdasarkan langkah-langkah metode ekspositori dan pendekatan saintifik yang telah dijelaskan sebelumnya, berikut Tabel 2 mengenai langkah-langkah/sintaks pembelajaran matematika melalui metode ekspositori dengan pendekatan saintifik yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini.
Tabel 2. Sintaks Metode Pembelajaran Ekspositori dengan Pendekatan Saintifik
Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa Tahap 1
Persiapan (Mengamati)
Guru menyajikan contoh kejadian atau fenomena yang memungkinkan siswa menemukan
Siswa mengamati contoh kejadian atau fenomena yang diberikan guru. Siswa berkesempatan
(42)
42
Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa masalah. Guru dapat
memulai kegiatan belajar dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang mengarah kepada topik yang akan dijelaskan.
untuk berpendapat dan bertanya mengenai contoh kejadian atau fenomena yang diberikan guru.
Tahap 2
Penjelasan materi secara terstruktur
Guru menjelaskan materi yang dibahas secara terstruktur.
Siswa memperhatikan penjelasan guru.
Tahap 3
Tanya jawab dan diskusi
(Menanya)
(Mengeksplorasi dan mengasosiasi)
Guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai penjelasan yang belum dipahami. Guru
mempersilahkan siswa lain untuk menjawab terlebih dahulu. Guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi dalam menyelesaikan beberapa masalah yang diberikan.
Siswa bertanya jika belum memahami materi yang dijelaskan, siswa lain bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan ditunjuk guru.
Siswa berdiskusi dalam kelompok serta mencari informasi dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Tahap 4 Penarikan kesimpulan (Mengomunikasikan)
Guru bersama siswa menyimpulkan materi yang dipelajari. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan hasil diskusi.
Siswa menyimpulkan materi yang dipeajari bersama guru. Beberapa perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi.
(43)
43
Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa Tahap 5
Latihan soal
Guru memberikan latihan soal sebagai tahap
mengaplikasikan konsep atau materi yang telah dijelaskan.
Siswa mengerjakan beberapa soal latihan.
8. Prestasi Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prestasi belajar didefinisikan sebagai pengusaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai yang diberikan oleh guru. Arends dan Kilcher (2010:59) menyatakan bahwa “achievement is satisfied when students strive to learn particular subjects or acquire difficult skills and are succesful in their quest.” Prestasi merupakan kepuasan ketika siswa berusaha untuk mempelajari mata pelajaran tertentu atau memperoleh keterampilan yang sulit dan berhasil dalam upaya mereka.
Dimyati dan Mudjiono (2002:3) mengungkapkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru merupakan tindak mengajar dan diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi peserta didik merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Selanjutnya Syaiful Bahri Djamarah (2002:23) berpendapat bahwa prestasi belajar adalah sebagai hasil yang diperoleh siswa berupa kesan-kesan yang
(44)
44
mengakibatkan perubahan-perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas belajar.
Prestasi belajar merupakan kemampuan yang dimiliki oleh siswa tersebut setelah menerima pembelajaran atau materi di sekolah. Prestasi belajar dapat ditampilkan dari tingkah laku dan pengetahuan siswa dengan memberikan gambaran yang lebih nyata yang bertujuan untuk mengukur kemampuan belajar siswa. Sedangkan Suratimah Tirtonegoro (2001:43) menyatakan bahwa prestasi belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, dan huruf yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dalam periode tertentu.
Mimin Haryati (2008:115) membagi prestasi belajar ke dalam tiga aspek, yaitu:
1) Aspek Kognitif
Hasil penilaian aspek kognitif diperoleh melalui sistem penilaian sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditentukan dari kompetensi dasar yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil penilaian ini berupa nilai angka maupun deskripsi kualitatif melalui tes lisan maupun tes tertulis.
