SOSIOLOGI KOMUNIKASIBAHASA DAN SIMBOL ME

BAHASA DAN SIMBOL MEDIA
A. Bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan
mengatakan

bahwa

bahasa

bukan

satu-satunya

alat

untuk

mengadakan

komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan

komunikasi dengan menggunakan
bersama.

Lukisan-lukisan,

asap

cara-cara tertentu
api,

bunyi

yang telah

gendang

atau

disepakati


tong-tong

dan

sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan
dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.
Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sebuah
komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Bagi orang yang
mengerti

sistem

bahasa

meng...seekor...di...” adalah

Indonesia

akan


mengakui

bahwa

susunan

“Ibu

sebuah

kalimat

bahasa

Indonesia

yang

benar


sistemnya, meskipun ada sejumlah komponennya yang ditanggalkan. Tetapi susunan
“Meng ibu se ikan goreng di dapur” bukanlah kalimat bahasa Indonesia yang benar
karena tidak tersusun menurut sistem kalimat bahasa Indonesia. Sebagai sebuah
sistem, bahasa selain bersifat sistematis juga bersifat sistemis. Dengan sistematis
maksudnya, bahasa itu tersusun menurut suatu pola tertentu, tidak tersusun secara
acak atau sembarangan. Sistemis, artinya sistem bahasa itu bukan merupakan sebab
sistem tunggal, melainkan terdiri atas sejumlah subsistem, yakni sub-sistem fonologi,
subsistem morfologi, sub-sistem sintaksis, dan sub-sistem leksikon.
1. Pengertian Bahasa
Bahasa merupakan aspek yang begitu penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Mengutip pengertian bahasa menurut pendapat Keraf yang menyatakan ada dua
pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahwa bahasa sebagai alat
komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang menggunakan simbolsimbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer (Suyanto, 2011: 15).
Bahasa adalah keterampilan khusus yang kompleks, berkembang dalam diri
anak- anak secara spontan, tanpa usaha sadar atau intruksi formal, dipakai tanpa
memahami logika yang mendasarinya, secara kualitatif sama dalam diri setiap orang,
dan berbeda dari kecakapan-kecakapan lain yang sifatnya lebih umum dalam
memproses informasi atau berperilaku secara cerdas (Brown, 2008: 6).
Berdasarkan beberapa pengertian bahasa yang dikemukakan oleh para ahli di

atas, penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa bahasa adalah rangkaian sistem bunyi
atau simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, yang memiliki makna dan secara
konvensional digunakan oleh sekelompok manusia (penutur) untuk berkomunikasi
(melahirkan pikiran dan perasaan) kepada orang lain.

Ada tiga pandangan tentang hakikat bahasa, seperti yang dikemukakan Jack C.
Richard yaitu Pandangan struktural atau structural view, pandangan fungsional
atau functional view dan pandangan interaksional atau interactional view. Tokoh
struktural memandang bahasa sebagai suatu sistem yang secara struktural
berkaitan dengan unsur-unsur yang digunakan untuk mengodifikasikan makna.
Menurut pandangan ini biasanya target dan tujuan belajar bahasa adalah penguasaan
akan unsur-unsur sistem bahasa (Nurhadi, 1995: 29).
Konsolidasi dari sejumlah kemungkinan definisi bahasa itu menghasilkan
definisi gabungan berikut ini:
1) bahasa itu sistematis;
2) bahasa adalah seperangkat simbol manasuka;
3) simbol-simbol itu utamanya adalah vokal, tetapi bisa juga visual;
4) simbol mengonvesionalkan makna yang dirujuk;
5) bahasa dipakai untuk berkomunikasi;
6) Bahasa beroperasi dalam sebuah komunitas atau budaya wicara;

