ANALISIS EFISIENSI TEKNIS PADA SEKTOR PE

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS PADA SEKTOR PERTANIAN PADI DI JAWA
TIMUR: PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) II TAHAP
Rina Wibowo1, Bimby Enggar
Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengukur dan menganalisis efisiensi teknis pertanian padi di
Jawa Timur. Efisiensi teknis dievaluasi dengan menggunakan pendekatan non-parametrik
DEA 2 tahap pada 2217 petani padi pada tahun tanam 2008. Tahap pertama pada metode ini
adalah mengukur efisiensi petani menggunakan metode DEA berdasarkan asumsi Varible
Return to Scale (VRS) dengan pendekatan input oriented, kemudian selanjutnya
mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja efisiensi menggunakan model regresi
tobit. Asumsi Varible Return to Scale (VRS) menunjukkan bahwa terdapat 6 daerah yang
berhasil mencapai nilai efisiensi maksimal (100%) yang artinya efisien secara teknis,
sedangkan 13 daerah lainnya dalam kondisi inefisien. Ke-13 daerah tersebut berada pada
kondisi Increasing Return to Scale (IRS) artinya daerah tersebut beroperasi pada skala
optimal, dimana setiap penambahan input menghasilkan proporsi output yang cenderung
meningkat. Hasil analisis regresi tobit menunjukkan menunjukkan bahwa jenis benih, jenis
pupuk, jenis sawah, tidak ada hama/ OPT, akses kredit, dan bantuan pemerintah terbukti tidak
signifikan secara statistik untuk menentukan pengaruh efisiensi hasil panen. Variabel
sosioekonomi seperti luas lahan yang dikuasai dan pendidikan signifikan mempengaruhi hasil

panen secara parsial. Secara simultan variabel-variabel tersebut tidak signifikan
mempengaruhi hasil panen.
Kata kunci : efisiens teknis, DEA, Tobit

ABSTRACT
This study aims to measure and analyze the technical efficiency of paddy farming in
East Java. Technical efficiency was evaluated by using a non-parametric DEA 2 stage
approach in 2217 rice farmers in the 2008 planting year. The first step in this method was to
measure farmers' efficiency using the DEA method based on the Assumption of Varible
Return to Scale (VRS) with the oriented input approach, then further estimated the factors
that affect the efficiency performance use the tobit regression model. Assumption of Varible
Return to Scale (VRS) shows that there are 6 regions that succeed to achieve maximum
efficiency value (100%) which means technically efficient, while 13 other areas in inefficient
condition. These 13 areas are in the Increasing Return to Scale (IRS) condition, which means
that the area operates at an optimum scale, where each input addition produces a proportion
of output that tends to increase. The results of the tobit regression analysis showed that the
types of seeds, types of fertilizers, types of rice fields, no pests / pests, access to credit, and
government assistance proved not statistically significant to determine the effect of crop
efficiency. Socioeconomic variables such as land area controlled and significant education
affect partial yields. Simultaneously, these variables do not significantly affect the yields.

Keywords: technical efficiency, DEA, Tobit
PENDAHULUAN
1 Email : rinawibowo1604@gmail.com

1

Beras merupakan komoditas bahan makanan utama di Indonesia. Hampir seluruh
masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok. Selama 1961 –
2009 konsumsi beras sebagai bahan makanan di Indonesia tumbuh dengan rata-rata 2,84
persen setiap tahun. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia adalah
1,90 persen setiap tahun. Keadaan seperti ini juga berlaku di beberapa negara seperti China,
India, Myanmar, Philippines, dan Vietnam.
Rata-rata pertumbuhan per kapita konsumsi beras di Indonesia selama 1961 – 2009
adalah 0,92 persen per tahun, dimana ini adalah kedua tertinggi setelah Cina. Upaya untuk
menurunkan penggunaan beras sebagai bahan makanan bagi penduduk sebenarnya telah
dijalankan oleh pemerintah Indonesia dengan mendorong diversifikasi bahan makanan, tetapi
usaha ini masih belum berhasil hingga sekarang.
Tabel 1. Konsumsi Beras, Jumlah Penduduk, Per kapita Konsumsi Beras Tahun 2009 dan
Pertumbuhannya selama 1961 – 2009 di Indonesia dan Beberapa Negara Penghasil
Beras di Asia

Negara
Cambodia
China
India
Indonesia
Japan
Myanmar
Pakistan
Philippines
Thailand
Vietnam

Konsumsi
Beras (ton)*
2009
2,240,754
104,260,361
82,380,037
30,248,388
6,832,277

6,700,035
2,891,343
11,311,260
9,140,916
12,270,968

GP
19612009
1.84
2.69
2.04
2.84
-0.88
1.77
2.66
3.16
1.77
1.89

Penduduk

(ribu)
2009
13,978
1,365,580
1,207,740
237,414
126,552
47,601
170,494
91,703
68,706
86,901

GPOP
19612009
1.90
1.43
2.00
1.90
0.62

1.64
2.66
2.54
1.84
1.81

Per kapita
Konsumsi Beras
(kg/tahun) 2009
160.31
76.35
68.21
127.41
53.99
140.75
16.96
123.35
133.04
141.21


GCAP
19612009
-0.06
1.24
0.04
0.92
-1.49
0.13
0.00
0.61
-0.07
0.08

Sumber: FAOSTAT (2013), diolah.
Keterangan: *Konsumsi beras sebagai bahan makanan bagi penduduk; G P = rata-rata pertumbuhan
konsumsi beras (%/tahun); GPOP = rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk (%/tahun); GCAP = rata-rata
pertumbuhan per kapita Konsumsi beras (%/tahun)

Dari segi produksi dan konsumsi beras, Indonesia hampir selalu mengalami defisit.
Keadaan ini memaksa pemerintah Indonesia untuk menempuh cara yang paling mudah untuk

menutupi defisit yaitu dengan mengimpor beras. Selama tahun 1961 – 2009 impor beras
Indonesia cukup fluktuatif dan cenderung meningkat. Impor beras meningkat secara perlahan
terjadi selama 1965 – 1980, kemudian meningkat dengan cukup tajam dalam tahun 1994 1996 dan 1998/1999 seperti ditunjukkan oleh Gambar 1. Selama 1961 – 2009 Indonesia
mengimpor beras dengan rata-rata 987 ribu ton setiap tahun.
Di Indonesia, daerah-daerah penghasil padi tersebar mulai dari Sumatera hingga
Papua. Produktivitas pertanian padi adalah berbeda-beda di antara daerah penghasil.
Produktivitas di Bali (5.85 ton per hektar) adalah produktivitas tertinggi dibandingkan dengan
daerah-daerah yang lainnya termasuk di Jawa (5.72 ton per hektar) dan di Sumatera (4.41 ton
per hektar), meskipun kedua pulau tersebut memiliki luas panen padi lebih luas daripada luas
panen padi di Bali dan di daerah-daerah yang lainnya, keadaan ini ditunjukkan oleh Tabel 2.
Berdasarkan pola sebaran produksi yang demikian, Pulau Jawa memiliki peran
sebagai penyangga produksi beras nasional (Mailena et al., 2004). Hal ini menunjukkan
bahwa masih terdapat kesenjangan hasil antar daerah. Kemudian, potensi hasil produksi padi
di Indonesia berkisar 6 - 8 ton per hektar (Pramono dkk, 2005; Fagi dkk, 2008). Keadaan ini

memberikan informasi bahwa produktivitas pertanian padi di Indonesia masih mungkin untuk
ditingkatkan hingga mencapai potensi maksimumnya.
Tabel 2. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Pertanian Padi di Indonesia Tahun 2009
Luas Panen
Produksi