2) Aspek Psikomotorik
Hasil penilaian aspek psikomotorik biasanya digunakan untuk memberikan penilaian terhadap mata pelajaran yang melakukan kegiatan praktek. Hasil penilaian aspek psikomotorik diperoleh
(45)
45
melalui sistem penilaian sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditentukan dari kompetensi dasar yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil penilaian ini berupa nilai angka maupun deskripsi kualitatif. 3) Aspek Afektif
Hasil penilaian aspek afektif digunakan sebagai tambahan informasi tentang kondisi siswa di kelas yang berkaitan dengan minat belajar siswa, sikap, atau moral siswa di kelas. Hasil penilaian ini berupa nilai huruf dengan kategori A (sangat baik), B (baik), C (cukup), dan D (kurang) atau bisa juga dalam bentuk kualitatif, misal: sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah.
Menurut Nana Sudjana (2005:11), fungsi dari penilaian prestasi belajar siswa antara lain:
1) untuk mengetahui tercapai atau tidaknya suatu tujuan kegiatan belajar mengajar,
2) untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa tentang materi pelajaran tertentu,
3) untuk mengetahui keefektifan kegiatan belajar mengajar yang telah dilakukan oleh guru.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil dari suatu proses pembelajaran atau tingkat kemampuan siswa setelah melakukan proses pembelajaran meliputi aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan dalam mempelajari suatu
(46)
46
materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai untuk setiap mata pelajaran. Prestasi belajar tersebut dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi yang dilakukan dapat memperlihatkan tinggi rendahnya prestasi belajar siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini, prestasi belajar yang diukur adalah aspek kognitif melalui tes prestasi belajar setelah menerima pembelajaran matematika khususnya dalam materi barisan dan deret.
9. Keaktifan
Sardiman (2003:95) menyatakan bahwa pada prinsipnya belajar adalah melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas, sehingga aktivitas merupakan prinsip atau asas yang penting dalam interaksi belajar mengajar. Setiap orang yang akan belajar untuk aktif tanpa ada aktivitas, maka proses belajarnya tidak akan terjadi. Bruner dalam Erman Suherman (2001:45) mengungkapkan dalam proses belajar anak melakukan aktivitas yang kemudian dihubungkan dengan keterampilan intuitif yang ada dalam dirinya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keaktifan berarti kegiatan atau kesibukan. Keaktifan siswa dalam pembelajaran dapat diartikan kegiatan siswa untuk terlibat baik secara intelektual maupun emosional untuk mengikuti proses pembelajaran matematika. Bentuk-bentuk keaktifan tersebut diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan seperti mendengarkan, menulis, membaca, berdiskusi, bertanya, memperhatikan,
(47)
47
mengerjakan soal. Tengku Zahara Djaafar (2001:82) menyatakan aktivitas belajar dapat terjadi secara sengaja dan tidak sengaja.
Menurut Oemar Hamalik (2011:71), proses pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri sesuai dengan keinginan dan kemampuan siswa tersebut. Oleh karena itu, guru harus dapat menciptakan proses pembelajaran yang banyak memberikan kesempatan siswa untuk aktif dalam proses belajar mengajar. Selanjutnya Martinis Yamin (2009:172-173) menyatakan bahwa dalam kegiatan pembelajaran, seorang guru harus dapat membuat pertanyaan yang menantang dan produktif sehingga memungkinkan siswa terlibat dalam kegiatan belajar mengajar baik secara mental maupun secara fisik. Terdapat empat strategi yang perlu dikuasai guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar, yaitu:
1) Guru memberikan pertanyaan yang mendorong siswa untuk berpikir. 2) Guru memberikan umpan balik yang bermakna.
3) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara berkelompok.
4) Guru menyediakan penilaian yang dapat memberi peluang semua siswa untuk ikut serta dalam kegiatan belajar-mengajar.