7) Bahasa pada dasarnya untuk manusia, walaupun bisa jadi tak hanya terbatas
untuk manusia;
8) Bahasa dikuasai oleh semua orang dalam cara yang sama, bahasa dan
pembelajaran bahasa sama-sama mempunyai karakteristik universal.
2. Fungsi Bahasa
Mengutip pendapat yang dikemukakan Felicia yang menyatakan bahwa pada
saat berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah
bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa,
terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan
mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa,
orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa, suatu kelemahan yang tidak
disadari (Suyanto, 2011: 18).
Menurut pendapat dari Ogden & Richard dalam Tarigan (1993: 62), yang
mengemukakan adanya lima fungsi bahasa, yaitu:
1) Pelambangan acuan (symbolization of referenceI);
2) Pengekspresian sikap pada penyimak (the

expression

of


attitude

listener);
3) Pengekspresian sikap pada pengacu (the expression of attitude to referent);
4) Penunjang acuan/referensi (support ofreference).
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi sebagai alat

to

untuk

mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk
mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi
tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial.
3. Aspek Bahasa
Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang menggunakan simbol-simbol
vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak- gerik
badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu pula. Simbol adalah tanda yang


diberikan makna tertentu, yaitu mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap oleh
pancaindra (Keraf, 1997: 1).
Berdasarkan pendapat Anderson dalam Tarigan (1993: 2) mengemukakan
adanya delapan prinsip dasar hakikat bahasa, yaitu:
1) Bahasa adalah suatu sistem;
2) Bahasa adalah vocal (bunyi ajaran);
3) Bahasa tersusun dari lambang-lambang manasuka;
4) Setiap bahasa bersifat unik; bersifat khas;
5) Bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan;
6) Bahasa adalah alat komunikasi;
7) Bahasa berhubungan erat dengan budaya tempatnya berada;
8) Bahasa itu berubah-ubah.
4. Bahasa Lisan
Sesuai dengan fitrahnya umat manusia mempunyai kemampuan berbahasa
lisan dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena bahasa lisan dapat ditafsirkan mulai
berkembang sejak ada kehidupan manusia. Bahasa lisan terus berkembang sesuai
tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya.
Komunikasi lisan atau non-standar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak
teliti


berbahasa.

Akibatnya,

kita

mengalami

kesulitan

pada

saat

akan

menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat
dituntut untuk berbahasa bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud
tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara terbata-bata atau

mencampurkan

bahasa

standar

dengan

bahasa

non-standar

atau

bahkan,

mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian.
Bahasa lisan dapat disimpulkan bahwa bahasa lisan diwujudkan dalam bentuk
berbicara dan berkomunikasi antara satu orang dengan orang yang lain. Orang
yang hidup dalam masyarakat akan saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu,

mereka saling membutuhkan dan perlu saling membantu dalam berbagai bentuknya.
Orang menyadari, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat hidup sendiri
tanpa keberadaan dan bantuan orang lain. Sementara itu, sarana yang diperlukan
adalah berbicara, saling berhubungan dan berkomunikasi, yang diantaranya dengan
menggunakan bahasa yang mereka miliki dan mengerti. Manusia saling bertegur sapa,
bertutur dan berbicara. Bahasa lisan dapat ditekankan dengan gaya, cara, intonasiintonasi atau ekspresi tertentu sehingga lebih dapat dimengerti dan dihayati oleh lawan
bicaranya atau pendengarannya (Sutarno, 2008: 79).
Bahasa lisan adalah suatu bentuk komunikasi yang unik dijumpai pada
manusia yang menggunakan kata-kata yang diturunkan dari kosakata yang besar
(kurang lebih

10.000) bersama-sama

dengan

berbagai

macam

nama

yang

diucapkan melalui atau menggunakan organ mulut. Kata-kata yang terucap
tersambung menjadi untaian frase dan kalimat yang dikelompokkan secara sintaktis.
Kosakata dan sintaks yang digunakan, bersama-sama dengan bunyi bahasa yang
digunakannya membentuk jati diri bahasa tersebut sebagai bahasa alami
5. Fungsi Bahasa Lisan

Penggunaan ragam bahasa lisan mempunyai keuntungan, yaitu karena bahasa
ragam lisan digunakan dengan hadirnya peserta bicara, maka apa yang kurang
jelas dapat langsung ditanyakan kepada pembicara. Hal ini menunjukan bahwa
peranan penggunaan bahasa ragam lisan itu penting.
Berkaitan dengan ini, Pateda (1987: 63) mengemukakan ada empat
alasan mengapa bahasa lisan itu penting dalam komunikasi, yaitu:
1) Faktor kejelasan, karena pembicara menambahkan unsur lain berupa tekan dan
gerak anggota badan agar pendengar mengerti apa yang dikatakannya;
2) Faktor kecepatan, pembicara segera melihat reaksi pendengar terhadap apa yang
dibicarakan.
3) Dapat disesuaikan dengan situasi, artinya meskipun gelap orang masih bisa
berkomunikasi; dan
4) Faktor efisiensi, karena

