Teori Kepemilikan Dalam teori Islam

KONSEP KEPEMILIKAN DALAM ISLAM*
Oleh: Muhammad Firliadi Noor Salim **
A. Pendahuluan
Konsep yang penting dalam perekonomian adalah konsep kepemilikan.

Kepemilikan menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro baik dalam sistem

ekonomi Islam maupun kapitalis sebab pembahasan dalam bidang kepemilikan ini
tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek sosial dan

politik sehingga menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan
konvensional sampai saat ini.

Pada saat ini realita yang nampak adalah telah terjadi ketidakadilan dalam

penguasaan atau kepemilikan harta kekayaan baik individu, umum dan negara.
Hal ini mengakibatkan timbulnya monopoli kepemilikan harta kekayaan yang

bertumpu pada satu golongan sehingga harta kekayaan tidak tersebar secara
merata di masyarakat. Menanggapi kenyataan tersebut, ekonomi islam diharapkan


dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan sekaligus menjadi sistem
perekonomian suatu negara.

Islam sebagai sistem hidup (way of life) dan merupakan agama yang

universal sebab memuat segala aspek kehidupan baik yang terkait dengan aspek

ekonomi, sosial, politik dan budaya. Seiring dengan perkembangan kajian tentang
ekonomi islam dan kebutuhan solusi krisis ekonomi yang ada saat ini mendorong

terbentuknya suatu ilmu ekonomi berbasis keislaman yang terfokus untuk
mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam.

Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menjelaskan bagaimana konsep

kepemilikan dalam Islam? Bagaimana klasifikasi kepemilikan dalam Islam? dan
apa saja qaidah-qaidah fiqih yang menjadi landasan kepemilikan dalam Islam?
B. Konsep Kepemilikan Dalam Islam
Disampaikan dalam perkuliahan yang diampu oleh Prof. Dr. Atthaillah, M.Ag. Mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah.
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin (NIM: 13

0205 1184)
*

**

1

Kepemilikan sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka"

yang artinya memiliki. Memiliki bisa diartikan dengan menguasai, memiliki suatu
benda berarti mempunyai hak mengatur dan memanfaatkan selama tidak terdapat
larangan dalam syariah. Dengan kepemilikan, pihak yang tidak memiliki tidak
berhak menggunakan suatu benda tanpa izin dari pemiliknya. Keterkaitan antara

manusia dan hartanya berbeda dengan keterkaitan manusia dengan kepemilikan.
Sebab kepemilikan bukanlah hal yang bersifat materi. Dalam Islam kepemilikan

membutuhkan legalisasi dari syariah. Menurut syariah, kepemilikan adalah

sebentuk ikatan antara individu terkait dengan harta, yang pada tahapan proses


kepemilikan disyaratkan berbagai hal yang disebut asal usul kepemilikan (asbab
al-milkiyyah). Selanjutnya syariah mengharuskan beberapa aturan dalam
pengoperasian harta dan dalam mengembangkannya.1

       
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi

(QS. Al-Baqarah: 284)

Menimbang kepemilikan adalah hal yang lazim bagi manusia, maka Allah

memberi kekuasaan kepada manusia untuk memiliki apa saja yang ada di bumi,
namun dengan catatan manusia harus selalu sadar akan statusnya yang hanya

diberi, maka ia harus tunduk kepada yang memberi. Kepatuhan ini harus terwujud
mulai saat manusia melakukan proses kepemilikan, hingga dalam menggunakan

hak miliknya. Semua harus sesuai dengan syariah yang merupakan ekspresi


kehendak Allah. Maka dari itu Islam mengesahkan kepemilikan yang bermula
dari proses yang sah, begitu juga sebaliknya, Islam sangat mengecam praktik

investasi yang melanggar aturan, terutama jika dengan akibat merugikan
masyarakat. Jika perugian terhadap masyarakat ini terjadi, maka si pemilik berarti

tidak menghiraukan masyarakat, yang sebenarnya dalam pandangan Islam

1
Lihat Muhammad Zarqa, Al-Fiqh al `Am, jilid 1 hal : 258 dalam M. Faruq an Nabahan, Sistem Ekonomi Islam, ibid, hal :
42-43

