ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KORUPSI
ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH (APBD) DI
MALANG RAYA
Isa Wahyudi
Universitas Muhammadiyah Gresik
Sopanah
Malang Corruption Watch (MCW)
Abstract
Corruption has been widely discussed in many forum. Public budget (APBD)
corruption is abuse action public budget to private or their groups interest. Many
factor caused corruption, about: individual behaviour, government organization,
law enforcement, and controling.The objective of this study are to obtain
empirical evidences and to test factors that effect APBD corruption in Malang
Raya. The hypothesis are tested using the partial regression and multiple
regression. The Sampel in this researh are Civil Organization such as NGo,
public figure, public organization, student, academic etc, amount 165
respondent.The result of study show that as partial individual behaviour not
significat effect, government organization significat effect, law enforcement
significat effect, and controling significat to APBD corruption occurred. The test
used multiple regression support test used partial regression.
Key Word : Individual Behaviour, Government Organization, Law

Enforcement, Controling, Public Budget (APBD) Corruption.
1. PENDAHULUAN
Seiring gelombang otonomi daerah, ada beberapa perubahan dalam hubungan antara
eksekutif dengan legislatif. Pertama, eksekutif bersama dewan mempunyai otonomi
penuh untuk membuat kebijakan-kebijakan lokal; dan kedua, anggota dewan memiliki
otonomi penuh dan mempunyai peluang besar dalam proses legislasi. Kewenangan
dewan dalam membuat kebijakan tidak terbatas hanya dalam memilih kepala daerah,
tetapi juga berwenang membuat undang-undang, pengawasan, investigasi, dan bersamasama dengan eksekutif menyusun APBD yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Implikasi lain dari otonomi daerah adalah pelimpahan dana ini dibarengi dengan
dilaksanakannya reformasi penganggaran dan reformasi sistem akuntansi keuangan
daerah (Halim, 2003). Reformasi penganggaran yang terjadi adalah munculnya
paradigma baru dalam penyusunan anggaran yang mengedepankan prinsip akuntabilitas
publik, partisipasi masyarakat, dan transparansi anggaran. Disamping itu, anggaran harus
dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented), prinsip efisien dan efektif

(Value For Money), keadilan dan kesejahteraan dan sesuai dengan disiplin anggaran
(Mardiasmo, 2003).
Namun, euforia otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak negatif.
Menurut Khudori (2004) salah satu yang menonjol adalah munculnya "kejahatan
institusional". Baik eksekutif maupun legislatif seringkali membuat peraturan yang tidak

sesuai dengan logika kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikkan secara
kolektif antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja
eksekutif justru ikut bermain dan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama
dengan cara yang "legal". "Legal" karena dilegitimasi dengan keputusan.
Korupsi di Indonesia benar-benar sangat sistemik, bahkan korupsi yang terjadi sudah
berubah menjadi vampir state karena hampir semua infra dan supra struktur politik dan
sistem ketatanegaraan sudah terkena penyakit korupsi. Agenda pemberantasan korupsi
sampai detik ini hanyalah dijadikan komoditas politik bagi elit politik, lebih banyak pada
penghancuran karakter (character assasination) bagi elit yang terindikasikan korupsi
dibanding pada proses hukum yang fair dan adil. Law enforcement bagi koruptor juga
menjadi angin lalu, padahal tindakan korupsi yang dilakukan koruptor sangatlah
merugikan rakyat Masduki (2002) dalam Klitgaard, dkk (2002).
Fenomena korupsi tersebut diatas menurut Baswir (1996) pada dasarnya berakar pada
bertahannya jenis birokrasi patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya
korupsi oleh para birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap
kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat
kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga
cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang merupakan
birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi
pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.

Menurut Susanto (2001) korupsi pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi
penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang
publik untuk kepentingan pribadi. Sementara tipe korupsi menurut de Asis (2000) adalah
korupsi politik, misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif
ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian
konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang). Tipe
korupsi yang terakhir yaitu clientelism (pola hubungan langganan).
Bentuk tindak pidana korupsi pada level legislatif adalah korupsi APBD untuk pos
keuangan DPRD yang terjadi akhir-akhir ini dan marak diberitakan di berbagai media.
Pidana korupsi APBD kebanyakan melanggar PP 110/2000 walaupun sekarang telah
diganti dengan PP 24/2004 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Kasus Kampar
misalnya, sejumlah 45 anggota DPRD telah dijadikan tersangka karena telah
menganggarkan pesangon. Di Kota Padang Sumatra Barat 43 anggota DRPD telah
dijatuhi vonis karena merugikan uang negara sebanyak 10,4 M. Demikian juga DPRD
Bali telah melakukan penggelapan uang Tirtayatra (persembahyangan di India) sejumlah
112 juta. Deretan kasus penyimpangan APBD juga terjadi di jawa Timur seperti di DPRD

Kota Surabaya 2,7 M, DPRD Sidoarjo 20,3 M, DPRD Tulungagung 1,6 M, DPRD
Nganjuk 5,3 M, DPRD Banyuwangi 225 juta, DPRD Kota Blitar 1,5 M dan masih
banyak lagi (Kompas, 8/9/04)