dengan

bahasa

lisan

banyak

yang

dapat

diungkapkan dalam waktu yang relatif singkat dan tenaga yang sedikit.
Sebaliknya, berbeda halnya dengan penggunaan ragam bahasa tulisan. Apa yang
tidak jelas dalam bahasa tulisan tidak dapat ditolong oleh situasi seperti bahasa
lisan. Dalam bahasa lisan, apabila terjadi kesalahan, pada saat itu pula dapat
dikoreksi, sedangkan dalam bahasa tulisan diperlukan keseksamaan yang lebih
besar.
Menjelaskan pula perbedaan bahasa lisan dan tulisan. Bahasa lisan lebih bebas
bentuknya daripada bahasa tulisan karena faktor situasi yang memperjelas pengertian
bahasa yang dituturkan oleh penutur, sedangkan dalam bahasa tulisan, situasi harus
dinyatakan dengan kalimat-kalimat. Disamping itu, bahasa lisan yang digunakan
dalam tuturan dibantu pengertiannya, jika bahasa tutur itu kurang jelas oleh situasi,
oleh gerak-gerak pembicara, dan oleh mimiknya. Dalam bahasa tulisan, alat atau
sarana yang memperjelas pengertian seperti bahasa lisan itu tidak ada. Itulah
sebabnya, bahasa tulis harus disusun lebih sempurna.
Dalam penggunaan bahasa lisan, saran-saran suprasegmental memberi
sumbangan

yang

berarti

terhadap

keberhasilan

suatu

komunikasi.

Saran

suprasegmental itu, antara lain gejala intonasi yang berupa aksen, tekanan kata,
tinggi rendahnya nada, dan keras lembutnya suara. Penggunaan bahasa lisan,
meskipun kalimat yang diucapkan oleh seorang pembicara tidak lengkap, kita
dapat menangkap maknanya dengan melihat lagu kalimatnya serta gerak-gerik
tangan, mata dan anggota badan lainnya.
Sejumlah ahli telah melakukan studi bahasa lisan. Gambaran karakteristik
bahasa lisan sebagaimana telah diungkapkan oleh para ahli yang dimaksud sebagai
berikut:
1) Kalimat bahasa lisan banyak yang kurang terstruktur ketimbang bahasa
tulisan, yaitu (a) bahasa lisan berisi beberapa kalimat tidak lengkap, bahkan

sering urutan frasa-frasa sederhana, (b) bahasa lisan secara khusus memuat lebih
sedikit kalimat subordinat, dan (c) dalam percakapan lisan, kalimat-kalimat
pendek dapat diobservasi, dan biasanya berbentuk kalimat deklaratif aktif.
2) Dalam bahasa tulisan terdapat seperangkat penanda metabahasa untuk
menandai hubungan antar klausa (bahwa, ketika), juga, seperti, di samping itu,
biarpun, selain itu, yang disebut logical connector. Dalam bahasa lisan,
penggunaan susunan kalimat dihubungkan oleh dan tetapi, lalu, serta agak jarang
jika.
3) Kalimat

bahasa

tulisan

secara

umum

berstruktur

Subjek–Predikat,

sedangkan dalam bahasa lisan umumnya berstruktur topik komentar.
4) Dalam tuturan formal, peristiwa konstruksi pasif relatif jarang terjadi.
5) Dalam obrolan akrab, penutur dapat mempercayakan petunjuk pandangan untuk
membantu suatu acuan.
6) Penutur dapat menjaring ekspresi lawan bicara.
7) Penutur sering mengulangi beberapa bentuk kalimat.
8) Penutur sering menghasilkan sejumlah pengisi (filter), misalkan, baiklah, saya
pikir, engkau tahu, tentu.
D. Teori Tentang Simbol
Teori tentang simbol berasal dari Yunani kata symboion dari syimballo
(menarik kesimpulan berarti memberi kesan). Simbol atau lambang sebagai
sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem
epistimologi dan keyakinan yang dianut.
Pengertian simbol tidak akan lepas dari ingatan manusia secara tidak langsung
manusia pasti mengetahui apa yang di sebut simbol, terkadang simbol diartikan
sebagai suatu lambang yang digunakan sebagai penyampai pesan atau keyakinan yang
telah dianut dan memiliki makna tertentu, Arti simbol juga sering terbatas pada tanda
konvensionalnya, yakni sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau individu dengan
arti tertentu yang kurang lebih setandar yang disepakati atau dipakai anggota
masyarakat tersebut.
Adapun dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan tentang
simbol, begitu