2

mempunyai hak dalam kepemilikan individu. Prinsipnya, Islam tidak mengakui
segala kepemilikan yang muncul dari cara yang menyimpang. 2

Pandangan Islam ini jelas berbeda dengan undang-undang kepemilikan

yang tunduk pada falsafah dan sosial politik dari ekonomi konvensional. Islam

menolak paham kapitalis, bahwa kepemilikan individu sangat absolut. Islam juga

berbeda dengan paham sosialis bahwa kepemilikan adalah tugas kolektif, di

samping itu, Islam juga menentang paham bahwa kepemilikan adalah hak
bersama. Islam sangat mengakui dan tidak menentang, bahwa kepentingan umum

haruslah dipertimbangkan dan didahulukan daripada kepentingan kelompok kecil,

apalagi kepentingan individu. Dengan demikian mempertimbangkan kemaslahat
umum adalah suatu hal yang harus diterima dalam rumusan kepemilikan.

Islam menolak paham bahwa kepemilikan adalah hak milik kolektif,

dengan alasan bahwa hal demikian ini bertentangan dengan milik individu, atau

perampasan individu dari hak miliknya, yang sekaligus memberi ruang kepada
masuknya intervensi pemerintah dalam pembredelan hak milik. Paham ini jelas

memposisikan pemerintah di antara pengatur harta, yang karenanya sah merampas


dan selanjutnya memberikan kepada siapa saja yang diberi pemerintah atas dalih
undang-undang.3

Islam tidak menghendaki terjadinya kepincangan antara hak individu

pemilik dan hak masyarakat lain, keberhakan pemilik dalam pandangan Islam

adalah hal yang baku. Hanya saja pemerintah mempunyai hak intervensi atas
nama undang-undang, dan inipun sangat terbatas pada keadaan tertentu yang
kaitannya erat dengan target sosial kemasyarakatan yang hendak diwujudkan.

Posisi Islam yang demikian dimaksudkan untuk membantu perimbangan

antara hak milik dan hak intervensi yang ditakutkan berlebihan dengan dalih demi

kesejahteraan umum. Dalam Islam, hak kepemilikan individu menyangkut hak

bersama yang harus diperhatikan, tanpa sedikitpun mengurangi hak hak-hak
2

M. Faruq An Nabahan, Sistem Ekonomi Islam : Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis, alih bahasa :
Muhadi Zainuddin, (Yogyakarta, UII Press, 2000) h. 44
3
Ibid. h. 45

3

pribadi pemilik. Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur
nan sejahtera, tanpa mengurangi hak milik individu. Menciptakan masyarakat
yang adil dan sejahtera tidak mungkin dibangun tanpa melindungi hak milik

individu anggotanya, maka melindungi hak milik individu anggota masyarakat
adalah perangkat utama dalam usaha mewujudakan masyarakat yang adil dan
makmur.4

C. Sebab-sebab Kepemilikan Dalam Islam
Dari ketentuan syara perihal sebab atau cara memperoleh kepemilikan,

yakni: (1) Ihrazul Mubahat, (2) Al-Uqud, (3) Al-Khalafiyah, (4) Al-Tawalludu
5


minal mamluk.

1. Ihrazul Mubahat (Menimbulkan Kebolehan)
Ihrazul mubahat adalah memiliki sesuatu (benda) yang menurut syara

boleh dimiliki atau disebut juga dengan Istila al-Mubahat. Istila al-Mubahat

adalah cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai

atau dimiliki pihak lain. Al-Mubahat adalah harta benda yang tidak termasuk
dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan

hukum (mani al-syar iy) untuk memilikinya. Misalnya,air yang masih berada

dalam sumbernya, ikan yang berada di lautan, hewan dan pohon kayu di hutan,
dan lainnya.

