Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar Mata Pelajaran IPA Melalui Model Coorperative Learning Tipe Make a Match pada Siswa Kelas IV SD Negeri Tuntang 02 Semester I Tahun Ajaran 2016/2017

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori
2.1.1 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Ilmu
pengetahuan

Pengetahuan

Alam

(IPA)

didefinisikan

sebagai

kumpulan

tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum


KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa IPA berhubungan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan

yang

berupa

fakta, konsep,

atau

prinsip saja

tetapi

juga

merupakan suatu proses penemuan. IPA juga merupakan ilmu yang bersifat

empirik dan membahas tentang fakta serta gejala alam. Fakta dan gejala alam
menjadikan pembelajaran IPA tidak hanya verbal tetapi juga faktual. Hal ini
menunjukkan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk menciptakan
pembelajaran IPA yang empirik dan faktual. Hakikat IPA sebagai proses
diwujudkan dengan melaksanakan pembelajaran yang melatih ketrampilan proses
bagaimana cara produk sains ditemukan. Secara umum, kegiatan dalam IPA
berhubungan dengan eksperimen. Namun dalam hal-hal tertentu, konsep IPA
adalah hasil tanggapan pikiran manusia atas gejala yang terjadi di alam.
Seorang ahli IPA (ilmuwan) dapat memberikan sumbangan besar kepada
IPA tanpa harus melakukan sendiri suatu percobaan, tanpa membuat suatu alat
atau tanpa melakukan observasi. Ciri-ciri khusus tersebut dipaparkan berikut ini.
a. IPA mempunyai nilai ilmiah artinya kebenaran dalam IPA dapat dibuktikan
lagi oleh semua orang dengan menggunakan metode ilmiah dan prosedur
seperti yang dilakukan terdahulu oleh penemunya.
b. IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis,
dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam.
c. IPA merupakan pengetahuan teoritis. Teori IPA diperoleh atau disusun
dengan cara yang khas atau khusus, yaitu dengan melakukan observasi,

6


eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, observasi dan demikian
seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain.
d. IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan. Dengan
bagan-bagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen
dan observasi, yang bermanfaat untuk eksperimentasi dan observasi lebih
lanjut.
IPA meliputi empat unsur, yaitu produk, proses, aplikasi dan sikap. Produk
dapat berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. Proses merupakan prosedur
pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan,
penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan,
pengujian hipotesis melalui eksperimentasi, evaluasi, pengukuran, dan penarikan
kesimpulan.
Karakteristik Pembelajaran IPA
Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006). Karakteristik
belajar IPA meliputi:
a. Hampir semua indera, seluruh proses berpikir, dan berbagai gerakan otot.
b. Berbagai teknik (cara), seperti observasi, eksplorasi, dan eksperimentasi.
c. Alat bantu pengamatan untuk memperoleh data yang obyektif, sesuai sifat
IPA yang mengutamakan obyektivitas.

d. Kegiatan temu ilmiah, mengunjungi objek, studi pustaka, dan penyusunan
hipotesis untuk memperoleh pengakuan kebenaran temuan yang benar-benar
obyektif.
e. Proses aktif, artinya belajar IPA merupakan suatu yang harus dilakukan
siswa, bukan suatu yang dilakukan untuk siswa.
Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik
untuk mempelajari hal yang menyangkut diri sendiri dan alam sekitar, serta

7

prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan
sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman
langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami
alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat
sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang
lebih mendalam tentang alam sekitar. IPA diperlukan dalam kehidupan seharihari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah
yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana
agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi beberapa aspek yaitu faktual,
keseimbangan antara proses dan produk, keaktifan dalam proses penemuan,

berfikir induktif dan deduktif, serta pengembangan sikap ilmiah dalam
kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006).

Tujuan IPA
Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut (Depdiknas, 2006):
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan
masyarakat.
4. Mengembangkan ke terampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga
dan melestarikan lingkungan alam.

8


6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya
sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar
untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

Ruang Lingkup IPA
Ruang Lingkup bahan kajian IPA kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006)
untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut:
1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan
interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas.
3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana.
4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda
langit lainnya

2.1.2 Model Pembelajaran Cooperative Learning tipe Make a Match
Model pembelajaran cooperative learning didasarkan atas falsafah
manusia sebagai homo homini socius, yang menekankan bahwa manusia adalah
makhluk sosial (Lie, 2004). Kerjasama dalam kelompok merupakan kebutuhan

yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Oleh karena itu, tidak dapat
dipungkiri lagi pada kenyataan bahwa manusia tidak dapat hidup secara individual
tanpa bantuan dari orang lain. Sehingga dalam proses belajar juga manusia
diusahakan dapat saling bekerja sama untuk memperoleh tujuan belajar yang
sesuai dengan harapan.

9

Tujuan Cooperative Learning
Tujuan model pembelajaran tersebut menurut Eggen dan Kauchak (dalam
Winayarti, 2010), adalah sebagai berikut:
1) Meningkatkan partisipasi peserta didik.
2) Memfasilitasi peserta didik agar memiliki pengalaman mengembangkan
kemampuan kepemimpinan dan membuat keputusan kelompok.
3) Memberi kesempatan kepada mereka untuk berinteraksi dan belajar bersamasama dengan teman yang seringkali berbeda latar belakangnya.
Jadi, dengan demikian seperti yang diungkapkan oleh Ibrahim dkk (dalam
Winayarti 2010), bahwa inti tujuan dari model pembelajaran tersebut meliputi
tiga aspek penting yaitu aspek hasil belajar akademik, penerimaan terhadap
keragaman, dan pengembangan ketrampilan sosial.


