GREEN CITY DAN UPAYA PELAKSANAANNYA DI I
TUGAS
TOPIK KHUSUS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
GREEN CITY DAN UPAYA PELAKSANAANNYA DI INDONESIA
STUDI KASUS PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BANDUNG
Oleh:
Fajar Ariandy
24014008
Magister Studi Pembangunan
SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2014
GREEN CITY DAN UPAYA PELAKSANAANNYA DI INDONESIA
STUDI KASUS PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BANDUNG
A. PERKOTAAN DAN KONSEP GREEN CITY
Pada umumnya kota diartikan sebagai suatu permukaan wilayah dimana terdapat
pemusatan (konsentrasi) penduduk dengan berbagai jenis kegiatan ekonomi, sosial
budaya, dan administrasi pemerintahan. Secara lebih rinci dapat digambarkan yaitu
meliputi lahan geografis utamanya untuk permukiman berpenduduk dalam jumlah relatif
banyak di atas lahan yang terbatas luasnya dengan mata pencaharian penduduk
didominasi oleh kegiatan non pertanian, serta pola hubungannya antar individu dalam
masyarakat dapat dikatakan lebih bersifat rasional, ekonomis, dan individualis1.
Pertumbuhan kota membawa dampak positif dan juga negatif bagi keberlangsungan
hidup manusia. Pertumbuhan kota memberikan manfaat bagi tumbuhnya pusat-pusat
dari kegiatan pembangunan ekonomi, inovasi, eduksi, percepatan teknologi, dan
penyediaan lapangan kerja namun disisi lain pertumbuhan kota juga mengakibatkan
kerusakan lingkungan seprti besaran jejak ekologi, berkurangnya ruang terbuka hijau
dan hilangnya fungsi ekologisnya, berbagai macam persoalan sumber daya air,
pencemaran dan dampak kesehatan yang tinggi, kebisingan kota yang berlebih, serta
perubahan iklim dan berkurangnya kenyamanan.
Saat ini, perkembangan kota-kota di dunia telah melampaui daya dukung dan
kemampuannya dalam menyediakan infrastruktur. Banyak kota tidak berkelanjutan
akibat berkembang tanpa memperhatikan sumber daya alam yang ada. Hal yang
kemudian terjadi adalah penggunaan sumber daya alam yang massif dan pembukaan
lahan yang melampaui proporsi yang memperhatikan daya dukungnya, penggunaan
sumber daya dan energi yang sangat tinggi, sampah dan limbah yang dihasikan
menjadi sangat besar, pencemaran yang terus meningkat, kemiskinan, serta tumbuhnya
daerah-daerah kumuh yang sulit untuk dihindari. Keadaan yang demikian tersebut
terjadi karena pertumbuhan kota yang dilakukan saat ini tidak memperhatikan
kelangsungan ekologi dan dilaksanakan dengan pertumbuhan ekonomi sebagai satusatunya ukuran dari paradigma pembangunan yang dilaksanakan sehingga dapat
dikatakan bahwa pertumbuhan kota di dunia ini dapat dikatakan bukan petumbuhan
kota yang sustainable. Hal ini secara nyata terlihat dari pola pembangunan perkotaan
yang telah mengorbankan keseimbangan tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni
ekologi, ekonomi, dan sosial. Disisi ekologis contohnya, ruang terbuka hijau di daerah
perkotaan semakin menyusut tergusur oleh pembangunan kawasan komersial, seperti
pusat perbelanjaan, perkantoran, pertokoan, pelebaran infrastruktur jalan, dan
pembangunan fisik kota lainnya.
Di dalam pembangunan kota dikenal prasarana infrastruktur kota atau infrastruktur abuabu berupa jalan raya, jaringan drainase, jaringan listrik, infrastruktur sosial (rumah sakit
dan sekolah). Kini di era pemanasan global dan perubahan iklim terdapat konsep
pembangunan kota berkelanjutan yang didalamnya terkenal infrastruktur kota lainnya
berupa infrastruktur hijau kota (urban green infrastructure). Infrastruktur hijau kota
tersebut didefinisikan sebagai “An Interconected network of green space that conserves
natural ecosystem values and fuctions and provides associated benefits to human
population” (Green Infrastructure: Smart Conservation for the 21st Century, 2001). Dari
sudut pandang ini, insfrastruktur hijau kota merupakan kerangka ekologis untuk
1 Berdasarkan Rahardjo Adisasmita. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi karena berfungsi sebagai sistem
kehidupan alami yang berkelanjutan. Infrastruktur hijau kota merupakan jaringan ruang
terbuka hijau (RTH) kota yang berfungsi untuk melindungi nilai dan fungsi ekosistem
alami yang dapat memberikan dukungan kepada kehidupan manusia. Sebagai contoh,
apabila pemerintah telah membangun infrastruktur jaringan air bersih untuk kebutuhan
air masyarakat, jaringan RTH dapat memasok oksigen yang sangat diperlukan oleh
warga. Demikian pula apabila pemerintah telah membangun jaringan infrastruktur
penanggulangan limbah cair maupun padat agar terhindar dari pencemaran yang
berdampak negatif pada warga, dengan adanya jaringan RTH dapat menetralisir
dampak pencemaran udara, terutama penyerapan karbon dioksida, dan sekaligus
menekan emisi karbon pemicu pemanasan bumi.
Infrastruktur hijau merupakan jaringan yang saling berhubungan. Antara sungai, lahan
basah, hutan, habitat kehidupan liar, dan daerah alami di wilayah perkotaan; jalur hijau,
kawasan hijau, dan daerah konservasi; daerah pertanian, perkebunan, dan berbagai
jenis RTH lain seperti taman-taman kota. Pengembangan infrastruktur hijau dapat
mendukung kehidupan warga, menjaga proses ekologis, keberlanjutan sumber daya air
dan udara bersih, serta memberikan sumbangan kepada kesehatan, dan kenyamanan
warga kota. Infrastruktur hijau merupakan jaringan terpadu dari berbagai jenis RTH,
terdiri atas area (hub) dan jalur (link). Suatu RTH yang berbentuk area hijau dengan
berbagai bentuk dan ukuran seperti taman kota, pemakaman, situ/telaga/danau, hutan
kota,dan hutan lindung berfungsi sebagai habitat satwa liar dan prosesekologis.
Sedangkan RTH yang berbentuk jalur atau koridor seperti jalur hijau jalan, sempadan
sungai, tepian rel kereta api, saluran udara tekanan tinggi, dan pantai merupakan
penghubung (urban park connector) area-area hijau untuk membentuk sistem jaringan
RTH kota. Infrastruktur hijau ini dapat digunakan sebagai pengendali perkembangan
kota agar tidak terjadi peluberan kota (urban sprawl), karena kawasan ataupun jalur
yang telah ditetapkan sebagai RTH seharusnya tidak dapat dikonversi untuk fungsi
lain2.
Keterhubungan antar-kawasan RTH dengan jalur dan koridor hijau merupakan kunci
keberhasilan infrastruktur hijau kota. Keterhubungan antar-ruang hijau, baik area
maupun jalur hijau merupakan strategi dalam menanggulangi degradasi lingkungan kota
seperti banjir, rob, longsor, krisis air tanah, pemanasan lingkungan kota, meningkatnya
pencemaran udara, rusaknya habitat satwa liar, dan kerusakan lingkungan lainnya.
Infrastruktur hijau harus pula diintegrasikan dengan rencana pembangunan infrastruktur
kota seperti pembangunan jalan, drainase, dan prasarana lainnya termasuk
keterkaitannya dengan infrastruktur antar-kota pada skala wilayah, metropolitan,
ataupun megalopolitan.
Implementasi infrastruktur hijau dijabarkan dalam pola pemanfaatan ruang. Pola
pengamanan ekologis yang komprehensif (comprehensive ecological security pattern)
merupakan pola ruang kota yang berkaitan dengan infrastruktur hijau (Wang, Chen,
Yang dalam ISOCARP Congress ke-44. 2008). Pola pengamanan eologis (ecological
security pattern) kota terdiri atas pola pengamanan terhadap masalah air dan banjir,
udara, bencana geologis, keanekaragaman hayati, warisan budaya, dan rekreasi. Pola
pengamanan ekologis untuk setiap kota bisa berbeda tergantung pada permasalahan
lingkungan kotanya.
1.
Pola pengamanan air dan banjir (flood and stormwater security pattern)
berhubungan dengan proses-proses hidrologis, seperti aliran permukaan (run off),
daerah resapan air (infiltration), daerah tangkapan air hujan (catchment area).
Untuk membuat pola pengamanan air dan banjir ini diperlukan data mengenai
2 Berdasarkan Nirwono Joga, “Kota Lestari: Infrastruktur Hijau Kota” dalam Gerakan Kota
Hijau. 2013. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Halaman 127 – 129.
aliran air permukaan seperti sungai, waduk, situ, serta daerah genangan air pada
saat hujan. Hal ini bertujuan untuk menyusun pola RTH pengendalian banjir dengan
menentukan daerah-daerah yang tidak boleh dibangun untuk fungsi konservasi dan
preservasi agar proses-proses hidrologis tetap dapat berlangsung.
2.
Pola pengamanan udara (air security pattern) berhubungan dengan upaya
peningkatan kualitas udara agar udara kota tetap segar, tidak tercemar, dan sehat
untuk setiap warga. Kawasan dengan potensi pencemaran udara tinggi kemudian
menjadi prioritas dalam penyediaan RTH untuk mengendalikan pencemaran udara,
terutama karena polusi sektor transportasi. Jalur hijau jalan dan kawasan industri
menjadi fokus utama penentuan pola RTH kota.
3.
Pola pengamanan bencana geologis (geological disaster security pattern)
berhubungan dengan pengendalian daerah-daerah yang rawan longsor, amblesan
muka tanah (land/surface subsidence), daerah patahan geologi, dan daerah rawan
bencana geologis lainnya.
4.
Pola pengamanan keanekaragaman hayati (biodiversity security pattern)
berhubungan dengan konservasi berbagai spesies dan habitat tempat mereka bisa
hidup. Kesesuaian lahan untuk habitat berbagai spesies dan penentuan kawasan
yang harus dikonservasi merupakan fokus utama agar penataan ruang kota tetap
member peluang bagi terciptanya keanekaragaman biologis.
5.
Pola pengamanan warisan budaya (cultural heritage security pattern) berhubungan
dengan konservasi situs budaya. Kawasan atau tempat yang bernilai budaya tinggi
perlu dicgar dan dikonservasi agar tak habis karena pembangunan fisik yang
dilakukan yang akan mengubah wajah lansekap.
6.
Pola pengamanan rekreasi (recreational security pattern) berhubungan dengan
tempat-tempat yang mempunyai fungsi sosial dan nilai rekreasi bagi warga kota.
Taman kota, taman lingkungan, taman rekreasi, taman pemakaman, kawasan
dengan pemandangan indah, kawasan dengan fitur alam yang unik, dan lansekap
vernacular merupakan daerah-daerah yang perlu diamankan dari pembangunan
kota.
B. APLIKASI KONSEP GREEN CITY DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA
Berikut di bawah ini merupakan aplikasi dari konsep green city yang telah diterapkan di
berbagai kota di berbagai negara di dunia.
1.
APLIKASI KONSEP GREEN CITY DI EROPA
Kota-kota di Eropa sangat terdepan dalam membangun kota di dalam taman.
Pemerintahan Eropa menyusun Main Green Structure Urban Plan sebagai arahan
bagi pengembangan dan perlindungan RTH. Sebagai hasilnya beberapa kota di
Eropa memiliki persentase RTH luas yang terdiri dari taman, kebun, maupun hutan.
Di Madrid, luas RTH adalah sebesar 43 persen dari wilayahnya dan RTH tersebut
teridiri dari taman, kebun, dan hutan. Paris memiliki lebih dari 400 taman besar
yang tersebar di dalam kotanya. Roma Countdown 2010 menerapkan bangunan
hijau yang dilengkapi dengan taman atap dan juga penanaman 500.000 pohon
yang menghubungkan koridor ekologis antar-taman. Di Stockholm, 85 persen
warga masyarakatnya tinggal tidak jauh dari taman dengan jarak radius 300 meter.
2.
APLIKASI KONSEP GREEN CITY DI AMERIKA SERIKAT
Kota-kota di Amerika Serikat dan Kanada memiliki rata-rata luas RTH 11,9 persen
dan kepadatan penduduk sejumlah 8.106,8 orang/mil2 (data tahun 2008) dengan
perincian sebagai berikut:
Tabel 1. Presentasi Luas RTH Beberapa Kota di Amerika Serikat
Luas RTH
No.
Kota
(%)
1
Atlanta
4,6
15
New York
2
Boston
16,3
16
Orlando
3
Charlotte
11,6
17
Ottawa
4
Chicago
8,2
18
Philadelphia
5
Cleveland
6,4
19
Phoenix
6
Calgary
15
20
Pittsburg
7
Dallas
13,4
21
Sacramento
8
Denver
3,2
22
San Fransisco
9
Detroit
6,7
23
Seattle
10 Houston
14,2
24
St. Louis
11 Los Angeles
7,9
25
Toronto
12 Miami
6,3
26
Vancouver
13 Minneapolis
19,5
27
Washington DC
14 Montreal
18,5
Sumber: Nirwono Joga, Gerakan Hijau di Eropa dan Amerika Serikat, diolah.
No.
Kota
Luas RTH
(%)
19,7
4,9
20
12,6
13,8
8,9
9,4
17,1
11,6
8,7
12,7
11,7
19,4
Untuk mewujudkan kota hijau yang turut memperhatikan keseimbangan ekologi di
daerah perkotaan di Amerika Serikat, terdapat berbagai program penanaman
pohon di kota yang dilakukan secara serentak. Program-program penanaman
pohon tersebut antara lain Calgary Forever Green Program: The Birth Place Forest
(2001), Denver Mile High Million (2006 – 2025), The Million Trees+ Houston (20082013), Los Angeles’s Million Trees (2005), The New York Million Trees (2007 –
2017), Philadelphia Green Philly, Grow Philly (2010 – 2015), Green Ups Pittsburgh
(2007), The Greenwise Sacramento Regional Action Plan (2011), Trees Across
Toronto (2011), dan Plant a Tree in Washington DC (2008).
