PENAGIHAN PAJAK DAN UTANG PAJAK
PENAGIHAN PAJAK DAN UTANG PAJAK
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Laboratorium Pajak III
Oleh:
Zunita Mahira M.
135030400111019
Ribka Rosanna
135030407111004
Hafidhah Fachrina
135030407111016
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara teoritis, ada tiga cara pemungutan pajak, yakni with-holding system,
official assesment system, dan self assesment system. With-holding system adalah
cara pemungutan di mana pajak disetorkan oleh pihak ketiga. Official assesment
system adalah cara pemungutan di mana fiskus secara aktif melakukan
pemungutan, termasuk di dalamnya adalah mengitungkan besarnya pajak
terutang yang hraus dibayarkan oleh Wajib Pajak. Kebalikannya, self assesment
system adalah cara pemungutan pajak di mana Wajib Pajak secara aktif
melakukan penyetoran pajak mulai dari melakukan pendaftaran NPWP,
melakukan pembukuan, menghitung besarnya pajak terutang, membayarkan
utang pajak, dan melaporkannya di Surat Pemberitahuan Masa/Tahunan. Dalam
menerapkan self assesment system, fiskus perlu melakukan pemeriksaan kepada
Wajib Pajak yang bertujuan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak atau untuk
tujuan lainnya. Hal ini senada dengan undang-undang nomor 6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan undang-undang nomor
16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
pasal 1 angka 25.
Meskipun ada beberapa cara pemungutan pajak, namun ada kalanya pajak
yang terutang tidak/terlambat dibayarkan oleh Wajib Pajak sehingga perlu
dilakukan tindakan aktif oleh fiskus untung mengumpulkan piutang pajak
tersebut. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan
penagihan pajak dengan berbagai prosedur yang telah ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Penagihan dilakukan dalam beberapa tahap dimulai dari
pemberian surat ketetapan, surat teguran, surat paksa, surat perintah melakukan
penyitaan, tindakan penyitaan, hingga pelelangan barang hasil sitaan. Tindakan
dan alur penagihan pajak ini tertuang dalam UU KUP, UU Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa, serta diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan
nomor 24/PMK.03/2008. Hal ini bertujuan agar fiskus memiliki dasar hukum
yang kuat untuk melakukan penagihan pajak dan memenuhi target penerimaan
negara melalui pajak. selain itu, Wajib Pajak mengetahui bagaimana tindakan
fiskus untuk melakukan penagihan pajak sehingga diharapkan Wajib Pajak dapat
dengan patuh membayar pajak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah makalah ini adalah:
1. Apakah dasar hukum penagihan pajak?
2. Apakah yang menjadi dasar penagihan pajak?
3. Kapankah jatuh tempo ketetapan?
4. Bagaimanakah penentuan jatuh tempo pelunasan?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat disimpulkan tujuan penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk memahami apakah dasar hukum penagihan pajak
2. Untuk memahami apakah yang menjadi dasar penagihan pajak
3. Untuk memahami kapankah jatuh tempo ketetapan
4. Untuk memahami bagaimanakah penentuan jatuh tempo pelunasan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penagihan Pajak
Menurut Undang- Undang No. 19 Tahun 2000 ayat 1 angka 9 disebutkan
bahwa Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
rnemperingatkan,
memberitahukan
melaksanakan
Surat
Paksa,
penagihan
mengusulkan
seketika
dan
pencegahan,
sekaligus,
melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita
Menurut Moeljo Hadi dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Penagihan
Pajak” yang dituliskan oleh AR Nadhiastuti dalam Jurnal, yang dimaksdud
Penagihan Pajak adalah: “Serangkaian tindakan aparatur Direktorat Jendral Pajak
berhubung Wajib Pajak melunasi baik sebagaian atau seluruh kewajiban
perpajakan menurut Undang- Undang yang berlaku.
Sedangkan menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya “Pengantar Singkat
Hukum Pajak” yang dituliskan oleh AR Nadhiastuti dalam Jurnal, yang dimaksud
Penagihan Pajak adalah:” Perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat Jendal Pajak
karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-Undang Perpajakan
khususnya mengenai pembayaran pajak.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah disampaikan oleh beberapa
penulis, maka dapat diambil kesimpulan, penagihan pajak adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak yang berkaittan dengan
utang pajak dan biaya penagihan pajak yang disebabkan karena Wajib Pajak
tidak mematuhi ketentuan Peprpajakan baik yang berhubungan dengan melunasi
sebagian atau seluruh kewajiban Perpajakan menurut Undang-Undang yang
berlaku.