Ciri-ciri Pembelajaran Cooperative Learning
Pada dasarnya, tidak semua kerja kelompok dapat dikatakan sebagai
cooperative learning. Terdapat ciri khusus kelompok yang disebut sebagai
kelompok pembelajaran cooperative learning. Menurut Lie (2003) ada lima unsur
yang harus diterapkan dalam pembelajaran kelompok, agar pembelajaran tersebut
dapat dikatakan sebagai pembelajaran cooperative learning. Kelima unsur itu
meliputi:
1) Saling ketergantungan positif
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya manusia
merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup secara individual dan
sangat tergantung terhadap pertolongan sesamanya. Prinsip tersebut
diimplementasikan dalam pembelajaran di kelas untuk membangkitkan rasa
kebersamaan. Pembentukan kelompok-kelompok kerja dalam pemberian
tugas terstruktur di kelas memberikan nilai lebih untuk menanamkan
kerjasama demi mencapai tujuan yang sama. Slavin (2009), mengungkapkan
bahwa inti dari pembelajaran cooperative learning ialah siswa saling
mendukung untuk berhasil, siswa akan mendorong anggota kelompoknya

10


untuk lebih baik dan akan membantu siswa lainnya melakukannya. Seringkali
para siswa mampu melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam menjelaskan
gagasan-gagasan yang sulit satu sama lain dengan menerjemahkan bahasa
yang digunakan guru ke dalam bahasa anak-anak. Di samping itu, semua
anggota kelompok berusaha untuk saling menguntungkan, sehingga semua
anggota kelompok bisa memperoleh makna dari kebersamaan. Adapun makna
yang diperoleh seperti berikut:
a) Merasakan keuntungan dari setiap usaha teman lainnya, secara harafiah
ini berarti kesuksesan orang lain bermanfaat bagi diri kita dan
keberhasilan diri kita bermanfaat untuk orang lain.
b) Menyadari bahwa semua anggota kelompok mempunyai nasib yang
sama, artinya tenggelam dan mengapung semua anggota kelompok dalam
kebersama.
c) Tahu bahwa prestasi seseorang ditentukan oleh orang lain dalam satu
kelompok, artinya kami tidak dapat melakukan tanpa anda.
d) Merasa bangga dan merayakan bersama ketika salah satu anggota
kelompok mendapatkan keberhasilan, sebagai contoh: kami semua
merasa sukses atas kesuksesan anda.
Peranan


pengajar

sangatlah

menentukan

keberhasilan

sistem

pengajaran ini. Lie (2004) menambahkan untuk menciptakan kelompok kerja
yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa, sehingga setiap
anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar lain bisa
mencapai tujuan mereka. Dengan cara ini, setiap anggota merasa
bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugasnya agar yang lain bisa
berhasil. Di samping itu, penilaian yang dilakukan oleh pengajar harus
dilakukan dengan cara yang unik. Setiap siswa mendapat nilainya sendiri dan
nilai kelompok. Nilai kelompok dibentuk dari sumbangan setiap anggota
kelompok, untuk menjaga keadilan.


11

2) Tanggung jawab perseorangan
Menurut Slavin (2009), tanggung jawab individual maksudnya ialah
bahwa kesuksesan kelompok bergantung pada pembelajaran individual dari
semua anggota kelompok. Tanggungjawab difokuskan pada kegiatan anggota
kelompok dalam membantu satu sama lain untuk belajar dan memastikan
bahwa setiap orang dalam kelompok siap untuk mengerjakan tugas, tanpa
bantuan teman sekelompoknya. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
cooperative learning memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
pembelajaran siswa apabila kelompok dihargai berdasarkan pembelajaran
individual dari tiap anggotanya.
Unsur tanggungjawab perseorangan merupakan akibat langsung dari
unsur saling kebergantungan positif. Karena itu, Lie (2004) mengatakan
bahwa jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model
pembelajaran

cooperative

learning,

setiap

siswa

akan

merasa

bertanggungjawab untuk melakukan yang terbaik. Pada akhirnya, siswa akan
dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam kelompoknya. Hal ini dikarenakan
bahwa guru tidak hanya memberikan tugas untuk kelompoknya saja, tetapi
siswapun secara individu memiliki tugas yang harus dikerjakan
3) Tatap muka
Dampak positif dari penerapan model pembelajaran cooperative learning
adalah terciptanya interaksi positif antara sesama anggota kelompok untuk
memudahkan transformasi informasi anggota kelompok. Hal ini sejalan
dengan pendapat Lie (2004), bahwa kegiatan interaksi ini akan memberikan
para pembelajar untuk siap membentuk sinergi yang menguntungkan semua
anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan
kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan-perbedaan
yang dimiliki oleh setiap anggota kelompok menjadi modal utama dalam
proses saling memperkaya antar anggota kelompok.
4) Komunikasi antar anggota
Proses interaksi antar anggota kelompok akan berjalan lancar, jika
komunikasi berjalan baik. Untuk itu, setiap anggota kelompok perlu memiliki

12

ketrampilan berkomunikasi. Menurut Lie (2004), sebelum menugaskan siswa
dalam kelompok, pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi
kepada siswa, karena tidak setiap siswa mempunyai keahlian mendengarkan
dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok dalam pembelajaran cooperative
learning juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling
mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapatnya.
5) Evaluasi proses kelompok
Setiap proses perlu mengadakan evaluasi sebagai refleksi untuk
memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam proses tersebut, sehingga proses
berikutnya akan berjalan lebih baik lagi. Karena itu, agar evaluasi ini dapat
memberikan arahan serta informasi terhadap hasil pekerjaan siswa dan
kegiatan proses belajar mengajar berlangsung, maka informasi diberikan ini
harus meliputi tujuan yang dicapai kelompok, bagaimana mereka melakukan
kerjasama saling membantu dengan teman satu kelompok, dan bagaimana
mereka bersikap dan bertingkah laku positif agar baik setiap siswa maupun
kelompok menjadi berhasil dan kebutuhan apa saja yang harus dilengkapi
agar tugas selanjutnya dapat dilaksanakan dengan baik. Agar hal ini terjadi,
menurut Lie (2004), menyatakan bahwa pengajar perlu menjadwalkan waktu
khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi kerja kelompok dan hasil kerja
sama mereka, agar selanjutnya bisa bekerjasama lebih efektif. Format
evaluasi disesuikan dengan tingkat pendidikan siswa. Waktu evaluasi
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi siswa.

Karakteristik Pembelajaran Cooperative Learning
Adapun karakteristik pembelajaran cooperative learning antara lain:
1) Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis.
2) Anggota-anggota

dalam

kelompok

diatur

terdiri

dari

siswa

yang

berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi.
3) Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda
suku, budaya, dan jenis kelamin.

13

4) Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.

Selain itu, terdapat empat tahapan ketrampilan kooperatif yang harus ada
dalam model pembelajaran kooperatif yaitu:
1) Forming (pembentukan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk
membentuk kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma.
2) Functioniong (pengaturan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk
mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina
hubungan kerja sama diantara anggota kelompok.
3) Formating (perumusan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk
pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang
dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan
menekankan penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan.
4) Fermenting (penyerapan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk
merangsang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif,
mencari lebih banyak informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk
memperoleh kesimpulan.

