PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK MORAL DAN PER

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
“MORAL DAN PERKEMBANGANNYA”

Kelompok 10

 Ris Suliandari
 Syahrian Rozani
 Zahratun Nanzah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Mataram
TP 2017/2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas limpahan
anugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Moral dan
Perkembangan
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan di masa akan datang.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan penulis selaku penyusun
dan bagi pembaca penulis minta maaf jika terjadi kesalahan. Akhir kata penulis ucapkan terima
kasih.

Mataram, 03 Oktober 2017

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Moral Menurut Para Ahli

B. Bentuk Penyimpangan Moral Peserta Didik Sesui Perkembangan Zaman
C. Cara Memperbaiki Moral Peserta Didik
D. Tahapan-tahapan Perkembangan Moral Peserta Didik
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dahulu Indonesia dikenal sebagai negara yang ramah, berpenduduk penuh etika dan sopan
santun.Masyarakat masih menjunjung tinggi tata krama dalam pergaulan sebagaimana anak
bersikap kepada orang yang lebih tua maupun hubungan antar teman.
Namun seiring laju perkembangan zaman dan perubahan cepat dalam teknologi informasi
telah merubah sebagian besar masyarakat dibelahan dunia.Sebagaimana telah diketahui dengan
adanya kemajuan informasi di satu sisi masyarakat merasa diuntungkan dengan adanya media
yang membahas seputar masalah dan kebutuhan mereka. Dengan adanya hal tersebut, media
telah menyumbang peran besar dalam pembentukan budaya dan gaya hidup yang akan

mempengaruhi moral . Namun sebagian besar media ini juga membawa dampak
negatif .Berbagai masalah yang muncul tak terkendali, generasi muda terpelajar baik pelajar
maupun mahasiswa harapan bangsa tawuran antara sesama bagaikan lawan yang abadi.Oleh
karena itu generasi muda memerlukan perbaikan yang lebih melalui membangun pendidikan
karakter.Hilangnya moral adalah suatu hal yang telah banyak disaksikan di seluruh pelosok bumi
nusantara, termasuk di Indonesia.
Generasi muda yang seharusnya menjadi tumpuhan masa depan bangsa tidak lagi dapat
diharapkan. Walaupun tidak sedikit juga para remaja yang telah banyak menulis tinta emas
dalam sejarah bangsa di dunia Internasional.Namun tidak sedikit juga para remaja ini yang salah
jalan. Mereka bahkan tidak sadar akan keberadaannya dan siapa dirinya sendiri.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini, antara lain:

1.
2.
3.
C.

Apa yang di maksud dengan moral ?
Bagaimana Bentuk Penyimpangan Moral Sesui Perkembangan Peserta Didik?

Bagaimana Cara Memperbaiki Moral Peserta Didik?
Tujuan
Adalah untuk mengetahui sejauh mana perkembangan moral yang dialami peserta didik dan
solusi untuk mengatasinya.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Moral Menurut Para Ahli
Pengertian Moral menurut Gunarsa adalah rangkaian nilai tentang berbagai macam
perilaku yang harus dipatuhi. Istilah moral sendiri berasal dari kata mores yang berarti tata cara
dalam kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan.
Pengertian Moral Menurut Shaffer adalah kaidah norma dan pranata yang mengatur
perilaku individu dalam hubungannya dengan masyarakat dan kelompok sosial. Moral ini
merupakan standar baik dan buruk yang ditentukan oleh individu dengan nilai-nilai sosial budaya
di mana individu sebagai anggota sosial.
Menurut Rogers, Pengertian Moral adalah aspek kepribadian yang diperlukan seseorang
dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, seimbang dan adil. Perilaku moral ini
diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, keharmonisan dan
ketertiban.