2.2 Dasar Hukum Penagihan Pajak
Dalam hal yang berkaitan dengan Penagihan Pajak yang menjadi Dasar
Hukum Penagihan Pajak yaitu:
1. Undang- Undang No. 19 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang- Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penaguhan Pajak dengan Surat
Paksa)
2. Undang- Undang
No. 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah melalui
perubahan keempat dengan Undang- Undnag No. 16 Tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Peprajakan
3. PMK No.24/PMK.03/2008
2.3 Dasar Penagihan Pajak
Dalan tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak,
yang menjadikan Dasar Penagihan Pajak yang telah dijelaskan dalam UndnagUndang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan pada Pasal 18 ayat 1, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Surat Tagihan Pajak (STP);
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
Surat Keputusan Pembetulan;
Surat Keputusan Keberatan;
Putusan Banding;
Putusan Peninjauan Kembali
Dari berbagai Dasar Penagihan Pajak tersebut akan digunakan untuk
melakukan tindakan Penagihan Pajak kepada Wajib Pajak yang memiliki Utang
Pajak, yaitu pajak yang masih harus dibayar termasuk dengan sanksi administrasi
berupa denda, bunga atau kenaikan yang telah disebutkan dalam Surat yang
menjadi dasar dalam penagihan pajak yang disebutkan didalam Undang- Undang
yang berkaitan dan berlaku.
2.4 Jatuh Tempo Ketetapan
Penagihan Pajak dalam hal menerbitkan surat ketetapan memiliki ketentuan
terkait
dengan
Jatuh
Tempo
Ketetapan
yang
diatur
dalam
PMK
No.24/PMK.03/2008 Pasal 5, yaitu:
1) Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),
serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta
Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak
tanggal diterbitkan.
2) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jangka waktu
pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang menjadi
paling lama 2 (dua) bulan.
PMK No.24 Tahun 2008 mengatur lebih jelas terkait dengan jatuh tempo
ketetapan selain itu juga diatur tentang penentuan jatuh tempo pelunasan.
Penentuan Jatuh Tempo Pelunasan disebutkan dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 yang
menjelaskan bahwa Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 untuk jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan sebesar pajak yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan, tertangguh sampai dengan 1(satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Pada ayat 2 dijelaskan lebih lanjut bahwa
dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan
sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), jangka waktu pelunasan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau pada ayat (1), tertangguh
sampai dengan 1(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
2.5 Tindakan Penagihan Pajak
Dalam tindakan penerbitan Surat Ketetapan termasuk dalam Penagihan Pajak
pasif dikarenakan tidak dilakukan penagihan pajak secara langsung/ aksi nyata
oleh seksi penagihan Direktorat Jendral Pajak. Apabila utang pajak sampai
dengan tanggal jatuh tempo diterbitkannya Surat Ketetapan pembayaran belum
dilunasi, akan dilakukan tindakan penagihan pajak aktif dimana seksi penagihan
akan melakukan tindakan nyata penagihan kepada Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak yang merupakan tindak lanjut dari penagihan pasif.
Dari pernyataan diatas, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Surat Teguran
a) Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak
yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan
WP tidak mengajukan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT, kepada WP
disampaikan Surat Teguran setelah lewat 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh
tempo pengajuan keberatan;
b) Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang
masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan WP
mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan
dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat teguran
setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding;
c) Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang
masih dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan
mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan
dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat teguran
setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih
harus dibayar berdasarkan Putusan Banding;
d) Dalam hal WP menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada WP disampaikan Surat
Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan;
e) Dalam hal WP mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT
setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima
Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh WP, kepada WP disampaikan Surat
Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan
keberatan tersebut; dan
f) Dalam rangka Penagihan Pajak atas utang Bumi dan Bangunan dan/atau
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang tercantum dalam
STPPBB, SKBKB, SKBKBT, STB atau Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kepada WP disampaikan Surat
teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan.
