BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksperimentasi Problem Based Learning dan Circ terhadap Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika bagi Siswa Kelas V SD Negeri 1 Sedayu Kecamatan Sapuran Kabupaten

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Matematika

Matematika menurut Soejadi (dalam Heruman, 2014:1) yaitu memiliki pola objek tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif. Matematika adalah bahasa simbol ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara deduktif; ilmu tentang keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, unsur yang didefinisikan, ke aksioma, dan akhirnya ke dalil (Ruseffendi dalam, Heruman 2014: 1). NRC (dalam Shadiq, 2014: 7) menyatakan dengan singkat bahwa: “Mathematics is a science of patterns and order .” Artinya, matematika adalah ilmu yang membahas pola atau keteraturan (pattern) dan tingkatan (order).

Dari beberapa teori tersebut, matematika dinilai sebagai bahasa simbolis yang berfungsi untuk mengekspresikan hubungan fungsi teoritis dan kuantitatif sebagai upaya untuk memudahkan berpikir. Matematika juga merupakan mata pelajaran yang universal sebagai dasar perkembangan teknologi modern. Matematika sebagai ilmu deduktif dengan tujuan abstrak dan pola objek yang bertumpu pada kesepakatan, tetapi matematika juga tidak melupakan cara bernalar induktif.

Dalam Permendiknas No 22 tahun 2006 matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat pada bidang teknologi informasi dan komunikasi modern ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang, dan matematika diskrit. Untuk menciptakan dan menguasai teknologi di masa depan dibutuhkan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Pembelajaran matematika perlu diberikan kepada seluruh siswa mulai dari sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir sistematis, logis, kritis, analitis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan Dalam Permendiknas No 22 tahun 2006 matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat pada bidang teknologi informasi dan komunikasi modern ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang, dan matematika diskrit. Untuk menciptakan dan menguasai teknologi di masa depan dibutuhkan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Pembelajaran matematika perlu diberikan kepada seluruh siswa mulai dari sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir sistematis, logis, kritis, analitis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan

Untuk mencapai pembelajaran matematika yang baik, beberapa kompetensi atau kemampuan yang menurut De Lange (dalam Shadiq, 2014: 8) harus dipelajari siswa selama proses pembelajaran matematika di kelas adalah:

a. Berpikir dan bernalar secara matematis (mathematical thinking and reasoning ).

b. Berargumentasi

(mathematical argumentation ). Dalam arti memahami pembuktian, mengetahui bagaimana membuktikan, mengikuti dan menilai rangkaian argumentasi, memiliki kemampuan menggunakan heuristic (strategi), dan menyusun argumentasi.

secara

matematis

c. Berkomunikasi

(mathematical communication ). Dapat menyatakan pendapat dan ide secara lisan, tulisan, maupun bentuk lain serta mampu memahami pendapat dan ide orang lain.

secara

matematis

d. Pemodelan (modeling). Menyusun model matematika dari suatu keadaan atau situasi, menginterpretasi model matematika dala konteks lain atau pada kenyataan sesungguhnya, bekerja dengan model-model, memvalidasi model, serta menilai model matematika yang sudah disusun.

e. Penyusunan dan pemecahan masalah (problem posing dan solving ). Menyusun, memformulasi, mendefinisikan, dan memecahkan masalah dengan berbagai cara.

f. Representasi (representation). Membuat, mengartikan, mengubah, membedakan, dan menginterpretasi representasi dan bentuk matematika lain; serta memahami hubungan antar bentuk atau representasi tersebut.

g. Symbol (symbol). Menggunakan bahasa dan operasi yang menggunakan symbol baik formal maupun teknis.

h. Alat dan teknologi (tools and technology). Menggunakan alat bantu dan alat ukur, termasuk menggunakan dan mengaplikasikan teknologi jika diperlukan.

bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram,

atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Permendiknas No 22 Tahun 2006, mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1. Bilangan,

2. Geometri dan pengukuran,

3. Pengolahan data.

2.1.2 Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar (SD)

Menurut Eti Nurhayati (2011: 34) perkembangan kognitif anak usia SD berada pada tahap opersinal konkret (concrete operasional). Istilah operasi konkret menggambarkan pendekatan yang terbatas atau terikat pada dunia nyata. Piaget (dalam Nurhayati, 2011: 34) tentang perkembangan anak usia SD secara ringkas adalah sebagai berikut:

a. Usia SD Kelas Rendah ( Kelas I-III)

1) Sudah dapat mengklasifikasikan angka-angka atau bilangan, meskipun masih harus lebih banyak menggunakan benda/ objek yang konkret (alat peraga)

2) Mulai dapat menyimpan pengetahuan atau hasil pengamatan dalam daya ingatannya.

meskipun terbatas pada objek-objek konkret.

b. Usia SD Kelas Tinggi ( kelas IV-VI)

1) Mulai dapat berfikir hipotesisi deduktif.

2) Mulai mampu mengembangkan kemampuan berdasarkan kedua alternatif.

3) Mulai mampu menginferensi atau menggeneralisasikan dari berbagai kategori. Di samping itu, Yusuf (2011: 24-25) menyatakan masa usia sekolah dasar sering disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Pada masa-masa bersekolah ini secara relatif, anak-anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa-masa usia SD terbagi menjadi beberapa fase antara lain:

a. Masa kelas-kelas rendah rendah sekolah dasar, kira-kira 6 atau 7 tahun sampai umur 9 atau 10 tahun. Beberapa sifat anak-anak pada masa ini antara lain seperti berikut:

1) Adanya hubungan positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi (apabila jasmaninya sehat banyak prestasi yang diraih).

2) Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan yang tradisional.

3) Adanya kecenderungan memuji diri sendiri (menyebut nama sendiri).