Selain program penanaman pohon seperti di atas, kota-kota di Amerika Serikat juga
membuka peluang kepada masyarakat untuk turut membantu dan berpartisipasi
dalam pelaksanaan program-program kota hijau melalui komunitas masyarakat
yang ada. Di Boston, terdapat The Boston Youth Clean-Up Corps yang merupakan
komunitas anak muda yang rajin membersihkan dan merawat tanaman. Di Dallas,
terdapat The Dallas Urban Forest Advisory Committee yang ikut membantu dan
mendampingi pemerintah dalam mengedukasi masyarakat dan pemerintah tentang
pentingnya pohon di lingkungan kota, pentingnya membangun hutan kota, serta
melatih keterampilan warga dalam merawat pohon, serta menanam pohon.
Program-program peningkatan infrastruktur hijau kota juga dilakukan untuk
mewujudkan kota hijau yang berkelanjutan. Adapun program-program tersebut
antara lain:
1. Detroit yang membangun infrastruktur hijau biowales untuk menata RTH yang
berfungsi untuk menyaring polutan air hujan dan menyerapkannya ke dalam
tanah. Selain itu terdapat program dari rust belt ke green belt yang merupakan
program perbaikan kualitas udara dengan memperbanyak kuantitas pohon dan
RTH serta Houston Mulch, produk kompos dari pengolahan sisa tanaman yang
digunakan untuk pemupukan alami RTH.
2. Montreal yang memperluas RTH dari 18,5 persen di tahun 2010 menjadi 25
persen di tahun 2025 dan membangun 10 ecoterritories kawasan lindung
alami. Revi-Sols, program rehabilitasi lahan tidur yang dibiayai pemilik lahan
dan pengembang untuk membersihkan lahan setengah dari total biaya untuk
dijadikan RTH.
3. Ottawa dengan program Ottawa’s Green Acres yang merupakan program
bimbingan dan bantuan penanaman pohon kepada pemilik lahan sehingga
secara keseluruhan kawasan dapat tertata dan membentuk hutan kota.
4. San Francisco dengan program A Better Streets Plan yang mulai diberlakukan
tahun 2010 yang berupa program panduan kawasan pejalan kaki yang
bertujuan untuk menjamin keselamatan, memberitahukan potensi ekologis
jalan, dan menentukan jenis pepohonan yang akan membentuk lansekap jalan.
5. Seattle dengan program The Seattle Parks and Green Spaces Levy yang mulai
diberlakukan tahun 2008 dimana dilakukan peningkatan pajak tanah dengan
dana yang terkumpul digunakan untuk membiayai pembangunan taman-taman
baru.
6. Toronto dengan program Toronto Natural Heritage Protection Plan yang mulai
diberlakukan tahun 2001 yang digulirkan untuk perlindungan sistem alami RTH
kota seperti misalnya pada kawasan tepian air.
3.
APLIKASI KONSEP GREEN CITY DI AMERIKA SELATAN
Beberapa kota di Amerika Selatan sudah mulai menerapkan konsep green city
dalam membangun daerah perkotaan. Luas RTH kota-kota di Amerika Selatan
adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Luas RTH Beberapa Kota di Amerika Selatan
Luas RTH
No.
Kota
(m2/orang)
1
Belo Horizonte
18,3
10
Meksiko
2
Brazilia
985,1
11
Monterrey
3
Curitiba
51,1
12
Puebla
4
Porto Alegre
6
13
Lima
5
Rio de Janeiro
58
14
Montovideo
6
Sao Paulo
54,7
15
Quito
7
Bogota
107,3
16
Santiago
8
Medellin
5
17
Guadalajara
9
Buenos Aires
6,1
Sumber: Nirwono Joga, Gerakan Hijau di Amerika Selatan dan Asia, diolah.
No.
Kota
Luas RTH
(m2/orang)
28,4
749,8
303,3
2
9,2
1.494,7
26,1
423,3
Di Amerika Selatan, untuk mewujudkan kota hijau terdapat berbagai program
pembangunan RTH baik itu melalui upaya penanaman pohon maupun upaya
pembangunan taman yang secara terus-menerus dilakukan di beberapa kota.
Beberapa contoh program yang dilakukan adalah One Life, One Tree di Belo
Horizonte (2007), Green Lima and Callao Pact di Lima (2007), Mexico Green Plan
(2007), Urban Reforesting Programme dan Green City Programme di Puebla
(2009), Quito Forestation dan Reforestation Project (2001), The Santiago
Metropolitan Regulation Plan 2030, Sao Paulo Agenda 2012 (2009).
Selain program-program tersebut di atas, ada pula program lain untuk mewujudkan
kota hijau di Amerika Selatan antara lain:
1. Bogota, diadakan Bogota Environmental Classroom yang merupakan program
pendidikan lingkungan untuk anak-anak sekolah yang dilakukan di tamantaman kota.
2. Buenos Aires, di kota ini dibangun urban park connector yang menyatukan jalur
sepeda dari taman ke taman yang sekaligus menjadi solusi terhadap
permasalahan transportasi, RTH, dan juga kualitas udara.
3. Curitiba, di kota ini dilakukan perluasan RTH yang digunakan sebagai tulang
punggung penyerapan CO2 dan penurunan emisi karbon. Disini pemerintah
juga memberikan potongan pajak yang menarik bagi pemilik lahan RTH privat
yang bersedia untuk kemudian dibangun menjadi taman publik.
4. Montevideo, di kota ini terdapat program Montevideo Verde (2009) yang
merupakan program promosi pelestarian RTH bagi warga dan kota yang
dilengkapi dengan kegiatan tur ke taman-taman kota.
5. Quito, di kota ini terdapat program My Neighbourhood is Dressed in Trees
(2006) yang merupakan kompetisi penanaman pohon yang dibagi atas 145
distrik yang berhasil menanam dan memelihara 140.000 pohon.
6. Rio de Janeiro, di kota ini diluncurkan Guanabara Bay Depollution Programme
yang merupakan program penataan dan peningkatan kualitas lingkungan
kawasan tepi pantai yang bebas dari sampah dan juga berfungsi sebagai
pengendali banjir yang terutama berasal dari rob, abrasi pantai, dan intrusi air
laut).
4.
APLIKASI KONSEP GREEN CITY DI ASIA
Beberapa kota di Asia sudah mulai menerapkan konsep green city dalam
membangun daerah perkotaan. Luas RTH kota-kota di Asia adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Luas RTH Beberapa Kota di Asia
No
Luas RTH
No
Kota
Kota
2
.
(m /orang)
.
1 Bangkok
3,3
12 Kolkata
2 Beijing
88,4
13 Kuala Lumpur
3 Bengaluru
41
14 Manila
4 New Delhi
18,8
15 Mumbai
5 Guangzhou
166,3
16 Nanjing
6 Hanoi
11,2
17 Osaka
7 Hongkong
105,3
18 Seoul
8 Jakarta
2,3
19 Shanghai
9 Karachi
17
20 Singapura
10 Taipei
49,6
21 Tokyo
11 Wuhan
20,9
22 Yokohama
Sumber: Nirwono Joga, Gerakan Hijau di Amerika Selatan dan Asia, diolah.
Luas RTH
(m2/orang)
1,8
43,9
4,5
6,6
108,4
4,5
23,4
18,1
66,2
10,6
37,4
Untuk mewujudkan kota hijau yang turut memperhatikan keseimbangan ekologi di
daerah perkotaan di Asia, terdapat berbagai program yang dilakukan antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Beijing, di kota Beijing terdapat program untuk meningkatkan kuantitas dan
kualitas kanopi hijau kota. Sebagai hasilnya, kanopi hijau di kota Beijing
kuantitasnya meningkat dari 42 persen di tahun 2000 menjadi 52 persen di
tahun 2007.
2. New Delhi, di kota ini terdapat New Delhi Green Lungs Programme yang
berhasil meningkatkan RTH kota dari 20 persen di tahun 2009 menjadi 33
persen di tahun 2012.
3. Hanoi, kota ini memiliki program berupa Green, Civilized, and Modern City
yang diberlakukan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2050 yang
menargetkan 70 persen wilayah kota Hanoi akan digunakan sebagai RTH,
pepohonan, serta ruang terbuka biru. Sebagai salah satu hasil dari program ini,
pada Maret 2010 dibangun Park City Hanoi dengan luas 77 hektare yang
merupakan kawasan terpadu yang dilengkapi perumahan dengan kepadatan
campuran, pusat perbelanjaan, sekolah, serta RTH sebesar 14 persen dari
total kawasan tersebut.
4. Osaka, di kota ini terdapat program Osaka Green Curtains dan Carpets yang
dilakukan sejak tahun 2010 dimana banyak dilakukan pembangunan taman
atap dan taman dinding yang digunakan untuk meredam fenomena pulaupulau panas dalam kota.
5. Singapura, di kota ini terdapat sebuah kebijakan untuk meningkatkan RTH
kota. Dari yang semula seluas 3.300 hektar pada tahun 2011 menjadi 4.200
hektare pada tahun 2020. Selain itu, Singapura juga mencanangkan
pembangunan eco-link yang menjadi penghubung antar RTH dari 100 km di
tahun 2007 menjadi 360 km di tahun 2020. Awal pembangunan kota taman
dimulai dengan peluncuran kampanye penanaman pohon pada tahun 1963
oleh Mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yeuw yang merupakan penggagas
konsep kota taman Singapura. Untuk menjamin keberlanjutan perwujudan kota
taman, pemerintah Singapura mengeluarkan peraturan terkait dengan
penghijauan kota, antara lain berupa National Parks Board Act, Parks and
Tress Act, Parks and Trees Regulation, dan Tree Conservation Order.
6. Yokohama, di kota ini terdapat program Yokohama Green Up yang dilakukan
dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 yaitu dengan mengumpulkan dana
untuk mempercepat penambahan luas RTH dengan pengenaan pajak kepada
individu serta pengusaha.
C. PELAKSANAAN KONSEP GREEN CITY DI INDONESIA
Tentang bagaimana merencanakan dan merancang sebuah kota hijau di Indonesia, hal
ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Berdasarkan undang-undang tersebut perlu kesadaran bersama
pemerintah, pengembang, perencana, dan juga warga kota dalam mengintegrasikan
kebijakan pembangunan berkelanjutan di semua kegiatan operasional yang dilakukan.
Kota dapat bertumpu pada empat hal utama yakni penataan transportasi masal ramah
lingkungan, perumahan (kawasan hunia vertical), daur ulang sampah, serta ruang
terbuka hijau (RTH). Lebih lanjut, kota harus didukung oleh sistem jaringan RTH yang
terstruktur yang meliputi taman atau kebun rumah, taman lingkungan, taman kota,
lapangan olah raga, hutan kota / lindung / mangrove, kebun raya, dan daerah
tangkapan air berupa situ / waduk / danau yang dihubungkan dengan koridor
pepohonan jalur hijau jalan, jalur pejalan kaki dan pesepeda, bantaran rel kereta api,
saluran umum tegangan tinggi, sungai, hutan lindung, dan pengolahan sampah ramah
lingkungan. Taman-taman penghubung harus bisa membuat pejalan kaki dan pesepeda
nyaman ke berbagai tempat tujuan. Pemerintah juga perlu memperbanyak RTH baru
berupa taman evakuasi bencana di kawasan padat penduduk dan padat bangunan,
taman kota, taman makam, lapangan olah raga dan hutan kota, merevitalisasi situ dan
hutan mangrove, penghijauan atap dan dinding bangunan (roof and wall garden), serta
pengembangan pertanian kota.
Pada Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, mensyaratkan setiap kota memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30 persen, yang
terdiri atas RTH publik sebanyak 20 persen dan RTH privat sebanyak 10 persen. RTH
adalah surga perkotaan yang berfungsi sebagai paru-paru kota, daerah resapan air, dan
tulang punggung dalam pengendalian perkembangan kota dan infrastruktur hijau kota3.
Proporsi RTH pekotaan sebesar 30 persen (RTH publik 20 persen dan RTH privat 10
persen) merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota,
baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis
lainnya yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Untuk mencapai
luasan RTH kota sebesar 30 persen sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah daerah perlu mengembangkan
strategi baru untuk mempercepat pencapaian target RTH 30 persen, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Menetapkan daerah yang tidak boleh dibangun. Pertanyaan esensial dalam
pembangunan kemudian bukan dimana boleh membangun namun justru dimana
tidak boleh membangun karena secara teknologi hampir semua tempat dapat
dibangun. Daerah-daerah yang sensitif terhadap perubahan harus dipreservasi
atau dikonservasi agar fungsi lingkungan tetap terjaga, seperti habitat satwa liar,
daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi, daerah genangan, dan
penampungan air, daerah rawan longsor, tepian sungai dan tepian pantai sebagai
pengaman ekologis dan daerah-daerah yang memiliki nilai pemandangan tinggi.
2.
Membangun lahan hijau baru (hubs). Pemerintah daerah disii dapat membeli lahan
yang kemudian dibangun RTH areal berupa taman lingkungan terutama di
perkampungan padat penduduk, taman kota, taman makam, lapangan olah raga,
hutan kota, kebun raya, hutan mangrove, dan situ atau danau buatan baru, serta
RTH jalur untuk jalur hijau jalan, tepi sungai, situ, jalur rel kereta api, dan di bawah
jalur listrik tegangan tinggi. Peremajaan kota di perkampungan padat penduduk dan
bangunan maupun pembangunan kawasan terpadu ramah lingkungan kemudian
menjadi perlu untuk dilakukan. Keterbatasan anggaran yang ada dapat disiasati
dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan pelibatan korporasi melalui
program tanggung jawab sosial korporasi (CSR) dalam membangun RTH kota.
3.
