IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS BIOGRAFIS NILAI-NILAI KEJUANGAN SULTAN BABULLAH DALAM MEMBANGUN PATRIOTISME DAN NASIONALISME : Penelitian Inquiry Kualitatif Pembelajaran IPS Sejarah di SMA Negeri 3 Ternate.

(1)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK iii

UCAPAN TERIMA KASIH iv

DAFTAR ISI vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Kerangka Berpikir ... 11

F. Metode Penelitian ... 13

G. Lokasi dan sampel Penelitian ... 14

BAB II LANDASAN TEORETIS ... 17

A. Pembelajaran Sejarah Berbasis Biografis... 17

B. Membangun Nilai-Nilai Patriotisme dan Nasionalisme ... 21

1. Konsep tentang Nilai ... 24

2. Patriotisme dan Nasionalisme ... 30

C. Biografi Sultan Babullah ... 44

1. Masa Muda ... 44

2. Kematian Sultan Khairun ... 45

3. Kebangkitan Sultan Babullah ... 46

4. Sultan Babullah dan Masa Keemasan Ternate ... 48

5. Ternate Pasca Babullah ... 50

D. Pembelajaran Sejarah Lokal ... 51

1. Konsep Pembelajaran Sejarah Lokal ... 51

2. Tujuan Pembelajaran Sejarah Lokal ... 57

3. Jenis-Jenis Sejarah Lokal ... 62


(2)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 84

A. Metode Penelitian ... 84

B. Definisi Operasional ... 87

1. Pembelajaran Berbasis Biografis ... 87

2. Nilai-nilai Kejuangan... 88

3. Sultan Babullah ... 88

4. Patriotisme ... 89

5. Nasionalisme ... 90

C. Prosedur Penelitian ……….. 91

1. Tahap Persiapan ………. 91

2. Tahap Pelaksanaan ... 91

3. Tahap Pelaporan ... 92

D. Rancangan Penelitian ... 92

E. Subjek Penelitian ... 93

F. Teknik Pengumpulan Data ... 94

1. Observasi ... 95

2. Wawancara ... 95

3. Studi Dokumenter ... 96

G. Instrumen Penelitian ... 97

H. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 99

1. Analisis Sebelum di Lapangan ... 100

2. Analisis Selama di Lapangan ... 100

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 106

A. Gambaran Umum SMA Negeri 3 Ternate ... 106

B. Temuan Penelitian ………... 108

1. Implementasi Pembelajaran Berbasis Biografis Sultan Babullah Dalam Pembelajaran Sejarah di SMAN 3 Ternate ...………... 108 2. Pembelajaran Nilai-nilai Kejuangan Sultan Babullah dalam


(3)

di SMA Negeri 3 Ternate ………... 125

3. Kendala Dalam Pengembangan Pembelajaran Sejarah Berbasis Biografis di SMA Negeri 3 Ternate ………... 129

C. Pembahasan Hasil Penelitan ... 136

1. Implementasi Pembelajaran Berbasis Biografis Sultan Babullah Dalam Pembelajaran Sejarah di SMAN 3 Ternate ...………... 136

1. Pembelajaran Nilai-nilai Kejuangan Sultan Babullah dalam Membangun Patriotisme dan Nasionalisme bagi Siswa di SMA Negeri 3 Ternate ……… 143

2. Kendala Dalam Pengembangan Pembelajaran Sejarah Berbasis Biografis di SMA Negeri 3 Ternate ………… 148

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 161

A. Kesimpulan ... 161

B. Saran-Saran ……….. 162

DAFTAR PUSTAKA ... 164 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Jiwa patriotisme dan nasionalisme mayoritas masyarakat Indonesia saat ini sangat rapuh baik generasi muda maupun generasi tuanya. Salah satu solusi agar dapat keluar dari krisis tersebut adalah menanamkan jiwa patriotisme dan nasionalime pada seluruh warga bangsa, khususnya pada generasi muda. Dengan demikian, salah satu langkah efektif untuk membangun dan menanamkan jiwa nasionalisme kepada generasi muda adalah lewat dunia pendidikan.

Pendidikan dituntut mampu melahirkan output siswa yang memiliki jiwa patriotisme dan nasionalisme yang kuat. Hal tersebut sangat urgen bagi masa depan bangsa dan negara sebab apabila siswa tidak memiliki semangat tersebut, dipastikan krisis disintegrasi dan krisis multidimensional yang hingga kini berkecamuk serta meruntuhkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara akan terulang lagi di masa yang akan datang.

Pendidikan selain merupakan wadah untuk menuntut ilmu pengetahuan, pendidikan juga merupakan tempat menggodok dan menyiapkan generasi bangsa dan calon pemimpin bangsa. Seperti pendapat Rusli Karim (1991:31), pendidikan sesungguhnya bertugas menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan tertentu dalam masyarakat di masa mendatang.

Di sisi lain sebagaimana pemahaman umum, berbicara pendidikan secara otomatis juga membicarakan soal nasib bangsa. Dalam istilah yang sangat populer, sebagaimana negara, itulah sekolah, atau sebagaimana sekolah itulah


(5)

negara. Sebagaimana pendapat Plato dan Aristoteles; ”What you want in the state, you must put in to the school”. (dalam Saifuddin Alia & Ulin Nuha, 2006).

Kemerosotan moral siswa yang kerap terjadi seakan-akan merupakan kegagalan lembaga pendidikan dalam membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat. Jika dikaji secara detail, penyebab kemerosotan moral pada diri anak bukan hanya karena adanya penurunan akhlak dan kurangnya pemahaman terhadap nilai agama tapi juga menurunnya rasa patriotisme dan nasionalisme dalam diri. (Winenburg, 2008).

Dengan rasa patriotisme dan nasionalisme yang tinggi, anak akan lebih menjaga dirinya sehingga kecil kemungkinannya mereka akan melakukan hal yang tidak berguna. Terhadap sesama teman, mereka akan merasa senasib seperjuangan sebagai bangsa Indonesia yang utuh. Adanya rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi antar anak membuat salah satu di antara mereka tidak tega menyakiti yang lainnya.

Pada zaman perjuangan kemerdekaan, bangsa Indonesia terbukti berhasil mencapai kemerdekaan karena adanya rasa patriotisme dan nasionalime, rasa persatuan dan kesatuan yang kuat. Perbedaan suku, agama dan daerah asal tidak pernah dipersoalkan. Satu hal yang mereka rasakan saat itu yaitu rasa cinta terhadap tanah air dan rasa persaudaraan di antara sesama bangsa Indonesia.

Apalagi rasa cinta pada diri sendiri mulai pupus dengan mengkonsumsi obat-obat terlarang, bahkan tak perduli walaupun dengan menyakiti fisik sendiri. Terlebih lagi, kehormatan diri dan keluarga seakan bukan masalah yang harus


(6)

dipertaruhkan. Jadi boleh dikatakan bahwa bangsa Indonesia sekarang ini, tidak hanya menderita karena krisis ekonomi, tetapi juga mengalami krisis moral.

Menurut Winenburg (2008:11), masalah moral harus diperhatikan setiap manusia, karena baik buruknya moral setiap pribadi menentukan kualitas suatu bangsa. Nilai moral bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Karena dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila pada siswa maka mereka dapat bertindak dan bersikap sebagai makhluk Tuhan serta sebagai bagian dari komunitas sebuah Negara. Dalam hubungannya dengan bangsa dan negara setiap pribadi juga dituntut untuk mempunyai rasa patriotisme dan kebangsaan atau nasionalisme.

Patriotisme adalah kecintaan kepada Bangsa dan Negara Indonesia, melintasi kecintaan pada suku-suku bangsa. Sedangkan nasionalisme secara teoritis adalah persatuan secara kelompok dari suatu bangsa yang mempunyai sejarah, bahasa dan pengalaman bersama. (Blank & Schmidt, 2003). Patriotisme dan nasionalisme bangsa Indonesia merupakan perwujudan rasa cinta bangsa Indonesia terhadap negara dan tanah air berdasarkan Pancasila. Patriotisme dan nasionalisme yang dilandasi Pancasila menuntun siswa untuk memiliki sikap menjunjung tinggi nilai keikhlasan atau semangat pengorbanan, kemanusiaan, tenggang rasa, dan merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia.

Menurut Benedict Anderson: Nation (bangsa) adalah suatu komunitas politik yang terbatas dan berdaulat yang dibayangkan (immagined communities). Komunitas ini dikatakan sebagai imagined communities sebab tidak mungkin


(7)

seluruh warga dalam suatu komunitas dapat saling mengenal, saling berbicara, dan saling mendengar. Akan tetapi, mereka memiliki bayangan yang sama tentang komunitas mereka. Suatu bangsa dapat terbentuk, jika sejumlah warga dalam suatu komunitas mau menetapkan diri sebagai suatu bangsa yang mereka angankan atau bayangkan.

Pendapat Benedict Anderson dalam Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1984). Nasionalisme adalah salah satu kekuatan yang menentukan dalam sejarah modern. Paham ini berasal dari Eropa Barat pada abad ke-18. Selama abad ke-19 ia telah tersebar di seluruh Eropa dan dalam abad ke-20,ia telah menjadi suatu pergerakan dunia.

Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi inividu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Sebelum lahir paham nasionalisme, kesetiaan orang tiak ditujukan kepada negara kebangsaan, tetapi kepada berbagai bentuk kekuasaan sosial, organisasi politik atau raja feodal, kesatuan ideologi seperti suku atau clan, negara kota, kerajaandinasti, gereja atau golongan keagamaan.

“Kesatuan kultural” dan “kedaulatan politik” merupakan dua kata kunci yang penting untuk memahami nasionalisme. Nasionalisme dalam pengertian kedaulatan kultural akan berbicara mengenai semangat kebangsaan yang timbul dalam diri sekelompok suku atau masyarakat karena mereka memiliki kesamaan kultur. Mengacu pada pengertian ini, Indonesia jelas tidak menganut paham nasionalisme dalam artian kesamaan kultur. Kita memiliki pluralitas budaya dan


(8)

etnis yang memustahilkan kita berbicara mengenai semangat kebangsaan atas dasar persamaan kultur.

