P DAN LSM DAN NEGARA
LSM DAN NEGARA
Philip Eldridge
Tulisan ini akan menguraikan sejumlah peran yang dimainkan LSM, dan menunjukkan tiga model yang tampaknya menjadi karakteristik keseluruhan orientasi mereka dalam berhadapan dengan struktur negara. Sejumlah organisasi akan dibicarakan dalam kaitannya dengan kerangka ini. Potensi akan pengembangan jaringan kerja dan pembentukan koalisi antara sejumlah corak LSM dan dampak yang mungkin akan ditimbulkannya terhadap struktur makro akan pula ditelaah secara singkat di bagian akhir tulisan ini.
P politik.
ertama-tama,
mencakup totalitas kehiduapan sosial dan menawarkan sejumlah justifikasi prima
penting
untuk
politik, maka proporsi semacam itu tampak facie guna menunjukkan bahwa LSM
tautologis. Bila negara didefinisikan secara memang memiliki signifikansi
lebih sempit sebagai sekedar aparat ‘negara’,
pembedaan tersebut tetap tak dapat dengan Selama ini, hampir semua LSM cenderung
begitu mudah dihilangkan. Sementara mengadopsi profil yang menekankan karakter
pemerintah dan masyarakat sipil, dalam arti non-politik. Walaupun cara berpijak seperti
wilayah ekonomi, sosial dan komunitas, itu dapat dilihat sebagai langkah politik yang
berinteraksi di semua tahap, tidak dengan bijaksana dalam konteks Indonesia, itu juga
sendirinya masyarakat sipil tidak memiliki merefleksikan nilai-nilai yang sangat berakar,
otonomi dalam mengartikulasikan nilai-nilai, yakni konsep tentang masyarakat dan negara
melakukan kontrol terhadap sumberdaya dan yang merembes ke dalam diskursi tentang
kapasitas untuk mengatur diri sendiri (self- “gerakan LSM” tidak hanya di Indonesia
management ).
melainkan juga di banyak negara lain, baik di Dalam konteks pembangunan Indonesia,
Dunia Ketiga maupun negara-negara barat. pengertian kedua konsep tersebut, negara dan Arief Budiman mencatat bahwa “LSM telah bangsa , telah mencakup keseluruhan
menjadi saluran absah bagi partisipasi sosial masyarakat sipil. Kenyataan dan kekuatan dan politik yang sebelumnya telah dibendung dari ideologi negara totalistik yang disertai
oleh pemerintah”, namun menilai bahwa mekanisme sosialisme dan kontrol yang “…hanya sedikit dari mereka yang
1 semakin canggih tentunya tidak dapat memformulasikan
ide-ide
politik”.
diingkari. Namun masih tersedia ruang bagi Pernyataan ini benar di permukaan, walaupun perbedaan, sebagaimana masih dapat di masyarakat manapun kita akan dengan dipertanyakan seberapa jauh totalitas itu mudah menjumpai kelompok-kelompok dapat melenyapkan peluang bagi formasi yang bertindak dengan basis ide-ide yang sosial independen serta artikulasi nilai-nilai sangat kabur dan terartikulasi secara parsial alternatif. Masih pula diragukan tingkat namun terbukti memiliki dampak politik.
pemahaman organ-organ LSM, pada khususnya, akan cenderung lebuh pemerintah dalam mengimplementasikan menyukai “aksi” daripada “teori”. Lebih jauh cetak biru nasional atau kesamaan pola lagi, bila memang mereka telah berhasil penanganan mereka pada saat berhadapan menjadi sebuah saluran absah partisipasi
keseragaman
kelompok-kelompok non politik, maka keberhasilan itu pasti berasal,
dengan
pemerintah.
paling tidak dalam derajat tertentu, dari aksi politik kreatif yang mereka lakukan.
Dampak aktivitas-aktivitas LSM terhadap perimbangan kekuatan keseluruhan antara
Pada pemikiran politik Barat, paling tidak, kelompok-kelompok sosial dan ekonomi dan politik berkaitan sepenuhnya dengan negara. pemerintah Indonesia serta beragam badan
Namun demikian tampaknya diakui bahwa yang terkait dengannya, sangat krusial dalam tidak ada batas-batas yang kaku dan diterima menentukan signifikansi politik mereka.
secara luas yang dapat ditarik untuk Dampak tersebut mungkin akan terlihat memisahkan konsep “masyarakat” dan dalam jangka panjang dan secara tak
“negara”. Bila keduanya didefinisikan sebagai
1 Wawancara dalam Inside Indonesia, No. 17, Desember 1988, hal. 2-4.
langsung, namun bisa juga sebaliknya. Retorika LSM sebagai gerakan ‘non-politis’ Penamaan “politik” disini tentu tidak harus
bisa menjadi sangat membingungkan diberikan hanya pada aktivitas yang dirancang
sebagaimana banyak peran mereka yang untuk berkonfrontasi dengan struktur politik
dipaparkan di atas memiliki signifikansi atau memperoleh tampat dalam kekuasaan
politik yang nyata. Sebuah keputusan taktis pemerintah.
diambil pada tahun 1983, yakni meninggalkan meningkatkan kapasitas bagi self-management di
Non Governmental kalangan kelompok-kelompok terbelakang,
penggunaan
kata
Organization (NGO) untuk kemudian melengkapi kelompok-kelompok tersebut
digantikan dengan istilah Lembaga Swqadaya dengan kemampuan untuk berurusan dengan
Lembaga Pengembangan badan-badan pemerintah dan kekuatan-
Masyarakat/
Masyarakat (LSM/LPSM). kekuatan lainnya secara lebih setara, pada
Swadaya
Diargumentasikan bahwa kata NGO dapat dasarnya
secara mudah ditafsirkan sebagai ‘anti- meningkatkan kemampuan masyarakat sipil
Sebaliknya, swadaya vis-a-vis negara.
pemerintah’.
mengandung dimensi penentuan-diri-sendiri (self-determination) yang memang menjadi sifat
Derajat otonomi tersebut tentu harus dasar mereka, dan pada saat yang sama terasa dipandang dalam batasan relatif, terutama lebih berakar dalam sejarah dan kebudayaan dalam konteks Indonesia. Semua kelompok bangsa. Dalam prakteknya, istilah NGO tetap harus mengupayakan sejumlah modus vivendi banyak digunakan, baik karena kelaziman dengan pemerintah. Banyak kontradiksi lahir penggunaannya secara internasional maupun dari usaha mengkombinasikan mobilisasi karena menekankan identitas pembeda dari kelompok-kelompok untuk menuntut hak
pemerintah
dan pelayanan dengan ketergantungan pada pemerntah dalam hal dukungan dan perlindungan. Seperti akan kita lihat,
P EMBANGUNAN DAN M OBILISASI sejumlah kelompok berusaha untuk
mengatasi kontradiksi
Dalam kurun 70-an, terdapat perhatian yang berkooperasi dalam program-program resmi
ini
dengan
meningkat dalam usaha pengembangan pemerintah, sementara jumlah lainnya justru
masyarakat (community development) oleh NGO, tetap menjaga jarak.
