HAK MILIK ATAS TANAH DAN PENDAFTARAN TAN

BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Sudah 48 tahun usia Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Namun
selama kurun waktu itu pula persoalan sengketa tanah mengenai hak Milik tak pernah reda.
Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting
dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam juga
tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya tempat manusia berkubur.
Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku
bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum
adat disebut hukum tanah adat dan yang lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah
Barat. Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka
terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan
padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk ke dalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan
melalui lembaga konversi.
Konversi adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk
masuk sistem dalam dari UUPA (A.P. Parlindungan, 1990 : 1).
Secara akademis dapat dikemukakan bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang
pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur
penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai
makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Ini baik secara v

ertikal maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan
tanah, praktek-praktek manipulasi dalam perolehan tanah pada masa lalu dan di era reformasi
muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta
ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem
perundang-undangan agraria.
Di satu pihak masyarakat masih tetap menggunakan hukum adat sebagai sandaran
peraturan pertanahan dan diakui oleh komunitasnya, akan tetapi di lain pihak, hukum agraria
nasional belum sepenuhnya mengakui validitas hukum adat tersebut.

1|Page

II. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat di buat suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Pendaftaran Hak Atas Tanah ?
2. Macam- macam sistem Pendaftaran Tanah ?

2|Page

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hak Milik Atas Tanah
Adapun hak-hak atas tanah tersebut menurut Pasal 16 ayat (1) UUPA terdiri dari :
a. Hak Milik.
b. Hak Guna Usaha.
c. Hak Guna Bangunan.
d. Hak Pakai.
e. Hak Sewa.
f.

Hak Membuka Tanah.

g. Hak Memungut Hasil Hutan.
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak yang tersebut di atas yang akan ditetapkan
dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Hak atas tanah meliputi semua hak yang diperoleh langsung dari negara disebut hak
primer dan semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada
perjanjian bersama, disebut hak sekunder. Kedua hak tersebut pada umumnya mempunyai
persamaan, di mana pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk
dirinya sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari orang lain mdalui perjanjian dimana satu
pihak memberikan hak-hak sekunder pada pihak lain.

Hak atas tanah yang diperoleh dari negara terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Tiap-tiap hak mempunyai karakteristik
tersendiri dnn semua harus didaftarkan menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang
berlaku.
Menurut Pasal 20 UUPA hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Salah satu kekhususan dari Hak Milik ini tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu
yang tidak terbatas lamanya yaitu selama hak milik ini masih diakui dalam rangka beriakunya
UUPA, kecuali akan ketentuan Pasal 27 UUPA. Pasal 27 UUPA menjelaskan bahwa Hak Milik
itu hapus apabila :
·

Tanahnya jatuh kepada negara :

3|Page

1.

Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18


2.

Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya

3.

Karena diterlantarkan

4.

Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2)

·

Tanahnya musnah.
Pada asasnya badan hukum tidak mungkin mempunyai tanah dengan hak milik kecuali

ditentukan secara khusus oleh Undang-undang atau peraturan lainnya, seperti yang telah
ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1973 yaitu:
a.

b.

Bank-bank yang didirikan oleh negara.
Perkumpulan-perkumpulan

Koperasi pertanian

yang

didirikan berdasarkan undang-

undang Nomor 79 Tahun 1958.
c.

Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agraria

setelah mendengar

menteri agama.
d.


Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agraria setelah mendengar menteri

sosial.
Penjelasan umum UUPA menerangkan bahwa dilarangnya badan hukum mempunyai hak
milik, karena memangnya badan hukum tidak periu mempimyai hak milik tetapi cukup bagi
keperluan-keperluan yang khusus yaitu hak-hak lain selain hak milik.
B. Pengertian Pendaftaran Hak Atas Tanah
Pendaftaran Hak Atas Tanah Adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah
secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan
daftar , mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan
rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan pemilik terhadap hak
atas tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru, kegiatan
pendaftaran tersebut memberikan suatu kejelasan status terhadap tanah. Dalam Pasal 1 PP No. 24
tahun 1997 disebutkan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan
4|Page


pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadis
yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua bidang
tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan
suatu hak atas tanah maupun tanah negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas
tanah menurut hukum adat dan hak atas tanah menurut UUPA.
Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadis
yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua bidang
tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan
suatu hak atas tanah maupun tanah negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas
tanah menurut hukum adat dan hak atas tanah menurut UUPA.
C. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah
Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah
dihapuskan, dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah
sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum

yang bersifat Recht Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah
diatur di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.