Mengembangkan koridor ruang hijau kota (link). Program penanaman pohon besar
secara massal dapat dilakukan untuk menciptakan koridor ruang hijau kota di
sepanjang potensi ruang jalur hijau seperti di sempadan sungai, tepian situ atau
waduk, tepi jalan tol, sempadan rel kereta api, saluran umum tegangan tinggi, jalur
pipa gas, dan di jalur jalan baik itu jalur pantai utara maupun jalur pantai selatan.
Untuk melakukan program ini, perlu dibuat sebuah Rencana Induk RTH sebagai
media diskusi pada saat sosialisasi, koordinasi, dan konsolidasi antar instansi
terkait. Lebih jauh, koridor jalur hijau dikembangkan sebagai urban park connector
yang menghubungkan seluruh RTH kota yang dilengkapi dengan jalur sepeda dan
pejalan kaki untuk menjadi jalur alternatif transportasi kendaraan tidak bermotor
3 Berdasarkan Nirwono Joga, “Hari Bumi dan Gerakan Hemat Energi” dalam Gerakan Kota
Hijau. 2013. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
dan jalur wisata kota. Selain itu, diperlukan juga upaya restorasi ekologis dengan
mengembalikan secara cepat lahan-lahan kosong yang belum terbangun seperti
jalur tepian sungai, tepian jalan, tepi rel kereta api, tepian pantai, tepian situ, dan
lainnya menjadi daerah hijau.
4.
Melakukan akuisisi terhadap RTH privat untuk mengejar target RTH privat 10
persen. Selama ini pemerintah daerah dibayang-bayangi oleh kecenderungan
penurunan RTH privat yang kemudian digunakan untuk berbagai keperluan
bangunan. Untuk menghadapi hal tersebut, perlu peraturan ketat terhadap
pelaksanaan Koefisien Dasar Hijau (KDH) melalui pengendalian Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan pemberian kompensasi berupa insentif dan disinsentif. Untuk
keperluan tersebut, pemerintah daerah harus telah mendata, meningkatkan, dan
menetapkan area RTH privat pekarangan rumah, sekolah, perkantoran, rumah
sakit, pabrik, hingga kawasan terpadu, pusat perbelanjaan, hotel, apartement, dan
rumah susun sebagai bagian dari RTH kota. Kompensasi berupa insentif dapat
diberikan kepada pemilik bangunan yang secara konstan dan berkelanjutan
mempertahankan RTH privat mereka dalam bentuk yang beraneka ragam seperti
pemberian keringanan pengenaan pajak bumi dan bangunan, keringanan pajak air
tanah, atau keringanan berbagai macam jenis pajak lain. Untuk pengembang yang
kegiatannya adalah mengembangkan kawasan terpadu, terdapat kewajiban dalam
penyediaan fasos dan fasum berupa taman di dalam kawasan yang dikembangkan,
bukan di lokasi lain dan tidak dapat diganti dengan uang.
5.
Merefungsi RTH yang telah ada. Dilakukan dengan merehabilitasi atau melakukan
restorasi terhadap RTH dan melakukan penghijauan kembali kawasan hutan dapat
dilakukan untuk meningkatkan kualitas RTH. Dalam melakukan upaya ini,
pemerintah daerah dapat merevitalisasi situ, danau, waduk, dan hutan mangrove
yang ada sebagai daerah resapan air. Refungsionalisasi RTH yang masih
digunakan untuk fungsi lain seperti misalnya SPBU di jalur hijau dan sempada
sungai yang masih diokupasi masyarakat. Revitalisasi dapat juga dilakukan di
taman lingkungan, halaman sekolah, halaman kantor, dan area parkir yang
diperkeras dengan diganti menjadi rumput agar berdaya serap air lebih besar.
6.
Menghijaukan langit kota. Akibat keterbatasan lahan, pembangunan RTH dapat
dilakukan di atap-atap bangunan bertingkat seperti hotel, perkantoran, pusat
perbelanjaan, dan lain sebagainya menjadi taman atap dan dinding hijau.
Penghijauan bangunan, meski tidak termasuk dalam kategori menambah luasan
RTH privat namun upaya ini patut didukung karena secara ekologis mampu
menurunkan suhu kota, menyerap gas polutan, meredam pemanasan pulau dan
radiasi sinar matahari, meredam tingkat kebisingan, menyerap air hujan,
menyimpan air sementara di lapisan tanah, mendinginkan atap dan bangunan
melalui insulasi alami, serta menghasilkan oksigen. Sebagai usaha untuk
mengurangi krisis pangan yang terjadi, taman atap dapat pula dijadikan kebun
sayuran dan buah-buahan serta apotik hidup untuk memenuhi kebutuhan pangan
sehari-hari.
7.
Menyusun kebijakan hijau. Kebijakan hijau yang dibuat pada akhirnya akan
meningkatkan keyakinan jajaran pimpinan pemerintah daerah dan anggota dewan
legislatif akan pentingnya pengembangan RTH serta menentukan kelancaran
dalam penyediaan anggaran yang besar untuk pembangunan RTH-RTH baru.
Pemerintah daerah dapat melakukan peningkatan kesadaran aparat lintas sektoral
dalam pengembangan RTH. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong lahirnya
Peraturan Daerah tentang RTH agar perencanaan pembangunan RTH memiliki
kekuatan hukum yang jelas dan tegas. Perlu diberlakukan upaya kompensasi
berupa insentif dan disinentif jika terjadi prestasi atau pelanggaran hukum oleh
perorangan dan/atau badan hukum dalam pelaksanaan pengembangan RTH.
Selain itu, perlu juga dibentuk tim audit RTH untuk menjaga keberadaan dan
pelaksanaan pengembangan RTH.
8.
Memberdayakan komunitas hijau. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan karena
pada kenyataannya sebagian besar lahan hijau berada di bawah kepemilikan
masyarakat dan swasta (RTH privat). Ini merupakan pergeseran model
pembangunan kota dari tanggung jawab stakeholders menjadi tanggung jawab
bersama. Program partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui penyuluhan dan
pembinaan warga masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman
terhadap arti penting eksistensi RTH, penyebarluasan fungsi dan manfaat RTH
melalui kampanye lingkungan hidup, pelibatan masyarakat dan juga swasta dalam
program pengembangan RTH (mitra hijau), serta pelibatan institusi pendidikan.
Terkait dengan kondisi ruang terbuka hijau di daerah perkotaan di Indonesia,
pertambahan jumlah penduduk yang ada menyebabkan keberadaan RTH kota menjadi
semakin terancam dan kota semakin tidak nyaman digunakan untuk beraktivitas. Hal ini
disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan terjadinya
densifikasi penduduk dan pemukiman yang cepat dan tidak terkendali di daerah kota
yang menyebabkan kebutuhan ruang semakin meningkat untuk mengakomodasi
kepentingan penduduk yang semakin bertambah. Semakin bertambahnya permintaan
akan ruang khususnya untuk permukiman dan lahan terbangun berdampak pada
semakin merosotnya kualitas lingkungan dan jumlah RTH yang ada sedangkan
Rencana Tata Ruang yang telah dibuat tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di
perkotaaan.
James Siahaan (2010) menyatakan bahwa kecenderungan terjadinya penurunan
kuantitas ruang publik, terutama RTH pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota
besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, luasan RTH telah berkurang
dari 35 persen pada awal tahun 1970-an menjadi 10 persen pada saat ini. RTH yang
ada sebagian besar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan dan kawasan
permukiman baru. Permasalahan utama keberadaan RTH adalah semakin
berkurangnya RTH karena keterbatasan lahan dan ketidak-konsistenan dalam
penerapan tata ruang. Berkurangnya RTH disebabkan oleh konversi lahan yaitu beralih
fungsinya RTH untuk peruntukan ruang yang lain. Padahal banyak fungsi yang dapat
diberikan RTH baik ekologis, sosial budaya maupun estetika yang memberikan
kenyamanan dan memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro.
Manfaat yang diperoleh dari keberadaan RTH baik manfaat langsung maupun manfaat
tidak langsung dalam jangka panjang dan bersifat intangible4.
Target luas sebesar 30 persen dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap
melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal (Permen PU No. 5 Tahun 2008
tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan). Namun fakta di lapangan menyatakan bahwa keberadaan RTH yang jauh
dari proporsi ideal dimana kekuatan pasar yang dominan pada akhirnya merubah fungsi
lahan sehingga keberadaan RTH semakin terpinggirkan bahkan diabaikan fungsi dan
manfaatnya. Tata ruang yang diharapkan dapat mengakomodasi seakan tidak berdaya
menahan mekanisme pasar tersebut.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
pemerintah Indonesia saat ini tengah merintis Program Pengembangan Kota Hijau
(P2KH), yang mana dalam program ini penataan ruang kota dilakukan berdasarkan
prinsip pembangunan berkelanjutan atau Smart Green City Planning. Program
penataan ruang kota tersebut diharapkan mampu menangani perkembangan di kota4 Berdasarkan Roswidyatmoko Dwihatmojo, “Ruang Terbuka Hijau yang Semakin
Terpinggirkan”. Badan Informasi Geospasial.
kota kecil dan menengah secara baik dengan penyediaan RTH, pengembangan jalur
sepeda dan pedestrian, serta pengendalian penjalaran kawasan pinggiran. Selain itu,
Smart Green City Planning diharapkan ini mampu dengan cermat mengatasi persoalan
ledakan penduduk di kawasan perkotaan akibat urbanisasi yang tidak terencana.
Dengan konsep Green City, krisis perkotaan diharapkan dapat dihindari, sebagaimana
yang terjadi di kota-kota besar dan metropolitan yang telah mengalami obesitas
perkotaan.
Namun, untuk mewujudkan Smart Green City Planning tersebut ada beberapa
permasalahan yang belum terselesaikan terkait dengan implementasi konsep Kota
Hijau. Kendala tersebut antara lain adalah tingginya pendanaan serta terbatasnya lahan
perkotaan dalam mewujudkan ruang terbuka hijau sebesar 30 persen dari luas kota.
Selain itu, kecenderungan perilaku masyarakat yang kontraproduktif dan destruktif,
serta kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya aspek lingkungan sehingga
peran masyarakat dalam perwujudan Kota Hijau masih tergolong rendah. Selama ini
peningkatan jumlah penduduk perkotaan dari waktu ke waktu, perkembangan kawasan
perkotaan yang cenderung bersifat ekspansif, alih-fungsi kawasan pertanian subur di
pinggiran kota, dan meningkatnya ketergantungan pada kendaraan bermotor juga turut
menjadi kendala besar bagi terlaksananya rintisan Program Pengembangan Kota
Hijau5.
D. PELAKSANAAN KONSEP GREEN CITY DI KOTA BANDUNG
Pada tahun 2003, tercatat terjadi penurunan dalam jumlah total taman kota di Kota
Bandung sebesar 2,44 persen dimana sejumlah 450 taman yang tercatat pada tahun
2002 berkurang menjadi 439 taman pada tahun 2003. Penurunan jumlah taman
tersebut disebabkan karena tidak dimasukannya sejumlah taman yang tercatat pada
tahun 2002 karena sebenarnya tidak masuk dalam kategori taman yang bukan
berfungsi sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial, serta adanya taman yang hilang
atau berubah fungsi. Dengan demikian jumlah total luas taman di Kota Bandung juga
menurun dari 1.118,855 hektar pada tahun 2002 menjadi 803,965 hektar pada tahun
2003. Bila dibandingkan dengan total luas kota (167.290.000 m2 atau 16.729 hektar),
proporsi taman di Kota Bandung pada tahun 2003 baru mencapai 4,8 persen. Dari 439
taman dengan total luas 80,4 hektar tersebut, ternyata tidak seluruhnya berpotensi
sebagai lahan yang dapat menyerap air, karena seluas 28,09 hektar (sekitar 34,9
persen dari luas taman di Kota Bandung) berupa lahan yang diperkeras (open space),
sedangkan luas lahan terbukanya (green space) adalah 50,6 hektar.
Secara kuantitas, luasan RTH di Kota Bandung mengalami kenaikan dari tahun ke
tahun, yang bisa dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 4. Luas RTH Kota Bandung Tahun 2004 – 2008
No
.
1
2
3
4
5
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
Luas
(Hektar)
254,2336
1.154,9236
1.314,2035
1.466,1336
1.484,240
Persentase
(%)
1,52
6,9
7,86
8,76
8,87
5 Berdasarkan artikel Green City di Indonesia Terkendala Lahan dan Perilaku
Kontraproduktif – 18 Agustus 2014. Website: http://www.greeners.co/news/green-city-diindonesia-masih-terkendala-lahan-dan-perilaku-kontraproduktif/.
Akses
tanggal
2
Desember 2014.
Sumber: Dinas Pertamanan Kota Bandung, 2009
Bila mengacu pada rasio standar ideal menurut Lancashire Country Council dimana
luas RTH adalah 7 – 11,5 m2 /orang, maka pemenuhan taman bagi warga kota
Bandung baru mencapai sekitar 0,43 m2 /orang atau 3,86 persen - 6,07 persen dari
kebutuhan luas taman ideal. Selain itu, permasalahan RTH di Kota Bandung juga terkait
dengan pola sebaran jumlah dan luas taman di setiap wilayah tidak merata. Ratio
jumlah taman per 100 hektar area di Cibeunying adalah sejumlah 3,54 m 2 /orang dan di
Karees adalah 2,13 m2 /orang, sedangkan pada wilayah lain hanya berkisar di bawah
1,07 m2 /orang. Proporsi luas taman terhadap luas wilayahnya juga menunjukkan
perbedaan yang sangat tinggi, di wilayah Cibeunying dan Gedebage contohnya,
proporsinya berkisar di antara 22,2 persen - 25,8 persen sedangkan di 4 wilayah lain
hanya berkisar di antara 7,2 persen - 16,5 persen6.