sebagai bagian dari kritik terhadap ‘ketidakmerataan
pembangunan’ dan LSM memiliki dampak langsung terhadap pencarian strategi ‘alternatif’ atau ‘kebutuhan negara melalui pengaruhnya terhadap proses pokok’ yang dapat menguntungkan secara pembentukan kebijaksanaan pemerintah dan lebih langsung mayoritas kaum miskin. opini publik di berbagai sektor. Namun Umumnya LPSM/LSM menyelenggarakan sebagian besar dari mereka menyadari bahwa program-program pembangunan berskala tujuan untuk menanamkan posisi dalam kecil di berbagai bidang seperti irigasi, air struktur negara sebagaimana yang berusaha minum, pusat kesehatan masyarakat, dicapai struktur partai dan kuasi-partai pertanian, peternakan bersama-sama dengan konvensional akan bertentangan baik dalam
yang meningkatkan arti ideologi maupun praktek, dengan tujuan
program-program
penghasilan seperti kerajinan tangan. lebih luas untuk membangun struktur Pendidikan non-formal juga memainkan masyarakat otonom. Ini merefleksikan peranan penting. Akar aktivitas semacam itu ketidakpastian umum tentang hubungan dapat dilacak kembali pada kurun 1950an dan antara kegiatan di tingkat mikro dan makro, menunjukkan sejumalah kesamaan dengan terutama
2 gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan pembentukan koalisi.
dimasa sebelumnya.
Pada tahun-tahun terakhir ini semakin banyak T ERMINOLOGI perhatian diberikan pada aktivitas mendidik
2 Philip Eldridge, “The Political Role of Community Action Groups in India and Indonesia: In Search of a General Theory”, Alternatives, Vol. X, No. 3,
hal. 401-434.
dan memobilisasi masyarakat dalam berbagai mobilisasi masyarakat yang lebih luas menjadi isu bercakupan luas yang berkaitan dengan
lebih nampak. Sebaliknya upaya untuk ekologi dan hak asasi manusia, termasuk
memobilisasi masyarakat di sektor isu didalamnya persoalan status wanita, hak
lingkungan hidup, perlindungan hukum, kaum tani, buruh tani serta gelandangan
kondisi perburuhan, serta isu-isu struktural terutama dala hubungannya dengan kasus-
lainnya akan juga tergantung pada kasus penggusuran dan perampasan tanah.
program-program yang Kegiatan dalam corak yang disebutkan tadi
kelangsungan
mampu menghasilkan pemasukan dana yang dapat dikategorikan sebagai berorientasi
memungkinkan terpenuhinya kebutuhan terhadap ‘pembangunan’, sementara corak
hidup minimal mereka.
yang kedua dapat disamakan berorientasi Banyak kelompok telah mengenali potensi
pada ‘mobilisasi’, kendatipun tentu kedua
koperasi dalam aspek tersebut berkaitan.
yang
dikandung
tujuan-tujuan ‘Mobilisasi’ jenis ini telah tumbuh menjamur
mengintegrasikan
pembangunan dan mobilisasi, dalam bentuk di banyak negara dunia ketiga sejalan dengan
bahwa kehadiran institusi tersebut dapat semakin menguatnya dominasi struktur
mengatasi posisi lintah darat, meningkatkan kekuasaan di negara-negara tersebut, yang
pemasukan sektor informal dan masyarakat terlihat melumpuhkan aktivitas-aktivitas
desa, memperkuat organisasi masyarakat dan pengembangan masyarakat yang lebih
kemandirian, serta menawarkan sebuah konvensional. Di Indonesia, pergeseran ini
model yang berbeda dari tatanan nilai terjadi bersamaan dengan perubahan arah
kapitalis maupun sosialis. Dari segi taktik, strategi kaum aktivis mahasiswa, yang
pengembangannya memungkinkan semacam berkaitan dengan kebangkitan kembali
perlindungan dan keabsahan umum dalam gerakan kelompok-kelompok islam baik di
berhadapan dengan negara. Di beberapa bidang politik dan sosial dalam kurun 1970an.
tahun terakhir ini, nampak peningkatan Dibandingkan dengan India, dimana
berarti baik dalam jumlah koperasi yang resmi perbedaan
terdaftar maupun yang memiliki struktur ‘pembangunan’ dan ‘mobilisasi’ lebih tajam
diartikulasikan, LSM-LSM Indonesia telah
menunjukkan kecakapan yang memadai dalam mengintegrasikan kedua pendekatan
H UBUNGAN DENGAN P EMERINTAH DAN
tersebut. 3 Dengan
kuatnya
tingkat
L INGKUP K EGIATAN LSM
pengontrolan negara terhadap bentuk-bentuk Harapan untuk mempengaruhi kebijaksanaan protes yang nyata, LSM di Indonesia lebih
dan memperoleh akses yng lebih besar memilih untuk bergerak di bawah payung
terhadap sumber daya tampaknya menjadi slogan-slogan pembangunan pemerintah
faktor pendorong utama bagi LSM-LSM di sambil pada saat yang sama mendefinisikan
semua negara untuk menjalin kerjasama kembali slogan-slogan tersebut ke dalam
dengan pemerintah mereka. Namun hal ini pengertian paradigma yang lebih berorientasi
dibarengi dengan kekhawatiran akan kooptasi ke arah struktur partisipatif dan bentuk-
yang dapat menghilangkan identitas dan bentuk pengembangan masyarakat yang
keterkaitan mereka dengan ‘akar rumput’. Di demokratis.
pihak lain, pemerintah menyadari potensi Berdasarakan pengalaman, keterlibatan dalam
yang dimiliki LSM untuk memobilisasi program-program pembangunan berskala
sumber daya manusia secara lebih efektif dan kecil setelah satu jangka waktu, tetap
dengan demikian mempermurah biaya yang membawa LSM/LPSM pada posisi yang
dibutuhkan dalam konteks pencapaian tujuan mengharuskan
pembangunan nasional. Ini pada gilirannya tuntutan perubahan kebijkasanaan pada
mereka
menyuarakan
mengabsahkan peran LSM via-a-vis pemerintah. Dan tatkala tuntutan seperti ini
pemerintah.
tidak memperoleh perhatian atau tidak diimplementasikan,
kebutuhan
akan
3 Ibid,. hal. 414-417
Meskipun terjalin kerjasama, pemerintah tetap berusaha mencegah bangkitnya keterlibatan masyarakat yang didasarkan pada kelompok-kelompok yang secara murni mengandalkan kekuatan sendiri. Satu cara yang
menetralisir kekuatan LSM adalah dengan menciptakan struktur paralel yang bertujuan memobilisasi kelompok-kelompok sasaran seperti pemuda, petani, dan wanita. Dalam kenyataannya, organisasi-organisasi bentukan pemerintah ini pada umumnya sekedar menjadi wadah kosong yang tak didukung masyarakat. Walaupun penting sebagai sarana kontrol politik, pengandalan yang berlebihan terhadap berbagai ‘kelompok fungsional’ adalah counter productive terhadap pemecahan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan yang semakin menghimpit dan semakin memperoleh perhatian pemegang keputusan dalam spectrum yang lebih luas, kontradiksi ini tampaknya cukup mendasar dalam memahami perdebatan semi public tentang’ partisipasi’ dan ‘keterbukaan’ politik yang menghangat di Indonesia dewasa ini.