5|Page

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat,
keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut
pertimbangan Menteri Agraria.
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran
termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu
dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang dimaksud Pasal 23,

Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak, agar menjadikan kepastian
hukum bagi mereka dalam arti untuk kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal
tersebut dijelaskan :
Pasal 23 UUPA :
Ayat 1 : Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya
dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 32 UUPA :
Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan
dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud
dalam Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka
waktunya berakhir.
Pasal 38 UUPA :
Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap
peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam Pasal 19.
Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai

hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus
karena jangka waktunya berakhirnya.
Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang
dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan adalah merupakan alat
6|Page

pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak
tersebut.
D. Tujuan Pendaftaran Tanah
Usaha yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuan-ketentuan
dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UUPA disebutkan
untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah
untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Rech
Kadaster” artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di selenggarakannya
pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status
hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang
empunya dan beban-beban apa yang melekat di atas tanah tersebut.
Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak seseorang,
disamping untuk pengelakkan suatu sengketa perbatasan dan juga untuk penetapan suatu
perpajakan. (A.P. Parlindungan; 1990 : 6).

a.

Kepastian hak seseorang
Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi jelas misalnya
apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak- hak lainnya.

b. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan
Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat
dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya tanah
tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya serta batas – batasnya.
c. Penetapan suatu perpajakan
Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal tersebut dapat
ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang. Dalam lingkup yang lebih luas
dapat dikatakan pendaftaran itu selain memberi informasi mengenai suatu bidang tanah,
baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu
sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang
terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya sendiri,
harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan.

7|Page

Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk itu UUPA melalui
pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran itu diwajibkan bagi pemegang hak
yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa tujuan
dari pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mcngadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Di dalam kenyataannya tingkatan-tingkatan dari pendaftaran tanah tersebut terdiri dari:
a. Pengukuran Desa demi Desa sebagai suatu himpunan yang terkecil.
b. Dari peta Desa demi Desa itu akan memperlihatkan bermacam-macam hak atas tanah
baik Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan
maupun tanah-tanah yang masih dikuasai oleh negara.
c. Dari peta-peta tersebut akan dapat juga diketahui nomor pendaftaran, nomor buku tanah,
nomor surat ukur, nomor pajak, tanda batas dan juga bangunan yang ada di dalamnya.
Khusus untuk pendaftaran tanah akta para penulis di Indonesia lebih lazim menggunakan
terminology sistem pendaftaran negatif atau stelsel negatif untuk penyebutan sistem pendaftaran
akta, seperti Abdurrahman, AP. Parlindungan, demikian juga Boedi Harsono, lebih cenderung
menggunakan istilah tersebut. Pada hakekatnya kedua lembaga pendaftaran tanah baik yang
positif maupun negatif ada persamaan karakter yuridisnya yaitu: kedua model atau jenis ini
merupakan sebutan lain dari "pendaftaran hak atas tanah" untuk kepentingan individual
pemegang hak dengan tujuan untuk memberikan kepastian hak dan keamanan hukum bagi
pemilik bidang tanah yang diselenggarakan oleh Negara.
Sebagaimana diungkapkan oleh Boedi Harsono, bahwa Setiap pendaftaran tanah baik
dalam sistem pendaftaran akta maupun hak, tiap pemberian atau menciptakan hak baru serta
8|Page

