BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Latihan Fisik - Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap Aktivitas Glutation Peroksidase (Gpx) dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Latihan Fisik

  Menurut Caspersen, (1985) di dalam Yudianto (2014) istilah " latihan fisik" dan "aktivitas fisik" sering tertukar penggunaannya. Aktiv itas fisik diartikan pada gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang mengeluarkan energi, yang pada masing-masing orang bervariasi (diukur oleh kilokalori). Latihan fisik adalah subkategori dari aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur, berulang, dan bermanfaat dalam arti untuk perbaikan atau pemeliharaan dari satu atau lebih komponen kebugaran fisik pada seseorang. Latihan kondisi fisik adalah proses memperkembangkan kemampuan Aktivitas gerak jasmani yang dilakukan secara sistematik dan ditingkatkan secara progressif untuk mempertahankan atau meningkatkan derajat kebugaran jasmani agar tercapai kemampuan kerja fisik yang optimal (Yudianta, 2014).

  Olahraga yang teratur dan tepat dapat mempertahankan kebugaran fisik. Kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang tepat untuk setiap individu meliputi frekuensi, intensitas, tipe dan waktu sangat mendukung untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan resiko yang minimal pada pelatihan olahraga. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan 3-4 kali seminggu dengan intensitas 72%-87% dari denyut jantung maksimal (220-umur) dengan variasi 10 denyut permenit. Tipe pelatihan yang dianjurkan adalah kombinasi dari latihan aerobic dan pelatihan otot dalam waktu 30-60 menit, yang didahului oleh

  9 pemanasan selama 15 menit dan diakhiri oleh pendinginan selama 10 menit (Pangkahila, 2009).

  Saat latihan fisik akan terjadi peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan ini akan mencapai maksimal saat penambahan beban kerja tidak mampu lagi meningkatkan konsumsi oksigen. Hal ini dikenal dengan konsumsi oksigen maksimum (VO

  2 max). Sesudah VO 2 max tercapai, kerja ditingkatkan dan

  dipertahankan hanya dalam waktu singkat dengan metabolisme anaerob pada otot yang latihan. Secara teoritis, VO max dibatasi oleh cardiac output, kemampuan

  2

  sistem respirasi untuk membawa oksigen darah, dan kemampuan otot yang bekerja untuk menggunakan oksigen. Faktanya, pada orang normal (kecuali atlet pada yang sangat terlatih), cardiac output adalah faktor yang menentukan VO

  2 max (Vander et al., 2001).

2.1.1. Respon fisiologis terhadap latihan fisik

  Manfaat latihan fisik akan hilang bila latihan fisik dilakukan sampai kelelahan. Latihan fisik maksimal yang melelahkan, terutama bila dilakukan sekali-sekali, dapat menyebabkan kerusakan struktur atau reaksi inflamasi pada otot. Kerusakan ini, berhubungan dengan, paling tidak sebagian diantara kerusakan tersebut diakibatkan oleh oksidan yang dihasilkan oleh latihan fisik (Thirumalai et al., 2011).

  Organisme aerobik menghasilkan ROS selama respirasi normal dan inflamasi. Latihan dapat membuat ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, yang dikenal dengan sebutan stres oksidatif. stress oksidatif dihasilkan dari latihan akut baik subjek terlatih ataupun tidak dapat menyebabkan kerusakan enzim, reseptor protein, membran lipida, dan DNA (Leeuwenburgh, et al., 2001).

  Menurut Ji (2003), selama Aktivitas fisik maksimal, konsumsi oksigen seluruh

   tubuh meningkat sampai 20 kali, sedangkan konsumsi oksigen pada

  serabut otot

   diperkirakan meningkat 100 kali lipat, sebagian kecil dari oksigen

  tersebut ±2-4% akan dirubah menjadi superoksida melalui transport elektron.

  Pelaku olahraga dengan intensitas tinggi (Olahraga berat), menghasilkan radikal bebas dalam jumlah besar. Bila terjadi over training maka produksi radikal bebas meningkat melebihi kemampuan antioksidan exogen. Tetapi orang yang berlatih, khususnya terlatih dalam lingkup Olahraga Kesehatan, lebih tahan terhadap stress oxidative, kecuali bila olahraga demikian berat dan lama yang memerlukan pemakaian glikogen otot yang tinggi.

  Peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh selama berolahraga berat dapat meningkat sepuluh sampai dua puluh kali atau lebih. Dibawah stress yang tinggi, dalam serat otot terjadi peningkatan penggunaan oksigen diatas kebutuhan normal. Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses tersebut disebut peroksidasi lipid dan menyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan atau kerusakan lain (Cooper, 2001)

  Latihan fisik berat dapat meningkatkan konsumsi oksigen, karena terjadi peningkatan metabolism didalam tubuh. Peningkatan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot yang berkontraksi, menyebabkan terjadi peningkatan kebocoran elektron dari mitokondria yang akan menjadi ROS (Reactive Oksigen

  

Species ). Oksigen yang digunakan dalam proses metabolisme tubuh saat aktivitas

  fisik berat, dapat menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas yang bersifat sangat reaktif terhadap sel atau komponen sel sekitarnya (Chevion et al, 2003).

  Mekanisme pembentukan oksidan selama olahraga : (1)Kebocoran

  

elektron, Pada olahraga berat konsumsi oksigen dapat meningkat 10-20 kali

  istirahat atau lebih. Sedangkan serabut otot yang paling terbebani (paling aktif) dapat mengkonsumsi O

  2 100-200 kali normal. Pemakaian O 2 yang luar biasa

  banyak ini memicu pembebasan oksidan dalam jaringan itu dan dapat melelahkan mitokondria yang merupakan pusat pembentukan energi; (2)Ischaemic

  

refurfusion , Pada olahraga berat, darah yang menuju ke organ-organ yang tidak

  aktif misalnya hepar, ginjal, lambung dan usus, dialihkan ke otot-otot yang aktif (tungkai dan jantung). Hal ini menyebabkan terjadinya kekurangan O

  2 (hypoxia)

  secara akut pada organ-organ tersebut. Bila olahraga dihentikan, darah akan dengan cepat mengalir kembali ke organ-organ tersebut. Proses ini disebut sebagai

  ―reperfusion” dan hal ini dikaitkan dengan terbebaskannya oksidan dalam jumlah besar. Hal demikian juga pada otot yang terlibat dalam olahraga berat (overload) terutama bila mendekati atau mencapai tingkat exhaustion (Cooper, 2001).