4) Suka membanding-bandingkan dirinya derngan anak lain.

5) Apabila tidak dapt menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.

6) Pada masa ini (terutama usia6-8 tahun) anak menghendaki nilai (angka rapor) yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.

b. Masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar, kira-kira umur 9 atau 10 tahun sampai umur 12 atau 13 tahun. Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini ialah: b. Masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar, kira-kira umur 9 atau 10 tahun sampai umur 12 atau 13 tahun. Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini ialah:

2) Amat realistik, ingin mengetahui, ingin belajar.

3) Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli mengikuti teori faktor ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor(bakat khusus).

4) Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang- orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas umur ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya.

5) Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekolah.

6) Anak-anak pada usia ini gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk dapat bermain bersama-sama. Dalam permainan itu biasanya anak tidak lagi terikat kepada peraturan permainan yang tradisional (yang sudah ada), mereka membuat peraturan sendiri.

Anak-anak usia SD dapat mengembangkan konsep, memecahkan masalah, dan melihat hubungan namun hanya sepanjang mereka menggunakan objek-objek dan situasi-situasi yang mereka kenal. Anak-anak usia ini mengembangkan keterampilan penalaran konservasi dan logis karena telah menguasai konsep reversibilitas sepanjang berhadapan dengan dunia yang mereka kenal. Usia SD belajar dari hal-hal yang konkret yaitu belajar dari kehidupan sehari-hari di sekeliling mereka.

2.1.3 Problem Based Learning (PBL)

Menurut Barrow (dalam Huda, 2014: 271) mendefinisikan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning/ PBL) sebagai pembelajaran yang diperoleh melalui proses yang menuju pemahaman akan resolusi suatu masalah. Masalah tersebut ditemukan pertama-tama dalam proses pembelajaran. Sementara itu, Lloyd Jones, Margeston, dan Bligh (dalam Huda, 2014: 271) menyatakan: Menurut Barrow (dalam Huda, 2014: 271) mendefinisikan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning/ PBL) sebagai pembelajaran yang diperoleh melalui proses yang menuju pemahaman akan resolusi suatu masalah. Masalah tersebut ditemukan pertama-tama dalam proses pembelajaran. Sementara itu, Lloyd Jones, Margeston, dan Bligh (dalam Huda, 2014: 271) menyatakan:

Lauren Resnick (dalam Supinah, 2010: 17) mengemukakan Problem Based Learning utamanya dikembangkan untuk membantu siswa sebagai berikut:

a. Mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi.

b. Belajar berbagai peran orang dewasa. Dengan melibatkan siswa dalam pengalaman nyata atau simulasi (pemodelan orang dewasa), membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar melakukan peran orang dewasa

c. Menjadi pelajar yang otonom dan mandiri. Pelajar yang otonom dan mandiri ini dalam arti tidak sangat tergantung pada guru. Hal ini dapat dilakukan dengan cara, guru secara berulang-ulang membimbing dan mendorong serta mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri. Siswa dibimbing, didorong dan diarahkan untuk menyelesaikan tugastugas secara mandiri. Kemampuan untuk menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kemampuan belajar secara autodidak dan kesadaran untuk belajar sepanjang hayat yang merupakan bekal penting bagi siswa dalam mengarungi kehidupan pribadi, sosial maupun dunia kerja selanjutnya. HS Barrows (dalam Supinah, 2010: 18) menyatakan proses pembelajaran

berbasis masalah adalah suatu pembelajaran yang didasarkan pada prinsip menggunakan masalah sebagai titik awal akuisisi dan integrasi pengetahuan baru. Sementara itu Satyasa (dalam Supinah, 2010: 18) mendefinisikan pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada siswa dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill- berbasis masalah adalah suatu pembelajaran yang didasarkan pada prinsip menggunakan masalah sebagai titik awal akuisisi dan integrasi pengetahuan baru. Sementara itu Satyasa (dalam Supinah, 2010: 18) mendefinisikan pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada siswa dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-

Howard Barrows dan Kelson (dalam Amir, 2013: 21) mengemukakan rumusan Problem Based Learning sebagai berikut:

Problem Based Learning (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karier dan kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa Problem Based Learning merupakan pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah kepada siswa dimana masalah tersebut dialami atau merupakan pengalaman sehari-hari siswa. Secara garis besar Problem Based Learning terdiri dari kegiatan menyajikan kepada siswa suatu situasi masalah yang autentik. Problem Based Learning menjadikan masalah nyata sebagai pemicu bagi proses belajar siswa sebelum mengetahui konsep formal.

Adapun ciri –ciri Problem Based Learning menurut Jumanta Hamdayama (2014: 209) adalah sebagai berikut:

1) Model pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas pemebelajaran, artinya implementasi pembelajaran berbasis masalah ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. Pembelajaran berbasis masalah tidak mengharapkan siswa hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, tetapi melalui pembelajaran berbasis masalah siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan.

2) Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Pembelajaran berbasis masalah menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pemebelajaran.

adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas. Karakteristik Problem Based Learning menurut Jumanta Hamdayama

(2014: 209-210) sebagai berikut:

1) Belajar dimulai dengan satu masalah.

2) Memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan

dunia nyata siswa.

3) Mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan seputar

disiplin ilmu.

4) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam

membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri.

5) Menggunakan kelompok kecil.

6) Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan yang telah mereka

pelajari dalam bentuk produk atau kinerja.

Langkah-langkah Problem Based Learning menurut Jumanta Hamdayama (2014: 212) sebagai berikut:

1) Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menentukan

masalah yang akan dipecahkan.

2) Menganalisis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah

dari berbagai sudut pandang.

3) Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa merumuskan

berbagai kemungkinan pemecahan masalah sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

4) Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa mencari data dan

menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.

5) Pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau

merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan.

6) Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah

siswa menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengajuan hipotesis dan rumusan kesimpulan.

masalah dimulai dengan adanya masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari yang dalam hal ini masalah dapat dimunculkan oleh siswa ataupun guru. Selain itu, siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui untuk memecahkan masalah tersebut.

Sedangkan sintak Problem Based Learning, menurut Jumanta Hamdayama (2014: 212) adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Sintak Problem Based Learning

Fase Tingkah Laku Guru

Fase 1 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, Orientasi siswa kepada

menjelaskan segala hal yang akan dibutuhkan, masalah

memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya

Fase 2 Guru membantu siswa mendefinisikan dan Mengorganisir siswa untuk mengorganisasikan tugas belajar yang

belajar berhubungan dengan masalah Fase 3

Guru mendoronng siswa untuk mengumpulkan Membimbing penyelidikan

informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen individual atau kelompok

atau pengamatan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah

Fase 4 Guru membantu siswa dalam merencanakan dan Mengembangkan dan

menyiapkan karya yang sesuai, melaksanakan menyajikan hasil karya

eksperimen atau pengamatan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah

Fase 5 Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi Menganalisis dan

atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan mengevaluasi proses

proses-proses yang mereka gunakan pemecahan masalah

Dari penjabaran langkah-langkah Problem Based Learning menurut Jumanta Hamdayama (2014: 212), selajutnya penulis akan menyusun pemetaan langkah-langkah Problem Based Learning berdasarkan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Langkah-langkah tersebut disusun dengan mengorientasikan siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individual atau kelompok, mengembangkan dan Dari penjabaran langkah-langkah Problem Based Learning menurut Jumanta Hamdayama (2014: 212), selajutnya penulis akan menyusun pemetaan langkah-langkah Problem Based Learning berdasarkan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Langkah-langkah tersebut disusun dengan mengorientasikan siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individual atau kelompok, mengembangkan dan

Tabel 2 Pemetaan Problem Based Learning berdasarkan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses

Kegiatan Pembelajaran No

Fase PBL Pendahuluan Eksplorasi Elaborasi

Konfirmasi

1 Orientasi siswa

kepada masalah

2 Mengorganisir

siswa untuk belajar

3 Membimbing penyelidikan

√ individual atau

kelompok

4 Mengembangkan dan menyajikan

√ hasil karya

5 Menganalisis dan mengevaluasi

√ proses pemecahan

masalah

Dari penjabaran langkah-langkah Problem Based Learning menurut Jumanta Hamdayama (2014: 212) dan pemetaan langkah-langkah Problem Based Learning berdasarkan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, selajutnya penulis akan menyusun implementasi Problem Based Learning berdasarkan Standar Proses. Langkah-langkah implementasi Problem Based Learning pada penelitian ini dijabarkan dari kegiatan pembelajaran berdasarkan pemetaan langkah-langkah Problem Based Learning berdasarkan Standar Proses yaitu: (1) Pendahuluan (mengorientasikan siswa pada masalah); (2) Eksplorasi (mengorganisasikan siswa untuk belajar); (3) Elaborasi (membimbing penyelidikan individual atau kelompok dan menyajikan hasil karya); (4) Konfirmasi (menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah). Berikut tabel implementasi Problem Based Learning berdasarkan Standar Proses:

Implementasi Problem Based Learning berdasarkan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses

Langkah dalam

Sintak PBL Kegiatan Guru

Standar Proses

Orientasi siswa

Guru menjelaskan tujuan kepada masalah

Kegiatan Awal

pembelajaran, menjelaskan segala hal yang akan dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah

Kegiatan Inti

Mengorganisir

Eksplorasi

Guru membantu siswa siswa untuk belajar mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah

Membimbing

Guru mendoronng siswa untuk penyelidikan

Elaborasi

mengumpulkan informasi yang individual atau

sesuai, melaksanakan eksperimen kelompok

atau pengamatan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah

Mengembangkan

Guru membantu siswa dalam dan menyajikan

Elaborasi

merencanakan dan menyiapkan hasil karya

karya yang sesuai, melaksanakan eksperimen atau pengamatan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah

Menganalisis dan

Guru membantu siswa untuk mengevaluasi

Konfirmasi

melakukan refleksi atau evaluasi proses pemecahan

terhadap penyelidikan mereka dan masalah

proses-proses yang mereka gunakan

Penutup

Guru membimbing siswa untuk menyimpulkan dan merangkum secara lisan dari materi yang sudah dipelajari, menyampaikan materi yang akan dipelajari selanjutnya, menutup pelajaran dengan salam dan berdoa.

Learning bagi pemelajar adalah meningkatkan kecakapan pemecahan masalahnya, lebih mudah mengingat, meningkat pemahamannya, meningkat pengetahuannya yang relevan dengan dunia praktik, mendorong mereka penuh pemikiran, membangun kemampuan kepemimpinan dan kerja sama, kecakapan belajar, dan memotivasi pemelajar.

Kelebihan Problem Based Learning menurut Taufiq Amir (2013: 27-29) sebagai berikut:

1) Menjadi lebih ingat dan meningkat pemahamannya atas materi

ajar. Dengan konteks yang dekat, dan sekaligus melakukan deep learning (karena banyak mengajukan pertanyaan menyelidik) bukan surface learning (yang sekedar hafal saja), maka siswa akan lebih memahai materi.

2) Meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan. Dengan

kemampuan pendidik membangun masalah yang sarat dengan konteks-konteks praktik, siswa bisa merasakan lebih baik konteks operasinya di lapangan.

3) Mendorong untuk berpikir. Dengan proses yang mendorong siswa untuk mempertanyakan, kritis, reflektif. Siswa dianjurkan untuk tidak terburu-buru menyimpulkan, mencoba menemukan landasan atas argumennya, dan fakta-fakta yang mendukung alasan.

4) Membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan sosial.

Problem Based Learning dapat mendorong terjadinya pengembangan kecakapan kerja tim dan kecakapan sosial. Siswa diharapkan memahami perannya dalam kelompok, menerima pandangan orang lain, bisa memberikan pengertian bahkan untuk orang-orang yang barangkali tidak mereka senangi. Keterampilan yang sering disebut soft skill, seperti juga hubungan interpersonal dapat dikembangkan. Pengalaman kepemimpinan dapat dirasakan, mempertimbangan strategi, memutuskan, dan persuasive dengan orang lain.

5) Membangun kecakapan belajar (life-long learning skill). Dengan struktur masalah yang agak mengambang, merumuskannya, serta dengan tuntutan mencari sendiri pengetahuan yang relevan akan melatih siswa membangun kecakapan belajar.

6) Memotivasi pemelajar. Dengan Problem Based Learning dapat membangkitkan minat dari dalam diri siswa karena Problem Based Learning menciptakan masalah dengan konteks kehidupan sehari-hari.

Upaya yang dapat untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami soal cerita adalah dengan menyajikan pembelajaran dengan metode yang kreatif, sehingga siswa lebih mudah dalam memahami soal cerita. Untuk itu dalam kegiatan pembelajaran diperlukan sebuah strategi belajar yang memberdayakan siswa secara aktif. Salah satunya adalah dengan membuat pola pembelajaran yang menekankan kerjasama antar siswa.

Salah satu pembelajaran yang menekankan kerja sama tim dalam menguasai kemampuan memahami soal cerita adalah dengan menggunakan pendekatan komunikatif tipe CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition) . Menurut Miftahul Huda (2014: 221) pembelajaran CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition) dikembangkan pertama kali oleh Stevens, dkk. (1997). Dalam pembelajaran CIRC, setiap siswa bertanggung jawab terhadap tugas kelompok. Setiap anggota kelompok saling mengeluarkan ide-ide untuk memahami suatu konsep dan menyelesaikan suatu tugas, sehingga terbentuk pemahaman dan pengalaman belajar yang lama. Slavin (2010: 200) menyebutkan Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC), yaitu sebuah program yang komprehensif untuk mengajari pelajaran membaca, menulis, dan seni berbahasa pada kelas yang lebih tinggi di sekolah dasar. Hal ini berkaitan dengan tujuan utama dari CIRC yaitu bekerjasama dalam kelompok-kelompok kooperatif untuk membantu siswa dalam mempelajari kemampuan dalam memahami bacaan yang dapat diterapkan secara luas.

Berdasarkan pengertian para ahli bahwasanya pembelajaran CIRC ini dapat membangun pengetahuan siswa. Siswa dalam pembelajaran ini bekerja pada dalam kelompoknya untuk saling membacakan, menemukan ide, dan memecahkan masalah. Mereka akan bekerjasama dalam kelompok untuk melakukan tugas-tugas yang diberikan guru berupa soal cerita matematika. Dalam kelompok mereka juga akan saling bantu membantu, dimana anggota kelompok yang pandai dapat membantu angggota kelompok yang masih lemah.

Langkah-langkah pembelajaran CIRC menurut Stevens (dalam Huda, 2014: 222) adalah sebagai berikut: Langkah-langkah pembelajaran CIRC menurut Stevens (dalam Huda, 2014: 222) adalah sebagai berikut:

2) Guru memberikan wacana sesuai topik pembelajaran.

3) Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide

pokok kemudian memberikan tanggapan terhadap wacana yang ditulis pada lembar kertas.

4) Siswa mempresentasikan atau membacakan hasil diskusi

kelompok.

5) Guru memberikan penguatan (reinforcement).

6) Guru dan siswa bersama-sama membuat kesimpulan.

Dari berbagai teori diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran CIRC pada kegiatan awal, inti dan akhir pada penelitian adalah:

1. Selama proses pembelajaran guru menyampaikan materi pelajaran di depan kelas.

2. Setelah guru selesai menyampaikan materi siswa diberi latihan soal. Selanjutnya, siswa belajar dalam kelompok yang terdiri atas 4 siswa.

3. Kegiatan yang dilakukan dalam kelompok adalah siswa mengerjakan soal cerita matematika yang membutuhkan pemecahan masalah dengan cara saling membacakan, menemukan ide pokok, dan memberi tanggapan terhadap soal cerita.

4. Kegiatan selanjutnya mempresentasikan hasil temuannya dari beberapa kelompok, dilanjutkan dengan tes. Dalam pembelajaran CIRC atau pembelajaran terpadu setiap siswa

bertanggung jawab terhadap tugas kelompok. Setiap anggota kelompok saling mengeluarkan ide-ide untuk memahami suatu konsep dan menyelesaikan tugas, sehingga terbentuk pemahaman dan pengalaman belajar. Proses pembelajaran ini mendidik siswa berinteraksi sosial dengan lingkungan. Siswa juga bisa membuat dan menjelaskan prediksi tentang bagaimana masalah bisa diselesaikan dan meringkaskan unsur-unsur utama suatu cerita kepada unsur cerita lainnya. Kedua kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan membaca pemahaman siswa.

Sedangkan sintak pembelajaran CIRC, menurut Miftahul Huda (2014: 222-223) adalah saebagai berikut:

Sintak CIRC

Fase Tingkah Laku Guru

Fase 1 Guru mulai mengenalkan suatu konsep atau Pengenalan Konsep

istilah baru yang mengacu pada hasil penemuan selama eksplorasi. Pengenalan bisa didapat dari keterangan guru, buku paket, atau media lainnya.

