KOALISI PARTAI POLITIK DAN PELAKSANAAN F

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
PROGRAM S2 POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

Nama Mahasiswa

Zulpandi

No. Mahasiswa

372036

Nama Matakuliah

Sistem dan Institusi Pemerintahan

Dosen
Judul Tugas
Jumlah Kata

Drs. Mashuri Maschab, SU /

Thereisa Octastefani, MAP.M.Pol.Sc
Koalisi Partai Politik dan Pelaksanaan Fungsi Pengawasan
Lembaga Legislatif di Indonesia
2.580 Kata

CHECKLIST
Saya telah:
Mengikuti gaya referensi tertentu secara konsisten.........................................................
Memberikan soft copy tugas............................................................................................
Deklarasi
Pertama, saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa :
Karya ini merupakan hasil karya saya pribadi.
Karya ini sebagian besar mengekspresikan ide dan pemikiran saya yang disusun
menggunakan kata dan gaya bahasa saya sendiri.
Apabila terdapat karya atau pemikiran orang lain atau sekelompok orang, karya, ide dan
pemikiran tersebut dikutip dengan benar, mencantumkan sumbernya serta disusun sesuai
dengan kaidah yang berlaku.
Tidak ada bagian dari tugas ini yang pernah dikirimkan untuk dinilai, dipublikasikan
dan/atau digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah lain sebelumnya.
Kedua, saya menyatakan bahwa apabila satu atau lebih ketentuan di atas tidak ditepati, saya

sadar akan menerima sanksi minimal berupa kehilangan hak untuk menerima nilai untuk
mata kuliah ini.
Yogyakarta, 16-04-2015
Zulpandi
1

Koalisi Partai Politik dan Pelaksanaan Fungsi Pengawasan
Lembaga Legislatif di Indonesia
(Zulpandi_372036)
Pendahuluan
Sistem pemerintahan presidensial yang bergandeng tangan dengan sistem kepartaian
multipartai di Indonesia telah melahirkan berbagai perdebatan baru dalam studi politik
pemerintahan. Pola yang berjalan sejak dibukanya pintu demokrasi pasca reformasi 1998
tersebut menuai berbagai komentar dari para ahli. Secara umum sistem presidensial
dipandang tidak cocok dijalankan dengan sistem kepartain multipartai. Hal ini muncul akibat
pengalaman baik dari sistem presidensial dwipartai di beberapa Negara demokrasi seperti
Amerika Serikat. Banyak elemen yang muncul dalam presidensialisme multipartai akan
berdampak buruk dan tidak cocok dengan ciri presidensial. Salah satu poin yang menjadi
perhatian dalam fenomena ini adalah keberadaan koalisi partai politik dalam presidensial
multipartai. Pada awalnya koalisi dipandang sebagai ciri utama dari sistem parlementer,

namun kemudian keberdaan koalisi juga menjadi kebutuhan dalam presidensial multipartai.
Banyak studi selama ini menyatakan bahwa koalisi partai politik akan menjadi aneh
terlihat dalam sistem presidensial. Scott Mainwaring mengatakan bahwa pembentukan koalisi
dalam sistem presidensial jauh lebih sulit dibandingkan dengan koalisi dalam sistem
parlementer. Kesulitan itu terjadi karena dalam sistem presidensial coalitions are not
institutionally necessary dan sistem presidensial not conducive to political cooperation.
Kalaupun terbentuk, koalisi dalam sistem presidensial lebih rapuh (vulnerable) dibandingkan
dengan koalisi dalam sistem parlementer. Secara umum, sistem kepertaian majemuk akan
mempersulit konsolidasi antar-partai politik dalam fungsi legislasi (Scott Mainwaring, 1993).
Selain pendapat dari Mainwaring tersebut, nada serupa juga banyak datang dari politisi tanah
air yang merasakan secara nyata keberlangsungan hal tersebut. Yusril Ihza Mahendra
misalanya (dalam Hanan, 2014) mengatakan bahwa bila mengacu pada sistem
presidensialisme, tidak semestinya ada lembaga koalisi formal.
Di Indonesia perdebatan ini semakin sering dibahas karena dalam konstitusi Indonesia,
ruang untuk hadirnya pola koalisi diantara partai politik sangat terbuka lebar. Secara
konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik
peserta pemilu. Kemudian, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), pada Pasal 8 UU Pilpres menyebutkan capres dan
2