  Meningkatnya metabolisme aerobik selama latihan merupakan sumber utama dari stress oksidatif. Pada otot, mitokondria adalah salah satu sumber

  penting dari reaktif intermediet yaitu, Superoksida (O

  2 ), hidrogen peroksida

  (H

2 O

  2

  ), dan kemungkinan juga hidroksil radikal (HO•). Latihan membuat mitokondria hati bekerja secara terus menerus, mereka harus memiliki ADP tinggi dan hampir pada tingkat tiga, bahkan pada saat istirahat. Latihan akut pada subjek yang tidak terlatih dapat menyebabkan stres oksidatif. Namun secara terus menerus dalam beberapa periode menginduksi pencegahan pada kerusakan oksidatif (Leeuwenburgh, et al., 2001).

2.2. Radikal Bebas

  Reaksi oksidasi terjadi setiap saat. Ketika kita bernapas pun terjadi reasksi oksidasi. Reaksi ini mencetuskan terbentuknya radikal bebas yang sangat aktif, yang dapat merusak struktur serta fungsi sel. Namun, reaktivitas radikal bebas itu dapat dihambat oleh sistem antioksidan yang melengkapi sistem kekebalan tubuh.

  Seringkali pengertian oksidan dan radikal bebas dianggap sama karena keduanya memiliki kemiripan sifat. Kedua jenis senyawa ini juga memiliki aktivitas yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama, meskipun melalui proses yang berbeda. Sebagai contoh, dampak reaksi H

  2 O 2 (sebagai oksidan) dan radikal bebas hidroksil (OH•) terhadap glutation (GSH) (Winarsi, 2007).

  a) O + GSH  GSSG + H O

  2

  2

2 H

  b)

  2 O  H

  OH• + H Radikal bebas

  2 O + GS•

  c) GS• + GS•  GSSG

  Radikal bebas adalah molekul oksigen yang tidak stabil dan molekul tidak stabil lain mengandung satu atau lebih electron bebas (elektron yang tidak berpasangan = unpaired electron). Adanya satu atau lebih elektron bebas menyebabkan senyawa itu menjadi sangat reaktif. Peran merusak dari radikal bebas baru dikenal setelah tahun 1954 (Cooper, 2001).

  Dalam tubuh terdapat molekul oksigen yang stabil dan yang tidak stabil. Molekul oksigen yang stabil, sangat penting untuk memelihara kehidupan. Yang tidak stabil termasuk golongan radikal bebas. Sejumlah tertentu radikal bebas diperlukan untuk kesehatan, tetapi kelebihan radikal bebas bersifat merusak dan sangat berbahaya. Fungsi radikal bebas dalam tubuh adalah melawan radang, membunuh bakteri dan mengatur tonus otot polos dalam organ tubuh dan pembuluh darah (Araújo, et al. 2011).

  Produksi radikal bebas yang terlalu banyak terjadi oleh adanya berbagai faktor misalnya: sinar ultra violet (terdapat dalam sinar matahari), kontaminan dalam makanan (zat warna textile yang dipergunakan untuk mewarnai makanan), polusi udara (pencemaran udara oleh asap pabrik dan kendaraan bermotor), asap rokok, insektisida (dalam pertanian dan rumah tangga) dan olahraga berat, serta berbagai bentuk stress psikis (Sharma, 2010).

  Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Senyawa ini terbentuk dalam tubuh, dipicu oleh bermacam-macam faktor. Radikal bebas ini terbentuk, misalnya, ketika komponen makanan diubah menjadi bentuk energi melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini, sering kali terjadi kebocoran elektron. Dalam kondisi demikian, mudah sekali terbentuk radikal bebas, seperti anion superoksida, hidroksil, dan lain-lain. Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas misalnya, hidrogen peroksida (H O ), ozon, dan lain-lain. Kedua kelompok senyawa tersebut sering

  2

  2 diistilahkan sebagai senyawa oksigen reaktif/ Reactive Oxygen Species (ROS) (Winarsi, 2007).

  Senyawa oksigen reaktif berasal dari oksigen (O ) pada reaksi siklus

  2 Krebs. Siklus Krebs atau disebut juga siklus asam sitrat atau TCA (Tricarboxilic

Acid Cycle ) terjadi didalam mitokondria sel dimana asetil KoA (asetat aktif)

  dioksidasi menghasilkan CO 2, membebaskan ekuivalen hydrogen yang akhirnya membentuk air dan menghasilkan ATP. ATP merupakan senyawa sumber energy bebas untuk jaringan bagi manusia yang dibentuk melalui proses fosforilasi oksidatif (Mayes 1998). Reaksi yang tejadi adalah sebagai berikut:

  2NADH + 2H + O

  2 NAD + H O + ATP

  2

  2 Pada reaksi diatas terjadi reduksi O

2 menjadi H

  2 O sbb

  O

  2 + 4H + 4e H

2 O

  Pada proses tersebut reduksi O menjadi H O merupakan pengalihan 4

  

2

  2

  elektron. Bila pengalihan elektron berjalan kurang sempurna maka akan terbentuk senyawa-senyawa oksigen berbahaya. Molekul oksigen sekarang dikatakan mempunyai diradikal karena memiliki dua elektronyang tidak berpasangan tapi keduanya terletak pada orbital yang berbeda dan menunjukkan angka kuantum putaran yang sama dan memiliki putaran sejajar (Halliwel, 2001).