(ha)
(ton)
Sumatera
3,330,613 (25.85)
14,696,457 (22.82)
Jawa
6,093,603 (47.30) 34,880,131 (54.16)
Bali
150,283 (1.17)
878,764 (1.36)
Nusa Tenggara
568,498 (4.41)
2,478,134 (3.85)
Kalimantan
1,269,655 (9.85)
4,392,112 (6.82)
Sulawesi
1,399,139 (10.86)
6,801,668 (10.56)
Maluku

34,963 (0.27)
136,128 (0.21)
Papua
36,822 (0.29)
135,496 (0.21)
Indonesia
12,883,576 (100.00) 64,398,890 (100.00)
Sumber: BPS (2013), diolah
Kawasan

Produktivitas
(ton/ha)
4.41
5.72
5.85
4.36
3.46
4.86
3.89
3.68

5.00

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melalukan penelitian tentang
efisiensi teknis dalam pertanian padi. Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Jawa Timur
dengan beberapa pertimbangan:
1. Hampir 5 juta atau 19 persen dari sekitar 25,5 juta rumah tangga pertanian di Indonesia
berada di Provinsi Jawa Timur di mana jumlah ini adalah yang terbanyak dibandingkan
dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia (BPS, 2013).
2. Luas sawah di Provinsi Jawa timur adalah 1,100,517 hektar atau 13,65 persen dari
keseluruhan luas sawah di Indonesia dan terbesar dibandingkan dengan provinsi-provinsi
lainnya. Sebagian besar dari sawah yang digunakan untuk pertanian padi di Jawa Timur
adalah sawah irigasi. Luas sawah jenis ini mencapai 879,958 hektar atau 17,96 persen
dari luas sawah irigasi di Indonesia, dan juga terbesar dibandingkan dengan provinsiprovinsi lainnya (BPS, 2013).
3. Produktivitas pertanian padi di Provinsi Jawa Timur (5,78 ton per hektar) adalah tertinggi
kedua di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat (5,93 ton per hektar) dan cenderung
meningkat (BPS, 2013).
4. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan kontribusi terbesar terhadap tenaga
kerja sektor pertanian yaitu sebesar 20 persen, Jawa Tengah 13 persen, Jawa Barat 10
persen, Sumatera Utara 6 persen, Sumatera Selatan 6 persen dan Lampung 4 persen (BPS,
2011).
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat efisiensi pertanian padi
di Jawa Timur dan menganalisis pengaruh karakteristik sosio-ekonomi (meliputi pendidikan,
umur, luas sawah yang dikuasai), biologikal (jenis sawah, jenis benih, hama/OPT), variabel
akses kredit dan variabel bantuan pemerintah terhadap efisisensi teknis pertanian padi di Jawa
Timur tahun 2008.
Teori Produksi
Hubungan antara input dan output ini digambarkan oleh sebuah fungsi
produksi. Sebuah produksi dengan satu input variabel dapat ditulis seperti berikut:
Q = f(X1 X2, X3,...... Xn) ......(1)

Persamaan (1) menunjukkan bahwa output (Q) merupakan fungsi dari input X1 dengan
asumsi input yang lainnya X2, X3, …., Xn adalah konstan.
Dalam suatu periode produksi, pada umumnya terdapat lebih dari satu input
variabel. Fungsi produksi dengan dua input variabel dapat tuliskan sebagai:
Q = f(X1, X2 X3,…, Xn) ..........(2)
Hubungan ini diilustrasikan oleh isoquant map seperti nampak pada Gambar 1.
X2

X 20

A
Q3

X2'

0

B

X10

X1 '

Q2
Q1

X1

Sumber : Nicholson, 2002
Gambar 1. Isoquant Map
Kurva isoquan memiliki empat asumsi, antara lain: pertama, kurva isokuan memiliki
kemiringan yang negatif. Kedua, kurva isokuan yang semakin ke kanan menunjukkan jumlah
output yang semakin tinggi. Ketiga, kurva isokuan tidak pernah berpotongan dengan kurva
isokuan yang lannya. Keempat, kurva isokuan cembung ke titik origin (convex to origin)
(Nicholson, 2002: 166) Dalam konteks ini, sebuah isoquant menunjukkan berbagai
kombinasi dari input (lebih dari satu) yang menghasilkan kuantitas output yang sama.
Kemiringan kurva ini menggambarkan tingkat substitusi, atau tingkat dengan mana suatu
input akan menggantikan input lainnya pada tingkat output yang sama. Rasio ini disebut
marginal rate of substitution (MRS) dan didefinisikan sebagai:
MRSX1,X2 = X2/X1 .........(3)
Respon output terhadap perubahan seluruh input (X1 dan X2) dalam proporsi
yang sama ditunjukkan oleh skala hasil Returns To Scale (RTS). Pertama, skala hasil
konstan Constant Returns To Scale (CRTS) dimana output meningkat secara
proporsional dengan peningkatan seluruh input. Kedua, skala hasil menurun
Decreasing Returns To Scale (DRTS) dimana output meningkat kurang dari proporsi
peningkatan seluruh input. Ketiga, skala hasil meningkat Increasing Returns To Scale
(IRTS) dimana output meningkat lebih dari proporsi peningkatan seluruh input.
Dalam menentukan kuantitas penggunaan input yang mesti digunakan, maka
dalam kasus ini produsen membutuhkan informasi tentang: (a) harga input relatif,
yaitu slope isocost, dan (b) tingkat substitusi input (MRS). Menggunakan prinsip
least cost combination of input, kondisi ini dicapai jika MRS sama dengan harga
input relatif:
MRSX1,X2 = – PX1/ PX2

(2.4)

X2

X2*

A

Q

C0

C1

X1*

0

C2

X1

Sumber : Nicholson, 2002
Gambar 2. Least Cost Combination of Inputs
Keterangan:
C = isocost
Q = isoquant
Dalam Gambar 2, hal tersebut terjadi pada titik A dengan penggunaan input X 1
sebanyak X1* dan X2 sebanyak X2*. Penggunaan input yang memaksimumkan profit,
disamping informasi di atas juga diperlukan informasi tentang harga produk. Gambar
3 menjelaskan konsep pengukuran efisiensi berorientasi input suatu firm yang
menggunakan dua input X1 dan X2 untuk menghasilkan output tunggal Y, dengan
asumsi Constant Return to Scale (CRS).