Demikian pula kasus korupsi APBD juga terjadi di wilayah Malang Raya yang
menjadi objek penelitian. Di Kota Malang misalnya kasus sisa anggaran 2,1 M dan
pesangon dewan senilai 1,7 M sampai saat ini belum ada kepastian hukum sementara
uang tersebut sudah masuk ke kantong anggota dewan yang terhormat. Di Kabupaten
Malang penyimpangan dana APBD juga dilakukan untuk kepentingan pejabat dan
keluaraganya seperti penyelewengan sekwan 22,5 juta, umrah gate dan Dem-deman
Mobil. Di Kota Batu mark-up APBD telah digunakan untuk kepentingan Pilihan Kepala
Daerah (MCW,2004).
Kalau dicermati penyimpangan PP 110/2000 untuk pos keuangan DPRD yang
dikorupsi dalam APBD rata-rata dapat berupa: tunjangan keluarga dan beras, uang
kehormatan, uang rapat, biaya perjalanan dinas, biaya pemeliharaan rumah, biaya
tunjangan perumahan, biaya kegiatan adeksi, biaya lain-lain penunjang kelancaran tugas,
biaya penunjang anggota fraksi, biaya kegiatan fraksi, biaya kegiatan, panitia legislasi,
biaya penunjang kegiatan sosial kemasyarakatan, bantuan biaya peningkatan SDM,
bantuan biaya koordinasi pimpinan daerah, bantuan biaya komunikasi, serta biaya purna
tugas (Data diolah yang tidak berdasarkan PP 110/2000).
Penelitian komprehensif mengenai berbagai tindak pidana korupsi APBD di masingmasing daerah dalam rangka memberikan pemikiran tentang tata pemerintahan lokal
yang demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yang bersih dan bebas
dari korupsi sangat diperlukan. Sepengetahuan penulis, penelitian tentang korupsi masih
sangat sedikit khususnya di Malang Raya. Oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk

meneliti permasalahan ini, sehingga dapat dirumuskan sebuah permasalah dalam
penelitian ini adalah faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya korupsi
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di Malang Raya?
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris mengenai berbagai
faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) khususnya di Malang Raya. Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
bukti kongkrit dalam diskursus korupsi dan upaya strategi pemberantasan korupsi, juga
sebagai bahan untuk mendidik publik untuk mengetahui struktur dan komponen APBD
atau kelompok anggaran yang selama ini di korupsi serta besarnya ongkos sosial ekonomi
yang ditimbulkan dari korupsi APBD.
II.

TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari
perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan
rumpere yang berarti pecah dan jebol. Menurut Bernardi (1994) istilah korupsi juga dapat

diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena

adanya suatu pemberian. Sementara Hermien H.K. (1994) mendefinisikan korupsi
sebagai kekuasaan tanpa aturan hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga pemakaian
kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan
kekuasaan tersebut.
B. Pola-Pola Korupsi
Baswir (1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknumoknum pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh
pola tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola upeti, (2) pola komisi, (4) pola
menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi fiktif dan (7) pola
penyalahgunaan wewenang. Untuk menanggulangi terjadinya korupsi yang bermacammacam jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua bidang, meskipun untuk
menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu yang mustahil, tertapi
setidaknya-tidaknya ada upaya untuk menekan terjadinya tindak korupsi. Strategi yang
dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisaan masyarakat dan pejabat struktur
pemerintahan.
Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam
tiga wilayah besar yaitu ; Pertama, bentuk penyalahgunaan kewenangan yang berdampak
terjadinya korupsi adalah pertama; Mercenery abuse of power, penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang
bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar
spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan
wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat

yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.
Kedua, Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan
kebijakan tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/
keputusan Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan
kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya (nepotis).
Ketiga, Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar
tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan
kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga
ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal
ini yang sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat
berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung telah mendapatkan
kompensasi.
C. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan
dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya

sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan
perundang-perundangan yang tegas. Faktor lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak
lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan

“greget” oleh pimpinan instansi. Terbukti dengan banyaknya penemuan yang ditutup
secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad dalam pemberantasan korupsi dan
dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping
itu kurang memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada
masyarakat yang menyebabkan banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan
kepada atasan.
Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek
prilaku individu organisasi, (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat
individu dan organisasi berada. Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik motif ekonomi maupun motif politik, (2)
peluang, dan (3) lemahnya pengawasan. Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam
penelitian ini penulis mengelompokkan empat aspek yang menyebabkan terjadinya
korupsi APBD di wilayah Malang Raya yaitu:
1. Aspek Prilaku individu
Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat
berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat,
atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan
korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang kuat menghadapi
godaan, (b) penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, (d) kebutuhan
hiduop yang mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f) tidak mau bekerja keras, (g) ajaranajaraan agamaa kurang diterapkan secara benar.

Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro (2004) korupsi
seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling
bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan
yang bertahan hidup, namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya, pendidikan
tinggi. Selanjutnya, poling yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW)
berdasarkan jawaban dari 9273 responden, hasilnya menunjukkan sekitar 30,2% korupsi
terjadi karena aspek individu demi kepentingan pribadinya. Pola-pola penyimpangan
yang terjadi biasanya tidak bekerja pada saat jam kantor (14,2%), pemakaian fasilitas
kantor untuk kepentingan pribadi dan keluarganya (10%), dan (6)% adalah biaya
pengurusan sesuatu yang berkaitan dengan adminstarsi (MCW, 2004). Berdasarkan hasil
pooling tersebut penulis membuat hipotesis sebagai berikut:
H1: Aspek prilaku individu berkorelasi negatif dan secara signifikan
mempengaruhi terjadinya korupsi APBD.
2. Aspek Organisasi Kepemerintahan

Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau
dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka
peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Bilamana organisasi
tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi,

maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut
pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak
adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah
kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas 29/7/2004 di kota
Surabaya, Medan, Jakarta dan Makasar, menyebutkan bahwa korupsi yang terjadi di
tubuh organisasi kepemerintahan (eksekutif) maupun legislatif. Tidak kurang dari 40
persen responden menilai bahwa tindakan korupsi dilingkungan birokrasi kepemerintahan
dan wakil rakyat di daerahnya semakin menjadi-jadi. hanya 20 persen responden saja
yang berpendapat bahwa prilaku korupsi di pemkot dan DPRD masing-masing sudah
berkurang. dengan demikian hipotesa yang bisa dikembangkan penulis adalah :
H2: Aspek organisasi kepemerintahan berkorelasi negatif dan secara signifikan
mempengaruhi terjadinya korupsi APBD.
3. Aspek Peraturan Perundang-Undangan
Tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan
perundang-undangan, yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan perundang-undangan
yang monolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan “konco-konco” presiden, (b)
kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai, (c) peraturan kurang
disosialisasikan, (d) sangsi yang terlalu ringan, (e) penerapan sangsi yang tidak konsisten
dan pandang bulu, (f) lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan.

