Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga N
Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) dan Badan Hukum Asing
(BHA) yang mempunyai perwakilan di Indonesia secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41
& Pasal 42 Undang - Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40
tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP)
atas tanah. Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing
(WNA) yang berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing (BHA) yang memiliki
perwakilan di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP). Dengan demikian tidak dibenarkan Warga
Negara Asing (WNA) atau Badan Hukum Asing (BHA) memiliki tanah dan bangunan dengan
status Hak Milik (HM). Hubungan hukum antara Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga
Negara Asing (WNA), serta perbuatan hukum mengenai tanah di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Pasal 9 UUPA menyatakan hanya warga negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai
hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang udara Indonesia.
Dalam penjelasannya dikatakan hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat 2
UUPA), dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi “Batal Demi Hukum.” Namun
demikian UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan warga negara asing dan badan hukum
asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga negara asing dapat mempunyai hak
atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh dengan status hak pakai. Sehingga dari
prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan warga negara Indonesia diatas segala-galanya
baik dari segi ekonomi, sosial, politis dan malahan dari sudut Hankamnas. Dalam praktik, tidak
sedikit warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya berstatus Hak Milik dengan cara
melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing melakukan kesepakatan atau
perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah
yang diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan
melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan
hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar
atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga Negara Asing-lah yang
menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak milik tersebut.
Tindakan demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam hal ini
UUPA, dan karena itu merupakan tindakan yang disebut penyelundupan hukum. Coba periksa
Pasal 26 (ayat 2) UUPA, yang menyatakan setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak
langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang
disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu
badan hukum, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara. Akan tetapi,
pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 41 tahun 1996 yang mengatur tentang pemilikan
Rumah Tinggal atau hunian oleh WNA. Peraturan Pemerintah ini berisi antara lain: WNA yang
berkedudukan di Indonesia diperkenankan untuk memiliki 1 rumah tinggal (Satuan Rumah
Susun) yang dibangun di atas tanah Hak Pakai. Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Pakai (HP)
tersebut dapat berasal dari HP atas Tanah Negara atau HP yang berasal dari tanah Hak Milik
(HM) yang diberikan oleh Pemegang Hak Milik. Pemberian Hak Pakai (HP) oleh pemegang Hak
Milik (HM) ini diberikan dengan akta PPAT & perjanjiannya harus dicatat dalam Buku Tanah
dan Sertifikat Hak Milik atas tanah.
Penguasaan tanah oleh orang asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan
di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1996entang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas Tanah dan PP nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau
Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Dalam PP Nomor 41 tahun 1996
terdapat syarat, orang asing yang dapat mempunyai rumah tinggal di Indonesia adalah orang
asing yang kehadirannya memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.
Orang asing
tersebut dibatasi boleh memiliki satu rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri sendiri,
atau satuan rumah susun, yang dibangun diatas tanah hak pakai. Hak pakai tersebut diberikan
paling lama untuk jangka waktu 25 tahun. Berbeda dengan jenis hak berjangka waktu lainnya
seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat
diperpanjang untuk waktu tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama berakhir. Hak Pakai
rumah tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat diperbarui untuk jangka
waktu 20 tahun dengan ketentuan orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.
Jangka waktu ’hanya’ 25 (dua puluh lima) tahun tersebut dinilai banyak kalangan sudah tidak
kondusif dengan perkembangan dunia global sekarang ini, tidak menarik minat orang asing
untuk membeli rumah di Indonesia.
(BHA) yang mempunyai perwakilan di Indonesia secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41
& Pasal 42 Undang - Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40
tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP)
atas tanah. Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing
(WNA) yang berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing (BHA) yang memiliki
perwakilan di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP). Dengan demikian tidak dibenarkan Warga
Negara Asing (WNA) atau Badan Hukum Asing (BHA) memiliki tanah dan bangunan dengan
status Hak Milik (HM). Hubungan hukum antara Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga
Negara Asing (WNA), serta perbuatan hukum mengenai tanah di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Pasal 9 UUPA menyatakan hanya warga negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai
hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang udara Indonesia.
Dalam penjelasannya dikatakan hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat 2
UUPA), dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi “Batal Demi Hukum.” Namun
demikian UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan warga negara asing dan badan hukum
asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga negara asing dapat mempunyai hak
atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh dengan status hak pakai. Sehingga dari
prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan warga negara Indonesia diatas segala-galanya
baik dari segi ekonomi, sosial, politis dan malahan dari sudut Hankamnas. Dalam praktik, tidak
sedikit warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya berstatus Hak Milik dengan cara
melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing melakukan kesepakatan atau
perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah
yang diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan
melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan
hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar
atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga Negara Asing-lah yang
menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak milik tersebut.
Tindakan demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam hal ini
UUPA, dan karena itu merupakan tindakan yang disebut penyelundupan hukum. Coba periksa
Pasal 26 (ayat 2) UUPA, yang menyatakan setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak
langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang
disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu
badan hukum, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara. Akan tetapi,
pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 41 tahun 1996 yang mengatur tentang pemilikan
Rumah Tinggal atau hunian oleh WNA. Peraturan Pemerintah ini berisi antara lain: WNA yang
berkedudukan di Indonesia diperkenankan untuk memiliki 1 rumah tinggal (Satuan Rumah
Susun) yang dibangun di atas tanah Hak Pakai. Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Pakai (HP)
tersebut dapat berasal dari HP atas Tanah Negara atau HP yang berasal dari tanah Hak Milik
(HM) yang diberikan oleh Pemegang Hak Milik. Pemberian Hak Pakai (HP) oleh pemegang Hak
Milik (HM) ini diberikan dengan akta PPAT & perjanjiannya harus dicatat dalam Buku Tanah
dan Sertifikat Hak Milik atas tanah.
Penguasaan tanah oleh orang asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan
di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1996entang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas Tanah dan PP nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau
Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Dalam PP Nomor 41 tahun 1996
terdapat syarat, orang asing yang dapat mempunyai rumah tinggal di Indonesia adalah orang
asing yang kehadirannya memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.
Orang asing
tersebut dibatasi boleh memiliki satu rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri sendiri,
atau satuan rumah susun, yang dibangun diatas tanah hak pakai. Hak pakai tersebut diberikan
paling lama untuk jangka waktu 25 tahun. Berbeda dengan jenis hak berjangka waktu lainnya
seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat
diperpanjang untuk waktu tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama berakhir. Hak Pakai
rumah tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat diperbarui untuk jangka
waktu 20 tahun dengan ketentuan orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.
Jangka waktu ’hanya’ 25 (dua puluh lima) tahun tersebut dinilai banyak kalangan sudah tidak
kondusif dengan perkembangan dunia global sekarang ini, tidak menarik minat orang asing
untuk membeli rumah di Indonesia.