Pengaruh Vitamin C Sebelum Latihan Fisik Maksimal Terhadap Kualitas Eritrosit Mencit Jantan (Mus Musculus)Strain DD Webster
PENGARUH VITAMIN C SEBELUM LATIHAN FISIK
MAKSIMAL TERHADAP KUALITAS ERITROSIT MENCIT
JANTAN (Mus Musculus) STRAIN DD WEBSTER
TESIS
Oleh
ROSTIME HERMAYERNI SIMANULLANG
077008007/BM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
SE K O L
A
H P
A
S C
A S A R JA
N
(2)
PENGARUH VITAMIN C SEBELUM LATIHAN FISIK
MAKSIMAL TERHADAP KUALITAS ERITROSIT MENCIT
JANTAN (Mus Musculus) STRAIN DD WEBSTER
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi Biomedik pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ROSTIME HERMAYERNI SIMANULLANG
077008007/BM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
(3)
Judul Tesis : PENGARUH VITAMIN C SEBELUM LATIHAN
FISIK MAKSIMAL TERHADAP KUALITAS
ERITROSIT MENCIT JANTAN (Mus musculus)
STRAIN DD WEBSTER
Nama Mahasiswa : Rostime Hermayerni Simanullang
Nomor Pokok : 077008007
Program Studi : Biomedik
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. em. dr. Yasmeini Yazir) (Prof. Dr. Drs. Herbert Sipahutar, MS, MSc) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)
(4)
Telah diuji pada
Tanggal: 12 September 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. em. dr. Yasmeini Yazir
Anggota : 1. Prof. Dr. Drs. Herbert Sipahutar, MS, MSc 2. Prof. dr. Azmi S. Kar, SpPD, KHOM 3. dr. Datten Bangun, MSc, SpFK
(5)
ABSTRAK
Radikal bebas adalah suatu atom dan molekul yang tidak mempunyai pasangan elektron dan dapat merusak molekul-molekul penting bagi fungsi seluler. Pada kondisi stress oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin C diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada pengaruh pemberian vitamin C terhadap kerusakan kualitas eritrosit akibat radikal bebas. Pada mencit (Mus musculus) jantan dibagi dalam 2 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 11 ekor, kelompok perlakuan diberikan vitamin C 50 mg/KgBB/h dengan volume pemberian 0.5 ml/h dan kelompok kontrol diberikan aquadest 0.5 ml/ hari selama 7 hari. Sebelum dan sesudah latihan fisik maksimal berupa renang, kedua kelompok dilakukan pemeriksaan terhadap kualitas eritrosit (jumlah eritrosit dan hematokrit, kadar hemoglobin serta morfologi eritrosit). Hasil pemeriksaan diuji terlebih dahulu normalitas dengan uji Shapiro-Wilk dan menggunakan uji statistik t berpasangan dan tidak berpasangan bagi data distribusi normal dan uji (Uji Mann Whitney dan Wilcoxon) untuk data tidak berdistribusi normal.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna terhadap kualitas eritrosit setelah latihan fisik maksimal (p < 0.05). pada kelompok kontrol juga ditemukan adanya perubahan kualitas eritrosit setelah latihan fisik maksimal (p < 0.05). Ada perbedaan yang tidak bermakna terhadap kualitas eritrosit setelah latihan fisik maksimal pada kedua kelompok (p > 0.05). Pemberian vitamin C pada mencit 50 mg/KgBB/h tidak mempengaruhi kualitas eritrosit setelah latihan fisik maksimal. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan dosis vitamin C dan lama pemberian.
(6)
ABSTRACT
Free radicals, which are atoms and molecules that have unpaired electron. Excess of free radical in the body can damage the functions that are important for cellular functions, leading to a total loos of cellular functions. In oxidative stress condition, more oxygen radicals are produced, exceeding the cellular antioxidant defence system, lipid peroxidation accured. Free radical can trigger of the cellular function that influence the lipid protein and nucleic acids. Antioxidant like vitamin C is claimed to be able to reduced the free radcal production.