Menurut Kohlberg, penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan
dari moral ini bukanlah soal perasaan atau nilai, malainkan selalu mengandung suatu tafsiran
kognitif terhadap keadaan dilema moral dan bersifat konstruksi kognitif yang bersifat aktif
terhadap titik pandang masing-masing individu sambil mempertimbangkan segala macam
tuntutan, kewajiban, hak dan keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang baik dan juga adil.
kesemuanya ini merupakan tindakan kognitif.
Kohlberg juga mengatakan bahwa terdapat pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan
formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan moralnya.
Kolhberg juga membenarkan gagasan Jean Piaget yang mengatakan bahwa pada masa remaja
sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral. Adanya
kesejajaran antara perkembangan kognitif dengan perkembangan moral dapat dilihat pada masa
remaja yang mencapai tahap tertinggi dari perkembangan moral, yang kemudian ditandai dengan
kemampuan remaja menerapkan prinsip keadilan universal pada penilaian moralnya.
B. Bentuk Penyimpangan Moral Sesui Perkembangan Peserta Didik
Beraneka ragam tingkah laku atau perbuatan remaja yang menyimpang dari moral sering
menimbulkan kegelisahan dan permasalah terhadap orang lain. Penyimpangan moral tersebut
dapat berwujud sebagai kenakalan atau kejahatan. Berikut di bawah ini adalah beberapa contoh
dari penyimpangan –peyimpangan moral pada remaja yang sering terjadi dan muncul dalam
media-media pemberitaan :

1. Membolos
Membolos sekolah adalah perbuatan yang menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang
bermanfaat (Mahmudi, 2014). Membolos adalah budaya yang umum di Indonesia. Orang dewasa
pun melakukannya. Penulis pernah melihat sendiri para PNS jajan di warung angkringan saat jam
kerja. Belanja di pasar juga saat jam kerja. Dan hal inilah juga ditiru olahe remaja kita. Penulis

juga pernah melihat para siswa SMA jajan/nongkrong di angkringan saat jam sekolah. Makan
dan minum di warung burjo saat jam sekolah. Sungguh kebiasaan yang jelek yang harus dihapus.
2. Menyontek
Menyontek merupakan tindak kecurangan dalam tes, melalui pemanfaatan informasi yang
berasal dari luar secara tidak sah (Sujana dan Wulan, 1994). Perilaku menyontek harus
dihilangkan, karena hal tersebut sama artinya dengan tindakan kriminal mencuri hak milik orang
lain. Namun nyatanya perilaku menyontek semakin mengalami peningkatan (McCabe, 2001).
Perilaku menyontek telah merambah ke berbagai penjuru, mulai dari tingkat dasar hingga
perguruan tinggi. Tak hanya dilakukan oleh siswa maupun mahasiswa yang berprestasi rendah,
tetapi juga siswa serta mahasiswa yang berprestasi tinggi pernah melakukannya. Sebagaimana
survey yang dilakukan oleh Who’s Who Among American High School Student, menunjukkan
bahwa mahasiswa terpandai mengakui pernah menyontek, untuk mempertahankan prestasinya
(Parsons dalam Mujahidah, 2009).
3. Penggunaan Narkoba

Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya
lainnya yang jika dikonsumsi atau masuk ke dalam tubuh manusia baik secara oral atau diminum,
dihirup atau disuntukkan dapat mengubah pikiran, suasana hati dan pikiran seseorang. Narkoba
dapat menimbulkan ketergantungan fisik maupun psikologis.
Globalisasi dan modernisasi tidak dapat dipungkiri lagi telah mendatangkan keuntungan
bagi manusia. Arus informasi yang masuk ke negeri ini semakin sulit dibendung. Dampak
negatifnya, banyak remaja yang terjerumus mengikuti budaya asing yang tidak sesuai dengan
budaya Indonesia, misalnya seks pranikah dan maraknya penyalahgunaan Narkoba (Primatantari
dan Kahono, Unknown Time).
Pengguna narkoba biasanya dimulai dengan coba-coba yang bertujuan sekedar memenuhi rasa
ingin tahu remaja, namun sering keinginan untuk mencoba ini menjadi tingkat ketergantungan.
Tingkat pengguna narkoba sendiri dapat dibagi menjadi (1) pemakai coba-coba, pemakaian
sosial (hanya untuk bersenang-senang), (2) pemakaian situasional (pemakaian pada saat tegang,
sedih, kecewa dan lain-lain), (3) penyalahgunaan (pengunaan yang sudah bersifat patologis) dan
(4) tahap yang lebih lanjut atau
Sejak 2010 sampai 2013 tercatat ada peningkatan jumlah pelajar dan mahasiswa yang menjadi
tersangka kasus narkoba. Pada 2010 tercatat ada 531 tersangka narkotika, jumlah itu meningkat
menjadi 605 pada 2011. Setahun kemudian, terdapat 695 tersangka narkotika, dan tercatat 1.121
tersangka pada 2013. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada data tersangka narkoba
berstatus mahasiswa. Pada 2010, terdata ada 515 tersangka, dan terus naik menjadi 607