Prinsip-Prinsip Pembelajaran Cooperative Learning
Selain ciri-ciri pembelajaran cooperative learning, yang penting untuk
diingat dalam pembelajaran cooperative learning adalah prinsip dari pembelajaran
cooperative learning itu sendiri. Lungdern (dalam Mustikasari, 2007),
mengemukakan ada tujuh prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif. Ketujuh
prinsip itu antara lain:
1) Siswa harus memiliki persepsi bahwa siswa tenggelam dan berenang bersama
(we sink and swim together).
2) Siswa memiliki tanggungjawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya, di
samping memiliki tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari
materi yang dihadapi.
3) Siswa harus memiliki pandangan bahwa siswa memiliki tujuan yang sama.

14

4) Siswa harus berbagi suatu penghargaan atau hukuman yang akan ikut
berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
5) Siswa akan diberi suatu penghargaan atau hukuman yang akan ikut
berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
6) Siswa berbagi kepemimpinan, sementara siswa memperoleh ketrampilan
bekerjasama selama belajar.
7) Siswa akan diminta mempertanggungjawabkana secara individual materi
yang dipelajari dalam kelompok kooperatif.
Melihat uraian di atas, pembelajaran kooperatif dapat dikatakan lebih
efektif dibandingkan dengan pembelajaran biasa (ceramah), karena melalui
pembelajaran kooperatif, siswa lebih leluasa untuk saling memberi dan menerima
materi pelajaran, tanpa adanya rasa segan. Sesuai dengan yang dikatakan Lie
(2004), bahwa pengajaran rekan sebaya (peer teaching), ternyata lebih efektif
daripada pengajaran oleh guru, dikarenakan sebagai rekan sebaya, mereka
memiliki schemata yang mendekati kesamaan dibandingkan dengan schemata
guru.

Tahap-tahap Pembelajaran Cooperative Learning
Tahap pelaksanaan pembelajaran kooperatif menurut Sukarmin (2002)
dalam Widyaningsih 2008, seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1
Tahap-tahap Pembelajaran Cooperative Learning Tingkah Laku Guru
FASE

KEGIATAN GURU

Fase 1: Menyampaiakan tujuan Guru menyampaikan semua tujuan yang
dan memotivasi siswa

ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan
memotivasi siswa belajar.

Fase 2: Menyajikan informasi

Guru menyajikan informasi kepada siswa

15

dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan
bacaan
Fase 3: mengorganisasikan siswa Guru menjelaskan kepada peserta didik
ke

dalam

kelompok-kelompok bagaimana cara membentuk belajar dan

belajar

membantu

setiap

kelompok

agar

melakukan transisi secara efisien
Fase 4: membimbing kelompok Guru membimbing kelompok-kelompok
bekerja dan belajar

belajar pada saat mengerjakan tugas

Fase 5: Evaluasi

Guru menjelaskan proses dan hasil belajar
tentang materi yang telah dipelajari atau
masing-masing

kelompok

mempresentasikan hasil karyanya
Fase 6: Memberikan penghargaan

Guru kreatif mencari cara-cara untuk
menghargai baik upaya maupun hasil
belajar individu dan kelompok.
Sumber: Sukarmin (2002)

Keunggulan Pembelajaran Cooperative Learning
Lie (2004) memaparkan keunggulan cooperative learning dibandingkan
dengan model pembelajaran lain (metode ceramah) adalah sebagai berikut:
1) Meningkatkan aktivitas belajar siswa dan prestasi akademiknya.
2) Meningkatkan daya ingatan siswa.
3) Meningkatkan kepuasan siswa dengan pengalaman belajar.
4) Membantu siswa dalam mengembangkan ketrampilan berkomunikasi secara
lisan.
5) Mengembangkan ketrampilan sosial siswa.
6) Meningkatkan rasa percaya diri siswa.
7) Membantu meningkatkan hubungan positif antar sisa.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, model pembelajaran cooperative
learning memiliki berbagai macam tipe atau metode yang dapat digunakan sesuai
kebutuhan. Tipe-tipe pembelajaran cooperative learning diantaranya adalah

16

“student teams achievement division (STAD), teams assisted individualization
(TAI), teams games tournaments (TGT), cooperative integrated reading and
composition (CIRC), jigsaw (model tim ahli), group investigation go around,
Think Pair and Share, make a match (mencari pasangan), dan sebagainya”.
Khusus dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan salah satu metode
diantara berbagai metode yang disebutkan di atas, yaitu metode make a match.
Tipe Make a Match
Tipe make a match merupakan suatu teknik pembelajaran yang
memberikan tugas terstruktur kepada siswa melalui media kartu-kartu yang berisi
konsep yang berbeda dengan tema-tema atau topik-topik yang sama, sehingga
melalui kartu yang siswa dapatkan, maka dengan sendirinya siswa membentuk
kelompok-kelompok kerja berdasarkan kecocokan konsep yang terdapat dalam
kartu masing-masing, untuk menyelesaikan satu masalah dalam tema atau topik
yang sama. Sehingga, melalui teknik ini, siswa mampu aktif dan bekerjsama
dengan rekannya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Tipe make a match,
atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (Lie, 2004).
Tipe make a match mengutamakan ketelitian dan kerjasama dalam
menyelesaikan masalah, serta memberikan kenyamanan dalam menyelesaikan
masalahnya, karena siswa mencari pasangan kelompoknya sendiri. Seperti
dikatakan oleh Lie (2004), bahwa salah satu keunggulan teknik make a match
adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik
dalam suasana yang menyenangkan.
Langkah-langkah Tipe Make a Match
Langkah-langkah penerapan tipe make a match dipaparkan oleh Lie (2004),
sebagai berikut:
1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik
yang cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu
jawaban.