The aim of this study was to evaluated the effectiveness of vitamin C in reducing the free radical production after maximal exercise. The study was the signed as for such two months old. This is an experimental study, using 22 healthy male mice, weight around 33,4 g and the mice were divided into two groups 11 mice each. Experimental group were given 50 mg/KgBW and control group were given 0.5 ml aq daily for seven days. Before and after maximal exercise (in swimming) blood test conducted in both group for erythrocyte quality (erythrocyte and hematocrete count, Hb concentrastion and eritrhocyte morphology). For The blood test were tested using Shapiro-Wilk test for normalitas and t paired and unpaired then Mann Withney and wilcoxon test for data are not normal.
Results showed that there were significant changes in erythrocyte quality after maximal exercise (p < 0.05). No significant different erythrocyte quality after maximal exercise in both groups (p > 0.05). Futher investigations using higer and length of treatment.
(7)
KATA PENGANTAR
Pertama-tama marilah kita panjatkan Puji dan Syukur Kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena berkat dan rahmatNya, maka saya dapat menyusun tesis ini. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh Gelar Magister Kesehatan pada Program studi Biomedik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari penelitian ini adalah Pengaruh Vitamin C Sebelum Latihan Fisik Maksimal terhadap Kualitas Eritrosit Mencit Jantan (Mus musculus) Starin DD Webster.
Saya juga tak lupa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: Prof. em. dr. Yasmeini Yazir yang telah bersedia menjadi Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan msukan-masukan dalam penulisan tesis ini. Prof. Dr. Drs. Herbert Sipahutar, MS. MSc yang telah bersedia menjadi Anggota Komisi Pembimbing yang selalu tabah dan sabar dalam membimbing dan memberikan masukan-masukan demi kesempurnaan dalam penulisan tesis ini. Prof. dr. Azmi S. Kar. SpPD, KHOM yang telah bersedia menjadi Komisi Pembanding untuk memberikan masukan-masukan pada seminar tesis demi kesempurnaan penulisan tesis ini. dr. Datten Bangun, MSc, SpFK yang telah bersedia menjadi Komisi Pembanding pada seminar tesis demi kesempurnaan penulisan tesis ini. dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D selaku Ketua Program Studi Biomedik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara - Medan yang turut memberikan masukan dalam penulisan tesis ini. Pimpinan dan staf BPP Veteriner Medan yang menyediakan tempat untuk penggunaan laboratorium dan bantuan tenaga laboran dalam membantu saya pada penelitian ini. Pimpinan dan staf Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan yang menyediakan tempat dalam penelitian tesis ini.
Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada Pastor Marianus Manullang, OFM. Cap yang selalu memberikan dukungan doa dan semangat dalam perjuangan
(8)
hidup saya terutama pada masa perkuliahan. Suami tercinta Mitrowadi Tamba, SH yang selalu memberikan dukungan moril dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Biomedik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Rasa sayang penulis kepada seluruh anak-anak yang tercinta; Evelyn Natasia Tamba, Oskariono Siswadi Tamba, Chyntia Wadi Karini Tamba dan Fernandez Lukito Tamba yang sering ditinggal-tinggal selama masa pendidikan. Orang tua dan adik-adik yang selalu mendoakan penulis agar sukses dalam segala rencana terutama selama masa pendidikan ini. Terima kasih juga buat seluruh teman-teman seperjuangan mahasiswa/i Biomedik Angkatan 2008 yang selalu bersedia berdiskusi dalam kesempurnaan penulisan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan mendapat penambahan ilmu serta memunculkan ide-ide untuk penelitian baru.
Medan, September 2009
(9)
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Rostime Hermayerni Simanullang 2. Tempat/tanggal lahir : Huta Dalan/13 September 1973
3. Agama : Katholik
4. Status : Menikah
5. Alamat : Komp. Gardenia Blok B-5 No. 10 Gedung Johor, Medan, Sumatera Utara
6. Telp/Hp : 061-76496564/08126495315 7. Pendidikan :
SD Negeri No. 173500 Hutagodung Parlilitan : 1980-1986 SMP Swasta Katholik St. Maria 2 Pakkat : 1986-1989 SMA Swasta Katholik St. Maria Pakkat : 1989-1992 Akademi Keperawatan Imelda Medan : 1992-1995 Akta Mengajar di UNSYAH Kuala Banda Aceh : 1996-1997 D-IV Keperawatan Pendidik USU Medan : 1998-1999 Program Studi Biomedik SPs USU Medan : 2008-2009 8. Riwayat Pekerjaan :
Staf Pengajar di Akademi Perawat Imelda Medan : 1996-2002 Direktris Akademi Perawat Teladan Bahagia Medan : 2002-2003 Staf Pengajar di Akademi Perawat Gleneagles Medan : 2003-2005 Pembantu Direktur I di Akademi Perawat Gleneagles Medan : 2005-2007 Direktris di Akademi Perawat Columbia Asia Medan : 2007- sekarang
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK………... ………
ABSTRACT... KATA PENGANTAR... RIWAYAT HIDUP... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN... 1.1.Latar Belakang... 1.2.Perumusan Masalah... 1.3.Landasan Teori... 1.4.Tujuan Penelitian... 1.5.Hipotesis………..
