MODEL PEMBELAJARAN REFLEKTIF UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS : Studi Eksperimen di Suatu Sekolah Dasar di Bandung.

(1)

vi

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ..……….. i

PERSEMBAHAN .……… ii

KATA PENGANTAR ………. iii

ABSTRAK ………….………..……….……… v

DAFTAR ISI .……….………... vi

DAFTAR TABEL .….……….. ix

DAFTAR DIAGRAM ……….. xii

DAFTAR GAMBAR ……….. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ..………..…… xv

BAB I PENDAHULUAN …….……….. .……… 1

A. Latar Belakang Masalah …….……….. .………. 1

B. Rumusan Masalah ………..….……….. .………. 13

C. Tujuan Penelitian ………. 14

D. Manfaat Penelitian ……… 14

E. Definisi Operasional ……… 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA …….……….. .……….. 17

A. Pembelajaran Matematika .….……….. .………. 17

B. Model Pembelajaran Reflektif ……….. .………. 26


(2)

vii

D. Komunikasi Matematis (Mathematical Communication) ……… 43

E. Pembelajaran Konvensional …….……… 47

F. Sikap ………. 48

G. Teori Belajar yang Mendukung ….……….. 49

H. Hasil Penelitian yang Relevan .……….. .………. 47

I. Hipotesis Penelitian ……….. 52

BAB III METODE PENELITIAN …….……….. .……….. 53

A. Desain Penelitian …….………. 53

B. Subjek dan Populasi …..………..….……… 53

C. Instrumen Penelitian ………. 54

D. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ……….. 73

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …….……….. .……….. 85

A. Analisis Hasil Penelitian …...…….……….. 86

1. Analisis Tes Awal …...…...…….………. 86

2. Analisis Pretes-Postes (Gain) ...…..………..….……. 91

3. Kualitas Peningkatan Penerapan Model Pembelajaran Reflektif terhadap Pemahaman Konsep dan Kemampuan Komunikasi Matematis ……… 104

4. Hubungan antara Pemahaman Konsep dan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ………. 106 5. Skala Sikap Siswa ……….. 108


(3)

viii

6. Hasil Observasi Guru dan Siswa ………. 118

7. Tanggapan Guru Pengamat ………. 128

8. Deskripsi Pembelajaran Konvensional ……… 132

B. Pembahasan ………..……… 133

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN …….……….. .………. 150

A. Kesimpulan ………..……… 150

B. Saran ……… 151


(4)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Persentase siswa pada setiap level kemampuan matematika di

Indonesia ……….. 4

3.1 Penskoran untuk Tes Pemahaman Konsep dan Kemampuan Komunikasi Matematis ……… 56

3.2 Klasifikasi Koefisien Validasi ………. 62

3.3 Perhitungan Validitas Uji Coba Tes Pemahaman Matematis ……… 62

3.4 Perhitungan Validitas Uji Coba Tes Komunikasi Matematis ……… 63

3.5 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ………. 65

3.6 Kriteria Indeks Kesukaran ……….... 66

3.7 Tingkat Kesukaran Tiap Butir Soal Pemahaman Matematika ………. 67

3.8 Tingkat Kesukaran Tiap Butir Soal Komunikasi Matematika ………. 67

3.9 Kriteria Daya Pembeda dari Jawaban ………... 68

3.10 Daya Pembeda Tiap Butir Soal Pemahaman Matematis ………. 69

3.11 Daya Pembeda Tiap Butir Soal Komunikasi Matematis ………. 69

3.12 Rekapitulasi Analisis Uji Coba Tes ……….. 70

3.13 Kriteria Nilai skor gain ternormalisasi ………. 80

3.14 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ………..……….. 84

4.1 Hasil Pretes Pemahaman Konsep Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ………... 88 4.2 Hasil Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen


(5)

x

dan Kelas Kontrol ……… 88 4.3 Hasil Uji Normalitas Skor Pretes Kemampuan Komunikasi

Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ……… 89 4.4 Uji Homogenitas Hasil Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ………... 90 4.5 Hasil Postes Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ………. 92 4.6 Statistik Deskriptif Skor Gain Ternormalisasi Kelas Eksperimen dan

Kelas Kontrol ………... 93

4.7 Skor Gain Ternormalisasi Tes Pemahaman Konsep Matematis Kelas

Eksperimen ………... 95

4.8 Skor Gain Ternormalisasi Tes Pemahaman Konsep Matematis Kelas

Kontrol ……….. 96

4.9 Rekapitulasi Gain Ternormalisasi Tes Pemahaman Konsep dan

Kemampuan Komunikasi Matematis ………... 97 4.10 Hasil Uji Normalitas Skor Gain Ternormalisasi Tes Pemahaman

Konsep Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol …………... 98 4.11 Uji Homogenitas Skor Gain Ternormalisasi Tes Pemahaman Konsep

Matematis ………. 101

4.12 Skor Gain Ternormalisasi Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Kelas Eksperimen ……….. 102

4.13 Skor Gain Ternormalisasi Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Kelas Kontrol ……….. 103


(6)

xi

Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol …..… 105 4.15 Hasil Uji Normalitas skor Postes Kelas Eksperimen dan Kelas

Kontrol ……… 107

4.16 Distribusi Skor Skala Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran …..…… 109 4.17 Rekapitulasi Jawaban Siswa pada Skala Sikap Siswa Terhadap

Pembelajaran Matematika ……… 110 4.18 Rekapitulasi Jawaban Siswa pada Skala Sikap Siswa Terhadap

Model Pembelajaran Reflektif …..………112 4.19 Rekapitulasi Jawaban Siswa pada Skala Sikap Siswa Terhadap Soal

Pemahaman Konsep dan Kemampuan Komunikasi Matematis …..……….

117

4.20 Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa pada Proses Model Pembelajaran Reflektif di Kelas Eksperimen ………. 129 4.21 Hasil Pengamatan Aktivitas Guru pada Proses Model Pembelajaran

Reflektif di Kelas Eksperimen ………. 130 4.22 Hasil Pretes dan Postes Pemahaman Konsep Matematis ……… 135 4.23 Hasil Pretes dan Postes Kemampuan Komunikasi Matematis ……… 142


(7)

xii

DAFTAR DIAGRAM

Diagram Halaman 3.1 Alur Kegiatan Penelitian ……….……… 59 3.2 Alur Analisis Data Awal dan Gain ...………... 74 4.1 Rata-rata Pretes dan Postes Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

………. 87

4.2 Skor Gain Ternormalisasi Pemahaman Konsep Matematis Kelas

Eksperimen dan Kelas Kontrol ………... 94 4.3 Skor Gain Ternormalisasi Kemampuan Komunikasi Matematis


(8)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

4.1 Diskusi dalam Kelompok ………... 114

4.2 Diskusi Klasikal pada saat Presentasi ……… 114

4.3 Diskusi Klasikal Dipimpin oleh Guru ……… 115

4.4 Contoh Hasil Kerja Siswa 1 ………... 121

4.5 Contoh Hasil Kerja Siswa 2 ………... 122

4.6 Contoh Hasil Kerja Siswa 3 ……….. 122

4.7 Contoh My Journal Siswa 4 ……….. 123

4.8 Contoh My Journal Siswa 5 ……….. 124

4.9 Contoh May Journal Siswa 6 ………. 124

4.10 Contoh Hasil Postes Siswa 7 ………. 125

4.11 Contoh Hasil Postes Siswa 8 ………. 126

4.12 Contoh Hasil Postes Siswa 9 ………. 127

4.13 Contoh Hasil Postes Siswa 10 ……… 127

4.14 Contoh Hasil Postes Siswa 11 ……… 128

4.15 Contoh Hasil Postes Siswa 12 ……… 137

4.16 Contoh Hasil Postes Siswa 13 ……… 137

4.17 Contoh Hasil Postes Siswa 14 ……… 138

4.18 Contoh Hasil Postes Siswa 15 ……… 139

4.19 Contoh Hasil Postes Siswa 16 ……… 140


(9)

xiv

4.21 Contoh Hasil Postes Siswa 18 ……… 141

4.22 Contoh Hasil Postes Siswa 19 ……… 144

4.23 Contoh Hasil Postes Siswa 20 ……… 144

4.24 Contoh Hasil Postes Siswa 21 ……… 145

4.25 Contoh “My Journal” ………... 147


(10)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

A RPP dan LKS …….……….. .………... 159

1. RPP dan LKS untuk Model Pembelajaran Reflektif ………..….… 163 2. RPP dan LKS untuk Model Pembelajaran Konvensional ………... 201

B Instrumen …….……….. .………. 222

C Hasil Uji Coba Soal …….……….. .………. 251 D Analisis Hasil Pretes, Postes, dan Skala Pendapat Siswa …….……… 260 E Tabel Statistik ...…….……….... .………. 314 F Kumpulan Surat ……….……….. ...………. 315


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia mempunyai kemampuan bernalar yang membuatnya berbeda dari ciptaan Tuhan yang lainnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan beberapa definisi untuk nalar, diantaranya: pertimbangan tentang baik dan buruk; akal budi; aktifitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis; kekuatan dan jangkauan berpikir. Kemampuan bernalar ini berkembang sejalan dengan tahapan perkembangan dan pertumbuhan manusia serta pengalaman yang menyertainya. Pada dasarnya secara sengaja maupun tidak sengaja, manusia terus mengembangkan nalar sehatnya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di dunia ini. Segala respon, tindakan, atau keputusan yang dilakuan manusia merupakan hasil dari penalaran yang dilakukannya sehingga penalaran tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia.

Matematika merupakan ilmu yang sangat erat kaitannya dengan penalaran. Tinggih (dalam Suherman dan Winataputra, 1992) mengatakan bahwa matematika merupakan ilmu yang diperoleh dengan bernalar, karena matematika lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran). Hasil penalaran ini kemudian dituangkan dalam konsep-konsep sistematis dalam matematika.

Konsep-konsep ini terus berkembang menjadi konsep yang lebih kompleks dan maju bahkan dapat digunakan untuk memecahkan berbagai macam masalah dalam kehidupan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi,


(12)

dan industri. Sejalan dengan perkembangan dan persaingan dalam segala bidang, matematika-pun menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi setiap individu. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, matematika mendapat tempat yang khusus dalam sistem pendidikan yang disebut dengan Pendidikan Matematika

Pendidikan matematika sangat penting karena sangat berperan dalam perkembangan teknologi, ekonomi sosial, politik, ideologi, dan ketahanan budaya masyarakat (Niss, 1995: 4). Selain itu pendidikan matematika juga memberikan kontribusi yang sangat besar dalam memperlengkapi atau membantu seorang individu untuk dapat bertahan dalam hidup. Pendidikan matematika dapat membentuk individu yang mampu menguasai kehidupan mereka secara pribadi setiap hari, dan memiliki kemampuan dasar seperti: membaca, menginterpretasikan, dan menilai informasi yang diberikan dalam bentuk gambar dan tabel. Bahkan National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) juga mengatakan bahwa kompetensi Matematika membuka pintu untuk masa depan yang produktif (NCTM, 2000).