Jumlah total jenis tanaman di taman yang ada di Kota Bandung tercatat ada 193 jenis
yang terdiri dari 98 jenis pohon dan 95 jenis tanaman hias. Secara umum pola
penanaman tanaman di taman jalan dan taman kota telah menunjukan kesesuaian
antara jenis tanaman yang ditaman dengan peruntukan tamannya. Sedangkan untuk
taman lingkungan (RT, RW, Kelurahan) masih terdapat jenis tanaman yang kurang
sesuai karena dapat membahayakan pengguna taman atau terdapat jenis yang mudah
rusak karena kegiatan masyarakat yang dilakukan di dalam taman. Dari 98 jenis pohon,
sekurang-kurangnya terdapat 8 jenis tanaman yang diindikasikan masuk ke dalam
kelompok jenis pohon yang mampu menyerap zat pencemar di udara, dan sekurangkurangnya terdapat 18 jenis tanaman yang termasuk kategori tanaman langka. Fungsi
ekologis tanaman dan RTH dari setiap taman tidak dapat disama-ratakan, melainkan
berbeda sesuai dengan karakteristik pola penanaman dan jenis tanamannya serta jenis
RTH masing-masing.
Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2003 kebijakan, rencana dan program
pembangunan RTH, khususnya Taman di Kota Bandung masih belum jelas, sehingga
telah mengakibatkan pembangunan dan pengelolaan taman yang tidak berjalan dengan
baik. Hal ini diindikasikan dari menurunnya jumlah dan luas taman, masih banyaknya
tanaman yang kurang terawat, adanya keluhan masyarakat tentang akses terhadap
RTH atau taman, serta terbatas dan menyusutnya RTH seperti yang tertuang pada
Agenda 21 Kota Bandung.
Terkait dengan pelaksanaan konsep green city di Indonesia yang kemudian ditopang
pemerintah melalui keluarnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang yang mengharuskan setiap daerah memuat rencana penyediaan dan
pemanfaatan RTH, Pemerintah Daerah Kota Bandung kemudian menindak-lanjutinya
dengan melahirkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Namun, hal yang paling penting sebenarnya adalah
bukan hanya sebatas kebijakan tersebut dibuat, akan tetapi bagaimana implementasi
dari kebijakan tersebut. Kedua kebijakan pemerintah tersebut kemudian
diimplementasikan dalam bentuk pembuatan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota
Bandung 2011-2031.
Berdasarkan kategori ruang terbuka hijau Kota Bandung yang tersebar di enam wilayah
kota saat ini tidak merata dengan luas RTH yang beragam di masing-masing wilayah.
Berdasarkan data tahun 2007, wilayah kota yang memiliki ruang terbuka hijau terluas
adalah SWP Ujungberung (351,76 hektar). Sementara SWP Karees merupakan wilayah
dengan luasan RTH terkecil (26,77 hektar). Wilayah-wilayah lainnya memiliki proporsi
6 Berdasarkan hasil kajian Kerjasama Kantor Litbang dan PPSDAL-UNPAD. Pengkajian Pola
Penghijauan di Kota Bandung, 2003.
luas antara kedua wilayah tersebut adalah SWP Bojonegara seluas 76,78 hektar; SWP
Cibeunying seluas 57,57 hektar; SWP Tegalega seluas 67,75 hektar; dan SWP
Gedebage seluas 28,29 hektar. Ruang terbuka hijau yang terdapat pada tiap wilayah
tersebut tersebar di 30 kecamatan dengan proporsi luas yang berbeda berdasarkan
kategorinya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh rencana pengembangan kota di
masing-masing kecamatan yang disesuaikan dengan karakteristik lokasi dari setiap
kecamatan. Kecamatan RTH terluas adalah Kecamatan Cicadas dengan luas 145,12
hektar dan yang terendah adalah Kecamatan Kiaracondong dengan luas 0,18 hektar,
sedangkan kecamatan lainnya berkisar antara 1,5 – 16 hektar. Rencana pola
pengembangan kawasan lindung setempat yang berfungsi pula sebagai ruang terbuka
hijau ini adalah:
a. Menambah jalur hijau jalan di sepanjang jaringan jalan yang ada dan direncanakan
termasuk jalur hijau Pasupati sehingga diperkirakan seluas 2 persen dari total
wilayah Kota Bandung.
b. Intensifikasi dan ekstensifikasi RTH di sepanjang sempadan sungai, jaringan jalan,
saluran udara tegangan tinggi, sempadan jalan, dan jalan bebas hambatan.
c. Intensifikasi dan ekstensifikasi RTH di kawasan taman kota, pemakaman umum,
serta di sekitar danau buatan dan mata air.
d. Penyediaan taman-taman lingkungan yang berada di pusat-pusat lingkungan
perumahan dengan standar sebagai berikut:
Taman lingkungan RT atau untuk 250 penduduk dengan luas 250 m2, atau
standar 1 m2/jiwa.
Taman lingkungan RW atau untuk 2500 penduduk dengan luas 1.250m2, atau
standar 0,5 m2/jiwa, yang dapat berdekatan dengan fasilitas pendidikan SD.
Taman skala kelurahan atau untuk 25.000-30.000 penduduk dengan tamantaman dengan luas 9.000 m2, atau standar 0,3 m2/jiwa.
Taman skala kecamatan atau untuk 120.000 penduduk dengan luas 24.000 m 2,
atau standar 0,2 m2/jiwa.
Taman skala wilayah pengembangan atau untuk 480.000 penduduk dengan luas
12,4 hektar atau 0,3 m2/jiwa.
Bentuk upaya intensifikasi ruang terbuka hijau dapat dilakukan dengan pemilihan jenis
tanaman, letak tanaman, ruang antar permukiman, dan taman-taman rumah. Selain itu,
juga dilakukan penataan ulang makam dan taman kota yang dijadikan SPBU.
Ekstensifikasi RTH dilakukan dengan pembuatan RTH-RTH baru. Untuk memenuhi
kebutuhan ruang terbuka hijau publik sebesar 20 persen dan ruang terbuka hijau privat
sebesar 10 persen maka rencana pengembangan ruang terbuka hijau di Kota Bandung
ditekankan pada peningkatan kuantitas dan kualitas RTH dan peningkatan penghijauan
kota. Jaringan RTH yang terbangun diharapkan akan meningkatkan kuantitas dan
kualitas konektivitas RTH di Kota Bandung. Pada akhirnya peningkatan struktur dan
fungsi RTH ini dapat meningkatkan layanan ekologi RTH yang mampu mendukung
keberlanjutan lingkungan Kota Bandung.
Dengan perkiraan penambahan kebutuhan luas fasilitas taman hijau pada tahun 2030
seluas 26.767.440 m2, maka proyeksi luas RTH publik pada tahun 2030 adalah sekitar
16 persen dari luas total Kota Bandung. RTH sempadan sungai, luasannya terbatas,
namun keberadaannya mempunyai fungsi cukup penting. Diperkirakan terdapat 18,31
hektar lahan RTH sempadan sungai yang tersebar secara tidak merata di 6 wilayah di
Kota Bandung dimana RTH sempadan sungai yang terluas terdapat di wilayah
Gedebage, yaitu seluas ± 9,5 hektar. Untuk mempertahankan fungsi RTH sempadan
sungai, daerah yang terdapat di tepi Sungai Cikapundung yang mengalir dari Utara Kota
Bandung dan melewati Wilayah Cibeunying perlu dibebaskan dari bangunan atau
kegiatan yang dapat mengurangi fungsinya.
Di daerah yang memungkinkan untuk ditanami pohon, perlu dilakukan penghijauan agar
RTH sempadan sungai dapat menjalankan fungsinya sebagai penahan erosi dan
sedimentasi. Sedangkan RTH sempadan sungai di Wilayah Gedebage perlu
ditingkatkan fungsinya untuk menahan masuknya sedimen yang membawa residu
pestisida dan pupuk organik dari lahan pertanian (khususnya persawahan) di wilayah
tersebut. Di wilayah ini perlu dilakukan penanaman pohon pada bagian sempadan
sungai yang memungkinkan untuk ditanami. Saat ini RTH sempadan sungai yang
memiliki konektivitas tinggi.
RTH penyangga jalan tol. Salah satu tipe RTH yang diperkirakan aman dari konversi
adalah jalur penyangga jalan tol Padaleunyi, yaitu segmen antara Gerbang Pasteur dan
Buah Batu. Diperkirakan tidak kurang dari 89,48 hektar jalur penyangga jalan tol yang
masuk ke dalam wilayah Kota Bandung. Pengembangan fungsi jalur penyangga jalan
tol Padaleunyi lebih diarahkan pada peningkatan kualitas secara fungsional daripada
penambahan luas. Hal ini disebabkan perluasan RTH Kota Bandung melalui perluasan
jalur penyangga jalan tol tidak mudah dilakukan mengingat lahan di sepanjan jalan tol
merupakan lahan milik masyarakat yang berupa lahan permukiman dan pertanian, dan
lahan milik swasta berupa pertokoan dan industri. Peluang untuk meningkatkan kualitas
RTH jalur penyangga jalan tol ini cukup besar, antara lain dapat dilakukan dengan
meningkatkan liputan vegetasi dengan cara menambah jumlah pohon sehingga dapat
meningkatkan kualitas konektivitas pada skala lokal, kota, dan regional.
Berikut di bawah ini merupakan rencana pengembangan RTH di Kota Bandung yang
masuk ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung 2011 – 2031:
Tabel 5. Rencana Pengembangan RTH Kota Bandung 2011 – 2031
Rencana
Klasifikasi RTH
Komponen RTH
Luas
(Hektar)
RTH Publik
Sempadan Sungai
18,31
Sempadan Rel Kereta Api
9,63
Sempadan SUTT
10,17
Sempadan Jalan
264,34
Sempadan Jalan Tol
89,48
Taman
2.717,00
TPU
291,00
Kawasan Konservasi
4,12
Jumlah RTH Publik
3.400,00
RTH Privat
Swasta
549,25
Perumahan
1.090,00
Hankam
60,84
Jumlah RTH Privat
1.700,00
Jumlah RTH Publik & Privat
5.100,00
Luas Kota Bandung
17.000,00
Sumber: Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung 2011 – 2031.
Luas
(Persen)
0,11
0,06
0,07
1,58
0,53
15,92
1,74
0,02
20,00
3,28
6,36
0,36
10,00
30,00
100,00
Saat ini, Kota Bandung paling tidak membutuhkan 4.000 hektar lahan hijau tambahan
jika ingin RTH hijau sebesar 30 persen terpenuhi. Lahan hijau ini berguna tidak hanya
sebagai penghasil oksigen, namun juga untuk daerah resapan air dan menyerap karbon
dioksida. Kebijakan yang selanjutnya dilekuarkan pemerintah Kota Bandung untuk
membangun lebih banyak RTH adalah melalui kebijakan membuat RTH di 1.500 Rukun
Warga (RW). Walaupun dianggap sebagai sebuah langkah kecil, namun kebijakan 1
RTH di 1 RW ini dapat menambah sekitar 800 hektar lahan hijau.
Selain itu, saat ini juga sedang digagas kebijakan agar pelaku usaha yang membangun
kegiatan usaha di Kota Bandung untuk menyediakan juga ruang terbuka hijau. Lokasi
gedung seperti apartemen, mall, dan hotel diharapkan dapat segera berkonstribusi
dengan menyediakan RTH di dalam kawasan tersebut. Ini dikarenakan penyediaan pot
yang diisi tanaman atau taman di atas gedung kurang maksimal manfaatnya jika dilihat
dari segi ekologis dan lingkungan. Pot yang diisi tanaman maupun taman di atas
gedung memang akan mengurangi dampak polusi udara dengan menyerap
karbondioksida yang ada di sekitarnya, namun pot-pot berisi tanaman dan taman di atas
gedung tidak menunjang fungsi daerah resapan air.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Secara kuantitas, RTH yang berada di Kota Bandung dapat dikatakan belum memenuhi
standar RTH kota ideal seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Kota yang mengidealkan jumlah RTH di perkotaan adalah
sebesar 30 persen dari luas kota. Untuk dapat memenuhi amanat undang-undang
tersebut, Pemerintah Kota Bandung telah melakukan berbagai terobosan kebijakan
mulai dari menyiapkan peraturan daerah sebagai instrument penguat pelaksanaan
undang-undang, penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Bandung
dengan memasukkan RTH sebagai salah satu unsur di dalamnya, serta kebijakan yang
langsung menyasar masyarakat seperti kebijakan 1 taman (RTH) untuk 1 RW.
Untuk menghindari terjadinya penurunan jumlah dan luas taman, serta kesalahan dalam
menentukan kriteria RTH, khususnya taman diperlukan adanya kebijakan dan rencana
program yang jelas untuk setiap jenis RTH. Dalam kaitannya dengan RTH dalam bentuk
taman, perlu adanya keputusan dan petunjuk teknis yang dapat memberikan kejelasan
tentang jenis maupun klasifikasi taman, fungsi atau peruntukannya, pengaturan
pengelolaan serta sanksinya.
Untuk membangun sebuah kota hijau, perlu kebijakan mendasar dan komitmen kuat
untuk pembangunan kota yang memungkinkan kota berlanjut (kota hijau). Pendekatan
pembangunan kota hijau harus dilaksanakan dengan mengkombinasikan pertumbuhan
ekonomi yang sehat dan ramah lingkungan (pro green growth), meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (pro poor), menyediakan lapangan kerja yang ramah
lingkungan (pro green jobs), dan dalam bingkai menjaga kelestarian lingkungan (pro
environment).
Selain itu, kota hijau harus dibangun dengan memanfaatkan keunggulan yang dimiliki
oleh masing-masing daerah berupa keunikan ekosistem dan budaya yang dimilikinya.
Membangun kota hijau harus dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya manusia,
teknologi, dan jasa ekosistem yang memungkinkan kota untuk dikelola secara cerdas
dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Dwihatmojo,
Roswidyatmoko. Jurnal Badan Informasi Geospasial “Ruang Terbuka
Hijau yang Semakin Terpinggirkan”. Badan Informasi Geospasial
Republik Indonesia.
Joga, Nirwono. 2013. Gerakan Kota Hijau. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Lingkungan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Kerjasama Kantor Litbang dan PPSDAL-UNPAD. 2003. Pengkajian Pola Penghijauan di
Kota Bandung.
------------------. 2001. Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung Tahun 2011 –
2031.
------------------. 2009. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
------------------. 2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana.