17

2) Setiap siswa mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan soal/jawaban.
3) Setiap siswa mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartunya. Misalnya:
pemegang kartu bertuliskan “Gerakan Turki Muda” akan berpasangan dengan
“Mustpha Kemal Pasha”.
4) Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang memegang
kartu yang cocok.
5) Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi
pelajaran.
Berdasarkan langkah-langkah di atas, maka selanjutnya tahap-tahap yang
perlu dipersiapkan selanjutnya dalam penerapan cooperative learning tipe make a
match adalah sebagai berikut:
1) Tahap Persiapan
Dalam tahap persiapan ini, guru mempersiapkan kartu-kartu yang akan
dibagikan kepada siswa. kartu-kartu tersebut, sebelumnya telah dibuat oleh guru
berdasarkan materi yang akan disampaikan pada kegiatan belajar mengajar
(KBM) sesuai dengan RPP dan Silabus. Pembuatan kartu-kartu tersebut terbagi
dalam dua kategori yaitu pertanyaan dan jawaban. Kelompok-kelompok yang
nanti akan terbentuk, didasarkan pada kecocokan kartu pertanyaan dan jawaban
itu. Pembuatan kartu tidak terpatok ke dalam satu pertanyaan dan satu jawaban,
tetapi disesuaikan dengan kebutuhan jumlah anggota kelompok yang diinginkan
oleh guru. Artinya dalam dua kategori tersebut, bisa berbentuk 1 kartu pertanyaan
dengan 2-3 kartu jawaban. Di samping mempersiapkan kartu, guru juga
merencanakan alokasi waktu untuk kegiatan pembentukan kelompok. Alokasi
waktu disesuaikan dengan banyaknya jam pelajaran yang diberikan oleh pihak
sekolah. Selanjutnya akan dilaksanakan penyampaian materi oleh guru. Hal ini
dimaksudkan agar siswa dapat memperoleh gambaran mengenai materi yang akan
dibahas dalam KBM. Selain itu, ini juga demi membantu siswa agar tidak terlalu
kebingungan dalam mencari pasangan kelompoknya berdasarkan pertanyaan atau
jawaban dalam kartu, karena siswa telah dibekali materi oleh guru.

18

2) Tahap Pembentukan Kelompok
Tahapan ini merupakan kegiatan utama dalam tipe make a match. Pada
tahapan ini terbagi dalam kegiatan, diantaranya:
a) Pembagian kartu
Dalam kegiatan ini, guru membagikan kartu-kartu yang telah
dipersiapkan

pada

tahapan

sebelumnya

kepada

siswa.

Tiap

siswa

mendapatkan satu kartu yang isinya berdasarkan dua kategori, yaitu
pertanyaan dan jawaban. Setelah semua siswa mendapatkan masing-masing
kartu, guru memberikan kesempatan beberapa menit kepada siswa untuk
memikirkan jawaban atau pertanyaan yang sesuai dengan isi kartu tersebut.
Waktu diberikan disesuaikan dengan alokasi waktu dalam KBM sesuai RPP.
b) Pembentukan kelompok
Kegiatan selanjutnya adalah pembentukan kelompok. Pada kegiatan
ini, guru meminta tiap siswa membentuk kelompok-kelompok berdasarkan
kecocokan kartu yang dimilikinya dengan kartu temannya. Dalam
pembentukan kelompok ini, guru memberikan tenggat watku kepada siswa
sesuai dengan perencanaan pada tahap persiapan. Tenggat waktu yang
diberikan oleh guru ini, berpengaruh terhadap penghargaan yang akan
diberikan oleh guru kepada siswa ketika proses pembentukan kelompok.
Selanjutnya, guru memeriksa validitas dari pembentukan kelompok ini. Guru
masuk ke dalam tiap-tiap kelompok dan memeriksa kecocokan dari tiap-tiap
kartu anggota kelompok tersebut. Jika belum ada yang benar, guru
memberikan waktu kembali kepada masing-masing kelompok untuk
memperbaiki anggota kelompoknya. Namun, jika pembentukan kelompok
sudah benar, makan dilanjutkan pada kegiatan berikutnya.
c) Penghargaan
Penghargaan dilakukan dalam proses pembentukan kelompok.
penghargan ini bersifat individu maupun kelompok. Pemberian penghargaan
ini dilakukan untk mendapatkan antusias siswa yang lebih dalam kepada
KBM, sehingga siswa dapat meningkatkan hasil belajarnya. Pedoman

19

penghargaan siswa dilakukan dengan skor sesuai dengan waktu yang
ditempuh dalam pembentukan kelompok.

3) Tahap Kegiatan Kelompok
Dalam tahapan ini, setiap siswa melaksanakan kelompok kerja
berdasarkan kelompok yang dibentuk dalam tahapan sebelumnya. Setiap
kelompok memecahkan masalah yang terdapat dalam gabungan tiap-tiap
kartu anggota kelompoknya. Ketika kerja kelompok berlangsung, setiap siswa
berhak meminta bantuan guru untuk membantu mengarahkan kelompoknya
dalam memecahkan masalah. Di samping itu, guru juga memberikan tenggat
waktu kepada setiap kelompok untuk bekerja sesui dengan alokasi waktu
dalam KBM. Setiap kelompok yang sudah selesai mengerjakan tugas
kelompoknya, berhak mendapatkan penghargaan sesuai dengan pedoman
waktu yang telah ditetapkan dan mendapatkan kesempatan pertama untuk
mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.
4) Tahap Presentasi Kelompok
Tahapan presentasi merupakan tahapan berikutnya, setelah tiap
kelompok selesai mengerjakan tugas kelompoknya. Dalam tahapan ini terbagi
ke dalam dua yaitu presentasi kelompok dan tanya jawab antar kelompok.
Setiap kelompok mengutus wakilnya untuk menyajikan hasil kerja
kelompoknya di depan. Guru sebagai fasilitator memberikan alokasi waktu
kepada tiap-tiap kelompok secara rata untuk menyajikan hasil kerja
kelompoknya dan untuk mengadakan sesi tanya jawab. Pembagian alokasi
waktu oleh guru diharapkan agar setiap kelompok dapat tampil ke depan
untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Di samping itu, guru juga
mengadakan penilaian terhadap keaktifan individu siswa selama kegiatan
presentasi kelompok sedang berlangsung. Setelah semua kegiatan presentasi
dilaksanakan, maka guru menyimpulkan seluruh materi yang tersampaikan
dalam KBM.
5) Evaluasi