Pendidikan Matematika mendapat tempat yang sangat menonjol dalam sistem pendidikan di negara manapun di dunia ini. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah mengimplementasikan pendidikan matematika dalam suatu proses yang disebut dengan istilah Proses Belajar Mengajar (PBM). Menurut Pidarta (1997, 5), PBM ini menitikberatkan upaya agar materi pelajaran atau pendidikan (Matematika) mudah diamati, diinternalisasi, dihayati, ditransfer, dan dilaksanakan dalam kehidupan nyata.


(13)

Kenyataannya, pelajaran Matematika masih merupakan permasalahan pendidikan yang banyak mendapat sorotan di dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Masalah klasik yang sering dikeluhkan para siswa sekolah adalah bahwa matematika merupakan suatu pelajaran yang sangat sulit dan membosankan. Pelajaran Matematika dianggap sebagai momok yang sangat mengganggu dalam kehidupan pelajar. Bahkan banyak di antara mereka yang menganggap matematika sebagai sumber kegagalan untuk mencapai jenjang pendidikan berikutnya. Hal ini dapat terlihat dari kenyataan masih ‘ada’ siswa yang terpaksa harus tidak lulus karena nilai matematika pada ujian akhir tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

Tidak berhenti sampai di situ, banyak pula masyarakat awam dan pelajar secara tidak sengaja mewariskan pikiran tersebut kepada generasi-generasi di bawah mereka. Akibatnya, muncullah manusia-manusia yang lebih dulu apatis terhadap matematika daripada menyelidiki kebenarannya. Belum lagi pemikiran bahwa pelajaran Matematika hanya dapat dinikmati dan diatasi oleh orang-orang yang berbakat di dalamnya. Otomatis hal itu mengurangi motivasi mereka untuk mendalami dan menikmati pembelajaran matematika. Akibatnya perolehan nilai pada pelajaran matematika tidak memenuhi harapan bahkan tidak memenuhi standar cukup yang telah ditetapkan.

Menurut laporan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2007, penguasaan Matematika siswa di Indonesia berada diperingkat ke 36 dari 48 negara ikut serta dalam laporan tersebut. Selain masih berada pada urutan yang relatif berada di bawah, ternyata perolehan nilai rata-rata


(14)

untuk level kelas 8 pun masih berada pada posisi yang rendah, yaitu 4,05. Berdasarkan data ini dapat dikatakan bahwa pemahaman matematika siswa Indonesia masih sangat rendah.

Programme for International Student Assessment (PISA) 2006 juga melaporkan persentase kemampuan Matematika siswa Indonesia yang berada pada kisaran usia 15 tahun. Berdasarkan PISA ini, kemampuan matematika siswa Indonesia pada masing-masing level, tertera pada tabel berikut ini:

Tabel 1. 1

Persentase siswa pada setiap level kemampuan matematika di Indonesia Level Kemampuan Skor Persentase Siswa

Di bawah Level 1 di bawah 357,77 35,2% Level 1 357,77 – 420,07 30,5% Level 2 420,07 – 482,38 20,4% Level 3 482,38 – 544,68 10,6% Level 4 544,68 – 606,99 2,8% Level 5 606,99 – 669,30 0,4% Level 6 di atas 669,30 0,0%

Perlu diketahui bahwa siswa pada level 6 (merupakan level tertinggi) kriteria yang dibuat PISA ini, memiliki pemahaman konsep matematis yang tinggi terhadap suatu permasalahan, mampu mengumpulkan berbagai data yang relefan, dapat menyajikan suatu permasalahan dan penyelesainnya dengan komunikasi matematis yang baik. Artinya dengan survey yang dilakukan PISA ini akan


(15)

terlihat bagaimana kualitas pemahaman dan kemampauan komunikasi siswa yang disurvei. Berdasarkan Tabel 1.1 di atas terdapat 0,0% siswa Indonesia yang berada pada level 6 ini. Sementara itu, lebih dari setengah (sekitar 65,7%) siswa Indonesia hanya berada pada Level 1 atau di bawahnya. Bahkan persentase siswa yang berada di bawah Level 1 lebih besar dari pada siswa yang berada di Level 1. Berdasarkan data di atas dan kriteria yang dibuat PISA jelas bahwa siswa Indonesia hanya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam konteks umum dan bersifat rutin dan prosedural. Penjelasan untuk tiap kriteria dapat dilihat pada lampiran A.

Khusus dalam kemampuan pemecahan-masalah matematis, hasil penelitian PISA 2003 menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan masalah matematis juga berada pada level yang rendah. Kemampuan pemecahan-masalah matematis siswa Indonesia berada pada level skor rata-rata 361 sehingga termasuk dalam kategori di bawah Level 1 dari 3 level yang dikategorikan. Siswa yang berada di bawah Level 1 ini dikategorikan sebagai siswa yang lemah dalam pemecahan-masalah, yaitu siswa yang secara konsisten gagal untuk memahami permasalahan yang termudah sekalipun dalam asesmen yang dilakukan (PISA, 2003).

Pada proses pemecahan masalah, ada empat langkah penting yang harus dilakukan, yaitu: memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melakukam rencana, dan menafsirkan hasilnya (Shadiq,2004). Pemahaman adalah kunci utama dalam pemecahan masalah. Shadiq (2004) juga mengatakan pada tahap ini siswa harus dapat menentukan dengan jeli apa yang diketahui dan apa yang


(16)

ditanyakan. Supaya memudahkan maka hasil penentuan ini kemudian dicatat kembali dalam bentuk tabel, sket, diagram, gambar dan lain sebagainya. Hal ini jelas sangat membutuhkan kemampuan komunikasi yang baik. Artinya kemampuan pemecahan masalah sangat erat kaitannya oleh kemampuan komunikasi seorang siswa. Fitriani (2009) juga telah menunjukkan melalui studi eksperimen yang dilakukannya, bahwa keterkaitan antara kemampuan komunikasi dan kemampuan pemecahan masalah cenderung positif, sebab bagi sebagian besar siswa semakin besar skor kemampuan komunikasi semakin besar pula skor pemecahan masalah matematisnya.

Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep matematis siswa Indonesia sangat rendah, diikuti dengan rendahnya juga kemampuan komunikasi matematisnya. Mengenai hal lemahnya kemampuan berkomunikasi ini dipertegas dengan hasil diskusi yang diperoleh Qohar (2010) bersama dengan beberapa guru SMP yang menyimpulkan bahwa siswa masih kurang baik dalam melakukan komunikasi matematis, baik komunikasi secara lisan maupun tulisan.

Menurut Godino (1996), matematika adalah suatu sistem konsep yang terorganisasi secara logis. Sistem konsep ini merupakan kumpulan objek matematis yang ditemukan atau dikembangkan sejak ribuan tahun yang lalu. Pada dasarnya objek-objek matematis sebagian besar dihasilkan dari aktivitas berpikir manusia, sehingga matematika sering disebut sebagai ilmu yang abstrak. Mungkin keabstrakannya inilah yang membuat matematika menjadi pelajaran yang sulit untuk dipamahi. Widjaja dan Heck (2003:1) menegaskan rendahnya kemampuan


(17)

siswa untuk memahami pelajaran Matematika bukanlah karena siswa Indonesia memiliki kapasitas dan intelegensi yang lebih rendah daripada siswa-siswa di negara lain. Permasalahan utamanya terletak pada tata cara pembelajaran atau PBM yang belum tepat sasaran.

Pembelajaran Matematika yang dipraktekkan di sekolah sebagian besar masih hanya menggunakan pendekatan tradisional. Proses belajar terjadi secara konvensional dan berorientasi pada transfer ilmu pengetahuan dari guru ke siswa. Kegiatan murid di kelas hanya berkisar pada pada melihat, mendengar, menulis, membaca, dan menghafal. Guru dijadikan sebagai pusat pembelajaran dan sumber ilmu pengetahuan bagi siswa. Guru menjelaskan pengetahuannya, kemudian menugaskan para siswa untuk mengingat atau menghafal apa yang diketahui guru berkaitan dengan materi pelajaran yang sedang dibahas.

Oleh karena kegiatan dalam PBM Matematika di kelas sebagian besar bersifat hafalan, kompetensi siswa dalam pelajaran Matematika juga berkisar pada kemampuan menyelesaikan soal-soal rutin yang mengandalkan daya ingat semata. Para siswa tidak terbiasa mengungkapkan apa yang telah mereka pahami. Komunikasi yang dilakukan juga hanya dalam satu arah, yaitu dari guru ke murid. Kesempatan bagi siswa untuk belajar mengomunikasikan pengetahuan dan pemahamannya akan materi pelajaran yang sudah dibahas sangat kecil. Maka akhirnya terbentuklah siswa dengan kemampuan komunikasi matematis rendah diikuti dengan pemahaman matematis yang rendah pula.

Selain itu, guru juga dianggap kurang mampu menghidupkan matematika sebagai ilmu yang riil (real) bagi kehidupan sehari-hari di kelas. Pembelajaran


(18)

tradisional yang dilakukan guru membuat matematika menjadi kumpulan berbagai lambang yang sangat sulit dipahami dan tidak bermakna bagi siswa. Gurupun hanya mentransfer ilmu yang dia miliki kemudian men-drill siswa dengan sebanyak mungkin soal-soal latihan, kemudian dites melalui ulangan-ulangan. Belajar matematika menjadi hanya mengingat berbagai lambang dan rumus, dan semampunya mengaplikasikannya dalam berbagai masalah lain.

Walaupun banyak rumus-rumus yang dihasilkan dan dipelajari dalam pembelajaran matematika, namun belajar matematika bukanlah belajar dengan menghafal atau sekedar melatih daya ingat. Belajar matematika erat kaitannya dengan belajar cara berpikir yang logis, sistematis, analisis, dan lain sebagainya. Soekirno (2004) mengatakan “…essensi pengajaran matematika bukan menjadikan orang yang pandai, tetapi menjadikan orang mengerti”.