------------------. 2007. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
------------------. 2014. Artikel “Green Cit
TOPIK KHUSUS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
GREEN CITY DAN UPAYA PELAKSANAANNYA DI INDONESIA
STUDI KASUS PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BANDUNG
Oleh:
Fajar Ariandy
24014008
Magister Studi Pembangunan
SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2014
GREEN CITY DAN UPAYA PELAKSANAANNYA DI INDONESIA
STUDI KASUS PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BANDUNG
A. PERKOTAAN DAN KONSEP GREEN CITY
Pada umumnya kota diartikan sebagai suatu permukaan wilayah dimana terdapat
pemusatan (konsentrasi) penduduk dengan berbagai jenis kegiatan ekonomi, sosial
budaya, dan administrasi pemerintahan. Secara lebih rinci dapat digambarkan yaitu
meliputi lahan geografis utamanya untuk permukiman berpenduduk dalam jumlah relatif
banyak di atas lahan yang terbatas luasnya dengan mata pencaharian penduduk
didominasi oleh kegiatan non pertanian, serta pola hubungannya antar individu dalam
masyarakat dapat dikatakan lebih bersifat rasional, ekonomis, dan individualis1.
Pertumbuhan kota membawa dampak positif dan juga negatif bagi keberlangsungan
hidup manusia. Pertumbuhan kota memberikan manfaat bagi tumbuhnya pusat-pusat
dari kegiatan pembangunan ekonomi, inovasi, eduksi, percepatan teknologi, dan
penyediaan lapangan kerja namun disisi lain pertumbuhan kota juga mengakibatkan
kerusakan lingkungan seprti besaran jejak ekologi, berkurangnya ruang terbuka hijau
dan hilangnya fungsi ekologisnya, berbagai macam persoalan sumber daya air,
pencemaran dan dampak kesehatan yang tinggi, kebisingan kota yang berlebih, serta
perubahan iklim dan berkurangnya kenyamanan.
Saat ini, perkembangan kota-kota di dunia telah melampaui daya dukung dan
kemampuannya dalam menyediakan infrastruktur. Banyak kota tidak berkelanjutan
akibat berkembang tanpa memperhatikan sumber daya alam yang ada. Hal yang
kemudian terjadi adalah penggunaan sumber daya alam yang massif dan pembukaan
lahan yang melampaui proporsi yang memperhatikan daya dukungnya, penggunaan
sumber daya dan energi yang sangat tinggi, sampah dan limbah yang dihasikan
menjadi sangat besar, pencemaran yang terus meningkat, kemiskinan, serta tumbuhnya
daerah-daerah kumuh yang sulit untuk dihindari. Keadaan yang demikian tersebut
terjadi karena pertumbuhan kota yang dilakukan saat ini tidak memperhatikan
kelangsungan ekologi dan dilaksanakan dengan pertumbuhan ekonomi sebagai satusatunya ukuran dari paradigma pembangunan yang dilaksanakan sehingga dapat
dikatakan bahwa pertumbuhan kota di dunia ini dapat dikatakan bukan petumbuhan
kota yang sustainable. Hal ini secara nyata terlihat dari pola pembangunan perkotaan
yang telah mengorbankan keseimbangan tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni
ekologi, ekonomi, dan sosial. Disisi ekologis contohnya, ruang terbuka hijau di daerah
perkotaan semakin menyusut tergusur oleh pembangunan kawasan komersial, seperti
pusat perbelanjaan, perkantoran, pertokoan, pelebaran infrastruktur jalan, dan
pembangunan fisik kota lainnya.
Di dalam pembangunan kota dikenal prasarana infrastruktur kota atau infrastruktur abuabu berupa jalan raya, jaringan drainase, jaringan listrik, infrastruktur sosial (rumah sakit
dan sekolah). Kini di era pemanasan global dan perubahan iklim terdapat konsep
pembangunan kota berkelanjutan yang didalamnya terkenal infrastruktur kota lainnya
berupa infrastruktur hijau kota (urban green infrastructure). Infrastruktur hijau kota
tersebut didefinisikan sebagai “An Interconected network of green space that conserves
natural ecosystem values and fuctions and provides associated benefits to human
population” (Green Infrastructure: Smart Conservation for the 21st Century, 2001). Dari
sudut pandang ini, insfrastruktur hijau kota merupakan kerangka ekologis untuk
1 Berdasarkan Rahardjo Adisasmita. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi karena berfungsi sebagai sistem
kehidupan alami yang berkelanjutan. Infrastruktur hijau kota merupakan jaringan ruang
terbuka hijau (RTH) kota yang berfungsi untuk melindungi nilai dan fungsi ekosistem
alami yang dapat memberikan dukungan kepada kehidupan manusia. Sebagai contoh,
apabila pemerintah telah membangun infrastruktur jaringan air bersih untuk kebutuhan
air masyarakat, jaringan RTH dapat memasok oksigen yang sangat diperlukan oleh
warga. Demikian pula apabila pemerintah telah membangun jaringan infrastruktur
penanggulangan limbah cair maupun padat agar terhindar dari pencemaran yang
berdampak negatif pada warga, dengan adanya jaringan RTH dapat menetralisir
dampak pencemaran udara, terutama penyerapan karbon dioksida, dan sekaligus
menekan emisi karbon pemicu pemanasan bumi.
Infrastruktur hijau merupakan jaringan yang saling berhubungan. Antara sungai, lahan
basah, hutan, habitat kehidupan liar, dan daerah alami di wilayah perkotaan; jalur hijau,
kawasan hijau, dan daerah konservasi; daerah pertanian, perkebunan, dan berbagai
jenis RTH lain seperti taman-taman kota. Pengembangan infrastruktur hijau dapat
mendukung kehidupan warga, menjaga proses ekologis, keberlanjutan sumber daya air
dan udara bersih, serta memberikan sumbangan kepada kesehatan, dan kenyamanan
warga kota. Infrastruktur hijau merupakan jaringan terpadu dari berbagai jenis RTH,
terdiri atas area (hub) dan jalur (link). Suatu RTH yang berbentuk area hijau dengan
berbagai bentuk dan ukuran seperti taman kota, pemakaman, situ/telaga/danau, hutan
kota,dan hutan lindung berfungsi sebagai habitat satwa liar dan prosesekologis.
Sedangkan RTH yang berbentuk jalur atau koridor seperti jalur hijau jalan, sempadan
sungai, tepian rel kereta api, saluran udara tekanan tinggi, dan pantai merupakan
penghubung (urban park connector) area-area hijau untuk membentuk sistem jaringan
RTH kota. Infrastruktur hijau ini dapat digunakan sebagai pengendali perkembangan
kota agar tidak terjadi peluberan kota (urban sprawl), karena kawasan ataupun jalur
yang telah ditetapkan sebagai RTH seharusnya tidak dapat dikonversi untuk fungsi
lain2.
Keterhubungan antar-kawasan RTH dengan jalur dan koridor hijau merupakan kunci
keberhasilan infrastruktur hijau kota. Keterhubungan antar-ruang hijau, baik area
maupun jalur hijau merupakan strategi dalam menanggulangi degradasi lingkungan kota
seperti banjir, rob, longsor, krisis air tanah, pemanasan lingkungan kota, meningkatnya
pencemaran udara, rusaknya habitat satwa liar, dan kerusakan lingkungan lainnya.
Infrastruktur hijau harus pula diintegrasikan dengan rencana pembangunan infrastruktur
kota seperti pembangunan jalan, drainase, dan prasarana lainnya termasuk
keterkaitannya dengan infrastruktur antar-kota pada skala wilayah, metropolitan,
ataupun megalopolitan.
Implementasi infrastruktur hijau dijabarkan dalam pola pemanfaatan ruang. Pola
pengamanan ekologis yang komprehensif (comprehensive ecological security pattern)
merupakan pola ruang kota yang berkaitan dengan infrastruktur hijau (Wang, Chen,
Yang dalam ISOCARP Congress ke-44. 2008). Pola pengamanan eologis (ecological
security pattern) kota terdiri atas pola pengamanan terhadap masalah air dan banjir,
udara, bencana geologis, keanekaragaman hayati, warisan budaya, dan rekreasi. Pola
pengamanan ekologis untuk setiap kota bisa berbeda tergantung pada permasalahan
lingkungan kotanya.
1.
Pola pengamanan air dan banjir (flood and stormwater security pattern)
berhubungan dengan proses-proses hidrologis, seperti aliran permukaan (run off),
daerah resapan air (infiltration), daerah tangkapan air hujan (catchment area).
Untuk membuat pola pengamanan air dan banjir ini diperlukan data mengenai
2 Berdasarkan Nirwono Joga, “Kota Lestari: Infrastruktur Hijau Kota” dalam Gerakan Kota
Hijau. 2013. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Halaman 127 – 129.
aliran air permukaan seperti sungai, waduk, situ, serta daerah genangan air pada
saat hujan. Hal ini bertujuan untuk menyusun pola RTH pengendalian banjir dengan
menentukan daerah-daerah yang tidak boleh dibangun untuk fungsi konservasi dan
preservasi agar proses-proses hidrologis tetap dapat berlangsung.
2.
Pola pengamanan udara (air security pattern) berhubungan dengan upaya
peningkatan kualitas udara agar udara kota tetap segar, tidak tercemar, dan sehat
untuk setiap warga. Kawasan dengan potensi pencemaran udara tinggi kemudian
menjadi prioritas dalam penyediaan RTH untuk mengendalikan pencemaran udara,
terutama karena polusi sektor transportasi. Jalur hijau jalan dan kawasan industri
menjadi fokus utama penentuan pola RTH kota.
3.
Pola pengamanan bencana geologis (geological disaster security pattern)
berhubungan dengan pengendalian daerah-daerah yang rawan longsor, amblesan
muka tanah (land/surface subsidence), daerah patahan geologi, dan daerah rawan
bencana geologis lainnya.
4.
Pola pengamanan keanekaragaman hayati (biodiversity security pattern)
berhubungan dengan konservasi berbagai spesies dan habitat tempat mereka bisa
hidup. Kesesuaian lahan untuk habitat berbagai spesies dan penentuan kawasan
yang harus dikonservasi merupakan fokus utama agar penataan ruang kota tetap
member peluang bagi terciptanya keanekaragaman biologis.
5.
Pola pengamanan warisan budaya (cultural heritage security pattern) berhubungan
dengan konservasi situs budaya. Kawasan atau tempat yang bernilai budaya tinggi
perlu dicgar dan dikonservasi agar tak habis karena pembangunan fisik yang
dilakukan yang akan mengubah wajah lansekap.
6.
Pola pengamanan rekreasi (recreational security pattern) berhubungan dengan
tempat-tempat yang mempunyai fungsi sosial dan nilai rekreasi bagi warga kota.
Taman kota, taman lingkungan, taman rekreasi, taman pemakaman, kawasan
dengan pemandangan indah, kawasan dengan fitur alam yang unik, dan lansekap
vernacular merupakan daerah-daerah yang perlu diamankan dari pembangunan
kota.
B. APLIKASI KONSEP GREEN CITY DI BERBAGAI NEGARA DI DUNIA
Berikut di bawah ini merupakan aplikasi dari konsep green city yang telah diterapkan di
berbagai kota di berbagai negara di dunia.
1.
APLIKASI KONSEP GREEN CITY DI EROPA
Kota-kota di Eropa sangat terdepan dalam membangun kota di dalam taman.
Pemerintahan Eropa menyusun Main Green Structure Urban Plan sebagai arahan
bagi pengembangan dan perlindungan RTH. Sebagai hasilnya beberapa kota di
Eropa memiliki persentase RTH luas yang terdiri dari taman, kebun, maupun hutan.
Di Madrid, luas RTH adalah sebesar 43 persen dari wilayahnya dan RTH tersebut
teridiri dari taman, kebun, dan hutan. Paris memiliki lebih dari 400 taman besar
yang tersebar di dalam kotanya. Roma Countdown 2010 menerapkan bangunan
hijau yang dilengkapi dengan taman atap dan juga penanaman 500.000 pohon
yang menghubungkan koridor ekologis antar-taman. Di Stockholm, 85 persen
warga masyarakatnya tinggal tidak jauh dari taman dengan jarak radius 300 meter.
2.
APLIKASI KONSEP GREEN CITY DI AMERIKA SERIKAT
Kota-kota di Amerika Serikat dan Kanada memiliki rata-rata luas RTH 11,9 persen
dan kepadatan penduduk sejumlah 8.106,8 orang/mil2 (data tahun 2008) dengan
perincian sebagai berikut:
Tabel 1. Presentasi Luas RTH Beberapa Kota di Amerika Serikat
Luas RTH
No.
Kota
(%)
1
Atlanta
4,6
15
New York
2
Boston
16,3
16
Orlando
3
Charlotte
11,6
17
Ottawa
4
Chicago
8,2
18
Philadelphia
5
Cleveland
6,4
19
Phoenix
6
Calgary
15
20
Pittsburg
7
Dallas
13,4
21
Sacramento
8
Denver
3,2
22
San Fransisco
9
Detroit
6,7
23
Seattle
10 Houston
14,2
24
St. Louis
11 Los Angeles
7,9
25
Toronto
12 Miami
6,3
26
Vancouver
13 Minneapolis
19,5
27
Washington DC
14 Montreal
18,5
Sumber: Nirwono Joga, Gerakan Hijau di Eropa dan Amerika Serikat, diolah.
No.
Kota
Luas RTH
(%)
19,7
4,9
20
12,6
13,8
8,9
9,4
17,1
11,6
8,7
12,7
11,7
19,4
Untuk mewujudkan kota hijau yang turut memperhatikan keseimbangan ekologi di
daerah perkotaan di Amerika Serikat, terdapat berbagai program penanaman
pohon di kota yang dilakukan secara serentak. Program-program penanaman
pohon tersebut antara lain Calgary Forever Green Program: The Birth Place Forest
(2001), Denver Mile High Million (2006 – 2025), The Million Trees+ Houston (20082013), Los Angeles’s Million Trees (2005), The New York Million Trees (2007 –
2017), Philadelphia Green Philly, Grow Philly (2010 – 2015), Green Ups Pittsburgh
(2007), The Greenwise Sacramento Regional Action Plan (2011), Trees Across
Toronto (2011), dan Plant a Tree in Washington DC (2008).