Anjloknya harga minyak sejak 1985 telah mengeringkan sumber dana yang dikuasai pemerintah.Walaupun LSM tetap dituntut untuk bersikap ‘low profile’ untuk menghindari tujuan meremehkan martabat bangsa, kapasitas mereka untuk memobilisasi dana asing telah memperkukuh pijakan mereka
pemerintah Indonesia. Bank Dunia serta sejumlah negara donor utama secara berkelanjutan
berusaha
melibatkan
organisasi-organisasi masyarakat ke dalam program pembangunan pemerintah yang mereka biayai. Dengan demikian LSM-LSM Indonesia telah semakin menempati peran penengah dalam perancangan program, dalam mengidentifikasi dan memobilisasi kelompok-kelompok
masyarakat
yang
membutuhkan serta menyalurkan dana untuk kelompok-kelompok
tersebut.
Mereka
memanfaatkan peluang
ini
untuk
mengidentifikasikan diri dengan slogan- slogan’ liberalisasi’ dan ‘de-birokratisasi’ yang berhubungan dengan strategi ekonomi terakhir.
Sementara
kebijaksanaan
4 Rajni Kothari, “NGOs, The state and world capitalism” , economic and political weekly, vol. XXI, No. 50, 13 Desember 1986, Hal. 2177-2182.
pemerintah, seperti yang ditunjukkan dengan UU keormasan tahun 1985, mengenakan control yang lebih besar terhadap LSM, meningkatnya pengaruh internasional melalui bantuan dana asing hampir dapat dipastikan akan melumpuhkan dampak pengetattan tersebut pada mereka.
Tentu saja, motivasi perubahan arah kebijaksanaan seperti yang dilakukan badan donor internasional tersebut masih terbuka untuk dipertanyakan. Terdapat dugaan, misalnya bahwa LSM pada kondisi ini sekedar menjadi alat yang dimanfaatkan sebagai bagian dari strategi baru penetrasi kapitalis kedalam wilayah-wilayah pinggiran yang belum terjamah di seluruh dunia ketiga. Proses ini akan meningkatkan tekanan untuk mengkooptasi LSM-LSM besar kedalam struktur negara korporasi dalam aliansi dengan agen-agen capital internasional seperti bank dunia. Struktur ‘ fleksibel’ yang dimiliki LSM-LSM ini menyediakan sarana yang memungkinkan untuk menghindari kontrol birokratik berlebihan terhadap modal, dan pada saat yang sama melancarkan
tanggungjawab publik. 4 Tentu saja anlisis seperti itu dapat terlihat membesar-besarkan sifat monolitik badan-badan internasional. Apapun motivasi yang mendasarinya konflik dengan pemerintah Indonesia mengenai isu- isu yang berkaitan dengan ‘liberalisasi’ dan ‘de-birokratisasi’ akan meningkatkan ruang manuver LSM.
Walau bagaimanapun LSM harus menyeimbangkan bahaya ketergantungan terhadap lembaga-lembaga bantuan asing tersebut dengan kekhawatiran akan kooptasi dari pemerintah. Bantuan asing merupakan sumber utama pemasukan langsung bagi sebagian besar LSM- LSM besar yang pada gilirannya bertindak sebagai penyalur dana bagi banyak kelompok kecil. LSM-LSM sendiri umumnya memiliki beragam sumber pemasukan
lain mencakup kegiatan konsultasi, program-program ekonomi, publikasi serta sumbangan dari pengusah- pengusaha Indonesia sendiri. Namun walaupun
kesemuanya
menampakkan potensi
untuk
terus
berkembang, ketergantungan terhadap bantuan asing berkembang, ketergantungan terhadap bantuan asing
ditempatkan dalam untuk mengembangkan sumber dana
bermanfaat
mempersoalkan pilihan antara musyawarah alternatif yang akan memungkinkan
bergaya hirarkhis atau berbasis luas, LSM/LPSM mempertahankan keabsahan
disamping menjajagi lingkup potensial nasional untuk jangka waktu yang lama.
informalitas didalam struktur pemerintah yang dapat dikuak oleh LSM/LPSM.
Walaupun dipihak lain, tingginya tingkat LSM DAN T UJUAN D EMOKRATISASI informalitas yang diadopsi LSM/LPSM
Walaupun saya tidak memiliki bukti dalam bentuk struktur organisasional mereka sistematis tentang nilai dan aspirasi berbagai
yang dipercaya sebagai persyaratan untuk kelompok komponen yang secara bersama-
hidp, dapat pula sama membentuk “gerakan LSM”, namun
keberlangsungan
berkembangnya struktur tidaklah dapat diasumsikan bahwa komitmen
menyulitakan
demokratis yang memiliki landasan hokum terhadap hak asasi dan partisipasi demoktatik
kukuh, di tingkat lebih rendah. Ini pada dengan sendirinya harus diterjemahkan
mengekakalkan sebagai hasrat untuk menyelenggarakan
gilirannya
akan
ketergantungan mereka pada kehadiran restorasi kea rah demokrasi bergaya Barat di
progresif dan Indonesia. Nilai-nilai kooperatif yang secara
implisit bersifat antitesis terhadap sifat Barangkali keberhasilan utama dari LSM- kompetitif partai-partai politik turut berperan
LSM Indonesia di tingkat makro adalah dalam menentukan etos keseluruhan
kemampuan mereka mengangkat isu-isu yang LSM/LPSM. Ini tidak membawa implikasi
lahir dari pengalaman lapangan ke tingkat pada penerimaan terhadap pengekangan oleh
yang lebih bergaung dalam agenda politik negara baik terhadap organisasi politik
nasional. Pada sepuluh tahun terakhir, agenda maupun kebebasan pribadi. Tradisi voluntarist
ini telah menjadi semakin membengkak dan dimana mereka bergerak sangat menghargai
dalam, sejalan dengan bertambahnya jumlah kebebasan individual. Namun demikian
LSM yang terlibat dan meluasnya segmen orang dapat menangkap adanya dukungan
birokrasi yang terkena terpaan ide-ide mendasar terhadap ide-ide pancasila bahkan
tersebut. LSM/LPSM juga telah melakukan dalam sepanjang pernyataan Petisi 50 pada
mengartikulasikan 1980, yang melontarkan kritik tajam terhadap
keprihatinan yang lebih umum terhadap usaha pemerintah untuk memonopoli
ekologi, dengan persoalan-persoalan hak interprestasi terhadap dasar negara tersebut.