1.6.Manfaat Penelitian………..
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………...
2.1. Latihan Fisik... 2.1.1. Respon Fisiologis terhadap Latihan Fisik... 2.1.2. Intensitas Latihan Fisik... 2.1.3. Durasi Sesi Latihan Fisik... 2.1.4. Frekuensi Sesi Latihan Fisik... 2.1.5. Durasi Program Latihan Fisik... 2.2. Radikal Bebas dan Oksidatif Stress... 2.3. Kerusakan Reaksi Akibat Radikal Bebas... 2.4. Vitamin C...
2.4.1. Kimia Vitamin C... 2.4.2. Dosis Eksperimental Vitamin C pada Manusia dan Hewan. 2.5. Hematologi...
2.5.1. Fungsi dan Morfologi Eritrosit pada Manusia... 2.5.2. Gambaran Hematologi Manusia... 2.5.3. Abnormalitas Morfologi Eritrosit pada Hewan... 2.5.4. Gambaran Hematologi Mencit... BAB III METODE PENELITIAN...
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 3.2. Bahan dan Alat Penelitian...
i ii iii v vi viii ix x 1 1 4 4 5 6 6 7 7 7 9 9 10 10 10 11 13 13 14 15 15 16 17 17 18 18 18
(11)
3.2.1. Bahan Penelitian... 3.2.2. Alat Penelitian... 3.3. Variabel Penelitian... 3.4. Rancangan...
3.4.1. Penerbitan Ethical Clereance... 3.4.2. Rancangan Penelitian... 3.4.3. Jumlah Sampel... 3.4.4. Dosis... 3.5. Pelaksanaan Penelitian...
3.5.1. Pemberian Perlakuan………....
3.5.2. Pengumpulan Sampel Darah………...
A. Koleksi Sampel Darah (Sebelum dan Sesudah
Perlakuan)... B. Penentuan Jumlah Eritrosit……….
C. Pengamatan Morfologi Eritrosit dengan Membuat Sediaan Hapusan dan Pewarnaan Darah …………...….
D. Pemeriksaaan Kadar Hemoglobin...……….... E. Penentuan Nilai Hematokrit………....……...
3.6. Analisis Data……….
3.7. Jadwal Penelitian………...
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………...
4.1. Hasil………..
4.1.1. Kualitas Eritrosit Pra dan Paska Latihan Fisik Maksimal pada Kelompok Kontrol………...
4.1.2. Kualitas Eritrosit Pra dan Paska Latihan Fisik Maksimal pada Kelompok Perlakuan………...
4.1.3. Pengaruh Vitamin C terhadap Kualitas Eritrosit …….……...
4.2. Pembahasan………..
4.2.1. Kualitas Eritrosit ……..………..
A. Jumlah Eritrosit………..
B. Nilai Hematokrit……….
C. Kadar Hemoglobin………...
D. Morfologi Eritrosit………...
4.2.2. Pengaruh Vitamin C terhadap Kualitas Eritrosit Mencit ....… BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...
4.1. Kesimpulan…..………..
4.2. Saran………...
DAFTAR PUSTAKA………...