Selain program penanaman pohon seperti di atas, kota-kota di Amerika Serikat juga
membuka peluang kepada masyarakat untuk turut membantu dan berpartisipasi
dalam pelaksanaan program-program kota hijau melalui komunitas masyarakat
yang ada. Di Boston, terdapat The Boston Youth Clean-Up Corps yang merupakan
komunitas anak muda yang rajin membersihkan dan merawat tanaman. Di Dallas,
terdapat The Dallas Urban Forest Advisory Committee yang ikut membantu dan
mendampingi pemerintah dalam mengedukasi masyarakat dan pemerintah tentang
pentingnya pohon di lingkungan kota, pentingnya membangun hutan kota, serta
melatih keterampilan warga dalam merawat pohon, serta menanam pohon.
Program-program peningkatan infrastruktur hijau kota juga dilakukan untuk
mewujudkan kota hijau yang berkelanjutan. Adapun program-program tersebut
antara lain:
1. Detroit yang membangun infrastruktur hijau biowales untuk menata RTH yang
berfungsi untuk menyaring polutan air hujan dan menyerapkannya ke dalam
tanah. Selain itu terdapat program dari rust belt ke green belt yang merupakan
program perbaikan kualitas udara dengan memperbanyak kuantitas pohon dan
RTH serta Houston Mulch, produk kompos dari pengolahan sisa tanaman yang
digunakan untuk pemupukan alami RTH.
2. Montreal yang memperluas RTH dari 18,5 persen di tahun 2010 menjadi 25
persen di tahun 2025 dan membangun 10 ecoterritories kawasan lindung
alami. Revi-Sols, program rehabilitasi lahan tidur yang dibiayai pemilik lahan
dan pengembang untuk membersihkan lahan setengah dari total biaya untuk
dijadikan RTH.
3. Ottawa dengan program Ottawa’s Green Acres yang merupakan program
bimbingan dan bantuan penanaman pohon kepada pemilik lahan sehingga
secara keseluruhan kawasan dapat tertata dan membentuk hutan kota.
4. San Francisco dengan program A Better Streets Plan yang mulai diberlakukan
tahun 2010 yang berupa program panduan kawasan pejalan kaki yang
bertujuan untuk menjamin keselamatan, memberitahukan potensi ekologis
jalan, dan menentukan jenis pepohonan yang akan membentuk lansekap jalan.
5. Seattle dengan program The Seattle Parks and Green Spaces Levy yang mulai
diberlakukan tahun 2008 dimana dilakukan peningkatan pajak tanah dengan
dana yang terkumpul digunakan untuk membiayai pembangunan taman-taman
baru.
6. Toronto dengan program Toronto Natural Heritage Protection Plan yang mulai
diberlakukan tahun 2001 yang digulirkan untuk perlindungan sistem alami RTH
kota seperti misalnya pada kawasan tepian air.
3.
APLIKASI KONSEP GREEN CITY DI AMERIKA SELATAN
Beberapa kota di Amerika Selatan sudah mulai menerapkan konsep green city
dalam membangun daerah perkotaan. Luas RTH kota-kota di Amerika Selatan
adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Luas RTH Beberapa Kota di Amerika Selatan
Luas RTH
No.
Kota
(m2/orang)
1
Belo Horizonte
18,3
10
Meksiko
2
Brazilia
985,1
11
Monterrey
3
Curitiba
51,1
12
Puebla
4
Porto Alegre
6
13
Lima
5
Rio de Janeiro
58
14
Montovideo
6
Sao Paulo
54,7
15
Quito
7
Bogota
107,3
16
Santiago
8
Medellin
5
17
Guadalajara
9
Buenos Aires
6,1
Sumber: Nirwono Joga, Gerakan Hijau di Amerika Selatan dan Asia, diolah.
No.
Kota
Luas RTH
(m2/orang)
28,4
749,8
303,3
2
9,2
1.494,7
26,1
423,3
Di Amerika Selatan, untuk mewujudkan kota hijau terdapat berbagai program
pembangunan RTH baik itu melalui upaya penanaman pohon maupun upaya
pembangunan taman yang secara terus-menerus dilakukan di beberapa kota.
Beberapa contoh program yang dilakukan adalah One Life, One Tree di Belo
Horizonte (2007), Green Lima and Callao Pact di Lima (2007), Mexico Green Plan
(2007), Urban Reforesting Programme dan Green City Programme di Puebla
(2009), Quito Forestation dan Reforestation Project (2001), The Santiago
Metropolitan Regulation Plan 2030, Sao Paulo Agenda 2012 (2009).
Selain program-program tersebut di atas, ada pula program lain untuk mewujudkan
kota hijau di Amerika Selatan antara lain:
1. Bogota, diadakan Bogota Environmental Classroom yang merupakan program
pendidikan lingkungan untuk anak-anak sekolah yang dilakukan di tamantaman kota.
2. Buenos Aires, di kota ini dibangun urban park connector yang menyatukan jalur
sepeda dari taman ke taman yang sekaligus menjadi solusi terhadap
permasalahan transportasi, RTH, dan juga kualitas udara.
3. Curitiba, di kota ini dilakukan perluasan RTH yang digunakan sebagai tulang
punggung penyerapan CO2 dan penurunan emisi karbon. Disini pemerintah
juga memberikan potongan pajak yang menarik bagi pemilik lahan RTH privat
yang bersedia untuk kemudian dibangun menjadi taman publik.
4. Montevideo, di kota ini terdapat program Montevideo Verde (2009) yang
merupakan program promosi pelestarian RTH bagi warga dan kota yang
dilengkapi dengan kegiatan tur ke taman-taman kota.
5. Quito, di kota ini terdapat program My Neighbourhood is Dressed in Trees
(2006) yang merupakan kompetisi penanaman pohon yang dibagi atas 145
distrik yang berhasil menanam dan memelihara 140.000 pohon.
6. Rio de Janeiro, di kota ini diluncurkan Guanabara Bay Depollution Programme
yang merupakan program penataan dan peningkatan kualitas lingkungan
kawasan tepi pantai yang bebas dari sampah dan juga berfungsi sebagai
pengendali banjir yang terutama berasal dari rob, abrasi pantai, dan intrusi air
laut).
4.
APLIKASI KONSEP GREEN CITY DI ASIA
Beberapa kota di Asia sudah mulai menerapkan konsep green city dalam
membangun daerah perkotaan. Luas RTH kota-kota di Asia adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Luas RTH Beberapa Kota di Asia
No
Luas RTH
No
Kota
Kota
2
.
(m /orang)
.
1 Bangkok
3,3
12 Kolkata
2 Beijing
88,4
13 Kuala Lumpur
3 Bengaluru
41
14 Manila
4 New Delhi
18,8
15 Mumbai
5 Guangzhou
166,3
16 Nanjing
6 Hanoi
11,2
17 Osaka
7 Hongkong
105,3
18 Seoul
8 Jakarta
2,3
19 Shanghai
9 Karachi
17
20 Singapura
10 Taipei
49,6
21 Tokyo
11 Wuhan
20,9
22 Yokohama
Sumber: Nirwono Joga, Gerakan Hijau di Amerika Selatan dan Asia, diolah.
Luas RTH
(m2/orang)
1,8
43,9
4,5
6,6
108,4
4,5
23,4
18,1
66,2
10,6
37,4
Untuk mewujudkan kota hijau yang turut memperhatikan keseimbangan ekologi di
daerah perkotaan di Asia, terdapat berbagai program yang dilakukan antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Beijing, di kota Beijing terdapat program untuk meningkatkan kuantitas dan
kualitas kanopi hijau kota. Sebagai hasilnya, kanopi hijau di kota Beijing
kuantitasnya meningkat dari 42 persen di tahun 2000 menjadi 52 persen di
tahun 2007.
2. New Delhi, di kota ini terdapat New Delhi Green Lungs Programme yang
berhasil meningkatkan RTH kota dari 20 persen di tahun 2009 menjadi 33
persen di tahun 2012.
3. Hanoi, kota ini memiliki program berupa Green, Civilized, and Modern City
yang diberlakukan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2050 yang
menargetkan 70 persen wilayah kota Hanoi akan digunakan sebagai RTH,
pepohonan, serta ruang terbuka biru. Sebagai salah satu hasil dari program ini,
pada Maret 2010 dibangun Park City Hanoi dengan luas 77 hektare yang
merupakan kawasan terpadu yang dilengkapi perumahan dengan kepadatan
campuran, pusat perbelanjaan, sekolah, serta RTH sebesar 14 persen dari
total kawasan tersebut.
4. Osaka, di kota ini terdapat program Osaka Green Curtains dan Carpets yang
dilakukan sejak tahun 2010 dimana banyak dilakukan pembangunan taman
atap dan taman dinding yang digunakan untuk meredam fenomena pulaupulau panas dalam kota.
5. Singapura, di kota ini terdapat sebuah kebijakan untuk meningkatkan RTH
kota. Dari yang semula seluas 3.300 hektar pada tahun 2011 menjadi 4.200
hektare pada tahun 2020. Selain itu, Singapura juga mencanangkan
pembangunan eco-link yang menjadi penghubung antar RTH dari 100 km di
tahun 2007 menjadi 360 km di tahun 2020. Awal pembangunan kota taman
dimulai dengan peluncuran kampanye penanaman pohon pada tahun 1963
oleh Mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yeuw yang merupakan penggagas
konsep kota taman Singapura. Untuk menjamin keberlanjutan perwujudan kota
taman, pemerintah Singapura mengeluarkan peraturan terkait dengan
penghijauan kota, antara lain berupa National Parks Board Act, Parks and
Tress Act, Parks and Trees Regulation, dan Tree Conservation Order.
6. Yokohama, di kota ini terdapat program Yokohama Green Up yang dilakukan
dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 yaitu dengan mengumpulkan dana
untuk mempercepat penambahan luas RTH dengan pengenaan pajak kepada
individu serta pengusaha.
C. PELAKSANAAN KONSEP GREEN CITY DI INDONESIA
Tentang bagaimana merencanakan dan merancang sebuah kota hijau di Indonesia, hal
ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Berdasarkan undang-undang tersebut perlu kesadaran bersama
pemerintah, pengembang, perencana, dan juga warga kota dalam mengintegrasikan
kebijakan pembangunan berkelanjutan di semua kegiatan operasional yang dilakukan.
Kota dapat bertumpu pada empat hal utama yakni penataan transportasi masal ramah
lingkungan, perumahan (kawasan hunia vertical), daur ulang sampah, serta ruang
terbuka hijau (RTH). Lebih lanjut, kota harus didukung oleh sistem jaringan RTH yang
terstruktur yang meliputi taman atau kebun rumah, taman lingkungan, taman kota,
lapangan olah raga, hutan kota / lindung / mangrove, kebun raya, dan daerah
tangkapan air berupa situ / waduk / danau yang dihubungkan dengan koridor
pepohonan jalur hijau jalan, jalur pejalan kaki dan pesepeda, bantaran rel kereta api,
saluran umum tegangan tinggi, sungai, hutan lindung, dan pengolahan sampah ramah
lingkungan. Taman-taman penghubung harus bisa membuat pejalan kaki dan pesepeda
nyaman ke berbagai tempat tujuan. Pemerintah juga perlu memperbanyak RTH baru
berupa taman evakuasi bencana di kawasan padat penduduk dan padat bangunan,
taman kota, taman makam, lapangan olah raga dan hutan kota, merevitalisasi situ dan
hutan mangrove, penghijauan atap dan dinding bangunan (roof and wall garden), serta
pengembangan pertanian kota.
Pada Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, mensyaratkan setiap kota memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30 persen, yang
terdiri atas RTH publik sebanyak 20 persen dan RTH privat sebanyak 10 persen. RTH
adalah surga perkotaan yang berfungsi sebagai paru-paru kota, daerah resapan air, dan
tulang punggung dalam pengendalian perkembangan kota dan infrastruktur hijau kota3.
Proporsi RTH pekotaan sebesar 30 persen (RTH publik 20 persen dan RTH privat 10
persen) merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota,
baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis
lainnya yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Untuk mencapai
luasan RTH kota sebesar 30 persen sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah daerah perlu mengembangkan
strategi baru untuk mempercepat pencapaian target RTH 30 persen, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Menetapkan daerah yang tidak boleh dibangun. Pertanyaan esensial dalam
pembangunan kemudian bukan dimana boleh membangun namun justru dimana
tidak boleh membangun karena secara teknologi hampir semua tempat dapat
dibangun. Daerah-daerah yang sensitif terhadap perubahan harus dipreservasi
atau dikonservasi agar fungsi lingkungan tetap terjaga, seperti habitat satwa liar,
daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi, daerah genangan, dan
penampungan air, daerah rawan longsor, tepian sungai dan tepian pantai sebagai
pengaman ekologis dan daerah-daerah yang memiliki nilai pemandangan tinggi.
2.
Membangun lahan hijau baru (hubs). Pemerintah daerah disii dapat membeli lahan
yang kemudian dibangun RTH areal berupa taman lingkungan terutama di
perkampungan padat penduduk, taman kota, taman makam, lapangan olah raga,
hutan kota, kebun raya, hutan mangrove, dan situ atau danau buatan baru, serta
RTH jalur untuk jalur hijau jalan, tepi sungai, situ, jalur rel kereta api, dan di bawah
jalur listrik tegangan tinggi. Peremajaan kota di perkampungan padat penduduk dan
bangunan maupun pembangunan kawasan terpadu ramah lingkungan kemudian
menjadi perlu untuk dilakukan. Keterbatasan anggaran yang ada dapat disiasati
dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan pelibatan korporasi melalui
program tanggung jawab sosial korporasi (CSR) dalam membangun RTH kota.
3.
Mengembangkan koridor ruang hijau kota (link). Program penanaman pohon besar
secara massal dapat dilakukan untuk menciptakan koridor ruang hijau kota di
sepanjang potensi ruang jalur hijau seperti di sempadan sungai, tepian situ atau
waduk, tepi jalan tol, sempadan rel kereta api, saluran umum tegangan tinggi, jalur
pipa gas, dan di jalur jalan baik itu jalur pantai utara maupun jalur pantai selatan.