cawapres diusulkan dalam satu pasangan oleh parpol atau gabungan parpol. Kemudian, Pasal
9 UU Pilpres tersebut menegaskan, pasangan calon diusulkan oleh parpol atau gabungan
parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen
dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu
anggota DPR.
Seiring perdebatan yang terus berlangsung tentang pandangan klasik yang
menempatkan pola koalisi partai politik hanya cocok pada Negara dengan sistem parlementer
tersebut, muncul pandangan baru yang menyatakan bahwa koalisi partai politik merupakan
hal yang wajar dalam system presidensial multipartai. Dalam studi-studi terbaru terkait isu
ini, mulai terdapat pandangan optimis atas keberadaan koalisi dalam presidensial multipartai.
Pandangan ini akibat pengalaman yang terjadi di beberapa Negara penganut presidensial
multipartai. Raile (dalam Hanan, 2014) menemukan dua pendekatan terpisah untuk
menjelaskan cara eksekutif “meningkatkan disiplin pemilih dan mendapatkan suara tambahan
guna menyolidkan koalisi pemenangan dalam koalisi system presidensial multipartai”.
Pendekatan pertama memandang keberhasilan presidensialisme multipartai berkaitan dengan
kemampuan eksekutif mempertahankan dukungan legislatif seperti praktik “gentong babi/
bagi-bagi rezeki” (pork barrel) di Brazil. Pendekatan kedua mengacu pada pentingnya
komoditas koalisi seperti jabatan di kabinet sebagai sumber daya stategis bagi presiden. Oleh
karena itu, pendekatan ini melihat bagaimana eksekutif membentuk koalisi dan cabinet untuk
menguatkan dukungan legislatif. Maka dari itu, koalisi seperti studi Raile ini dapat disebut

sebagai “kotak alat eksekutif” yang penting bagi seorang presiden ketika memerintah dalam
sebuah sistem presidensial multipartai.
Penjelasan yang ilmiah dalam melihat konteks Indonesia dapat dilihat dari studi Hanan
(2014) yang menjelaskan bahwa koalisi dalam presidensial multipartai sangat membantu
dalam stabilitas pemerintahan. Kurangnya dukungan partisan untuk seorang presiden akan
menimbulkan kemacetan/ kebuntuan dalam interkasi eksekutif dan legislatif. Oleh karena itu
perlu adanya dukungan yang kuat untuk presiden melalui koalisi partai politik. Menurutnya
koalisi juga bekerja dengan baik karena institusi-institusi formal dan informal yang ada bisa
menyediakan alat (dalam kotak perkakas presiden) yang bisa dipakai oleh presiden dalam
beragam situasi ketika berurusan dengan DPR. Keberadaan koalisi dalam sistem presidensial
adalah lebih kepada soal mengantisipasi hambatan dalam pelaksanaan agenda dan kebijakan
pemerintah yang perlu dukungan legislatif.
Sudut pandang Hanan (2014) yang lebih melihat koalisi dari sisi kebutuhan stabilitas
eksekutif tersebut, telah membuka pintu untuk bisa melihat dari sudut pandang lain seperti
3

legislatif. Banyak studi selama hanya melihat pada pengaruh koalisi tersebut dalam proses
pemerintahan presidensialisme multipartai. Dimana didapatkan kesimpulan bahwa koalisi
dapat membantu pelaksanaan kinerja pemerintah yang dalam presidensialisme multipartai
jarang mendapat dukungan mayoritas dari partai sang presiden. Oleh karena itu dibutuhkan