Pengertian kedua adalah nasionalisme dalam arti kedaulatan politik. Berdasarkan pengertian ini, suatu kelompok masyarakat menentukan sikap politik mereka atas dasar nasionalisme, entah nasionalisme kultural atau nasionalisme politik untuk memperjuangkan terbentuknya sebuah negara yang independen. Itu berarti baik kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan kultur maupun yang multi kultur dapat memiliki nasionalisme dalam artian kedaulatan politik ini. Menurut pengertian ini, Indonesia termasuk yang memiliki nasionalisme dalam arti kedaulatan politik. Demikian pula halnya dengan negara-negara lain yang memiliki keragaman kultur.

Penanaman moral melalui seruan agama sudah banyak dilakukan oleh para guru di sekolah dan para da’i serta pemuka di lingkungan masyarakat. Tetapi membuka kembali sejarah berdirinya bangsa dan negara Indonesia banyak terlupakan. Padahal pengalaman para pejuang bangsa merupakan pelajaran yang tak kalah besar peranannya dalam membentuk moral, watak dan peradaban bangsa yang bermartabat.

Anderson (1999: 15) menyatakan, jika generasi muda, khususnya siswa mengetahui betapa beratnya perjuangan untuk mencapai kemerdekaan yang sekarang mereka nikmati, tentu mereka akan menghargai arti kemerdekaan dan tidak menyia-nyiakan kemerdekaan dengan kegiatan yang tidak berarti. Patriotisme dan nasionalisme dapat menyadarkan generasi muda bahwa terbentuknya Negara Indonesia tidak terjadi tiba-tiba, melainkan melalui tahapan


(9)

yang panjang. Mereka harus tahu bahwa kemerdekaan ini telah dibayar dengan tetes darah para pahlawan. Mereka harus sadar bahwa di tangan merekalah masa depan bangsa dan negara.

Salah satu yang paling penting untuk pembinaan jiwa patriotisme dan nasionalisme adalah di lingkungan pendidikan, yaitu dengan menjelaskan pada generasi muda tentang pahlawan-pahlawan atau para pejuang yang telah merelakan jiwa dan raga mereka untuk hal itu.

Pada proses belajar mengajar (PBM) terutama dalam pelajaran sejarah, guru harus menjelaskan sebaik mungkin sehingga peserta didik merasakan semangat perjuangan itu, merasakan dan membayangkan sulitnya perjuangan para pahlawan dalam memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Berbagai pengorbanan dilakukan, dengan berbagai nilai-nilai luhur yang menyertainya. Dengan demikian, peserta didik menyadari perlunya mengisi kemerdekaan ini dan memberikan yang terbaik untuk bangsa seperti yang pernah dilakukan para pejuang terdahulu. (Winenburg, 2008: 15).

Winenburg (2008: 16) menilai, selama ini sejarah yang diajarkan di sekolah kurang bermakna bagi siswa. Ironis sekali, siswa diajak untuk mempelajari asal-usul daerah lain, namun tidak memahami asal usul daerahnya sendiri. Di sisi lain juga muncul persoalan terkait dengan kecurigaan dari kelompok tertentu yang merasa tidak diuntungkan dalam kurikulum. Dengan demikian objektivitas karya sejarah juga perlu diperhatikan. Guru sebagai ujung tombak dalam pembelajaran sejarah juga tidak memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengembangkan materi dan metode pembelajaran, karena


(10)

guru kurang memiliki pemahaman teori dan metodologi sejarah. Di sinilah persoalan pembelajaran sejarah menjadi semakin rumit. Siswa sebagai salah satu komponen dalam sistem pembelajaran juga merasa bosan karena belajar sejarah hanya menghafalkan nama-nama tokoh, angka-angka tahun, dan benda-benda peninggalan yang kusam. Oleh karena itu, perlu sekali merubah paradigma dalam pembelajaran sejarah yang dapat memberikan stimulus siswa untuk mempelajari sejarah, diantaranya siswa diajak untuk mampu memparalelkan sejarah dunia, dengan sejarah nasional dan sejarah lokal dengan metode yang inovatif.

Sehubungan dengan pembelajaran sejarah lokal tersebut, maka penting untuk mengangkat berbagai sejarah kesultanan yang merupakan bagian dari rangkaian kejadian di bumi Indonesia. Salah satu kesultanan yang paling berpengaruh pada abad ke 14 - 15 yang penting untuk dikaji adalah Kesultanan Ternate. Dibawah kepemimpinan Sultan Babullah Ternate mereka berhasil melawan kolonialisme dan mengusir kaum penjajah (Portugis) di bumi Moloku Kie Raha (sekarang Maluku Utara).

Sultan Babullah bukanlah seseorang yang hidup pada masa gerakan Budi Oetomo atau Kebangkitan Nasional, apalagi pada masa Revolusi Kemerdekaan tahun 1945, pada masa-masa itu dikenal dengan era bangkitnya Patriotisme dan Nasionalisme. Tetapi Sultan Babullah hidup jauh sebelum masa-masa itu. Namun demikian, bukan berarti bahwa sejarah perjuangan Sultan Babullah tidak dapat dikaitkan dengan Patriotisme dan Nasionalisme. M. Adnan Amal (2007: 64) mengatakan, semangat juang yang dimiliki Sultan Babullah serta nilai-nilai luhur yang diperjuangkannya untuk membebaskan rakyatnya dari belenggu penjajahan


(11)

merupakan aspek penting yang dapat kita sejajarkan dengan perjuangan nasional atau nasionalisme.

Menurut Atjo (2009: 107-108) Sultan Babullah yang bernama lengkap Babullah Datu Syah diangkat menjadi Sultan Ternate pada tahun 1570 menggantikan ayahnya Sultan Khairun yang dibunuh Portugis pada tanggal 28 Februari 1570. Sejak tahun 1570 sampai 1575 terjadi perang antara kerajaan Ternate dan Portugis. Pembunuhan Sultan Khairun ini semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugis, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Babullah, pos-pos Portugis di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur, setelah peperangan selama 5 (lima) tahun, akhirnya Portugis meninggalkan Maluku untuk selamanya pada tahun 1575.

Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama putera-puteri Nusantara atas kekuatan Barat. Di bawah pimpinan Sultan Babullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan Marshall dibagian timur, dari Philipina (Selatan) dibagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara dibagian selatan. Sultan Babullah berhasil menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, disamping Ternate dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme barat. (Atjo, 2009: 108)


(12)

Berhubungan dengan tujuan-tujuan dan seperangkat hal penting sebagaimana diurai di atas, penelitian ini kemudian dilaksanakan untuk mengetahui bagaimana implementasi pembelajaran sejarah berbasis biografis di sekolah (SMU Negeri 3 Ternate), dalam kaitannya dengan dampak positif terhadap semangat patriotisme dan nasionalisme siswa, juga mengenai kendala-kendala yang relatif dihadapi dalam pembelajaran tersebut. Posisi peneliti bukan sebagai pros atau cons, namun untuk melihat kemungkinan bahwa pembelajaran melalui studi biografi nilai-nilai kejuangan Sultan Babullah penting untuk dipertimbangkan, guna menumbuhkembangkan semangat patriotisme dan nasionalisme siswa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian singkat pada bagian di atas, maka dapat kiranya dirumuskan permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakan implementasi pembelajaran berbasis biografis Sultan Babullah di SMAN 3 Ternate?

2. Bagaimana pembelajaran nilai-nilai kejuangan Sultan Babullah dalam membangun patriotisme dan nasionalisme siswa di SMAN 3 Ternate? 3. Kendala apakah yang dihadapi oleh siswa dan guru dalam penerapan


(13)

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap nilai-nilai kejuangan Sultan Babullah dan dampak positif terhadap semangat patriotisme dan nasionalisme siswa. Sementara itu, tujuan-tujuan khusus penelitian ini dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui implementasi pembelajaran berbasis biografis Sultan Babullah di SMAN 3 Ternate.

2. Untuk mengetahui pembelajaran nilai-nilai kejjuangan Sultan Babullah dalam membangun patriotisme dan nasionalisme siswa SMAN 3 Ternate 3. Untuk mengetahui kendala dalam pengembangan dan aplikasi

pembelajaran sejarah berbasis biografis di SMAN 3 Ternate

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan sejarah lokal, khususnya sejarah Sultan Babullah. Pembelajaran sejarah berbasis biogrfi pejuang memuat nilai pendidikan moral, patriotisme, dan nasionalisme kedaerahan. Sejarah memiliki manfaat pendidikan yang merupakan landasan prilaku atau moral, sebagaimana Francis Bacon sebutkan bahwa “histories make man wise.” Oleh karena itu, secara teoretis, penelitian ini bermanfaat selain untuk membangun wawasan kesejarahan lokal, juga memampukan siswa dan guru untuk memahami betapa pentingnya nilai-nilai perjuangan pejuang masa lalu, guna menumbuhkembangkan semangat patriotisme dan nasionalisme.


(14)

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memperkenalkan nilai-nilai kejuangan yang terkandung dalam sejarah lokal, khususnya sejarah perjuangan Sultan Babullah. Dengan mengenal sejarah lokal berbasis biografi pejuang, maka siswa dapat menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, yang diwujudkan dalam bentuk kelanggengan hubungan sosial, minimalisir bentrokan antar pelajar (tawuran massal), dan juga pemahaman kesejarahan itu sendiri. Intinya, penelitian ini, sebagaimana pada bagian kesimpulan, mengungkap bahwa pembelajaran sejarah berbasis biografis berguna untuk meningkatkan semangat patriotisme dan nasionalisme siswa.


(15)

PARADIGMA PENELITIAN

Perjuangan Sultan Babullah dalam mengusir kaum penjajah

Menurunnya rasa Patriotisme dan Nasionalisme dalam diri siswa

Kemerosotan moral siswa (dilihat dari perilaku dalam kehidupan sehari-hari)

Pembelajaran berbasis biografis yang

mengandung nilai-nilai kejuangan Sultan Babullah

Siswa lebih mengenal dan mencintai nilai-nilai historis daerahnya

Tumbuhnya kesadaran sejarah lokal dalam rangka kesadaran sejarah nasional kaitannya dengan semangat Patriotisme dan Nasionalisme siswa

INPUT PROSES OUTPUT


(16)

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Inkuiri Kualitatif. Desain penelitian kualitatif ini bersifat alamiah dimana peneliti tidak berusaha memanipulasi setting penelitian, kondisi/situasi obyek yang diteliti benar-benar merupakan kejadian, komunitas, interaksi yang terjadi secara alamiah, hal ini dikarenakan metode kualitatif berusaha memahami fenomena-fenomena dalam kejadian alami yang wajar. Menurut Lincoln & Guba (1985) inkuiri kualitatif merupakan pendekatan yang berorientasi pada penemuan yang meminimalisir manipulasi peneliti atas objek penelitian/studi. Inkuiri interaktif kualitatif merupakan suatu pendalaman studi yang mempergunakan teknik face-to-face (bertatap muka) untuk mengumpulkan data dari orang-orang yang diteliti.