Fase 2 Guru membimbing dan memberi peluang Eksplorasi dan Aplikasi

pada siswa untuk mengungkapkan pengetahuan awal, mengembangkan pengetahuan baru, dan menjelaskan fenomena yang mereka alami.

Fase 3 Guru membantu siswa mengkomunikasikan Publikasi

hasil temuan-temuannya serta membuktikan dan memperagakan materi yang dibahas. Penemuan dapat bersifat sesuatu yang baru atau sekedar pembuktian hasil pengamatan.

Berdasarkan langkah-langkah CIRC menurut Miftahul Huda (2014: 222) tersebut, maka penulis menjabarkan langkah-langkah CIRC dalam penelitian ini menjadi lima fase yaitu: (1) Orientasi; (2) Pengenalan konsep; (3) Organisasi; (4) Eksplorasi dan aplikasi; (5) Publikasi. Selanjutnya penulis akan menyusun pemetaan dan implementasi langkah-langkah CIRC berdasarkan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Berikut tabel pemetaan dan implementasi CIRC berdasarkan Standar Proses:

Tabel 5 Pemetaan CIRC berdasarkan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses

Kegiatan Pembelajaran No Fase CIRC Pendahuluan Eksplorasi Elaborasi Konfirmasi

4 Eksplorasi √ dan Aplikasi

5 Publikasi √

Implementasi CIRC berdasarkan Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses

Langkah dalam Sintak CIRC

Kegiatan Guru Standar Proses

Orientasi Kegiatan Awal Guru melakukan apersepsi dan pengetahuan awal siswa tentang materi yang akan diberikan. Selain itu juga memaparkan tujuan pembelajaran yang akan dilakukan kepada siswa

Kegiatan Inti Pengenalan

Eksplorasi Guru mulai mengenalkan suatu konsep Konsep

atau istilah baru yang mengacu pada hasil penemuan selama eksplorasi. Pengenalan bisa didapat dari keterangan guru, buku paket, atau media lainnya.

Organisasi Eksplorasi Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok, dengan memperhatikan keheterogenan akademik. Membagikan lembar permasalahan tentang materi yang dibahas kepada siswa. Selain itu menjelaskan mekanisme diskusi kelompok dan tugas yang harus diselesaikan selama proses pembelajaran berlangsung.

Eksplorasi dan Elaborasi Guru membimbing dan memberi peluang Aplikasi

pada siswa untuk mengungkapkan pengetahuan awal, mengembangkan pengetahuan baru, dan menjelaskan fenomena yang mereka alami.

Publikasi Konfirmasi Guru membantu siswa mengkomunikasikan hasil temuan- temuannya serta membuktikan dan memperagakan materi yang dibahas.

Penutup Guru memberikan penguatan berhubungan dengan materi yang dipelajari melalui penjelasan-penjelasan ataupun memberikan contoh nyata dalam kehidupan seharihari. menyampaikan materi yang akan dipelajari selanjutnya, menutup pelajaran dengan salam dan berdoa.

berikut:

1) Pengalaman dan kegiatan belajar siswa akan selalu relevan

dengan tingkat perkembangan anak.

2) Kegiatan yang dipilih sesuai dengan dan bertolak dari minat

dan kebutuhan siswa.

3) Seluruh kegiatan belajar lebih bermakna bagi siswa sehingga

hasil belajar siswa akan dapat bertahan lebih lama.

4) Pembelajaran

menumbuhkembangkan keterampilan berpikir siswa.

terpadu

dapat

5) Pembelajaran terpadu menyajikan kegiatan yang bersifat

pragmatis (bermanfaat) sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui dalam lingkungan siswa.

6) Pembelajaran terpadu dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa kearah belajar yang dinamis, optimal, dan tepat guna.

7) Pembelajaran terpadu dapat menumbuhkembangkan interaksi

sosial siswa, seperti kerjasama, toleransi, komunikasi, dan respek terhadap gagasan orang lain.

8) Membangkitkan motivasi belajar serta memperluas wawasan

dan aspirasi guru dalam mengajar.

Dari pembelajaran CIRC diharapkan para siswa dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah, kreatif, dan menumbuhkan interaksi sosial. Siswa dapat mempelajari secara langsung kejadian yang terjadi di dalam kehidupan dengan materi pembelajaran yang dijelaskan. Siswa diajarkan bagaimana bekerja sama dalam suatu kelompok dan menghargai pendapat teman lain.

2.1.5 Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata „mampu‟ mempunyai arti “kuasa, bisa, dapat, dan sanggup untuk melakukan sesuatu”. Sedangkan „kemampuan‟ yaitu “kesanggupan, kekuatan, dan kecakapan seseorang dalam melakukan sesuatu”. Jadi, kemampuan adalah kesanggupan seseorang untuk dapat

melakukan sesuatu dengan baik dan terampil. Kesanggupan dan kecakapan sangat dibutuhkan untuk menemukan ide-ide baru dalam menghadapi suatu permasalahan. Kemampuan merupakan perwujudan dari bakat yang telah dilatih melalui pembelajaran berupa tindakan yang terencana dan dapat dilakukan pada saat diperlukan. Kemampuan juga dapat diartikan sebagai kesanggupan seseorang melakukan sesuatu dengan baik dan terampil. Kesanggupan dan kecakapan sangat dibutuhkan untuk menemukan ide-ide baru dalam menghadapi suatu permasalahan. Kemampuan merupakan perwujudan dari bakat yang telah dilatih melalui pembelajaran berupa tindakan yang terencana dan dapat dilakukan pada saat diperlukan. Kemampuan juga dapat diartikan sebagai kesanggupan seseorang

Salah satu tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam pelajaran matematika adalah tes yang berbentuk uraian, tes ini dapat berupa soal cerita yang dapat berfungsi untuk memperlancar daya pikir atau nalar siswa dalam menginterpretasikan pengertian-pengertian yang dimiliki siswa. Hal itu penting sekali diberikan dalam pembelajaran matematika, karena pada umumnya soal cerita dapat digunakan untuk melatih siswa dalam menyelesaikan masalah. Masalah timbul ketika siswa berhadapan dengan kesulitan yang tidak dapat menemui jawaban atau pemecahan secara langsung. Jadi, kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika adalah kesanggupan seseorang dalam menyelesaikan soal matematika yang disajikan dengan kalimat yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari serta memuat masalah yang menuntut pemecahan dengan baik dan terampil sebagai hasil dari latihan selama proses pembelajaran.