koalisi gabungan partai politik untuk mendapat dukungan mayoritas. Dari sisi pelaksanaan
fungsi pengawasan legislative kiranya juga perlu kita lihat bagaimana koalisi mampu
menghadirkan parlemen yang bisa menciptakan checks and balances jika eksekutif dalam
presidensialisme multipartai membangun koalisi dalam pemerintahannya.
Tulisan ini ingin melihat bagaimana pengaruh koalisi partai politik dalam pelaksanaan
fungsi pengawasan lembaga legislatif di Indonesia. Dengan digunakannya sistem presidensial
multipartai yang meniscayakan kehadiran koalisi partai politik di Indonesia, maka akan
dilihat apakah koalisi tersebut efektif dalam membangun hubungan checks and balances
antara eksekutif dan legislatif di Indonesia. Berbeda dengan studi Hanan (2014) yang lebih
condong melihat koalisi dalam menjaga stabilitas kinerja eksekutif, studi ini akan lebih jauh
melihat dari perspektif kinerja legislatifnya.

Khususnya dalam proses pengawasan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia yang sejak era reformasi selalu membentuk koalisi
gabungan di parlemen.
Koalisi Secara Konseptual
Koalisi adalah sebuah pengelompokan aktor-aktor politik pesaing untuk dibawa
bersama baik melalui persepsi ancaman bersama, atau pengakuan bahwa tujuan mereka tidak
dapat dicapai dengan bekerja secara terpisah (Heywood, dalam Pamungkas, 2012;78). Jadi

koalisi akan bekerja jika terdapat satu kepentingan bersama yang diperjuangkan. Koalisi
merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam proses politik bangsa yang menganut
sistem multipartai (Efriza, 2012). Definisi ini kemudian akan menjadi pijakan dalam melihat
koalisi yang terjadi dalam presidensialisme multipartai.
Heywood (dalam Pamungkas, 2012;79) juga menyebutkan bahwa ada empat arena
dalam koalisi partai. Pertama, koalisi elektoral, yaitu aliansi melalui mana partai politik
setuju untuk tidak bersaing melawan satu dengan yang lainnya dengan pandangan untuk
maksimalisasi representasi bersama mereka. Kedua, koalisi legislatif, yaitu kesepakatan
antara dua atau lebih partai untuk mendukung sebuah undang-undang atau sebuah program
tertentu. Ketiga, koalisi pemerintahan, yaitu kesepakatan formal diantara dua atau lebih partai
yang melibatkan distribusi lintas partai portofolio menteri. Keempat, koalisi besar atau

4

pemerintahan nasional, yaitu meliputi seluruh partai-partai utama, tetapi mereka biasanya
dibentuk hanya ketika ada krisis nasional atau bahaya ekonomi.
Craig Volden dan Clifford J. Carruba (dalam Efriza, 2012) menjelaskan bahwa ada lima
faktor yang menyebabkan koalisi tebentuk, yaitu; Pertama, koalisi karena persamaan
ideologi. Koalisi yang didasarkan pada kesamaan ideologi akan lebih kuat dalam membentuk
kerja sama dan dapat meretas atau mengurangi konflik kepentingan. Kedua, koalisi karena