20

Evaluasi diadakan sebagai tahapan akhir dari seluruh pelaksanaan tipe
make a match. Evaluasi dilaksanakan melalui kegiatan tes. Tes merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapatkan
jawaban dari siswa dalam bentuk lisan, tertulis ataupun tindakan (Sudjana,
2005). Kegiatan evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil
belajar yang dicapai oleh siswa setelah dilaksanakan serangkaian kegiatan
pembelajaran dengan tipe make a match ini. Berdasarkan langkah-langkah di
atas, maka dapat tergambarkan bahwa metode ini akan menciptakan mobilitas
siswa yang positif di kelas selama kegiatan belajar mengajar (KBM)
berlangsung. Hal ini akan menjadi alternative solution untuk menjawab
keluhan-keluhan guru dalam menghadapi suasana kelas yang tidak kondusif,
sehingga suasana yang tidak kondusif tersebut menjadi hal yang positif yang
dapat membantu dalam keberlangsungan belajar siswa di kelas. Untuk
mengatasi kecenderungan suasana yang tidak kondusif yang diakibatkan dari
penerapan tipe make a match, maka diperlukan teknik-teknik dalam
manajemen pembelajaran. Salah satu teknik manajemen yang dapat
digunakan dalam mengatasi masalah di atas adalah dengan “Sinyal
Kebisingan-nol”. Menurut Slavin (2009), sinyal kebisingan-nol adalah sebuah
sinyal yang diberikan kepada para siswa untuk berhenti bicara, untuk
membuat mereka memberi perhatian penuh kepada guru, dan untuk membuat
tangan dan tubuh mereka diam. Selanjutnya, Slavin (2009), menjelaskan
beberapa variasi dari sinyal kebisingan-nol: Menggunakan sebuah alat
pengukur waktu, dan hitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
kembali ke kebisingan-nol. Buatlah sinyal yang berbeda, satu sekedar untuk
menurunkan tingkat kebisingan (misalnya, mengangkat tangan, dan posisi
tangan horizontal), yang kedua untuk menurunkan tingkat kebisingan dan
mendapatkan perhatian para siswa untuk memberikan pengumuman yang
ingin anda berikan (mengangkat tangan, dan telapak tangan posisi vertikal).
Gunakan alat pengukur waktu secara acak untuk menurunkan tingkat
kebisingan. Disamping itu, diadakan pemberian poin atau nilai kepada para

21

siswa yang dapat mencapai tingkat kebisingan nol saat pengukur waktunya
mati.

Pengelolaan Kelas Cooperative Learning Melalui Tipe Make a Match
Untuk memudahkan proses pembelajaran cooperative learning melalui
tipe make a match, maka perlu dirancang suatu pengelolaan kelas yang efektif dan
efisien. Pengelolaan kelas perlu memperhatikan kondisi ruangan kelas dan
psikologis siswa. Menurut Lie (2004), ada tiga hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan kelas model cooperative learning, yakni
pengelompokan, semangat cooperative learning, dan penataan ruang kelas.
1) Pengelompokan
Pengelompokan merupakan langkah pertama yang dilaksanakan dalam
pembelajaran cooperative learning. Menurut Lie (2004), pengelompokan
dibagi

ke

dalam

dua

jenis,

yaitu

pengelompokan

homogen

dan

pengelompokan heterogen. Pengelompokan homogen yang sering dilakukan
di kelas berdasarkan prestasi belajar siswa. Menurut Scott Gordon (dalam
Lie, 2004), pada dasarnya manusia sering berkumpul dengan sepadan dan
membuat jarak dengan yang berbeda. Selanjutnya Lie (2004), menuturkan
jenis pengelompokan heterogenitas merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam
model pembelajaran cooperative learning. Kelompok heterogenitas dapat
dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang
agama, sosio-ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis.
Melalui tipe make a match, pengelompokkan siswa dalam pembelajaran
dapat menciptakan dua kemungkinan pengelompokan, yaitu kemungkinan
terjadi pengelompokan homogen maupun heterogen. Hal ini dikarenakan
pemilihan kelompok siswa didasarkan atas kecocokan pasangan kartu yang
diperoleh siswa secara acak. Di samping itu, pengelompokan bersifat
sementara untuk setiap kegiatan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, guru
dapat

membandingkan

kerja

kelompok.

Sehingga

dapat

dianalisis

pengelompokan mana yang tepat bagi siswa dalam pembelajaran di kelas.

22

2) Semangat Cooperative Learning
Menurut Lie (2004), agar kelompok bisa bekerja secara efektif dalam
proses pembelajaran cooperative learning, masing-masing anggota kelompok
perlu mempunyai semangat cooperative learning. Semangat tersebut dapat
dirasakan dengan membina niat dan kiat siswa dalam bekerjasama dengan
siswa-siswa lainnya. Lebih lanjut Lie (2004), menguraikan beberapa kegiatan
yang dapat membina niat siswa dalam menumbuhkan semangat cooperative
learning, diantaranya:
1) Kesamaan kelompok, dapat dilakukan dengan cara wawancara kelompok,
lempar bola, dan jendela kesamaan.
2) Identitas kelompok, dapat dilakukan melalui pemberian nama kelompok
yang dapat menumbuhkan semangat kelompok.
3) Sapaan dan saran kelompok. Hal ini disamping menumbuhkan semangat,
juga dapat mengembangkan kreativitas siswa.
3) Penataan Ruang Kelas
Kelas sebagai tempat beraktivitas belajar tentu mempengaruhi efektivitas
dan kelancaran dalam pembelajaran dengan menerapkan model cooperative
learning tipe make a match. Karena itu, penataan ruang kelas harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi ruang kelas. Menurut Lie (2004) ada
beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang kelas,
yaitu: ukuran ruang kelas; jumlah siswa; tingkat kedewasaan siswa; toleransi
guru dan kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalulalang siswa; toleransi
masing-masing siswa terhadap kegaduhan dan lalu lalangnya siswa lain;
pengalaman guru dalam melaksanakan pelaksanaan model pembelajaran
cooperative learning melalui tipe make a match; dan pengalaman siswa
dalam melaksanakan model pembelajaran cooperative learning.