Soal cerita adalah soal yang disajikan dengan kalimat-kalimat yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, serta memuat masalah yang menuntut pemecahan (Marsudi Rahardjo dan Astuti Waluyati, 2011: 8). Perlu diketahui bahwa bentuk soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika dapat berupa soal cerita atau soal non cerita. Soal cerita yang dimaksud erat kaitannya dengan masalah yang ada dalam kehidupan siswa sehari-hari, sehingga yang dimaksud dengan soal cerita matematika adalah soal matematika yang terkait dengan kehidupan sehari-hari untuk dicari penyelesaiannya menggunakan kalimat matematika yang memuat bilangan, operasi hitung (+, –, ×, :), dan relasi (=, <, >, ≤, ≥). Soal cerita semacam ini penting untuk diberikan kepada siswa guna melatih perkembangan proses berfikir mereka secara berkelanjutan dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan, sehingga keberadaannya sangat diperlukan.

Tujuan pembelajaran soal cerita di Sekolah Dasar menurut Syafri Ahmad (dalam Rahardjo dan Waluyati, 2011: 9) sebagai berikut:

a. Melatih siswa berfikir deduktif.

dengan pengetahuan matematika yang telah mereka peroleh di sekolah.

c. Memperkuat pemahaman siswa terhadap konsep matematika tertentu, maksudnya dalam menyelesaikan soal cerita siswa perlu mengingat kembali konsep-konsep matematika yang telah dipelajarinya sehingga pemahaman terhadap konsepkonsep tersebut semakin kuat. Macam-macam soal cerita dalam matematika dilihat dari segi macam

operasi hitung yang terkandung dalam soal cerita dibedakan sebagai berikut (Christou dalam Rahardjo dan Waluyati, 2011: 9).

a. Soal cerita satu langkah (one-step word problems) adalah soal cerita yang di dalamnya mengandung kalimat matematika dengan satu jenis operasi hitung (penjumlahan atau pengurangan atau perkalian atau pembagian).

b. Soal cerita dua langkah (two-step word problems), adalah soal cerita yang didalamnya mengandung kalimat matematika dengan dua jenis operasi hitung.

c. Soal cerita lebih dari dua langkah (multi-step word problems), adalah soal cerita yang didalamnya mengandung kalimat matematika dengan lebih dari dua jenis operasi hitung. Dalam pembelajaran matematika terdapat soal pemecahan masalah dan

ada soal bukan pemecahan masalah. Soal cerita matematika biasannya erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Soal tersebut sangat penting untuk diberikan kepada siswa Sekolah Dasar, karena pada umumnya soal cerita tersebut dapat digunakan untuk melatih siswa dalam menyelesaikan masalah. Oleh karena itu dalam menyelesaikan soal cerita matematika dapat digunakan strategi penyelesaian masalah, walaupun soal cerita matematika belum tentu merupakan soal pemecahan masalah. Kemampuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal cerita tidak hanya algoritma tertentu saja dan kemampuan keterampilan (skill) melainkan kemampuan lainnya yaitu kemampuan menyusun rencana dan strategi yang akan digunakan dalam mencapai penyelesaian.

Berikut ini dikemukakan beberapa pendapat menurut Bruner, George Polya, Eicholz, dan Skemp yang berkenaan dengan pembelajaran matematika.

sebagai berikut:

a. Enactive: kongkrit (obyek sesungguhnya).

Dalam pembelajaran matematika dapat berupa bermain peran memperagakan konsep-konsep matematika tertentu (peragaan kongkrit).

b. Econic: semi kongkrit (obyek sesungguhnya diganti gambar). Dalam pembelajaran matematika, dalam hal ini pembelajaran soal cerita, kalimat cerita dapat ditulis di atas gambar peragaan dan kalimat matematika yang bersesuaian ditulis di bawah gambar peragaan. Tujuannya agar siswa dapat menghubungkan sekaligus tiga hal: kalimat sehari-hari yang berkaitan dengan masalah matematika, gambaran kerangka berfikir untuk membayangkan susunan obyek-obyeknya, dan bilangan dan operasinya yang bersesuaian.

c. Symbolic: abstrak.

Berkenaan dengan soal cerita, masalah yang akan dicari pemecahannya ditulis dalam bentuk lambang-lambang saja yang hanya berupa huruf-huruf, angkaangka, lambang-lambang operasi hitung (+, - , ×, :), dan relasi (>, <, ≥, ≤, =). Tokoh lainnya George Polya (dalam Rahardjo dan Waluyati, 2011: 10-12)

menyarankan empat langkah rencana yang terurut untuk menyelesaikan masalah. Keempat langkah tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Memahami masalah (understanding the problem) Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar. Pada langkah pertama ini yang harus dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal cerita adalah membaca soal dengan seksama untuk memahami arti dari semua kata dalam soal/masalah itu. Langkah-langkahnya sebagai berikut.

1) Mengenali apa yang tidak diketahui (yang ditanyakan)? Data apa yang diketahui? Syarat-syarat apa yang diperlukan? 1) Mengenali apa yang tidak diketahui (yang ditanyakan)? Data apa yang diketahui? Syarat-syarat apa yang diperlukan?