Pemahaman adalah esensi dalam pembelajaran konsep-konsep matematis. Pemahaman konsep merupakan dasar dari berbagai keterampilan berpikir yang hendak dilatih dalam pembelajaran matematika. Seseorang dapat berpikir logis, sistematis, analisis, dan lain sebagainya dalam menghadapi suatu permasalahan, hanya jika ia benar-benar memahami konsep matematis dalam persoalan yang sedang dihadapinya.

Begitu pentingnya pemahaman konsep matematis dalam pembelajaran matematika sehingga banyak ahli dan praktisi pendidikan matematika yang mempelajari pemahaman ini secara intensif. Tujuannya untuk mencari cara yang terbaik untuk meningkatkan pemahaman konsep matematis siswa yang


(19)

mengikutinya. Bahkan di negara Indonesia, pemahaman konsep matematis merupakan urutan pertama dalam rumusan tujuan pendidikan matematika.

Kilpatrick, Swafford, Findell (2001) mengatakan: ‘Conceptual understanding refers to an integrated and functional grasp of mathematical ideas’. Pemahaman konsep matematis mengacu pada penyerapan ide matematis yang terjadi pada seseorang yang kemudian menyatu dengan dirinya dan dapat dimanfaatkan. Belajar matematika dengan tujuan pemahaman matematis bukan sekedar mengingat atau menghafal konsep matematis, tapi menyerap konsep tersebut menjadi bagian dari dirinya. Lebih lanjut, mempengaruhi cara dan hasil berpikir serta sikap yang memanfaatkan hasil belajar matematika dalam kehidupan nyata atau dalam menyelesaikan berbagai macam masalah yang berkatan dengan konsep matematis tersebut.

Seseorang dikatakan memahami sebuah konsep atau fakta matematis jika ia dapat menjelaskan konsep dan fakta matematis tersebut dengan cara yang lebih sederhana (Alfeld, 2006). Dengan kata lain, seseorang dikatakan memahami suatu konsep matematis jika ia dapat mengomunikasikan pemahamannya akan konsep tersebut.

Komunikasi adalah bagian yang esensial dalam matematika atau pendidikan matematika (NCTM, 2000). Komunikasi yang baik dapat meningkatkan pemahaman seseorang. Seseorang dikatakan dapat berkomunikasi dengan baik bukan hanya jika ia dapat menyerap informasi yang dia dengar dan lihat tapi juga jika ia dapat merepresentasikan dengan baik apa yang ada dalam pikirannya. Karena matematika merupakan ilmu yang sangat berkaitan dengan


(20)

berpikir dan hasil berpikir (ide), maka perlu ada suatu cara untuk merepresentasikan hasil berpikir tersebut. Komunikasi adalah cara yang dapat digunakan untuk menyampaikan ide dan mengklarifikasi pemahaman konsep matematis seorang siswa.

Jika demikian, pemahaman konsep dan komunikasi matematis adalah dua hal yang sangat penting dan saling melengkapi dalam pembelajaran matematika. Berkaitan dengan hal ini, Kilpatrick, Swafford, Findell (2001) juga mengatakan: ‘Students often understand before they can verbalize that understanding’. Namun pada saat seorang siswa menyatakan pikirannya (komunikasi), ia juga memeriksa pikirannya kemudian mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam. Komunikasi dengan diri sendiri dan orang lain dapat mendorong kegiatan berpikir reflektif yang akan membangun pemahaman yang lebih mendalam dan permanen dalam memori.

Pemahaman konsep dan komunikasi matematis tidak dapat diperoleh begitu saja. Pemahaman matematis adalah proses yang sangat aktif yang berlangsung pada saat seseorang sedang belajar. Saide.org.za (2008) mengatakan: ‘In order to construct and understand a new idea, you have to think actively about it. Mathematical ideas cannot be 'poured into' a passive learner with an inactive mind’. Pemahaman konsep matematis dapat diraih jika siswa dalam proses pembelajaran konsep tertentu belajar dengan kegiatan berpikir yang aktif. Van de Walle (dalam saide.org.za, 2008) menggunakan istilah 'berpikir reflektif' (reflective thought) untuk menjelaskan bagaimana pelajar memikirkan dengan aktif atau secara mental bekerja pada suatu ide. Berpikir reflektif berarti


(21)

memilah-milah ide-ide yang ada untuk menemukan yang tampaknya paling berguna dalam memberikan makna terhadap gagasan baru.

Berpikir reflektif adalah suatu kegiatan dimana seorang siswa memikirkan apa yang ia lakukan dan melakukan (mengungkapkan) apa yang ia pikirkan. Pada saat kegiatan berpikir reflektif ini berlangsung pada seorang siswa, ia mempelajari apa yang sedang dihadapinya, berasumsi, menilai, bersikap dan mengaplikasikan pemahamannya. Dan pada saat yang sama otomatis terjadi juga kegiatan komunikasi, setidaknya komunikasi dengan dirinya sendiri. Hal ini sangat baik sekali karena jika ini berlangsung secara terus menerus maka pada akhirnya, kegiatan berpikir ini akan sampai pada pemahaman yang lebih mendalam, perubahan pemikiran, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan. Hmelo & Ferrari (dalam Song, 2005) menyimpulkan lebih jauh bahwa refleksi membantu siswa untuk membangun keterampilan berpikir tingkat tingginya.

Keseluruhan uraian di atas menyiratkan bahwa meningkatkan kemampuan dan penguasaan matematika serta keterampilan berpikir siswa dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pemahaman konsep dan komunikasi matematis siswa tersebut. Pemahaman konsep dan komunikasi matematis akan bertumbuh subur dalam pembelajaran yang mengupayakan kegiatan berpikir aktif. Kegiatan berpikir ini disebut dengan berpikir reflektif. Oleh karena itu guru harus bisa memfasilitasi siswa untuk berpikir reflektif dalam proses belajar mengajar yang dilakukan di dalam kelas.

Model pembelajaran dengan melibatkan kegiatan berpikir reflektif pada prosesnya yang dibicarakan pada tulisan ini disebut dengan Model Pembelajaran


(22)

Reflektif. Refleksi merupakan suatu bentuk respon individu pada pengalaman, situasi, kejadian, atau informasi baru. Respon yang diberikan individu pada saat mereka belajar akan memberi makna pada pengalaman yang mereka terima saat belajar. Dengan demikian pembelajaran yang terjadi tidak berlalu begitu saja tapi meninggalkan bekas dan menimbulkan pemahaman yang mendalam.

Pendidikan matematika di SD adalah dasar dari pemahaman konsep matematika yang akan dipelajari di jenjang berikutnya. Jika laporan PISA dan TIMSS yang mengatakan siswa usia 15 tahun (sekitar level kelas 3 SMP) tidak bisa menyelesaikan soal yang termudah sekalipun, dapat dikatakan konsep matematika dasar siswa ini sangat bermasalah. Dengan kata lain konsep dasar matematika yang diterimanya di Sekolah Dasar (SD) tidak tertanam dengan baik. Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh suatu gambaran yang kelak mampu menjadi salah satu alternatif bagi pemecahan masalah pendidikan matematika di Indonesia.

Menurut Neale (dalam Zan & Martino, 2007), dalam pendidikan matematika, penelitian pada sikap (attitude) telah dipengaruhi oleh suatu keyakinan (belief) bahwa ‘sesuatu yang disebut ‘sikap’ (attitude) berperan sangat penting dalam pembelajaran matematika’. Hal ini sejalan dengan pendapat Begle (dalam Darhim) yang mengatakan bahwa sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan hasil belajar matematika. Artinya sikap yang baik sangat mempengaruhi performa akademis yang baik pula pada seorang siswa.

Telah diuraikan di atas bahwa pelajaran matematika merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dipahami. Hal ini menimbulkan sikap yang negatif pula


(23)

terhadap pembelajaran yang pada akhirnya mengakibatkan perolehan hasil belajar yang rendah seperti yang ditunjukkan data survey TIMMS ataupun PISA. Oleh karena itu, studi akan sikap siswa dalam pembelajaran juga merupakan hal yang sangat perlu mendapat perhatian pada penelitian ini.

Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian untuk menginvestigasi bagaimana sebenarnya pengaruh model pembelajaran reflektif pada peningkatan pemahaman konsep dan komunikasi matematis pada siswa. Penelitian dengan judul “Model Pembelajaran Reflektif untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Komunikasi Matematis” ini dilakukan pada siswa Sekolah Dasar (SD).

B. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan pemahaman konsep matematis siswa yang mendapat model pembelajaran reflektif lebih baik daripada siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional?

2. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat model pembelajaran reflektif lebih baik daripada siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional?

3. Bagaimana kaitan antara pemahaman konsep matematis dan kemampuan komunikasi matematis siswa?


(24)

4. Bagaimana sikap siswa terhadap kegiatan pembelajaran reflektif yang berlangsung di kelas?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji:

1. Perbedaan peningkatan pemahaman konsep matematis antara siswa yang mendapat model pembelajaran reflektif dan siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional.

2. Perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang mendapat model pembelajaran reflektif dan siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional.

3. Deskripsi kaitan pemahaman konsep siswa dengan kemampuan komunikasi matematisnya.

4. Deskripsi sikap siswa selama kegiatan pembelajaran reflektif berlangsung di kelas.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi guru, dapat dipakai sebagai informasi bagaimana model pembelajaran reflektif dapat diterapkan di dalam kelas dan bagaimana pengaruhnya terhadap siswa.

2. Dapat dijadikan sebagai masukan untuk guru, sebagai alternatif model pembelajaran yang dapat diterapkan di kelas.


(25)

3. Bagi siswa, lewat pembelajaran dengan model ini diharapkan dapat menumbuhkan semangat baru dalam diri siswa dalam memahami matematika, dan melihat bahwa matematika merupakan ilmu real yang bermakna ini erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

E. Definisi Operasional

Berikut ini adalah istilah-istilah yang digunakan pada perumusan masalah dalam penelitian ini:

1. Pemahaman konsep matematis adalah kemampuan untuk menyerap atau memahami ide atau konsep matematis yang kemudian menjadi bagian dari aspek mental pribadinya serta mampu mengaplikasikannya dalam situasi lain, kehidupan nyata, atau dalam pemecahan masalah.

2. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan untuk memahami suatu ide, situasi, atau persoalan matematis kemudian menjelaskannya kembali melalui melalui gambar, grafik, dan ekspresi matematis lainnya, serta kemampuan merepresentasikan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematis.