pemindahan hak baru dan pembebanannya dengan hak lain kemudian, harus dibuktikan dengan
suatu akta. Dalam akta tersebut dengan sendirinya dimuat data yuridis tanah yang bersangkutan,
perbuatan hukumnya, haknya, penerima haknya, hak apa yang dibebankan.
Karakter yuridis yang spesifik dari sistem pendaftaran akta ( Registration of deeds) atau
sistem pendaftaran negatif ini adalah bahwa dokumen tertulis atau akta yang dibuat oleh para
pihak ( pemilik yang mengalihkan ) yang dilakukan atas bantuan pejabat umum yang berwenang
( seperti Notaris atau pejabat lain seperti ahli hukum ) didaftarkan kepada pejabat yang diberikan
wewenang untuk itu agar dicatatkan haknya sebagai pemegang hak atas tanah yang baru, dan
oleh pejabat pencatat tersebut dicatatkan dalam register ( pencatatan buku tanah ), tanpa
melakukan penelitian atas kebenaran akta atau dokumen tertulis yang diserahkan.
Kelebihan dari sistem pendaftaran tanah akta ini adalah adanya jaminan yang diberikan
kepada pemilik yang sebenarnya, dengan kata lain bahwa kesempatan bagi pemilik atau yang
berhak atas sebidang tanah untuk mengadakan perlawanan atau tuntutan hukum terhadap pihakpihak lain yang telah mendaftarkan bidang tanah tersebut. Hal mana tuntutan atau klaim atas
bidang tanah tersebut melalui peradilan dengan alat bukti yang menunjukkan memang yang lebih
berhak. Sebaliknya bahwa dalam sistem pendaftaran dengan stelsel negatif ( akta ) dapat
diketemukan beberapa kelemahan yang oleh beberapa pakar dinilai mendasar.
Adapun kelemahannya antara lain adalah :
Dalam sistem pendaftaran akta lebih merefleksikan adanya ketidak adanya jaminan
kepastian hak dan hukum bagi mereka pemegang hak atas tanah dan bagi mereka beretiket baik
atas sebidang tanah yang didaftarkannya.
Sifat pasif dari pejabat pendaftaran tanah. Artinya bahwa pejabat pendaftaran tanah tidak
melakukan pengujian kebenaran data ( akta ) yang disampaikan oleh pemohon, sehingga posisi
hukum menjadi lemah.
Dalam sistem pendaftaran akta ini kekuatan hukum akte yang didaftarkan tidak
mempengaruhi kekuatan hukum akta lainnya. Bahwa pendaftaran akte hanyalah penetapan
sekala prioritas sebagai referensi waktu saat ( tanah ) tersebut didaftarkan dan bukan waktu untuk
pelaksanaannya.
Bahwa suatu akta bukanlah bukti hak, namun hanyalah menunjukan adanya pencatatan
selesainya transaksi dan beralihnya benda yang ditransaksikan.
9|Page

Robert TJ. Stein menyatakan bahwa kelemahan dari sistem pendafataran yang negatif ini
antara lain adalah: Pertama, dokumen yang dibuat oleh ahli hukum yang tujuannya untuk
mengalihkan suatu hak atas tanah dibangun sesuai dengan ketentuan hukum dan hubungan
hukumnya, untuk menjamin bahwa suatu kepentingan hukum atas tanah yang diperolehnya
hanya bisa jika sipemilik mempunyai hak dan kemampuan untuk mengalihkan. Suatu akta
menjadi tidak valid apabila terdapat pemalsuan atau karena menyalahi peraturan sehingga
peralihan tersebut tidak mempunyai pengaruh apa-apa; kedua, adanya kesulitan memahami
dokumen-dokumen lama yang dibuat ( sebelumnya) dari sebuah rangkaian hak-hak terdahulu
karena adanya perubahan penggunaan bahasa dan formatnya; ketiga, pendaftaran akta ini rawan
dari kesalahan dan pemalsuan; keempat, dalam sistem pendaftaran akte ini ketidak pedulian akan
penelitian padahal hal tersebut diperlukan untuk melacak rangkaian hak-hak yang ada
sebelumnya, dimana pelacakan tersebut membutuhkan biaya yang besar , tenaga dan menyita
waktu, kadang dibutuhkan tenaga yang profesional yang mahal.
Dalam hal jual beli dan jaminan, membutuhkan setidaknya dua pengujian yang dilakukan
seperti oleh penasehat hukum pembeli dan oleh penasehat hukum penjaminan. Selajutnya
masalah lewat waktu bisa memunculkan masalah dimana dokumen-dokummen hak mungkin
bukan pemilik terakhir, sehingga mereka bisa saja salah, pada saat hak tersebut dialihkan;
kelima, diperlukan kemampuan khusus yang disyaratkan untuk membangun suatu rangkaian hak;
keenam, kompleksitas yang mengalir dari suatu pertumbuhan rangkaian hak termasuk
pembagian hak yang asli dari pemilik-pemilik kemudian; pertimbangan tempat penyimpanan
dokumen-dokumen yang relevan dari setiap perjanjian untuk hak; ketujuh, kemungkinan adanya
kesalahan. Dengan kata lain Jaminan terhadap pemilik atau pemegang hak atas tanah sifatnya
tidak mutlak, masih bisa dibantah atau dipertanyakan, inilah merupakan ciri pokok dari
pendaftaran sistem negatif.
Sebaliknya, pertanyaan selanjutnya adalah lalu bagaimana dengan Sistem pendaftaran
hak ( registration of title) atau sistem stelsel positif atau sistem Torrens ( Torrens System ).
Bahwa sistem pendaftaran ini merupakan perbaikan atau penyempurnaan atas sistem pendaftaran
sebelumnya.