Prosedur penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini antara lain melalui tiga tahapan yaitu : tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pelaporan.

Teknik pengumpulan data merupakan langkah strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang ditetapkan. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan studi dokumentasi.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah di lapangan dalam hal ini Nasution (2003) menyatakan bahwa analisis telah dirumuskan dan menjelaskan


(17)

masalah sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penelitian dan hasil penelitian dicapai. Dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data.

G. Lokasi dan Sampel Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Adapun yang dijadikan lokasi dalam penelitian ini adalah, SMA Negeri 3 Ternate Kota Ternate Propinsi Maluku Utara, aspek pelakunya adalah Guru Pendidikan IPS-Sejarah, dan siswa SMA Negeri 3 Ternate yang terlibat interaksi belajar mengajar dan dari aspek kegiatan adalah proses Pembelajaran IPS-Sejarah. Dasar pertimbangan memilih SMA Negeri 3 Ternate adalah salah satu sekolah yang berada di Kota Ternate yang menerapkan pembelajaran sejarah lokal berbasis biografi

2. Subjek Penelitian

Berdasarkan rancangan pendekatan kualitatif inkuiri (Lincoln dan Guba 1985, Moleong 1997, Nasution 1996, Bogdan dan Biklen 1990) bahwa yang dimaksud dengan dan dijadikan subjek penelitian hanyalah sumber data yang dapat memberikan informasi atau yang dapat membantu perluasan teori yang dikembangkan. Subjek penelitian dapat berupa hal, peristiwa, manusia dan situasi yang diobservasi atau responden yang dapat di wawancara. Sumber penelitian ini merupakan sumber informasi atau data yang di tarik dan dikembangkan secara purposif (Lincoln dan Guba, 1985:201), bergulir hingga mencapai titik jenuh dimana informasi telah dikumpulkan secara tuntas (Nasution, 1988 : 32)


(18)

Berdasarkan pendapat tersebut yang menjadi subjek penelitian yakni siswa kelas 2 IPS , Guru, kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, dan sumber bahan cetak (kepustakaan) yang meliputi: Jurnal, hasil penilitian terdahulu, buku teks, disertasi, tesis, yang berkaitan dengan masalah, pembelajaran sejarah berbasis bibliografi Sultan Babullah dalam meningkatkan semangat patriotisme dan nasionalisme.

Dalam penelitian kualitatif tidak mengunakan istilah populasi, tetapi oleh Spradley dalam Sugiyono (2005:49) dinamakan ”sosial situation” atau situasi sosial yang terdiri dari atas tiga elemen yaitu : tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial dalam penelitian ini adalah tempat (place) yaitu sekolah, aktivitas (activity) yaitu proses belajar mengajar, pelaku (actors) yaitu guru dan murid. Sampel dalam penelitian ini adalah nara sumber, atau pertisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian. (Lincoln dan Guba 1985) mengemukakan bahwa :

”Naturalistic sampling is, then, very different from conventional sampling, it is based on informational, not statistical, considerations Its purpose is maximize information, not to facilitate generalization”.

Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif sangat berbeda dengan penentuan sampel dalam penelitian konvensional (kuantitatif). Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum, bukan untuk di generalisasikan. Lincoln dan Guba (1985), dalam penelitian kualitatif spesifikasi sampel purposive, yaitu 1) Emergent sampling design/sementara, 2) Serial selection of sampel units/menggelinding seperti bola salju (snow ball), 3)


(19)

Continuous adjustment or’focusing’ of the sampel/ disesuaikan dengan kebutuhan, 4) Selection to the point of redundancy/dipilih sampai jenuh.


(20)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Kualitatif inkuiri. karena metode ini dipandang tepat untuk dijadikan dasar tilikan bagi peneliti. Karena masalah yang diteliti memerlukan pengungkapan secara komprehensif dan mendasar.

Creswell (1998:15) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut : “Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distincet mefhological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyses words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting“.

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian yang menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks yang bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah.

Selanjutnya Moleong (1996:5) menjelaskan mengenai pendekatan kualitatif sebagai berikut :

“Penelitian kualitatif berakar pada latar belakang alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengandalkan analisis secara induktif, mengarahkan sesama penelitian pada usaha menemukan teori-teori dari dasar yang bersifat deskriftif, lebih mengutamakan proses dari pada hasil, membatasi fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data,


(21)

rencana penelitiannya di sepakati oleh kedua belah pihak, peneliti dan subjek peneliti”.

Desain penelitian kualitatif ini bersifat alamiah dimana peneliti tidak berusaha memanipulasi setting penelitian, kondisi/situasi objek yang diteliti benar-benar merupakan kejadian, komunitas, interaksi yang terjadi secara alamiah, hal ini dikarenakan metode kualitatif berusaha memahami fenomena-fenomena dalam kejadian alami yang wajar. Menurut Lincoln & Guba (1985) inkuiri kualitatif merupakan pendekatan yang berorientasi pada penemuan yang meminimalisir manipulasi peneliti atas objek penelitian/studi.

Sejalan dengan ungkapan di atas , Bogdan dan Biklen (1982:3) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif untuk pendidikan sesuai dengan karakteristik masalah yang dikaji. Lebih lanjut Bogdan dan Biklen (1982:27-29), secara operasional mengemukakan lima karateristik utama dari penelitian kualitatif, yaitu sebagai berikut :

1. Qualitative research has the natural setting as the direct source of data and researcher is the key instrument.

2. Qualitative research is descriptive. The data collected is in the form of words or picture rather than number.

3. Qualitative research are concerned with process rather than simply with outcomes or productss.

4. Qualitative research tend to analyze their data inductively 5. ”Meaning” is of essential to the qualitative approach.

Berdasarkan karakteristik metode kualitatif di atas, menyiratkan bahwa sangat berperannya peneliti dalam implementasinya, data yang dikumpulkan cenderung dalam bentuk kata-kata, lebih menekankan proses dari pada hasil, analisis induktif dengan mengungkapkan makna dari keadaan yang diamati, serta mengungkapkan makna sebagai hal yang essensial.


(22)

Menurut Lincoln & Guba (1985), metode Inkuiri kualitatif dapat digolongkan menjadi dua yaitu Inkuiri interaktif dan noninteraktif. Model Inkuiri kualitatif ini penting karena mempunyai suatu sejarah yang terkemuka, dalam satu disiplin dan jurnal yang telah terkenal, buku, dan metodologi khusus yang menggolongkan pendekatannya.

Inkuiri interaktif kualitatif merupakan suatu pendalaman studi yang mempergunakan teknik face-to-face (bertatap muka) untuk mengumpulkan data dari orang-orang yang diteliti. Para peneliti kualitatif membangun suatu kompleks, gambar holistic dengan uraian perspektif penutur asli yang terperinci. Beberapa peneliti kualitatif mendiskusikan secara terbuka nilai-nilai tersebut dan kemudian membentuk naratifnya. Para peneliti interaktif menguraikan konteks studinya, serta menggambarkan perspektif yang berbeda dari fenomena, dan secara terus menerus meninjau kembali pertanyaan dari pengalaman mereka di bidang tersebut.

Adapun Inkuiri noninteraktif merujuk pada penelitian analitis, menyelidiki konsep dan peristiwa historis melalui suatu analisis dokumen. Para peneliti mengidentifikasi studi, lalu manyatukan data untuk menyediakan suatu pemahaman konsep atau suatu peristiwa masa lampau yang boleh atau tidak boleh akan menjadi tampak secara langsung. Dokumen yang dibuktikan keasliannya merupakan sumber utama dari data. Peneliti menginterpretasikan “fakta” untuk menyediakan penjelasan tentang masa lampau dan menjelaskan makna kolektif di bidang pendidikan yang bisa jadi praktik isu dan arus dasar.


(23)

Contoh dari penelitian analitis termasuk analisis konsep dan analisis sejarah. Analisis konsep adalah merupakan studi konsep kependidikan seperti – “pembelajaran”, “kelompok kemampuan”, dan “kepemimpinan” untuk menguraikan makna yang berbeda dan penggunaan yang sesuai dari konsep itu. Analisis sejarah meliputi kumpulan sistem dan kritisme dokumen yang dijelaskan setelah kejadian. Sejarahwan pendidikan mempelajari program kependidikan, praktek, institusi, orang-orang, kebijakan, dan pergerakan. Hal ini ditafsirkan yang biasanya dalam konteks sejarah, ekonomi, sosial, militer, kecenderungan teknologi, dan politik. Pengujian analisis menyebabkan tindakan lebih lanjut, sering dikaitkan antara kejadian sekarang.

B. Definisi Operasional

Untuk memperoleh suatu kesamaan pandangan dari penafsiran yang berbeda dalam penelitian ini, maka peneliti perlu membuat batasan definisi yang akan dipergunakan dalam penelitian ini.

1. Pembelajaran Berbasis Biografis

Pembelajaran berbasis biografis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu proses pembelajaran yang berusaha mengangkat sejarah dan nilai-nilai kejuangan (biografi) dari seorang tokoh atau pahlawan untuk diintegrasikan ke dalam pembelajaran sejarah dalam hal ini sejarah lokal. Hal ini bertujuan agar peserta didik dapat memetik pelajaran atau makna dibalik perjuangan para tokoh dimaksud untuk diaplikasikan dalam konteks kekinian.


(24)

2. Nilai-Nilai Kejuangan

Nilai adalah sesuatu yang berharga, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Menurut Bambang Daroeso (1986) sifat-sifat nilai antara lain: a) Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu. Misalnya, orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai, tetapi kita tidak bisa mengindra kejujuran itu. Yang dapat kita indra adalah kejujuran itu.

b) Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal (das sollen). Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya, nilai keadilan. Semua orang berharap dan mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan nilai keadilan.

c) Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya. Misalnya, nilai ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan.