Menurut Syaiful Sagala (2010:59) proses belajar mengajar yang aktif adalah proses belajar mengajar dimana akan terciptanya suasana yang penuh dengan aktivitas, sehingga siswa akan aktif untuk bertanya,
(48)
48
mempertanyakan, dan mengemukakan pendapat atau gagasannya. Cara yang dapat dilakukan oleh seorang guru antara lain siswa diberi tugas untuk mengamati, membandingkan, menggambar, mendeskripsikan berbagai objek. Kemudian guru meminta siswa untuk mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas.
Seseorang dikatakan aktif jika ia melakukan beberapa aktivitas seperti mendengarkan, menulis, membaca, mengajukan pertanyaan, dan sebagainya. Paul B. Diederich (Sardiman, 2003:100) menggolongkan aktivitas siswa sebagai berikut:
1) Visual activities meliputi membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.
2) Oral activities seperti menyatakan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, wawancara, diskusi, dan interupsi.
3) Listening activities seperti mendengarkan uraian, diskusi, dan musik. 4) Writing activities seperti menulis cerita dan laporan serta menyalin. 5) Drawing activities seperti menggambar serta membuat grafik, peta,
dan diagram.
6) Motor activities seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi model, mereparasi, bermain, berternak, dan berkebun.
7) Mental activities seperti menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, dan mengambil keputusan.
8) Emotional activities seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, dan tenang gugup.
(49)
49
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa adalah semua kegiatan siswa yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Dalam penelitian ini, keaktifan siswa yang akan diamati hanya fokus pada visual activities, oral activities, listening activities, writing activities.
B. Penelitian yang Relevan
1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Fatayati dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Metode Pembelajaran Penemuan Terbimbing terhadap Prestasi Belajar dan Kemampuan Representasi Matematika Siswa SMK Negeri 1 Godean” yaitu bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan metode penemuan terbimbing lebih efektif dari pada pembelajaran matematika dengan menggunakan metode ekspositori ditinjau dari prestasi dan kemampuan representasi siswa.
2. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ryan Nur Hidayat dalam skripsinya yang berjudul “Efektivitas Metode Pembelajaran Penemuan Terrbimbing (Guided Discovery) pada Topik Bangun Datar Ditinjau dari Kreativitas dan Prestasi Belajar Matematika di SMP N 1 Nguntoronadi Magetan Tahun Pelajaran 2012/2013”. Setelah diterapkan metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran matematika, kreativitas siswa dalam pembelajaran matematika mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan adanya peningkatan persentase kreativitas siswa dari setiap siklus. Selain itu, prestasi belajar siswa juga mengalami peningkatan.
(50)
50
3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lis Lingga Herawati dalam skripsinya yang berjudul “Perbandingan Metode Ekspositori dan Metode Penemuan Terbimbing terhadap Hasil Belajar Matematika pada Pokok Bahasan Aljabar di SMP N 1 Panjatan” yaitu metode penemuan terbimbing lebih efektif dibandingkan dengan metode ekspositori terhadap hasil belajar matematika siswa kelas VII semester genap di SMP Negeri 1 Panjatan.
4. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Devi Kurniawati dalam skripsinya yang berjudul “Implementasi Metode Guided Discovery dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas IXB SMP N 1 Punung Kabupaten Pacitan” yaitu implementasi metode guided discovery dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas IXB SMP N 1 Punung Kabupaten Pacitan.
C. Kerangka Berpikir
Sikap dan usaha siswa untuk memperoleh pengetahuan dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan pembelajaran matematika, salah satunya yaitu keaktifan siswa. Keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran merupakan keterlibatan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran baik secara kognitif maupun afektif. Sikap aktif selama proses pembelajaran tersebut dapat menguatkan pemahaman materi sehingga mampu meningkatkan prestasi belajar siswa.
(51)
51
Oleh karena itu, matematika perlu diajarkan melalui proses pembelajaran yang baik. Guru sebagai fasilitator perlu memilih dan menentukan metode pembelajaran yang tepat yang akan digunakan. Penentuan metode pembelajaran perlu disesuaikan dengan kurikulum, potensi, karakteristik, dan kondisi siswa diantaranya beban belajar, materi ajar, fasilitas siswa, kemampuan siswa baik secara individu maupun kelompok. Penentuan metode yang tepat dapat berpengaruh pada kualitas prestasi belajar siswa dan proses belajar mengajar yang aktif, salah satunya melalui metode penemuan terbimbing.