3) Membuat suatu gambar dan memberi notasi yang sesuai.

4) Mengelompokkan syarat-syarat tersebut berdasarkan sejenis dan tak sejenis dan menuliskan bentuk matematikanya.

b. Menyusun rencana (devising a plan) Langkah kedua merupakan kunci dari empat langkah ini. Dalam menyusun rencana penyelesaian banyak strategidan teknik yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan menyusun rencana sangat tergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Semakin bervariasi pengalaman mereka, ada kecenderungan siswa semakin lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaiannya. Beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk merancang penyelesaian masalah adalah sebagai berikut.

1) Apakah Anda sudah pernah melihat sebelumnya? Atau apakah Anda pernah melihat masalah yang sama dalam bentuk berbeda?

2) Apakah Anda mengetahui soal lain yang terkait? Perhatikan yang tidak diketahui dan coba memikirkan soal yang sudah dikenal yang mempunyai unsur yang tidak diketahui sama.

3) Apakah masalah ini pernah diselesaikan sebelumnya tetapi dengan kalimat yang berbeda?

4) Apakah masalah perhitungan ini dibutuhkan untuk menyusun proses perhitungan?

5) Dapatkah Anda menyempurnakan masalah yang sama dengan lebih sederhana dan mempelajari sesuatu dari penyelesaiannya yang mungkin digunakan dalam masalah ini?

6) Jika pertanyaannya merupakan tipe pertanyaan umum, dapatkah Anda mencoba soal yang lebih spesifik?

7) Apakah terdapat hubungan masalah yang dapat kamu selesaikan

sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah ini?

c. Pelaksanaan rencana (carrying out the plan) c. Pelaksanaan rencana (carrying out the plan)

1) Laksanakan rencana penyelesaianitu dan cek setiap langkahnya.

2) Apakah langkah sudah benar?

3) Buktikan bahwa langkah sudah benar.

d. Memeriksa kembali (looking back) Langkah keempat ini penting, walaupun sering dilupakan dalam menyelesaikan masalah, yaitu melakukan pengecekan atasapa yang telah dilaksanakan mulai langkah pertama sampai langkah ketiga. Beberapa pertanyaan yang muncul dalam meneliti (mengecek) kembali hasil yang telah diperoleh adalah sebagai berikut.

1) Dapatkah Anda mengecek hasilnya? Dapatkah Anda mengecek argumennya?

2) Dapatkah Anda mencari hasil itu dengan cara lain?

3) Dapatkah Anda menggunakan hasil ataumetode itu untuk menyelesaikan masalah lain? Memeriksa kembali dari penyelesaian masalah yang ditemukan dapat menjadi dasar yang penting untuk penyelesaian masalah yang akan datang. Keempat langkah Polya tersebut akan digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita.

Eicholz (dalam Rahardjo dan Waluyati, 2011: 13) mengemukakan bahwa langkah-langkah yang diperlukan dalam menyelesaikan soal cerita sebagai berikut:

a. Memahami apa yang ditanyakan

b. Menemukan data yang dibutuhkan

c. Merencanakan apa yang harus dilakukan

d. Menemukan jawaban melalui komputasi (penghitungan)

e. Mengoreksi kembali jawaban.

langkah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal cerita matematika sebagai berikut:

a. Pemahaman masalah, berhubungan dengan masalah dunia nyata

b. Pembuatan model matematika (mathematical model) dalam proses abstraksi (abstracting)

c. Melakukan manipulasi terhadap model matematika (manipulation of model )

d. Melakukan interpretasi terhadap masalah semula Dari uraian di atas bahwa langkah-langkah pemecahan masalah yang

dikemukakan oleh Polya, memiliki kesamaan dengan langkah-langkah yang digunakan dalam menyelesaikan soal cerita yang dikemukakan oleh Eicholz dan Skemp. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa langkah-langkah yang diperlukan dalam menyelesaikan soal cerita dalam penelitian ini adalah:

a. Memahami masalah yang terdapat dalam soal cerita. Dalam hal ini adalah dapat menentukan data yang diketahui dan data yang tidak diketahui (apa yang ditanyakan) dalam soal cerita.

b. Membuat rencana penyelesaian. Dalam hal ini adalah menentukan hubungan antara data yang diketahui dengan apa yang tidak diketahui (yang ditanyakan) dalam soal. Atau dengan kata lain langkah ini adalah membuat model (kalimat) matematika sesuai dengan data yang diketahui dan yang tidak diketahui dalam soal.

c. Melaksanakan rencana penyelesaian. Dalam hal ini adalah menyelesaikan model (kalimat) matematika yang telah dibuat dengan melakukan komputasi yang sesuai.

d. Melakukan pengecekan terhadap hasil yang telah diperoleh serta menginterpretasikan hasil tersebut terhadap situasi permasalahan yang terdapat dalam soal cerita.

Kesulitan-kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal cerita, menurut Syafri Ahmad (dalam Rahardjo dan Waluyati, 2011: 14) secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut: Kesulitan-kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal cerita, menurut Syafri Ahmad (dalam Rahardjo dan Waluyati, 2011: 14) secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut:

b. Kesulitan dalam menyusun rencana penyelesaian, yaitu kesulitan dalam menerjemahkan soal cerita ke dalam model (kalimat) matematika.

c. Kesulitan dalam menyelesaikan rencana, yaitu kesulitan dalam menyelesaikan model (kalimat) matematika.

d. Kesulitan dalam melihat (mengecek) kembali hasil yang telah diperoleh.

e. Kesulitan dalam menginterpretasikan jawaban tersebut terhadap situasi permasalahan yang terdapat dalam soal.