3. Pembelajaran reflektif adalah pembelajaran matematika dengan melibatkan kegiatan berpikir reflektif dalam prosesnya.

4. Berpikir reflektif merupakan kegiatan berpikir yang berlangsung dengan pertimbangan yang aktif, gigih, dan hati-hati tentang sesuatu (ilmu pengetahuan) untuk menentukan kesimpulan dan tindakan lebih lanjut yang akan dilakukan.


(26)

5. Pembelajaran kovensional adalah pembelajaran yang dilaksanakan di dalam kelas tanpa ada penekanan proses berpikir (dalam hal ini berpikir reflektif). Kegiatan berkisar pada penjelasan konsep oleh guru, pemberian soal contoh, kemudian latihan soal (drill).

6. Sikap adalah perbuatan, minat, tingkah laku, atau emosi yang berdasarkan pendirian (pendapat atau keyakinan).


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi eksperimen dengan desain percobaan pretest-postest control group design. Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan yang berbeda pada dua kelompok sampel kelas homogen yang telah dipilih secara acak. Kelompok yang pertama adalah kelompok eksperimen yang akan mendapat pembelajaran dengan model reflektif sedangkan kelompok kedua adalah kelompok kontrol yang mendapat model pembelajaran konvensional.

Desain penelitian yang akan dilakukan dapat diformulasikan sebagai berikut:

Kelas Eksperimen R : O X O Kelas Kontrol R : O O Keterangan:

R = kelas acak O = pretes/ postes

X = pembelajaran matematika dengan model pembelajaran reflektif

B. Subjek dan Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Dasar (SD) kelas V di Kotamadya Bandung. Pemilihan sampel dengan memperhatikan karakater siswa yang dianggap cocok sebagai subjek dari penelitian ini. Dengan demikian


(28)

terpilihlah salah satu Sekolah Dasar yang berlokasi di kota Bandung, yakni Sekolah Dasar Kristen Trimulia. Pemilihan kelas penelitian dilakukan dengan teknik sampling purposif. Terpilihlah dua kelas dimana satu kelas sebagai kelas experimen dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol. Pemilihan ini dilakukan dengan pertimbangan, selain memenuhi kriteria penelitian model pembelajaran Reflektif, siswa di sekolah ini juga ditempatkan dengan menggunakan sistem pemerataan kemampuan.

Penelitian ini juga dilakukan dengan memperhatikan tahap perkembangan intelektual subjek, yakni siswa kelas V SD. Berdasarkan penelitian yang dilakukaan Piaget (dalam Suherman dan Winataputra, 1992) siswa kelas V SD termasuk dalam tahap Operasi Konkrit. Pada tahap ini anak-anak sudah mampu memahami operasi logis namun dengan bantuan benda-benda konkrit, mampu mengurutkan objek, mengklasifikasi benda , mampu mengikat definisi yang telah ada dan mengungkapkannya kembali, akan tetapi belum mampu merumuskan sendiri definisi tersebut secara tepat, belum mampu menguasai simbol verbal dan ide-ide abstrak. Semua kriteria yang disebutkan di atas tentunya dapat diakomodari oleh Model Pembelajaran Reflektif yang dibahas dalam penelitian ini.

C. Instrumen Penelitian

Beberapa instrumen akan digunakan untuk memperoleh data pada penelitian ini, diantaranya: tes hasil belajar berupa pemahaman konsep dan komunikasi matematis siswa pada awal penelitian dan akhir penelitian, lembar


(29)

observasi aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung, lembar skala pendapat siswa untuk mengetahui respon siswa terhadap kegiatan pada model pembelajaran reflektif.

Soal tes hasil belajar digunakan untuk mengukur pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Soal disusun dalam satu paket soal yang terdiri 5 soal esai untuk mengukur pemahaman konsep matematis dan 5 buah soal esai lain untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa. Materi yang diujikan pada soal merupakan salah satu pokok bahasan pelajaran matematika di semester dua kelas sampel.

Penyusunan tes hasil belajar diawali dengan pembuatan kisi-kisi soal yang mencakup pokok bahasan, kemampuan komunikasi, pemecahan masalah dan indikator. Setelah pembuatan kisi-kisi dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci jawaban dan aturan pemberian skor tiap butir soal.

Pemberian skor atas jawaban soal esai siswa diadaptasi dari rubrik matematika yang terdapat dalam exemplars.com (2001) sebagai berikut:


(30)

Tabel. 3.1 Penskoran untuk Tes

Pemahaman Konsep dan Kemampuan Komunikasi Matematis Skor Pemahaman Konsep Matematis Kemampuan Komunikasi

0 Tidak ada jawaban, atau jawaban tidak ada ada hubungannya dengan pertanyaan pada soal.

Tidak ada penjelasan pada jawaban, penjelasan tidak dapat dimengerti atau tidak berkaitan dengan permasalahan.

1 Konsep yang diterapkan dan atau prosedur yang digunakan tidak sesuai.

Jawaban tidak terarah pada satupun komponen matematis yang terkandung dalam soal.

Representasi matematis (misalnya: bilangan, diagram, grafik, tabel, dan lain sebagainya) yang digunakan tidak bermanfaat atau tidak sesuai. Istilah dan notasi matematis yang

digunakan tidak tepat atau tidak berguna.

2 • Jawaban tidak lengkap yang mengindikasikan ada beberapa bagian dari permasalahan yang tidak dimengerti.

• Jawaban terarah pada beberapa komponen matematis yang terkandung dalam soal, tapi tidak semuanya.

• Ada penjelasan yang tidak lengkap atau disajikan dengan tidak jelas. • Ada penggunaan beberapa

representasi matematis yang tepat. • Ada beberapa penggunaan istilah

dan notasi matematis yang tepat dari permasalahan.

3 • Jawaban menunjukkan bahwa siswa memiliki pemahaman yang luas mengenai pemasalahan dan konsep utama yang dibutuhkan

• Ada penjelasan yang jelas. • Ada penggunaan representasi

matematis yang akurat.


(31)

untuk jawaban tersebut.

• Jawaban diarahkan pada semua komponen matematis yang terkandung dalam tugas.

matematis yang efektif.

4 • Jawaban menunjukkan

pemahaman yang mendalam pada permasalahan termasuk

kemampuan untuk

mengidentifikasi konsep matematis yang tepat dan informasi yang dibutuhkan untuk solusinya. • Jawaban diarahkan pada semua

komponen matematis yang terkandung dalam tugas. • Jawaban menerapkan konsep

matematis dasar tugas pada saat ia dirancang.

• Ada penjelasan yang sangat jelas, efektif dan detail bagaimana permasalahan dipecahkan. Semua langkah ada sedemikian sehingga pembaca tidak harus

menyimpulkan sendiri atau

menduga bagaimana dan mengapa keputusan telah dibuat.

• Representasi matematis digunakan dengan aktif dalam arti

mengomunikasikan gagasan yang berhubungan dengan solusi permasalahan.

• Ada penggunaan istilah dan notasi matematis sesuai dan tepat. Diadaptasi dari model exemplars.com (2001)

a. Pengembangan Bahan Ajar

Pengembangan bahan ajar dan pembatasan materi pelajaran sangat perlu dibuat oleh guru. Pengembangan bahan ajar merupakan patokan sejauh mana kita dapat membuat suatu materi pelajaran memenuhi batasan materi yang akan dilaksanakan atau akan dipelajari di kelas. Sementara itu, batasan materi sangat penting untuk membuat kegiatan di kelas tetap pada fokus utamanya dan menjadi


(32)

batasan penilaian yang akan dilakukan untuk melihat taraf keberhasilan suatu kegiatan pembelajaran.

Penelitian ini memfokuskan pembelajaran dengan berdasarkan kepada prinsip-prinsip model pembelajaran reflektif. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Materi yang akan disampaikan pada saat pembelajaran adalah luas dan keliling persegi dan persegi panjang, sesuai dengan kurikulum yang telah disusun dan berlaku di sekolah tempat penelitian.

Kegiatan pembelajaran ini akan disampaikan dalam bahasa Inggris, namun konten dan aspek bahasa tidak akan menjadi persoalan yang diperhitungkan dalam penelitian ini. Semua bagian dalam tesis ini dituliskan dalam bahasa Indonesia, namun pada saat pembelajaran berlangsung Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dipakai siswa telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

b. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Pada awal penelitian, siswa pada kelas percobaan (eksperimen) dan kelas kontrol akan diberikan pretes sesuai dengan tujuan penelitian. Tahap berikutnya, kelas percobaan akan belajar dengan menggunakan prinsip dan kegiatan sesuai dengan proses pembelajaran reflektif, sedangkan kelas kontrol akan belajar dengan model pembelajaran konvensional. Kemudian kedua kelas akan diberikan postes.


(33)

Berikut ini diberikan diagram yang menggambarkan prosedur penelitian secara umum:

Diagram 3.1 Alur Kegiatan Penelitian

Pembuatan Proposal Seminar Proposal Perbaikan Proposal Penyusunan Instrumen

Uji Coba Instrumen

Perbaikan instrumen berdasarkan hasil analisis uji coba Tes awal (pretes)

Pelaksanaan pembelajaran Konvensional

Pelaksanaan pembelajaran Reflektif

Tes akhir (postes) Analisis data Penulisan laporan


(34)

c. Analisis Data Tes Pemahaman dan Komunikasi Matematis

Data yang diperoleh dibedakan menjadi dua kategori, yaitu data yang bersifat kuantitatif dan data yang bersifat kualitatif. Data yang bersifat kuantitatif yaitu hasil tes awal dan tes akhir. Data yang bersifat kualitatif yaitu angket pendapat dan lembar observasi. Terhadap data-data yang telah diperoleh dilakukan pengolahan sesuai kategori data tersebut. Kemudian data akan diolah dengan menggunakan komputer dengan software yang mendukung.

Pengumpulan data penelitian harus dilakukan dengan serius dan benar. Data inilah yang akan dijadikan sebagai landasan pengambilan keputusan atau kesimpulan dari penelitian yang dilakukan. Secara teori data yang baik harus memenuhi beberapa kriteria tertentu, misalnya validitas dan realibilitasnya harus tinggi.

1. Analisis Validitas Tes

Instrumen disebut valid bila untuk maksud dan kelompok tertentu, mengukur apa yang semestinya diukur; derajat ketepatan mengukurnya benar; validitasnya tinggi. Validitas suatu instrumen berkaitan dengan untuk apa instrumen tersebut dibuat (Ruseffendi, 1994). Suatu instrumen semestinya dibuat untuk menyelidiki sesuatu yang menarik perhatian peneliti. Validitas instrumen mengacu pada kekuatan suatu bukti dalam mendukung kesimpulan yang dibuat peneliti berdasarkan data yang dikumpulkannya dengan menggunakan instrumen tertentu(Fraenkel & Wallen, 2006).