Sistem ini merupakan suatu pencatatan hak baik pencatatannya maupun

penyimpanannya menjadi kewenangan dari lembaga publik.Karakter yuridis yang spesifik dari
sistem pendaftaran positif, ini adalah bahwa:

10 | P a g e

1. Bidang tanah yang didaftarkan menurut sistem ini dianggap belum ada haknya. Hak baru
akan lahir setelah dilakukan pengujian atau penelitian dan diumumkan. Seperti yang
dikemukakan oleh Stein bahwa dalam pendaftaran hak ini hak hanya dapat diperoleh
melalui atau pada saat dilakukan pendaftaran atau tercatat dalam register.
2. Negara memberikan jaminan penuh bagi pemegang haknya yang tercatat ( terdaftar )
dalam daftar umum terhadap tuntutan – tuntutan atau claim pihak ketiga atau siapapun.
Jaminan kerugian dari Negara bagi pemilik yang mungkin dirugikan atau adanya
kekeliruan atau kesalahan dalam pendaftaran haknya bersifat " Indefeasible". Atau
menurut Eugene C. Massie bersifat absolute dan tidak dapat diganggu gugat. Setidaknya
ada 3 ( tiga ) jaminan keamanan bagi tanah yang terdaftar yakni: pertama, berkaitan
dengan bendanya (property ) atau tanahnya yang terdaftar ( the property register); kedua,
berkaitan dengan kepemilikan atau penguasaannya ( the proprietorship register); ketiga,
berkaitan dengan jaminan hak-hak yang ada ( the charges register).
3. Dalam sistem pendaftaran tanah positif ini pejabat yang diberikan kewenangan
melakukan pendaftaran bersifat aktif. Merupakan konsekuensi logis dari adanya jaminan
Negara hak yang terbit tidak lagi dapat diganggu gugat, tidak ada tuntutan pihak-pihak
lain yang merasa berhak atas bidang tanah yang didaftarkan tersebut. untuk itu maka
adanya pejabat yang disebut " Barister and Conveyancer" yang dikenal sebagai pejabat
penguji atau peneliti yang disebut " examiner of title ( pemeriksa alas hak). dalam PP No.
10 tahun 1961 disebut sebagai Panitya A atau B, atau semacam panitya Ajudikasi dalam
PP No. 24 tahun 1997.
4. Dalam sistem pendaftaran hak ini negara memberikan jaminan dana kompensasi apabila
ternyata terdapat kesalahan prosedur dalam pendaftarannya yang mengakibatkan
kerugian bagi pihak yang mungkin lebih berhak.
5. Dalam sistem pendaftaran positif ini adalah diterbitkannya tanda bukti sekaligus alat
bukti yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah yang didaftarkan yaitu berupa "
sertifikat hak atas tanah" atau " sertificate of title".
Tidak ada satu pun didunia ini yang sempurna, demikian juga dengan sistem pendaftaran
tanah yang positif ini. Sisi lemah dari sistem pendaftaran tanah positif ini antara lain:

11 | P a g e

-

Pertama, bahwa setiap pendaftaran hak dan peralihan hak dalam sistem positif ini
memerlukan pemeriksaan yang sangat teliti dan seksama sebelum orang tersebut
didaftarkan sebagai pemilik dalam daftar ini. Disini para petugas pendaftaran harus
memainkan peranan yang sangat aktif disamping peralatan yang cukup. Mereka harus
meneliti apakah hak yang akan didaftar / dipindahkan tersebut dapat didaftarkan, dan
mengenai segala persyaratan formil yang harus dipenuhi oleh orang yang akan
mendaftarkan haknya;

-

Kedua, dalam sistem pendaftaran positif ini, karena peran aktif dari petugas dalam hal
penelitian secara terinci membutuhkan dan menyebabkan memakan waktu lama serta
panjang, sehingga menimbulkan kesan dipersulit;

-

Ketiga, sistem ini sangat merugikan bagi mereka para pihak yang benar-benar berhak.
Bagi mereka yang berhak, tidak menutup kemungkinan akan tetap kehilangan hak atas
sebidang tanah atas suatu putusan yang jelas dimenangkan mereka akan tetapi akan tetap
kehilangan haknya diluar perbuatannya dan diluar kesalahannya;