Kesalahan-kesalahan yang dialami siswa dalam mengerjakan soal pemecahan masalah yang disajikan dalam bentuk cerita secara mekanik meliputi kesalahan dalam memahami soal, kesalahan membuat model (kalimat) matematika, kesalahan melakukan komputasi (penghitungan), dan kesalahan dalam membuat jawaban kalimat matematika. Melihat kesalahan-kesalahan yang ada tersebut, guru hendaknya dapat melakukan kegiatan pembelajaran dengan meminimalisir kesalahan tersebut. Hal ini dapat dilakukan guru dengan membiasakan pada siswa untuk menyelesaikan soal cerita matematika sesuai dengan langkah-langkah yang ada.

2.1.6 Hubungan Problem Based Learning, CIRC, dan Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika

Problem Based Learning merupakan salah satu metode pembelajaran yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran di Sekolah Dasar. Pembelajaran ini mengutamakan suatu masalah dan merupakan metode pembelajaran yang ditawarkan dan diutamakan untuk menunjang pembelajaran pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah) didasarkan pada teori konstruktvisme yang merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran (Moffin dalam Rusman, 2010: 241).

mengembangkan ketrampilan mengatasi masalah dan ketrampilan berpikir sehingga dapat melatih kemampuan siswa menyelesaikan soal cerita. Kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika juga merupakan kemampuan matematik yang ada pada diri siswa. Berbagai macam persoalan yang ada dalam kehidupan sehari-hari sering ditemui dalam bentuk soal cerita. Dengan adanya permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dalam pelajaran matematika, maka akan membawa siswa untuk mengerti manfaat dari pelajaran yang telah dipelajari.

Selain itu beberapa peneliti menyatakan bahwa hasil pembelajaran dengan menggunakan CIRC terhadap kemampuan menyelesaikan soal cerita pembelajaran CIRC efektif untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita. Seperti hasil penelitian Keramati (2011) menunjukkan pembelajaran CIRC memiliki efek positif pada pencapaian membaca subyek kelompok eksperimental. Pembelajaran CIRC ini dapat digunakan sebagai pengembangan metode pembelajaran karena dengan menggunakan pembelajaran CIRC siswa dapat memahami secara langsung peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan dengan materi yang dijelaskan. Dengan CIRC siswa belajar dari satu sama lain dan berupaya bertukar ide dalam kelompoknya.

2.2 Penelitian Yang Relevan

Suatu penelitian yang akan dibuat, perlu memperhatikan penelitian lain yang digunakan sebagai bahan kajian yang relevan. Penelitian yang dilakukan oleh Niken Maya Yasinta (2012 ) dengan judul “Pengaruh Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) Dengan Memanfaatkan Media Video Compact Disc (VCD) Terhadap Hasil Belajar Matematika Pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 1 Mangunrejo Kecamatan Pulokulon Kabupaten Grobogan Semester

II Tahun Pelajaran 2011/2012 ” menyimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah lebih efektif dibanding pembelajaran dengan model konvensional. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas signifikansi 0,038< 0,05 dan perbedaan rata-rata antara kelas kontrol II Tahun Pelajaran 2011/2012 ” menyimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah lebih efektif dibanding pembelajaran dengan model konvensional. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas signifikansi 0,038< 0,05 dan perbedaan rata-rata antara kelas kontrol

Safitri Ngatiatun (2012) melakukan penelitian d engan judul “Pengaruh Model Problem Based Learning Terhadap Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita” menyimpulkan bahwa kemampuan menyelesaikan soal cerita pada pokok

bahasan KPK dan FPB dengan menggunakan model pembelajaran PBL lebih baik daripada menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V Di Dabin Kartini Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap. Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara cluster random sampling. Dalam pembelajarannya, kelompok eksperimen menggunakan pembelajaran Problem Based Learning, sedangkan kelompok kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Pengumpulan data dalam penelitian menggunakan teknik tes. Uji normalitas menggunakan metode Lilliefors , uji homogenitas menggunakan metode Barlett, uji keseimbangan dan uji hipotesis dengan uji t. Berdasarkan hasil pengolahan data akhir (posttest) diperoleh nilai rata-rata kelompok eksperimen sebesar 73,32 dan rata-rata kelompok kontrol sebesar 65,14. Pada hasil uji dengan taraf signifikansi 0,05.

nilai t hitung (2,536) > t tabel (0,680), ini berarti H 0 ditolak dan H 1 diterima.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPA di Kelas 5 SDN Tegalrejo 03 Salatiga Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPA di Kelas 5 SDN Tegalrejo 03 Salatiga Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPA di Kelas 5 SDN Tegalrejo 03 Salatiga Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 145

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Problem Based Learning ( PBL ) Berbantuan Video untuk meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Semester II SD Kanisius Harjosari Kecamatan Bawen Tahun Aj

0 0 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Problem Based Learning ( PBL ) Berbantuan Video untuk meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Semester II SD Kanisius Harjosari Kecamatan Bawen Tahu

0 0 28

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Problem Based Learning ( PBL ) Berbantuan Video untuk meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Semester II SD Kanisius Harjosari Kecamatan Bawen

0 0 27

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Problem Based Learning ( PBL ) Berbantuan Video untuk meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Semester II SD Kanisius Harjosari Kec

1 4 23

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING ( PBL ) BERBANTUAN VIDEO UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS V SEMESTER II SD KANISIUS HARJOSARI KECAMATAN BAWEN TAHUN AJARAN 20142015

1 2 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Problem Based Learning ( PBL ) Berbantuan Video untuk meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Semester II SD Kanisius Harjosari Kecamatan Bawen Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 86

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksperimentasi Problem Based Learning dan Circ terhadap Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika bagi Siswa Kelas V SD Negeri 1 Sedayu Kecamatan Sapuran Kabupaten Wono

0 0 9