Tujuan penguasaan atas al-mubahat (harta babas) dengan tujuan untuk


dimiliki. Adapun cara penguasaan harta bebas tersebut yaitu:
a. Ihya

al-mawat, yaitu membuka tanah (ladang) baru yang tidak di

manfaatkan orang lain, tidak dimiliki dan berada diluar tempat tinggal
penduduk

b. Berburu hewan. Allah menghalalkan buruan kecuali jika pemburu sedang
berihram. Firman Allah:

4
5

Ibid. h. 46
Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqh Mu amalah, (Semarang, Pusataka Rizki Putra, 2001) h. 12.

4

            

           
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu

binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu)

dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
(QS. Al-Maidah: 1)

2. Al-Uqud (Perjanjian)
Akad berasal dari bahasa arab yang artinya perjanjian atau persetujuan.

Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara

orang yang berakad. Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan
ketentuan syara

yang menimbulkan pengaruh terhadap objek akad. Akad

merupakan sebab kepemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam

kehidupan menusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan.
3. Al-khalafiyah (Pewarisan)
Al-khalafiyah artinya pewarisan. Al-khalafiyah ada dua macam yaitu :
a. Khalafiyah Syakhsyun an Syakhsyin (Warisan)

Penggantian atas seseorang oleh orang lain. Misalnya dalam hal hukum

waris seorang ahli waris menggambarkan posisi pemilikan orang yang wafat
terhadap harta yang ditinggalkan.

b. Khalafiyah Syaa in an syaa iin (Menjamin kerugian)
Penggantian banda atas benda yang lainnya, seperti terjadi pada tadlmin

(pertanggungan) ketika seseorang merusak atau menghilangkan harta benda orang

lain, atau pada ta widl (pengganti kerugian) ketika seseorang mengenakan atau
menyebabkan kerusakan harta benda orang lain.
5

4. Al-Tawallud Minal Mamluk (Berkembang Biak)
Al-Tawallud minal amluk adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang

lainya. Setiap peranakan atau sesuatu yang tumbuh dari harta milik adalah milik
pemiliknya. Prinsip ini hanya berlaku pada harta benda yang dapat menghasilkan
sesuatu

yang

lain/baru

(produktif),

seperti

menghasilkan air susu, dan lain-lain.

bertelur,

berkembang

biak,

Dari ketentuan tersebut diatas terkandung nilai-niali filosofis:6
a. Nilai rahmat (kemurahan). Diperolehkannya seseorang memiliki sesuatu

yang mubah, seperti air, rumput, pepohonan di hutan, binatang buruan,
dan

lain-lain,

dengan

syarat

sesuatu

itu

tidak

berada

dalam

pemilikan/kekuasaan orang lain serta maksud untuk memiliki sesuatu
tersebut, menunjukkan begitu besar kemurahan Allah pada manusai yang

dengan pemilikan secara mudah tanpa ganti rugi itu menjadikan ia
memiliki keudahan di dalam memenuhi kepentingan hidup serta

menunjukkan perannya sebagai khalifah sekaligus hamba Allah. Lebih
dari itu, kebolehannay menempuh cara pemilikan seperti ini merupakan
pengejawantahan dari watak Islam rahmatan lil alamin .

b. Nilai penghargaan, kepastian dan kerelaan. Aqad/transaksi dikategorikan

sebagai suatu cara memperoleh hak milik menurut Islam. Dalam akad

terdapat sua atau lebih pihak yang melakukan perjanjian, masing-masing
pihak dihargai memiliki posisi yang sama, masing-masing memiliki

sesuatu yang bernilai sejak awal yang sama-sama dihargai dalam aqad, hal
ini mencerminkan bahwa dalam ketentuan Islam terkandung nilai

penghargaan terhadap setiap kepemilikan. Selanjutnya di dalam akad yang

terdapat persyaratan ijab dan qabul dan syarat-syarat lain menunjukkan
adanya nilai kepastian hukum dalam kepemilikan serta nilai kerelaan.