Untuk melakukan program ini, perlu dibuat sebuah Rencana Induk RTH sebagai
media diskusi pada saat sosialisasi, koordinasi, dan konsolidasi antar instansi
terkait. Lebih jauh, koridor jalur hijau dikembangkan sebagai urban park connector
yang menghubungkan seluruh RTH kota yang dilengkapi dengan jalur sepeda dan
pejalan kaki untuk menjadi jalur alternatif transportasi kendaraan tidak bermotor
3 Berdasarkan Nirwono Joga, “Hari Bumi dan Gerakan Hemat Energi” dalam Gerakan Kota
Hijau. 2013. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
dan jalur wisata kota. Selain itu, diperlukan juga upaya restorasi ekologis dengan
mengembalikan secara cepat lahan-lahan kosong yang belum terbangun seperti
jalur tepian sungai, tepian jalan, tepi rel kereta api, tepian pantai, tepian situ, dan
lainnya menjadi daerah hijau.
4.
Melakukan akuisisi terhadap RTH privat untuk mengejar target RTH privat 10
persen. Selama ini pemerintah daerah dibayang-bayangi oleh kecenderungan
penurunan RTH privat yang kemudian digunakan untuk berbagai keperluan
bangunan. Untuk menghadapi hal tersebut, perlu peraturan ketat terhadap
pelaksanaan Koefisien Dasar Hijau (KDH) melalui pengendalian Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan pemberian kompensasi berupa insentif dan disinsentif. Untuk
keperluan tersebut, pemerintah daerah harus telah mendata, meningkatkan, dan
menetapkan area RTH privat pekarangan rumah, sekolah, perkantoran, rumah
sakit, pabrik, hingga kawasan terpadu, pusat perbelanjaan, hotel, apartement, dan
rumah susun sebagai bagian dari RTH kota. Kompensasi berupa insentif dapat
diberikan kepada pemilik bangunan yang secara konstan dan berkelanjutan
mempertahankan RTH privat mereka dalam bentuk yang beraneka ragam seperti
pemberian keringanan pengenaan pajak bumi dan bangunan, keringanan pajak air
tanah, atau keringanan berbagai macam jenis pajak lain. Untuk pengembang yang
kegiatannya adalah mengembangkan kawasan terpadu, terdapat kewajiban dalam
penyediaan fasos dan fasum berupa taman di dalam kawasan yang dikembangkan,
bukan di lokasi lain dan tidak dapat diganti dengan uang.
5.
Merefungsi RTH yang telah ada. Dilakukan dengan merehabilitasi atau melakukan
restorasi terhadap RTH dan melakukan penghijauan kembali kawasan hutan dapat
dilakukan untuk meningkatkan kualitas RTH. Dalam melakukan upaya ini,
pemerintah daerah dapat merevitalisasi situ, danau, waduk, dan hutan mangrove
yang ada sebagai daerah resapan air. Refungsionalisasi RTH yang masih
digunakan untuk fungsi lain seperti misalnya SPBU di jalur hijau dan sempada
sungai yang masih diokupasi masyarakat. Revitalisasi dapat juga dilakukan di
taman lingkungan, halaman sekolah, halaman kantor, dan area parkir yang
diperkeras dengan diganti menjadi rumput agar berdaya serap air lebih besar.
6.
Menghijaukan langit kota. Akibat keterbatasan lahan, pembangunan RTH dapat
dilakukan di atap-atap bangunan bertingkat seperti hotel, perkantoran, pusat
perbelanjaan, dan lain sebagainya menjadi taman atap dan dinding hijau.
Penghijauan bangunan, meski tidak termasuk dalam kategori menambah luasan
RTH privat namun upaya ini patut didukung karena secara ekologis mampu
menurunkan suhu kota, menyerap gas polutan, meredam pemanasan pulau dan
radiasi sinar matahari, meredam tingkat kebisingan, menyerap air hujan,
menyimpan air sementara di lapisan tanah, mendinginkan atap dan bangunan
melalui insulasi alami, serta menghasilkan oksigen. Sebagai usaha untuk
mengurangi krisis pangan yang terjadi, taman atap dapat pula dijadikan kebun
sayuran dan buah-buahan serta apotik hidup untuk memenuhi kebutuhan pangan
sehari-hari.
7.
Menyusun kebijakan hijau. Kebijakan hijau yang dibuat pada akhirnya akan
meningkatkan keyakinan jajaran pimpinan pemerintah daerah dan anggota dewan
legislatif akan pentingnya pengembangan RTH serta menentukan kelancaran
dalam penyediaan anggaran yang besar untuk pembangunan RTH-RTH baru.
Pemerintah daerah dapat melakukan peningkatan kesadaran aparat lintas sektoral
dalam pengembangan RTH. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong lahirnya
Peraturan Daerah tentang RTH agar perencanaan pembangunan RTH memiliki
kekuatan hukum yang jelas dan tegas. Perlu diberlakukan upaya kompensasi
berupa insentif dan disinentif jika terjadi prestasi atau pelanggaran hukum oleh
perorangan dan/atau badan hukum dalam pelaksanaan pengembangan RTH.
Selain itu, perlu juga dibentuk tim audit RTH untuk menjaga keberadaan dan
pelaksanaan pengembangan RTH.
8.
Memberdayakan komunitas hijau. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan karena
pada kenyataannya sebagian besar lahan hijau berada di bawah kepemilikan
masyarakat dan swasta (RTH privat). Ini merupakan pergeseran model
pembangunan kota dari tanggung jawab stakeholders menjadi tanggung jawab
bersama. Program partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui penyuluhan dan
pembinaan warga masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman
terhadap arti penting eksistensi RTH, penyebarluasan fungsi dan manfaat RTH
melalui kampanye lingkungan hidup, pelibatan masyarakat dan juga swasta dalam
program pengembangan RTH (mitra hijau), serta pelibatan institusi pendidikan.
Terkait dengan kondisi ruang terbuka hijau di daerah perkotaan di Indonesia,
pertambahan jumlah penduduk yang ada menyebabkan keberadaan RTH kota menjadi
semakin terancam dan kota semakin tidak nyaman digunakan untuk beraktivitas. Hal ini
disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan terjadinya
densifikasi penduduk dan pemukiman yang cepat dan tidak terkendali di daerah kota
yang menyebabkan kebutuhan ruang semakin meningkat untuk mengakomodasi
kepentingan penduduk yang semakin bertambah. Semakin bertambahnya permintaan
akan ruang khususnya untuk permukiman dan lahan terbangun berdampak pada
semakin merosotnya kualitas lingkungan dan jumlah RTH yang ada sedangkan
Rencana Tata Ruang yang telah dibuat tidak mampu mencegah alih fungsi lahan di
perkotaaan.
James Siahaan (2010) menyatakan bahwa kecenderungan terjadinya penurunan
kuantitas ruang publik, terutama RTH pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota
besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, luasan RTH telah berkurang
dari 35 persen pada awal tahun 1970-an menjadi 10 persen pada saat ini. RTH yang
ada sebagian besar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan dan kawasan
permukiman baru. Permasalahan utama keberadaan RTH adalah semakin
berkurangnya RTH karena keterbatasan lahan dan ketidak-konsistenan dalam
penerapan tata ruang. Berkurangnya RTH disebabkan oleh konversi lahan yaitu beralih
fungsinya RTH untuk peruntukan ruang yang lain. Padahal banyak fungsi yang dapat
diberikan RTH baik ekologis, sosial budaya maupun estetika yang memberikan
kenyamanan dan memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro.
Manfaat yang diperoleh dari keberadaan RTH baik manfaat langsung maupun manfaat
tidak langsung dalam jangka panjang dan bersifat intangible4.
Target luas sebesar 30 persen dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap
melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal (Permen PU No. 5 Tahun 2008
tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan). Namun fakta di lapangan menyatakan bahwa keberadaan RTH yang jauh
dari proporsi ideal dimana kekuatan pasar yang dominan pada akhirnya merubah fungsi
lahan sehingga keberadaan RTH semakin terpinggirkan bahkan diabaikan fungsi dan
manfaatnya. Tata ruang yang diharapkan dapat mengakomodasi seakan tidak berdaya
menahan mekanisme pasar tersebut.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
pemerintah Indonesia saat ini tengah merintis Program Pengembangan Kota Hijau
(P2KH), yang mana dalam program ini penataan ruang kota dilakukan berdasarkan
prinsip pembangunan berkelanjutan atau Smart Green City Planning. Program
penataan ruang kota tersebut diharapkan mampu menangani perkembangan di kota4 Berdasarkan Roswidyatmoko Dwihatmojo, “Ruang Terbuka Hijau yang Semakin
Terpinggirkan”. Badan Informasi Geospasial.
kota kecil dan menengah secara baik dengan penyediaan RTH, pengembangan jalur
sepeda dan pedestrian, serta pengendalian penjalaran kawasan pinggiran. Selain itu,
Smart Green City Planning diharapkan ini mampu dengan cermat mengatasi persoalan
ledakan penduduk di kawasan perkotaan akibat urbanisasi yang tidak terencana.
Dengan konsep Green City, krisis perkotaan diharapkan dapat dihindari, sebagaimana
yang terjadi di kota-kota besar dan metropolitan yang telah mengalami obesitas
perkotaan.
Namun, untuk mewujudkan Smart Green City Planning tersebut ada beberapa
permasalahan yang belum terselesaikan terkait dengan implementasi konsep Kota
Hijau. Kendala tersebut antara lain adalah tingginya pendanaan serta terbatasnya lahan
perkotaan dalam mewujudkan ruang terbuka hijau sebesar 30 persen dari luas kota.
Selain itu, kecenderungan perilaku masyarakat yang kontraproduktif dan destruktif,
serta kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya aspek lingkungan sehingga
peran masyarakat dalam perwujudan Kota Hijau masih tergolong rendah. Selama ini
peningkatan jumlah penduduk perkotaan dari waktu ke waktu, perkembangan kawasan
perkotaan yang cenderung bersifat ekspansif, alih-fungsi kawasan pertanian subur di
pinggiran kota, dan meningkatnya ketergantungan pada kendaraan bermotor juga turut
menjadi kendala besar bagi terlaksananya rintisan Program Pengembangan Kota
Hijau5.
D. PELAKSANAAN KONSEP GREEN CITY DI KOTA BANDUNG
Pada tahun 2003, tercatat terjadi penurunan dalam jumlah total taman kota di Kota
Bandung sebesar 2,44 persen dimana sejumlah 450 taman yang tercatat pada tahun
2002 berkurang menjadi 439 taman pada tahun 2003. Penurunan jumlah taman
tersebut disebabkan karena tidak dimasukannya sejumlah taman yang tercatat pada
tahun 2002 karena sebenarnya tidak masuk dalam kategori taman yang bukan
berfungsi sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial, serta adanya taman yang hilang
atau berubah fungsi. Dengan demikian jumlah total luas taman di Kota Bandung juga
menurun dari 1.118,855 hektar pada tahun 2002 menjadi 803,965 hektar pada tahun
2003. Bila dibandingkan dengan total luas kota (167.290.000 m2 atau 16.729 hektar),
proporsi taman di Kota Bandung pada tahun 2003 baru mencapai 4,8 persen. Dari 439
taman dengan total luas 80,4 hektar tersebut, ternyata tidak seluruhnya berpotensi
sebagai lahan yang dapat menyerap air, karena seluas 28,09 hektar (sekitar 34,9
persen dari luas taman di Kota Bandung) berupa lahan yang diperkeras (open space),
sedangkan luas lahan terbukanya (green space) adalah 50,6 hektar.
Secara kuantitas, luasan RTH di Kota Bandung mengalami kenaikan dari tahun ke
tahun, yang bisa dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 4. Luas RTH Kota Bandung Tahun 2004 – 2008
No
.
1
2
3
4
5
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
Luas
(Hektar)
254,2336
1.154,9236
1.314,2035
1.466,1336
1.484,240
Persentase
(%)
1,52
6,9
7,86
8,76
8,87
5 Berdasarkan artikel Green City di Indonesia Terkendala Lahan dan Perilaku
Kontraproduktif – 18 Agustus 2014. Website: http://www.greeners.co/news/green-city-diindonesia-masih-terkendala-lahan-dan-perilaku-kontraproduktif/.
Akses
tanggal
2
Desember 2014.
Sumber: Dinas Pertamanan Kota Bandung, 2009
Bila mengacu pada rasio standar ideal menurut Lancashire Country Council dimana
luas RTH adalah 7 – 11,5 m2 /orang, maka pemenuhan taman bagi warga kota
Bandung baru mencapai sekitar 0,43 m2 /orang atau 3,86 persen - 6,07 persen dari
kebutuhan luas taman ideal. Selain itu, permasalahan RTH di Kota Bandung juga terkait
dengan pola sebaran jumlah dan luas taman di setiap wilayah tidak merata. Ratio
jumlah taman per 100 hektar area di Cibeunying adalah sejumlah 3,54 m 2 /orang dan di
Karees adalah 2,13 m2 /orang, sedangkan pada wilayah lain hanya berkisar di bawah
1,07 m2 /orang. Proporsi luas taman terhadap luas wilayahnya juga menunjukkan
perbedaan yang sangat tinggi, di wilayah Cibeunying dan Gedebage contohnya,
proporsinya berkisar di antara 22,2 persen - 25,8 persen sedangkan di 4 wilayah lain
hanya berkisar di antara 7,2 persen - 16,5 persen6.