  Akibatnya oksigen tidak sereaktif radikal hidroksil. Disamping itu akan

  (Superoksida)

  terjadi senyawa-senyawa oksigen reaktif seperti O ` . H O (Hidrogen

  2

  2

  2 Peroksida), ROO (radikal peroksil) dan OH` (radikal hidroksil). Ion superoksida,

  radikal peroksil, hidrogen peroksida dan radikal peroksida dan radikal hidroksil terjadi karena pengalihan elektron yang kurang sempurna pada saat terjadi reduksi oksigen. Molekul oksigen akan menjadi sangat reaktif bila kedua elektron tunggal disatukan dalam satu orbital dengan putaran yang berlawanan dengan perpindahan ini satu orbital menjadi kosong dan mudah diisi oleh sepasang elekton dengan putaran yang berlawanan disebut singlet oksigen (Oenzil, 2014).

2.2.1. Struktur kimia

  Dalam rangka mendapatkan stabilitas kimia, radikal bebas tidak dapat mempertahankan bentuk asli dalam waktu lama dan segera berikatan dengan bahan sekitarnya. Radikal bebas akan menyerang molekul stabil yang terdekat dan mengambil elektron, zat yang terambil elektronnya akan menjadi radikal bebas juga sehingga akan memulai suatu reaksi berantai, yang akhirnya terjadi kerusakan sel tersebut (Droge, 2002). Gambar 2.1. dibawah ini menunjukkan bagaimana bentuk dari struktur kimia penyusun radikal bebas tersebut.

Gambar 2.1. Struktur kimia radikal bebas (Sumber : Arief, 2014)

  Radikal bebas dapat terbentuk in-vivo dan in-vitro secara : (1)Pemecahan satu molekul normal secara homolitik menjadi dua. Proses ini jarang terjadi pada sistem biologi karena memerlukan tenaga yang tinggi dari sinar ultraviolet, panas, dan radiasi ion; (2)Kehilangan satu elektron dari molekul normal; (3)Penambahan elektron pada molekul normal. Pada radikal bebas elektron yang tidak berpasangan tidak mempengaruhi muatan elektrik dari molekulnya, dapat bermuatan positif, negatif, atau netral (Arief, 2014).

2.2.2. Sumber radikal bebas

  Oksigen untuk metabolisme aerobik digunakan sekitar 95-98 %, sisanya 2- 5 % akan berubah menjadi radikal bebas endogen. Sumber radikal bebas yang lain berasal dari lingkungan berupa asap rokok, bahan kimia karsinogen dan radiasi. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya sehingga bersifat tidak stabil dan reaktif. Sifat tersebut akan memudahkan radikal bebas untuk bereaksi dengan molekul lain untuk mencapai stabil (Halliwel, 2001).

  Jenis-jenis radikal bebas yang dihasilkan oleh tubuh dan radikal bebas dari lingkungan berupa: (1)Reactive Oxygen Spesies (ROS) terdiri dari radikal bebas; superoksida anion (O

  2

  2

  • ), hidroksil (OH•), alkoksil (RO•), peroksil (RO •), serta senyawa bukan radikal yang berfungsi sebagai pengoksidasi atau senyawa yang mudah mengalami perubahan senyawa radikal seperti hidrogen peroksida (H2O2), ozon (O

  3 )dan HOCl, (2) Reactive Nitrogen Spesies (RNS) terdiri dari radikal

  bebas : nitrooksida (NO

  2 •), peroksinitrit (ONOO•), dan senyawa bukan radikal

  seperti HNO

  2 dan N

  2 O

  4 Produksi berlebih dari NO

  • dapat menyebabkan stroke (Arief, 2014).
Sumber radikal bebas, baik endogenus maupun eksogenus terjadi melalui sederetan mekanisme reaksi antara lain : pembentukan awal radikal bebas (inisiasi), terbentuknya radikal baru (propagasi), dan tahap terakhir (terminasi) yaitu pemusnahan atau pengubahan menjadi radikal bebas stabil dan tak reaktif.

  Sumber radikal bebas endogen ini sangat bervariasi, dapat melewati autoksidasi, oksidasi enzimatik, fagositosis dalam respirasi, transpor elektron di mitokondria, oksidasi ion-ion logam transisi, atau melalui iskemik (Simanjuntak, 2012).

  Keberadaan radikal bebas dalam tubuh merupakan suatu hal yang fisiologis, karena tubuh akan mengimbangi dengan antioksidan endogen.

  Kerusakan oksidatif sel terjadi jika jumlah antioksidan yang dihasilkan tidak mampu mengimbangi jumlah radikal bebas yang ada. Perlindungan sel dari kerusakan oksidatif dapat menggunakan tambahan antioksidan dari makanan berupa vitamin E, vitamin A dan vitamin C yang larut air (Halliwel, 2001).

  Autoksidasi adalah senyawa yang mengandung ikatan rangkap, hidrogen alilik, benzilik atau tersier yang rentan terhadap oksidasi oleh udara. Contohnya lemak yang memproduksi asam butanoat, berbau tengik setelah bereaksi dengan udara. Oksidasi enzimatik menghasilkan oksidan asam hipoklorit. Sekitar 70-90 % konsumsi O oleh sel fagosit diubah menjadi superoksida, bersama dengan

  2

  radikal OH serta HOCl membentuk H

  2 O 2 dengan bantuan bakteri. Oksigen dalam

  sistem transpor elektron menerima satu elektron membentuk superoksida. Ion logam transisi, yaitu Co dan Fe memfasilitasi produksi oksigen singlet dan

  2

  pembentukan radikal OH` melalui reaksi Haber-Weiss: H

  2 O 2 + Fe

  —> OH• +

3 OH- + Fe +. Secara singkat, xantin oksidase selama iskemik menghasilkan superoksida dan asam urat (Simanjuntak, 2012).

2.2.3. Tipe radikal bebas dalam tubuh

  Radikal bebas terpenting dalam tubuh adalah radikal derivat dari oksigen yang disebut kelompok oksigen reaktif (reactive oxygen species/ROS), termasuk 1

  2 2 2-

  didalamnya adalah triplet (3O ), tunggal (singlet/ O ), anion superoksida (O

  • ), radikal hidroksil (-OH
  • ), nitrit oksida (NO-•), peroksinitrit (ONOO •), asam
    • 2

  2

  hipoklorus (HOCl O

  • ), hidrogen peroksida (H •), radikal alkoxyl (LO-•), dan
    • 2

  3-

  radikal peroksil (LO ) yang

  • ). Radikal bebas yang mengandung karbon (CCL berasal dari oksidasi radikal molekul organik. Radikal yang mengandung hidrogen hasil dari penyerangan atom H. Bentuk lain adalah radikal yang mengandung sulfur yang diproduksi pada oksidasi glutation menghasilkan radikal thioyl (R-S-). Radikal yang mengandung nitrogen juga ditemukan, misalnya radikal fenyldiazine (Arief, 2014).