Beberapa ide strategis untuk menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh
pemerintah diantaranya dengan mendorong para pembuat undang-undang untuk
melakukan evaluasi atas efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undangundang tersebut dibuat.
Lembaga-lembaga ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam melakukan
praktek korupsinya tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu kosnpirasi
dengan para pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal
penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham
kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya bupati/Walikota
tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan DPRD, Bupati/Walikota
membuat kebijakan yang koruptif yang hanya menguntungkan sebagian kecil
masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun kelompoknya sendiri. Dengan
kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada pejabat publik yang
berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai
motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan aktifitas usahanya yang
berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya menikmati sisa-

sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini dapat
disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBD sangat mungkin jika aspek peraturan
perundang-undangan sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Hal
senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk (2002) yang menyatakan bahwa lemahnya
sistem peraturan perundang-undangan memberikan peluang untuk melakukan tindak
pidana korupsi.
Hasil pooling yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) berdasarkan
jawaban dari 9273 responden menunjukan bahwa sekitar 22,2% korupsi terjadi di Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) (MCW, 2004). Bentuk korupsi ini terjadi karena lemahnya
peraturan perundang-undangan didaerah. Sehingga hipotesis penelitian ini adalah:
H3: Aspek peraturan perundang-undangan berkorelasi negatif dan secara
signifikan mempengaruhi terjadinya korupsi APBD.
4. Aspek Pengawasan
Pengawasan yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang
bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya (a) adanya tumpang tindih pengawasan
pada berbagai instansi, (b) kurangnya profesionalisme pengawas, (c) kurang adanya
koordinasi antar pengawas (d) kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun
pemerintahan oleh pengawas sendiri. hal ini sering kali para pengawas tersebut terlibat
dalam praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan
masyarakat dan media juga lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk
pengawasan APBD yang sarat dengan korupsi. Hal inis sejalan dengan pendapatnya
Baswir (1996) yang mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi
patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan,
sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal
(pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan
bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Dimana pengawasan ini
kurang bisa efektif karena adanya beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih
pengawasan pada berbagai instansi, kurang profesionalismenya pengawas serta
kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri.
Dan berkaitan dengan hal ini pengawas sendiri sering kali terlibat dalam praktek korupsi.
Sehingga hipotesis penelitian ini adalah:
H4: Aspek pengawasan berkorelasi negatif dan secara signifikan mempengaruhi
terajdinya korupsi APBD.
D. Korupsi APBD
Secara umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah (APBD) adalah
pernyataan tentang rencana pendapatan dan belanja daerah dalam periode tertentu (1
tahun). Pada awalnya fungsi APBD adalah sebagai pedoman pemerintah daerah dalam

mengelola keuangan daerah untuk satu periode. Selanjutnya, sebelum anggaran
dijalankan harus mendapat persetujuan dari DPRD sebagai wakil rakyat maka fungsi
anggaran juga sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap kebijakan
publik. Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran merupakan
power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendiri (Sopanah & Wahyudi,
2004).
Semenjak DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD terdapat perubahan
kondisi yang menimbulkan banyak masalah. Pertama, sistem pengalihan anggaran yang
tidak jelas dari pusat ke daerah. Kedua, karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat
sering diabaikan. Ketiga, esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih dipelintir
oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan sumber-sumber pendapatan masih
dikuasai oleh pusat sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya. Keempat,
ternyata DPRD dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment prioritas
kebutuhan rakyat yang harus didahulukan dalam APBD. Kelima, volume APBD yang
disusun oleh daerah meningkat hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini
menimbulkan masalah karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu
berkerja lebih keras untuk menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui
pemerintah pusat namun pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999 memiliki
kewenangan untuk melakukan pinjaman daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar
negeri.
Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan. Pertama,, adanya
jargon dari pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD (Pendapatan
Asli Daerah) dalam rangka otonomi daerah. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang
miskin SDA akan memilih menggali PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya
sekalipun meningkatkan pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak perlu
melakukan banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh karena itu
tidak heran bila kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah bahkan
daerah yang kaya sekalipun.
Dengan mengingat bahwa tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia masih tinggi,
hal ini ditunjukkan dalam survey kecenderungan korupsi birokrasi yang diselenggarakan
oleh PERC. Pada tahun 1999, angka kecenderungan korupsi birokrasi menunjukkan
angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana angka nol berarti mutlak bersih dan 10 berarti mutlak
memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun kemudian, tahun 2000, angka ini tidak
mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka meningkatkan PAD
akan lebih baik bila diprioritaskan dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan
pemerintah daerah yang selama ini ada bukan dengan cara meningkatkan pajak karena
akan menyengsarakan rakyat (Ardyanto, 2002)
Kedua, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan menyusun
anggaran untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena tidak ada
pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi.
Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka

kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran
tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa korupsi begitu merajalela di Indonesia?
Secara teoritis Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi APBD dipengaruhi oleh
faktor permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena
adanya (1) regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2)
karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa
di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1)
tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3)
kontrol atas institusi yang tidak memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum.
Lebih Lengkap lihat catatan atas kelompok Anggaran (Helmi, Ahmad dkk, 2002).
Pos Anggaran Catatan
Pendapatan

1. Darimana komponen PAD berasal, dan bagaimana pengaruhnya
bagi masyarakat. Apakah keinginan daerah untuk mengejar target
PAD seringkali ditempuh dengan cara membebani masyarakat,
misalnya menaikkan pajak dan retribusi.
2. Dana Perimbangan (selain DAU dan DAK) memang terlihat
memiliki angka prosentase yang cukup besar bagi daerah. Namun
sumber-sumber daya tersebut hanya berada di beberapa daerah
tertentu.