Metode penemuan terbimbing adalah metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, tidak seperti metode ekspositori yang lebih cenderung berpusat pada guru. Metode ini dirancang sedemikian rupa sehingga siswanya dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan yang dimiliki, sehingga siswa mengontruksikan pengetahuannya sendiri dengan bimbingan dan petunjuk guru. Melalui metode penemuan terbimbing, siswa dapat aktif terlibat dalam menemukan sendiri suatu konsep. Siswa juga diharapkan mampu memahami konsep dengan lebih baik dan tahan lama sehingga mampu mengaplikasikan ke dalam konteks yang lain.
Sesuai dengan kajian penelitian, metode penemuan cocok untuk untuk siswa yang sudah menguasai konsep dasar materi yang dipelajari. Sedangkan untuk siswa yang konsep dasarnya masih rendah (seperti di MAN Yogyakarta 2) perlu adanya bimbingan. Untuk membuktikan hal ini, perlu dilakukan uji coba. Melalui uji coba ini diduga metode penemuan terbimbing lebih efektif
(52)
52
digunakan dalam pembelajaran matematika dibandingkan dengan metode ekspositori ditinjau dari prestasi belajar dan keaktifan siswa MAN Yogyakarta 2.
D. Hipotesis
1. Pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing efektif ditinjau dari prestasi belajar siswa MAN Yogyakarta 2.
2. Pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing efektif ditinjau dari keaktifan siswa MAN Yogyakarta 2.
3. Pembelajaran matematika melalui metode ekspositori efektif ditinjau dari prestasi belajar siswa MAN Yogyakarta 2.
4. Pembelajaran matematika melalui metode ekspositori efektif ditinjau dari keaktifan siswa MAN Yogyakarta 2.
5. Pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing lebih efektif dibandingkan dengan metode ekspositori ditinjau dari prestasi belajar siswa MAN Yogyakarta 2.
6. Pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing lebih efektif dibandingkan dengan metode ekspositori ditinjau dari keaktifan siswa MAN Yogyakarta 2.
(53)
53 BAB III
METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di MAN Yogyakarta 2 yang berlokasi di Jalan KH. Ahmad Dahlan 130, Kota Yogyakarta. Adapun mengenai pelaksanaan penelitian dilakukan pada hari Kamis, 12 November 2015 sampai dengan Sabtu, 28 November 2015 tahun ajaran 2015/2016.
B. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen (eksperimen semu). Menurut Zainal Arifin (2011: 23), tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dengan menguji keadaan yang dapat dicapai melalui eksperimen yang sebenarnya, tetapi tidak ada pengontrolan terhadap seluruh variabel yang relevan.
Adapun desain penelitian dalam penelitian ini menggunakan Pretest-Posttest Control Group Design. Menurut Zainal Arifin (2011:81), dalam desain ini digunakan dua kelompok subjek yang dibentuk secara acak dan diasumsikan memiliki karakteristik yang sama (homogen). Pada kedua kelompok diberikan pretest dan posttest, kemudian dianalisis hasilnya. Desain ini disajikan secara sistematis pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Desain Penelitian
Kelompok Pretest Perlakuan Posttest
E XE O1 YE
(54)
54 Keterangan:
E : kelompok eksperimen K : kelompok kontrol
XE : pretest kelompok eksperimen XK : pretest kelompok kontrol
O1 : pembelajaran matematika melalui metode penemuan terbimbing dengan pendekatan saintifik
O2 : pembelajaran matematika melalui metode ekspositori dengan pendekatan saintifik
YE : posttest kelompok eksperimen YK : posttest kelompok kontrol
C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X di MAN Yogyakarta 2 tahun ajaran 2015/2016 yang terdiri dari 8 kelas.