2.1.3 Hasil Belajar
Hasil belajar menurut Hamalik (2002:155) adalah terjadinya perubahan
tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam perubahan

23

pengetahuan sikap dan keterampilan. Hal ini berarti bahwa hasil belajar bukan
hanya perubahan dalam pengetahuan saja, tetapi juga dalam keterampilan dan
sikap. Jadi, hasil belajar adalah hasil yang didapatkan seseorang dalam proses
belajar dan diwujudkan dalam nilai yang diberikan guru dan perubahan tingkah
laku setelah mengikuti proses pembelajaran.
Joko Susilo (2009) mengatakan bahwa belajar adalah modifikasi atau
memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Dalam pengertian ini, belajar adalah
merupakan suatu proses, satu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar
bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu yakni mengalami.
Hasil belajar bukan penguasaan dan latihan, melainkan perubahan kelakuan.
Hilgard dan Bower (dalam Purwanto 1993), mengatakan bahwa belajar
berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu
yang disebabkan oleh pengalaman yang berulang-ulang, dimana perubahan
tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungannnya berupa
respon bawaan, kematangan atau keadaan sesaat seseorang. Beberapa pendapat di
atas tersebut menegaskan bahwa belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku
yang disebabkan oleh pengalaman berulang-ulang.
dari beberapa pengertian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa belajar
mengandung tiga unsur, yaitu :
1) Belajar berkaitan dengan perubahan tingkah laku.
2) Perubahan perilaku itu terjadi karena didahului adanya proses pengalaman.
3) Perubahan perilaku karena belajar bersifat relatif permanen.
Hasil belajar merupakan suatu proses yang dilakukan guru pada akhir
kegiatan pembelajaran atau akhir program untuk menentukan angka hasil belajar
peserta didik. Hasil belajar harus diidentifikasi melalui informasi hasil
pengukuran penguasaan bidang atau materi dan aspek perilaku baik melalui
teknik tes dan nontes. Penguasaan materi yang dimaksud adalah derajat
pencapaian kompetensi hasil belajar seperti yang dikehendaki dalam standar
proses dan dinyatakan dalam aspek perilaku yang terbagi dalam ranah kognitif,

24

afektif, dan psikomotor (Wardani Naniek Sulistya, dkk: 2012: 109. Dalam
Asesmen Pembelajaran SD 2012).

Pengukuran Hasil Belajar
Pengukuran

menurut

Wardani

Nanik

Sulistya

dkk

(Asessmen

pembelajaran SD 2012:47) secara sederhana, pengukuran diartikan sebagai
kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatau
gejala atau peristiwa. Hasil pengukuran terkait dengan penilaian belajar. Dalam
penilaian hasil belajar, pengukurannya tidak hanya menekankan pada hasil belajar
saja, namun juga menekankan pada evaluasi proses belajar (Wardani Naniek
Sulistya dan Slameto, 2012: 18).
Assesmen menurut Wardani Naniek Sulistya dkk (Assesmen pembelajaran
SD 2012:48) adalah proses pengambilan dan pengolahan informasi untuk
mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Penilaian adalah metode yang
biasa digunakan untuk menentukan mutu unjuk kerja individu; pernyataan
berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seorang atau
karakteristik sesuatu; penafsiran data hasil pengukuran. Kegiatan untuk
menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan
instrument. Dalam dunia pendidikan instrument yang sering digunakan seperti tes,
lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket. Menurut Wardani
Naniek Sulistya Wardani dkk (Assesmen pembelajaran 2012:48) adalah salah satu
contoh instrument atau alat pengukuran yang paling banyak dipergunakan untuk
mengetahui kemampuan intelektual seseorang.
Dalam melaksanakan asesmen pembelajaran maka perlu memperhatikan
teknik asesmen pembelajaran. secara umum teknik penilaian dibedakan menjadi 2
yaitu teknik tes dan teknik non-tes.
1. Teknik Tes
Serenten pertanyaan atau latihan serta alat ukur yang digunakan untuk
mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang

25

dimiliki oleh individu atau kelompok (Arikunto 2010:193) Pendapat dari para ahli
di atas dapat disimpulkan bahwa tes adalah sejumlah pertanyaan atau soal-soal
yang harus dijawab, dilakukan dalam waktu tertentu dan memiliki tujuan tertentu
guna mengukur kemampuan seseorang. Berikut ini adalah teknik tes yang
dikemukakan oleh Wardani Naniek Sulistya (2012:144-145) sebagai berikut:
a. Jenis Tes berdasarkan cara mengerjakan
1. Tes tertulis
Tes tertulis adalah tes yang soalnya harus dijawab peserta didik dengan
memberikan jawaban tertulis. Jenis tes tertulis secara umum dikelompokkan
menjadi dua yaitu:
- Tes objektif, ada yang pilihan ganda, jawaban singkat atau isian, benar salah,
dan bentuk menjodohkan.
- Tes uraian, yang terbagi atas tes uraian objektif (penskorannya dapat
dilakukan secara objektif) dan tes uraian non-objektif (penskorannya sulit
dilakukan secara objektif).
2. Tes lisan
Tes lisan adalah tes yang pelaksanaannya dilakukan dengan mengadakan
tanya jawab secara langsung antara pendidik dan peserta didik, dengan tujuan
untuk melakukan pengukuran atau menentukan skor. Tes lisan tidak sama
dengan pembelajaran yang melakukan tanya-jawab. Tes lisan memiliki
kelebihan:
- Dapat menilai kemampuan dan tingkat pengetahuan yang dimiliki peserta
didik, sikap, serta

kepribadiannya karena dilakukan secara berhadapan

langsung.
- Bagi peserta didik yang kemampuan berfikirnya relatif lambat, tes bentuk ini
dapat menolong sebab peserta didik dapat menanyakan langsung kejelasan
pertanyaan yang dimaksud.
- Hasil tes dapat langsung dapat diketahui peserta didik.
Adapun kelemahan Tes Lisan adalah:
- Subjektivitas pendidik sering mencemari hasil tes.
- Waktu pelaksanaan yang diperlukan relatif cukup lama.