-

keempat, dalam penyelesaian persoalan maka segala apa yang sebenarnya menjadi
wewenang Pengadilan ditempatkan dibawah kekuasaan administratif
Pertanyaan hukumnya kemudian adalah model sistem pendaftaran tanah yang mana yang

dipergunakan di Indonesia. Jawabannya seharusnya adalah Bilamana mencermati ketentuan
hukum yang berlaku ( PP No. 10 tahun 1961 yo. PP No. 24 tahun 1997 ) dengan menunjuk
bahwa dokumen formal kepemilikan hak atas tanah sesuai ketentuan hukum tersebut berupa
sertipikat hak maka dapat disimpulkan ( sementara ) bahwa Sistem pendaftaran tanah di
Indonesia seharusnya mendasarkan pada sistem pendaftaran dengan stelsel positif, karena
memang ciri atau karakter khas dari sistem pendaftaran tanah ini adalah adanya sertipikat
sebagai alat bukti hak kepemilikan atas tanah.
Terlebih lagi seluruh urutan prosedur dan mekanisme yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan kita menuju kepada aturan hukum pada sistem pendaftaran tanah dengan
model sistem stelsel positif. Namun demikian jika kita mencermati yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia ( MARI ) secara tegas menyatakan bahwa pendaftaran tanah kita
menganut model stelsel negatif. Salah satu yurisprudensi tersebut dapat dibaca dalam Putusan
MARI No. Reg. 459 K / Sip / 1975, tanggal 18 September 1975, menyatakan bahwa:
12 | P a g e

Mengingat stelsel negatif tentang register / pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia,
maka terdaftarnya nama seseorang didalam register bukanlah berarti absolute menjadi pemilik
tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain (seperti halnya dalam
perkara ini).
Pendaftaran Tanah di Indonesia adalah menganut sistem negatif, Namun berkarakter
stelsel yuridis sistem pendaftaran positif sangat terlihat. Karakter positif tersebut dapat dilihat
antara lain:
Adanya panitya pemeriksaan tanah "barrister and conveyancer" yang disebut panitya A
dan B yang tugasnya melakukan pengujian dan penelitian " examiner of title". dari penelitian
tersebut maka akan dilakukan pengujian dan menyimpulkan bahwa setidaknya berisi: pertama,
lahan atau bidang tanah yang diajukan permohonan pendaftaran adalah dalam keadaan baik dan
jelas; kedua, bahwa atas permohonan tersebut tidak ada sengketa dalam kepemilikannya; ketiga,
bahwa atas kenyakinan panitya permohonan tersebut dapat diberikan; keempat, bahwa terhadap
alat bukti yang dijadikaan alas hak untuk pengajuan pendaftaran tidak ada orang yang
berprasangka dan keberatan terhadap kepemilikan pemohon tersebut. tujuannya untuk menjamin
kepastian hukum tanah yang didaftarkan ( pasal 19 UUPA). Boedi Harsono menyebut sebagai
Sistem negatif tendens positif.
Model karakter positif yang terlihat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun
1997, antara lain: a. PPAT diberikan tugas untuk meneliti secara material dokumen-dokumen
yang diserahkan dan berhak untuk menolak pembuatan akta; b. pejabat yang berwenang
( petugas ) berhak menolak melakukan pendaftaran jika pemilik tidak wewenang mengalihkan
haknya; c. Pemerintah menyediakan model – model akta untuk memperlancar mekanisme tugastugas PPAT.
Adanya sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan, sebagai tanda bukti dan alat
pembuktian hak kepemilikan atas tanah.
Bentuk karakter negatif dinyatakan secara tegas dalam penjelasan pasal 32 PP No. 24
tahun 1997 yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan tidak menggunakan
sistem publikasi positif, namun negatif. Karakter negatif muncul karena tidak adanya
kompensasi yang diberikan apabila terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam rangka penerbitan
sertifikat hak atas tanahnya. Sistem pendaftaran negatif merupakan warisan masa lalu yang
berlangsung sampai saat ini. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda pendaftaran tanah
13 | P a g e