Sumber : Nicholson, 2002
Gambar 3. Indeks Efisiensi Farrel Berdasarkan Input Oriented
Pada Gambar 3 menunjukkan isoquant dari input X1 dan X2. Jika titik A, B, C
dan D adalah firm yang menghasilkan satu unit produk, maka firm A, B, dan C yang
berada pada isoquant mencapai efisiensi teknis, sementara firm D tidak efisien secara
teknis. Efisiensi teknis firma D dapat diukur dari rasio OC terhadap OD. Dengan
demikian, untuk mencapai efisiensi teknis, firm D dapat mengurangi kedua input.
TE = OC/OD...................... (4)
Dengan harga input relatif yang tertentu, garis isocost PP’ menunjukkan biaya
minimum untuk menghasilkan satu unit output, sehingga efisiensi ekonomi tercapai
pada titik A. Perlu dicatat bahwa biaya produksi pada titik R sama dengan biaya
produksi pada titik A. Berdasarkan kondisi ini, Farell mengemukakan bahwa efisiensi
ekonomi firm D dapat diukur sebagai OR/OD, dengan OR/OC menggambarkan
efisiensi alokatif, atau perbedaan antara titik yang menunjukkan biaya minimum
dengan biaya yang terjadi pada titik C. Ukuran efisiensi ekonomi dapat
didekomposisikan sebagai berikut:
OR/OD = OC/OD x OR/OC........... (5)
Atau
Efisiensi Ekonomi = Efisiensi Teknis x Efisiensi
Alokatif

Berdasarkan kondisi tersebut, maka hanya firm A yang dapat mencapai
efisiensi ekonomi. Pada firm B dan C terjadi teknis efisien, tetapi tidak untuk efisiensi
alokatif. Sementara pada firm D, baik efisiensi teknis maupun alokatif tidak tercapai.
Efisiensi
Konsep efisiensi pertama kali diperkenalkan oleh Farrel (1957) yang merupakan
tindak lanjut dari model yang diajukan oleh Derbeu (1951). Konsep pengukuran efisiensi
Farrel dapat memperhitungkan input majemuk (lebih dari satu input). Farrel menyatakan
bahwa efisiensi sebuah perusahaan terdiri dari dua komponen, yaitu Efisiensi Teknis
(Technical Efficiency) dan Efisiensi Alokatif (Allocative Efficiency). Efisiensi teknis
mencerminkan kemampuan firma untuk mendapatkan hasil maksimal dari sekumpulan input.
Sedangkan efisiensi alokatif mencerminkan kemampuan firma untuk menggunakan input
dalam proporsi yang optimal, mengingat masing-masing harga dan teknologi produksi (Coelli
et al., 1998). Kedua komponen ini kemudian dikombinasikan untuk menghasilkan Efisiensi
Total atau Efisiensi Ekonomi (Economic Efficiency).
Pendekatan DEA (Data Envelopment Analysis)
Dalam pendekatan DEA dikenal dua model pendekatan yang berdasar
hubungan antar variabel input dengan variabel outputnya yaitu model CRS (Constant
Return to Scale) yang dikemukakan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes (1978) serta
model VRS (Variable Return to Scale) yang dikembangkan oleh Banker, Rajiv. D dan
Ram Natarajan (2008) dari model pendahulunya. Model dengan kondisi CRS
mengindikasikan bahwa penurunan terhadap faktor produksi (input) tidak akan
memberikan dampak pada penambahan pada hasil produksi (output) (Brazdik, 2006).
Min θλθ
St1
-yi + Yλ ≥ 0
θxi – Xλ ≥ 0
λ ≥ 0...............(5)
Asumsi CRS mendefinisikan bahwa asumsi CRS akan sesuai jika semua rumah
tangga beroperasi pada skala optimal karena persaingan yang tidak sempurna, kendala
keuangan dan faktor lainnya (Coelli et al., 1998).
Sedangkan model dengan kondisi VRS akan memperlihatkan bahwa penurunan
sejumlah faktor produksi (input) akan memberikan perubahan pada hasil produksi
(output).
Min θλθ
St1
-yi + Yλ ≥ 0
θxi – Xλ ≥ 0
N1’λ = 1
λ ≥ 0 ...................(6)

Sumber : Coelli et al., 1998
Gambar 4. Kurva Produksi Frontier
Model CRS akan membentuk garis akan membentuk garis perbatasan
(frontier) lurus yang proporsional terhadap kenaikan input dan outputnya (OPcR)
tanpa memperhitungkan ukuran organisasi, sementara model VRS cenderung akan
membentuk garis perbatasan cembung (PvR). Titik R merupakan DMU yang
mewakili skala efisiensi optimal dibawah asumsi VRS dan CRS. Sedangkan titik Pv
berada pada batasan efisien menurut VRS tapi inefisien menurut CRS. Hasil
perhitungan model DEA berorientasi output dan input akan mengidentifikasi DMU
yang efisien sama persis.
Hasil dari perhitungan model DEA berorientasi output dan input akan
mengidentifikasi DMU yang efisien secara persis sama. Nilai efisiensi untuk model
berorientasi output akan sama dengan nilai efisiensi model berorientasi input. Rata-rata nilai
efisiensi untuk model VRS orientasi input secara umum akan lebih besar daripada model
CRS berorientasi input (Coelli et al, 2008).
Teori efisiensi dan produktivitas dikemukakan oleh Farrel (1957) yang kemudian
dikembangkan oleh Charnes et al. (1978) dan Banker, Rajiv. D dan Ram Natarajan (2008)
menjadi sebuah model yang diaplikasikan dalam teknik pengukuran nonparametric (DEA).
DEA adalah sebuah teknik aplikasi program linier yang mengukur efisiensi relatif dari setiap
unit produksi dibandingkan dengan unit produksi lainnya yang memiliki tujuan yang sama.
Unit produksi ini dalam DEA disebut Decision Making Unit (DMU) dimana dalam penelitian
ini adalah produktivitas padi yang dievaluasi. Karakteristik dalam DEA adalah mampu untuk
mengukur multi-input dan menghasilkan multi-output. Hal ini yang menjadi keunggulan DEA
dibandingkan dengan analisis rasio atau regresi berganda.
Skor efisiensi yang dihasilkan DEA berkisar antara 0-1 atau 0-100%. Sebuah DMU
yang memiliki skor kurang dari 1 dianggap sebagai unit yang relatif tidak efisien
dibandingkan dengan unit-unit lainnya. Untuk membedakan antara hasil panen yang efisien
dengan yang tidak efisien, maka jumlah sampel yang digunakan harus lebih besar dari pada
jumlah input dan output.
Dalam DEA masing-masing DMU diberi kebebasan sendiri dalam menentukan
pembobot. Secara umum DEA memberikan bobot yang tinggi untuk input yang
penggunaannya sedikit dan banyak untuk output yang dihasilkan (dan sebaiknya). Kemudian
DEA akan memaksimumkan kemungkinan efisiensi suatu DMU dibandingkan dengan DMU
lainnya. Efisiensi relatif dari suatu DMU didefinisikan sebagai rasio dari jumlah antara
output tertimbang dan input tertimbang. Persamaan matematisnya adalah sebagai berikut:
s

∑ μ r y rc
hc =

r=1
m

∑ v i xic
i=1

.....................(7)

dimana:
hc
s
m
yrc
xic
ur
vi

= Efisiensi relative DMU (hasil panen yang dievaluasi)
= Jumlah output
= Jumlah input
= Nilai dari output r yang dihasilkan DMU
= Nilai dari input i yang digunakan DMU
= Bobot untuk output r
= Bobot untuk input i

Penentuan bobot dapat menjadi masalah meskipun nilai input dan output masingmasing hasil panen dapat diukur dan diformulasikan kedalam persamaan diatas tanpa melalui
standarisasi. DMU mungkin saja menilai input dan output secara berbeda. Untuk mengatasi
hal tersebut Charnes et al. (1978) melalui optimisasi dengan model CRS, DMU dapat
mengadopsi bobot yang dapat memaksimalkan rasio produktivitas dari DMU tersebut tanpa
rasio dari DMU lain melebihi 1.
Bentuk ini mengubah rasio produktivitas menjadi pengukuran efisiensi relatif. Maka,
ditulis persamaan sebagai berikut:
s