18 20 21 21 21 21 22 22 22 22 24 24 24 25 26 26 26 27 28 28 29 30 32 33 33 33 34 35 35 36 38 38 38 39
(12)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
(13)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Kerangka Teori Pengaruh Vitamin C Sebelum Latihan Fisik Maksimal terhadap Kualitas Eritrosit Mencit Jantan (Mus
musculus) Strain DD Webster...……….. 5
2. Morfologi Eritrosit Normal pada Manusia………. 16 3. Nilai Rata-rata (+ SD) Jumlah Eritrosit Sebelum (Pra) dan
Setelah (Pasca) Latihan Fisik Maksimal (A)*; Nilai Hematokrit (B)*; Kadar Hemoglobin (C)*; Nilai Rata-rata Morfologi Eritrosit pada Kelompok Kontrol (D)*; Nilai (n=11). Tanda* Menunjukkan Berbeda Nyata Dibanding Kondisi Sebelum (Pra)
Latihan Fisik Maksimal (uji t, p < 0,05)... 30 4. Nilai Rata-rata (+ SD) Jumlah Eritrosit Pra dan Pasca Latihan
Fisik Maksimal (A)*; Nilai Hematokrit (B)*; Kadar Hemoglobin (C)*; Nilai Rata-rata Morfologi Eritrosit pada Kelompok Perlakuan (D)*; Nilai (n=11). Tanda* Menunjukkan Berbeda Nyata Dibanding Kondisi Sebelum (Pra) Latihan Fisik
Maksimal (uji t, p < 0,05)... 31 5. Perbedaan Nilai Rata-rata (+ SD) Jumlah Eritrosit Pasca
Latihan Fisik Maksimal (A); Nilai Hematokrit (B); Kadar Hemoglobin (C); Nilai Rata-rata Morfologi Eritrosit pada Kelompok Perlakuan dan Kontrol (D); Nilai (n=11). Tanda* Menunjukkan Berbeda Nyata Dibanding Kondisi Sebelum (Pra)
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium ……...………. 42
2. Hasil Uji Normalitas Data ………...……… 45
3. Hasil Pengolahan Data Secara Statistik ……….. 46
(15)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan (Clarkson dan Thompson, 2000, Slater, 1984). Stres oksidatif adalah suatu kondisi di mana produksi radikal bebas melebihi antioksidan sistem pertahanan seluler. Pada kondisi stres oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Membran sel ini sangat penting bagi fungsi reseptor dan fungsi enzim, sehingga terjadinya peroksidasi lipid membran sel oleh radikal bebas yang dapat mengakibatkan hilangnya fungsi seluler secara total (Evans, 2000).
Reaksi radikal bebas merupakan penyebab yang kuat terhadap gangguan seluler yang mempengaruhi lemak, protein dan asam nukleat. Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan dapat mempengaruhi fungsi normal dari sel-sel immun (Margaritis et al., 2003).
Latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif pada tikus (Senturk et al., 2001) dan manusia (Sonneborn and Barbee, 1998, Pedersen dan Hoffman-Goetz, 2000, Senturk et al., 2005). Latihan fisik dapat meningkatkan pembentukan radikal bebas dan peroksidasi lipid. Latihan fisik berat pada individu yang tidak terkondisi atau tidak terbiasa melakukan latihan fisik akan mengakibatkan kerusakan oksidatif dan injuri otot (Evans, 2000).
(16)
Hasil studi menunjukkan bahwa stress oksidatif adalah salah satu faktor yang bertanggung jawab terhadap kerusakan eritrosit selama dan setelah latihan fisik (Senturk et al., 2001). Dari penelitian yang telah dilakukan bahwa kerusakan eritrosit terjadi selama dan setelah latihan fisik maksimal dan dapat menyebabkan anemia, yang sering disebut “sports anemia”(Senturk et al., 2001). Banyak hipotesa-hipotesa untuk menjelaskan kerusakan eritrosit yang dipicu oleh latihan fisik. Perdarahan gastrointestinal dan saluran urinaria, penurunan zat besi (penurunan absorbsi intestin, meningkatnya kebutuhan dan kehilangan keringat), eritropoiesis tidak cukup dan beberapa kemungkinan mekanisme penyebab terjadinya anemia, yang paling utama diantara mekanisme ini adalah hemolisis intravaskuler (Senturk et al., 2001). Trauma mekanik (footstrike atau kompressi eritrosit di kapiler pada saat terjadinya kontraksi otot), suhu tubuh meningkat, dehidrasi, hemokonsentrasi dan stress oksidatif yang terjadi selama latihan fisik dan pada tahap pemulihan selanjutnya diketahui menyebabkan terjadinya hemolisis intravaskuler (Senturk et al., 2001).
Hasil studi, lain menunjukkan setelah melakukan latihan fisik maksimal menyebabkan perubahan nilai hematokrit, eritrosit dan leukosit (Senturk et al., 2004) dan berlari selama 1 jam terjadi kerusakan eritrosit seperti sel-sel eritrosit menjadi rapuh, penurunan kadar hemoglobin dan perubahan morfologi sel-sel eritrosit (Senturk et al., 2005).