asasi dan demokratisasi memperoleh Analisis
perhatian lebih besar, walau tetap terbatas, menempatkan isu keseimbangan kooperasi
ini, bila
dapat
diterima,
dikalangan kelas menengah. Namun dan otonomi struktur negara dalam
demikian, pemerintah Indonesia tetap belum perspektif yang lain. Interpretasi murni baik
siap untuk mentolerir mobilisasi massa. dari teori demokrasi ortodoks dan prinsip-
dari pengaruh pemerintah, prinsip teori yang menempatkan partisipasi
Terlepas
komunitas LSM Indonesia masih harus masyarakat
mengartikulasikan secara lebih jelas tujuan pembuatan keputusan cenderung akan
sebagai
prasyarat dalam
mereka, dibandingkan dengan India dimana mengukur otonomi dalam arti diferensiasi
strategi empowerment dan model coaltion building yang tajam antara struktur pemerintah dan
lebih memasyarakat walaupun juga masih masyarakat. Pembedaan seperti ini adalah
harus menapaki jalan yang panjang untuk kurang realistis dalam konteks kebudayaan
mencapai sasaran yang diharapkan. Indonesia, karena disini struktur formal dan
informal seringkali bertumpang tindih,
S TATUS H UKUM LSM/LPSM
terutama dilingkup lokal. Ideologi negara sendiri, Pancasila menekankan proses
Ada anggapan kuat di luar Indonesia bahwa musyawarah dan mufakat.
UU organisasi kemasyarakatan yang dikeluarkan 1985 akan sangat memukul UU organisasi kemasyarakatan yang dikeluarkan 1985 akan sangat memukul
badan pelaksana secara sangat leluasa. dan komunitas LSM pun merasa yakin bahwa
Sebagian besar perdebatan publik tentang UU ancaman yang terkandung di dalam UU
keormasan berpusat pada persyaratan untuk tersebut, yang sama sekali tidak baru bagi menempatkan Pancasila dalan AD/ART mereka, dapat dihindari. mereka sebagai azas tunggal yang
Pengaturan yang dikenakan terhadap LSM mengerahkan segenap aktivitas mereka. sebelum 1985 ditujukan terhadap penyaluran
Pemerintah Orde Baru memang telah dana asing, dengan LSM-LSM lokal sebagai
menggunakan Pancasila sebagai instrument pihak yang paling terpengaruh karena
untuk menekankan konformitas ideologis. ketergantungan mereka pada bantuan asing
Organisasi-Organisasi Islam, terutama, telah tersebut. Pada tahun 1973 lembaga-lembaga
banyak menyuarakan kekhawatiran terhadap donor luar negeri diwajibkan menandatangani
Undang-Undang tersebut. Namun demikian, perjanjian yang mencakup tujuan-tujuan
mengingat Pancasila secara historis terbuka umum serta prosedur operasi dengan
terhadap interprestasi yang demokratik dan departemen pemerintah terkait. Proses
pluralis, sebagian besar LSM/LPSM bersikap tersebut dikoordinasikan oleh sebuah komite
yakin bahwa pengaturan ini tak akan di bawah Sekkab (Sekretaris Kabinet). 6 mencabiut mereka dari karakter dan fungsi
Peraturan-peraturan ini, yang sebagian dasar mereka. Perhatian LSM/LPSM sendiri merupakan hasil samping dari konflik antara
lebih ditumpukan terhadap berbagai badan-badan intelijen, Departemen Dalam
ketentuan terinci mengenai pengaturan dan Negeri dan Departemen Sosial, menandai
‘pengarahan’yang membayangi UU ini
awal 8 kebangkitan LSM/LPSM. beserta rangkaian peraturan organiknya. Implementasi peraturan itu tak pernah
Masih banyak pertanyaan yang menggantung berhasil dilaksanakan sepenuhnya. Dalam
bagaimana kemasyarakatan prakteknya, umumnya, atas dasar keberhati-
tentang
didefinisikan. Para juru bicara LSM umumnya hatian, menandatangani berbagai persetujuan
menilai bahwa hanya organisasi massa seperti formal yang disyaratkan, namun dalam
partai politik, organisasi mahasiswa dan pelaksanaannya
pemuda, serta serikat buruh yang terkena. tersebut tak harus dipenuhi pada setiap tahap.
keketatan
persyaratan
Peraturan itu sendiri mengacu pada Laporan
‘organisasi kemasyarakatan’, yang menunjuk pertanggungjawaban
periodik
beserta
pada konteks masyarakat yang lebih luas. Sekkab umumnya telah dianggap memadai.
keuangan
kepada
Namun ketiadaan keanggotaan formal pada Situasi ini pada dasarnya tidak berubah
memberikan dasar setelah dikeluarkan UU Keormasan. Namun
LSM
memang
pengecualian yang lebih kuat. betapapun tidak besarnya dampak yang
UU Keormasan memungkinkan pemerintah selama ini terlihat, hadirnya peraturan untuk menindak keras organisasi-organisasi tersebut telah menempatkan organisasi- yang aktivitasnya dinilai mengancam stabilitas organisasi sosial Indonesia sebagai obyek
dan kesatuan nasional. 9 Namun demikian, ini peraturan dengan potensi pengaruh yang
hanyalah memformalkan kekuatan yang besar, sementara sebelumnya satu-satunya dimiliki pemerintah vis-à-vis segenap jenis persyaratan hokum yang harus dipenuhi organisasi sepanjang periode Orde Baru. hanyalah pendaftaran diri di notaris sebagai Rangkaian ketetapan yang lebih rinci yayasan, yang memungkinkan badan diadakan bagi pengarahan teknis oleh
berbagai Departemen terkait serta bagi
5 Lihat misalnya, Ben Witjes, “The Indonesian law on Social Organisation”, 7 Philip J. Eldridge, Indonesia and Australia: The Politics of Aid and October-November 1986 (Studi Internal bagi NOVIB, Nijmegen, Belanda).
Development Since 1966. Canberra, Australia National University, 6 Peraturan Tentang Kerjasama dan Bantuan Teknik Luar Negeri,
Development Studies Centre Monograph, No. 18, 1980, hal. 140-147. September 1973, Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud. Philip J. Eldridge, Indonesia and Australia: The Politics of Aid and Development Since 1966.