∑ u r y rc
Min hc =

r=1
m

.....................(7)

∑ v i x ic
i=1

Dengan fungsi kendala:
s

∑ u r y rj
r=1
m

≤1 untuk tiap daerah dalam sampel

∑ v i x ij
i=1

Ur, vi ≥ 0
r = 1,2,…..s (Jumlah Output)
i = 1,2,…..m (Jumlah Input)
j = 1,2,…..n (Jumlah DMU/hasil panen)
dimana:
c = DMU/hasil panen
yrj = Nilai dari output ke-r dari hasil panen ke-j
ij = Nilai dari input ke-i dari hasil panen ke-j
ur = Bobot yang dipilih untuk output r
vi = Bobot yang dipilih untuk input i
Fungsi tujuan yang didefinisikan oleh hc bertujuan untuk memaksimumkan rasio
antara output tertimbang dibagi input tertimbang. Fungsi kendala akan menentukan hasil
panen memilih bobot yang dapat memaksimumkan efisiensinya, dengan syarat tidak akan ada
hasil panen lain dalam sampel yang memiliki efisiensi lebih dari 1. Dalam model ini bobot
diasumsikan tidak diketahui sebelumnya, namun diperoleh dari proses optimisasi. Proses
optimisasi untuk menentukan bobot dilakukan terpisah untuk tiap hasil panen.

Program linier fraksional di atas memiliki jumlah solusi yang tidak terbatas, sehingga
formulasi tersebut kemudian diubah kedalam program liner biasa. Maka formulasi tersebut
adalah sebagai berikut:
s

Min hc ¿ ∑ ur y rc .........(8)
r =1

Dengan fungsi kendala:
m

∑ v i x ic =1

...................(9)

i=1

s

m

r=1

i=1

∑ urc y rj−∑ v ic xij ≤0
Ur, vi ≥ 0 ................(10)
Minimisasi program linier diatas menggunakan asumsi Constant Return to Scale
(CRS) dimana DMU diasumsikan beroperasi secara optimal. Sedangkan pendekatan atau
orientasi yang digunakan adalah pendekatan input. Fungsi kendala memaksimumkan output
dan melakukan unifikasi pada input. Artinya, DMU berusaha untuk meminimumkan input
untuk menghasilkan sejumlah output tertentu.
Didalam hasil perhitungan DEA terdapat Peer Group dan penetapan target. Peer
Group digunakan untuk menemukan DMU acuan bagi DMU yang inefisien dengan tujuan
untuk meningkatkan efisiensi. DMU yang efisien Peer Group didefinisikan DMU yang
memiliki total skor 1 bila menggunakan bobot dan resources yang sama. Peer Group
ditunjukkan dengan λ bernilai positif dimana λ merupakan bobot DMU terhadap DMU yang
tidak efisien. Yang dimaksud DMU yang efisien adalah DMU yang memliki nilai efisiensi
kurang dari 1 dan nilai slack variable tidak sama dengan 0. Semakin positif λ maka semakin
besar bobot DMU tersebut sebagai Peer Group dan yang memiliki nilai tertinggi dalam Peer
Group tersebut yang dijadikan acuan.
Untuk memperbaiki kinerjanya dalam upaya peningatan hasil panen, maka metode
DEA memberikan suatu target yang harus dicapai oleh DMU sehingga dapat memiliki hasil
panen yang lebih baik. Penetapan target dapat ditentukan melalui slack variable, sedangkan
koefisien dari slack diperoleh dari kinerja Peer Group/Peer Unit untuk masing-masing DMU
melalui pengolahan DEA. Target perbaikan bisa berupa meminimisasi input atau
memaksimasi output tergantung pendekatan yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan
pendekatan orientasi input, adapun penentuan target:
Output Xina = Xino + OSi
Output Xjna = h + Yjno – OSj .............(11)
di mana:
Y
= Variable Input
OS
= Slack Output
IS
= Slack Input
Asumsi alternative yang lain adalah Variable Return to Scale (VRS) yang
diperkenalkan oleh Banker, Rajiv. D dan Ram Natarajan (2008) dimana mereka
memperkenalkan variabel baru dalam model CRS yang menijinkan pengukuran Technical
Efficiency tanpa mengukur Scale Efficiency. VRS lebih sesuai digunakan pada sampel besar
dan dalam penelitian seperti ini, penghitungan DEA dengan asumsi CRS lebih lazim
digunakan. Perhitungan indeks efisiensi menggunakan bantuan DEAP Software Version 2.0.

Berdasarkan model DEA di atas, maka secara sederhana (Anderson, et al, 2001)
model analisis yang digunakan dalam pengukuran efisiensi masing-masing hasil panen pada
penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
u( y)
≤1 .........(11)
v ( x 1 ) +v ( x 2 ) + v ( x 3 ) +v ( x 4 ) + v ( x 5 )
di mana:
u
v
y
x1
x2
x3
x4

= Bobot tertimbang untuk output
= Bobot tertimbang masing-masing input
= Hasil panen
= Luas panen
= Jumlah benih
= Jumlah pupuk
= Jumlah Tenaga kerja

Dimana dalam DEA, efisiensi relatif DMU didefinisikan sebagai rasio dari total
output tertimbang dibagi dengan rasio dari total input tertimbang. Inti dari DEA adalah
menentukan bobot untuk setiap input dan output dalam DMU (Darwanto, 2010).
Model Tobit
Pada tahapan ini, akan dilakukan analisis mengenai factor-faktor yang mempengaruhi
tingkat efisiensi. Dengan terlebih dahulu mendapatkan nilai efisiensi pada tahap pertama
(first stage) menggunakan metode DEA, maka nilai tersebut akan dianalisis dengan beberapa
variabel lingkungan untuk mengetahui hubungan dan sifat hubungan antara variabel-variabel
tersebut terhadap tingkat efisiensi (second stage). Sehingga kedua tahap ini dalam penelitian
ini disebut dengan Two Stage Data Envelopment Analysis (DEA). Dalam menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi digunakan model tobit.
Perhitungan tobit dikemukakan oleh James Tobin pada 1958 ketika menganalisa
pengeluaran pada rumah tangga di Amerika Serikat untuk membeli mobil. Pengeluaran untuk
mobil di beberapa rumah tangga menjadi nol (karena rumah tangga tersebut tidak membeli
mobil), dan hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil analisa regresi. James Tobin
menemukan bahwa jika tetap menggunakan OLS, perhitungan parameter
cenderung mendekati nol dan menjadi tidak signifikan, atau jika signifikan nilainya
mengalami bias (terlalu tinggi atau terlalu rendah) dan juga tidak konsisten (jika ada baru,
hasilnya tidak sama atau tidak sesuai dengan hasil semula).
Metode tobit mengasumsikan bahwa variabel-variabel bebas tidak terbatas nilainya
(non-censored), hanya variabel tidak bebas yang cencured, semua variabel (baik bebas
maupun tidak bebas) diukur dengan benar, tidak ada outocorelation, tidak ada
heteroscedascity, tidak ada multikolinearitas yang sempurna, dan model matematis yang
digunakan menjadi tepat. Dalam penggunaan metode analisis regresi untuk penelitian bidang
sosial dan ekonomi, banyak ditemui struktur DAT dimana variabel responnya mempunyai
nilai nol untuk sebagian observasi, sedangkan untk sebagian observasi lainnya mempunyai
nilai tertentu yang bervariasi. Struktur data seperti ini dinamakan data tersensor (McDonald,
2008).
Penelitian Terdahulu