dilakukan untuk tanah-tanah yang tunduk terhadap hukum barat ( Belanda ) yang dilaksanakan
oleh yang namanya Kantor Kadaster ( Kantor Pertanahan ).
Sesuai dengan tugas dari Kantor Kadaster dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran
pada waktu itu, pendaftaran tanahnya berdasarkan Stbl. 1824 No. 27 jo. 1947 No. 53, dimana
perjanjian obligatoir peralihan hak dilaksanakan dengan segala bukti tertulis, akta Notaris,
ataupun dibawah tangan yang disaksikan Notaris dan kemudian oleh Kepala Kantor Kadaster
yang merupakan seorang Pegawai Balik Nama ( Overschrijvingsambtenaar) beserta salah
seorang pegawainya membuatkan akte peralihannya. Baru didaftarkan pada daftar yang
bersangkutan setelah kewajiban – kewajiban pembayaran dilakukan lebih dahulu.
Perubahan yuridis baru setelah Negara kita merdeka dan setelah dikeluarkannya undangundang pokok agraria ( UUPA) beserta peraturan pelaksaannya sebagai pengganti atau mencabut
ketentuan perundangan sebelumnya yang dikeluarkan oleh pemerintah hindia Belanda terutama
yang berhubungan dengan tanah, seperti pencabutan ketentuan yang diatur dalam buku II BW
( burgelijk Wetboek ) khusus yang mengatur mengenai tanah. tanda bukti kepemilikan hak atas
tanah yang berwujud Sertipikat baru muncul setelah terbitnya UUPA ( pasal 19 UUPA ) yang
ditindak lanjuti oleh PP. No. 10 tahun 1961 dan selanjutnya digantikan oleh PP. No. 24 tahun
1997.
Sistem pendaftaran yang di gunakan dalam PP No.24 tahun 1997 adalah sistem
pendaftaran hak. Hal tersebut tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat
data fisik dan data yuridis yang dihimpun dan disajikan serta di terbitkan sertifikat sebagai tanda
bukti hak yang terdaftar dalam rangka memberi kepastian hukum kepada para pemegang hak
atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun,maka dalam pasal 32 ayat (1) mengatur
mengenai kekuatan pembuktian sertufikat sebagai alat bukti yang kuat. Ketentuan pasal 64 PP
No.24 tahun 1997 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan pasal 32 ayat (1) tersebut bukan
hanya berlaku terhadap hal-hal yang di hasilkan dalam kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan
ketentuan PP No.10 tahun 1961. maka ketentuan pasal 32 ayat (1) juga berlaku bagi sertifikatsertifikat yang di hasilkan dalam kegiatan pendaftaran tanah menurut PP No.10 tahun 1961
sehingga adanya kepastian hukum bagi para pemegang sertifikat.

14 | P a g e

BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Hak Milik adalah hak terkuat dan terpenuh, tetapi di atas itu ada hak pemerintah untuk
mempergunakan tanah demi kepentingan umum dan pemilik hak milik di berikann ganti rugi.
Pendaftaran hak atas tanah adat menurut ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 adalah sebelum
didaftarkan harus dikonversi terlebih dahulu. Terhadap hak atas tanah adat yang memiliki buktibukti tertulis atau tidak tertulis dimana pelaksanaan konversi dilakukan oleh Panitia Pendaftaran
ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional, prosesnya dilakukan
dengan penegasan hak sedangkan terhadap hak atas t anah adat yang tidak mempunyai bukti
dilakukandengan proses pengakuan hak.
SARAN
sistem negatif dimaksud digunakan karena sudah sesuai dengan kondisi masyarakat saat
ini. tetapi yang lebih penting bukan pada sistemnya yang digunakan, namun bagaimana realitas
pelaksanaan dalam proses sertipikasi agar informasi yang dicatatkan dalam buku tanah
merupakan data yang paling mendekati kebenaran.
Seyogyanya strategi pembangunan hukum agraria nasional dapat menampung aspirasi
masyarakat hukum adat. Antara lain :
1.

Agar pemasyarakat UUPA terus dilakukan sehingga masyarakat mengetahui secara baik

tentang peraturan pertanahan. Bahkan UUPA yang sekarang sepertinya sudah sangat ketinggalan
zaman juga perlu diadakan penyesuaian.
2.

Perlu penyuluhan hukum yang sifatnya terpadu yang dilakukan pihak Badan Pertanahan

Nasional secara mandiri sehingga masyarakat akan mengerti pentingnya sertifikat Tanah Hak
Milik, sehingga perlu dilakukan pendaftaran Tanah.
3.

Dengan berlakunya PP No.24 Tahun 1997 hendaknya pendaftaran tanah diIndonesia bukan

diutamakan di daerah perkotaan tetapi pendaftaran hendaknya dilakukan di desa terutama desa
tingkat ekonomi lemah, apalagi masyarakat di pedesaan kurang begitu mengerti bagaimana
pendaftaran tanah dan pentingnya pendaftaran tanah.

15 | P a g e