Belanja
Aparatur
Daerah

1. Pada dasarnya, selain gaji pegawai, pengeluaran-pengeluaran dalam
belanja aparatur daerah potensial untuk dimanipulasi daan
digunakan oleh pegawai pemerintah untuk mencari pendapatan
tambahan.
2. Adanya pos-pos titipan dari unit kerja lain, misalnya, tunjangan
anggota DPRD yang dititipkan di Sekwan.
3. Pemberian honor kepada petugas atau unit tertentu, padahal tugas
tersebut sebenarnya adalah tugas pokok dan fungsinya sendiri.
4. Jumlah anggaran yang diperbesar, misalnya dengan mempertinggi
frekuensi kegiatan atau acara-acara pejabat dengan anggaran yang
bisa diambil dari dana taktis dan sesudahnya dikembalikan berdasar
pembebanan atau urusan dari dinas-dinas. Contoh lain adalah
pengadaan barang/ATK/Kendaraan dinas/percetakan yang disertai
pemberian komisi atau potongan yang tidak dicatat.
5. Biaya perjalanan dinas dari berbagai sumber untuk tujuan
perjalanan yang sama, misalnya dari biaya rutin kantor dan dari
anggaran beberapa proyek. Selain itu, sering terjadi penyimpangan
berupa perhitungan yang dilebihkan, jumlah orang diperbanyak dan
biaya perjalanan dinas yang tidak wajar.
6. Pengeluaran tidak wajar atas suatu kegiatan tertentu dan
penggandaan jumlah kebutuhan dalam kaitan dengan belanja
barang misal ATK tidak dibelikan karena sudah dipenuhi dari

anggaran proyek dinas tersebut.
7. Overlapping sumber pengeluaran, misalnya dana untuk pembelian
obat-obatan atau peralatan Rumah sakit yang sangat banyak
sumbernya.
Belanja
Pelayanan
Publik

1. Pemerintah cenderung tidak mengakomodir adanya perbedaan atau
karakteristik masing-masing daerah. Adanya penyeragaman pospos pengeluaran menyulitkan daerah untuk optimalisasi dana yang
ada pada jenis-jenis pengeluaran yang sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan masyarakat.
2. Dari segi alokasi dana, dalam belanja pelayanan publik masih
belum dilandasi ukuran/indikator kinerja yang jelas.
3. Sering terjadi suatu proyek diselenggarakan lebih dari satu kali,
telah masuk dalam satu sektor tetapi masuk juga dalam sektor lain.
4. Pos anggaran biaya administrasi proyek potensial untuk dijadikaan
side income bagi pejabat.

Berdasarkan hipotesis yang telah dikembangkan maka model penelitian yang berjudul
“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Korupsi APBD di Malang Raya “
ditunjukan oleh gambar 1.
III.

METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah survey. Data penelitian yang di butuhkan adalah data
primer dalam bentuk persepsi responden (subjek) penelitian. Pengambilan data
menggunakan survey langsung dan instrumen yang di gunakan adalah kuesioner
(angket). Kuesioner yang digunakan disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang
terkait.
B. Sampel (Responden)
Sampel dalam penelitian ini adalah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) seperti
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi kepemudaan, organisasi profesi,
akademisi, tokoh masyarakat, media masa, mahasiswa dan lain-lain. Pemilihan sampel
berdasarkan metode acak (random sampling). Total Kuesioner yang di sebarkan sejumlah
300 kuesioner. Dari jumlah tersebut, kuesioner yang kembali sebanyak 180. Dan dari
jumlah yang kembali tersebut yang pengisiannya tidak lengkap 15, sehingga total
kuesioner yang akan diolah sejumlah 165 seperti yang terlihat dalam tabel berikut.
Insert Tabel 1: Pengiriman dan Tingkat Pengembalian Kuesioner
C. Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel

3. Variabel Dependen
Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah korupsi APBD yang
terjadi di wilayah Malang Raya. Korupsi APBD adalah tindak pidana yang berupa
penyelewengan dana APBD untuk kepentingan individu atau kelompoknya yang dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti mark up anggaran, titipan anggaran, duplikat
anggaran dan lain-lain.
2. Variabel Independen
Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya korupsi yaitu aspek prilaku individu, aspek organisasi
kepemerintahan, aspek peraturan perundang-undangan, dan aspek pengawasan. Aspek
individu dan perilaku adalah penyebab korupsi yang berasal dari sikap mental seseorang
yang berupa dorongan dari dalam dirinya. Aspek organisasi kepemerintahan adalah
penyebab korupsi yang berasal dari buruknya sistem organisasi kepemerintahan termasuk
sistem birokrasinya. Aspek peraturan perundang-undangan adalah penyebab korupsi yang
berasal dari lemahnya sistem perundang-undangan yang ada. Aspek pengawasan adalah
penyebab korupsi karena minimnya atau bahkan tidak adanya pengawasan baik oleh
pihak internal maupun eksternal.
D. Pengukuran Variabel
Masing-masing variabel diukur dengan model Skala Likert yaitu mengukur sikap
dengan menyatakan setuju atau ketidaksetujuannya terhadap pertanyaan yang diajukan
dengan skor 5 (SS=Sangat Setuju), 4 (S=Setuju), 3 (TT=Tidak Tahu), 2 (TS=Tidak
Setuju), dan 1 (STS=Sangat Tidak Setuju).

E. Uji Reliabilitas Dan Validitas
Untuk melihat reliabilitas masing-masing instrumen yang digunakan, peneliti
menggunakan koefisien Cronbach Alpha. Suatu instrumen dikatakan reliabel jika
memiliki nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,5 (Nunnally, 1967). Untuk mengetahui
bahwa pertanyaan yang digunakan dalam instrumen valid, maka digunakan Factor
Analysis. Instrumen dikatakan valid jika memiliki nilai Kaiser,s MSA lebih besar dari 0,5
sehingga construct validity tepat (Kaiser dan Rice, 1976). Disamping itu, instrumen dapat
dikatakan valid jika Eigen value lebih dari satu. Hasil pengujian reliabilitas dan validitas
instrumen yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada tabel 2.
Insert Tabel 2: Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas dengan Sampel Dewan
F. METODE ANALISIS DATA

Y= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 +b4X4+ e ......................(1)
Hipotesis dalam penelitian ini akan diuji dengan menggunakan multiple regression, yaitu
berdasarkan nilai p-value, nilai t, nilai F dan kemudian juga akan dianalisis koefisien
regresi dan koefisien determinasi. Untuk menganalisis data, digunakan software SPSS for
window realesed 10.05 programe. Adapun persamaan regresi dalam penelitian ini adalah:
Y= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 +b4X4+ e ......................(1)
Keterangan:
Y : Korupsi APBD
a : Konstanta
b1, b2, b3, b4 : Koefisien regresi
X1 : Aspek Prilaku individu
X2 : Aspek Organisasi Kepemerintahan
X3 : Aspek Peraturan Perundang-undangan
X4 : Aspek Pengawasan
e : Eror

IV.

ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Data Demografi Responden

Dari 165 responden yang telah memenuhi kriteria untuk diolah, 103 orang diantaranya
laki-laki dan 62 orang diantaranya perempuan, rata-rata berusia antara 30-39 tahun, dan
rata-rata pendidikannya adalah S1 (sarjana). Tabel 3 menyajikan demografi responden.
Insert Tabel 3. Demografi Responden
B. Pengujian Hipotesis I dan Pembahasan
Insert Tabel 4. Hasil Regresi Hipotesis Pertama
Hasil analisis regresi terhadap hipotesis 1 dapat dilihat bahwa aspek prilaku individu
tidak berpenagruh secara signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD dengan melihat
taraf signifikansinya yaitu sebesar 0.20. Hubungan yang ditunjukan oleh koefisien regresi

adalah negatif -0,06, artinya semakin buruk aspek prilaku individu maka korupsi APBD
semakin rendah. Seharusnya semakin buruk aspek prilaku individu maka korupsi APBD
semakin tinggi. Nilai t hitung dari hasil regresi adalah 1,26 dimana t hitung ini lebih kecil
dari t tabel (1,98), artinya hipotesis pertama tidak didukung (ditolak). Dilihat dari F
hitung sebesar 1,61 sedangkan F tabel sebesar 2,37, sehingga F hitung < dari F tabel,
sementara nilai sig sebesar 0,20 adalah > dari 0,05 sehingga model regresi tidak dapat
digunakan untuk memprediksi pengaruh variabel prilaku individu terhadap terjadinya
korupsi APBD. Berdasarkan hasil statistik dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1 di tolak.
Dilihat dari koefisien determinasinya, pengaruh aspek prilaku individu sebesar hanya 1%.
hal ini tidak sesuai dengan teori perilaku individu yang sangat mempengaruhi perilaku
organisasi..
C. Pengujian Hipotesis II dan Pembahasan
Insert Tabel 5: Hasil Regresi Hipotesis Kedua
Hasil analisis regresi terhadap hipotesis kedua dapat dilihat bahwa aspek organisasi
kepemerintahan berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD dengan
melihat taraf signifikansinya yaitu sebesar 0.00. Hubungan yang ditunjukan oleh
koefisien regresi adalah negatif 0,27, artinya semakin baik aspek organisasi
kepemerintahan maka korupsi APBD akan menurun. Nilai t hitung dari hasil regresi
adalah 4,64, dimana t hitung ini lebih besar dari t tabel (1,98), artinya hipotesis kedua
didukung. Dilihat dari F hitung sebesar 21,61 sedangkan F tabel sebesar 2,37, sehingga F
hitung > dari F tabel, sementara nilai sig sebesar 0,00 adalah < dari 0,05 sehingga model
regresi dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh variabel aspek organisasi
kepemerintahan terhadap korupsi APBD. Berdasarkan hasil statistik dapat disimpulkan
bahwa hipotesis kedua diterima. Dilihat dari koefisien determinasinya, pengaruh aspek
organisasi kepemerintahan terhadap terjadinya korupsi APBD sebesar 11,7%. Artinya
dari 100% faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi APBD 11,75%
dipengaruhi oleh aspek organisasi kepemerintahan.
D. Pengujian Hipotesis III dan Pembahasan
Insert Tabel 6: Hasil Regresi Hipotesis Ketiga
Hasil analisis regresi terhadap hipotesis ketiga dapat dilihat bahwa aspek perundangundangan secara signifikan mempengaruhi terjadinya korupsi APBD dengan melihat
taraf signifikansinya yaitu sebesar 0.00. Hubungan yang ditunjukan oleh koefisien regresi
adalah negatif 0,25, artinya semakin berkualitas sistem perundang-undangan maka
korupsi akan semakin rendah. Nilai t hitung dari hasil regresi adalah 5,93, dimana t
hitung ini lebih besar dari t tabel (1,98), artinya hipotesis pertama didukung. Dilihat dari
F hitung sebesar 35,24 sedangkan F tabel sebesar 2,37, sehingga F hitung > dari F tabel,
sementara nilai sig sebesar 0,00 adalah < dari 0,05 sehingga model regresi dapat
digunakan untuk memprediksi pengaruh variabel aspek perundang-undangan terhadap
korupsi APBD. Dilihat dari koefisien determinasinya, pengaruh aspek peraturan
perundang-undangan terhadap terjadinya korupsi APBD sebesar 17,8%. Artinya dari

100% faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi 17,8% dipengaruhi oleh
berkualitas tidaknya sebuah sistem perundang-undangan.
E. Pengujian Hipotesis IV Dan Pembahasan
Insert Tabel 7: Hasil Analisis Hipotesis Keempat
Hasil analisis regresi keempat dapat dilihat bahwa aspek pengawasan berpengaruh
secara signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD dengan melihat taraf signifikansinya
yaitu sebesar 0.00. Hubungan yang ditunjukkan oleh koefisien regresi adalah negatif
0,30, artinya semakin tinggi pengawasan yang maka korupsi APBD akan semakin
rendah. Nilai t hitung dari hasil regresi adalah 7,76, dimana t hitung ini lebih besar dari t
tabel (1,98), artinya hipotesis keempat didukung. Dilihat dari F hitung sebesar 60,25
sedangkan F tabel sebesar 2,37, sehingga F hitung > dari F tabel, sementara nilai sig
sebesar 0,00 adalah < dari 0,05 sehingga model regresi dapat digunakan untuk
memprediksi pengaruh variabel aspek pengawasan terhadap variabel korupsi APBD.
Dilihat dari koefisien determinasinya, pengaruh aspek pengawasan terhadap terjadinya
korupsi APBD sebesar 27%, Artinya dari 100% faktor-faktor yang mempengaruhi
pengawasan terjadinya korupsi 27% disebabkan karena lemahnya pengawasan.
F. Pengujian Hipotesis Secara Simultan
Insert Tabel 8: Hasil Multipel Regresi
Hasil analisis regresi secara simultan menunjukkan bahwa secara bersama-sama
variabel aspek perilaku individu, aspek organisasi kepemerintahan, aspek peraturan
perundang-undangan dan aspek pengawasan berpengaruh signifikan terhadap terjadinya
korupsi APBD di Malang Raya dengan melihat taraf signifikansinya yaitu sebesar 0.00.
Hasil analisis secara simultan mendukung analisis secara secara partial. Dilihat dari F
hitung sebesar 19,13 sedangkan F tabel sebesar 2,37, sehingga F hitung > dari F tabel,
sementara nilai sig sebesar 0,00 adalah < dari 0,05 sehingga model regresi dapat
digunakan untuk memprediksi pengaruh variabel aspek pengawasan terhadap variabel
korupsi APBD. Dilihat dari koefisien determinasinya, pengaruh aspek perilaku individu,
aspek organisasi kepemerintahan, aspek peraturan perundang-undangan dan aspek
pengawasan secara bersama-sama sebesar 32,4%. Hal ini berbeda jika menggunakan
analisis regresi partial.
V.

SIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN DAN IMPLIKASI

A. Simpulan
Tujuan penelitian ini adalah menguji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) khusunya di Malang Raya. Dari
hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bukti kongkrit dalam diskursus korupsi dan
strategi upaya pemberantasan korupsi, juga sebagai bahan untuk mendidik publik tentang
besarnya ongkos sosial ekonomi yang ditimbulkan dari korupsi.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pertama, aspek prilaku individu tidak
berpengaruh signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD. Kedua, aspek organisasi
kepemerintahan merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap terjadinya
korupsi APBD. Hubungan yang di tunjukkan adalah negatif artinya semakin baik
organisasi kepemerintahan maka semakin rendah korupsi APBD yang terjadi. Ketiga,
aspek peraturan perundang-undangan merupakan faktor yang berpengaruh signifikan
terhadap terjadinya korupsi APBD. Hubungan yang di tunjukkan adalah negatif artinya
semakin berkualitas peraturan perundang-undangannya maka semakin rendah korupsi
APBD yang terjadi. Keempat, aspek pengawasan merupakan faktor yang berpengaruh
signifikan terhadap terjadinya korupsi APBD. Hubungan yang di tunjukkan adalah
negatif artinya semakin tinggi tingkat pengawasan yang dilakukan maka semakin rendah
korupsi APBD yang terjadi. Sementara hasil analisis secara simultan mendukung hasil
analisis secara partial, artinya secara bersama-sama faktor individu prilaku, organisasi
kepemerintahan, peraturan perundang-undangan, dan pengawasan secara signifikan
mempengaruhi terjadinya korupsi APBD.
B. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah responden yang yang diambil dari masyarakat yang
dipilih secara random. Sekalipun mereka mewakili institusi/kelompok yang akhir-akhir
ini terlibat dalam diskursus, kajian atau mengikuti ekspose publik kasus korupsi APBD.
Tetapi, apakah mereka benar-benar mengetahui permasalahan korupsi dan mempunyai
kesadaran yang tinggi untuk meminimalkan terjadinya korupsi APBD sampai mereka
mau melakukan advokasi APBD.
C. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan literatur akuntansi
khususnya akuntansi sektor publik dan lebih spesifik mengenai korupsi APBD. Implikasi
bagi penelitian selanjutnya mengembangkan sampel yang lebih luas kepada masyarakat.
Diharapkan sampel yang diambil adalah yang benar-benar mewakili pendapat masyarakat
yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi. Bagi peneliti
selanjutnya diharapkan dapat menambah variabel lain seperti pola-pola atau modus
korupsi APBD, dampak-dampak korupsi APBD, serta strategi pemberantasan korupsi
APBD. Selain analisis, penelitian ini juga bisa dikembangkan ke dalam berbagai model
penelitian korelasional yang berpengaruh terhadap korupsi APBD, seperti partisipasi
masyarakat, trasparansi dan akuntabilitas, performance budget, disiplin anggaran, value
for money, keadilan anggaran, anggaran peka gender dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Ardyanto, Donny, 2002, Korupsi di sektor pelayanan Publik dalam Basyaib, H.,
dkk. (ed.) 2002, Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2,
Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform, Jakarta

Baswir Revrisond, 1993, Ekonomi, Manusia dan Etika, Kumpulan Esai-esai
Terpilih, BPFE, Yogyakarta.
______________, 1996, Ekonomi Politik Kesenjangan, Konglomerasi, dan
korupsi di Indonesia, dalam buku Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan
Rakyat, BPFE, Yogyakarta.
Basyaib, H., Holloway R., dan Makarim NA. (ed.) 2002, Mencuri Uang Rakyat :
16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 3, Yayasan aksara dan Patnership for Good
Governance Reform, Jakarta
Bernardi R.A. 1994, Fraud Detection : The Effect of Client Integrity and
Competence and Auditor Cognitive Style, Auditing : A Journal of Practice and
Theory 13 (Supplement), hal. 68-84
De Asis, Maria Gonzales, Coalition-Building to Fight Corruption, Paper Prepared
for the Anti-Corruption Summit, World Bank Institute, November 2000.
Fadjar, Mukti, 2002, Korupsi dan Penegakan Hukum dalam pengantar
Kurniawan, L, 2002, Menyingkap Korupsi di Daerah, Intrans Malang
Halim, Abdul, 2003, Bunga Rampai Keuangan Daerah, UPP AMP YKPN,
Jogjakarta.
Helmi, dkk, 2003, Memahami Anggaran Publik, Idea Press, Jogjakarta
Hermien H.K., 1994, Korupsi di Indonesia: dari delik Jabatan ke Tindak Pidana
Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung
Kaiser, H. Dan Rice, J., 1974, Educational and Psycological Measurement,
Volume 34, No.1, hal 111-117.
Khudori, Politik Anggaran Publik, Pikiran Rakyat, Rabu, 04 Februari 2004
Klitgaard, dkk (2002). Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan
Daerah, Yayasan Obor Indonesia & Patnership for Governance in Indonesia,
Jakarta
Malang Corruption Watch, 2004, Laporan Investigasi kasus APBD Malang Raya,
tidak diterbitkan.
Mardiasmo, 2003, Konsep Ideal Akuntabilitas dan Transparansi Organisasi
Layanan Publik, Majalah Swara MEP, Vol. 3 No. 8 Maret, MEP UGM,
Jogjakarta.
Nunnaly, 1967, Psycometric Theory, McGraw-Hill, New York.