adanya kepentingan partai besar untuk “menetralisasi” kepentingan ideologi ekstrem. Dalam
hal ini diperlukan daya tawar yang memungkinkan masing-masing anggota koalisi
mengajukan agendanya. Ketiga, koalisi sebagai respons atas kebijakan status quo yang
ekstrem. Koalisi ini dibentuk karena tidak adanya partai pemenang tunggal mayoritas
sehingga memungkinkan terjadinya kesepakatan untuk membentuk pemerintah dan berbagi
keuntungan, baik pada ranah jabatan maupun kebijakan, baik di eksekutif maupun di
legislatif. Keempat, koalisi karena adanya kebijakan balas jasa. Koalisi ini lebih didasarkan
pada kepentingan pragmatis yang saling menguntungkan karena tidak adanya partai
mayoritas. Koalisi ini sulit bertahan apabila tidak disertai oleh koalisi besar yang kuat karena
masing-masing anggota koalisi mempunyai daya tawar tersendiri dan sewaktu-waktu bisa
keluar dari koalisi. Kelima, koalisi karena mengamankan suara di parlemen. Dalam hal ini
dibutuhkan koalisi besar (grand coalition) yang melibatkan partai besar. Menurut Arend
Lipjhart, sistem bikameral telah memberi peluang bagi munculnya koalisi besar di parlemen.
Koalisi besar juga dibentuk untuk memastikan kontrol parlemen dalam sistem bikameral.
Koalisi sebagai Mekanisme Stabilisasi Pemerintah
Meskipun bukan merupakan ciri dari sistem pemerintahan presidensial, namun koalisi
merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem kepartaian multipartai. Ditengah perdebatan
akademik tentang posisi koalisi dalam presidensialisme multipartai, banyak pandangan yang
mengatakan koalisi akan bermanfaat bagi pihak pemerintah atau eksekutif untuk menjalankan
roda pemerintahan dengan aman. Koalisi partai politik sangat membantu menjaga stabilitas

berjalannya

pemerintahan

persidensialisme

multipartai.

Dalam

sistem

presidensial

multipartai, kecenderungan akan lahirnya presiden yang tidak didukung oleh kekuatan
legislatif yang kuat sangat terbuka lebar. Tekanan dan kepentingan politik yang beragam
dalam presidensialisme multipartai akan dapat memicu terjadinya instabilitas politik suatu
Negara. Oleh karena itu untuk menjamin keberlangsungan program pemerintah dan
menghindari kontak tekanan politik dari partai lain, maka koalisi partai politik sangat
membantu presiden yang mengalami kondisi seperti itu.

5

Menurut Hanan (2015) untuk mengatasi kemungkinan lemahnya dukungan politik bagi
eksekutif/ presiden ketika menjalankan pemerintahan, maka diperlukan upaya-upaya
mewujudkan dukungan mayoritas. Dukungan politik mayoritas atau hampir mayoritas dalam
sistem multipartai dapat dicapai apabila terjadi koalisi antar partai untuk mendukung presiden
dan kebijakan-kebijakannya. Terjadinya koalisi antar partai dalam legislatif ditentukan tidak
semata oleh sistem pemilu. Ada banyak faktor noninstitusional dan institusional lain yang
berpengaruh. Salah satu faktornya adalah adanya “Coalitional President” (presiden yang
memiliki kecenderungan membentuk koalisi) yang dikombinasi dengan tersedianya berbagai
otoritas konstitutional dan politik bagi presiden (Executive Toolbox) yang dapat digunakan
sebagai alat/ komoditas agar partai-partai bersedia menjadi bagian dari koalisi presiden.
Kemudian disisi lain, jika dominasi seorang presiden dalam sebuah Negara penganut
presidensialisme sangat kuat, maka koalisi partai politik juga dapat menjadi penyeimbang
kondisi tersebut. Harry Kantor (dalam Lijphart, 1995) menyatakan bahwa salah satu upaya
untuk mengakhiri kekerasan politik dan dominasi presiden, pada tahun 1958 di Kolumbia
adalah dengan membentuk sistem pemerintahan koalisi. Dimana jabatan presiden bergantian
diantara dua partai politik terbesar di Negara itu, dan semua jabatan lain seperti legislatif,
kabinet, birokrasi dan kehakiman dibagi rata diantara kedua partai.
Koalisi dan Fungsi Pengawasan Lembaga Legislatif