  Efek oksidatif radikal bebas dapat menyebabkan peradangan dan penuaan dini. Lipid membran sel berubah menjadi lipid peroksida yang mempercepat penuaan. Pembentukan lipid peroksida dan malondialdehid merupakan reaksi berantai yang bersifat reaktif, senyawa tersebut dapat bereaksi kembali dengan molekul sekitarnya. Radikal bebas dapat meningkatkan kadar LDL (low density lipoprotein) yang menjadi penyebab penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah atau disebut dengan aterosklerosis. Penurunan suplai darah atau iskemik karena penyumbatan pembuluh darah serta penyakit Parkinson disebabkan oleh reaksi radikal bebas. Kanker dapat terjadi dari reaksi radikal bebas dengan DNA yang memicu terbentuknya zat karsinogenik. Zat tersebut dapat mengubah bentuk susunan DNA atau mutasi DNA (Simanjuntak, 2012).

2.2.4. Pertahanan sel terhadap radikal bebas

  Sifat reaktif yang tersebar dari sistem pembentukan radikal dalam sel menyebabkan evolusi mekanisme pertahanan terhadap efek perusakan suatu bahan teroksidasi kuat. SOD (superoksida dismutase dan katalase) mengkatalisasi dismutasi dari superoksida dan hidrogen peroksida. GSH (glutation) peroksidase mereduksi peroksida hidrogen dan organik menjadi air dan alkohol (Arief, 2014).

  GSH S-transferase melakukan pemindahan residu glutation menjadi metabolit elektrofilik reaktif dari xenobiotic. Produksi glutation teroksidasi (GSSG) direduksi secara cepat oleh reaksi yang menggunakan NADPH yang dihasilkan dari berbagai sistem intraseluler, diantaranya hexose-monophosphate

  

shunt . Berbagai isoenzim organel spesifik dari dismutase superoksida juga

  ditemukan. SOD Zn, Cu merupakan sitoplasmik, sedangkan enzim Zn, Mn mitokondrial. Isoenzim ini tidak ditemukan dalam cairan ekstraseluler. Gambar 2.2. dibawah ini menunjukkan Aktivitas enzim intraseluler tersebut.

Gambar 2.2. Enzim-enzim pertahanan antioksidan (Sumber : Arief, 2014)

  Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yangn dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2007) .

  Beberapa bahan tereduksi juga bekerja sebagai antioksidan, reduksi kelompok radikal aktif seperti radikal peroksi dan hidroksi menjadi bentuk yang kurang reaktif misalnya air. Seperti halnya pembangkitan kembali oksigen singlet. Penggabungan tersebut juga mengakhiri reaksi radikal berantai. Pertahanan antioksidan kimiawi bagai pedang bermata dua. Pertama, saat bahan tereduksi menjadi radikal maka derivat radikalnya juga terbentuk. Sehingga, jika suatu radikal sangat tidak stabil, reaksi radikal berantai mungkin akan berlanjut. Kedua, bahan tereduksi dapat mereduksi oksigen menjadi superoksida atau peroksida merupakan radikal hidroksil dalam reaksi auto-oksidasi. Ascorbat dan asam urat dapat berfungsi sebagai anti oksidan, ikut serta secara langsung dalam auto- oksidasi, baik melalui reduksiaktifator oksigen lain seperti rangkaian logam transisi atau quinone, atau bertindak sebagai kofaktor enzim (Inoue, 2001).

  Proses tersebut dapat melibatkan kemampuan askorbat untuk

  • + +

  depolimerisasi DNA, hambatan Na /K ATPase otak, potensiasi toksisitas paraquat, dan sebagai mediator peroksidasi lemak. Juga mempunyai kontribusi kelainan patofisiologi dari metabolisme purin. Sifat yang sesungguhnya campuran pro atau antioksidan untuk bahan pereduksi khusus adalah integrasi kompleks dari beberapa faktor. Pada kasus zat pembersih radikal hidroksil, produk dari interaksi radikal dengan antioksidan umumnya kurang reaktif dibanding radikal hidroksil.

  Radikal yang terbentuk tersebut cukup stabil dan dalam konsentrasi cukup tinggi namun dapat terjadi mekanisme seperti pada glutation dan superoksida. pH sangat mempengaruhi reduksi langsung oksigen menjadi superoksida oleh senyawa sulfidril, sedangkan faktor lokal lainnya seperti konsentrasi molar dari molekul oksigen juga punya peranan penting (Arief, 2014).

  Oksigen singlet dan bagian triplet molekul yang tereksitasi mungkin disempurnakan melalui interaksi bersama sistem konjugasi sistem diene seperti yang ditemukan pada karoten, tokoferol, atau melanin. Seperti antioksidan pereduksi, senyawa tersebut dapat juga menghasilkan jenis elektron aktif dan mungkin juga penyakit (Inoue, 2001). Tabel 2.1. dibawah ini menunjukkan berbagai jenis antioksidan dan enzim pembersih dalam menangkal radikal bebas beserta lokasinya di dalam tubuh.