Taraka, et.al (2010) menjelaskan bahwa penelitian bertujuan untuk mengetahui
efisiensi teknis perusahaan beras di Thailand Tengah dimana output beras tertinggi per areal
telah dicapai dan beras bisa ditanam dua kali dalam setahun. Efisiensi teknis dievaluasi
menggunakan pendekatan Nonparametric atau Data Envelopment Analysis (DEA) di 400
petani padi pada tahun panen 2009/2010. Model regresi tobit juga digunakan dalam
penelitian ini dan memberikan hasil menunjukkan bahwa efisiensi teknis rata-rata adalah
51,86 persen, artinya bahwa sebagian besar petani memiliki kemungkinan akan beroperasi
pada tingkat yang lebih rendah dari efisiensi teknis. Temuan ini menunjukkan bahwa ada
hubungan positif antara efisiensi pertanian dan keluarga tenaga kerja, layanan petugas
penyuluhan, penggunaan benih bersertifikat dan pengendalian hama padi rumput dan
serangga.
Huy (2009), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa efisiensi teknis (TE) adalah
perkiraan kemampuan rumah tangga untuk menghasilkan output maksimal dengan input yang
diberikan. Dihitung menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) dan Stochastic
Frontier Analysis (SFA). Data yang dikumpulkan berasal dari 261 rumah tangga petani padi
di Mekong Delta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata antara TE rumah tangga
yang disurvei adalah diatas 76 persen dikedua konstan CRS dan VRS. Rata-rata efisiensi
skala rumah tangga petani padi ini hampir sama dengan satu. Penentuan kuantitas beras atau
hasil dan TE untuk rumah tangga petani padi secara signifikan berhubungan dengan beberapa
variabel seperti ukuran plot, benih dan biaya tenaga kerja yang dipekerjakan. Namun,
inefisiensi teknis secara signifikan tergantung pada pengalaman bertani seorang petani dan
penerapan praktek pertanian maju.

DATA DAN METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) two
stages. Metode DEA dengan prosedur dua tahap (DEA) two stages merupakan pendekatan
dengan model DEA dan model Tobit. Pendekatan DEA digunakan untuk mengukur skor
efisiensi teknis di tingkat petani kabupaten/ kota. Model kedua menggunakan Tobit karena
nilai inefisiensi dari DEA terbatas 0 dan 1. Artinya petani yang mencapai Pareto Efficiency
selalu memiliki skor inefisiensi dari 0, sehingga variabel dependen dalam persamaan regresi
dimungkinkan memiliki distribusi yang tidak normal. Model tobit digunakan untuk melihat
seberapa besar pengaruh dari faktor inefisiensi.
Variabel-variabel yang digunakan baik dalam model DEA maupun model Tobit
didefinisikan sebagai berikut:
1. Hasil panen (Y)
Variabel ini merupakan Gabah Kering Padi (GKP) yang diperoleh dari lahan
pertanian, output padi yang dihitung dalam satuan Kg (GKP)
2. Luas panen (X1)
Variabel luas panen adalah luas area penghasil padi yang dihitung dalam satuan (Ha)
3. Jumlah benih (X2)
Variabel jumlah benih adalah penggunaan benih seperti hibrida, unggul dan lokal
yang dihitung dalam satuan (Kg)
4. Jumlah pupuk (X3)
Variabel ini menunjukkan jumlah pupuk yang digunakan dalam proses penanaman
seperti urea, TSP/SP36, ZA, KCL, NPK yang dihitung dalam satuan (Kg)
5. Jumlah Tenaga kerja (X4)
Variabel jumlah tenaga kerja adalah tenaga kerja petani yang digunakan dalam
mengolah sawah hingga panen yang dihitung dalam satuan (HO)

6. Efisiensi Teknis (TE)
Variabel efisiensi teknis adalah hasil skor efisiensi teknis yang dihitung menggunakan
model DEA
7. Pendidikan (Z1)
Variabel ini menunjukkan tingkat pendidikan yang diterima petani selama tahun 2008.

Variabel ini berupa dummy tingkat pendidikan formal petani. D = 1 untuk pendidikan
> tingkat SMP dan D = 0 yang lainnya
8. Umur (Z2)
Variabel ini merupakan variabel yang berkisar antara 15 – 98 tahun pada tahun 2008.
Variabel ini berupavariabel dummy tingkat usia petani. D = 1 untuk umur > 40 tahun
dan D = 0 yang lainnya.
9. Luas sawah yang dikuasai (Z3)
Variabel luas lahan yang dikuasai adalah luas sawah yang dikerjakan petani, dalam
hal ini baik lahan yang dimiliki, lahan yang berasal dari pihak lain maupun lahan yang
berada di pihak lain dalam satuan (Ha)
10. Jenis sawah (Z4)
Variabel jenis sawah adalah variabel dummy kedaan fisik sawah. D = 1 untuk sawah
irigasi dan D = 0 yang lainnya
11. Jenis benih (Z5)
Variabel jenis benih adalah variabel dummy klasifikasi benih yang digunakan petani.
D = 1 untuk benih bersertifikat dan D = 0 yang lainnya
12. Hama/OPT (Z6)
Variabel hama adalah variabel dummy hama yang dianggap sebagai kendala bagi
petani dan tanaman padi. D = 1 untuk tidak ada serangan hama dan D = 0 yang
lainnya
13. Akses kredit (Z8)
Variabel ini merupakan variabel dummy kendala permodalan yang dihadapi petani. D
= 1 untuk tidak adanya akses kredit dan D = 0 yang lainnya
14. Bantuan pemerintah (Z9)
Variabel bantuan pemerintah adalah variabel dummy dalam subsidi yang diberikan
pemerintah. D = 1 untuk petani yang mendapat bantuan pemerintah dan D = 0 yang
lainnya