2. Sampel Penelitian
Pada penelitian ini, pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling, yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata dalam populasi tersebut dan populasi dianggap homogen. Berdasarkan teknik tersebut, sampel dalam penelitian ini adalah 2 kelas X MAN Yogyakarta 2, yaitu kelas X MIPA 1 berjumlah 32 siswa sebagai kelas eksperimen dan kelas X MIPA 2 berjumlah 32 siswa sebagai kelas kontrol.
(55)
55 D. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah metode pembelajaran yang terdiri dari dua kelompok, yaitu metode penemuan terbimbing dengan pendekatan saintifik pada kelompok eksperimen dan metode pembelajaran ekspositori dengan pendekatan saintifik pada kelompok kontrol.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah prestasi belajar dan keaktifan siswa. Prestasi belajar siswa diperoleh setelah mengerjakan posttest, sedangkan keaktifan siswa diperoleh melalui lembar observasi.
3. Variabel Kontrol
Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah perangkat pembelajaran, alokasi waktu, dan pengajar.
E. Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini memberi definisi operasional variabel untuk menghindari kesalahpahaman variabel penelitian sebagai berikut.
1. Keefektifan pembelajaran matematika adalah tingkat pencapaian tujuan pembelajaran berdasarkan kriteria yang ditentukan. Pembelajaran matematika dikatakan efektif ditinjau dari prestasi belajar siswa apabila nilai posttest mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan, yaitu 72. Pembelajaran matematika dikatakan efektif ditinjau
(56)
56
dari keaktifan siswa apabila skor observasi mencapai kategori tinggi, yaitu 60.
2. Prestasi belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam menjawab posttest yang diberikan.
3. Keaktifan belajar yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi visual activities, oral activities, listening activities, writing activities dengan keterangan (1) mendengarkan penjelasan guru dan mengikuti petunjuk yang diberikan; (2) mengajukan pertanyaan kepada guru jika mengalami kesulitan memahami materi; (3) menjawab pertanyaan yang diajukan guru; (4) mengajukan pertanyaan kepada teman; (5) memberikan penjelasan kepada teman yang mengalami kesulitan dalam memahami materi; (6) mengutarakan pendapat saat diskusi/presentasi jika ada hal yang kurang setuju; (7) membaca buku/sumber lain untuk mencari informasi dalam menyelesaikan masalah yang diberikan di LKS; (8) mencari contoh soal dalam buku sebagai referensi dalam menyelesaikan soal; (9) menyalin jawaban LKS yang benar dari hasil presentasi; (10) mempresentasikan hasil kerja di depan kelas; (11) memperhatikan teman yang sedang melakukan presentasi; (12) mendengarkan teman yang sedang mengutarakan pendapat atau pertanyaan; (13) mengerjakan LKS sesuai petunjuk yang diberikan; (14) mengerjakan soal latihan yang diberikan oleh guru; (15) mengerjakan PR yang diberikan dan dikumpulkan tepat waktu.
(57)
57
4. Pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan terbimbing adalah metode pembelajaran dimana ide atau gagasan disampaikan melalui proses penemuan. Siswa menemukan sendiri pola-pola dan struktur-struktur matematika melalui sederetan pengalaman yang lampau, guru memberikan bantuan dan bimbingan untuk mengembangkan kemampuan memahami ide atau gagasan. Adapun langkah-langkah pembelajaran penemuan terbimbing dengan pendekatan saintifik sebagai berikut:
a. Penyajian masalah.
b. Pernyataan/identifikasi masalah. c. Pengumpulan data.
d. Pengolahan data. e. Pembuktian.
f. Penarikan kesimpulan (generalisasi). g. Latihan soal.
5. Pembelajaran dengan metode ekspositori adalah pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Sedangkan siswa dituntut untuk mendengarkan, mencatat, dan boleh bertanya jika belum mengerti. Adapun langkah-langkah pembelajaran ekspositori dengan pendekatan saintifik sebagai berikut:
a. Persiapan.