Tabel 2.1. Antioksidan dan enzim pembersih (scavenging)

  

Antioksidan

  Antioksidan utama didalam dan diluar sel. Dalam sel 2-10

  Glutathione

  mM, plasma 5- 25 μ M

  Sulfhydryl Cysteine dan homocysteine Vitamin C Antioksidan hidrofilik pada ekstraseluler 40-

  140 μ M dalam Plasma Pembersih pada ruang hidrofobik dalam plasma terikat pada

  Vitamin E

  LDL 0.5-1.6 mg/dl (10- 40 μ M)

  ß 0.055 mg/dl

  • –carotene

  Uric acid Hasil metabolik adenosin dan xantine. Antioksidan kuat

  terhadap radikal hidroksil (HO? )

  Bilirubin

  Antiokasidan hidrofobik terikat pada albumin 20 μM

  Coenzyme Q 10 0.08 mg/dl

Enzim pembersih

SOD Terdapat pada semua sel mamalia Cu/Zn-SOD Sitosol, eritrosit 2300 unit/g Hb

  Mitokondria

   Mn-SOD Extracelluler Plasma dan endotel permukaan, terikat pada heparin SOD (ECSOD)

  Catalase Peroksisum, RBC 153.000 unit/g Hb GSH peroxidase Sitosol (75%), mitokondria (25%) GSSG reductase NADPH dependent

  Regulasi redoks

  Thioredoxin system

Binding protein

Albumin Antioksidan kuat 0.5 mM dalam plasma

  Ceruloplasmin Aktivitas feroksidase 15-60 mg/dl plasma

  Membersihkan Fe bebas 200-400 mg/dl

  Transferin Metalothionein Membersihkan logam berat

  Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya.

  Senyawa radikal bebas juga dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal baru. Jika senyawa radikal baru tersebut bertemu dengan molekul lain, akan terbentuk radikal baru lagi, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi berantai (chain reactions). Reaksi ini akan berlanjut terus dan akan berhenti apabila reaktivitasnya diredam (quenched) oleh senyawa yang bersifat antioksidan seperti glutation (Winarsi, 2007).

2.3. Glutation Peroksidase (GPx)

  Glutation Peroksidase (GPx) merupakan selenoenzyme yang berfungsi sebagai antioksidan. Glutation peroksidase (GPx, EC 1.11.1.9) adalah enzim yang berperan penting dalam melindungi organisme dari kerusakan oksidatif dan mengandung selenium (Se) pada sisi aktifnya. Kerja enzim ini mengubah molekul hidrogen peroksida (yang dihasilkan SOD dalam sitosol dan mitokondria) dan berbagai hidro serta lipid peroksida menjadi air (Muges et al., 2001).

  Glutation peroksidase adalah enzim yang mengandung selenium sebagai komponen dasarnya, sehingga digolongkan dalan selenoprotein. Enzim glutathione peroksidase terdiri dari 4 atom selenium yang terikat sebagai selenocystein. Glutation peroksidase dapat membentuk pertahanan terhadap oksidan atau radikal bebas didalam tubuh dan mencegah kerusakan sel dengan cara mengkatalisa peroksida menjadi air dan oksigen. Karena kemampuannya inilah maka enzim ini disebut sebagai antioksida. Enzim glutathione peroksidase banyak terdapat di hepar, ginjal otot, dan plasma, terutama pada sitosol dan mitokondria. Aktivitas enzim GPx yang paling besar berada pada hepar sebesar 65,6 %, eritrosit 21,2%, dan otot sebesar 6,1% (Boylan, 2006).

  GSH-Px

  2GSH + H O ----------------- GSSG +2H O

  2

  2

  2 Glutation peroksidase adalah enzim intraseluler yang terdispersi dalam

  sitoplasma, namun aktivitasnya juga ditemukan dalam mitokondria. Glutation peroksidase ekstraseluler (secara genetik berbeda dari bentuk intraseluler) terdeteksi dalam berbagai jaringan. Glutation peroksidase sebagai ensim antioksidan bekerja sebagai peredam (quenching) radikal bebas. Glutation peroksidase juga berperan dalam metabolism xenobiotik yang ditemukan dalam kadar milimolar dalam sel (Sen, 1999).

  Dalam hepar dan sel darah merah terdapat glutation peroksidase dengan konsentrasi tinggi, sedangkan jantung, ginjal, paru-paru, adrenal, lambung, dan jaringan adipose mengandung kadar gluatation peroksidase dalam kadar sedang. Glutation peroksidase kadar rendah sering ditemukan dalam otak, otot, testis, dan lensa mata (Sugianto, 2011).

  Glutation peroksidase intraseluler berpotensi mengubah molekul hidrogen peroksida dengan cara mengoksidasi glutation bentuk tereduksi mencegah lipid membran dan unsur-unsur sel lainnya dari kerusakan oksidasi, dengan cara merusak molekul hidrogen peroksida dan lipid hidroperoksida. Menurut Delmas- Beauvieaux, et al. (1996) melaporkan bahwa enzim glutation peroksidase mendekomposisikan H

  2 O 2 lebih kuat dibandingkan dengan enzim katalase. Agar

  enzim bisa bekerja, selalu diperlukan adanya substrat, misalnya glutation, yang merupakan substrat enzim glutation peroksidase (Winarsi, 2007).

  H

2 O 2 yang terbentuk juga dapat diubah menjadi radikal hidroksil (OH).

  Jika tidak dinetralisir, OH akan merusak lipid dan DNA. Dalam keadaan normal , radikal bebas yang terbentuk dapat dinetralisir oleh antioksidan. Bila kadar oksigen reactive species (ROS) yang toksik melebihi pertahanan antioksidan maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut stress oksidatif. Pada keadaan ini maka kelebihan radikal bebas dapat bereaksi dengan sel lipida,protein, dan asam nukleat sehingga menimbulkan kerusakan lokal bahkan sampai disfungsi organ.

  Reactive oxygen species (ROS) berperan dalam mencetuskan terjadinya penyakit vaskulopati, seperti aterosklerosis, hipertensi dan stenosis (Murray, 2009). Pada

Gambar 2.3. ini dapat dilihat bagaimana berjalanannya mekanisme katalisis H O

  2

  2 oleh Glutation Peroksidase (Bhabak, 2013).

Gambar 2.3. Mekanisme katalisis h

  2 o 2 oleh glutation peroksidase (Sumber : Bhabak, 2013)

  Glutation peroksidase juga berperan dalam metabolisme xenobiotik dan sintesis leukotrien, yang ditemukan dalam kadar milimolar dalam sel. Aktivitas enzim glutation peroksidase mampu mereduksi 70% peroksida organik dan lebih dari 90% H

  2 O 2 . Aktivitas enzim ini juga dapat di induksi oleh antioksidan

  sekunder isoflavon. Senyawa flavonoid banyak ditemukan dalam sayur-sayuran dan buah-buahan, dan dilaporkan sebagai antioksidan berpotensi lebih kuat dibandingkan dengan vitamin C dan E (Prior, 2003).