Dari uraian diatas, maka yang dimaksud dengan nilai-nilai kejuangan dalam penelitian ini adalah nilai-nilai yang dilandasi oleh semangat juang atau semangat kepahlawanan, seperti: ikhlas, rela berkorban, teguh, percaya diri dll. 3. Sultan Babullah

Sultan Babullah adalah sultan dan penguasa Kesultanan Ternate ke-24 yang berkuasa antara tahun 1570 - 1583, ia merupakan sultan Ternate dan Maluku terbesar sepanjang sejarah yang berhasil mengalahkan Portugis dan mengantarkan Ternate ke puncak keemasan di akhir abad ke-16. Ia lahir pada tanggal 10 Februari 1528, putera dari Sultan Khairun (1535-1570) dengan permaisurinya Boki Tanjung, puteri Sultan Alauddin I dari Bacan.


(25)

Sultan Babullah wafat pada awal tahun 1583. Adapun penyebab maupun tempat dan tanggal kematiannya masih diperdebatkan. Ia adalah satu-satunya putera Nusantara yang meraih kemenangan mutlak atas kekuatan barat. Keberhasilannya mengantarkan Ternate menjadi kerajaan besar dan mencapai puncak kejayaan bukanlah satu-satunya tanda kebesarannya. Ia telah berhasil menanamkan rasa percaya diri rakyatnya untuk bangkit menghadapi kekuasaan asing yang ingin menguasai kehidupan mereka. Sultan Babullah adalah simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan bangsa asing. Ia tak sudi tunduk pada kekuasaan asing dan menempatkan dirinya sejajar dengan mereka, menjadi tuan di negeri sendiri. Sepeninggal Sultan Babullah tak ada lagi pemimpin lain di Ternate maupun Maluku yang sekaliber dia. Para penggantinya tak mampu berbuat banyak mempertahankan kebesaran Ternate.

4. Patriotisme

Patriotisme berasal dari kata Patriot, yang artinya adalah: pecinta dan pembela tanah air. Sedangkan Patriotisme maksudnya adalah semangat cinta tanah air. Jadi pengertian Patriotisme dalam penelitian ini adalah sikap untuk selalu mencintai atau membela tanah air, seorang pejuang sejati, pejuang bangsa yang mempunyai semangat, sikap dan perilaku cinta tanah air, dimana ia sudi mengorbankan segala-galanya bahkan jiwa sekalipun demi kemajuan, kejayaan dan kemakmuran tanah air, Indonesia. (Astriani, 2009).

Sedangkan menurut Cohen & Nussabaum (1996), Patriotisme adalah sikap yang berani, pantang menyerah dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Patriotisme berasal dari kata "patriot" dan "isme" yang berarti sifat kepahlawanan


(26)

atau jiwa pahlawan, atau "heroism" dan "patriotism" dalam bahasa Inggris. Pengorbanan ini dapat berupa pengorbanan harta benda maupun jiwa raga.

5. Nasionalisme

Nasionalisme merupakan manifestasi kesadaran nasional yang mengandung cita-cita dan pendorong bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan maupun sebagai pendorong untuk membangun dirinya maupun lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya. (Habermas, 1996 dalam Nana Supriatna, 2007). Nasionalisme yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nasionalisme dalam arti luas, yaitu nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.

Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa: menempatkan persatuan kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan; bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa rendah diri; mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa; menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia; mengembangkan sikap tenggang rasa; tidak semena-mena terhadap orang lain; dan merasa pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.


(27)

C. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini antara lain melalui tiga tahapan yaitu :

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan lengkap mengenai masalah yang hendak diteliti. Tahap ini diawali dengan penjajakan lapangan untuk menentukan permasalah atau fokus penelitian yang meliputi: pemilihan masalah, studi pendahuluan, dan penyusunan proposal.

2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian. Pengumpulan data atau informasi melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Untuk memudahkan penelitian dalam hal ini peneliti berusaha untuk memahami hal-hal berikut, yakni : a) pemahaman latar belakang penelitian dan persiapan diri dengan maksud untuk menghindarkan dari data-data yang kurang diperlukan, data yang terkumpul semata-mata dari sudut pandang informan tanpa mempengaruhinya. b) tata cara memasuki lapangan, dalam hal ini peneliti berusaha untuk membuat suasana yang lebih akrab serta tetap dalam posisi sebagai peneliti. c) peran serta dan pengumpulan data, dalam hal ini peneliti berusaha memperhitungkan waktu, tenaga dan biaya dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan.


(28)

3. Tahap Pelaporan

Kegiatan ini merupakan kegiatan akhir dalam penyusunan tesis yang kemudian diikuti dengan pencetakkan dan penggandaan laporan untuk dikomunikasikan pada pihak lain.

D. Rancangan Penelitian

Penelitian ini berusaha mengkaji dan mendeskripsikan secara sistematis tentang Pembelajaran Sejarah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kasus atau lebih dikenal dengan studi kasus yang berusaha mengungkapkan dan mengkaji pelaksanaan pembelajaran Sejarah. Berkaitan dengan ini Nasution (1982:31-38) menjelaskan bahwa studi kasus (case study) adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisme, lembaga atau gejala tertentu. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa studi kasus merupakan bentuk penelitian yang mendalam tentang aspek lingkungan sosial termasuk didalamnya manusia. Pada dasarnya tujuan penelitian kasus adalah mencoba memberikan gambaran yang jelas mengenai karakteristik khas dari suatu kasus yang diteliti dengan memberikan gambaran dan peristiwa apa adanya.

Frey et.al (Mulyana, 2001:202) menjelaskan bahwa pendekatan studi kasus menyediakan peluang untuk menerapkan prinsip umum terhadap situasi-situasi spesifik atau contoh-contoh yang disebut kasus-kasus. Selanjutnya Ragin (Mulyana, 2001:203) menyatakan bahwa metode berorientasi kasus bersifat holistik, metode ini menganggap kasus sebagai identitas menyeluruh dan bukan sebagai kumpulan bagian-bagian (atau kumpulan skor mengenai variabel).


(29)

E. Subjek Penelitian

Berdasarkan rancangan pendekatan kualitatif inkuiri (Lincoln dan Guba 1985, Moleong 1997, Nasution 1996, Bogdan dan Biklen 1990) bahwa yang dimaksud dengan dan dijadikan subjek penelitian hanyalah sumber data yang dapat memberikan informasi atau yang dapat membantu perluasan teori yang dikembangkan. Subjek penelitian dapat berupa hal, peristiwa, manusia dan situasi yang diobservasi atau responden yang dapat di wawancara. Sumber penelitian ini merupakan sumber informasi atau data yang di tarik dan dikembangkan secara purposif (Lincoln dan Guba, 1985:201), bergulir hingga mencapai titik jenuh dimana informasi telah dikumpulkan secara tuntas (Nasution, 1988 : 32) Berdasarkan pendapat tersebut yang menjadi subjek penelitian yakni siswa kelas 2 IPS , Guru, kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, dan sumber bahan cetak (kepustakaan) yang meliputi: draf sejarah, jurnal, hasil penilitian terdahulu, buku teks, disertasi, tesis, yang berkaitan dengan masalah, pembelajaran sejarah berbasis biografi Sultan Babullah dalam meningkatkan semangat patriotisme dan nasionalisme.

Dalam penelitian kualitatif tidak mengunakan istilah populasi, tetapi oleh Spradley dalam Sugiyono (2005:49) dinamakan ”sosial situation” atau situasi sosial yang terdiri dari atas tiga elemen yaitu : tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial dalam penelitian ini adalah tempat (place) yaitu sekolah, aktivitas (activity) yaitu proses belajar mengajar, pelaku (actors) yaitu guru dan murid. Sampel dalam penelitian


(30)

ini adalah nara sumber, atau pertisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian. (Lincoln dan Guba 1985) mengemukakan bahwa :

”Naturalistic sampling is, then, very different from conventional sampling, it is based on informational, not statistical, considerations Its purpose is maximize information, not to facilitate generalization”.

Penentuan sample dalam penelitian kualitatif (naturalistik) sangat berbeda dengan penentuan sampel dalam penelitian konvensional (kuantitatif). Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum, bukan untuk di generalisasikan. Lincoln dan Guba (1985), dalam penelitian naturalistik spesifikasi sampel purposive, yaitu 1) Emergent sampling design/sementara, 2) Serial selection of sampel units/menggelinding seperti bola salju (snow ball), 3) Continuous adjustment or’focusing’ of the sample/ disesuaikan dengan kebutuhan, 4) Selection to the point of redundancy/dipilih sampai jenuh.

F. Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data penelitian ini disesuaikan dengan jenis penelitian. Data yang dihimpun dalam penelitian ini berupa kata-kata, tindakan dan dokumen, situasi dan peristiwa yang dapat diobservasi Moleong,(1982:122) dan Nasution,(1988:56). Sumber data yang di maksud adalah :

Kata-kata diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui wawancara, dan observasi.

Dokumen berupa kurikulum, Satuan Pembelajaran, Rencana Pelajaran, Buku Paket dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Situasi yang berhubungan dengan kegiatan subjek penelitian dan masalah penelitian seperti dalam proses belajar mengajar, situasi belajar di perpustakaan dan situasi di lingkungan sekolah.


(31)

Teknik pengumpulan data merupakan langkah strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang ditetapkan. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. 1. Observasi

Nasution (1988) menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Teknik observasi terdiri dari 4 (empat) macam yaitu (1) Observasi partisipatif, (2) Observasi terus terang, (3) Observasi tersamar, (4) Observasi terstruktur. Secara umum observasi adalah tindakan mengamati dan mendengar perilaku seseorang selama beberapa waktu tanpa melakukan manipulasi atau pengendalian serta mencatat penemuan yang memungkinkan atau memenuhi syarat untuk digunakan kedalam penafsiran analisis.

2. Wawancara

Dalam penelitian kualitatif, teknik observasi saja tidak cukup karena mengingat teknik observasi juga memiliki kekurangan, ”misalnya sering terjadi kecenderungan terganggunya suasana, sehingga data tidak lagi alami dan mungkin beberapa responden merasa terancam karena perilakunya terdekumentasikan” (Alwasilah, 2002: 155). Pengambilan data harus juga dilakukan dengan wawancara demikian dikatakan Nasution (1988), itu sebabnya observasi harus dilengkapi oleh wawancara. Dengan observasi saja tidak memadai dalam


(32)

melakukan wawancara peneliti dapat memasuki dunia pikiran dan perasaan responden. Dengan demikian teknik wawancara semakin mempertegas data yang telah diperoleh dari informan, tetapi juga dapat membuka informasi baru yang lebih akurat. Nasution menulis tujuan wawancara adalah untuk mengetahui apa yang terkandung dalam hati dan pikiran orang lain, bagaimana pandangannya tetntang hal-hal yang tidak dapat kita ketahui melalui observasi (Karnedi, 2006 : 66). Lincoln dan Guba (Moleong, 2005 : 186) mengemukakan:

“Manfaat wawancara adalah mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, ... merekonstruksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang ... memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain. Jadi apa yang sempat teramati diharapkan dapat muncul dalam wawancara, begitu sebaliknya”.