Penyampaian Surat Teguran dapat dilakukan secara langsung, melalui pos
atau melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
2. Surat Paksa Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal
Surat Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh
Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi
dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh
Jurusita Pajak.
3. Surat Sita Utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa
diberitahukan oleh Jurusita Pajak tidak dilunasi, Jurusita Pajak dapat
melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat
Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
4. Lelang Dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah
tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan
pengumuman lelang melalui media massa. Pengumuman lelang untuk barang
bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2
(dua) kali. Penjualan secara lelang melalui Kantor Lelang Negara terhadap
barang yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah
pengumuman lelang. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan
sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan
untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat
pelelangan. Catatan Barang dengan nilai paling banyak Rp.20.000.000,- tidak
harus diumumkan melalui media massa
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Penagihan Pajak merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Direktoral
Jendral Pajak untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya. Penagihan pajak dilakukan untuk melaksanakan amanat
Undang- Undang Perpajakan dimana telah disebutkan dalam Undang-undang Nomo
16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakn bahwa setiap
Wajib pajak berkewajiban untuk melaporkan dan membayar pajak kepada negara.
Berdasarkan hal tersebut, apabila Wajib Pajak tidak membayar sebagian atau
seluruhnya utang pajak dan biaya penagihan termasuk juga sanksi administrasi
berupa denda, bunga atau kenaikan maka akan dilakukan penagihan pajak.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa dan beberapa tokoh, penagihan pajak merupakan serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak terhadap Wajib Pajak yang
memiliki utang pajak sesuai dengan yang diatur dalam Undang-undang perpajakan.
Serangkaian tindakan penagihan pajak dilakukan dengan cara menegur atau
rnemperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan
Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan
tata cara pelaksanaan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mentri Keuangan Nomor
24/PMK.03/2008.
DAFTAR PUSTAKA
Nadhiastutie, AR. 2010. “Evaluasi Efektifitas Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Palmerah Periode 2008-2009”. uajy.ac.id. 20
Februari 2016
Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah dilakukan perubahan
keempat dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 85/Pmk.03/2010 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/Pmk.03/2008 Tentang Tata
Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa Dan Pelaksanaan Penagihan
Seketika Dan Sekaligus.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Laboratorium Pajak III
Oleh:
Zunita Mahira M.
135030400111019
Ribka Rosanna
135030407111004
Hafidhah Fachrina
135030407111016
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara teoritis, ada tiga cara pemungutan pajak, yakni with-holding system,
official assesment system, dan self assesment system. With-holding system adalah
cara pemungutan di mana pajak disetorkan oleh pihak ketiga. Official assesment
system adalah cara pemungutan di mana fiskus secara aktif melakukan
pemungutan, termasuk di dalamnya adalah mengitungkan besarnya pajak
terutang yang hraus dibayarkan oleh Wajib Pajak. Kebalikannya, self assesment
system adalah cara pemungutan pajak di mana Wajib Pajak secara aktif
melakukan penyetoran pajak mulai dari melakukan pendaftaran NPWP,
melakukan pembukuan, menghitung besarnya pajak terutang, membayarkan
utang pajak, dan melaporkannya di Surat Pemberitahuan Masa/Tahunan. Dalam
menerapkan self assesment system, fiskus perlu melakukan pemeriksaan kepada
Wajib Pajak yang bertujuan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak atau untuk
tujuan lainnya. Hal ini senada dengan undang-undang nomor 6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan undang-undang nomor
16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
pasal 1 angka 25.
Meskipun ada beberapa cara pemungutan pajak, namun ada kalanya pajak
yang terutang tidak/terlambat dibayarkan oleh Wajib Pajak sehingga perlu
dilakukan tindakan aktif oleh fiskus untung mengumpulkan piutang pajak
tersebut. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan
penagihan pajak dengan berbagai prosedur yang telah ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Penagihan dilakukan dalam beberapa tahap dimulai dari
pemberian surat ketetapan, surat teguran, surat paksa, surat perintah melakukan
penyitaan, tindakan penyitaan, hingga pelelangan barang hasil sitaan. Tindakan
dan alur penagihan pajak ini tertuang dalam UU KUP, UU Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa, serta diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan
nomor 24/PMK.03/2008. Hal ini bertujuan agar fiskus memiliki dasar hukum
yang kuat untuk melakukan penagihan pajak dan memenuhi target penerimaan
negara melalui pajak. selain itu, Wajib Pajak mengetahui bagaimana tindakan
fiskus untuk melakukan penagihan pajak sehingga diharapkan Wajib Pajak dapat
dengan patuh membayar pajak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah makalah ini adalah:
1. Apakah dasar hukum penagihan pajak?
2. Apakah yang menjadi dasar penagihan pajak?
3. Kapankah jatuh tempo ketetapan?
4. Bagaimanakah penentuan jatuh tempo pelunasan?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat disimpulkan tujuan penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk memahami apakah dasar hukum penagihan pajak
2. Untuk memahami apakah yang menjadi dasar penagihan pajak
3. Untuk memahami kapankah jatuh tempo ketetapan
4. Untuk memahami bagaimanakah penentuan jatuh tempo pelunasan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penagihan Pajak
Menurut Undang- Undang No. 19 Tahun 2000 ayat 1 angka 9 disebutkan
bahwa Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
rnemperingatkan,
memberitahukan
melaksanakan
Surat
Paksa,
penagihan
mengusulkan
seketika
dan
pencegahan,
sekaligus,
melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita
Menurut Moeljo Hadi dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Penagihan
Pajak” yang dituliskan oleh AR Nadhiastuti dalam Jurnal, yang dimaksdud
Penagihan Pajak adalah: “Serangkaian tindakan aparatur Direktorat Jendral Pajak
berhubung Wajib Pajak melunasi baik sebagaian atau seluruh kewajiban
perpajakan menurut Undang- Undang yang berlaku.
Sedangkan menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya “Pengantar Singkat
Hukum Pajak” yang dituliskan oleh AR Nadhiastuti dalam Jurnal, yang dimaksud
Penagihan Pajak adalah:” Perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat Jendal Pajak
karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-Undang Perpajakan
khususnya mengenai pembayaran pajak.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah disampaikan oleh beberapa
penulis, maka dapat diambil kesimpulan, penagihan pajak adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak yang berkaittan dengan
utang pajak dan biaya penagihan pajak yang disebabkan karena Wajib Pajak
tidak mematuhi ketentuan Peprpajakan baik yang berhubungan dengan melunasi
sebagian atau seluruh kewajiban Perpajakan menurut Undang-Undang yang
berlaku.
2.2 Dasar Hukum Penagihan Pajak
Dalam hal yang berkaitan dengan Penagihan Pajak yang menjadi Dasar
Hukum Penagihan Pajak yaitu:
1. Undang- Undang No. 19 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang- Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penaguhan Pajak dengan Surat
Paksa)
2. Undang- Undang
No. 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah melalui
perubahan keempat dengan Undang- Undnag No. 16 Tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Peprajakan
3. PMK No.24/PMK.03/2008
2.3 Dasar Penagihan Pajak
Dalan tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak,
yang menjadikan Dasar Penagihan Pajak yang telah dijelaskan dalam UndnagUndang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan pada Pasal 18 ayat 1, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Surat Tagihan Pajak (STP);
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
Surat Keputusan Pembetulan;
Surat Keputusan Keberatan;
Putusan Banding;
Putusan Peninjauan Kembali
Dari berbagai Dasar Penagihan Pajak tersebut akan digunakan untuk
melakukan tindakan Penagihan Pajak kepada Wajib Pajak yang memiliki Utang
Pajak, yaitu pajak yang masih harus dibayar termasuk dengan sanksi administrasi
berupa denda, bunga atau kenaikan yang telah disebutkan dalam Surat yang
menjadi dasar dalam penagihan pajak yang disebutkan didalam Undang- Undang
yang berkaitan dan berlaku.
2.4 Jatuh Tempo Ketetapan
Penagihan Pajak dalam hal menerbitkan surat ketetapan memiliki ketentuan
terkait
dengan
Jatuh
Tempo
Ketetapan
yang
diatur
dalam
PMK
No.24/PMK.03/2008 Pasal 5, yaitu:
1) Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),
serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta
Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak
tanggal diterbitkan.
2) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jangka waktu
pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang menjadi
paling lama 2 (dua) bulan.