  Kesempurnaan kerja sistem enzim antioksidan sepenuhnya diperankan oleh tiga macam enzim (SOD, CAT, GPx). Namun yang perlu dipahami adalah, antioksidan seluler tidak dapat bekerja secara individual tanpa dukungan asupan antioksidan sekunder dari bahan pangan. Jadi, diperlukan konsumsi bahan makanan yang kaya akan komponen antioksidan dalam jumlah memadai, agar mampu menginduksi kerja enzim antioksidan dalam tubuh sehingga mampu menekan kerusakan sel yang berlebihan dan mempertahankan status antioksidan seluler (Winarsi, 2007).

  Senyawa-senyawa polifenol seperti flavonoid dan antosianin mampu menghambat reaksi oksidasi melalui mekanisme radical scavenging dengan cara menyumbangkan satu elektron pada elektron yang tidak berpasangan dalam radikal bebas sehingga banyaknya radikal bebas menjadi berkurang (Polcomy et

  

al., 2001). Selain sebagai scavenger, senyawa flavonoid dengan kandungan

  anthosianin dalam tumbuhan Ipomoea batatas diduga berfungsi sebagai antioksidan dengan cara menghambat langkah propagasi, yaitu memutus rantai autoksidasi atau disebut juga Chain-breaking antioxidants (Rachmani, 2009).

2.4. Ubi Jalar

  Ubi jalar dikenal hampir di seluruh wilayah Indonesia. Ubi jalar memiliki nama daerah ubi jawa (Sumatera Barat), gadong jalur (Batak), ketela (Jakarta), ketela rambat (Jawa), katila (Dayak), watata (Sulawesi Utara). Ubi jalar (Ipomoea

  

batatas ) merupakan tanaman yang dipercaya berasal dari Benua Amerika dan

  telah tersebar hampir di seluruh dunia. Di Asia, negara produsen ubi jalar terbesar adalah Cina. Umbi dari tanaman ubi jalar merupakan salah satu dari sumber karbohidrat terpenting di dunia terutama Asia dan Afrika (SEAFAST, 2012).

  Di Indonesia, pengembangan ubi jalar belum mendapat perhatian serius, sebagaimana tercermin dari luas tanam yang fluktuatif dengan produktivitas yang baru mencapai 9,5 t umbi/ha. Padahal di tingkat penelitian, ubi jalar mampu memberi hasil hingga 40 t/ha.Senjang hasil ini disebabkan oleh berbagai tanaman kacangkacangan dan umbi-umbian (Balitkabi) melalui penelitian. Pemuliaan ubi jalar tidak hanya diarahkan pada hasil tinggi, tetapi juga mengedepankan kualitas gizi, di antaranya protein dan betakaroten (Truong, 2010).

  Ubi jalar merupakan bahan pangan lokal sumber karbohidrat, berdasarkan warna umbinya dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu ubi jalar putih, kuning, merah/jingga hingga ungu (Budiman, 2014). Berdasarkan warna umbi, ubi jalar dibedakan menjadi beberapa golongan sebagai berikut :

  1. Ubi jalar putih, yakni ubi jalar yang memilki daging umbi berwarna putih, misalnya, varietas tembakur putih, varietas tembakar ungu, varietas Taiwan dan varietas MLG 12659-20P.

  2. Ubi jalar kuning, yaitu jenis ubi jalar yang memilki daging umbi berwarna kuning, kuning muda atau putih kekuningan. Misalnya, varietas lapis 34, varietas South Queen 27, varietas Kawagoya, varietas Cicah 16 dan varietas Tis 5125-27.

  3. Ubi jalar oranye yaitu jenis ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna jingga hingga jingga muda. Misalnya, varietas Ciceh 32, varietas mendut dan varietas Tis 3290-3.

  4. Ubi jalar ungu yakni ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna ungu hingga ungu muda (Juanda, et al. 2000) Winarno dan Laksmini (1973) menyebutkan bahwa warna kuning pada umbi disebabkan adanya pigmen karoten, sedangkan warna ungu disebabkan adanya pigmen antosianin. Perbedaan warna daging umbi tersebut menyebabkan perbedaan sifat sensoris, fisik dan kimia umbi maupun produk olahannya.

  (Apriliyanti, 2010). Ubi jalar tahan disimpan hingga tiga bulan. Kadar bahan kering bervariasi dari 16 hingga 40% dibanding ubi jalar segar. Sukrosa umumnya terdapat pada umbi dalam bentuk segar. Kadar maltosa pada ubi jalar meningkat saat ditanak, karena aktivitas enzim beta-Amilase (Takagi et al., 1996).

  Berdasarkan penelitian Marsono dkk (2002), ubi jalar sebagai sumber karbohidrat memiliki indeks glikemik 54. Nilai indeks glikemik (IG) < 55 termasuk kelompok yang rendah, IG 55-70 sedang, dan >70 tinggi, jadi IG ubi jalar termasuk rendah. Tepung ubi jalar mengandung serat makanan yang relatif tinggi disertai dengan indeks glikemik yang rendah, artinya, tepung ubi jalar atau makanan berbasis tepung ubi jalar lebih lamban dicerna dan lamban meningkatkan kadar gula darah (SEAFAST, 2012). Pada tabel 2.2. terlihat jelas perbedaan kadar antosianin pada ketigas jenis ubi, terlihat jelas bahwa ubi jalar ungu lah yang memiliki kadar antosianin tertinggi.

Tabel 2.2. Ubi jalar juga mengandung berbagai antioksidan : Antioksidan per Ubi jalar putih Ubi jalar kuning Ubi jalar ungu 100 gram

  campur jingga

Betakaroten 260 mkg (869 SI) 2900 mkg (9675 SI) 9900 mkg (32967 SI)

Vitamin C 28,68 mg/ 100 g 29,22 mg/ 100 g 21,43 mg/ 100 g Antosianin 0,06 mg/ 100 g 4,56 mg/ 100 g 110,51 mg/ 100 g Vitamin A

  7.700 mg

  Dari ketiga jenis ubi jalar yang paling tinggi kadar antosianinnya adalah ubi jalar ungu. Ubi jalar ungu merupakan umbi-umbian yang mengandung senyawa antioksidan paling komplet (Budiman, 2014). Sekelompok antosianin yang tersimpan dalam ubi jalar mampu menghalangi laju perusakan sel radikal bebas akibat Nikotin, polusi udara dan bahan kimia lainnya.