8 Peraturan Pemerintah, No. 18 , April 1986. Canberra, Australia National University, Development Studies Centre
9 Ibid., pasal 18-21.
Monograph, No. 18, 1980, hal. 140-147.
‘pengarahan umum’ melalui struktur sama sekali tidak mendapat tempat dalam Departemen Dalam Negeri. Namun
kondisi Indonesia saat ini. demikian, sejalan dengan masih kaburnya
Pendekatan pertama, berlabel ‘Kerjasama pola pertanggungjawaban, LSM/LPSM tetap
Tingkat-tinggi : Pembangunan Akarrumput’, memiliki keleluasaan untuk memperoleh menekankan kerjasama dalam program- simpati dan perlindungan dari dalam program pembangunan pemerintah dengan birokrasi, mengupayakan penataan adhoc menyusupkan pengaruh terhadap rancangan bersama pejabat lokal dengan formalitas maupun implementasi program-program hukum seminim mungkin. tersebut. Kendatipun LSM-LSM dalam
kategori ini menjalin hubungan kerjasama
yang erat dengan berbagai badan pemerintah P ENCARIAN M ODEL dan pejabat terkait, mereka tidak
O TONOMI
VS
K OOPTASI : U PAYA
menunjukkan ketertarikan untuk mengubah Terdapat tiga jenis umum pendekatan yang
atau merambah lebih jauh ke dalam proses dilakukan berbagai LSM/LPSM dalam hal
politik itu sendiri; mereka membatasi diri penjalinan hubungan dengan pemerintah
pada upaya untuk mempengaruhi kebijakan Indonesia, sebagaimana diindikasikan matriks
melalui badan-badan pemerintah yang secara (tabel 1.)
langsung berkepentingan. Pendekatan serupa Tabel 1.
mereka jalankan pada saat berhadapan dengan penguasa-penguasa lokal, cara yang
efektif untuk Kerjasama
mempertahankan otonomi mereka maupun dengan
otonomi kelompok-kelompok lokal yang Program-
Terba-
merupakan rekan kerja mereka. LSM model Program
ini pada umumnya berangkat dari kelompok- Pemerintah
kelompok kecil berorientasi lokal yang Pembangu
perkembangnnya menjadi organisasi dengan nan atau
Pemba-
Mobili- Mobi-
program berskala besar cenderung tercipta Mobilisasi
secara kebetulan dan bukannya melalui Penetrasi
Mene- perjalanan terencana. Mereka umumnya tetap Struktur
sangat menyadari pentingnya menjalin ngah Negara
Tinggi
Rendah
jaringan ‘akarrumput’ yang efektif yang tidak Hubungan 10 dapat diklasifikasikan sebagai GONGOS.
antara
Pendekatan kedua disebut sebagai ‘Politik Kelompok- Setengah-
Dukung
Tingkat Tinggi: Mobilisasi Akarrumput’. kelompok Bergan-
an
Otono-
Berbeda dengan pendekatan pertama, yang Kecil
timbal- mi
tung
terutama berangkat dari arus utama teori social dengan work , pendekatan kedua
balik
merupakan LSM
gagasan berdasarkan Orientasi
pengembangan
kerangka berpikir teori sosial radikal, yang terhadap
Akomo-
Per-
digabung dengan kritik lebih luas terhadap Struktur
datif
ubahan
falsafah dan praktek Orde Baru. Sambil Negara mempromosikan ‘peningkatan kesadaran’
dan kapasitas self management di kalangan Model ini tidak menyertakan LSM yang
kelompok-kelompok sasaran, mereka juga berorientasi pada aktivitas yang tergolong
status hukum dan murni karitatif. Selain itu diasumsikan pula
mengupayakan
perlindungan terhadap kelompok-kelompok bahwa oposisi terbuka terhadap pemerintah
tersebut dalam berhadapan dengan aparat
10 Akronim dari “Government Organised Non-Government Organisation:. sejumlah organisasi bentukan GOLKAR, seperti SBSI, KNPI, dan KOWANI. Contoh yang tepat dari GONGO adalah Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, yang
GONGO mulai digunakan dalam konteks Inda, mungkin oleh Prof. Rajni didirikan tahun 1969 oleh Departemen Tenaga Kerja. Di dalam dewan
Kothari, op.cit.,
kepengurusannya, duduk para wakil Departemen Tenaga Kerja dan kepengurusannya, duduk para wakil Departemen Tenaga Kerja dan
pembangunan
yang
diselenggarakan pemerintah
walaupun
sebagian menjalankan penelitian atas nama pemerintah-misalnya di bidang lingkungan hidup. Mereka menempati peran pembela masyarakat baik dalam mengupayakan perlindungan dan ruang gerak bagi mobilisasi lokal maupun pada saat bereaksi terhadap isu- isu kebijaksanaan yang berkaitan dengan wilayah perhatian mereka. LSM/LPSM dalam kategori ini pada umumnya memiliki hubungan baik, bila bukan pengaruh, terhadap jaringan militer dan birokrasi serta memantau secara seksama perkembangan politik di Jakarta. Di pihak lain, sejalan dengan kecenderungan untuk menjalin hubungan melalui jaringan sosial yang kuat berlandaskan Islam, beragam formasi kelompok kecil yang mereka sponsori dapat dipandang sebagai penyediaan dukungan infrastruktur informal bagi aktivitas tingkat tinggi yang berorientasi politik.
Fokus kegiatan kelompok ketiga lebih berada di tingkat lokal daripada nasional. Konsep mobilisasi mereka lebih menekankan ‘peningkatan kesadaran’ (consciousness raising) dan kesadaran akan hak, daripada upaya mengubah
kebijaksanaan,
sambil
mengupayakan formasi kelompok otonom tanpa pretensi politis tertentu. Walaupun tetap berusaha mencari posisi hukum dan birokratik yang menyebabkan mereka bisa beroperasi, mereka umumnya menjalani kontak minimal dengan badan-badan pemerintah. Dalam pandangan pendekatan ini, perubahan sosial dan politik kurang bergantung pada ‘persuasi’ dan perubahan kebijaksanaan oleh pemerintah melainkan lebih pada hadirnya kelompok-kelompok mandiri dengan keyakinan bahwa pada waktunya kelompok-kelompok ini akan melahirkan sebuah gerakan masyarakat yang kuat meskipun tidak terstruktur secara informal. Dengan memperkuat hubungan tatap muka dan bukan hubungan organisasi secara formal, mereka juga cenderung untuk meminimalkan keterlibatan mereka dalam tatanan jaringan berskala besar. Pendekatan
ini dapat disebut sebagai ‘Penguatan Akarrumput’.