c. Nilai tanggungjawab dan jaminan kesejahteraan keluarga. Salah satu cara

yang diatur Islam untuk memperoleh pemilikan adalah melalui khalafiyah

M. Sularno, Konsep Kepemilikan Dalam Islam: Kajian dari Aspek Filosofis dan Potensi Pengembangan Ekonomi Islam,
Al-Mawardi Edisi IX Tahun 2003

6

6

syakhsy

an syakhsy atau kewarisan. Waris menempati kedudukan

muwaris (orang yang mewariskan) dalam memiliki harta yang
ditinggalkan oleh muwaris. Pewarisan harta utamanya merupakan
kosekuensi dari hubugan nasab dan pernikahan. Hak mewarisi bagi waris

sangat kuat posisinya, muwaris harus memperhatikan nasib warisnya.

Sehingga untuk berwakaf, sadakah, hibah, dan lain-lain, ada batas
maksimalnya (1/3), hal ini mencerminkan nilai jaminan/kometmen Islam
pada kesejahteraan keluarga lewat pengaturan kepemilikan.

D. Klasifikasi Kepemilikan Dalam Islam
Menurut Ibnu Taimiyah, hak milik terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:7 1)

Hak milik individual (al-milkiyyat al-fardiyyah/privat property), 2) Kepemilikan

umum (al-milkiyyat al- ammah/public property), 3) Kepemilikan negara (almilkiyyat al-daulah/state property).

1. Hak Milik Individual (Al-Milkiyyat Al-Fardiyyah/Privat Property)
Tentang akuisisi hak milik secara individual, Ibnu Taimiyah secara

sederhana menjelaskan dengan rinci untuk kepentingan yang dibenarkan oleh
syariat. Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya,
menggunakan

secara

produktif,

memindahkannya

dan

melindungi

dari

pemubadziran. Akan tetapi hak tersebut dibatasi oleh sejumlah limitasi

diantaranya: ia tak boleh menggunakannya dengan tabdzir, tidak boleh

menggunakannya dengan semena mena dan tidak boleh bermewah mewahan.
Dalam transaksi, ia tidak boleh menggunakan pemalsuan, penipuan dan curang

dalam timbangan. Juga dilarang mengeksploitasi orang-orang yang membutuhkan
dengan cara menimbun barang, dan lain sebagainya.8

7
8

Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, (trjm) H. Anshari Thayib, (Surabaya, Bina Ilmu, 1997) h. 31
Ibid. h. 138.

7

Terpisah dengan pembatasan atas hak milik di atas, pemilik juga

diharuskan kepada sejumlah kewajiban tertentu. Kewajiban pokok (fardhu `ain)
setiap individu agar menggunakan hartanya untuk kebutuhan sendiri dan

keluarganya, sedangkan membantu orang miskin adalah kewajiban sosial dalam
kategori fardhu kifayah.

Doktrin Ibnu Taimiyah menunjukkan bahwa ia cenderung menghargai hak

milik atas kekayaan yang berfungsi sosial. Ketika seorang individu tidak
melakukan kewajiban sosial atas hak miliknya, maka negara berhak melakukan

intervensi atas hak milik pribadi individu tersebut.9 Lebih lanjut negara berhak

untuk memungut pajak diluar kewajiban zakat, menetapkan denda, bahkan
penyitaan atas hak milik karena pertimbangan kondisi tertentu.

Kewajiban lain atas hak milik individu adalah kewajiban memberikan

pinjaman harta kepada orang lain yang membutuhkan , baik secara suka rela (bi

thariq al tabarru`) ataupun dengan mengambil keuntungan (bi thariq al ta`widh).