(58)
58 c. Diskusi dan tanya jawab. d. Penarikan kesimpulan. e. Latihan soal.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian adalah tes dan non tes. Instrumen tes berupa soal-soal yang digunakan untuk mengukur prestasi belajar siswa. Sedangkan instrumen non tes berupa lembar observasi dan angket digunakan untuk mengetahui keaktifan siswa.
1. Instrumen Tes
Instrumen tes dalam penelitian ini adalah tes tertulis berupa pilihan ganda. Dalam penelitian ini, ada 2 tahap tes yang diberikan, yaitu pretest dan posttest. Pretest dilaksanakan sebelum diberikan perlakuan yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Sedangkan posttest dilaksanakan setelah diberikan perlakuan dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar siswa, baik kelas kontrol maupun eksperimen. Data tes diperoleh dari penyekoran pada lembar jawab siswa dengan jumlah minimal 0 dan maksimal 100.
2. Instrumen Non Tes
Instrumen non tes yang digunakan adalah lembar observasi, angket siswa, dan dokumentasi foto dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran
Lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran merupakan lembar pengamatan instrumen yang bertujuan untuk mengetahui
(59)
59
keterlaksanaan pembelajaran matematika sesuai dengan tahapan-tahapan dengan metode penemuan terbimbing dan metode ekspositori yang sedang berlangsung. Hal tersebut dibuat untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran sesuai dengan rencana dan tujuan penelitian. Lembar observasi diisi oleh observer, yaitu guru atau ahli.
Lembar observasi ini dibuat dalam bentuk checklist. Dalam pengisiannya, observer memberikan tanda checklist pada kolom penilaian. Interpretasi penilaian lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran adalah untuk jawaban skor “1” jika aspek yang diamati terlaksana dan skor “0” jika aspek yang diamati tidak terlaksana. Selain membuat daftar checklist, terdapat juga kolom keterangan untuk memuat saran-saran observer selama proses pembelajaran.
Cara menghitung persentase skor lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran adalah sebagai berikut.
Adapun konversi persentase skor lembar observasi pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Konversi Persentase Skor Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran
Interval Persentase (%) Kriteria
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
(1)
122
Dimyati dan Mudjiono. (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Erman Suherman. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI.
Gulo, W. (2004). Strategi Belajar-Mengajar. Jakarta: Grasindo.
Grouws, D.A, & Cebulla, K.J (2000). Improving student achievement in mathematics: Recommendations for the classroom (Report no. SE 064318). Columbus, OH: ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environtmental Education.
Hasibuan & Moedjiono. (2012). Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Herman Hudoyo. (1990). Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.
Herman Hudoyo. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang.
Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.
Isriani Hardini & Dewi Puspitasari. (2012). Strategi Pembelajaran Terpadu Teori, Konsep & Implementasi. Yogyakarta: Familia.
Joyce Bruce dan Marsha Weil. (2000). Model of Teaching. New Jesrey : Prentice Hall International Inc.
Kemdikbud. (2015). Mendikbud: Rata-rata Ujian Nasional Naik 0,3 Poin. http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/home2-9 . Diakses pada tanggal 23 September 2015.
Kemendikbud. (2013). Lampiran Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
(2)
123
Kemendikbud. (2014). Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Republik Indonesia nomor 59 tahun 2014 Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Kemp, E.J., dkk. (1994). Designing Effective Instruction. New York: Merril Macmillan College.
Kurnik, Z. (2008). The Scientific Approach to Teaching Math. Profesional Papper of Metodika, vol. 17, pp. 421-432.
Lis Lingga Herawati. (2012). Perbandingan Metode Ekspositori dan Metode Penemuan Terbimbing terhadap Hasil Belajar Matematika pada Pokok Bahasan Aljabar di SMP N 1 Panjatan. Skripsi. UNY.