Dan untuk lebih efektifnya hasil sebuah wawancara, peneliti akan melengkapi diri dengan beberapa alat-alat bantu wawancara seperti buku catatan, tape recorder, komputer (notebook), dan kamera.

3. Studi Dokumeneter

Studi dokumenter merupakan teknik yang digunakan untuk mengkaji dan mencari data mengenai hal-hal atau catatan-catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Guba dan Lincoln, (1985 : 276 – 277) mengatakan bahwa dokumentasi dan catatan digunakan sebagai pengumpul data didasarkan pada beberapa hal yakni:

a) Dokumen dan catatan ini selalu dapat digunakan terutama karena mudah

diperoleh dan relatif lebih murah.

b) Merupakan info yang mantap baik dalam pengertian merefleksikan situasi secara akurat maupun dapat dianalisis ulang tanpa melalui perubahan didalamnya.


(33)

c) Dokumen dan catatan merupakan sumber informasi yang kaya. Keduanya merupakan sumber resmi yang tidak dapat disangkal, yang menggambarkan kenytaan formal.

d) Tidak seperti pada sumber manusia, baik dokumen maupun catatan non kreatif, tidak memberikan reaksi dan respon atau perlakuan peneliti.

Penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan informasi-informasi yang berguna. Banyak dokumen resmi dan laporan yang oleh sebagian orang dipandang sebagai arsip yang tidak berguna, namun bagi peneliti ini sangat penting untuk memahami aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok populasi tertentu, yang faktanya tersimpan di dalam dokumen. Adapun dokumen yang peneliti maksudkan yakni arsip-arsip pembelajaran sejarah di sekolah dan arsip lainnya yang dapat memberikan gambaran tentang inti dari penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga tingkat validitas data yang nantinya akan dikumpulkan oleh peneliti.

G. Instrumen Penelitian

Ada dua hal yang utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian, yaitu kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data menilai kualitas data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.

Guba dan Lincoln (1981:128) menjelaskan, bahwa peneliti diperankan sekaligus sebagai instrument. Peneliti berusaha untuk responsif dapat


(34)

menyesuaikan diri, menekankan keutuhan, mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan memproses data secepatnya dan memanfaatkan kesempatan untuk mengklasifikasikan dan mengikhtisarkan.

Moleong (2006:169) menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa manusia dijadikan sebagai instrument dikarenakan :

1. Manusia sebagai instrument responsif terhadap lingkungan dan terhadap pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan.

2. Manusia sebagai instrument hampir tidak terbatas dapat menyesuaikan diri pada keadaan dan situasi pengumpulan data.

3. Manusia sebagai instrument memanfaatkan imajinasi dan kreativitasnya dan memandang dunia sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konteks yang berkesinambungan di mana mereka memandang dirinya sendiri dan kehidupannya sebagai sesuatu yang riel, benar dan mempunyai arti.

4. Manusia sebagai instrument mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan. 5. Manusia sebagai instrumen ialah memproses data secepatnya setelah

diperolehnya, menyusunnya, mengubah arah inkuiri atas dasar penemuannya.

6. Manusia sebagai instrumen memiliki kemampuan lainnya, yaitu kemampuan untuk menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami responden. Adapun alat bantu yang dipergunakan peneliti dalam mempermudah pengumpulan data yaitu :

1. Buku catatan : berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan sumber data

2. Lembar panduan observasi ini dipergunakan untuk membantu peneliti dalam mengamati proses bagaimana seorang guru pembelajaran IPS- Sejarah mengajar dikelas.

3. Alat kamera digital dan perekam suara yang digunakan untuk mengambil gambar dalam proses belajar mengajar, wawancara dan suasana sekolah.


(35)

H. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah di lapangan dalam hal ini Nasution (2003) menyatakan bahwa analisis telah dirumuskan dan menjelaskan masalah sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penelitian dan hasil penelitian dicapai. Dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data.

Lincoln dan Guba (1985 : 345) mengatakan bahwa langkah pertama pemerosotan satuan adalah peneliti hendaknya membaca dan mempelajari secara teliti seluruh jenis data yang sudah terkumpul. Setelah itu usahakan agar satuan-satuan itu diidentifikasi. Peneliti memasukkan kedalam kartu indeks. Penyusunan satuan dan pemasukan kedalam kartu indeks hendaknya dapat dipahami oleh orang lain. Pada tahap ini analisis hendaknya jangan dulu membuang satuan yang ada walaupun mungkin dianggap tidak relevan.

Tujuan analisis data yang dilakukan oleh peneliti yakni proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-unit sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.


(36)

1. Analisis Sebelum di Lapangan

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti telah melakukan analisis sebelum memasuki lapangan. Maka dalam penelitian ini, analisis akan dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data sekunder, yang akan digunakan untuk menemukan fokus penelitian. Dalam kaitan itu maka peneliti akan melakukan analisis terhadap beberapa buku dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan baik di Kota Ternate maupun di Maluku Utara pada umumnya mengenai Sultan Babullah. Analisis ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang masalah yang akan dikaji. Namun demikian fokus penelitian ini masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti melakukan penelitian.

2. Analisis Selama di Lapangan

Analisis data dalam penelitian kualitatif, dapat dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Misalnya, pada saat wawancara dilakukan, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu diperoleh data yang dianggap kredibel.

Huberman dan Milles (1992) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Adapun aktifitas dalam analisis data yaitu melakukan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.


(37)

Teknik analisis data yang digunakan adalah bersifat kualitatif yang dilakukan sejak tahap orientasi lapangan, seperti dikatakan Miles dan Huberman (dalam Wiriaatmadja, 2005:146) bahwa”… the ideal model for data collection and analysis is one that interweaves them from the beginning”. Yang artinya, model ideal dari pengumpulan data dan analisis adalah yang secara bergantian berlangsung sejak awal.

Pelaksanaan analisis data dilakukan sepanjang penelitian itu dan secara terus menerus mulai dari tahap pengumpulan data sampai akhir. Data yang diperoleh dalam penelitian ini tidak akan memberikan makna yang berarti apabila tidak dianalisis lebih lanjut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992:20) bahwa : Analisa data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus meneurs. Dengan demikian analisis yang dimaksud merupakan kegiatan lanjutan dari langkah pengumpulan data. maka analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Tabel 3.1. Komponen dalam Analisis data ( interactive model ) Diadopsi dari Miles dan Huberman (1992:20)

Pengumpula n data

Reduksi data

Kesimpulan : Penarikan/verifikasi

Penyajian data


(38)

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa tiga jenis kegiatan utama pengumpulan data (reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi) merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti harus siap bergerak di antara empat pilar itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik di antara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.

a. Reduksi data

Reduksi data (data reduction) merupakan langkah awal dalam menganalisa data. Kegiatan yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap data yang telah terkumpul. Kumpulan data hasil kerja lapangan direduksi dengan cara merangkum, mengklasifikasikan sesuai fokus dan aspek-aspek permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini aspek-aspek yang direduksi adalah pelaksanaan pola pembelajaran guru dalam pembelaajran Sejarah dalam membentuk semangat patriotisme dan nasionalisme.

b. Display data

Display data (data display) yaitu, menyajikan data secara jelas dan singkat untuk memudahkan memahami gambaran terhadap aspek-aspek yang diteliti, baik secara keseluruhan maupun bagian demi bagian. Penyajian data dalam bentuk deskripsi dan interpretasi sesuai data yang diperoleh.

c. Penarikan kesimpulan dan verivikasi

Menarik atau mengambil kesimpulan (conclusion / verification) merupakan tujuan utama analisis data yang di lakukan semenjak awal, kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan makna terhadap data yang telah di analisis.


(39)

Kesimpulan di susun dalam bentuk pernyataan singkat dan mudah dipahami dengan mengacu kepada tujuan penelitian.

Dalam hal ini kesimpulan dilakukan secara bertahap, pertama berupa kesimpulan sementara, namun dengan bertambahnya data maka perlu dilakukan verifikasi data yaitu dengan mempelajari kembali data-data yang ada (yang direduksi maupun disajikan). Disamping itu dilakukan dengan cara meminta pertimbangan dengan pihak-pihak yang berkenaan dengan penelitian ini, yaitu pihak kepala sekolah dan pihak guru, setelah hal itu dilakukan, maka peneliti baru dapat mengambil keputusan akhir.

Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji, credibility (valitas internal), transferability (valitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (objektivitas).

Untuk menguji kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif, peneliti disini melakukan dengan cara : 1. Perpanjangan pengamatan.

Setelah pada tahap awal penelitian memasuki penelitian, peneliti masih dianggap orang asing, masih canggung, sehingga informasi yang diberikan belum lengkap, tidak mendalam. Sehingga peneliti melakukan perpanjangan pengamatan selama satu minggu lagi dari waktu yang ditentukan dari jadwal kegiatan penelitian. Peneliti mengecek kembali apakah data yang diberikan selama ini adalah datanya benar atau tidak. Sehingga peneliti melakukan pengamatan lagi yang lebih luas dan mendalam dan diperoleh data yang pasti kebenarannya.


(40)

2. Meningkatkan Ketekunan.

Peneliti meningkatkan ketekunan dengan mengecek semua data yang ditemukan di lapangan dengan cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut kepastian data dan urutan peristiwa akan direkam secara pasti dan sistematis. Kemudian sebagai bekal peneliti untuk meningkatkan ketekunan adalah dengan membaca berbagai refrensi buku maupun hasil penelitian atau dokumentasi-dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti.

3. Diskusi dengan Teman.

Diskusi yang dimaksud dengan teman adalah mendiskusikan data yang telah diperoleh, kemudian bagaimana pendapat teman atau masukan-masukan dari teman terhadap data yang diperoleh. Dalam hal ini peneliti banyak diskusi dengan teman-teman dalam hal untuk menguji kredibilitas data.