tersangka pada 2011. Setahun kemudian, tercatat 709 tersangka, dan 857 tersangka di tahun
2013. Sebagian besar pelajar dan mahasiswa yang terjerat UU Narkotika, merupakan konsumen
atau pengguna.
4. Pergaulan Bebas
Dewasa ini pergaulan bebas yang mengarah pada perilaku sex pra nikah (berkencan,
berpegangan tangan, mencium pipi, berpelukan, mencium bibir, memegang buah dada di atas
baju, memegang buah dada di balik baju, memegang alat kelamin di atas baju, memegang alat

kelamin di bawah celana, dan melakukan senggama) sudah menjadi sesuatu yang biasa, padahal
hal tersebut tidak boleh terjadi.
Dalam kehidupannya, remaja tidak akan pernah lepas dari apa yang dinamakan “percintaan”.
Hampir seluruh remaja di dunia, termasuk Indonesia, mempunyai suatu budaya untuk
mengekspresikan percintaan tersebut, yakni dengan apa yang biasa disebut “pacaran”. Pacaran
merupakan hal yang sudah lazim di kalangan remaja saat ini. Cara mereka mengisi pacaran pun
bermacam-macam, mulai dari yang biasa sampai yang luar biasa yang tidak diterima karena telah
melanggar ketentuan norma yang ada. Salah satu cara yang paling tidak diterima di masyarakat
adalah seks bebas (Karmila, 2011).
5. Tawuran
Istilan tawuran sering dilakukan pada sekelompok remaja terutama oleh para pelajar sekolah,
yang akhir-akhir ini sudah tidak lagi menjadi pemberitaan dan pembicaraan yang asing lagi.

Kekerasan dengan cara tawuran sudah dianggap sebagai pemecah masalah yang sangat efektif
yang dilakukan oleh para remaja. Hal ini seolah menjadi bukti nyata bahwa seorang yang
terpelajar pun leluasa melakukan hal-hal yang bersifat anarkis, premanis, dan rimbanis. Tentu
saja perilaku buruk ini tidak hanya merugikan orang yang terlibat dalam perkelahian atau
tawuran itu sendiri tetapi juga merugikan orang lain yang tidak terlibat secara langsung (Julianti,
2013).
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di
Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar.
Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat
194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada
230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban
meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban
cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di
tiga tempat sekaligus (Setyawan, 2014).
6. Perkosaan
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin raperen yang berarti mencuri, memaksa,merampas,
atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu
seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai
melanggar menurut moral dan hukum dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan
hukum (Wignjosoebroto, 1997).

Sejak tahun 2012 hingga 2014 bulan Juli, kasus aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta orang
dengan rician per tahun kasus aborsi 750 ribu per tahun atau 7 ribu dalam sehari dan 30 persen
pelakunya adalah remaja SMP dan SMA. Fenomena tingginya remaja melakukan aborsi karena
akibat perkosaan dan hubungan suka sama suka (Ardiantofani, 2014). Dalam Republika.co.id
(Sadewo, 2014), Indonesia Police Watch (IPW) melihat kecenderungan meningkatnya angka
perkosaan di Indonesia tahun ini. Menurut Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, meski belum
memiliki angka pasti untuk tahun ini, namun kecenderungan tersebut telah terlihat. Tahun 2013
setiap bulan tiga sampai empat kasus perkosaan di seluruh indonesia. Tahun 2014, empat hingga

enam setiap bulan. Tercatat, hingga 50 persen pelaku perkosaan adalah anak berusia di bawah 20
tahun. Sebagian dari para remaja memperkosa teman perempuannya.
7. Mabuk-mabukan
Pergaulan remaja juga berpotensi menimbulkan keresahan sosial karena tidak sedikit para
remaja yang terlibat pergaulan negatif mabuk-mabukan. Tindakan ini selain mengganggu
ketertiban sosial juga sangat merugikan kesehatan mereka sendiri (Surbakti, 2009).
C. Cara Memperbaiki Moral Peserta Didik
Adapun salah satu cara memperbaiki moral yakni dengan melakukan Pembinaan Moral
Pembinaan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama, karena nilai-nilai moral
yang tegas, pasti dan tetap, tidak berubah karena keadaan, tempat dan waktu adalah nilai yang
bersumber dari agama (Daradjat, 2000:131). Menurut Franz Magnis Suseno, moral dipahami

sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, peraturan-peraturan, patokanpatokan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang
baik. Sumber langsung ajaran moral dapat berupa agama, nasehat para bijak, orang tua, guru dan
sebagainya. Dari sini dapat dipahami bahwa sumber ajaran moral meliputi agama, tradisi, adat
istiadat, dan ideologi-ideologi tertentu.
1. Pengertian Pembinaan Moral
Norma-norma moral adalah kriteria untuk menetapkan benarsalahnya perilaku manusia dilihat
dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku perbuatan tertentu dan
terbatas, sehingga penilaian moral selalu berbobot, tidak dilihat dari salah satu segi saja
melainkan sebagai manusia. Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya Child Development berkata
bahwa :
True Morality is behavior which conforms to social standards and which is also carried out
voluntarily by the individual. It comes with the transition from external to internal authority and
consists of conduct regulated from within. It is accompanied by a feeling of personal
responsibility for the act. It involves giving primary consideration to the welfare of the group,
while relegating personal desires or gains to a position of secondary importance.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pembinaan sebagai suatu pembangunan
(Poerwadarminto, 1987:141). Sedangkan kata moral berasal dari bahasa latin yaitu mores, dari
suku kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, dan akhlak (Cholisin, 1987:24).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata moral memiliki arti sebagai berikut.
a. Ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi
pekerti dan susila.
b. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin dan
sebagainya, isi hati atau keadaan sebagimana terungkap dalam perbuatan.
c. Ajaran susila yang dapat diukur dari suatu cerita.
Menurut Amin Suyitno yang dikemukakan kembali oleh Soenarjati Cholisin (1987:24), Moral
diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, yang susila. Purwa Hadiwardoyo
memperkuat pendapat tersebut dengan menyatakan :

Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut sebagai orang yang tidak
bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral. Maka secara sederhana
mungkin dapat menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusia
(Hadiwardoyo, 1990:13).Berbagai pendapat tersebut meskipun berbeda rumusannya, namun
memiliki kesamaan arti. Moral disepakati sebagai sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya
dengan jiwa yang baik, benar salah atau baik buruknya perbuatan yang berhubungan dengan
batin. Ukuran penentuannya adalah berdasarkan tingkah laku yang diterima oleh
masyarakat. Dengan demikian pembinaan moral merupakan suatu tindakan untuk mendidik,
membina, membangun watak, akhlak serta perilaku seseorang agar orang yang bersangkutan
terbiasa mengenal, memahami dan meghayati sifat-sifat baik atau aturan-aturan moral yang
kemudian disebut dengan internalisasi nilai-nilai moral pada diri seseorang.
Proses Pembinaan Moral
Pembinaan moral harus dilaksanakan terus-menerus sejak seseorang itu lahir sampai matinya,
terutama sampai usia pertumbuhannya sempurna, karena setiap anak dilahirkan dalam keadaan
belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah dan belum tahu batas-batas dan
ketentuan-ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungan di mana ia hidup.
Dalam pertumbuhan dan pembinaan moral sebenarnya yang didahulukan adalah tindak moral
(moral behavior). Caranya yaitu dengan melatih anak untuk bertingkah laku menurut ukuranukuran lingkungan di mana ia hidup sesuai dengan umur yang dilaluinya. Setelah si anak terbiasa
bertindak sesuai yang dikehendaki oleh aturan-aturan moral dan kecerdasan serta kematangan
berpikir telah tercapai, barulah pengertianpengertian yang abstrak diajarkan. Juga perlu diingat
bahwa pengertian tentang moral belum menjamin adanya tindakan moral. Banyak orang tahu
bahwa suatu perbuatan adalah salah, tetapi dilakukannya juga perbuatan tersebut.
Moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajarinya saja tanpa
membiasakan hidup bermoral dari kecil. Ringkasnya, moral itu berawal dari tindakan menuju
pengertian dan bukan sebaliknya. Pendidikan moral yang paling baik terdapat dalam agama,
karena nilai-nilai moral yang tegas, pasti dan tetap serta tidak berubah-ubah karena keadaan,
tempat dan waktu adalah nilai-nilai yang bersumber dari agama. Nilai-nilai yang dapat dipatuhi
dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan beragama.
Tegasnya, kehidupan moral tidak dapat dipisahkan dari keyakinan beragama. Menurut Zakiah
Daradjat, pembinaan moral dapat dilakukan dengan dua kemungkinan, yaitu:
a. Melalui Proses Pendidikan
Pembinaan moral agama model ini dilakukan sesuai dengan syarat-syarat psikologis dan
paedagogis dalam ketiga lembaga pendidikan, yaitu: keluarga (rumah tangga), sekolah, dan
masyarakat.
1) Pendidikan Moral dalam Rumah Tangga. Hal-hal yang perlu dan harus diperhatikan dalam
mendidik moral anak adalah: (1) kerukunan hubungan ibu-bapak dalam berrumah tangga
sehingga tercipta suasana harmonis dalam lingkungan keluarga, (2) keteladanan orang tua dalam
menjalankan ajaran agama, (3) membiasakan anak mematuhi ajaran agama dan menjauhi
larangannya sedari kecil. Ringkasnya, membiasakan anak untuk hidup bermoral baik sejak dini,