Jumlah total jenis tanaman di taman yang ada di Kota Bandung tercatat ada 193 jenis
yang terdiri dari 98 jenis pohon dan 95 jenis tanaman hias. Secara umum pola
penanaman tanaman di taman jalan dan taman kota telah menunjukan kesesuaian
antara jenis tanaman yang ditaman dengan peruntukan tamannya. Sedangkan untuk
taman lingkungan (RT, RW, Kelurahan) masih terdapat jenis tanaman yang kurang
sesuai karena dapat membahayakan pengguna taman atau terdapat jenis yang mudah
rusak karena kegiatan masyarakat yang dilakukan di dalam taman. Dari 98 jenis pohon,
sekurang-kurangnya terdapat 8 jenis tanaman yang diindikasikan masuk ke dalam
kelompok jenis pohon yang mampu menyerap zat pencemar di udara, dan sekurangkurangnya terdapat 18 jenis tanaman yang termasuk kategori tanaman langka. Fungsi
ekologis tanaman dan RTH dari setiap taman tidak dapat disama-ratakan, melainkan
berbeda sesuai dengan karakteristik pola penanaman dan jenis tanamannya serta jenis
RTH masing-masing.
Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2003 kebijakan, rencana dan program
pembangunan RTH, khususnya Taman di Kota Bandung masih belum jelas, sehingga
telah mengakibatkan pembangunan dan pengelolaan taman yang tidak berjalan dengan
baik. Hal ini diindikasikan dari menurunnya jumlah dan luas taman, masih banyaknya
tanaman yang kurang terawat, adanya keluhan masyarakat tentang akses terhadap
RTH atau taman, serta terbatas dan menyusutnya RTH seperti yang tertuang pada
Agenda 21 Kota Bandung.
Terkait dengan pelaksanaan konsep green city di Indonesia yang kemudian ditopang
pemerintah melalui keluarnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang yang mengharuskan setiap daerah memuat rencana penyediaan dan
pemanfaatan RTH, Pemerintah Daerah Kota Bandung kemudian menindak-lanjutinya
dengan melahirkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Namun, hal yang paling penting sebenarnya adalah
bukan hanya sebatas kebijakan tersebut dibuat, akan tetapi bagaimana implementasi
dari kebijakan tersebut. Kedua kebijakan pemerintah tersebut kemudian
diimplementasikan dalam bentuk pembuatan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota
Bandung 2011-2031.
Berdasarkan kategori ruang terbuka hijau Kota Bandung yang tersebar di enam wilayah
kota saat ini tidak merata dengan luas RTH yang beragam di masing-masing wilayah.
Berdasarkan data tahun 2007, wilayah kota yang memiliki ruang terbuka hijau terluas
adalah SWP Ujungberung (351,76 hektar). Sementara SWP Karees merupakan wilayah
dengan luasan RTH terkecil (26,77 hektar). Wilayah-wilayah lainnya memiliki proporsi
6 Berdasarkan hasil kajian Kerjasama Kantor Litbang dan PPSDAL-UNPAD. Pengkajian Pola
Penghijauan di Kota Bandung, 2003.
luas antara kedua wilayah tersebut adalah SWP Bojonegara seluas 76,78 hektar; SWP
Cibeunying seluas 57,57 hektar; SWP Tegalega seluas 67,75 hektar; dan SWP
Gedebage seluas 28,29 hektar. Ruang terbuka hijau yang terdapat pada tiap wilayah
tersebut tersebar di 30 kecamatan dengan proporsi luas yang berbeda berdasarkan
kategorinya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh rencana pengembangan kota di
masing-masing kecamatan yang disesuaikan dengan karakteristik lokasi dari setiap
kecamatan. Kecamatan RTH terluas adalah Kecamatan Cicadas dengan luas 145,12
hektar dan yang terendah adalah Kecamatan Kiaracondong dengan luas 0,18 hektar,
sedangkan kecamatan lainnya berkisar antara 1,5 – 16 hektar. Rencana pola
pengembangan kawasan lindung setempat yang berfungsi pula sebagai ruang terbuka
hijau ini adalah:
a. Menambah jalur hijau jalan di sepanjang jaringan jalan yang ada dan direncanakan
termasuk jalur hijau Pasupati sehingga diperkirakan seluas 2 persen dari total
wilayah Kota Bandung.
b. Intensifikasi dan ekstensifikasi RTH di sepanjang sempadan sungai, jaringan jalan,
saluran udara tegangan tinggi, sempadan jalan, dan jalan bebas hambatan.
c. Intensifikasi dan ekstensifikasi RTH di kawasan taman kota, pemakaman umum,
serta di sekitar danau buatan dan mata air.
d. Penyediaan taman-taman lingkungan yang berada di pusat-pusat lingkungan
perumahan dengan standar sebagai berikut:
Taman lingkungan RT atau untuk 250 penduduk dengan luas 250 m2, atau
standar 1 m2/jiwa.
Taman lingkungan RW atau untuk 2500 penduduk dengan luas 1.250m2, atau
standar 0,5 m2/jiwa, yang dapat berdekatan dengan fasilitas pendidikan SD.
Taman skala kelurahan atau untuk 25.000-30.000 penduduk dengan tamantaman dengan luas 9.000 m2, atau standar 0,3 m2/jiwa.
Taman skala kecamatan atau untuk 120.000 penduduk dengan luas 24.000 m 2,
atau standar 0,2 m2/jiwa.
Taman skala wilayah pengembangan atau untuk 480.000 penduduk dengan luas
12,4 hektar atau 0,3 m2/jiwa.
Bentuk upaya intensifikasi ruang terbuka hijau dapat dilakukan dengan pemilihan jenis
tanaman, letak tanaman, ruang antar permukiman, dan taman-taman rumah. Selain itu,
juga dilakukan penataan ulang makam dan taman kota yang dijadikan SPBU.
Ekstensifikasi RTH dilakukan dengan pembuatan RTH-RTH baru. Untuk memenuhi
kebutuhan ruang terbuka hijau publik sebesar 20 persen dan ruang terbuka hijau privat
sebesar 10 persen maka rencana pengembangan ruang terbuka hijau di Kota Bandung
ditekankan pada peningkatan kuantitas dan kualitas RTH dan peningkatan penghijauan
kota. Jaringan RTH yang terbangun diharapkan akan meningkatkan kuantitas dan
kualitas konektivitas RTH di Kota Bandung. Pada akhirnya peningkatan struktur dan
fungsi RTH ini dapat meningkatkan layanan ekologi RTH yang mampu mendukung
keberlanjutan lingkungan Kota Bandung.
Dengan perkiraan penambahan kebutuhan luas fasilitas taman hijau pada tahun 2030
seluas 26.767.440 m2, maka proyeksi luas RTH publik pada tahun 2030 adalah sekitar
16 persen dari luas total Kota Bandung. RTH sempadan sungai, luasannya terbatas,
namun keberadaannya mempunyai fungsi cukup penting. Diperkirakan terdapat 18,31
hektar lahan RTH sempadan sungai yang tersebar secara tidak merata di 6 wilayah di
Kota Bandung dimana RTH sempadan sungai yang terluas terdapat di wilayah
Gedebage, yaitu seluas ± 9,5 hektar. Untuk mempertahankan fungsi RTH sempadan
sungai, daerah yang terdapat di tepi Sungai Cikapundung yang mengalir dari Utara Kota
Bandung dan melewati Wilayah Cibeunying perlu dibebaskan dari bangunan atau
kegiatan yang dapat mengurangi fungsinya.
Di daerah yang memungkinkan untuk ditanami pohon, perlu dilakukan penghijauan agar
RTH sempadan sungai dapat menjalankan fungsinya sebagai penahan erosi dan
sedimentasi. Sedangkan RTH sempadan sungai di Wilayah Gedebage perlu
ditingkatkan fungsinya untuk menahan masuknya sedimen yang membawa residu
pestisida dan pupuk organik dari lahan pertanian (khususnya persawahan) di wilayah
tersebut. Di wilayah ini perlu dilakukan penanaman pohon pada bagian sempadan
sungai yang memungkinkan untuk ditanami. Saat ini RTH sempadan sungai yang
memiliki konektivitas tinggi.
RTH penyangga jalan tol. Salah satu tipe RTH yang diperkirakan aman dari konversi
adalah jalur penyangga jalan tol Padaleunyi, yaitu segmen antara Gerbang Pasteur dan
Buah Batu. Diperkirakan tidak kurang dari 89,48 hektar jalur penyangga jalan tol yang
masuk ke dalam wilayah Kota Bandung. Pengembangan fungsi jalur penyangga jalan
tol Padaleunyi lebih diarahkan pada peningkatan kualitas secara fungsional daripada
penambahan luas. Hal ini disebabkan perluasan RTH Kota Bandung melalui perluasan
jalur penyangga jalan tol tidak mudah dilakukan mengingat lahan di sepanjan jalan tol
merupakan lahan milik masyarakat yang berupa lahan permukiman dan pertanian, dan
lahan milik swasta berupa pertokoan dan industri. Peluang untuk meningkatkan kualitas
RTH jalur penyangga jalan tol ini cukup besar, antara lain dapat dilakukan dengan
meningkatkan liputan vegetasi dengan cara menambah jumlah pohon sehingga dapat
meningkatkan kualitas konektivitas pada skala lokal, kota, dan regional.
Berikut di bawah ini merupakan rencana pengembangan RTH di Kota Bandung yang
masuk ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung 2011 – 2031:
Tabel 5. Rencana Pengembangan RTH Kota Bandung 2011 – 2031
Rencana
Klasifikasi RTH
Komponen RTH
Luas
(Hektar)
RTH Publik
Sempadan Sungai
18,31
Sempadan Rel Kereta Api
9,63
Sempadan SUTT
10,17
Sempadan Jalan
264,34
Sempadan Jalan Tol
89,48
Taman
2.717,00
TPU
291,00
Kawasan Konservasi
4,12
Jumlah RTH Publik
3.400,00
RTH Privat
Swasta
549,25
Perumahan
1.090,00
Hankam
60,84
Jumlah RTH Privat
1.700,00
Jumlah RTH Publik & Privat
5.100,00
Luas Kota Bandung
17.000,00
Sumber: Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung 2011 – 2031.
Luas
(Persen)
0,11
0,06
0,07
1,58
0,53
15,92
1,74
0,02
20,00
3,28
6,36
0,36
10,00
30,00
100,00
Saat ini, Kota Bandung paling tidak membutuhkan 4.000 hektar lahan hijau tambahan
jika ingin RTH hijau sebesar 30 persen terpenuhi. Lahan hijau ini berguna tidak hanya
sebagai penghasil oksigen, namun juga untuk daerah resapan air dan menyerap karbon
dioksida. Kebijakan yang selanjutnya dilekuarkan pemerintah Kota Bandung untuk
membangun lebih banyak RTH adalah melalui kebijakan membuat RTH di 1.500 Rukun
Warga (RW). Walaupun dianggap sebagai sebuah langkah kecil, namun kebijakan 1
RTH di 1 RW ini dapat menambah sekitar 800 hektar lahan hijau.
Selain itu, saat ini juga sedang digagas kebijakan agar pelaku usaha yang membangun
kegiatan usaha di Kota Bandung untuk menyediakan juga ruang terbuka hijau. Lokasi
gedung seperti apartemen, mall, dan hotel diharapkan dapat segera berkonstribusi
dengan menyediakan RTH di dalam kawasan tersebut. Ini dikarenakan penyediaan pot
yang diisi tanaman atau taman di atas gedung kurang maksimal manfaatnya jika dilihat
dari segi ekologis dan lingkungan. Pot yang diisi tanaman maupun taman di atas
gedung memang akan mengurangi dampak polusi udara dengan menyerap
karbondioksida yang ada di sekitarnya, namun pot-pot berisi tanaman dan taman di atas
gedung tidak menunjang fungsi daerah resapan air.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Secara kuantitas, RTH yang berada di Kota Bandung dapat dikatakan belum memenuhi
standar RTH kota ideal seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Kota yang mengidealkan jumlah RTH di perkotaan adalah
sebesar 30 persen dari luas kota. Untuk dapat memenuhi amanat undang-undang
tersebut, Pemerintah Kota Bandung telah melakukan berbagai terobosan kebijakan
mulai dari menyiapkan peraturan daerah sebagai instrument penguat pelaksanaan
undang-undang, penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Bandung
dengan memasukkan RTH sebagai salah satu unsur di dalamnya, serta kebijakan yang
langsung menyasar masyarakat seperti kebijakan 1 taman (RTH) untuk 1 RW.
Untuk menghindari terjadinya penurunan jumlah dan luas taman, serta kesalahan dalam
menentukan kriteria RTH, khususnya taman diperlukan adanya kebijakan dan rencana
program yang jelas untuk setiap jenis RTH. Dalam kaitannya dengan RTH dalam bentuk
taman, perlu adanya keputusan dan petunjuk teknis yang dapat memberikan kejelasan
tentang jenis maupun klasifikasi taman, fungsi atau peruntukannya, pengaturan
pengelolaan serta sanksinya.
Untuk membangun sebuah kota hijau, perlu kebijakan mendasar dan komitmen kuat
untuk pembangunan kota yang memungkinkan kota berlanjut (kota hijau). Pendekatan
pembangunan kota hijau harus dilaksanakan dengan mengkombinasikan pertumbuhan
ekonomi yang sehat dan ramah lingkungan (pro green growth), meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (pro poor), menyediakan lapangan kerja yang ramah
lingkungan (pro green jobs), dan dalam bingkai menjaga kelestarian lingkungan (pro
environment).
Selain itu, kota hijau harus dibangun dengan memanfaatkan keunggulan yang dimiliki
oleh masing-masing daerah berupa keunikan ekosistem dan budaya yang dimilikinya.
Membangun kota hijau harus dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya manusia,
teknologi, dan jasa ekosistem yang memungkinkan kota untuk dikelola secara cerdas
dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Dwihatmojo,
Roswidyatmoko. Jurnal Badan Informasi Geospasial “Ruang Terbuka
Hijau yang Semakin Terpinggirkan”. Badan Informasi Geospasial
Republik Indonesia.
Joga, Nirwono. 2013. Gerakan Kota Hijau. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Lingkungan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Kerjasama Kantor Litbang dan PPSDAL-UNPAD. 2003. Pengkajian Pola Penghijauan di
Kota Bandung.
------------------. 2001. Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung Tahun 2011 –
2031.
------------------. 2009. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
------------------. 2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana.
------------------. 2007. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
------------------. 2014. Artikel “Green Cit