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa data cross
section. Keseluruhan variabel, baik variabel input, output, variabel bebas maupun variabel
terikat menggunakan data cross section pada tahun 2008, yang merupakan data survei
rumah tangga petani padi di 19 kabupaten di Jawa Timur. Jumlah seluruh rumah tangga
petani yang diteliti adalah 2217 petani yang tersebar pada kabupaten/kota. Data ini bersumber
dari survei Struktur Ongkos Usaha Tani Padi (SOUTP) di Indonesia yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia pada tahun 2008. Data ini adalah terkini
yang dikumpulkan oleh BPS sebelum Sensus Pertanian (SP) 2013.
DEA adalah sebuah teknik aplikasi program linier yang mengukur efisiensi relatif
dari setiap unit produksi dibandingkan dengan unit produksi lainnya yang memiliki tujuan
yang sama. Unit produksi ini dalam DEA disebut Decision Making Unit (DMU) dimana
dalam penelitian ini terdapat 19 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur yang dievaluasi.
Skor efisiensi yang dihasilkan DEA berkisar antara 0-100%. Sebuah DMU yang memiliki
skor kurang dari 1 dianggap sebagai unit yang relatif tidak efisien dibandingkan dengan unitunit lainnya.
Analisis efisiensi dalam penelitian ini menggunakan analisis efisiensi teknis. Analisis
tersebut menggunakan asumsi variable return to scale (VRS) dengan pendekatan input
orientasi. Alat analisis untuk mengolah data dalam penelitian ini menggunakan bantuan
Software DEAP 2.1.
Hasil dari analisis efisiensi teknis akan menghasilkan dua kondisi daerah, yaitu daerah
efisien dan tidak efisien. Bagi daerah yang tidak efisien akan diberikan nilai target perbaikan
agar menjadi efisien dengan mengacu pada daerah-daerah yang sudah efisien. Nilai perbaikan
diperoleh dari selisih nilai aktual input atau output dengan nilai target perbaikan yang
diberikan oleh DEA.
Efisiensi DMU diukur dari rasio output yang diboboti dengan input yang diboboti
(total weighted output/total weighted input). Bobot tersebut memiliki nilai positif dan bersifat
universal, artinya setiap DMU dalam sampel harus dapat menggunakan seperangkat bobot
yang sama untuk mengevaluasi rasionya (total weighted/total weighted input < 1). Efisiensi
DMU dibagi dua yaitu : 1.) Efisiensi DMU < 1 (kurang dari satu) berarti DMU tersebut tidak
efisien (inefisien) dalam menghasilkan tingkat output maksimum dari tiap input; 2) Efisiensi
DMU = 1 atau 100% berarti DMU tersebut efisien dalam menghasilkan tingkat output
maksimum dari tiap input.
Kedua, mengestimasi model tobit untuk menganalisis faktor-faktor yang
dihipotesiskan mempengaruhi tingkat efisiensi teknis. Estimasi dilakukan menggunakan
software Eviews 6.
Pada penelitian ini model analisis yang digunakan adalah sebagai berikut:
TEi = β1+ β2Z1+ β3Z2 + β4Z3 + β5Z4 + β6Z5 + β7Z6 + β9Z7 + β10Z8 + β11Z9 +
Ui ................(12)
Dimana :
TE
= Indeks efisiensi DEA
β
= Nilai koefisien variabel independen
Z1
= Pendidikan, 1 = untuk pendidikan setara SMP dan 0 = yang lainnya
Z2
= Umur
Z3
= Luas sawah yang dikuasai
Z4
= Jenis sawah, 1 = untuk jenis sawah irigasi dan 0 = yang lainnya
Z5
= Jenis benih, 1 = untuk jenis benih bersertifikat dan 0 = yang lainnya
Z6
= Tidak ada kendala hama/ OPT, 1 = untuk tidak ada kendala hama / OPT dan 0 =
yang lainnya

Z7
Z8

= Bantuan pemerintah, 1 = untuk yang mendapatkan bantuan pemerintah dan 0 =
yang lainnya
= Akses kredit, 1 = untuk yang mendapat akses kredit dan 0 = yang lainnya
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Panen Petani Padi di Jawa Timur
Berdasarkan data sampel yang diambil dari SOUTP sebanyak 2217 petani di Jawa
Timur pada tahun 2008. Tabel 3 menunjukkan deskripsi nilai rata-rata (mean) hasil panen
petani padi Jawa Timur adalah 1544 ton per hektar, dengan hasil panen tertinggi sebesar
33500 ton per hektar dan hasil panen terendah sebesar 43 ton per hektar. Nilai simpangan
baku (standar deviasi) sebesar 945 artinya dari 19 kabupaten/ kota petani padi di Jawa Timur
memiliki distribusi hasil panen yang tidak merata. Rata-rata hasil panen tertinggi adalah
Kabupaten Tuban sebesar 2783 ton per hektar dan rata-rata terendah sebesar 405 ton per
hektar pada kabupaten Pacitan. Kabupaten Madiun memiliki hasil panen yang tidak merata
terlihat dari nilai standar deviasi yang besar yaitu 4515, sedangkan kabupaten Pacitan
memiliki hasil panen yang cukup merata terlihat dari standar deviasi yang kecil yaitu 323.

Tabel 3. Hasil Panen Petani Padi 19 Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2008

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008
Luas Panen Petani Padi di Jawa Timur
Tabel 4. menunjukkan deskripsi nilai rata-rata (mean) luas panen petani padi Jawa
Timur adalah 2961 hektar, dengan luas panen terbesar yaitu 50000 hektar dan luas panen
terkecil yaitu 125 hektar. Nilai simpangan baku (standar deviasi) sebesar 1353 artinya dari 19
kabupaten/ kota petani padi di Jawa Timur memiliki distribusi luas panen yang tidak merata.

Rata-rata luas panen terbesar adalah Kabupaten Tuban dengan luas 5065 hektar dan
rata-rata terkecil dengan luas 933 ton/ hektar pada kabupaten Pacitan. Kabupaten Madiun
memiliki luas panen yang tidak merata terlihat dari nilai standar deviasi yang besar yaitu
6644, sedangkan kabupaten Pacitan memiliki luas panen yang cukup merata terlihat dari
standar deviasi yang kecil yaitu 765.

Tabel 4. Luas Panen Petani Padi 19 Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2008

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008
Jumlah Benih yang Digunakan Petani Padi di Jawa Timur
Tabel 5. menunjukkan deskripsi nilai rata-rata (mean) jumlah benih yang digunakan
petani padi Jawa Timur adalah 16 kilogram per hektar, dengan jumlah benih yang paling
banyak digunakan adalah 200 kilogram per hektar dan jumlah benih paling sedikit digunakan
adalah 1 kilogram per hektar. Nilai simpangan baku (standar deviasi) sebesar 6 artinya dari
19 kabupaten/ kota petani padi di Jawa Timur memiliki distribusi jumlah benih yang
digunakan merata.
Rata-rata jumlah benih yang digunakan adalah Kabupaten Tuban sebanyak 23
kilogram per hektar dan rata-rata terendah sebanyak 5 kilogram per hektar pada kabupaten
Pacitan. Penggunaaan benih di kabupaten Madiun tidak merata terlihat dari nilai standar
deviasi yang besar yaitu 29, sedangkan penggunaan benih di kabupaten Pacitan merata
terlihat dari standar deviasi yang kecil yaitu 4,92.

Tabel 5. Benih yang Digunakan Petani Padi 19 Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2008

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008
Jumlah Pupuk yang Digunakan Petani Padi di Jawa Timur
Tabel 6. menunjukkan deskripsi nilai rata-rata (mean) jumlah pupuk yang digunakan
petani padi Jawa Timur adalah 173 kilogram per hektar, dengan jumlah pupuk yang paling
banyak digunakan adalah 3250 kilogram per hektar dan jumlah pupuk paling sedikit
digunakan adalah 3 kilogram per hektar. Nilai simpangan baku (standar deviasi) sebesar 87
artinya dari 19 kabupaten/ kota petani padi di Jawa Timur memiliki distribusi jumlah pupuk
yang digunakan merata.
Rata-rata jumlah pupuk yang digunakan adalah Kabupaten Madiun sebanyak 269
kilogram per hektar dan rata-rata terendah sebanyak 52 kilogram per hektar pada kabupaten
Pacitan. Penggunaaan pupuk di kabupaten Madiun tidak merata terlihat dari nilai standar
deviasi yang besar yaitu 452, sedangkan penggunaan pupuk di kabupaten Pacitan merata
terlihat dari standar deviasi yang kecil yaitu 39.