Secara alamiah dalam sel terdapat berbagai antioksidan baik enzimatik maupun nonezimatik yang berfungsi sebagai pertahanan bagi organel-organel sel dari pengaruh kerusakan reaksi radikal bebas (Evans, 2000). Kandungan antioksidan ini
(17)
bisa bersumber dari diet berupa vitamin dan mineral antioksidan. Vitamin C merupakan salah satu vitamin antioksidan yang utama dalam tubuh. Selain dari diet, senyawa antioksidan juga diproduksi secara endogen oleh tubuh seperti glutation (Evans, 2000, Clarkson dan Thompson, 2000). Belum sepenuhnya diketahui apakah antioksidan alamiah tubuh yang berperan sebagai sistem pertahanan dapat mengatasi peningkatan radikal bebas pada saat latihan fisik atau apakah diperlukan suplemen tambahan (Clarkson dan Thompson, 2000).
Vitamin C bersifat larut dalam air dan terdapat di kompartemen sitosol sel. Vitamin C, E, dan asam urat di dalam plasma memiliki aktivitas antioksidan yang potensial, konsentrasinya di dalam plasma akan meningkat setelah latihan fisik. Pada orang yang tidak terlatih, orang usia lanjut dan wanita, serta orang yang sistem antioksidannya tidak memadai, akan mempercepat terjadinya peroksidasi lipid oleh radikal bebas sehingga dapat menyebabkan kerusakan otot (Evans, 2000). Tambahan pemasukan vitamin C secara oral diterangai dapat memberikan keuntungan potensial dengan cara mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dalam jaringan (Khassaf et al., 2003).
Karena latihan fisik, terutama latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif dan peroksidasi lipid, yang memicu terjadinya kerusakan sel-sel eritrosit seperti perubahan bentuk dan rapuh, maka antioksidan seperti vitamin C diajukan dapat digunakan untuk mengurangi aktivitas radikal bebas dalam tubuh. Sehingga berdasarkan hal di atas maka dengan demikian akan dilakukan penelitian
(18)
tentang pengaruh vitamin C terhadap kualitas eritrosit mencit sebelum latihan fisk maksimal.
1.2. Perumusan Masalah
Apakah ada pengaruh vitamin C sebelum latihan fisik maksimal terhadap kualitas eritrosit mencit jantan (Mus musculus) strain DD Webster.
1.3. Landasan Teori
Latihan fisik maksimal dapat menyebabkan timbulnya radikal bebas yang lebih besar daripada sistem antioksidan dari tubuh sehingga terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel-sel eritrosit. Vitamin C berfungsi sebagai antioksidan oksigen yang dapat menurunkan kadar radikal bebas. Untuk mengetahui apakah vitamin C dapat menurunkan kadar radikal bebas akibat latihan fisik maksimal, maka pemeriksaan yang dapat dijadikan sebagai indikator terhadap kualitas eritrosit adalah pemeriksaan morfologi, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit.
(19)
Gambar 1. Kerangka Teori Pengaruh Vitamin C Sebelum Latihan Fisik Maksimal terhadap Kualitas Eritrosit Mencit Jantan (Mus
musculus) Strain DD Webster
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh vitamin C sebelum latihan fisik maksimal terhadap kualitas eritrosit mencit jantan (Mus musculus) Strain DD Webster.
1.4.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kualitas eritrosit mencit jantan (Mus musculus) Strain DD Webster sebelum latihan fisik maksimal tanpa mengkonsumsi vitamin C.
LATIHAN FISIK MAKSIMAL
STRES OKSIDATIF
VITAMIN C
KUALITAS ERITROSIT RADIKAL
BEBAS
STRES OKSIDATIF
KUALITAS ERITROSIT RADIKAL
(20)
b. Untuk mengetahui kualitas eritrosit mencit jantan (Mus musculus) Strain DD Webster sebelum latihan fisik maksimal tetapi mengkonsumsi vitamin C.
1.5. Hipotesis
Ho : Tidak ada pengaruh vitamin C sebelum latihan fisik maksimal terhadap kualitas eritrosit mencit jantan (Mus musculus) Strain DD Webster.
Ha : Ada pengaruh vitamin C sebelum latihan fisik maksimal terhadap kualitas eritrosit mencit jantan (Mus musculus) Strain DD Webster.