4. Menggunakan bahan refrensi.

Bahan refrensi di sini adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah diketemukan oleh peneliti. Data tentang interaksi dengan siswa, wawancara atau gambaran suatu keadaan proses belajar mengajar di kelas perlu didukung oleh photo-photo. Alat-alat bantu yang peneliti gunakan adalah camera digital untuk mendukung kredibilitas data yang telah ditemukan oleh peneliti yang diberikan oleh pemberi data yang diperlukan.

5. Mengadakan Membercheck.

Tahap membercheck merupakan kegiatan yang tidak dapat diabaikan karena yang dilaporkan oleh peneliti harus sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh responden, dalam tahap membercheck dilakukan pemantapan informasi atau


(41)

data penelitian yang telah terkumpul selama tahap eksplorasi atau studi lapangan, dengan demikian hasil penelitiannya dapat diharapkan memiliki tingkat kredibilitas, dependabilitas, dan konfirmobilitas yang tinggi, dalam kaitan itu data yang diperoleh melalui pengunaan teknik wawancara dibuat dalam bentuk transkrip. Demikian juga halnya dengan data yang diperoleh melalui pengunaan teknik studi dokumentasi. Dan data diperoleh melalui teknik observasi dibuat dalam bentuk catatan-catatan lapangan, kemudian penelitian menunjukannya kepada responden penelitian. Penelitian meminta kepada mereka membaca dan memeriksa kesesuaian informasinya dengan apa yang telah dilakukan. Apa bila ditemukan ada informasi yang tidak sesuai, maka peneliti harus segera berusaha memodifikasinya apakah dengan cara menambah, mengurangi, atau bahkan menghilangkannya.

Pelaksanaan membercheck ini dilakukan pada saat penelitian berlansung, dan sifatnya sirkuler serta berkesinambungan. Artinya setelah data diperoleh langsung dibuat dalam bentuk transkrip, kemudian di kompirmasikan kepada responden penelitian untuk diperiksa kesesuainnya, kemudian dilakukan modifikasi, perbaikan atau penyempurnaan sampai kebenarannya dapat dipercaya. Tujuan dari membercheck adalah agar informasi yang peneliti peroleh dan digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan. Oleh sebab itu dalam penelitian ini, peneliti menggunakan cara membercheck kepada subjek penelitian diakhir kegiatan penelitian lapangan tentang fokus yang diteliti yakni pengembangan pembelajaran sejarah lokal berbasis biografi.


(42)

BAB V PEMBAHASAN

1. Implementasi Pembelajaran Berbasis Biografis Sultan Babullah dalam Pembelajaran Sejarah di SMAN 3 Ternate

Setelah peneliti melakukan observasi di SMA Negeri 3 Ternate dan disebarkannya kuisioner serta melakukan wawancara dengan guru dan siswa/sumber data yang data-datanya telah peneliti kemukakan di atas, maka pada bagian ini peneliti akan melakukan pembahasan sesuai dengan masalah yang telah peneliti rumuskan pada bab I serta didasarkan pada data-data yang telah peneliti peroleh baik berdasarkan wawancara, observasi, kuisioner dan dokumentasi.

Dari hasil wawancara baik dengan guru sejarah maupun dengan siswa dan siswi, peneliti dapat menggambarkan bahwa peserta didik tersebut dapat merasa senang dengan adanya materi muatan lokalnya yang selama ini mereka belajar. Materi sejarah yang berkaitan dengan sejarah lokal mampu membangkitkan semangat dan motivasi mereka untuk lebih mendalami materi sejarah tersebut . Menurut Abdullah, (1990:25)

Sejarah lokal membicarakan masa lalu suatu masyarakat, antara lain struktur serta proses dan tindakan manusia agar memahami terhadap fenomena-fenomena tertentu dengan melihatnya dari konteks sosio-kultural. Berbeda halnya dengan sejarah nasional yang sangat cenderung pada sifatnya politis, yang menekankan pada suatu konsensus guna memenuhi tuntutan-tuntutan ideologis kesatuan nasional.


(43)

Maka oleh karena itu menurut peneliti, guru-guru sejarah di daerah perlu diberikan pandangan yang lebih mendalam agar mereka dapat termotivasi dan mau bekerja keras dalam mencari informasi-informasi tentang sejarah lokal untuk memperkaya pengetahuan secara mendalam. Kurikulum 2006, sehubungan dengan mengangkat materi lokal dalam pembelajaran sejarah guru menyambut baik, karena selama pemerintahan orde baru sungguh disayangkan hal tersebut belum nampak.

Artinya tujuan intruksional umum dan khusus, dan silabus sudah di tentukan oleh tingkat pusat, hal ini menunjukkan salah satu doktrin untuk menghilangkan budaya-budaya kelokalannya. Oleh karena itu dengan otonomi sekolah, maka guru mendapat kesempatan untuk mengangkat materi lokalnya, dengan demikian siswa akan mempunyai pengetahuan tentang sejarah lokal di tempat mereka berada.

Berdasarkan hasil observasi bahwa pembelajaran sejarah yang diselenggarakan di SMA Negeri 3 Ternate mengacu pada kurikulum KTSP 2006 yang menetapkan salah satu materi pembelajaran sejarah lokal berbasis biografis. Tetapi isi sejarah lokalnya belum secara eksplisit, karena itu masih dibutuhkan pengembangan serta pendalaman yang lebih lanjut lagi, terutama bagi guru-guru dalam hal ini tidak terlepas dari peran sekolah dan guru yang berkompeten dibidangnya. Karena pada saat peneliti mewawancarai beberapa siswa yang menyangkut dengan sejarah lokal, ternyata mereka sangat antusias dengan materi sejarah lokal yang selama ini dikemas oleh guru, sehingga mereka mampu membangun semangat kepahlawanannya, serta menanamkan nilai-nilai patriotik


(44)

dan nasionalisme yang mereka kagumi. Dengan demikian peran guru semakin lebih luas dan dewasa, disebabkan guru dan peserta didik sudah mempunyai hak serta kewajiban dalam mencari informasi dari berbagai sumber guna untuk memperkaya budaya lokal daerahnya masing-masing. Sehingga menurut mereka ini menjadi bagian yang penting untuk membangun sebuah bagsa yang baik. Hal ini senada dengan pendapat Sagala (Martha Yunanda, 2009) :

“Peranan guru dalam pembelajaran dengan metode inquiry adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh siswa. Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka memecahkan masalah. Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan siswa dalam pemecahan masalah harus dikurangi”.

Berdasarkan hasil kuesioner bahwa siswa responsif serta memahami terhadap sejarah lokal. Hal ini diindikasikan dengan keaktifan siswa mengikuti pembelajaran sejarah lokal. Pendalaman materi-materi yang diberikan oleh guru perlu dilakukan, sehingga siswa memiliki pemahaman dan pengenalan yang sangat serius terhadap sejarah lokal yang selama ini mereka pelajari.

Informasi lain bahwa beberapa tahun yang lalu memang kita tidak mengenal yang disebut dengan sejarah lokal, hanya sejarah nasional saja dalam kurikulum. Akan tetapi belum lama muncul istilah lokal dan guru harus terampil mengidentifikasi materi sejarah lokal, namun setelah mereka mendapat pelatihan-pelatihan yang dilakukan, mereka langsung mengerti untuk memasukkan materi sejarah lokal ke dalam sejarah nasional. Dengan diberikan otonomi sekolah sehinga kita sudah mendapat kesempatan dalam merancang kurikulum yang berkenaan dengan muatan lokal, tentunya kita kaitkan secara perlahan-lahan dan


(45)

berdasarkan kebutuhan sekolah yang kemudian materi-materi itu kita kaitkan dengan sejarah nasional.

Hasil penelitian bahwa, kemampuan guru sejarah dalam mengaitkan kedua materi sejarah tersebut yaitu sejarah lokal dan nasional sudah baik, hal tersebut berpengaruh pada siswa dalam mengaitkan antara sejarah lokal dengan sejarah nasional, akhirnya mereka bisa menghargai jasa pejuang lokal bahkan nasional.

Pengetahuan guru berkenaan dengan materi sejarah lokal masih harus ditambah , apabila terjadi keterbatasan pengetahuan guru dalam mengintegrasikan sejarah lokal kedalam sejarah nasional, akan membuat siswa kurang memiliki rasa nasionalismenya. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya disintegrasi Bangsa. Hal ini bisa disebabkan karena masih kurangnya sumber-sumber sejarah lokal yang tersedia baik materi lokal yang menyangkut dengan Sultan Babullah maupun materi lokal lainnya.

Alasan tersebut tidak dapat diterima secara rasional, sebab banyak Sumber-sumber sejarah yang harus digali untuk memperkaya khasanah daerah yang kemudian dapat dijadikan bahan ajar berdasarkan kurikulum KTSP, guru akan diberikan hak untuk merancang sendiri menyangkut dengan materi-materi yang harus diajarkan dalam pembelajaran sejarah. Misalnya menyangkut perlawanan rakyat Ternate terhadap Portugis pada tahun 1570-1583 dibawah pimpinan Sultan Babullah dan lain sebagainya. Setelah dilakukan wawancara dengan beberapa siswa ternyata mereka sangat antusias dengan sistem perlawanan Sultan Babullah dalam melawan dominasi asing, sang sultan yang sangat heroik


(46)

itu sangat disayangkan disebabkan perhatian pemerintah daerah Ternate belum mengusulkan sebagai Pahlawan nasional pada Pemerintah pusat.

Hemat peneliti guru harus terlebih dahulu menjelaskan secara rinci yang menyangkut dengan sejarah nasional, kemudian baru dimasukkan sejarah lokal. Sehingga pemahaman terhadap sejarah lokal semakin meningkat, berbagai informasi yang menyangkut dengan kelokalannya akhirnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi siswanya. Sebenarnya ini menjadi hal penting bagi guru sejarah untuk menjadi acuan dan pedoman dalam perluasan wawasan, sehingga mampu mengintegrasikan kedalam sejarah nasional. Sehingga mampu meningkatkan semangat dan integrasi bangsa pada diri siswa

Salah satu usaha untuk pengintegrasian pembelajaran sejarah lokal kedalam sejarah nasional berdasarkan kurikulum yang berlaku saat ini terlebih dahulu dapat kita lihat dengan beberapa cara pengaplikasiannya sejarah lokal dalam pengajaran sejarah Nasional. Dalam hal ini Douch (Widja,1991:112) mengemukakan tiga bentuk/metode, yaitu:

1) Dapat mengambil dari contoh-contoh lingkungan dari uraian sejarah nasional maupun sejarah dunia yang sedang diajarkan. Tidak mempunyai alokasi waktu secara khusus dan juga tidak ada kegiatan diluar kelas yang harus dilakukan guru dan murid. Tekanan utamanya adalah dalam pengajaran ini tetap mengacu pada sejarah makro (sejarah nasional serta sejarah dunia).