Ketiga model tersebut pada dasarnya membawa sejumlah orientasi ke arah ‘penguatan’(empowerment)
kelompok- kelompok kecil dalam arti mendorong kapasitas self-management dan melatih kader- kader dari kelompok sasaran yang dibutuhkan untuk menjalani keahlian yang diisyaratkan. Penekanan dalam Model 2 terhadap kesadaran hak dan analisi struktural, misalnya, adalah elemen penting dalam penguatan masyarakat. Namun demikian, Model 1 dan 2 menyertakan ketergantungan berkelanjutan kelompok-kelompok kecil terhadap LSM- LSM yang mensponsori mereka dalam hal menjalankan posisi penengah pada saat berhadapan dengan otoritas pemerintah, bank, maupun badan-badan penentu lainnya. Dalam hal ini, LSM dari Model 3 memiliki orientasi yang lebih konsisten untuk memperkuat
keberdayaan
kelompok- kelompok kecil ini sambil meminimalkan peran penengah mereka sendiri. Di pihak lain, Model 2 dan 3 cenderung memiliki profil yang lebih terekspose ke media massa dalam upaya mengkomunikasikan secara luas beragam gagasan yang mereka perjuangkan.
Dalam membandingkan orientasi masing- masing kelompok terhadap struktur negara (yaitu: pemerintah), terlihat bahwa Model 1 dan 2 menyertakan partisipasi dalam politik birokratik dalam arti mempengaruhi departemen atau pejabat pemerintah dalam hal
formulasi
dan
implementasi kebijaksanaan. Tujuan yang hendak dicapai mencakup: (i) mengarahkan manfaat kebijaksanaan terutama terhadap kelompok- kelompok yang tertinggal dan terbelakang; (ii) penyertaan kelompok-kelompok masyarakat dalam program-program pemerintah; serta (iii) memberi ruang bagi kelompok-kelompok kecil untuk merancang program sendiri. Namun demikian, Model 1 tidak bergerak melampaui tujuan-tujuan pembangunan yang telah dirancang pemerintah, sementara Model
2 berupaya untuk menciptakan ruang bagi ‘kebangkitan kesadaran’, analisis struktural serta kesadaran akan hak sebagaimana juga dimiliki Model 3, walaupun dengan meminimalkan kontak dengan struktur negara. Model 1 tetap membatasi diri pada politik birokrasi, tidak memiliki sedikitpun 2 berupaya untuk menciptakan ruang bagi ‘kebangkitan kesadaran’, analisis struktural serta kesadaran akan hak sebagaimana juga dimiliki Model 3, walaupun dengan meminimalkan kontak dengan struktur negara. Model 1 tetap membatasi diri pada politik birokrasi, tidak memiliki sedikitpun
dari politik aliran. 11 Harus ditekankan bahwa kendatipun terdapat
serangkaian perbedaan, LSM-LSM Indonesia memiliki
secara bersama sejumlah karakteristik tertentu. Pertama adalah orientasi mereka terhadap penguatan kelompok-kelompok masyarakat sebagai basis dari tumbuhnya sebuah masyarakat yang sehat dan sebagai kekatan penyeimbang terhadap pemerintah. Ini berkaitan dengan sebuah pencarian kreatif terhadap pola-pola baru formasi kelompok untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan sosial yang terus berubah
serta mengatasi struktur keterbelakangan dan ketidakberdayaan yang terus berkembang. Kedua adalah komitmen yang umumnya kuat terhadap ide-ide partisipasi masyarakat luas dalam pembuatan keputusan. Walaupun tak terelakkan terdapat berbagai corak ketidakkonsistenan baik dalam batasan maupun implementasi, ketiga kelompok tersebut telah mengembangkan praksis yang dapat dikenali dalam hal ini. Terakhir, terlepas dari banyaknya ketegangan, rivalitas birokratis, serta perbedaan ideologis, agama maupun kepribadian, adalah absah untuk berbicara tentang sebuah masyarakat LSM Indonesia dengan banyak irisan personal dan institusional, yang menyediakan basis dukungan, pertukaran ide dan
11 Diskusi klasik tentang aliran dilakukan, dalam konteks politik ‘konstitusional’ di tahun 1950-an, oleh C. Geertz, The Religion of Java,
London, Collier-Macmillan, 1960.
pengalaman serta pemilikan bersama sumber daya, yang dapat dijadikan front bersama di berbagai tingkat bagi mereka yang mengidentifikasikan
diri terhadap serangkaian gagasan ideal tersebut.
Adanya sejumlah ketumpangtindihan dan kesamaan
karakteristik seperti yang ditunjukkan di atas menandakan bahwa upaya pengkategorisasian LSM haruslah dilakukan dengan berhati-hati. Masing-masing LSM dalam perjalanannya menarik ide dan karakteristik dari LSM lainnya sementara konteks dimana mereka beroperasipun secara tetap harus berubah. Dengan demikian penelaahan tentang orientasi dominan sejumlah LSM yang dijadikan sample yang akan dipaparkan berikut ini, secara tak terelakkan akan dilakukan dengan kasar. Namun tujuan utama penelaahan itu sendiri adalah untuk mencapai pemahaman yang lebih
baik
terhadap isu-isu yang
diperdebatkan
daripada sekedar menempatkan pengelompokan secara akurat dalam kotak-kotak yang telah sebelumnya rapih dirancang. Diskusi tentang Model 1 akan didasarkan pada pengalaman YIS (Yayasan Indoesia Sejahtera), yang bergerak di bidang kesehatan dan pengembangan masyarakat (community development); serta Bina Swadaya, yang mengembangkan usaha simpan pinjam, kredit, dan koperasi informal, usaha bersama . Model 2 diwakili oleh Lembaga Studi Pembangunan (LSP), yang bergerak terutama di sektor informal kota; serta upaya pengembangan kesadaran sosial di kalangan pesantren oleh LP3ES. Jaringan kerja yang terkait dengan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mencakup elemen dari kedua pendekatan tersebut . Hal sama berlaku pula untuk
kelompok-kelompok yang berhubungan dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang beroperasi di lapangan hukum dan hak asasi. Model 3 diwakili oleh dua kelompok yang lebih kecil berpusat di Yogyakarta. Kedua kelompok ini terlibat dalam upaya mobilisasi berkaitan dengan persoalan hak asasi, perjuangan buruh dan pengusiran akibat proyek-proyek
kontruksi candi dan kontruksi candi dan
Model 1 Kerjasama Tingkat Tinggi :
Pembangunan Akar Rumput
(i) Bina Swadaya Pada kurun 1980an, Bina Swadaya
mengalihkan orientasi utama mereka dari pengembangan kelompok-kelompok usaha bersama (UB) menjadi keterlibatan yang substansial
dalam
program-program
pemerintah, dengan alasan bahwa kerjasama seperti itu telah menjadi keniscayaan agar gagasan-gagasan mereka dapat memiliki dampak berskala luas. Jumlah UB yang didukung orientasi tersebut telah menyurut secara drastis dari 591 buah di tahun 1981
menjadi 289 di tahun 1988. 12 Strategi yang
dijalankan Bina Swadaya dalam kerjasama mereka
mengalihkan UB kepada program-program Keluarga Berencana, transmigrasi dan pengembangan petani kecil.
Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di Pasaman Barat, Sumatra Barat merupakan contoh yang baik. Disini sebuah asosiasi kelompok- kelompok petani kecil Badan Koordinasi Antar Kelompok (BKAK) dibentuk dengan tujuan memperkuat posisi tawar petani dalam berhadapan dengan perusahaan-perusahaan swasta yang ditunjuk Departemen Pertanian sebagai pemasok alat-alat pertanian. Ide ini bertolakbelakang dengan skema standar PIR dimana para petani kecil harus menangani kebutuhan mereka dengan perusahaan secara individual. Asosiasi ini kini melibatkan sekitar
12 Sumber-sumber Bina Swadaya 13 Konsep Akhir LAporan Penelitian, Surveyof Self Help Groups in Indonesia – Kasus : LPSM Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Kerjasama
2400 petani yang terorganisasi dalam kelompok-kelompok lokal dan badan-badan daerah yang memiliki dewan kepengurusan yang mampu menangani segenap fungsi manajemen sendiri. Ini telah membawa hasil, misalya dengan menurunnya secara drastis jumlah kasus kegagalan pembayaran hutang akibat mismanajemen yang sebelumnya sering terjadi. Tingkat pembayaran kembali hutang yang sedemikian mengesankan telah mendorong Bank Pembangunan Sumatra Barat untuk tidak lagi memberlakukan persyaratan akan sertifikat tanah sebagai jaminan tanah yang lazim dikenankan dan seringkali menjadi pangkal ketegangan di banyak program pembangunan pedesaan. Sebagai langkah lanjut BKAK juga telah mendirikan LSM sendiri bernama Yayasan Suluh Desa yang menyelenggarakan program pendidikan, kesehatan, peternakan, tambak ikan, warung dan juga lokakarya.
Bina Swadaya juga telah mengadakan perundingan dengan Bank Rakyat Indonesia, sejumlah bank Jerman Barat serta lembaga donor lainnya dalam rangka memperoleh perluasan fasilitas bantuan bagi para petani kecil dan kelompok-kelompok swakarya lainnya. Bina Swadaya dalam kaitan ini berperan sebagai pihak penjamin dan penengah dalam mengidentifikasi dan menyalurkan dana bantuan bagi kelompok-
kelompok tersebut. 13 Lebih kontroversial lagi adalah upaya Bina Swadaya untuk bekerjasama dan mempengaruhi organisasi petani dan nelayan yang bernaung di bawah
payung GOLKAR, HKTI. 14 Sementara sebagian besar aktivis LSM meragukan manfaat yang bisa diperoleh dari keterlibatan dalam organisasi seperti itu, Bina Swadaya justru melihatnya sebagai kelompok loby yang potensial dalam kaitannya dengan penentuan harga, penyediaan input dan jasa serta untuk menyalurkan keluhan mengenai sertifikat tanah. Dana bantuan disalurkan kepada sejumlah kelompok HKTI lokal untuk membentuk usaha bersama. Dalam hal ini HKTI tampak dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengimbangi monopoli dalam
antar Bank Indonesia, Jakarta dengan Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,1987.
14 Direktur Bina Swadaya, Bambang Ismawan, adalah juga Sekretaris Himpunan Kerukunan Tani Indonesia.
pemasaran hasil-hasil pertanian yang dijalankan KUD sebagaimana diatur dalam
INPRES, No. 4, 1984. 15
(2) Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) YIS, yang semula bernama Yayasan
Kesehatan Umat Kristen (YAKKUM) dan didirikan di Solo tahun 1950-an, bergerak di wilayah program-program pengembangan masyarakat dalam spektrum yang luas, dengan pusat perhatian pada kesehatan masyarakat beserta latihan dan pendidikan yang berkaitan dengannya. Strategi yang mereka jalankan dalam mengembangkan kelompok-kelompok kecil sangat bergantung pada struktur komunitas formal dan informal yang tersedia. Polanya dari lokasi ke lokasi berbeda mengikuti sikap yang ditunjukkan otoritas lokal. Berbeda dengan Bina Swadaya, program latihan YIS senantiasa terbuka untuk semua orang, bahkan terdapat banyak program latihan yang secara khusus dirancang bagi para pejabat pemerintahan lokal. Ini pada gilirannya menjadikan YIS dikenal dan memiliki hubungan kerja yang erat dengan sejumlah badan pemerintah, seperti Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana. YIS telah berulangkali diminta untuk menyelenggarakan program-program latihan tingkat nasional serta berpartisipasi dalam memformulasikan kebijakan dan program pemerintah.
Intervensi di awal 1970-an oleh Departemen Dalam Negeri terhadap pengembangan masyarakat tingkat desa telah menimbulkan banyak persoalan bagi YIS, sebagaimana juga terhadap banyak LSM lainnya. Pendekatan yang dilakukan oleh Bangdes cenderung bersifat memaksakan tujuan dan sasaran dengan wadah bentukan yang kosong seperti
LKMD, dan sangat bergaya ’atas-bawah’. 16
Dalam beberapa kasus, YIS dipaksa untuk meninggalkan wilayah dimana mereka mengembangkan kegiatan selama bertahun-
15 HKTI dikontrol Departemen Pertanian, dan tampaknya bersang dengan KUD, yang berada di bawah naungan Departemen Koperasi
16 Seluruh program pengembangan masyarakat semula diharapkan dapat dilebur ke dalam struktur LKMD. Rangkaian program tersebut kemudian
dipilah ke dalam berbagai seksi di bawah pengawasan Lurah. Pada kenyataannya, kebanyakan LKMD tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga baik program pemerintah maupun non-pemerintah umumnya dinegosiasikan langsung dengan pihak otoritas lokal.
tahun, namun dapat bertahan dengan mempererat hubungan baik dengan Bupati serta berusaha mengkonsentrasikan kegiatan hanya pada wilayah yang tidak mengundang
kecurigaan pemerintah. 17 Pada masa genting- genting inilah, YIS menarik perhatian Gubernur Jawa Tengah pada masa itu, Supardjo Rustam, yang belakangan menhadi Menteri Dalam Negeri dan sangat membela perkembangan LPSM/LSM.