26

3. Tes perbuatan
Tes perbuatan yakni tes yang penugasannya disampaikan dalam bentuk
lisan atau tertulis dan pelaksanaan tugasnya dinyatakan dengan perbuatan atau
unjuk kerja. Penilaian tes perbuatan dilakuakan sejak peserta didik melakukan
persiapan, melaksanakan tugas, sampai dengan hasil yang dicapainya. Untuk
tes perbuatan umumnya diperlukan sebuah format pengamatan, agar pendidik
dapat menulis angka-angka yang diperolehnya pada tempat yang sudah
disediakan. Bentuk formatnya dapat disesuaikan menurut keperluan. Untuk tes
perbuatan

yang

bersifat

individual,

sebaiknya

menggunakan

format

pengamatan individual. Begitu pula yang dilakukan secara kelompok.
b. Jenis Tes berdasarkan bentuk jawabannya
1) Tes esei (essay-type test)
Tes bentuk uraian adalah tes yang menuntut siswa mengorganisasikan
gagasan-gagasan

tentang

apa

yang

telah

dipelajarinya

dengan

cara

mengemukakannya dalam bentuk tulisan.
2) Tes jawaban pendek
Tes dapat digolongkan menjadi tes jawaban pendek jika peserta tes
diminta menuangkan jawabannya bukan dalam bentuk esei, tetapi memberikan
jawabanjawaban pendek, dalam bentuk rangkaian kata-kata pendek, kata-kata
lepas maupun angka-angka.
3) Tes objektif
Tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi diperlukan untuk
menjawab tes yang telah tersedia. Oleh karenanya sering pula disebut dengan
istilah tes pilihan jawaban (selected response test).
2. Teknik Non Tes
Teknik non-tes adalah alat ukur untuk memperoleh hasil belajar non-tes, misalnya
untuk mengetahui perubahan tingkah laku yang berkenaan dengan ranah afektif
dan psikomotor. Teknik non tes sebagai alat penilaian mencakup observasi atau
pengamatan, angket, kuesioner, interviews (wawancara), skala penilaian,
sosiometri, studi kasus, work sample analysis (analisa sampel kerja), task analysis

27

(analisis tugas), checklists and rating scales dan portofolio. Wardani, Naniek
Sulistya dkk (Asesmen pembelajaran 73-76) membagi
teknik nontes menjadi 7 macam yaitu:
a. Unjuk Kerja
Suatu penilaian atau pengukuran yang dilakukan melalui aktivitas peserta
didik dalam melakukan sesuatu yang berupa tingkah laku atau interaksinya seperti
berbicara, berpidato, membaca puisi, dan berdiskusi; kemampuan peserta didik
dalam memecahkan masalah kelompok; partisipasi peserta didik dalam diskusi;
keterampilan menari; dan lain sebagainya.
b. Penugasan
Penugasan merupakan penilaian yang berbentuk pemberian tugas yang
mengandung penyelidikan (investigasi) yang harus selesai dalam waktu tertentu.
c. Tugas Individu
Penilaian yang berbentuk pemberian tugas kepada peserta didik yang
dilakukan secara individu. Tugas ini dapat diberikan pada waktu-waktu tertentu
dalam bentuk seperti pembuatan kliping, pemmbuatan makalah dan sebagainya.
d. Tugas Kelompok
Hampir sama dengan tugas individu, namun bedanya tugas ini dikerjakan
secara berkelompok. Tugas ini diberikan untuk menilai kompetensi kerja
kelompok.
e. Laporan
Laporan adalah penilaian yang berbentuk laporan atas tugas atau pekerjaan
yang diberikan seperti laporan diskusi, laporan kerja praktik, laporan praktikum
dan lain sebagainya.
f. Response dan Ujian Praktik
Merupakan suatu penilaian yang dipakai untuk mata pelajaran yang ada
kegiatan praktikumnya. Ujian praktik dapat dilakukan pada awal praktik atau
setelah melakukan praktik.
g. Portofolio
Merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan
informasi yang menunjukan perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu

28

periode tertentu. Portofolio dapat berupa karya peserta didik dari proses
pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, pekerjaan-pekerjaan yang
sedang dilakukan, beberapa contoh tes yang telah selesai dilakukan, berbagai
keterangan yang diperoleh peserta didik, keselarasan antara pembelajaran dan
tujuan spesifik yang telah dirumuskan, contoh-contoh hasil pekerjaan sehari-hari,
evaluasi diri terhadap perkembangan pembelajaran dan hasil observasi guru. Jadi
hasil belajar diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan
yang dimiliki oleh siswa setelah melakukan kegiatan dengan proses penilaian
melalui kegiatan atau prosedur dalam pembelajaran yang menghasilkan skor dari
unjuk kerja dan tes.

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Rifka Isnaini pada tahun 2011 pada siswa
Kelas V di SDN Kidul Dalem 2 Malang dengan judul “Peningkatan Hasil
Belajar Bahasa Indonesia Siswa Kelas V Dengan Menerapkan Model
Pembelajaran

Make a Match Di SDN Kidul Dalem 2 Malang”. Hasil

observasi menunjukkan bahwa nilai hasil belajar siswa kelas V SDN Kidul
Dalem 2 Kota Malang rendah, hal ini dapat dilihat dari: (1) Dominasi guru
dalam proses pembelajaran tersebut dapat menyebabkan siswa lebih bersifat
pasif; (2) Guru hanya menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan
penugasan sehingga mereka lebih banyak menunggu sajian guru daripada
mencari, menemukan sendiri pengetahuan atau sikap dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia. Untuk itu, perlu adanya inovasi pembelajaran yang dapat
meningkatkan hasil belajar siswa yaitu Make a Match. Tujuan penelitian
tersebut adalah: (1) Mendeskripsikan penerapan model pembelajaran make a
match pada mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas V SDN Kidul
Dalem 2 Malang dan (2) Mendeskripsikan model pembelajaran make a match
dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa Indonesia pada siswa kelas V SDN
Kidul Dalem 2 Malang. Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa
kelas V SDN Kidul Dalem 2 Kota Malang. Jenis penelitian ini adalah
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan empat tahapan, yaitu (1)

29

Perencanaan, (2) Pelaksanaan, (3) Pengamatan, (4) Refleksi. Menggunakan
empat cara dalam pengumulan data, yaitu (1) Observasi, (2) Wawancara, (3)
Tes, (4) Dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunkan tiga
cara, yaitu reduksi data, paparan data, dan penyimpulan data. Berdasarkan
judul diatas dapat diketahui bahwa penerapan model pembelajaran model
make a match pada mata pelajaran Bahasa Indone sia kelas V SDN Kidul
Dalem 2 Kota Malang dengan materi Menghargai Peranan Para Tokoh
Pejuang dan Masyarakat dalam