PMK No.24 Tahun 2008 mengatur lebih jelas terkait dengan jatuh tempo
ketetapan selain itu juga diatur tentang penentuan jatuh tempo pelunasan.
Penentuan Jatuh Tempo Pelunasan disebutkan dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 yang
menjelaskan bahwa Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 untuk jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan sebesar pajak yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan, tertangguh sampai dengan 1(satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Pada ayat 2 dijelaskan lebih lanjut bahwa
dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan
sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), jangka waktu pelunasan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau pada ayat (1), tertangguh
sampai dengan 1(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
2.5 Tindakan Penagihan Pajak
Dalam tindakan penerbitan Surat Ketetapan termasuk dalam Penagihan Pajak
pasif dikarenakan tidak dilakukan penagihan pajak secara langsung/ aksi nyata
oleh seksi penagihan Direktorat Jendral Pajak. Apabila utang pajak sampai
dengan tanggal jatuh tempo diterbitkannya Surat Ketetapan pembayaran belum
dilunasi, akan dilakukan tindakan penagihan pajak aktif dimana seksi penagihan
akan melakukan tindakan nyata penagihan kepada Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak yang merupakan tindak lanjut dari penagihan pasif.
Dari pernyataan diatas, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Surat Teguran
a) Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak
yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan
WP tidak mengajukan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT, kepada WP
disampaikan Surat Teguran setelah lewat 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh
tempo pengajuan keberatan;
b) Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang
masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan WP
mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan
dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat teguran
setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding;
c) Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang
masih dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan
mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan
dengan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat teguran
setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih
harus dibayar berdasarkan Putusan Banding;
d) Dalam hal WP menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada WP disampaikan Surat
Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan;
e) Dalam hal WP mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT
setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima
Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh WP, kepada WP disampaikan Surat
Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan
keberatan tersebut; dan
f) Dalam rangka Penagihan Pajak atas utang Bumi dan Bangunan dan/atau
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang tercantum dalam
STPPBB, SKBKB, SKBKBT, STB atau Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kepada WP disampaikan Surat
teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan.
Penyampaian Surat Teguran dapat dilakukan secara langsung, melalui pos
atau melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
2. Surat Paksa Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal
Surat Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh
Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi
dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh
Jurusita Pajak.
3. Surat Sita Utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa
diberitahukan oleh Jurusita Pajak tidak dilunasi, Jurusita Pajak dapat
melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat
Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
4. Lelang Dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah
tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan
pengumuman lelang melalui media massa. Pengumuman lelang untuk barang
bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2
(dua) kali. Penjualan secara lelang melalui Kantor Lelang Negara terhadap
barang yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah
pengumuman lelang. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan
sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan
untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat
pelelangan. Catatan Barang dengan nilai paling banyak Rp.20.000.000,- tidak
harus diumumkan melalui media massa
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Penagihan Pajak merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Direktoral
Jendral Pajak untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya. Penagihan pajak dilakukan untuk melaksanakan amanat
Undang- Undang Perpajakan dimana telah disebutkan dalam Undang-undang Nomo
16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakn bahwa setiap
Wajib pajak berkewajiban untuk melaporkan dan membayar pajak kepada negara.
Berdasarkan hal tersebut, apabila Wajib Pajak tidak membayar sebagian atau
seluruhnya utang pajak dan biaya penagihan termasuk juga sanksi administrasi
berupa denda, bunga atau kenaikan maka akan dilakukan penagihan pajak.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa dan beberapa tokoh, penagihan pajak merupakan serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak terhadap Wajib Pajak yang
memiliki utang pajak sesuai dengan yang diatur dalam Undang-undang perpajakan.
Serangkaian tindakan penagihan pajak dilakukan dengan cara menegur atau
rnemperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan
Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan
tata cara pelaksanaan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mentri Keuangan Nomor
24/PMK.03/2008.
DAFTAR PUSTAKA
Nadhiastutie, AR. 2010. “Evaluasi Efektifitas Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Palmerah Periode 2008-2009”. uajy.ac.id. 20
Februari 2016
Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah dilakukan perubahan
keempat dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 85/Pmk.03/2010 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/Pmk.03/2008 Tentang Tata
Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa Dan Pelaksanaan Penagihan
Seketika Dan Sekaligus.