  Antosianin berperan dalam mencegah terjadinya penuaan, kemerosotan daya ingat dan kepikunan, polyp, asam urat, penderita sakit maag (asam lambung), penyakit jantung koroner, penyakit kanker dan penyakit-penyakit degeneratif, seperti arteosklerosis. Selain itu, antosianin juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik terhadap mutagen dan karsinogen yang terdapat pada bahan pangan dan olahannya, mencegah gangguan pada fungsi hepar, antihipertensi dan menurunkan kadar gula darah (antihiperglisemik) (Singh, 2008).

2.4.1. Ubi Jalar Ungu

  Ubi jalar ungu merupakan pangan sumber energi dalam bentuk gula dan karbohidrat, mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh antara lain kalsium dan zat besi, vitamin A dan C. Ubi jalar ungu (gambar 2.6.) juga banyak mengandung serat pangan. Kandungan betakaroten ubi jalar adalah yang paling tinggi di antara padi-padian, umbi-umbian, dan hasil olahannya. Varietas ubi jalar ungu lebih kaya akan kandungan vitamin A mencapai 7.700 mg per 100 g, ratusan kali lipat dari kandungan vitamin A dalam bit dan 3 kali lipat dari tomat. Ubi jalar yang digoreng akan meningkat bioavailabilitas betakarotennya karena minyak berperan sebagai pelarut senyawa tersebut. Di dalam tubuh, betakaroten menjadi lebih mudah diserap dan akan mengalami metabolisme lanjutan (Budiman, 2014).

  Klasifikasi Ilmiah

  Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Solanales Famili Genus : Ipomoea Spesies : I. batatas Nama binomial: Ipomoea batatas L.

Gambar 2.4. Ubi jalar ungu (http://id.wikipedia.org/wiki/Ubi_jalar)

  Selain betakaroten, warna jingga pada ubi jalar memberi isyarat akan tingginya kandungan senyawa Lutein dan Zeaxantin, pasangan anti-oksidan karotenoid. Keduanya termasuk pigmen warna sejenis klorofil, merupakan pembentuk vitamin A. Lutein dan Zeaxantin merupakan senyawa aktif yang memiliki peran penting menghalangi proses perusakan sel (Budiman, 2014).

  Berbagai penelitian membuktikan bahwa beberapa flavonoids yang terdapat dalam ubi jalar ungu memiliki khasiat antioksidan, karena mikronutrien yang merupakan gugus fitokimia dari berbagai bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan tersebut diyakini sebagai proteksi terhadap stres oksidatif.

  Salah satu jenis flavonoid dari tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin (Oki, 2008).

  Ubi jalar ungu mengandung antosianin yang merupakan zat warna pada tanaman. Kandungan antosianin dalam ubi jalar ungu berkisar antra 14,68

  210,00mg/100g bahan. Besar kandungan antosianin dalam ubi jalar tergantung pada intensitas warna ungu pada ubi ungu, makin ungu warna ubi maka kandungan antosianin makin tinggi. Konsumsi antosianin yang diperbolehkan per hari menurut ADI (Acceptable Daily Intake) sebesar 0

  • – 0,25mg/kg berat badan, apabila konsumsinya berlebihan akan menyebabkan keracunan (Liptan, 2008).

  Bentuk antosianidin yang banyak dikandung oleh ubi jalar ungu adalah bentuk sianidin dan peonidin. Sekitar 80% dari total antosianin tersebut berada dalam bentuk terasilasi. Antosianin yang terasilasi relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan antosianin yang tidak terasilasi. Oleh karena itu, antosianin dari ubi jalar ungu berpotensi besar sebagai pewarna alami. Seperti antosianin pada umumnya, antosianin pada ubi jalar ungu juga dipengaruhi dipengaruhi oleh tingkat keasaman lingkungan. Pada lingkungan dengan pH rendah, warna yang diekspresikan lebih merah dan lebih stabil selama penyimpanan (SEAFAST, 2012).

2.5. Antosianin

  Antosianin (bahasa Inggris: anthocyanin, dari gabungan kata Yunani:anthos = "bunga", dan cyanos = "biru") adalah pigmen larut air yang secara alami terdapat pada berbagai jenis tumbuhan. Antosianin adalah metabolit sekunder dalam kelompok flavonoid. Antosianin merupakan pigmen tumbuhan yang dapat larut dalam air maupun pelarut polar lain dan menyebabkan warna biru, ungu dan merah pada jaringan tumbuhan. Biasanya ditemukan sebagai glikosida atau asilglikosida, keduanya merupakan representasi dari aglikon antosianidin (Montilla, 2010).

  Antosianin disusun dari sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterefikasi dengan satu atau lebih gugus gula (glikon). Kebanyakan antosianin ditemukan dalam enam bentuk antosianidin, yaitu pelargonidin, sianidin, peonidin, delfinidin, petunidin, dan malvidin. Gugus gula pada antosianin bervariasi, namun kebanyakan dalam bentuk glukosa, ramnosa, galaktosa, atau arabinosa. Gusus gula ini bias dalam bentuk mono atau disakarida dan dapat diasilasi dengan asam fenolat atau asam alifatis. Terdapat sekitar 539 jenis antosianin yang telah diekstrak dari tanaman (Pojer, 2013). Struktur antosianin yang paling sering dijumpai di alam dan klasifikasinya dapat dilihat pada gambar 2.5. dibawah ini.