(35)

Validitas butir soal dilakukan untuk melihat sejauh mana dukungan sebuah soal terhadap skor total dan kemudian mencari relasinya dengan menghitung koefisien korelasi Pearson (product moment) yang dilambangkan dengan r dengan rumus (Fraenkel & Wallen, 2006):

rxy =

( )( )

( )

(

)

(

( )

)

− − − 2 2 2 2 y y n x x n y x xy n ……... (1)

Keterangan :

rxy = koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y

= jumlah nilai-nilai x

= jumlah kuadrat nilai-nilai x

= jumlah nilai y

= jumlah kuadrat nilai-nilai y

= jumlah nilai-nilai perkalian antara x dan y n = banyaknya subjek

Jika validitas instrumen telah diperoleh dengan menghitung nilai r-nya, maka nilai r tersebut harus diinterpretasikan. Sebagai patokan menginterprestasikan derajat validitas instrumen, penelitian ini meggunakan kriteria menurut Guilford dan Winarno (Ruseffendi, 1994).


(36)

Tabel. 3.2

Klasifikasi Koefisien Validasi Nilai rxy Interpretasi

0,00 < rxy < 0,20 Sangat rendah

0,20 ≤ rxy < 0,40 Rendah

0,40 ≤ rxy < 0,70 Sedang

0,70 ≤ rxy < 0,90 Tinggi

0,90 ≤ rxy < 1,00 Sangat tinggi

Uji coba instrumen telah dilakukan terhadap 30 orang siswa kelas VI SDK Trimulia Kebonjati, dan hasil perhitungan dengan menggunakan program ANATES Uraian V.4.0.5 diperolehlah gambaran validitas tes pemahaman dan komunikasi matematis seperti yang tertera pada tabel berikut:

Tabel. 3.3

Perhitungan Validitas Uji Coba Tes Pemahaman Matematis No. Butir

Soal Korelasi

Interpretasi

Validitas Signifikansi

1 0,836 Tinggi Sangat Signifikan

2 0,617 Sedang Signifikan

3 0,705 Tinggi Signifikan

4 0,854 Tinggi Sangat Signifikan


(37)

Tabel. 3.4

Perhitungan Validitas Uji Coba Tes Komunikasi Matematis No. Butir

Soal Korelasi

Interpretasi

Validitas Signifikansi

6 0,784 Tinggi Sangat Signifikan

7 0,64 Sedang Signifikan

8 0,808 Tinggi Sangat Signifikan

9 0,769 Tinggi Sangat Signifikan

10 0,647 Sedang Signifikan

Penghitungan dengan program tersebut di atas memperoleh nilai koefisien korelasi r = 0,78 untuk tes pemahaman dan koefisien korelasi r = 0,73 untuk tes komunikasi matematika. Berarti instrumen tes pemahaman dan komunikasi matematis secara keseluruhan memiliki validitas tinggi.

2. Analisis Reliabilitas Tes

Suatu instrumen dikatakan reliabel apabila data yang terkumpulkan dengan menggunakan instrumen tersebut memberikan hasil (skor) yang konsisten. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui koefisien reliabilitas perangkat tes. Penelitian ini menggunakan teknik perhitungan koefisien reliabilitas dengan menggunakan ketetapan intern. Rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien reliabilitas soal tes uraian pada penelitian ini adalah rumus Cronbach Alpha (Ruseffendi, 1994):

r =

              −

2 2 2 1 j i j s s s n n ……….……….… (2)


(38)

Keterangan :

r = koefisien reliabilitas tes secara keseluruhan n = banyak butir soal (item)

2

j

s = varians skor seluruh soal menurut skor siswa perorangan

2

i

s = varians skor soal tertentu (soal ke-i)

2

i

s = jumlah varians skor seluruh soal menurut skor soal tertentu

Dengan varians s dirumuskan (Ruseffendi, 1994): 2j

2 2 2         − =

n x n x sj Keterangan : 2 j

s = varians skor seluruh soal menurut skor siswa perorangan

x 2

= jumlah kuadrat nilai-nilai x

= jumlah nilai-nilai x n = banyak butir soal (item)

Sebagai patokan menginterprestasikan derajat reliabilitas instrumen, penelitian ini meggunakan kriteria menurut Guilford dan Winarno (Ruseffendi, 1994).


(39)

Tabel. 3.5

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas Nilai rxy Interpretasi

0,00 < rxy < 0,20 Sangat rendah

0,20 ≤ rxy < 0,40 Rendah

0,40 ≤ rxy < 0,70 Sedang

0,70 ≤ rxy < 0,90 Tinggi

0,90 ≤ rxy < 1,00 Sangat tinggi

Berdasarkan hasil uji coba reliabilitas butir soal secara keseluruhan untuk instrumen diperoleh nilai realibilitas 0,87 untuk tes pemahaman matematis dan 0,84 untuk tes komunikasi matematis. Kedua nilai realibilitas tersebut termasuk dalam kriteria reliabilitas yang tinggi.

3. Derajat Kesukaran

Setelah mengukur validitas dan reliabilitas instrumen, mengukur derajat kesukaran butir soal adalah hal berikutnya yang harus dilakukan. Derajat kesukaran dinyatakan dengan bilangan yang disebut Indeks Kesukaran (IK). Menurut Ruseffendi (1994) soal yang baik adalah soal yang memiliki derajat kesukaran yang sedang. Tapi untuk menentukan soal yang bagaimana termasuk dalam kategori sedang juga merupakan hal yang sulit.

Pengukuran Indeks Kesukaran (IK) setiap item soal dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan 27% siswa dengan skor yang tertinggi dan 27% siswa dengan skor yang terendah. Wiersma dan Jurs (dalam Matlock-Hetzel,


(40)

1997) mengatakan bahwa pemilihan 27% ini dilakukan karena akan menunjukkan nilai yang maksimal.

Kemudian Indeks Kesukaran untuk soal esai dapat dihitung menggunakan rumus (uiowa.edu):

IK = ∑

( )

Keterangan :

IK = indeks kesukaran butir soal

∑ = jumlah seluruh poin yang diperoleh seluruh siswa yang pada butir soal tersebut

= jumlah siswa Xmax = skor tertinggi

Xmin = skor terendah

Tabel. 3.6

Kriteria Indeks Kesukaran Nilai Indeks

Kesukaran (IK) Interpretasi

IK ≤ 0,30 Sukar

0,30 < IK ≤ 0,70 Sedang

IK > 0,70 Mudah

Ruseffendi (1994) mengatakan bahwa dengan menggunakan rumus di atas, IK = 0 mengindikasikan bahwa butir soal tersebut sangat sulit sehingga semua siswa menjawabnya salah. Sedangkan IK = 1 mengindikasikan bahwa soal ……… (4)


(41)

sangat mudah sehingga semua siswa menjawabnya benar. Soal yang dianggap sedang adalah jika IK-nya mendekati 0,5.

Perhitungan indeks kesukaran uji coba tes pemahaman dan komunikasi matematis dengan menggunakan perangkat ANATES Uraian V.4.0.5 memperoleh gambaran sebagai berikut:

Tabel. 3.7

Tingkat Kesukaran Tiap Butir Soal Pemahaman Matematika Nomor Butir

Soal

Tingkat kesukaran(%)

Interpretasi Tingkat Kesukaran

1 53,13 Sedang

2 31,25 Sedang

3 42,19 Sedang

4 62,50 Sedang

5 65,63 Sedang

Tabel. 3.8

Tingkat Kesukaran Tiap Butir Soal Komunikasi Matematika Nomor Butir

Soal

Tingkat kesukaran(%)

Interpretasi Tingkat Kesukaran

6 59,38 Sedang

7 60,94 Sedang

8 57,81 Sedang

9 29,69 Sukar


(42)

4. Daya Pembeda

Setiap butir soal dengan tingkat kesulitan yang sama mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam membedakan antara siswa yang pintar dan siswa yang lemah. Daya pembeda dicari untuk menentukan seberapa jauh kemampuan butir soal mampu membedakan antara siswa yang menjawab benar dengan siswa yang menjawab salah suatu butir soal tertentu.

Daya pembeda untuk soal esai dapat dihitung dengan rumus (uiowa.edu):

DP = IKp – IKl Keterangan:

DP = Daya Pembeda

IKp = Indeks Kesulitan siswa dari 27% siswa pandai IKl = Indeks Kesulitan siswa dari 27% siswa lemah

Berdasarkan nilai derajat pembeda yang sudah diperoleh, Ebel dan Frisbie memberikan aturan dan saran untuk menentukan kualitas dari suatu butir soal, seperti yang disajikan di bawah ini (Backhoff, Larrazolo, Rosas; 2000):

Tabel. 3.9

Kriteria Daya Pembeda dari Jawaban

DP = Kualitas Rekomendasi

> 0,39 Sangat Baik Dipertahankan 0,30 – 0,39 Baik Baik

0,20 – 0,29 Agak Baik Harus diperiksa ulang atau di-riview 0,00 – 0,19 Lemah Lemah, butuh perbaikan yang sangat besar < 0,00 Sangat Jelek Sangat jelek, harus dibuang

Diadaptasi dari Backhoff, Larrazolo, Rosas (2000)


(43)

Dari perhitungan uji coba tes pemahaman dan komunikasi matematis dengan ANATES Uraian V.4.0.5 diperoleh daftar Daya Pembeda untuk untuk setiap item soal seperti berikut:

Tabel. 3.10

Daya Pembeda Tiap Butir Soal Pemahaman Matematis Nomor Butir Soal DP (%) Interpretasi Daya Pembeda

1 62,50 Sangat Baik

2 18,75 Lemah

3 40,63 Sangat Baik

4 62,50 Sangat Baik

5 43,75 Sangat Baik

Tabel. 3.11

Daya Pembeda Tiap Butir Soal Komunikasi Matematis Nomor Butir Soal DP (%) Interpretasi Daya Pembeda

6 31,25 Baik

7 34,38 Baik

8 46,88 Sangat Baik

9 40,63 Sangat Baik

10 34,38 Baik

Tabel 3.10 dan 3.11 menunjukkan bahwa hanya satu soal saja yang memiliki daya pembeda yang lemah yang kelak tidak akan digunakan kembali pada proses penelitian berikutnya, sementara soal lain memiliki daya pembeda baik dan sangat baik sehingga layak digunakan dalam penelitian.