Peraturan perundang-undangan Nomor 110 tahun 2000 dan 24 tahun 2004
Republik Indonesia, 2001, Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, Citra Umbara, Bandung.
Saptaatmaja, TS. Korupsi dan Hipokrisi, Kompas, Rabu, 8 September 2004
Sopanah & Wahyudi, Isa, 2004, Analisa Anggaran Publik : Panduan TOT,
Malang Corruption Watch (MCW) dan Yappika, Jakarta
Sulistyantoro, HT., Etika Kristen dalam Menyikapi Korupsi, Kompas, Senin, 2
Agustus 2004
Susanto, AA, 2002 Mengantisipasi Korupsi di Pemerintahan Daerah di ambil
dari http://www.transparansi.or.id/artikel/artikelpk/artikel15.html
Tunggal I.S. dan Tunggal A.W, 2000, Audit Kecurangan dan Akuntansi Forensik,
Harvarindo, Jakarta.
Tanzi, Vito, 1998, Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope,
and Cures, IMF Working Paper, WP/98/63, May 1998.
Lampiran-Lampiran
Gambar 1: Model Penelitian

Variabel Dependen
Variabel Independen

Aspek Prilaku individu

Korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Aspek Organisasi
Kepemerintahan

Aspek Peraturan
Perundang-undangan

Aspek Pengawasan

Tabel 1: Pengiriman dan Tingkat Pengembalian Kuesioner
No

Keterangan

Jumlah

1.

Kuesioner yang disebarkan

300

2.

Kuesioner yang kembali

180

3.

Kuesioner yang tidak lengkap

15

4.

Kuesioner yang diolah

165

5.

Respon rate (Prosentase)

55%

Tabel 2: Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas dengan Sampel Dewan
No Variabel
1.Aspek
2.Apek

Prilaku individu

Organisasi Kepemerintahan

Cronbach 

Kaiser,s MSA

Eigen V

0,50

0,53

1,56

0,62

0,67

3,70

3.Aspek

Peraturan Perundang-undangan

0,58

0,61

3,44

4.Aspek

Pengawasan

0,72

0,66

3,87

0,76

0,67

2,90

5.Korupsi APBD

Tabel 3. Demografi Responden

Keterangan

Σ

Daerah Kabupaten/Kota Kota Malang

80 48

Jenis Kelamin

Kabupaten Malang

55 33

Kota Batu

30 19

Laki-laki

103 62

Perempuan
Usia

Pendidikan

Institusi atau lembaga

%

62 38

20-29 Tahun

43 26

30-39 Tahun

68 41

40-49 Tahun

37 23

50-59 Tahun

17 10

SLTA

25 15

Diploma

38 23

S1

75 46

S2

22 13

S3

5

Malang Corruption Watch (MCW)

3

15 9

Solidaritas Rakyat Anti Korupsi (SORAK)

5

3

Gerakan Peduli Uang Rakyat (GEMPUR)

12 7

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)

3

Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

4 2.5

Institute of Develompment Studies (IDS)

2

1

Gerakan Supremasi Hukum Indonesia (Gesindo)

2

1

Pusat Pembelaan Hak Asasi Manusia (PAHAM)

2

2

Karang Taruna

10 6

2

Yayasan Akar Alam

2

Forum Masyarakat Tanjung (FORMAT)

4 2.5

PD Muhamadiyah

12 7

Aisyiyah

5

PC Nadhatul Ulama

10 6

Muslimat

7

Pedagang Kali Lima (PKL)

10 6

Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) 8

1

3

4

5

Akademisi

10 6

Media

10 6

Mahasiswa

10 6

Tokoh Masyarakat

8

5

Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB)

2

1

Forum Kom. Perempuan Umat Beragama (FKUB)

2

1

Pusat Studi Gender (PSG)

2

1

Pusat Studi Kewanitaan (PSK)

3

2

Pusat Studi Kewilayahan (PSK)

2

1

PP Otoda FH UB

2

1

Pusat Studi Kajian Hukum &Kebijakan Publik
(PSKHKP)

2

1

2

1

2

1

Lembaga Pemantau peradilan Indonesia (LePPI)
Lembaga Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH)

Tabel 4: Hasil Regresi Hipotesis Pertama
No. Keterangan

n

1.

165 1

Sampel

R2 F

Sig

Koefisien

t-value

p-value

3,77

19,21

0,00

1,61 0.20

Konstanta
0,06

1,26

0,20

Aspek Perilaku Individu

Tabel 5: Hasil Regresi Hipotesis Kedua
No. Keterangan

n

1.

165 11,7 21,61 0,00

Sampel

R2 F

Sig Koefisien t-value p-value
2,86

11,44

0,00

Konstanta
0,27

4,649

0,00

Aspek Organisasi Kepemerintahan

Tabel 6: Hasil Regresi Hipotesis Ketiga
No. Keterangan

n

1.