Kewajiban finansial yang tidak memberikan keuntungan terbagi menjadi 4 jenis

yaitu: pembayaran zakat, menjamu tamu, menyantuni sanak kerabat, dan
membantu orang yang membutuhkan bantuan.10

Secara alamiah manusia cenderung melakukan pertukaran barang untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, syariah tidak menetapkan aturan sepanjang

pertukaran tersebut dilakukan dengan sukarela. Namun bila tidak tercapai
kesepakatan dengan suka rela, syariah menetapkan kewajiban terntentu. Misalnya

seseorang berhutang kepada orang lain, dan ia memiliki barang yang dapat

melunasi utang tersebut, maka negara berhak memaksa orang tersebut agar
menjual barangnya untuk melunasi hutangnya. Dengan cara yang sama, negara
dapat mewajibkan seorang individu untuk menjual barang atau makanan dengan

harga yang wajar, yaitu ketika orang lain membutuhkan barang tersebut, dan

pemilik barang menolak menjualnya kecuali dengan harga yang tinggi. Maka bisa

9

Ibid. h. 139.
Ibid. h. 140.

10

8

disimpulkan bahwa keadilan dan kedermawanan harus dibatasi dengan moral dan
hukum sekaligus.11

2. Kepemilikan Umum (Al-Milkiyyat Al- Ammah/Public Property)
Kepemilikan umum atau kolektif adalah hak milik yang biasanya

diperlukan untuk kepentingan sosial. Jika harta kekayaan dimiliki oleh dua orang

atau lebih, maka mereka bisa menggunakannya sesuai dengan aturan yang mereka

tetapkan. Apabila salah satu pihak berusaha mengembangkan jumlah harta

tersebut untuk kepentingan bersama, maka pihak yang lain harus memberikan
kontribusinya dan bekerja sama untuk itu.

Contoh tentang hak milik secara kolektif adalah wakaf, yaitu ketika

sebuah harta kekayaan disumbangkan untuk tujuan tertentu atau untuk kelompok

masyarakat tertentu, maka ada kewajiban bahwa harta tersebut harus digunakan
sesuai dengan maksudnya. Namun Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa harta wakaf

bisa digunakan untuk kepentingan lain apabila memberi manfaat yang lebih
besar.12

Obyek utama dari kepemilikan bersama adalah anugerah alam semesta,

seperti air, rumput dan api, yang secara khusus disebutkan dalam hadits
Rasulullah saw. Salah satu alasan dari keharusan kepemilikan kolektif terhadap

obyek obyek alam itu adalah karena semua itu diberikan oleh Allah swt secara
gratis, dan manusia tidak mendapatkan kesulitan apapun untuk menggunakannya.

Alasan yang lain adalah demi kepentingan umum, jika ada seseorang menguasai
salah satu dari obyek alam tadi, maka akan mengakibatkan kesulitan bagi
masyarakat.

3. Kepemilikan Negara (Al-Milkiyyat Al-Daulah/State Property)

Ibid. h. 142.
Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan, (Magistra Insania Press, Yogyakarta,
2004) h. 143.
11
12

9

Kategori ketiga adalah hak kepemilikan oleh negara, karena negara

membutuhkan hak milik untuk memperoleh penghasilan, yang pada gilirannya

dipakai untuk menjalankan kewajibannya. Misalnya untuk menyelenggarakan
pendidikan, memelihara hukum, menjaga keamanan dalam negeri, melindungi

kepentingan masyarakat dan lain sebagainya. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa

sumber utama kekayaan negara adalah zakat, pajak, wakaf, hadiah, pungutan

denda dan harta rampasan perang (ghanimah), serta barang temuan yang tidak ada

pemiliknya.13

Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan publik, kepala negara

hanya bertindak sebagai pemegang amanah (care taker). Negara berkewajiban

memanfaatkannya guna kepentingan publik, namun demikian tidak diperbolehkan
untuk menggunakannya secara berlebihan. Misalnya zakat harus dibagikan
kepada orang orang yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syariah.