(44)

d. Rekapitulasi Analisis Hasil Ujicoba Tes

Secara keseluruhan hasil analisis hasil ujicoba tes pemahaman konsep dan kemampuan komuniaksi matematis siswa disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 3.12

Rekapitulasi Analisis Uji Coba Tes Jenis Tes Nomor

Soal

Interpretasi Interpretasi Interpretasi Reliabi litas

TK DP Validitas

Pemahaman Konsep Matematis

1 Sedang Sangat Baik Tinggi

0,87 (tinggi)

2 Sedang Lemah Sedang

3 Sedang Sangat Baik Tinggi 4 Sedang Sangat Baik Tinggi 5 Sedang Sangat Baik Tinggi Kemampuan

Komunikasi Matematis

6 Sedang Baik Tinggi

0,84 (tinggi)

7 Sedang Baik Sedang

8 Sedang Sangat Baik Tinggi 9 Sukar Sangat Baik Tinggi

10 Sedang Baik Sedang

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa instrumen tes pemahaman konsep dan kemampuan komunikasi yang dilaksanakan di SDK Trimulia Kebonjati layak dipakai sebagai acuan pengaplikasian pada proses penelitian berikutnya, kecuali untuk soal nomor 2. Oleh karena itu, pada pretes dan postes di SDK Trimulia HITS Pasteur yang merupakan sampel pada penelitian ini tidak menyertakan soal nomor 2 dalam draf soalnya.


(45)

Sekolah ini merupakan sekolah National plus dan pembelajaran Matematika yang berlangsung sehari-hari adalah Bahasa Inggris. Maka proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas akan berlangsung dengan menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Soal-soal pretes dan postes juga disajikan dalam Bahasa Inggris.

e. Format Observasi

Selama proses pembelajaran, penelitian ini melibatkan observer (pengamat) yang mengamati kegiatan dan suasana belajar yang sedang berlangsung. Observasi dilakukan oleh tiga orang guru matematika dan satu orang guru dari bidang studi lain di SDK Trimulia Bandung. Setiap observer memperoleh lembar observasi yang digunakan untuk mengukur aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Lembar observasi ini dirancang khusus untuk digunakan pada kelas penelitian. Instrumen lembar observasi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran B.

f. Skala Pendapat

Pembelajaran yang baik sangat perlu mempertimbangan pandangan dan pendapat siswa yang merupakan subjek dalam setiap pembelajaran. Pembelajaran yang baik adalah suatu kegiatan yang membelajarkan siswa tanpa beban yang berlebihan. Bahkan idealnya, pembelajaran yang dilakukan hendaknya merupakan rangkaian kegiatan yang menarik, menyenangkan, dan sarat akan ilmu pengetahuan.


(46)

Oleh karena itu, skala pendapat siswa juga sangat penting untuk diteliti dalam penelitian ini. Skala pendapat merupakan pandangan siswa pada model pembelajaran dengan berpikir reflektif ini. Skala pendapat ini digunakan untuk memperoleh data tentang pendapat atau tanggapan siswa terhadap pembelajaran matematika pada umumnya, komponen pembelajaran dengan berpikir reflektif, dan soal-soal pemahamaman dan komunikasi matematis siswa. Skala pendapat ini diberikan setelah seluruh pembelajaran selesai. Skala pendapat ini sangat penting karena sangat mempengaruhi sikap dan tindakan siswa selama belajar.

Langkah pertama dalam menyusun skala pendapat siswa adalah membuat kisi-kisi. Selanjutnya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing mengenai isi dari skala pendapat sehingga skala pendapat yang dibuat sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditentukan, dan akan memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan. Pemberian skor disusun dengan menggabungkan skala yang berarah positif dan negatif, untuk menghindari jawaban siswa yang tidak seimbang. Dalam menganalisis hasil skala ini, skala kualitatif ditransfer ke dalam skala kuantitatif dengan mentransfer skala tersebut berdasarkan distribusi jawaban siswa.

Skala pendapat siswa yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala Likert dengan derajat penilaian siswa terhadap suatu pernyataan terbagi ke dalam 4 (empat) kategori yang tersusun secara bertingkat, mulai dari Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Skala sikap ini terdiri dari pernyataan positif dan negatif, yang harus direspon oleh siswa. Respon siswa terhadap pernyataan positif diberikan skor STS = 1, TS = 2, S = 3, dan SS


(47)

= 4. Sedangkan Respon siswa terhadap pernyataan negatif diberikan skor STS = 4, TS = 3, S = 2, dan SS = 1. Secara lengkap, kisi-kisi dan angket skala kemandirian belajar dapat dilihat pada Lampiran B.

D. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas model pembelajaran reflektif dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional dalam meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Sebelum proses pembelajaran dilaksanakan, kedua kelas sampel diberi pretes. Hal ini dilakukan untuk melihat kemampuan awal siswa di masing-masing kelas sebelum pembelajaran dilakukan. Setelah pembelajaran selesai kemudian siswa diberi postes. Hasil pretes dan postes dinilai sesuai dengan pedoman penilaian yang telah dibuat sebelumnya. Hasil penilaian ini kemudian menjadi data yang akan dianalisis untuk menjawab pertanyaan penelitian yang dibahas pada tulisan ini. Secara umum proses analisis data yang akan dilaksanakan pada penelitian ini adalah sesuai dengan diagram berikut ini:


(48)

Diagram 3.2

Alur Analisis Data Awal dan Gain

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan komunikasi matematis dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Berdasarkan diagram di atas, analisis utama pada penelitian ini adalah uji perbedaan dua rata-rata, dalam hal ini rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sebelum analisis tersebut dilakukan, terlebih

Ya Uji Homogenitas

Uji-t Uji Normalitas

Uji-t

Eksperimen Kontrol

Uji Non-Parametrik (Mann-Whitney) Data

Normal

Tidak

Ya Data Homogen

Tidak


(49)

dahulu diuji normalitas dan homogenitas data. Jika data berdistrubusi normal dan homogen maka akan menggunakan uji-t, jika data berdistribusi normal namun tidak homogen maka akan menggunakan uji-t’.

Jika data tidak berdistribusi normal maka akan menggunakan uji statistik non-parametrik, sehingga normalitas dan homogenitas data tidak menjadi persoalan. Ada beberapa cara menguji perbedaan rata-rata dengan metode non-paramentrik yang bisa dipilih penggunaannya sesuai dengan jenis data yang ada. Pada penelitian ini, data yang akan diambil berasal dari dua buah sampel bebas dari sebuah populasi, jenis skala interval, dan kedua peubah dalam sampel adalah kontinu. Oleh karena itu uji non-parametrik yang akan digunakan adalah uji Mann-Whitney.

Pada saat data sudah diperoleh maka sebelum menguji hipotesis percobaan, normalitas dan homogenitas data kedua sampel akan terlebih dahulu diuji dengan cara berikut:

1) Menguji normalitas distribusi data

Normalitas distribusi data skor kedua kelompok penelitian diuji dengan menggunakan statistik

χ

2(Sudjana, 1996), dirumuskan:

2

χ

=

= − k i i i i E E O 1 2 ) ( Keterangan

Oi = Skor dari hasil pengamatan

Ei = Skor yang diharapkan


(50)

Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : Data berasal dari populasi yang berdistribusi normal H1 : Data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal

Kriteria Uji:

Dengan dk = (k-3) dan taraf = 0,05, terima H0 bila χhitung2 <

2

tabel

χ dalam hal lainnya tolak H0 (Sudjana, 1996).

2). Menguji Homogenitas Varians data

Homogenitas varians skor kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diuji dengan menggunakan statistik F (Sudjana, 1996) dengan rumusan seperti berikut ini:

2 2

k b

s s F =

Keterangan:

2

b

s = Varians terbesar

2

k

s = Varians terkecil Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : Varians kedua kelompok sampel homogen H1 : Varians kedua kelompok sampel tidak homogen Dengan rumusan:

H0: = H1: ≠


(51)

……….………..… (8)

……….………..… (9) Kriteria Uji:

Terima H0 bila Fhitung < Ftabel, dengan dk1= (n1-1) dan dk2= (n2-1) serta taraf =

0,05, dalam hal lainnya tolak H0 (Sudjana, 1996).

Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas data di atas, jika data berdistribusi normal dan homogen maka digunakan uji-t. Pengujian dilakukan dengan pola uji dua pihak yang kriteria uji-nya; terima H0 jika − <

!"# $ ≤ , dengan derajat kebebasan (dk) = n – 1, dalam hal lain maka tolak H0. Nilai !"# $ diperoleh dengan rumusan sebagai berikut (Sudjana, 1996):

= %̅ %̅

'( ) dengan

* = (( )' )() )'

Rumusan di atas dipakai karena variansi popolasi tidak diketahui namun diasumsikan besarnya sama.

Keterangan:

t = thitung

̅ = rata-rata nilai x1

̅ = rata-rata nilai x2

s = simpangan baku gabungan s1 = simpangan baku sampel ke-1 s2 = simpangan baku sampel ke-2 n1 = jumlah sampel ke-1


(52)

……….………….... (10) n2 = jumlah sampel ke-2

Jika data berdistribusi tapi tidak homogen, maka uji-t diatas diganti dengan uji-t’, dengan rumusan sebabagai berikut:

′ = %̅ %̅

(,' ⁄ .),' ⁄ . Kriteria pengujiannya; terima H0 jika:

−/ − // +/ < ′ < −/ − // +/

dengan:

/ = * ⁄ ; / = * ⁄

= , .,( ) = , .,( ) (Sudjana, 1996)

Sperti yang telah diuraikan sebelumnya, apabila distribusi data tidak normal maka akan menggunakan uji non-parametrik. Sesuai dengan data yang ada, maka untuk menguji perbedaan dua rata-rata akan menggunakan uji Mann-Whitney (U). Uji Mann-Mann-Whitney (U) merupakan uji non-parametrik yang cukup kuat sebagai pengganti uji-t, dalam hal asumsi distribusi-t tidak dipenuhi (Ruseffendi, 1993). Uji ini dirumuskan dengan:


(53)

atau

2 = + ( ) )− 3

Keterangan:

U1 = Nilai uji Mann-Whitney untuk sampel 1 (kelas eksperimen) U2 = Nilai uji Mann-Whitney untuk sampel 2 (kelas kontrol) n1= sampel ke-1

n2= sampel ke-2

R1 = Jumlah ranking pada sampel n1 R2 = Jumlah ranking pada sampel n2

Kriteria pengujian: Tolak Ho jika UhitungUtabel. Nilai 2"4567 dapat diperoleh dari

tabel Mann-Whitney. Namun untuk penelitian ini, kriteria pengujian menggunakan aproksimasi normal nilai z, yaitu tolak H0 jika 8 !"# $ ≤ −8( ). Dalam hal ini 8 !"# $ diperoleh dengan menggunakan rumus di bawah ini:

8 !"# $ = 9 ( (:; )

Inti dari penelitian ini adalah untuk menguji bagaimana peningkatan pemahaman konsep matematis dan kemampuan komunikasi matematis siswa dengan penerapan model pembelajaran reflektif dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Untuk itu data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis dengan menggunakan gain score (skor gain) ternormalisasi (N-gain). ……….………… (12)


(54)

Data skor gain ternormalisasi diperoleh dengan mengolah data pretes dan postes dengan menggunakan rumusan menurut Meltzer (2002) di bawah ini:

< = =>?@ =>AB = C@ =>AB

Keterangan :

g = skor gain ternormalisasi

DEF' = skor postes

DEG6 = skor pretes

DH4I' = skor ideal

Tingkat perolehan skor gain ternormalisasi dikategorikan dalam tiga kategori, yaitu:

Tabel 3.13

Kriteria Nilai skor gain ternormalisasi Nilai g Kriteria (g) > 0,70 Tinggi 0,30 < (g) ≤ 0,70 Sedang (g) ≤ 0,30 Rendah

Pada akhirnya uraian teknik analisis di atas akan digunakan untuk menguji hipotesis penelitian berikut ini:


(55)

a. Data awal

1) H0: Skor rata-rata pretes pemahaman konsep matematis siswa kelas ekperimen tidak berbeda dengan siswa kelas kontrol

H1: Skor rata-rata pretes pemahaman konsep matematis siswa kelas ekperimen berbeda dengan siswa kelas kontrol

Dengan rumusan pasangan hipotesis sebagai berikut: H0: J = J

H1: J ≠ J

2) H0: Skor rata-rata pretes pemahaman konsep matematis siswa kelas ekperimen tidak berbeda dengan siswa kelas kontrol

H1: Skor rata-rata pretes kemampuan komunikasi matematis siswa kelas ekperimen berbeda dengan siswa kelas kontrol

Dengan rumusan pasangan hipotesis sebagai berikut: H0: J = J

H1: J ≠ J

b. Data peningkatan (gain)

1) H0: Peningkatan pemahaman konsep matematis siswa yang mendapat model pembelajaran reflektif tidak berbeda dengan siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional


(56)

H1: Peningkatan pemahaman konsep matematis siswa yang mendapat model pembelajaran reflektif lebih baik daripada siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional

Dengan rumusan pasangan hipotesis sebagai berikut:

H0: J = J

H1: J > J

2) H0: Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat model pembelajaran reflektif tidak berbeda dengan siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional.

H1: Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat model pembelajaran reflektif lebih baik daripada siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional.

Dengan rumusan pasangan hipotesis sebagai berikut: H0: J = J

H1: J > J

Sebagai catatan tambahan untuk pengujian hipotesis peningkatan, kriteria pengujian yang dilakuan adalah uji satu pihak.

Sejatinya kompetensi yang ingin dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari dua aspek, yaitu pemahaman konsep matematis dan kemampuan komunikasi matematis. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pemahaman matematis dengan kemampuan kemampuan komunikasi matematis


(57)

siswa baik melalui pembelajaran reflektif maupun melalui pembelajaran konvensional dapat dilakukan dengan menghitung koefisien korelasinya.

Penghitungan koefisien korelasi dua peubah dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melihat karakteristik data yang telah dikumpulkan. Pada penelitian ini data yang terkumpulkan kedua-duanya kontinu dan kuantitatif, sehingga jika kedua kelompok data berdistribusi normal maka koefisien korelasi akan dihitung dengan produk momen Pearson. Rumusannya (Ruseffendi, 1993) adalah sebagai berikut:

Keterangan :

r = koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y

= jumlah nilai-nilai X

= jumlah kuadrat nilai-nilai X

∑ L = jumlah nilai Y

∑ L = jumlah kuadrat nilai-nilai Y

∑ L = jumlah perkalian nilai-nilai X dan Y N = banyaknya pasangan nilai-nilai

Penghitungan koefisien korelasi Pearson hanya dapat dilakukan jika data berdistribusi normal. Namun jika tidak maka kaitan (hubungan) antara

M = N ∑ L − (∑ )(∑ L)

(N ∑ − (∑ ) x(N ∑ L − (∑ L)


(58)

pemahaman konsep dan kemampuan komunikasi matematis siswa akan dicari melalui koefisien korelasi peringkat Spearman yang biasa disebut juga dengan koefisien korelasi rho Spearman (Ruseffendi, 1993). Rumusannya adalah sebagai berikut:

Keterangan :

ME = koefisien korelasi peringkat Spearman N = banyak pasangan

d = selisih peringkat

Sebagai patokan menginterprestasikan derajat koefisien korelasi yang diperoleh pada penelitian ini akan meggunakan kriteria menurut Winarno (Ruseffendi, 1994) seperti yang tertera pada tabel berikut ini:

Tabel. 3.14

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas Nilai r Interpretasi r = 0,00 Tidak berkorelasi 0,00 < r < 0,20 Rendah sekali 0,20 ≤ r < 0,40 Rendah 0,40 ≤ rxy < 0,70 Sedang

0,70 ≤ rxy < 0,90 Tinggi

0,90 ≤ rxy < 1,00 Tinggi sekali

r = 1,00 Sempurna

……….………..… (16)


(59)

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, mengenai perbedaan peningkatan pemahaman konsep dan kemampuan komunikasi antara siswa yang mendapat model pembelajaran reflektif dan siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional, serta pendapat siswa terhadap pembelajaran model pembelajaran reflektif, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat peningkatan pemahaman konsep matematis siswa baik pada siswa yang mendapat model pembelajaran reflektif maupun siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional. Peningkatan pemahaman konsep matematis siswa yang mendapatkan model pembelajaran reflektif lebih baik daripada siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional.

2. Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa baik pada siswa yang mendapat model pembelajaran reflektif maupun siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan model pembelajaran reflektif lebih baik daripada siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional.


(60)

matematis siswa di kelas ekperimen pada kategori tinggi, sementara di kelas kontrol berkategori sedang.

B. Saran

Dari hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan, dikemukakan beberapa saran berikut:

1. Seperti yang telah diuraikan di atas, model pembelajaran ini cenderung sangat melelahkan bagi siswa sekolah dasar, oleh karena itu untuk penerapannya diperlukan tambahan kegiatan ringan seperti permainan. Hal ini penting supaya pembelajaran ini dapat berlangsung sesuai kebutuhan siswa yang pada usia sekolah dasar memang masih sangat membutuhkan hal-hal yang ringan dan menyenangkan.

2. Penerapan model pembelajaran reflektif bukan sesuatu yang mudah, oleh karena itu perlu dilaksanakan pelatihan yang intensif kepada guru-guru yang bersedia untuk menerapkan model pembelajaran ini.

3. Untuk guru-guru bidang studi matematika, model pembelajaran reflektif dapat digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan komunikasi matematis siswa tingkat sekolah dasar ataupun tingkat yang lebih tinggi. Agar lebih mudah dalam pelaksanaannya manfaatkan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang ada di sekolah untuk bekerja sama dalam mempersiapkan LKS dan perlengkapan pembelajaran reflektif lainnya.


(61)

dengan model pembelajaran ini untuk aspek kemampuan matematis lainnya, seperti: kemampuan pemecahan masalah, penalaran, koneksi, dan lain sebagainya.

5. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, penelitian ini dilakukan di sekolah bertaraf National Plus, dimana bahasa pengantar yang dipakai dalam proses pembelajarannya menggunakan Bahasa Inggris. Oleh karena itu, untuk penelitian berikutnya penting sekali memperhatikan aspek bahasa Bahasa Inggris yang digunakan selama proses pembalajaran dalam mempengaruhi keberhasilan belajar Matematika siswa di sekolah tersebut.


(62)

Alfeld, Peter. (2004). Understanding Mathematics. Tersedia, http://www.math. utah. edu / ~pa/math.html. [Desember 2009]

Barmby, Harries, Higgins, & Suggate. (2007). How Can We Assess Mathematical Understanding?. Tersedia, http://www.emis.de/proceedings/PME31/2/41. pdf . [ November 2009]

Chairhany, Siti. (2007). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Logis Matematis Siswa Melalui Model Pembelajaran Generatif (Studi Eksperimen di MAN Tembilahan INHIL RIAU). Tesis pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Clark, Jacob, Pittman, & Borko. (2005). Strategies for Building Mathematical Communication in the Middle School Classroom: Modeled in Professional Development, Implemented in the Classroom. Tersedia,

http://www.kennesaw.edu/education/mge/napomle/cimle/fall2005/clark_fa 05.pdf. [29 Novermber 2009]

Cockcroft, Dr. W. H. (1982). Mathematics Counts. Her Majesty's Stationery Office: London. Tersedia, http://www.educationengland.org.uk/ documents/cockcroft/cockcroft00.html. [Mei 2009]

Darhim. Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap Sikap Siswa Sekolah Dasar. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Tersedia,http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATI KA/195503031980021-DARHIM/Makalah_Artikel/Jurnal

SikapSiswa.pdf. [Agustus, 2011]

Eriadi. (2008). Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Exemplar.com.(2004).NCTM Standard Rubric. Tersedia,

http://www.exemplars.com/resources/rubrics/nctm.html. [Maret 2010] Fitriani, Andhin Dyas. (2009). Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Melalui Model Pembelajaran Means-Ends Analysis (Studi Eksperimen Pada Siswa Kelas VIII di Salah Satu SMP di Kota Bandung). Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alfeld, Peter. (2004). Understanding Mathematics. Tersedia, http://www.math. utah. edu / ~pa/math.html. [Desember 2009]

Barmby, Harries, Higgins, & Suggate. (2007). How Can We Assess Mathematical Understanding?. Tersedia, http://www.emis.de/proceedings/PME31/2/41. pdf . [ November 2009]

Chairhany, Siti. (2007). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Logis Matematis Siswa Melalui Model Pembelajaran Generatif (Studi Eksperimen di MAN Tembilahan INHIL RIAU). Tesis pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Clark, Jacob, Pittman, & Borko. (2005). Strategies for Building Mathematical Communication in the Middle School Classroom: Modeled in Professional Development, Implemented in the Classroom. Tersedia,

http://www.kennesaw.edu/education/mge/napomle/cimle/fall2005/clark_fa 05.pdf. [29 Novermber 2009]

Cockcroft, Dr. W. H. (1982). Mathematics Counts. Her Majesty's Stationery Office: London. Tersedia, http://www.educationengland.org.uk/ documents/cockcroft/cockcroft00.html. [Mei 2009]

Darhim. Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap Sikap Siswa Sekolah Dasar. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Tersedia,http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATI KA/195503031980021-DARHIM/Makalah_Artikel/Jurnal

SikapSiswa.pdf. [Agustus, 2011]

Eriadi. (2008). Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Exemplar.com.(2004).NCTM Standard Rubric. Tersedia,

http://www.exemplars.com/resources/rubrics/nctm.html. [Maret 2010] Fitriani, Andhin Dyas. (2009). Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Melalui Model Pembelajaran Means-Ends Analysis (Studi Eksperimen Pada Siswa Kelas VIII di Salah Satu SMP di Kota Bandung). Tesis pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.