pula

dengan kehidupan manusia tidak mungkin tidak berurusan

dengan hasil kebudayaan. Akan tetapi setiap hari orang melihat, mempergunakan
bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan tersebut.
Karena kebudayaan
merupakan hasil ciptaan manusia selaku anggota
masyarakat maka yang jelas tidak ada manusia yang tidak memiliki kebudayaan dan
juga sebaliknya tidak ada kebudayaan

tanpa

masyarakat, jadi masyarakat

mempunyai peran sebagai wadah dan pendukung dari suatu kebudayaan.
Karena masyarakat sendiri merupakan mahluk berbudaya, sedangkan
kebudayaan merupakan ukuran tingkah laku serta kehidupan manusia. Dan masyarakat
Jawa pada hakekatnya memiliki kebudayaan yang khas sebagai masyarakat
bersimbolis. Seperti dalam kehidupan sehari-hari simbol tidak hanya berguna sebagai
tempat mediasi untuk menyampaikan suatu pesan tertentu, menyusun epistimologi dan

keyakinanyang telah dianut. Simbol bagi masyarakat Jawa justru telah menjadi
sebuah simulasi yang sangat terbuka, sebagai sarana atau hal-hal yang menjadi
tempat esentialnya sehingga kebenaran esential itu menjadi kabur.
Arti simbol sering terbatas pada tanda konvensionalnya, yakni sesuatu yang
dibangun oleh

masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang kurang lebih

setandar yang disepakati atau dipakai anggota masyarakat tersebut.
Adapun dalam sejarah pemikiran, istilah simbol memiliki dua arti yang sangat
berbeda dalam pemikiran dan praktek keagamaan, simbol dapat dianggap sebagai
gambaran kelihatan dari realitas transenden, dalam sistem pemikiran logis dan
ilmiah.
Seperti salah satu tokoh yang berbicara tentang simbol yaitu Herbert Blumer
(1962) dia seorang tokoh moderen dari teori interaksionisme simbolik ini menjelaskan,
menurut Blumer istilah interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari
interaksi antar manusia. cirihasnya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan
saling mendefinisikan tindakanya. Bukan sekedar reaksi belaka dari tindakan
seseorang terhadap orang lain.
Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang
lain, tetapi didasarkan atas ‘’makna’’ yang diberikan terhadap tindakan orang lain
tersebut. Interaksi antar individu diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi
atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masingmasing.
Teori Blummer berasumsi dalam tiga premis utama yaitu:
1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada
sesuatu itu bagi mereka.
2) Makna itu diperoleh dari hasil interaksi social yang dilakukan dengan orang
lain.
3) Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi social sedang
berlangsung.
E. Fungsi Simbol
Manusia sebagai mahluk yang

mengenal simbol, menggunakan simbol

untuk mengungkapkan siapa dirinya. Karena manusia dalam menjalani hidupnya tidak
mungkin sendirian melainkan secara berkelompok atau disebut dengan masyarakat,
karena antara yang satu dengan yang lainnya saling membutuhkan. Manusia sebagai
anggota masyarakat dalam melakukan interaksinya seringkali menggunakan simbol
dalam memahami interaksinya.
Adapun fungsi simbol adalah :
1) Simbol memungkinkan manusia
material

dan

sosial

dengan

untuk

berhubungan

membolehkan

mereka

dengan

dunia

memberi

nama,

membuat katagori, dan mengingat objek-objek yang mereka temukan dimana saja.
Dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat penting
2) Simbol menyempurnakan manusia untuk memahami lingkungannya.

3) Simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk berfikir. Dalam arti ini,
berfikir dapat dianggap sebagai interaksi simbolik dengan diri sendiri.
4) Simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk mecahkan persoalan manusia.
sedangkan manusia bisa berfikir dengan menggunakan simbol- simbol sebelum
melakukan pilihan-pilihan dalam melakukan sesuatu.
5) Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia bertransendensi dari segi
waktu, tempat dan bahkan diri mereka sendiri. Dengan menggunakan simbolsimbol manusia bisa membayangkan bagaimana hidup dimasa lampau atau akan
datang. Mereka juga bisa membayangkan tentang diri mereka sendiri berdasarkan
pandangan orang lain.
6) Simbol-simbol memungkinkan

manusia

bisa

membayangkan

kenyataan-

kenyataan metafisis seperti surga dan neraka.
7) Simbol-simbol memungkinkan manusia agar tidak diperbudak oleh lingkungannya.
Mereka

bisa

lebih

aktif

ketimbang

pasif

dalam mengarahkan dirinya

kepada sesuatu yang mereka perbuat.
F. Komunikasi sebagai Aktivitas Simbolik
Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan
menggunakan lambang atau simbol. Pesan atau message merupakan seperangkat
simbol yang mewakili perasaan, nilai, gagasan, atau maksud sumber ataukomunikator.
Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya
berdasarkan kesepakatan sekelompok orang (Riswandi, 2009:25). Lambang memiliki
sifat-sifat sebagai berikut:
1) Sembarangan, mana suka, dan sewenang-wenang. Artinya, apa saja bisa
dijadikan lambang, tergantung pada kesepakatan bersama. Kata-kata, isyarat
anggota tubuh, tempat tinggal, jabatan, hewan, peristiwa, gedung, bungi, waktu,
dan sebagainya bisa dijadikan lambang.
2) Lambang pada dasarnya tidak

mempunyai

makna,

akan

tetapi

manusialah yang memberinya makna. Makna sebenarnya dari lambang ada dalam
kepala kita, bukan terletak pada lambang itu sendiri.
3) Lambang itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lain, dari suatu tempat ke
tempat lain, atau dari suatu konteks ke konteks yang lain. Lambang atau simbol
terbagi atas dua, yakni verbal dan nonverbal. Simbol verbal ialah bahasa atau katakata. Bahasa dapat didefinisikan seperangkat kata yang telah disusun secara
berstruktur, sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti. Terdapat
tiga fungsi bahasa yang erat hubungannya dalam menciptakan komunikasi yang
efektif, yakni: (a) untuk mempelajari tentang dunia sekeliling kita, (b) untuk
membina hubungan yang baik di antara sesama manusia, (c) untuk menciptakan
ikatan-ikatan dalam kehidupan manusia (Cangara, 2011:101).
Simbol nonverbal disebut juga isyarat atau simbol yang bukan kata-kata.
Simbol nonverbal sangat berpengaruh dalam suatu proses komunikasi. Menurut Mark

Knapp (1978), penggunaan simbol-simbol nonverbal dalam berkomunikasi memiliki
beberapa fungsi (Cangara, 2011: 106), yakni:
(a) untuk meyakinkan apa yang diucapkan (repetition), (b) untuk
menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bisa diutarakan dengan kat-kata
(substitution), (c) menunjukkan jati diri sehingga orang lain bisa mengenalnya
(identity), dan (d) menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang dirasakan
belum sempurna.
Simbol nonverbal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk (Cangara,
2011:107-115), antara lain:
1) Kinesics, yakni kode nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan.
2) Gerakan mata, yakni isyarat yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan mata. c.
Sentuhan, yakni isyarat yang dilambangkan dengan sentuhan badan.
3) Paralanguage, yakni isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara
sehingga penerima dapat memahami sesuatu di balik apa yang diucapkan.
4) Diam, yakni isyarat yang tidak semata-mata mengandung arti bersikap negatif,
tetapi bisa juga melambangan sikap positif.
5) Postur tubuh, yakni isyarat yang dapat melambangkan karakter seseorang.
6) Kedekatan dan ruang, yakni isyarat yang dapat melambangkan hubungan
Antara dua objek berdasarkan kedekatan dan ruang di antara mereka.
1) Artifak dan visualisasi, yakni hasil kerajinan manusia (seni), baik yang
melekat pada diri manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan umum.
Artifak juga menunjukkan status atau identitas diri seseorang atau suatu bangsa.
2) Warna, yakni isyarat yang dapat memberi arti terhadap suatu objek.
Hampir semua bangsa di dunia memiliki arti tersendiri pada warna, seperti pada
bendera nasional, serta upacara-upacara ritual lainnya yang sering dilambangkan
dengan warna-warni.
Larry A. Samovar dan Richard E. Porter mengklasifikasikan pesan-pesan
nonverbal ke dalam 2 kategori utama (Riswandi, 2009:71), yaitu:
1) Perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh,
ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan, dan parabahasa.
2) Ruang, waktu, dan diam.
Menurut Hartako & Rahmanto (1998), pada simbol dapat dibedakan atas tiga
bagian (Sobur, 2009:157), yaitu:
1) Simbol-simbol