Tabel 6. Pupuk yang Digunakan Petani Padi 19 Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2008

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008
Jumlah Tenaga Kerja Petani Padi di Jawa Timur
Tabel 7. menunjukkan deskripsi nilai rata-rata (mean) jumlah tenaga kerja petani padi
Jawa Timur adalah 61 orang per hari, dengan jumlah tenaga kerja terbanyak 1360 orang per
hari dan jumlah tenaga kerja terkecil sebesar 1 orang per hari. Nilai simpangan baku (standar
deviasi) sebesar 55 artinya dari 19 kabupaten/ kota petani padi di Jawa Timur memiliki
distribusi jumlah tenaga kerja yang merata.
Rata-rata jumlah tenaga kerja terbanyak adalah Kabupaten Lumajang sebesar 218
orang per hari dan rata-rata terkecil 23 orang per hari pada kabupaten Ponorogo. Kabupaten
Lumajang memiliki jumlah tenaga kerja yang tidak merata terlihat dari nilai standar deviasi
yang besar yaitu 213, sedangkan kabupaten Ponorogo memiliki jumlah tenaga kerja yang
cukup merata terlihat dari standar deviasi yang kecil yaitu 10.

Tabel 7. Tenaga Kerja Petani Padi 19 Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2008

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008
Selama tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, luas pertanian padi di Indonesia
meningkat sebesar 1,48 persen, di mana pada 2007 luas pertanian padi 12,14 juta hektar
menjadi 12,33 juta hektar pada 2008. Seiring dengan peningkatan luas lahan, hasil produksi
padi juga meningkat sebesar 5,54 persen dibanding 2007 atau menjadi sebesar 60,33 juta ton
dengan produktivitas mencapai 48,94 kuintal per hektar pada 2008 (BPS, 2008). Sementara
itu, sebagai salah satu pulau penghasil padi terbesar, pulau Jawa juga mengalami peningkatan
produksi selama 2007-2008 sebesar 6,17 persen atau menjadi 32,35 juta ton pada 2008.
Peningkatan tersebut salah satunya disebabkan oleh bertambahnya luas panen 71,32 ribu
hektar (1,25 persen).
Rata-rata luas lahan yang dimiliki rumah tangga usahatani padi di Jawa Timur adalah
4.039,23 hektar yang terdiri dari lahan sawah dan lahan bukan sawah. Perlu diketahui, lahan
sawah merupakan lahan pertanian yang berpetak dan dibatasi oleh pematang, saluran air,
yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status
tanah tersebut, sedangkan lahan bukan sawah adalah semua lahan selain lahan sawah seperti
lahan pekarangan, huma, ladang, tegalan/kebun, danau, rawa, dan lainnya. Rata-rata lahan
sawah yang dimiliki rumah tangga usahatani padi seluas 3.199,18 hektar, sedangkan lahan
bukan sawah seluas 840,05 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian padi di Indonesia
sebagian besar masih dikelola oleh rumah tangga usahatani skala kecil.
Tabel 8. Persentase Luas Sawah Padi di Jawa Timur
Luas Lahan Sawah (m2)
Persentase Petani Padi (%)
< 5.000
81,11
5.000 – 10.000
14,79
10.001-15.000
2,57
15.001-20.000
0,86
20.001-25.000
0,31
> 25.000
0,36
Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008

Berdasarkan Tabel 8. dapat diketahui bahwa mayoritas luas lahan sawah padi yang
dimiliki rumah tangga usahatani di Jawa Timur adalah kurang dari 5.000 meter persegi (81,11
persen). Sisanya dimiliki oleh rumah tangga usahatani dengan kepemilikan luas lahan di atas
5000 meter persegi (18,99 persen). Sama halnya dengan di Indonesia, kepemilikan lahan
usahatani di Jawa Timur sebagian besar dikuasai oleh rumah tangga usahatani skala kecil (di
bawah 5000 meter persegi).
Berdasarkan data hasil survei SOUTP (Struktur Ongkos Usaha Tani Padi) pada 2218
petani (DMU), diketahui bahwa sebagian besar petani menggunakan benih bersertifikat
dengan persentase sebesar 72,36 persen. Adapun petani yang tidak menggunakan benih
bersertifikat sebesar 27,64 persen. Benih bersertifikat lebih banyak digunakan oleh petani
karena kualitas benih yang dapat dipercaya ketimbang benih padi yang tidak bersertifikat.
Perubahan iklim secara langsung maupun tidak langsung dapat menstimulasi
pertumbuhan organisme pengganggu tanaman (OPT) karena adanya fluktuasi suhu dan
kelembapan udara. Dampak kekeringan dapat menyebabkan populasi ulat pemakan daun,
sedangkan pada musim hujan dapat menyebabkan serangan penyakit yang disebabkan oleh
cendawan (Ditjenbun). Menurut Nurwansya (2010), Serangan hama atau OPT dapat
menyebabkan kerugian diantaranya adalah gagal panen, jumlah produksi menurun, dan
menurunkan nilai ekonomis hasil produksi pertanian. Serangan hama / OPT di Jawa Timur
pada tahun 2008 mencapai 4,87 persen serangan besar/berat. Serangan sedang mencapai
14,11 persen, serangan ringan/kecil mencapai 27,86 persen dan sisanya sebesar 53,16 persen
tidak terkena serangan hama/ OPT.
Peningkatan produksi pertanian tidak lepas dari bantuan yang diterima oleh petani,
baik dari pemerintah maupun pihak lain. Bantuan yang diterima oleh petani dapat berupa
subsidi harga pupuk maupun subsidi harga benih maupun dalam bentuk bantuan yang
lainnya. Sumber bantuan yg diterima petani untuk usahatani padi di Jawa Timur tahun 2008
adalah sebesar 4,91persen berasal dari pemerintah pusat, 9,69 persen berasal dari pemerintah
daerah, 0,32 persen berasal dari lembaga non pemerintah, 0,14 persen perorangan, dan 84,94
persen petani tidak menerima bantuan.
Permodalan dapat menjadi kendala utama bagi petani dalam mengembangkan usaha.
Sumber permodalan utamanya berasal dari pinjaman bukan bank. Alasan utama tidak
meminjam uang dari bank adalah sebesar 11.80 persen petani tidak mengetahui prosedur,
sebesar 2,81 persen petani beralasan lokasi bank jauh, sebesar 9,55 persen petani beralasan
pinjaman bank memiliki suku bunga yang tinggi, 13,48 persen petani beralasan pinjam bank
memiliki proses yang berbelit-belit, dan sebesar 39,33 persen petani memiliki alasan lainnya.
Analisis Model DEA
Objek dalam penelitian ini meliputi 19 kabupaten/ kota di Jawa Timur pada tahun 2008
melalui survei terhadap 2217 observasi untuk meneliti efisiesnsi teknis pertanian padi
menggunakan metode Data Envelopment Analysis. Penelitian ini menggunakan dua metode,
metode pertama mengunakan Data Envelopment Analysis (DEA) untuk menganalisis
efisiensi teknis. Statistik deskriptif indikator input dan output yang digunakan dalam model
DEA dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 9. Statistik Deskriptif Indikator Input dan Output Model DEA