1.6. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah bagi ilmu olahraga tentang manfaat pemberian vitamin C bagi calon atlit yang melakukan latihan fisik maksimal dalam rangka meningkatkan prestasi atlit. Bagi ilmu kedokteran, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan untuk menjaga status kesehatan dan mencegah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh karena kerusakan eritrosit terutama oleh karena radikal bebas.
(21)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Latihan fisik
2.1.1. Respon Fisiologis terhadap Latihan Fisik
Atlit yang melakukan latihan fisik pada tingkat yang lebih tinggi akan mencapai suatu titik di mana transport oksigen menuju otot tidak lagi meningkat dan seluruh konsumsi oksigen tubuh maksimal (VO2max) tidak bisa lagi meningkat.
Setelah masa tersebut akan terjadi kelelahan.
Latihan fisik maksimal dapat meningkatkan VO2max. Peningkatan VO2max ini
disebabkan oleh bertambahnya kandungan O2 di dalam arteri dan vena, serta
meningkatnya cardiac output maksimal. Meningkatnya VO2max akan meningkatkan
toleransi terhadap latihan fisik. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa dengan meningkatkan kapasitas maksimal akan menurunkan terjadinya metabolisme anaerob (ambang batas anaerob menjadi lebih tinggi). Sisa metabolisme anaerob berupa asam laktat, mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi tubuh. Kebutuhan oksigen meningkat sejalan dengan peningkatan level kerja, sehingga produksi CO2 akan
meningkat. Peningkatan produksi CO2 ini terjadi karena proses buffer oleh natrium
bikarbonat terhadap asam laktat dan menghasilkan CO2. Ventilasi akan terangsang
untuk membersihkan kelebihan CO2 dan asidosis metabolik secara langsung
(22)
Apabila melakukan latihan fisik maksimal secara teratur, maka produksi asam laktat menjadi lebih sedikit pada saat melakukan latihan fisik berat. Selain itu, respon fisiologis tubuh juga mengalami perubahan saat melakukan latihan fisik berat, perubahan tersebut antara lain komsumsi oksigen dan produksi CO2 menjadi lebih
sedikit, ventilasi secara dramatis menurun. Walaupun ventilasi menurun, PCO2 dan
pH arteri tetap normal (Casaburi, 1992; Clarkson dan Thompson, 2000).
Dan juga pada trauma mekanik (footsrike) merupakan faktor yang berkontribusi terhadap latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya hemolisis. Aktivitas non traumatik seperti berenang, bersepeda, mendayuh dan angkat besi juga memberikan peningkatan yang bermakna terhadap kerusakan eritrosit. Peningkatan suhu tubuh, asidosis dan peningkatan katekolamin, dehidrasi, hemokonsentrasi dan penekanan eritrosit di kapiler melalui kontraksi otot-otot adalah mekanisme penting yang memegang peranan terjadinya hemolisis intravaskular selama latihan fisik atau periode pemulihan (Senturk et al., 2005).
Pada kenyataannya berlari dengan jarak jauh mempunyai hubungan bermakna terjadinya kerusakan eritrosit seperti terjadinya peningkatan perubahan struktur eritrosit, penurunan membran spektrin dan perubahan nilai hematokrit dan plasma protein pada pelari yang tidak terlatih dibandingkan dengan yang terlatih (Telford et al., 2002 dan Yusof et al., 2007).
(23)
2.1.2. Intensitas Latihan Fisik
Intensitas latihan fisik memiliki dua prinsip utama. Pertama, intensitas latihan fisik mempunyai ambang batas, artinya latihan fisik tidak akan mempunyai efek latihan lagi walaupun frekuensi dan durasi latihan fisik itu ditingkatkan. Kedua, bila intensitas latihan fisik dilakukan melebihi ambang batas, jumlah total kerja per sesi merupakan determinan yang penting bagi respon latihan fisik. Sebagai contoh, latihan fisik intensitas tinggi dalam waktu singkat sama efektifnya dengan latihan fisik intensitas sedang dalam waktu yang lebih lama (Casaburi, 1992).