Negara mempunyai kewajiban untuk bekerja keras bagi kemajuan

ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan mengurangi
kesenjangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan individu. Lebih jauh Imam

Mawardi menjelaskan bahwa tugas negara adalah meneruskan misi Nabi

Muhammad saw dalam menjaga agama dan mengemban amanat kehidupan
dunia.14

Dari pembagian hak milik ini, bisa disimpulkan bahwa hak atas harta

benda itu bersifat kondisional dan tidak mutlak. Konsep Islam tentang hak milik

ini secara radikal sangat berbeda dengan pandangan orang Romawi yang

kemudian diadopsi oleh para ahli ekonomi modern. Dalam Islam meskipun setiap
individu bebas memiliki kekayaan, namun demikian harus tunduk dan mengikuti

ketentuan syariah dan moral. Pada dasarnya hak milik pribadi adalah sebagai

institusi dasar, dan dalam kondisi kondisi tertentu negara mempunyai wewenang
untuk intervensi terhadap hak milik individu tersebut. Namun demikian

Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, Op. Ct., h. 144.
Abu al Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Kairo,
Dar al Wafa, 1989) h. 3.
13
14

10

merupakan pemikiran yang salah bila menyebutkan bahwa hak negara di atas
segala galanya.

Di sini konsep kepemilikan dalam Islam juga berbeda dengan pemikiran

kaum sosialis atau komunis, dimana Islam mengakui hak milik pribadi sebagai
sebuah gharizah atau tabi`at manusia itu sendiri.15
E. Qaidah Fiqih Tentang Kepemilikan

1. Qaidah Fikih Tentang Kepemilikan Individu



16

Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa

izin si pemilik harta

Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual

atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada
hak orang lain pada barang yang dijual.



Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah

dilakukan lebih dahulu

Seperti telah dikemukakan pada kaidah pertama bahwa pada dasarnya

seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa
seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah di atas, apabila seseorang bertindak

hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta memberikan

izin kepadanya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap
sebagai perwakilan dari si pemilik harta. Contohnya adalah akad wakalah yang
diberlakukan di Bank Syariah.

17

Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian
15
16
17

Dr. A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, Op. Ct., h. 146.
Al-Majallah al-Ahkam al-Adliyyah No. 97
Bassam Abdul Wahhab al-Jabi, Al-Majallah al-Ahkam al-Adliyyah (Dar Ibnu Hizm) No. 85

11



Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda

maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan
susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.

Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan

cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi.
Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.



18

Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah

batal

Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk

bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap
miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga

keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang
dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.



19

Setiap orang yang dihubungkan kepada yang meningggal melalui perantaraan,

maka ia tidak mewarisi selama perantaraan itu ada

Contohnya antara kakek dan bapak. Kakek tidak dapat waris selama bapak

orang yang meninggal masih ada, karena kakek dihubngkan dengan orang yang

meninggal melalui bapak. Demikian pula anak laki-laki dengan cucu laki-laki.
Cucu laki-laki tidak menjadi ahli waris selama ada anak laki-lakidari orang yang
meninggal, karena cucu laki-lakidihubungkan dengan orang yang meninggal
melalui anak laki-laki.



20

Ibid. No. 95
Faizal
Husen,
Kaidah-kaidah
Fiqh:
Muamalah,
Ahwalussahsiyah,
http://faizalhusen.blogspot.com/2012/03/kaidah-kaidah-fiqh-muamalah.html (akses 20 Mei 2014)
20
Ibid.
18
19

12

Jinayah,

Siyasah,

Setiap orng yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula hak-haknya (yang

bersifat harta."

Contohnya, hak khiyar terhadap barang, karena hak khiyar tetap ada dalam

jual beli. Demikian pula hak terhadap utang atau gadai tau juga hak cipta yang

diwariskan. Kedudukan ahli waris dalam hal ini menduduki kedudukan orang
yang meninggal.



Tidak ada harta peninggalan kecuali setelah dibayar lunas utang (orang yang

meninggal.