Dalam upaya mewujudkan stabilitas demokrasi, harus ada dispersi kekuasaan yang
seimbang diantara lembaga-lembaga Negara. Lembaga-lembaga Negara tersebut harus
berdiri dalam fungsi yang tidak saling meninggi antar lembaga, namun mencakup hubungan
check and balances satu sama lainnya. Seperti lembaga legislatif, dalam kaitannya
mewujudkan terciptanya checks and balances tersebut, maka harus menjalankan fungsi
lembaga itu dalam koridor yang benar. Jika fungsi lembaga legislatif itu tidak dijalankan
dengan baik, maka bisa jadi tidak akan terjadi keseimbangan diantara lembaga Negara.
Misalnya dalam hubungan eksekutif dan legislatif, apabila legislatif tidak mampu
menjalankan fungsinya dengan baik maka dominasi eksekutif yang tidak berjalan pada
koridornya bisa terjadi. Sebab secara teoritis, dalam fungsi yang dimiliki lembaga legislatif
ada fungsi kontrol atau pengawasan yang berguna untuk mengimbangi dominasi eksekutif
atau pemerintah dalam sistem presidensial.
Budiarjo (2008), menjelaskan bahwa salah satu fungsi badan legislatif adalah untuk
mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan badan eksekutif sesuai
dengan

kebijakan-kebijakan

yang

telah

ditetapkan

(scruity,

oversight).

Untuk
6

menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat diberi hak-hak kontrol khusus. Dalam
konstitusi Indonesia fungsi pengawasan DPR pada dasarnya dilekatkan pada hak yang
dimiliki oleh anggota DPR yang diatur dalam Pasal 20A Ayat 2 UUD 1945. Pertama, hak
interpelasi yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah yang penting dan
stategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kedua, hak angket adalah hak DPR untuk mengadakan penyelidikan terhadap pelaksanaan
undang-undang dan/ atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, stategis,
dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga, hak menyatakan pendapat atas;
kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi ditanah air atau di dunia
internasional, tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi, hasil hak angket, dugaan bahwa
presiden dan/ atau wakil presiden melakukan pelanggaran hokum, baik berupa pengkhianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya.
Dalam kaitannya dengan fungsi pengawasan, koalisi partai sangat berpengaruh
terhadap kualitas pengawasan lembaga legislatif terhadap eksekutif. Dengan adanya koalisi
partai politik dalam sistem presidensial multipartai seperti yang terjadi di Indonesia ada
beberapa hal yang perlu disoroti dari pelaksanaan pola koalisi tersebut. Ditengah pentingnya
koalisi bagi pemerintah yang tidak memiliki kekuatan partai dominan, ternyata lebih jauh
koalisi bisa juga mempengaruhi kualitas demokrasi, khususnya kualitas fungsi pengawasan
dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kinerja pemerintah. Dengan adanya koalisi
mayoritas dari partai pemerintah di parlemen, maka secara konsep koalisi tentu akan selalu
mendukung kinerja pemerintah dalam kondisi apapun. Pemerintah akan selalu dinilai benar
dalam kacamata parlemen.
Namun kondisi berbeda terjadi dalam koalisi yang tercipat di Indonesia. Studi Illiyina
(2012) menemukan bahwa koalisi yang dibangun oleh pemerintahan presiden Susilo
Bambang Yudhoyono ternyata tidak mampu mengamankan beberapa isu sentral terkait
kinerja pemerintah. Seperti dalam kasus Hak Angket Bank Century, partai Golkar, PPP dan
PKS yang sejak awal merupakan partai anggota koalisi pemerintah malah mengambil sikap
berseberangan dengan pemerintah. Dinamika pilihan partai politik dalam menghadap kasuskasus spesifik juga Nampak dalam keputusan Dewan Perwakilan Rakyat untuk penggunaan
Hak Angket Mafia Hukum. Dalam memutuskan usulan penggunaan Hak Angket Mafia
Hukum, partai Golkar dan PKS kembali memilih pilihan yang berseberangan dengan
mayoritas partai pendukung pemerintah. Anehnya, partai Gerindra yang sejak awal
merupakan partai yang tidak tergabung koalisi malah memilih opsi mendukung pemerintah.
7