2) Dengan kegiatan penjelajahan berupa lingkungan, disini tentunya dapat memberikan porsi yang lebih nyata dari kegiatan belajar siswa dengan aktifitas kesejarahan yang dilakukan di luar kelas. Artinya disamping belajar di dalam kelas juga siswa diajak kelingkungan sekitar guna mengamati langsung yang berkenaan dengan sumber-sumber sejarah serta mengumpulkan data sejarah.

3) Berupa studi khusus dan cukup mendalam terhadap berbagai faktor kesejarahan di lingkungan siswa. Ini dapat diorganisir dan juga dilaksanakan dengan cara-cara seperti sejarah profesional. Maka siswa diharapkan dapat mengikuti prosedur seperti yang dilakukan para peneliti


(47)

profesional, mulai dari pemilihan topik, membuat perencanaan dalam kegiatan, cara menganalisis sampai pada penyusunan laporan. Itu dengan sendirinya memerlukan dalam pengolakasian waktu yang lebih khusus terhadap kegiatan yang berbentuk persiapan dan kegiatan lapangan.

Hasil observasi terhadap guru dalam pembelajaran berbasis biografis Sultan Babullah dalam meningkatkan semangat patriotisme dan nasionalisme, ternyata pengetahuan guru yang berkenaan dengan sejarah lokal sudah cukup lengkap , hal ini dapat disebabakan salah satu faktor guru sejarah ada upaya yang sungguh-sungguh dalam mencari informasi terhadap keberadaan sejarah lokal daerahnya masing-masing. Satu tujuan dari Undang-undang Sistem Pendidikan nasional yang dituangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidika Nasional (KTSP), bahwa Sekolah dan guru diberikan hak untuk merancang kurikulum salah satu menyangkut dengan Muatan lokal.

Demi menjaga harkat dan martabat serta menghargai jasa para Pejuang lokal, termasuk melestarikan budaya lokalnya masing-masing. Hasil observasi dan pengamatan peneliti menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam mentansfer pengetahuan serta mengintegrasikan sejarah lokal kedalam sejarah nasional sudah cukup baik.

Hemat peneliti guru harus mulai menjelaskan dulu secara rinci yang menyangkut dengan sejarah nasional, kemudian baru dimasukkan sejarah lokal. Mengingat begitu pentingnya pemahaman tentang sejarah dalam rangka menggali serta mengkritisi nilai-nilai yang berkaitan dengan identitas diri, agama, integritas sosial budaya, dan juga menyangkut dengan etos kerja dalam kehidupan masyarakat, maka dipandang perlu untuk dimulainya dari tingkat lokal demi terwujudnya Integrasi bangsa. Oleh sebab itu, dipandang perlu untuk melakukan


(48)

penelitian sejarah lokal Ternate secara kritis. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan pembelajaran sejarah yang harus diarahkan untuk membangun pemahaman keilmuan. Yang lebih efektif jika pembahasan materi peristiwa sejarah yang terjadi di suatu tempat dapat menggunakan buku sejarah lokal.

Bangsa Indonesia merupakan hasil pembentukan dari sekian etnis dan budaya di kepulauan Nusantara sebagai hasil pengalaman kolektif yang panjang. Sebuah sejarah penderitaan dan penjajahan yang begitu panjang, sejarah kebangkitan atas nama harga diri, sejarah perjuangan yang menghasilkan tekad bersama.

Sukarno menyatakan bahwa “proses nation building itu tidak akan pernah selesai, karena kebangsaan secara hakiki merupakan proses, maka kebangsaan harus dipelihara dan ditumbuh-kembangkan terus supaya tidak menyusut dan melemah”. Kartodirdjo (Supardan, 2004:120).

Dari hasil wawancara bahwa dengan dikaitkan bagaimana perjuangan tokoh lokal sehingga mempunyai kontribusi yang besar untuk membangun sebuah integrasi bangsa, dan siswa langsung mencermati terhadap suatu proses yang menjadi hal penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Pembelajaran Nilai-nilai Kejuangan Sultan Babullah dalam Membangun Patriotisme dan Nasionalisme bagi Siswa di SMA Negeri 3 Ternate

Dewasa ini, mata pelajaran sejarah sering dianggap sebuah mata pelajaran yang kurang disukai oleh peserta didik. Indikasi kurang tertariknya peserta didik terhadap mapel ini dapat dilihat pada banyaknya peserta didik yang jenuh dan bosan ketika mengikuti kegiatan belajar sejarah di sekolah. Umumnya kebencian


(49)

mereka terletak pada materi ajar sejarah yang terkait dengan hafalan angka-angka tanggal, tahun, nama peristiwa, nama tempat, artefak, dan tokoh yang bagi peserta didik sangat tidak menarik dan menjemukan.

Ada lagi yang menganggap bahwa letak kejemuan mereka lebih pada figur guru yang kurang profesional dalam mengajar sejarah. Banyak guru menyampaikan materi secara teksbook, tanpa variasi, monoton, kurang humor, dan tetap menggunakan metode ceramah yang membosankan. Banyak guru yang belum mempergunakan fasilitas media mengajar. Mereka tidak mempergunakan peta, foto, replika candi, artefak, fosil, sampai tidak mengoptimalkan fungsi teknologi pembelajaran yang berbasis internet atau multi media. Di tambah lagi, guru sejarah sering memberikan soal dan pertanyaan yang sulit-sulit. Terkait dengan tema praktik belajar sejarah diatas,

Dadang Supardan (2009) dalam artikelnya “menjadikan salah satu poin penting sebagai rekomendasi kepada guru-guru khususnya guru sejarah sebagai ujung tombak yang terdepan dalam pembelajaran sejarah di SMA. Guru sejarah hendaknya dalam menunaikan tugas-tugas profesinya sebagai pengembang kesadaran sejarah untuk tidak bosan-bosannya meningkatkan pengetahuan melalui belajar”.

Di sisi lain ada kemungkinan ketidaktertarikan peserta didik pada mapel sejarah lebih pada tema-tema sejarah nasional yang kurang menyentuh rasa kedaerahan mereka, sehingga rasa keterlibatan dan emosionalnya tidak terbentuk secara alamiah. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengembalikan rasa keberminatan peserta didik terhadap pelajaran sejarah adalah menciptakan pola pembelajaran sejarah yang terkait dengan situasi lingkungannya. Kegiatan pembelajaran sejarah lokal perlu dijadikan medium untuk mengembangkan rasa kepedulian dan ketertarikan akan ranah kedaerahan mereka, untuk selanjutnya


(50)

menggali lebih mendalam lagi tentang apa yang pernah ada dalam lintasan masa lalu di daerahnya.

Pengajaran sejarah mempunyai beberapa fungsi yang sangat berperan dalam proses transformasi pengetahuan kemasyarakatan yang pernah ada di masa lampau. Di samping itu, pengajaran sejarah memiliki fungsi yang terkait dengan peristiwa masa kekinian. Pengajaran sejarah memberikan muatan-muatan pendidikan budi pekerti (edukatif), menumbuhkan semangat patriotisme dan nasionalisme, dan memberikan kesadaran reflektif bagi anak bangsa akan masa lalunya.

“Pendidikan sejarah mempunyai fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian bangsa, kualitas manusia dan masyarakat Indonesia umumnya. Agakya pernyataan tersebut tidaklah berlebihan. Namun sampai saat ini masih terus dipertanyakan keberhasilannya, mengingat fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya generasi muda makin hari makin diragukan eksistensinya. Dengan kenyataan tersebut artinya ada sesuatu yang harus dibenahi dalam pelaksanaan pendidikan sejarah”. (Alfian, 2007:1)

Dengan sendirinya, pembelajaran sejarah lokal berarti menyadarkan pada peserta didik bahwa mereka mempunyai masa lalu sendiri. Mereka memiliki suatu kebanggaan bahwa jauh sebelum mereka dilahirkan ada beberapa tokoh yang berperan dalam membentuk keadaan yang terkait dengan masa sekarang. Kesadaran kontunuitas dan lokalitas ini dapat menjadi bekal pada peserta didik untuk menunjukkan identitas historis, sosial, dan budayanya. Semakin jauh peserta didik terlibat dalam eksplorasi sejarah lokal berarti semakin tinggi pula jati diri dan kebanggan akan masa lalu kelompok, daerah, dan kebudayaannya.

Kesadaran terhadap masa lalu daerahnya ini jangan sampai merusak kultur dan budaya yang sudah positif di masyarakat. Artinya jangan sampai peserta didik


(51)

mempunyai kebanggaan berlebihan sehingga aspek primordial kesukuan dan kedaerahannya lebih ditonjolkan. Hal ini justru akan merusak semangat persatuan dan kebersamaan yang saat ini sudah tercapai dengan baik.

Semakin muncul kesadaran terhadap identitas pelaku sejarah dan peristiwa sejarah harusnya peserta didik tidak terjebak pada spirit primordial yang negatif. Justru dengan menyelami semangat juang sang tokoh, maka peserta didik dapat memahami bagaimana rasa merdeka pelaku sejarah dalam mempertahankan wilayah atau negerinya melawan unsur-unsur kebudayaan dan pemerintahan asing yang menindas.

Dengan sejarah lokal yang diajarkan dalam kelas maupun luar kelas, berarti peserta didik mengenal secara langsung bagaimana pribadi dan biografi hidup sang pelaku sejarah. Mereka dapat menanyakan sisi kehidupan sang pelaku sejarah. Dengan tehnik tanya jawab yang baik peserta didik dapat mengenali dan mentauladani jiwa-jiwa kepemimpinan sang pelaku sejarah secara arif dan bijak. Bagaimana mereka mengorbankan apa saja demi tegaknya sebuah kemerdekaan inilah yang perlu diapresiasi oleh peserta didik dalam pembelajaran sejarah lokal.