(4) orang tua harus tahu cara mendidik dan mengerti ciri-ciri khas dari setiap umur yang dilalui
anaknya. (5) orang tua hendaknya menjamin kebutuhan fisik, jiwa dan sosial anak.
2) Pendidikan Moral di Sekolah. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah: (a) Jadikanlah sekolah
sebagai lapangan sosial bagi anak di mana pertumbuhan mental, moral, sosial dan segala aspek
kepribadian berjalan dengan baik. (b) Pendidikan agama harus dilaksanakan secara intensif baik
di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. (c) Ciptakanlah lingkungan (baik guru,
pegawai, buku, peraturan dan peralatan) yang dapat membawa anak-anak kepada pembinaan
mental yang sehat, moral yang tinggi serta pengembangan bakat. (d) Pelajaran-pelajaran di
sekolah haruslah mengindahkan peraturan-peraturan moral dan nilai-nilai agama baik dalam teori
maupun prakteknya sehingga dapat memelihara moral dan kesehatan mental anak didik. (e) Para
guru hendaknya membimbing pergaulan anak-anak didik. (f) Sekolah harus dapat memberikan
bimbingan dalam pengisian waktu luang anak didik, dengan menggerakkan mereka pada
aktivitas yang menyenangkan, akan tetapi tidak merusak dan berlawanan dengan ajaran agama.
(7) Adakan biro penyuluhan bagi anak didik yang membutuhkan.
3) Pendidikan moral dalam masyarakat. Sebelum mendidik anak-anak, masyarakat hendaknya
memulainya dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat.
b. Melalui Proses Pembinaan Kembali
Proses pembinaan kembali di sini maksudnya ialah memperbaiki moral yang telah rusak, atau
membina moral kembali dengan cara yang berbeda dari cara yang telah dilaluinya dulu. Biasanya
cara ini ditujukan kepada orang dewasa yang telah melewati umur 21 tahun yang belum terbina
agamanya, baik karena kurang serasinya pembinaan moral agama yang didapatkannya dulu,
maupun karena belum pernah sama sekali mengalami pembinaan moral secara sengaja.
Moral yang telah disepakati sebagai sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan
kebaikan, benar salah atau baik buruknya perlu benar-benar dipahami, dimengerti dan dijadikan
pedoman dalam perilaku sehari-hari. Perilaku seseorang haruslah terus dibina agar
mencerminkan perilaku yang baik atau perilaku susila, jika seseorang berperilaku asusila maka
orang itu disebut orang yang tidak bermoral. Oleh karena itu betapa pentingnya pembinaan moral
bagi seseorang dalam rangka membentuk dan mewujudkan perilaku yang baik yang menjunjung
nilai-nilai moral. Adapun proses pembinaan moral dapat terjadi melalui proses pendidikan dan
proses pembinaan kembali (Darajat, 1982:70). Pembinaan moral tersebut dapat berupa
pemberian contoh atau keteladanan mengenai nilai-nilai moral. Pembinaan moral anak pada
hakikatnya bertumpu pada tiga upaya, yaitu: memberi teladan, memelihara dan membiasakan
anak sesuai dengan perintah agama.
1) Memberi teladan, maksudnya agar orang tua terlebih dahulu menjadikan dirinya sebagai panutan
bagi anak-anak mereka. Untuk memenuhi hal tersebut, bagaimanapun, orang tua terlebih dahulu
harus memahami dan mengamalkan ajaran agama. Dari sikap dan tingkah laku keagamaan
tersebut diharapkan dapat ditiru oleh anak-anak mereka dalam kehidupan sehari-hari.
2) Memelihara adalah tidak hanya terbatas pada upaya mengasuh dan memenuhi kebutuhan fisiknya
saja, melainkan juga memberikan pelayanan bagi kebutuhan pertumbuhan mental spiritualnya.
3) Membiasakan adalah berupa upaya yang diterapkan dalam membentuk sikap anak. Pembiasaan
yang dimulai sejak usia dini akan lebih berpengaruh dalam membentuk sikap. Dan pembiasaan