Gambar 2.5. Struktur antosianin dan klasifikasinya (Sumber : Pojer. 2013)

  Ada sekitar 17 antosianidin yang ditemukan di alam, tetapi hanya ada 6 Jenis antosianin yang paling sering dijumpai di alam ialah cyanidin (Cy), delphinidin (Dp), petunidin (Pt), peonidin (Pn), pelargonidin (Pg), dan malvidin (Mv). Antosianin menarik perheparan para peneliti karena aktivitasnya sebagai antioksidan, antimutagenik, melindungi fungsi hepar dan antihipertensi (Jadmiko, 2013). Perbedaan antara masing-masing anthocyanidin berasal dari: (1) jumlah dan posisi gugus hidroksil (OH); (2) Tingkat metilasi dari gugus OH ; (3) Sifat, jumlah, dan lokasi gula yang melekat pada molekul ; dan (4) sifat dan jumlah asam alifatik atau aromatik yang melekat pada gula (Pojer. 2013).

  Rodrigues-Saona dan Wrolstad (2001), Antosianin memiliki stabilitas yang rendah. Stabilitas antosianin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi antosianin, pH, suhu, keberadaan enzim, oksigen dan cahaya, serta keberadaan enzim, oksigen dan cahaya, serta keberadaan senyawa lain seperti asam askorbat,pigmen, protein, logam dan gula. Untuk mencegah terjadinya degradasi, perlu penambahan asam pada pelarut yang digunakan (SEAFAST, 2012).

  Antosianin merupakan senyawa berwarna yang bertanggung jawab untuk kebanyakan warna merah, biru, dan ungu pada buah, sayur, dan tanaman hias.Senyawa ini termasuk dalam golongan flavonoid. Struktur utamanya ditandai dengan adanya dua cincinaromatik benzene (C

  6 H 6 ) yang dihubungkandengan tiga

  atom karbon yang membentuk cincin (Jasabi, et al, 2013). Jenis pelarut antosianin secara nyata mempengaruhi warna yang diekspresikannya. Sifat antosianin yang hidrofilik menyebabkannya sering diekstrak dengan menggunakan pelarut alcohol atau air. Pelarut alcohol menghasilkan warna antosianin yang lebih biru dibandingkan dengan pelarut air (Philpott, et al., 2004).

  Ekstrak antosianin dengan menggunakan pelarut kimia pada kenyataannya menghasilkan antosianin yang tidak murni. Seringkali amilosa dan protein yang berasal dari ubi ikut larut bersama pelarut selama proses ekstraksi antosianin. Ekstrak antosianin yang lebih murni bisa didapatkan dengan melakukan fermentasi terhadap ubi ungu. Fermentasi dilakukan dengan bantuan kultur

  

Rhizopus dan S. cerevisiae. Ubi ungu sebelum difermentasi dikukus dan dilumatkan didalam larutan asam sitrat dengan perbandingan 1:1. Campuran

  o diinokulasi dengan starter dan diinkubasi pada temperature 28 C selama 72 jam.

  Hasil fermentasi kemudian disentrifus untuk mendapatkan ekstrak antosiani. Ekstrak dapat dipekatkan dengan menggunakan evaporator (SEAFAST, 2012).

  Fan et al. (2008) membandingkan ekstrak antosianin yang didapat dari hasil fermentasi dan ekstraksi secara kimia dengan menggunakn pelarut. Hasil ekstrak antosianin dengan metode fermentasi memang memiliki intensitas warna yang lebih renda jika dibandingkan dengan metode ekstraksi kimia, namun tingkat kestabilan antosianinya relative lebih tinggi. Tingkat kemurnian antosianin dari ekstraksi fermentasi juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekstraksi secara kimia.

2.6. Hati/ Hepar

  Hepar adalah organ terbesar dalam tubuh, berat hepar pada orang dewasa normal lebih dari 1 kg. Fungsi hepar dapat dibagi menjadi dua kategori umum.

  

Pertama , hepar terlibat dalam proses zat-zat hepar bertanggung jawab terhadap

  metabolisme berbagai zat yang dihasilkan dari pencernaan dan absorpsi makanan dari usus. Kedua, hepar memiliki fungsi eksokrin penting yang terlibat dalam : (1) produksi asam empedu dan cairan alkali yang digunakan untuk pencernaan dan absorpsi lemak dan untuk netralisasi asam lambung di usus; (2) pemecahan dan produksi produk buangan metabolisme setelah pencernaan; (3) detoksifikasi zat- zat beracun/berbahaya; (4) ekskresi produk buangan dan detoksifikasi zat-zat di empedu (Ward, et al. 2007).

  Mayoritas metabolit buangan dan zat hasil detoksifikasi disekresi dari tubuh, di empedu, dari saluran gastrointestinal, atau melalui sekresi dari hepar ke dalam aliran darah untuk kemudian diekskresi oleh ginjal (Praphatsorn, et al,. 2010).

2.6.1. Anatomi dan Fisiologi Hepar

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap Aktivitas Glutation Peroksidase (Gpx) dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal

0 59 147

Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Daun Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Pada Mencit Yang Diinduksi Streptozotocin

13 109 125

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Kadar Hormon Estrogen dan Gambaran Histopatologi Tulang Alveolar Mencit (Mus musculus L.) yang Melakukan Latihan Fisik Maksimal

1 43 78

Pengaruh Pemberian Tocopherol Terhadap Kadar Testosteron, Jumlah Sperma, dan Berat Testis Mencit Jantan Dewasa (Mus musculus L.) Yang Mendapat Latihan Fisik Maksimal

3 65 88

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Gambaran Histologis Tubulus Proksimal Ginjal Pada Mencit Betina Dewasa (Mus musculus L) Yang Mendapat Latihan Fisik Maksimal

0 59 66

Pengaruh Vitamin C Sebelum Latihan Fisik Maksimal Terhadap Kualitas Eritrosit Mencit Jantan (Mus Musculus)Strain DD Webster

1 23 74

Pengaruh Aktivitas Fisik Maksimal Terhadap Jumlah Dan Hitung Jenis Leukosit Pada Mencit (Mus musculus L) Jantan

0 29 101

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Andaliman - Pengaruh Pemberian Ekstrak Segar Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit Jantan (Mus musculus L.)

0 0 7

Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap Aktivitas Glutation Peroksidase (Gpx) dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal

0 0 33

Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap Aktivitas Glutation Peroksidase (Gpx) dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal

0 0 10