(2)

Fraenkel & Wallen. (2007). How to Design and Evaluate Research in Education (Sixth Edition). McGraw-Hill: New York.

Freudenthal, Hans. (1991). Revisiting Mathematics Education. China Lectures. Kluwer Academic Publisher: The Netherlands.

Fuson, K. C., Kalchman, M. & Bransford, J. D. (2005). Mathematics understanding: An introduction. In M. S. Donovan & J. D. Bransford (Eds.), How students learn mathematics in the classroom (pp. 217-256). Washington, DC: National Academies Press. Tersedia, http://www.nap.edu/catalog/11101.html.

Giles, Jr. and Eyler. (1994). The Theoretical Roots of Service-Learning in John Dewey: Toward a Theory of Service Learning, Vanderbilt University. Michigan Journal of Community Service Learning Fall 1994, Vol. 1, No. 1, pp. 77-85.

Given, Barbara K. (2002). Brain-Based teaching. Kaifa : Bandung.

Godino, Juan. Mathematical Concept, Their Meanings, and Understanding. (In L. Puig y A. Gutierrez (Eds.), Proceedings of XX Conference of the

International Group for the Psychology of Mathematics Education. (v.2, pp. 417-425)). Universidad de Valencia. Tersedia,

www.ugr.es/~jgodino/articulos_ingles/meaning_understanding.pdf. [29 November 2009]

Har, Yeap Ban. (2007). The Singapore Mathematics Curriculum and Mathematical Communication. Tersedia,

http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math/apec/apec2008/index_en.php. [5 Desember 2009]

Harrison, Marilyn. (1992). Skemp Activities for the Intelligent Learning of Mathematics. Tersedia, http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ ericdocs2sql/content_storage_01/0000019b/80/15/b3/96.pdf. [Januari 2010]

Kilpatrick, Swafford, and Findell, editors. (2001). Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics. National Academy Press: Washington, DC. Tersedia, http://www.nap.edu/catalog/9822.html. [Januari 2010]

Kurnia, Ingridwati. (2004). Pengembangan Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Reflektif Mahasiswa S1-PGSD pada Mata Kuliah Penelitiann Tindakan Kelas. Tersedia, http://www.puslitjaknov .org/data/file/2008/makalah_peserta/54_Ingridwati%20Kurnia_PENGEM BANGAN%20MODEL%20PEMBELAJARAN%20UNTUK%20.pdf. [November, 2009]


(3)

lc.unsw.edu.au. (2008). Reflective Writing. Tersedia, http://www.lc.unsw.edu.au /onlib/reflect.html. [ Juni 2009 ]

Matlock-Hetzel, Susan. (1997). Basic Concept in Item and Test Analysis. Tersedia,

http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/custom/portlets/recordDetails/det ailmini.jsp?_nfpb=true&_&ERICExtSearch_SearchValue_0=ED406441& ERICExtSearch_SearchType_0=no&accno=ED406441. [juni 2009] McGuire, Lay, and Peters. (2009). Pedagogy of reflective writing in professional

education. Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 9, No. 1, January 2009, pp. 93 – 107. Tersedia,

http://eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_storage_01/000001 9b/80/45/3c/bb.pdf . [Oktober 2009]

Meltzer, David E. (2002). The relationship between mathematics preparation and conceptual learning gains in physics: A possible ‘‘hidden variable’’ in diagnostic pretest scores. Am. J. Phys., Vol. 70, No. 12, December 2002. Tersedia, http://ojps.aip.org/ajp/.[Juli, 2011]

Michener, Edwina Rissland. (1978). Understanding Understanding Mathematics. Massachusetts Institute of Technology: Cambridge, Massachusetts.

Mogen, Niss. (1995). Goals of Mathematics Teaching. IMFUFA, Roskilde Universitetscenterz: Danmark.

Mullis, Ina V.S., Martin, Michael O., Foy, Pierre. (2007) TIMMS 2007 International Mathematics Report. Boston College: United States. Tersedia, http://timssandpirls.bc.edu. [Juni 2009]

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Virginia.

Nelissen, J. M. C.. (1999). Thinking Skill in Realistic Mathematics. Tersedia , www.fi.uu.nl/publicaties/literatuur/6259.pdf . [ Juni 2006 ]

Odafe, Victor U. (2007). Teaching and Learning Mathematics: Student Reflection Adds a New Dimension. Tersedia, math.unipa.it/~grim/21_project/ 21_charlotte_OdafePaperEdit.pdf. [Juni 2009]

Pranata, Oyon Haki. (2007). Pembelajaran Berdasarkan Tahan Belajar Van Hiele untuk Membantu Pemahaman Siswa Sekolah Dasar dalam Konsep Geometri Bangun Datar (Penelitian Tindakan Kelas di Kelas V SD Negeri Sukahening Tasikmalaya). Tesis pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.


(4)

Pidarta, Made. (1997). Landasan Kependidikan. Rineka Cipta: Jakarta.

Porteous, Keith (2008). Understanding Mathematics. University of Hull. Tersedia,http://people.exeter.ac.uk/PErnest/pome23/Porteous%20

Understanding%20Mathematics.doc. [November 2009]

Qohar, Abd. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman Koneksi dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMPMelalui Reciprocal Teaching. Disertasi pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, H. E. T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Tinggi.

Ruseffendi, H. E. T. (1994). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta lainnya. IKIP Semarang Press: Semarang.

Sabilulungan, Ari. (2008). Pembelajaran Kooperatif denga Teknik Think-Pair-Square (TPS) untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMP (Eksperimen terhadap siswa kelas VIII di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bandung). Tesis pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

saide.org.za. (2008). Unit Two: Developing Understanding in Mathematics. From the module: Teaching and Learning Mathematics in Diverse Classrooms. Tersedia, http://www.oerafrica.org/SharedFiles/ResourceFiles/35967 /33354/33334/Unit%202%20SAIDE%20ACEMaths%20Aug%202008%2 0fin.doc. [ Januari 2009 ]

Sarwono. (2007). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran dalam Kelompok Kecil dengan Strategi Mastery Learning. Tesis pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Setiawan, Andri. (2008). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Komuniakasi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama. Bandung: Tidak Diterbitkan.

SEDL Letter Volume 3, Issue 2 (2000). Action + Reflection = Learning. Tersedia, http://www.sedl.org. [Januari 2009]

Shadiq, Fajar. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Departemen Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Tidak Diterbitkan.


(5)

Skemp, Richard R., (1976), Relational Understanding and Instrumental Understanding. Department of Education, University of Warwick. Tersedia, http://math.coe.uga.edu/Olive/EMAT3500f08/instrumental-relational.pdf [Desember 2009]

Soekirno, Ichary. (2004). LANDSCAPE DIMENSI MATEMATIKA DALAM DIMENSI PEMBANGUNAN, Matematika-Masyarakat-Budaya-IPTEK, Makalah pada seminar FPMIPA UPI, Bandung.

Sofyan, Deddy. (2008). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama (Eksperimen terhadap siswa kelas VIII di satu SMPN di Kabupaten Garut). Tesis pada PPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Song, Koszalka, Grabowski. (2005). Exploring Instructional Design Factors Prompting Reflective Thinking in Young Adolescents. Canadian Journal of Learning and Technology, Vol 31, No. 2, 49-68, Spring. Tersedia, http://www.cjlt.ca/index.php/cjlt/article/viewArticle/140/133. [Mei 2009] Stoddard, Dr. Shari S.. (2002). Reflective Thinking Within an Art Methods Class

for Preservice Elementary Teachers. Curriculum, Research and Development Reflective Thinking / Methods Class. Tersedia, www.hiceducation.org/edu_proceedings/Shari%20S.%20Stoddard2.pdf. [Juli 2009]

Suherman, Erman dan Winataputra, Udin. (1992). Strategi Belajar Mengajar Matematika, Penerbit Universitas Terbuka, Depdikbud: Jakarta.

Suherman, Erman. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI, 2003.

Sudjana (1996). Metoda Statistika. Tarsito: Bandung.

Sugiatno, (2007). Obyek Belajar Matematika. Makalah. Pontianak: FKIP Universitas Tanjung Pura Pontianak

Tall, David. (1994). Understanding the Processes of Advanced Mathematical Thinking. International Congress of Mathematicians, Zurich.

uiowa.edu. (2004). Preparing and Evaluating Essay Test Questions, Technical Bulletin #36. Tersedia, http://www.uiowa.edu/~examserv/Level_2/ resources/Technical%20Bulletins/Tech%20Bulletin%2036.pdf. [Juni 2010]

Widjaja, Y. B., dan Heck, A., (2003). How a Realistic Mathematics Education Approach and Microcomputer-Based Laboratory Worked in Lessons on


(6)

Graphing at an Indonesian Junior High School. Tersedia , http://staff.science.uva.nl/~heck/Researh/art/JSMESA.pdf. [ 28 Juli 2006 ] Zan & Martino. (2007). Attitude Toward Mathematics: Overcoming The Positive/

Negatif Dichotomy. The Montana Mathematics Enthusiast, ISSN 1551-3440, Monograph 3, pp.157-168. The Montana Council of Teachers of Mathematics. Tersedia, http://www.math.umt.edu/tmme/Monograph3/ Zan_Monograph3_pp.157_168.pdf. [ 21 Agustus 2011]