universal,

berkaitan

dengan

arketipos,

misalnya

tidur

sebagai lambang kematian.
2) Simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu
(misalnya keris dalam kebudayaan Jawa).
3) Simbol individual yang biasanya dapat

ditafsirkan

dalam

konteks

keseluruhan karya seorang pengarang.
G. Pemaknaan Simbol
Sebuah komunikasi yang efektif akan terjadi apabila kedua belah pihak yang
melakukan transaksi pesan atau informasi saling memahami atau mengerti pesan
yang disampaikan. Pada dasarnya komunikasi memang

merupakan proses

pemberian

dan

penafsiran

pesan.

Sebelum

mengirim

pesan,

komunikator

mengolah dan menkoding pesannya sedemikian rupa, sehingga pesan tersebut
memenuhi tujuan komunikasi. Begitu juga komunikan, ia akan mencoba menafsirkan
pesan-pesan yang diterimanya dan memahami maknanya.
Astrid S. Sutanto (1978) dalam Arifin (2010:25) mengatakan bahwa
komunikasi adalah kegiatan pengoperan lambang yang mengandung arti/makna.
Pesan merupakan seperangkat lambang atau simbol yang memiliki makna tertentu.
Makna inilah yang harus dimengerti oleh setiap pelaku komunikasi. Simbolsimbol yang digunakan oleh manusia selain sudah ada yang diterima menurut
konvensi internasional, seperti simbol-simbol lalu lintas, alfabet latin, simbol
matematika, juga terdapat simbol-simbol lokal yang hanya bisa dipahami oleh
kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Sehingga, pemberian makna pada
simbol adalah suatu proses komunikasi yang dipengaruhi oleh kondisi sosial
budaya yang berkembang pada suatu masyarakat (Cangara, 2011:101).
Clifford Geertz (dalam Sobur, 2009:178) memaparkan hubungan antara
makna dan budaya sebagai berikut:
1) Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbolsimbol yang diwariskan melalui sejarah.

Kebudayaan adalah sebuah sistem

dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk- bentuk
simbolik

melalui

memperkembangkan

mana

manusia

pengetahuan

berkomunikasi,

mengekalkan,

tentang kehidupan

ini

dan

dan

bersikap

terhadap kehidupan ini.
2) Makna dapat dibedakan atas makna denotatif dan makna konotatif. Makna
denotatif ialah makna yang biasa ditemukan di dalam kamus, bersifat umum atau
universal. Makna denotatif adalah makna yang sebenarnya, yang dapat
digunakan untuk menyampaikan hal-hal faktual. Makna denotatif tidak
mengalami penambahan-penambahan makna, karena itulah makna denotatif
lebih bersifat publik. Sedangkan makna konotatif ialah makna denotatif
ditambah dengan segala gambaran, ingatan, perasaan, yang ditimbulkan oleh
kata atau simbol tersebut
Makna konotatif merupakan makna-makna kultural yang melekat pada
sebuah terminologi (Kriyantono, 2006:270). Sumardjo & Saini (1994) mengatakan
bahwa makna konotatif sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh dua lingkungan,
yaitu lingkungan tekstual dan lingkungan budaya (Sobur, 2009:266).
Ada pula klasifikasi makna yang lain, yakni makna subjektif dan makna
konsensus. Makna subjektif adalah makna yang mengacu pada interpretasi
individual, dikonstruksi melalui proses-proses kognitif manusia. Sementara
makna

konsensus

adalah

makna

yang

diinterpretasikan

secara

kolektif,

dikonstruksi melalui proses-proses interaksi manusia (Zakiah, 2008:185). Kedua
makna tersebut pada hakikatnya merupakan makna-makna yang menunjukkan

realitas sosial. Asumsinya adalah bahwa realitas secara sosial dikonstruksi melalui,
kata, simbol, dan perilaku dari para anggotanya. Kata, simbol, dan perilaku ini
merupakan sesuatu yang bermakna. Pemahaman atasnya akan melahirkan
pemahaman atas rutinitas sehari-hari dalam praktik-praktik subjek penelitian