Mempersiapkan dan Mempertahankan

Kemerdekaan Indonesia pada siswa kelas V SDN Kidul Dalem 2 Malang
terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam setiap siklus
ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan
yaitu pada tahap tindakan pada siklus I 61,1% dan pada siklus II mengalami
kenaikan menjadi 100%. Ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa
dari siklus I naik 38,9% ke siklus II. Dalam setiap siklus ketuntasan hasil
belajar pada tes akhir siswa mengalami peningkatan yaitu pada nilai awal
sebelum tindakan adalah 13,7%, pada siklus I ada 48,3% dan pada siklus II
ini mengalami kenaikan cukup tinggi yaitu 100%. Ketuntasan hasil belajar
pada tes akhir siswa dari nilai awal ke siklus I naik 34,6% dan dari siklus I ke
siklus II naik 51,7%. Saran yang diberikan hendaknya guru menggunakan
strategi dan model pembelajaran yang menarik, salah satunya adalah dengan
menerapkan model pembelajaran make a match untuk meningkatkan hasil
belajar siswa.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Maryunia pada tahun 2010 pada siswa Kelas
V Semester 1 dengan judul “ Peningkatan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan
Sosial Tentang Sejarah Masuknya Agama Di Indonesia Melalaui Model
Pembelajaran Mencari pasangan Bagi Siswa Kelas V Semester 1, SDN 01
Cangakan Kecamatan Karanganyar Tahun Pelajaran 2008/2009”. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial
melalui model pembelajaran Mencari Pasangan (Make a Match) bagi siswa
kelas V semester I SD Negeri 01 Cangakan Kabupaten Karanganyar Tahun

30

2009/2010. Penelitian Tindakan Kelas ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 5 Sekolah Dasar
Negeri 01 Karanganyar Tahun Pelajaran 2008/2009 yang berjumlah 15 siswa.
Adapun sample yang diambil adalah 15 siswa, metode pengambilan sample
adalah seluruh siswa menjadi sample. Adapun teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah observasi, tes, dokumentasi, angket dan catatat dalam
kegiatan mengajar belajar. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebelum
penelitian (tes awal) pemahaman siswa terha dap pe lajaran IPS hanya
46,7% yaitu 7 anak yang tuntas berarti terdapat 53,3% yaitu 8 anak yang
belum tuntas, pada siklus I Pemahaman Konsep menjadi 80% yaitu 12 siswa
yang tuntas berarti meningkat sebesar 33,3% dan pada siklus II jumlah siswa
tuntas menjadi 100% atau naik sebesar 20%. Peningkatan ini bukan hanya
dari pemahaman konsep saja tetapi juga dari aspek keaktifan siswa, ini
ditunjukkan dengan keaktifan siswa yang mula-mula hanya 55,67% pada
siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,6% dan pada siklus II menjadi
89,79

yaitu meningkat menjadi 8,49%. Faktor pendukung keberhasilan

penerapan model pembelajaran diatas karena siswa sangat senang belajar
sambil bermain, disamping itu alat dan bahan yang digunakan mudah
diperoleh dan harganya relatif murah, proses pembuatannyapun sangat
mudah. Faktor penghambat penerapan model pembelajaran

ini adalah

terbatasnya buku sumber materi sehingga siswa hanya mengandalkan buku
paket yang dimiliki, namun hal ini peneliti sudah memberikan jalan keluarnya
dengan meringkas materi dari buku elektronik. Berdasarkan penelitian diatas
dapat diketahui hasil penelitian tentang model pembelajaran mencari
pasangan (make a match) dapat meningkatkan keaktifan siswa. Hal ini dapat
dilihat dari peningkatan Keaktifan siswa yang mula-mula hanya 55,67% pada
siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,63% dan pada siklus II menjadi
89,79 % yaitu meningkat 8,49% dari siklus I.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Muharif tahun 2010 dalam penelitiannya
yang berjudul “Penerapan Model Coope ratif Learning-Make A Match Untuk

31

Meningkatkan Aktivitas Siswa Kelas V Dalam Pembelajaran Matematika di
SDN 010 Gabung Makmur Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten Siak
”dengan

tujuan

meningkatkan

aktivitas

siswa

dalam

pembelajaran

Matematika yang mana data sebelumnya diperoleh bahwa mata pelajaran
Matematika kurang diminati oleh siswa. Disebut kurang diminati karena
pada proses pembelajaran secara umum, siswa lebih banyak yang tidak
memperhatikan, tidak merasa senang dalam belajar, dan tidak ada keinginan
untuk memperoleh pengetahuan lebih dari pelajaran matematika ini, oleh
karena itu peneliti beranggapan bahwa dengan diterapkanya model
pembelajaran make a match pada pelajaran matematika, aktivitas siswa
meningkat. Berdasarkan judul penelitian diatas dapat diketahui bahwa nilai
aktivitas siswa untuk kerjasama (KRJ) pada pertemuan keempat siklus II
terdapat 10 siswa yang mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat
aktif, 2 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat
nilai kurang

aktif.

Nilai aktivitas siswa untuk keseriusan (KSR) pada

pertemuan keempat siklus II terdapat 8 siswa yang mendapat sangat aktif,
12 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan
0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa untuk
ketepatan siswa (KTT) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 9
siswa yang mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa
yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang
aktif. Nilai

aktivitas

siswa untuk

kemampunan bertanya (KB) pada

pertemuan ke empat siklus II terdapat 8 siswa yang mendapat sangat aktif,
13 siswa yang mendapat aktif, 2 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan
0 siswa

yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa

untuk

aktivitas menulis (AM) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 7 siswa
yang menda pat sangat aktif, 13 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang
mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif.
Sedangkan nilai tes siswa siklus I pertemuan pertama terdapat 11 siswa yang
mendapat sangat baik, 8 siswa yang mendapat nilai baik, 4 siswa yang
mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang baik.

32

Pada siklus II terdapat 18 siswa yang mendapat sangat baik, 3 siswa yang
mendapat baik, 2 siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang
mendapat nilai kurang baik. Untuk nilai aktivitas guru pada siklus II
pertemuan keempat sebanyak 5 item (55,6%) pada posisi sangat sempurna
dan 4 item (44,4%) pada posisi sempurna. Berdasarkan analisis kajian yang
pernah digunakan para peneliti di atas maka dengan penerapan pembelajaran
kooperatif make a match dapat

meningkatkan prestasi

belajar

siswa.

Dengan analisis tersebut, maka peneliti melakukan penelitian dengan
menerapkan pembelajaran kooperatif tipe make a match pada pelajaran
IPA untuk meningkatkan hasil belajar siswa berdasarkan gender.

2.3 Kerangka Berpikir
Tipe make a match merupakan suatu teknik pembelajaran yang
memberikan tugas terstruktur