Kondisi yang tidak menentu dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dari partai politik
anggota koalisi ini ternyata dipengaruhi oleh pola koalisi yang dibangun selama ini. Bahwa
pola koalisi yang dibangun selama ini pasca reformasi di Indonesia, merupakan bangunan
koalisi pragmatis, yang hanya berlaku untuk beberapa kepentingan saja. Bahwa tidak ada
jaminan bagi presiden agar jalannya pemerintahan bisa berjalan aman dengan adanya koalisi
partai politik tersebut.
Hal ini seperti yang terjadi pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid,
dimana koalisi “poros tengah” yang membawanya menjadi presiden pada pemilu 1999
kemudian malah menggunakan hak interpelasi yang berujung pada pelengserannya dari kursi
kepresidenan. Dari sini dapat dilihat bahwa koalisi besar yang mengantarkan Abdurrahman
Wahid sebagai presiden tidak menunjukkan ikatan yang kuat sebagaimana layaknya koalisi.
Koalisi lebih terformat dalam bentuk distribusi kursi kekuasaan tanpa loyalitas pada visi dan
misi bersama untuk membangun pemerintahan yang kuat dan solid. Hal serupa juga terjadi
pada era presiden selanjutnya Megawati Sukarnoputri, dalam penggunaan hak interpelasi
terkait kasus lepasnya Sipadan dan Ligitan menjadi cemin tidak berfungsinya komunikasi
diantara partai-partai penyokong pemerintah.
Hanta Yuda (2010;173) dalam bukunya Presidensialisme Setengah Hati menjelaskan
bahwa koalisi partai politik di era pasca reformasi dibangun diatas fondasi kepentingankepentingan pragmatism politik kekuasaan, bukan koalisi berdasarkan kedekatan ideology
atau persamaan flatform. Dalam melihat peta koalisi pasca pemilu 2004 Yuda menyimpulkan
bahwa kualitas koalisi yang terbangun sangat cair dan rapuh. Kekuatan koalisi partai politik
pendukung pemerintah secara kuantitas besar jumlahnya, tetapi hal ini tidak menjamin DPR
akan selalu mendukung kebijakan pemerintah.
Kesimpulan
Bangunan koalisi partai politik di Indonesia yang berdiri diatas kepentingan pragmatis
dan rapuh ternyata berpengaruh terhadap pelaksanaan presidensialisme di Indonesia. Bahwa
dengan adanya koalisi partai politik di parlemen tidak menjamin stabilitas politik pemerintah
berkuasa. Dengan melihat pelaksanaan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR, dapat
dilihat bahwa peta koalisi yang ada Indonesia ternyata berjalan dengan sangat cair dan rapuh.
Hal ini terlihat dari beberapa era koalisi pasca reformasi yang bergerak menggoyang stabilitas
politik presiden. Koalisi yang dibentuk untuk membantu kekuatan politik pemerintah ternyata
malah balik menyerang pemerintah.

8

Dengan fenomena ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa koalisi yang terjadi dalam
presidensial multipartai di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Koalisi hanya menjadi
sumber akomodasi kepentingan sesaat, bahwa kinerja dan program presiden ternyata juga
tidak sejalan dengan kehendak anggota koalisi. Sehingga terlihat koalisi digunakan hanya
sebagai alat untuk mendapatkan disperse kekuasaan pada posisi-posisi startegis di
pemerintahan seperti kementrian. Kesimpulan kedua adalah bahwa koalisi partai politik yang
berlangsung selama pemerintahan Indonesia pasca reformasi merupakan bentuk praktik dari
politik kartel.
Referensi
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama
Efriza, 2012. Political Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik. Bandung. Alfabeta
Hanan, Djayadi. 2014. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia. Bandung. Mizan
Illiyina, Umi. 2012. Perkembangan Kolisi Partai Politik di Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dalam Era Reformasi Tahun 1998-2012. Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Lijphart, Arend. 1952. Parliamentary Versus Presidential Government. Oxford University
Press
Mainwaring, Scott. 1993. Presidentialism, Multipartism, and Democracy; The Difficult
Combination. Dalam Comparative Political Studies
Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta. Institute
for Democracy and Welfarism
Yuda AR, Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah Hati dari Dilema ke Kompromi. Jakarta.
PT Gramedia Pustaka Utama

9