165 17,8 35,24 0,00

Sampel

R2

F

Sig Koefisien t-value p-value
3,00

17,48

0,00

Konstanta
0,25

5,93

0,00

Aspek Peraturan Per UU-an

Tabel 7: Hasil Regresi Hipotesis Keempat
No. Keterangan

n

1.

165 27 60,25

Sampel

R2 F

Sig

Koefisien

t-value

p-value

2,82

18,12

0,00

0,00

Konstanta
0,30
Aspek Pengawasan

Tabel 8: Hasil Multipel Regresi

7,76

0,00

No. Keterangan

n

Sampel

R2 F

Sig Koefisien t-value p-value

165 32,4 19,13 0,00 2,18

7,57

0,00

Konstanta
1

Aspek Perilaku Individu

-0,01

-2,62

0,79

2

Aspek Organisasi Kepemerintahan

0,18

3,30

0,01

3

Aspek Peraturan Per UU-an

1,98

3,03

0,03

4

Aspek Pengawasan

0,26

4,934

0,00

Lampiran Kuesioner
ASPEK INDIVIDU PRILAKU (X1)
No PERTANYAAN

1

1.Sifat

tamak manusia membuat seseorang melakukan tindak pidana
korupsi

2.Korupsi disebabkan

2 3 45

STS TS TT S SS

karena moral seseorang yang kurang kuat dalam STS TS TT S SS

menghadapi godaan
3.Seseorang

tergoda melakukan korupsi karena penghasilan kurang
mencukupi kebutuhan hidup yang wajar

STS TS TT S SS

4.Adanya kebutuhan

hidup yang mendesak, seseorang dapat melakukan STS TS TT S SS
tindak pidana korupsi

5.Korupsi dapat

disebabkan karena gaya hidup konsumtif dan
bermewah-mewahan

STS TS TT S SS

6.Sesorang

melakukan tindak pidana korupsi karena tidak mau bekerja STS TS TT S SS
keras atau bermalas-malasan

7.Ajaran

agama yang kurang diterapkan secara benar berakibat pada
seseorang berani melakukan tindak pidana korupsi

STS TS TT S SS

ASPEK ORGANISASI KEPEMERINTAHAN (X2)
No PERTANYAAN
1.Kurang

adanya teladan dari pimpinan pemerintah menyebabkan
seseorang melakukan tindak pidana korupsi

2.Korupsi terjadi
3.Sistem

1

2 3 45

STS TS TT S SS

karena tidak adanya kultur pemerintahan yang benar STS TS TT S SS

akuntabilitas yang kurang memadai memberi peluang untuk

STS TS TT S SS

melakukan korupsi
4.Manajemen

yang tidak transparan cenderung menutupi korupsi di
dalam instansi pemerintah

STS TS TT S SS

5.Adanya korupsi disebabkan

STS TS TT S SS

karena Birokrasi yang panjang dan

berbelit-belit
6.Pelayanan

publik yang rendah memberi peluang untuk melakukan

STS TS TT S SS

korupsi.
7.Korupsi disebabkan

karena lemahnya sistem pengendalian instansi

STS TS TT S SS

pemerintah

ASPEK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (X3)
No PERTANYAAN

1

2 3 45

1. Peraturan perundang-undangan yang monolistik dan menguntungkan STS TS TT S SS
kerabat menjadi peluang untuk melakukan korupsi
2. Kualitas perundang-undangan yang tidak memadai menyebabkan
korupsi tinggi

STS TS TT S SS

3. Tidak adanya sosialisasi perundang-undangan memberi peluang bagi STS TS TT S SS
seseorang untuk melakukan korupsi
4. Seseorang melakukan korupsi karena sanksi yang dijatuhkan sangat
ringan

STS TS TT S SS

5. Korupsi terjadi karena penerapan sanksi yang tidak konsisten dan
pandang bulu

STS TS TT S SS

6. Lemahnya bidang evaluasi dan revisi perundang-undangan
menyebabkan korupsi semakin tinggi

STS TS TT S SS

7. Belum adanya Perda kebebasan informasi dan tatacara penyampaian STS TS TT S SS
aspirasi memberi peluang melakukan korupsi

ASPEK PENGAWASAN (X4)
No PERTANYAAN

1

2 3 45

1. Korupsi terjadi karena masyarakat lemah dalam melakukan
pengawasan

STS TS TT S SS

2. Korupsi merajalela karena lembaga pengawas tidak independen

STS TS TT S SS

3. Lemahnya pengawasan dari partai membantu pejabat melakukan
korupsi

STS TS TT S SS

4. Media lemah dalam memberikan kontrol terhadap jalannya

STS TS TT S SS

kepemerintahan sehingga korupsi terus berjalan
5. Korupsi disebabkan karena tidak ada mekanisme pengawasan yang
dapat dipertanggungjawabkan

STS TS TT S SS

6. Korupsi terjadi karena DPRD lemah dalam mengawasi kinerja
eksekutif

STS TS TT S SS

7. Lembaga peradilan yang tidak independen membuat seseorang berani STS TS TT S SS
melakukan korupsi

KORUPSI APBD (Y)
No PERTANYAAN

1

2 3 45

1. Kenaikan pajak dan retribusi yang tidak wajar merupakan bagian dari STS TS TT S SS
tindak pidana korupsi
2. Korupsi bisa berbentuk pemberian dana perimbangan (DAU & DAK) STS TS TT S SS
yang tidak proporsional
3. Adanya korupsi disebabkan karena manipulasi dan meninggikan
harga pada pos belanja rutin

STS TS TT S SS

4. Adanya pos titipan dari dinas atau unit kerja lain adalah bagian dari
tindak pidana korupsi

STS TS TT S SS

5. Pemberian honor kepada petugas atau unit kerja tertentu bagian dari
tindak pidana korupsi

STS TS TT S SS

6. Modus tindak pidana korupsi biasanya dilakukan dengan cara
memperbesar jumlah anggaran

STS TS TT S SS

7. Biaya perjalanan dinas dari berbagai sumber merupakan tindak
pidana korupsi apalagi untuk tujuan perjalanan yang sama

STS TS TT S SS

8. Pengeluaran yang tidak wajar atas