Program-program yang diprakarsai oleh YIS dan YAKKUM di Solo dalam lapangan kesehatan anak, rehidrasi oral, nutrisi dan keluarga berencana yang dikaitkan dengan lembaga-lembaga tradisional seperti arisan, dimasukkan ke dalam sejumlah program resmi pemerintah. Beberapa diantaranya dipadukan ke dalam sistem kesehatan terpadu di desa-desa, di bawah program Posyandu yang dikembangkan sejak 1984. Para pekerja YIS sendiri menyatakan keprihatiannya terhadap implementasi Posyandu yang dinilai terlalu menekankan keseragaman dan cenderung bersifat ‘atas-bawah’, dengan mengabaikan karakteristik lokal yang spesifik maupun harapan-harapan masyarakat itu sendiri. Dalam kondisi seperti itu dikhawatirkan motivasi para kader yang senantiasa menjadi faktor kunci keberhasilan YIS akan melemah. Apa yang dihadapi YIS ini mencerminkan persoalan-persoalan yang berulangkali
hadir
dalam bidang pengembangan masyarakat, pada saat upaya dilakukan untuk mereplikasikan pendekatan berskala kecil dan diprakarsai secara lokal ke dalam program-program nasional.
Bahkan dalm program-program lokal yang dikembangkan, YIS diwajibkan untuk bekerja melalui struktur resmi pemerintah, terutama melalui PKK-sebuah organisasi yang sering kali oleh para feminis dipandang sebagai organisasi mengukuhkan stereo-type tentang peran
wanita
dan
menyulitkan pengembangan formasi kelompok-kelompok wanita otonom. 18 Bagi YIS sendiri, walau
17 Eldridge, Indonesian and Australia….., op.cit., hal. 145-147 18 Norma Sullivan, “Indonesian Women in Development: State Theory and
Urban Kampung Practice”, dalam Lenore Manderson (ed.), Women’s Work and Women’s Role: Economics and Everyday Life in Indonesia, Malaysia,
and Singapura, Canberra, The Australian National University, Development Studies Centre Monograph, No. 32, hal. 147-171.
bagaimanapun PKK menyediakan kerangka kerja yang memungkinkan pengembangan struktur self-management secara informal, terutama bila dikaitkan dengan pranata tradisional seperti arisan.
Secara jelas terlihat tidak satupun dari kedua organisasi yang disebut diatas dapat sepenuhnya berada di luar politik birokratik, kendati keterlibatan mereka pada tingkat yang lebih tinggi masih berada pada tahap yang relatif dini. Kondisi kesejarahan awal mereka menyebabkan keduanya memelihara orientasi yang kuat ke arah formasi kelompok- kelompok otonom, walaupun konteks nasional dan pengambilan keputusan yang lebih kompleks dimana mereka beroperasi terus menuntut mereka untuk menjalankan peran penengah yang semakin melebar. YIS telah berusaha untuk mengimbangi bahaya keterputusan hubungan dengan jaringan akarrumput melalui perluasan hubungan kerja dengan LSM-LSM yang lebih kecil dan mempromosikan jaringan kader antar wilayah.
Model 2 Politik Tingkat Tinggi : Mobilisasi Akar
Rumput
(i) Lembaga Studi Pembangunan LSP merupakan bagian dari “gelombang
baru” (new wave) LSM-LSM yang lahir dari pergolakan politik kurun 1970-an yang menghasilkan iklim radikalisme di kalangan kelompok-kelompok mahasiswa, intelektual, dan Islam. Merasa frustasi dengan kegagalan perjuangan untuk mencapai reformasi politik dan berhadapan dengan penekanan terhadap para aktivis mahasiswa yang diikuti dengan gerak pemerintah untuk menegaskan kembali
hegemoni dan konformitas ideologis, 19
kelompok-kelompok ini berusaha merambah dukungan basis massa baru, dengan menggunakan program-program sosial ekonomi yang dipandang sebagai sarana yang memadai untuk mencapai tujuan tersebut.
LSP melihat upaya pengembangan koperasi sebagai
cara yang penting untuk menghubungkan aspek-aspek mikro dan makro perjuangan masyarakat dan sebagai
19 Misalnya melalui kewajiban mengikuti P4 terhadap pegawai negeri dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
cara non-revolusioner dan non-kekuasaan untuk mengalihkan sumber daya serta kecakapan self-management kepada kelompok- kelompok yang lebih lemah. Pendekatan ini merupakan bagian dari gerakan Islam yang lebih luas untuk mempromosikan koperasi sebagai jalan tengah antara individualisme kapitalis dan kolektivisme. Legitimasi konstitusional yang berangkat dari ayat 33 UUD 45 yang mengidealkan penanganan koperasi terhadap sumber daya nasional, yang pada gilirannya akan memperkuat kedaulatan nasional melawan dominasi kapitalis asing.
LSP sangat menekankan pendaftaran koperasi-koperasi
yang bernaung dibawahnya, sementara Bina Swadaya memilih untuk memanfaatkan ketetapan perundang-undangan yang memungkinkan dibentuknya lembaga-lembaga antara dalam rangka mengembangkan usaha bersama yang terstruktur lebih informal. Terdapat banyak pro dan kontra dalam argumentasi ini, namun LSP berpendirian bahwa selain akan membantu memperoleh akses yang lebih terjamin terhadap kredit murah, pendaftaran secara informal juga akan memungkinkan kelompok berintegrasi dan bernegosiasi dengan pihak yang berwenang sehingga dapat menjadi bagian absah dari struktur politik. Sebaliknya,
kelompok-kelompok yang berorientasi terhadap Model 3 dan Model 1 lebih memilih usaha bersama.
LSP berkonsentrasi dalam mengembangkan koperasi di kalangan pedagang kaki lima dalam sektor informal, dengan mensponsori federasi di Jakarta dan Yogyakarta. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar
koperasi
dapat menjalankan pengelolaan sendiri (self-managing) secara efektif, walaupun LSP yang berperan dalam mengusahakan akses terhadap kredit murah yang disalurkan Bukopin. Lebih dari itu, LSP dan federasi-federasi yang disponsorinya telah melakukan mobilisasi secara aktif untuk memperoleh jaminan akan keberlangsungan lokasi dan kios yang ditempati para pedagang kaki lima tersebut. Pada tahun 1985 tuntutan ini diterima oleh Pemerintah Daerah Yogyakarta, yang sekarang mendorong dapat menjalankan pengelolaan sendiri (self-managing) secara efektif, walaupun LSP yang berperan dalam mengusahakan akses terhadap kredit murah yang disalurkan Bukopin. Lebih dari itu, LSP dan federasi-federasi yang disponsorinya telah melakukan mobilisasi secara aktif untuk memperoleh jaminan akan keberlangsungan lokasi dan kios yang ditempati para pedagang kaki lima tersebut. Pada tahun 1985 tuntutan ini diterima oleh Pemerintah Daerah Yogyakarta, yang sekarang mendorong
Koperasi perumahan yang dibangun di desa Cimeka, Jawa Barat pada 1983, diprakarsai para pimpinan buruh industri tekstil yang frustasi dengan upah yang rendah dan ketiadaan
kebebasan.
Pembangunan