Artinya, sebelum utang-utang orang yang meninggal dibayar lunas, maka

tidak ada harta warisan. Seperti diketahui bahwa dalam hukum waris Islam, harta

peninggalan tidak dibagi dahulu sebelum diambil pembiayaan kematian kemudin
untuk utang. Kalau masih ada sisanya dipotong lagi untuk wasiat maksimal
sepertiga. Sisanya dibagi di antara para ahli waris sesuai dengan ketentuan hukum
waris Islam. Kaidah diatas dipertegas lagi dengan kaidah:



Tidak ada hak kepemilikan harta bagi ahli waris kecuali setelah dilunasi utang
2. Qaidah Fiqih Tentang Kepemilikan Umum dan Negara



21

Setiap orang Islam yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka

hartanya diserahkan kepada Bait al-Mal
Setiap

perjanjian

dengan

orang

dihormatinya perjanjian sesama muslim

21

nonmuslim

Ibid.

13

harus

dihormati



seperti

Kaidah ini berlaku dalam akad, perjanjian atau transaksi antara individu

muslim dan nonmuslim dan antara negeri muslim dan nonmuslim secara bilateral
atau unilateral.

22

Pungutan harus disertai dengan perlindungan



Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungutan berupa harta dari rakyat,

baik berupa zakat, fae, rikaz, ma dun, kharaj (pajak tanah bagi non muslim), wajib

disertai dengan perlindungan dari pemerintah kepada warga yang sudah

mengeluarkan apa yang sudah dipungut tadi. Yang dimaksud dengan
perlindungan di sini adalah rakyat harus dilindungi hartanya, darahnya, dan
kehormatannya, termasuk di dalam kondisi menciptakan kondisi keamanan yang
menyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalam lapangan kerja yang halal, serta
membangun sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyatnya.
23



Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada kita dan terhadap mereka

dibebani kewajiban seperti beban kewajiban terhadap kita

Kaidah di atas menegaskan adanya persamaan hak dan kewajiban diantara

sesama warga negara yang dilandasi oleh moral ukhuwah wathaniyah, meskipun
mereka berbeda warna kulit, bahasa, dan budaya, serta kekayaannya.

22
23

Ibid.
Imam Musbikin, Qawa id Al-Fiqhiyah (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada.2001)

14

Kesimpulan
Konsep kepemilikan dalam ekonomi islam membantu menghilangkan

ketidakadilan dalam penguasaan harta seseorang oleh individu, umum dan negara
sehingga tiap golongan dapat memanfaatkan dan memiliki harta kekayaan secara
adil dan merata sehingga ekonomi Islam mampu menjadi solusi krisis ekonomi
yang ada sekarang ini.

Klasifikasi kepemilikan dalam Islam meliputi tiga bentuk, yaitu: Hak milik

individual (al-milkiyyat al-fardiyyah/privat property), 2) Kepemilikan umum (al-

milkiyyat al- ammah/public property), 3) Kepemilikan negara (al-milkiyyat aldaulah/state property). Dan qaidah fiqhiyyah yang menjadi landasan kepemilikan
dalam Islam meliputi:
















15

Daftar Pustaka
A. A. Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah, (trjm) H. Anshari Thayib,
(Surabaya, Bina Ilmu, 1997)
Al-Jabi, Bassam Abdal Wahhab, Al-Majallah al-Ahkam al-Adliyyah
Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Al-Ahkam asSulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Kairo, Dar al Wafa, 1989)
An-Nabahan, M. Faruq, Sistem Ekonomi Islam: Pilihan Setelah Kegagalan Sistem
Kapitalis dan Sosialis, (terj) Muhadi Zainuddin, (Yogyakarta, UII Press,
2000)
Ash-Shiddiqy, Hasbi, Pengantar Fiqh Mu amalah, (Semarang, Pusataka Rizki
Putra, 2001)
At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan,
(Magistra Insania Press, Yogyakarta, 2004)
Djazuli, Ahmad, Kaidah-Kaidah Fiqh: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis (Jakarta, Kencana, 2006)
Musbikin, Imam, Qawa id Al-Fiqhiyah (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2001)
Sularno, Muhammad, Konsep Kepemilikan Dalam Islam: Kajian dari Aspek
Filosofis dan Potensi Pengembangan Ekonomi Islam, Al-Mawardi Edisi
IX Tahun 2003.

16