tersebut diberikan melalui proses latihan yang berulang-ulang sehingga akan menjadi sikap yang
dimiliki oleh anak (Jalaluddin, 2001:165)
.
D. Tahapan-tahapan Perkembangan Moral Peserta Didik
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan:
pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional` Mengikuti persyaratan yang
dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi
kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada
dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu
tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif,
beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
( Principled conscience)

Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang
dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat
pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung.
Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni
melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari
tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara
moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap
semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain
berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.

Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan
dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada
kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap
kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga
punggungmu.]Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau
faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat prakonvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk
melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai
sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan
ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan
harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam
perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba
menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada
gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan
dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk
mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud
dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka
bermaksud baik’
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial
karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat
lebih dari sekadar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan
masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang
benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar
hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk
mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral,
sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk
dari yang baik.

Pasca-Konvensional

Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan
enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah
dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum
perspektif masyarakat. Akibat ‘hakikat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pascakonvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilainilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak.
Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai
ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang
anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai
kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan
kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk
sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi.
Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika
universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga
menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai
kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara
kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat
imperatif kategoris dari Immanuel Kant. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang
akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan
bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls. Tindakan yang diambil adalah hasil
konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil;
seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan,
legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa
kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya
orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara
bertahap. Perkembangan moral (moral development) berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang
apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.
Perkembangan moral (moral development) melibatkan perubahan seiring usia pada pikiran,
perasaan, dan perilaku berdasarkan prinsip dan nilai yang mengarahkan bagaimana seseorang
seharusnya bertindak. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal (nilai dasar dalam diri
seseorang dan makna diri) dan dimensi interpersonal (apa yang seharusnya dilakukan orang dalam
interaksinya dengan orang orang lain).
Kepribadian adalah keseluruhan tingkah laku seseorang yang diintegrasikan, sebagaimana yang
nampak pada orang lain. Kepribadian ini bukan hanya yang melekat dalam diri seseorang tetapi lebih
merupakan hasil dari pada suatu pertumbuhan yang lama suatu kulturil.
Dalam proses pembentukan kepribadian seorang remaja, hal yang paling mempengaruhi adalah
sekolah. Pentingnya sekolah dalam memainkan peranan didiri siswa dapat dilihat dari realita sekolah
sebagai tempat yang harus dihadiri setiap hari.Sekolah memberi pengaruh kepada anak secara dini
seiring dengan masa perkembangan konsep diri, anak-anak menghabiskan waktu lebih banyak di
sekolah dari pada di rumah.Di samping itu sekolah memberi kesempatan siswa untuk meraih sukses
serta memberi kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuannya secara
realistik.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat, kami menyadari dalam penulisan makalah tentang
Standar Nasional Pendidikan ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik
dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, Hartono Agung. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.

Eva Yuliawati MAKALAH PERKEMBANGAN MORAL.htm
Ahmad Amin. 1995. Etika (Ilmu Akhlak), (al-Akhlaaq). Cet. VIII. Terj. K.H. Farid Ma’ruf.
Jakarta: Bulan Bintang. .
Arsyad, Azhar.1982. Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. Jakarta: Bulan Bintang.
Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta; Rineka Cipta.
Andi Mappiare. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.