Markaban. (2008). Model Penemuan Terbimbing pada Pembelajaran Matematika SMK. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.
Martinis Yamin & Maisah. (2009). Manajemen Pembelajaran Kelas: Strategi Meningkatkan Mutu Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press.
Mimin Haryati. (2008). Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press.
Moh. Amin. (1988). Mengajarkan Ilmu Pengetahuan (IPA) dengan Menggunakan Metode Discovery dan Inquiry. Jakarta: Depdikbud.
Muijis, D., & Reynolds, D. (2005). Effective teaching: Evidence and Practice (2rd ed). London: SAGE.
Musthafa, M. (2004). Teaching of Mathematics New Trends and Inovation. New Delhi: Deep & Deep Publication PVT Ltd.
Nana Sudjana. (2002). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Agesindo.
___________. (2011). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
(3)
124
Nur Fatayati. (2012). Pengaruh Metode Pembelajaran Penemuan Terbimbing Terhadap Prestasi Belajar dan Kemampuan Representasi Matematika Siswa SMK Negeri 1 Godean. Skripsi. UNY
Oemar Hamalik. (2011). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Panhuizen, M.V. D. H. (2005). Can Scientific Research Answer The„What‟
Question of Mathematics Education? Cambridge Journal of Education. vol. 35, no. 1, pp. 35–53.
Parratore,Phil. (2005). Terampil Sains untuk Kelas Belajar Siswa Aktif. Jakarta: Nuansa.
Popham, W.J. (1995). Classrooms assessment: What teachers need to know. Needham Heights, Mass: Allyn and Bacon.
Regine Philippeaux. (2009). Inquiry Mathematics: What's in it for Students? A Look at Student Experiences and Mathematical Understanding. Jurnal Disertasi. (No. 3368258 tahun 2009). Hlm. 1-184.
Ruseffendi, E.T. (1988). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pendidikan Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Ryan Nur Hidayat. (2014). Efektivitas Metode Pembelajaran Penemuan Terbimbing (Guided Discovery) pada Topik Bangun Datar Ditinjau dari Kreativitas dan Prestasi Belajar Matematika di SMP N 1 Nguntoronadi. Skripsi. UNY
Sardiman. (2011). Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press.
Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Slamet Soewardi, et al. (2005). Perspektif Pembelajaran di Berbagai Bidang. Yogyakarta: USD.
Slavin, Robert E. (2006). Educational Psychology: Theory and Practice. Boston, Massachussetts: Allyn & Bacon.
(4)
125
Syaiful Bahri Djamarah. (2002). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Rev.ed. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Syaiful Sagala. (2010). Supervisi Pembelajaran dalam Profesi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sri Rukmini, dkk. (2008). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Sardiman, A.M. (2003). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suherman. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA UPI.
Suratimah Tirtonegoro. (2001). Anak Supernormal dan Program Pendidikannya. Jakarta: Bumi Aksara.
Tengku Zahara Djaafar. (2001). Kontribusi Strategi Pembelajaran terhadap Hasil Belajar. Jakarta: Depdiknas.
Thorset, Petter. (2002). Discovery Learning Theory. http://www.thinkingink.com/_contents/edu/phd_archives/EPRS8500_DiscL rngThry.PDF. Diakses pada tanggal 21 Juni 2015.
Trianto. (2010). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Prograsif: Konsep Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Trowbidge, L. W. & Bybee, R. W. (1990). Becoming A Secondary School Science Teacher. Ohio: Merill Publishing.
Trowbridge, et al. (2004). Teaching Secondary School Science: Strategies for Developing Scientific Literacy. United States: Pearson Education
(5)
126
Wasty Soemanto. (2003). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Wina Sanjaya. (2008). Strategi Pembelajaran. Bandung: Kencana Prenada Media Group.
Whitaker, Brian D. (2014). Using Guided Discovery as an Active Learning Strategy: Journal of Education (No. 1 tahun 2014). Hlm. 2-3.
Yunus Abidin. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bandung: GI.
(6)
127