Pembelajaran sejarah lokal memberikan peluang lebih aktif bagi peserta didik untuk menggali informasi secara mandiri terhadap sasaran yang sudah direncanakan. Melalui informasi juru kunci, pamong budaya, dan petugas kebudayaan peserta didik menjadi lebih mengenali karakter sosial dari pelaku sejarah. Bagaimana pelaku sejarah memperjuangkan nilai-nilai ideologi yang mulia dan sesuai dengan konteks kebersamaan dalam hidup masa itu akan


(1)

Ada bahaya dibalik pemakaian buku cetak tunggal karena akan menciptakan batasan-batasan. Siswa cenderung mengembangkan ide yang salah bahwa sejarah sama artinya dengan buku cetak. Dan sebagus apapun buku tersebut tidak akan cukup untuk mendukung siswa dalm belajar. Jadi, saran alternatifnya adalah gunakan buku cetak tunggal sebagi pendukung, dan sediakan serangkaian buku cetak lainnya yang masing-masing mewakili subjek permasalahan dari sudut pandang yang berbeda. Cara ini akan meminimalkan kecenderungan untuk bergantung sepenuhnya pada buku cetak. Selain itu, siswa akan mampu membandingkan dan menyelaraskan sudut-sudut pandang yang berbeda (Kochar, 2008:175).

Sejarah haruslah diinterpretasikan seobjektif dan sesederhana mungkin. Ini dapat terlaksana hanya jika guru sejarah memilki beberapa kualitas pokok. Menurut Kochar (2008:393-395) kualitas yang harus dimiliki guru sejarah adalah : Penguasaan materi dan penguasaan teknik. Dalam penguasaan materi, guru sejarah harus lengkap dari segi akademik. Meskipun ia mengajar kelas-kelas dasar, guru sejarah harus sekurang-kurangnya bergelar sarjana dengan spesialisasi dalam periode tertentu dalam sejarah. Di kelas-kelas yang lebih tinggi, sebagi tambahan untuk subjek yang menjadi spesialisasinya, guru sejarah harus dapat memasukkan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Setiap guru harus sejarah harus memperluas dan menguasai ilmu-ilmu yang terkait seperti bahasa modern, sejarah filsafat, sejarah sastra, dan geografi. Dalam penguasaan teknik, guru sejarah harus meguasai berbagai macam metode dan teknik dalam pembelajaran sejarah. Ia


(2)

harus menciptahkan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan agar proses belajar-mengajar dapat berlangsung dengan cepat dan baik”.

Pendidikan dan pembinaan guru perlu ditingkatkan untuk menghasilkan guru yang bermutu dan dalam jumlah yang memadai, serta perlu ditingkatkan pengembangan karier dan kesejahteraannya termasuk pemberian penghargaan bagi guru yang berprestasi (Musnir dalam Gunawan (ed), 1998: 129). Maka dari itu secara professional Guru sejarah harus memilki pemahaman tentang hakikat pembelajaran sejarah, tujuan pembelajaran sejarah, kompetensi-kompetensi apa yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, nilai-nilai apa yang dibutuhkan dan dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, sebelum nantinya guru dapat menentukan metode atau pendekatan yang digunakan”. (Anggara, 2007:102-103).


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alia, M. Saifuddin & Nuha, Ulin. 2006. “Pendidikan Saat Krisis Nasionalisme”. Bandung: Wacana pada harian Suara Merdeka 09 Oktober 2006.

Aliya. (2009). “Model Pembelajaran Sejarah”. Artikel. Dupublikasikan di internet.

Al Muchtar, Suwarma. (2007). Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Alwasilah, A.C. (2003). Pokoknya Kualitatif; Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Amal, M. Adnan. & Djafaar, I.A. (2003). Maluku Utara; Perjalanan Sejarah 1800-1950 (Jilid 2). Ternate: Unkhair.

Amal, M. Adnan. (2007). Kepulauan Rempah Rempah; Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950. Makassar: Glora Pustaka Indonesia.

Amal, M. Adnan. (2009). Portugis dan Spanyol di Maluku. Jakarta: Komunitas Bambu.

Anderson, Benedict. (1999). Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan tentang Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Yogyakarta: Pustakan Pelajar. Astriani. 2009. ”Definisi-Patriotisme”. http://astriani.wordpress.com/2009/10/23/ Atjo, R.A. (2009). Portugis di Ternate; Rangkaian Peristiwa dan Peperangan.

Jakarta: Cikoro Trirasuandar.

Bar-Tal (1997). The monopolization of patriotism. Chicago: Nelson-Hall Publisher

Blank, T. & Schmidt, P. (2003). “National Identity in a United Germany: Nationalism or Patriotism? An Empirical Test With Representative Data”. Journal of Political Psychology, Vol 24, No.2, 2003.

Berg, V.D. dkk. (1955). Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia III (India, Tiongkok dan Jepang, Indonesia, Eropah, Amerika). Djakarta: Groningen. Cohen J. & Nussbaum, M.C. (1996). For Love of Country: Debating the Limits of


(4)

Creswell, J.W (1994). Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. London: Sage Publications, Inc.

Creswell, J.W (1998). Qualitative Inquiry and Recears Design: Choosing Catalonging Among Five Tradistions. London: Sage Publications, Inc. Daroeso, Bambang. (1986). Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila.

Semarang: Aneka Ilmu.

De Graaf, H.J. ”Orang Portugis di Ternate”. Makalah tanpa tahun.

Dinsie, A. & Taib, R. (2008). Ternate (Sejarah, Kebudayaan & Pembangunan Perdamaian Maluku Utara). Ternate: LeKRa-MKR.

Djafaar, I.A. (2007). Jejak Postugis di Maluku Utara. Yogyakarta: Ombak

Habermas, J. (1996). Appendix II: Citizenship and National Identity. William Rehg, MIT Press.

Hanna, W.A. dan Alwi, D. (1996). Ternate dan Tidore Masa Lalu Penuh Gejolak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Helmi, Y.N. (2009). "Membangun Moral Siswa dengan Menanamkan Rasa Nasionalisme”. Artikel. http://dwijakarya.blogspot.com.

Huberman & Miles, B.M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Karim, Rusli. 1991. Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia dalam “Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta”. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Karnedi. (2006) Penerapan Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah. Tesis. SPS UPI: tidak diterbitkan.

Lapian, A.B. (1980). ”Memeperluas Cakrawala Melalui Sejarah Lokal”. Dalam Prisma, 8 Jakarta: LP3ES.

Leirissa, R.Z. (1996). Halmahera Timur dan Raja Jailolo (Pergolakan Sekitar Awal Abad 19). Jakarta: Balai Pustaka.

Lincoln & Guba. (1985). Naturalistic Inquiry. California: Baverly Hills.

Marasabessy, A.I. dkk. (2009). ”Sejarah Sosial Kesultanan Ternate”. Hasil Penelitian P3M Ternate.


(5)

Yunanda, Martha. 2009. ”Metode Inquiry dalam Pembelajaran”. Artikel Social-Science. http://id.shvoong.com.

Moleong, L.J. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyana, A. & Restu, G. (2007). Sejarah Lokal, Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah. Bandung: Salamina.

Mulyana, R. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Muthohar, Sofa. (2009). “Upaya Menanamkan Nilai-Nilai Perjuangan

Pahlawan”. Makalah pada Sarasehan Pemerintah Blora, 25 Mei 2009. Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Permana, Iwan. (2008). “Metode Mengajar Inkuiri”. Artikel Sains. Internet. Pranoto, Suhartono, W. (2010). Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta:

Graha Ilmu.

Romein, Jan. 1953. Aera-Eropa; Peradaban Eropa Sebagai Pinjimpangan dari Pola Umum. Bandung-Djakarta-Amsterdam: Ganaco N.V.

Schwatz, R.T; Staub, E.; Lavine, H. (1999). “On the varieties of national attachment: constructive patriotism”. Journal of Political Psychology. Staub, E. & Schwatz, R.T (1994). Manifestations of blind and constructive

patriotism: personality correlates and individual-group relations. Chicago: Nelson - Hall Publisher.

Sjamsuddin, H. (2007). Motodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Sumantri, E. (2009). “Upaya Membangkitkan Nasionalisme Melalui Pendidikan”. Artikel. Dupublikasikan melalui internet (www.setneg.go.id).

Supriatna, Nana. 2007. “Mengembangkan Pertanyaan Kritis Model Ways Of Knowing Habermas Dalam Pembelajaran Sejarah”. Makalah disajikan dalam seminar Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis Himas di UPI Widja, I.G. (1988). Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif

Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.

Widja, I.G. (1991). Sejarah Lokal suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Bandung: Aksara.


(6)

Wijayanto, H. (2008). “Memahami Nasionalisme”. Artikel. Dipublikasikan di internet: http://jeremiasjena.wordpress.com.

Wineburg, Sam. (2008). Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta: Buku Obor.

Wiriaatmadja, R. (2002). Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perpektif Lokal, Nasional, dan Global. Bandung: Historia Utama Press.


Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI PENANAMAN NILAI NILAI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH KELAS X DI SMA NEGERI 1 PEMALANG

4 44 149

NILAI-NILAI PATRIOTISME DAN NASIONALISME YANG TERKANDUNG DALAM PEMBELAJARAN IPS MATERI Nilai-Nilai Patriotisme dan Nasioanlisme yang Terkandung dalam Pembelajaran IPS Materi Sejarah Perkembangan ISlam di Indonesia (Studi Kasus di kelas V SD Muhammadiya

0 2 17

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN NILAI KEJUANGAN SULTAN AGENG TIRTAYASA (1651-1682) DALAM MEMBANGUN SEMANGAT KEBANGSAAN: Penelitian Naturalistik Inkuiri di SMA Negeri 1 Baros Kabupaten Serang.

1 21 51

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN JENDERAL SOEDIRMAN UNTUK PENANAMAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH KELAS XI IPS SMA (STUDI KASUS DI SMA NEGERI 1 SUKOHARJO).

1 5 14

INTEGRASI NILAI-NILAI PATRIOTISME SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMA MUHAMMADIYAH 1 PALEMBANG.

0 0 15

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI HUMANISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH (STUDI KASUS DI SMA MTA SURAKARTA).

0 0 18

Implementasi Nilai-Nilai Ketamansiswaan dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Di SMA Tamansiswa Malang) IMG 20151123 0001

0 0 1

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KETELADANAN Ir. SOEKARNO DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH KELAS XI IPS DI SMA NEGERI 1 TAWANGSARI KABUPATEN SUKOHARJO - UNS Institutional Repository

0 0 14

IMPLEMENTASI NILAI - NILAI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH (STUDI KASUS DI SMA NEGERI 1 KARANGGEDE, BOYOLALI)

0 0 17

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PATRIOTISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI KELAS XI IPS SMA NEGERI 2 SUKOHARJO TAHUN AJARAN 2016/2017 - UNS Institutional Repository

0 0 16