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008
Berdasarkan Tabel 9, dapat diketahui bahwa variabel output rata-rata hasil panen
tahun 2008 sebesar 1545 ton per hektar. Rata-rata hasil panen tertinggi mencapai 33.500 ton
per hektar dan rata-rata terendah sebesar 43 ton per hektar. Nilai standar deviasi yang cukup
tinggi mencapai 945 menunjukkan adanya ketidakmerataan hasil panen petani padi pada 19
kabupaten/ kota di Jawa Timur. Disisi lain beberapa variabel input diantaranya luas panen
memiliki rata-rata area seluas 2961 hektar, luas area terbesar 50.000 hektar dan terkecil 125
hektar. Nilai standar deviasi sangat tinggi mencapai 1353 menunjukkan adanya
ketidakmerataan luas panen luas panen petani padi pada 19 kabupaten/ kota di Jawa Timur.
Variabel input lain adalah jumlah benih, jumlah benih yang digunakan memiliki rata-rata
sebesar 16 kilogram per hektar, dengan jumlah benih paling banyak digunakan sebesar 200
kilogram per hektar dan paling sedikit adalah sebesar 1 kilogram per hektar. Nilai standar
deviasi yang sangat rendah sebesar 6 menunjukkan bahwa tidak ada ketidakmerataan dalam
penggunaan benih petani padi pada 19 kabupaten/ kota di Jawa Timur. Jumlah pupuk
merupakan bagian dari input yang digunakan dalam faktor produksi pertanian. Jumlah pupuk
yang digunakan adalah sebesar 173 kilogram per hektar, penggunaan pupuk tertinggi adalah
3250 kilogram per hektar dan terendah sebanyak 3 kilogram per hektar. Nilai standar deviasi
yang tidak terlalu tinggi sebesar 87 menunjukkan bahwa tidak ada ketidakmerataan dalam
penggunaan pupuk petani padi pada 19 kabupaten/ kota di Jawa Timur. Variabel input yang
terakhir adalah jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam mengolah sawah. Rata-rata
pekerja yang digunakan dalam mengolah pertanian padi adalah 61 orang per hari, dengan
pekerja terbanyak mencapai 1360 orang per hari dan terkecil hanya menggunakan 1orang per
hari. Nilai standar deviasi yang tidak terlalu tinggi yaitu 55 menunjukkan bahwa tidak ada
ketidakmerataan dalam penggunaan pekerja dalam mengolah pertanian padi pada 19
kabupaten/ kota di Jawa Timur.
Analisis efisiensi teknis adalah analisis yang mengukur tingkat efisiensi antara
variabel input dan output. Nilai efisiensi teknis digunakan untuk melihat sejauh mana tingkat
efisiensi penggunaan input berupa luas panen, jumlah benih, jumlah pupuk dan jumlah tenaga
kerja pada 19 kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Timur untuk menghasilkan panen yang
optimal. Terlebih dahulu penulis membagi nilai efisiensi teknis petani padi di Jawa Timur
menjadi 12 kelas interval dengan asumsi constant return to scale (CRS) maupun asumsi
variable return to scale (VRS) tujuannya adalah agar data yang disajikan lebih informatif
seperti yang terlihat pada Tabel 10 dan Tabel 11 berikut ini:

Tabel 10. Efisiensi Teknis Asumsi CRS Pertanian Padi Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun
2008

Sumber: Survei Ongks Usaha Tani Padi, 2008
Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa dari 12 kelas interval yang ada, sebanyak 514
dari 2217 petani memiliki nilai efisiensi teknis antara 57,90 persen sampai dengan 64,90
persen yang sebagian besar merupakan petani yang dari daerah Ponorogo yaitu sebanyak 62
petani. Disisi lain petani dengan nilai efisiensi teknis terendah antara 15,30 persen sampai
dengan 22,30 persen adalah sebanyak 20 petani yang sebagian besar merupakan petani yang
berasal dari daerah Probolinggo yaitu sebanyak 9 petani.
Tabel 11. Efisiensi Teknis Asumsi VRS Pertanian Padi Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun
2008

S
umber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008
Keterangan :
01:
02:
05:
06:
08:
09:

Pacitan
Ponorogo
Blitar
Kediri
Lumajang
Jember

10:
11:
13:
14:
16:
17:
18:
19:

Banyuwangi
Bondowoso
Probolinggo
Pasuruan
Mojokerto
Jombang
Nganjuk
Madiun

21:
22:
23:

Ngawi
Bojonegoro
Tuban

24:
25:

Lamongan
Gresik

Tabel 11 juga terlihat bahwa sebanyak 526 dari 2217 petani memiliki nilai efisiensi teknis
antara 59,10 persen sampai dengan 66,10 persen yang sebagian besar merupakan petani yang
dari daerah Jember yaitu sebanyak 47 petani. Disisi lain petani dengan nilai efisiensi teknis
terendah antara 16,50 persen sampai dengan 23,50 persen adalah sebanyak 12 petani yang
sebagian besar merupakan petani yang berasal dari daerah Probolinggo yaitu sebanyak 7
petani.
Tabel 12. CRS, IRS dan VRS Kabupaten Kota di Jawa Timur

Sumber: Survei Ongks Usaha Tani Padi, 2008
Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar petani padi di Jawa Timur masih belum
efisien, terlihat dari kondisi CRS yng hanya sebanyak 54 petani dari 2217 petani, kondisi
DRS sebanyak 923 petani dari 2217 petani dan yang terakhir adalah kondisi IRS sebanyak
1240 petani dari 2217 petani. Artinya petani padi di Jawa Timur masih belum efisien secara
teknis dan petani dapat mencapai tingkat efisiensinya dengan mengurangi input produksi.
Tuban merupakan daerah yang paling efisien terbukti dengan nilai CRS yang tinggi sebanyak
10 petani, sedangkan pada daerah Jember dan Tuban memiliki nilai IRS sebanyak 136 petani
artinya petani yang belum efisien masih bisa mencapai tingkat efisiensi dengan menambah
input produksinya. Nilai DRS tertinggi ada pada daerah Pasuruan yaitu sebanyak 103 petani,
artinya petani yang belum efisien dapat mencapai tingkat efisiensi dengan mengurangi input
produksinya.

Tabel 13 menunjukkan 3 daerah yang berhasil mencapai kondisi efisien secara teknis (100
persen) dalam memanfaatkan input produksi pada 3 daerah diantaranya Bondowoso, Madiun
dan Tuban. Pada skla menunjukkan skor 100 persen dalam kondisi Constant Return to Scale
(CRS) artinya daerah tersebut sudah mencapai kondisi skala yang optimal, maka tidak perlu
meningkatkan atau mengurangi skala produksinya.
Tabel 13. Daerah Efisien pada Asumsi CRS

Sumber: Survei Ongks Usaha Tani Padi, 2008
Tabel 13 menunjukkan 16 daerah yang tidak efisien pada asumsi Constant Return to
Scale (CRS), ke 16 daerah tersebut dalam kondisi Increasing Return to Scale (IRS). Kondisi
Increasing Return to Scale (IRS) menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut skala
produksinya belum mencapai skala optimal karena seharusnya tingkat output masih bisa
ditingkatkan dengan input yang ada sekarang dan masih berpotensi untuk menurunkan skala
produksinya untuk mencapai kondisi skala yang optimal.
Analisis yang dilakukan pada metode DEA adalah berdasarkan kepada evaluasi
terhadap efisiensi relatif dari DMU yang sebanding. DMU tersebut dapat dikatakan efisien
relatif d

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS ISI LIRIK LAGU-LAGU BIP DALAM ALBUM TURUN DARI LANGIT

22 212 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25