Terdapat tiga variabel fisiologis yang dapat digunakan untuk menentukan intensitas latihan fisik, yaitu frekuensi denyut jantung, konsumsi oksigen, dan level laktat darah. Menggunakan frekuensi denyut jantung untuk mengukur intensitas latihan fisik merupakan hal yang mudah dilakukan. Hal yang paling banyak dipakai untuk menentukan intensitas latihan fisik adalah konsumsi oksigen tubuh maksimal (VO2max). Penggunaan level laktat untuk menentukan intensitas latihan fisik
dianjurkan juga oleh beberapa peneliti (Casaburi, 1992).
2.1.3. Durasi Sesi Latihan Fisik
Hasil latihan fisik selama 30 – 60 menit lebih efektif dibandingkan dengan latihan fisik selama 10 – 15 menit. Latihan fisik intensitas tinggi dapat menyebabkan injuri otot, sehingga tidak dianjurkan untuk melakukan latihan fisik intensitas tinggi jangka waktu singkat. Durasi latihan fisik yang dianjurkan paling sedikit selama 20 menit, dan akan lebih efektif bila dilakukan selama 30 – 60 menit (Casaburi, 1992).
(24)
2.1.4. Frekuensi Sesi Latihan Fisik
Ada konsensus yang menganjurkan latihan fisik dilakukan dengan frekuensi 3 – 5 kali seminggu. Walaupun frekuensi 2 kali seminggu dapat meningkatkan kebugaran maksimal, tapi keuntungan yang diperoleh lebih sedikit. Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa latihan fisik 5 – 7 kali seminggu memberikan keuntungan bagi kebugaran, dan latihan fisik setiap hari jarang bisa dilakukan (Casaburi, 1992).
2.1.5. Durasi Program Latihan Fisik
Durasi program latihan fisik dapat dilakukan selama 3 – 4 minggu. Akan tetapi kebanyakan peneliti menganjurkan program latihan fisik pada rentang 5 – 10 minggu, karena pada rentang waktu tersebut sudah tercapai efek latihan fisik yang substansial secara fisiologis karena setelah waktu tersebut tidak akan ada lagi peningkatan VO2max, atau penurunan frekuensi denyut jantung, asam laktat dan
epinefrin, kecuali intensitas latihan fisik ditingkatkan (Casaburi, 1992).
2.2. Radikal Bebas dan Oksidatif Stress
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan dapat berdiri sendiri (Clarkson and Thompson, 2000, Slater, 1984). Kebanyakan radikal bebas bereaksi secara cepat dengan atom lain untuk mengisi orbital yang tidak berpasangan, sehingga radikal bebas normalnya berdiri sendiri hanya dalam periode waktu yang singkat sebelum menyatu dengan atom lain. Simbol untuk radikal bebas adalah sebuah titik (R·), yang
(25)
berada di dekat simbol atom. Radikal bebas mempunyai peran dalam fungsi normal dan abnormal tubuh. Radikal bebas yang penting secara biologis antara lain anion superoksida (O2·), radikal hidroksil (OH·), dan oksida nitrit (NO·) (Vander et al.,
2001). Bentuk radikal bebas yang lain adalah hidroperoxil (HO2·), peroxil (RO2·),
alkoxil (RO·), karbonat (CO3·-), karbon dioksida (CO2·-), atom khlor (Cl·), nitrogen
dioksida (NO2·), (Halliwell and Whiteman, 2004). Radikal bebas bisa bermuatan
negatif, bermuatan positif, dan juga bermuatan netral (Slater, 1984 dan Vander et al., 2001).
Radikal bebas ini meningkat selama latihan fisik maksimal. Sumber utama radikal bebas adalah melalui aktivasi otot-otot pada mitokondria tetapi radikal bebas juga dihasilkan oleh sel-sel darah merah selama terjadinya respon inflamasi. Ketika sistem antioksidan tidak dapat beradaptasi terhadap produksi radikal bebas yang berlebihan maka terjadilah oksidatif stress. Radikal bebas merupakan penyebab yang poten untuk terjadinya kerusakan seluler yang mempengaruhi lipid, protein dan asam nukleat. Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan dapat mempengaruhi fungsi normal sel-sel immun dalam tubuh (Margaritis et al., 2003).
2.3. Kerusakan Reaksi Akibat Radikal Bebas
Penelitian yang ekstensif dengan menggunakan sistem model, dan dengan material biologis in vitro, secara jelas menunjukkan bahwa radikal bebas dapat menimbulkan perubahan kimia dan kerusakan terhadap protein, lemak, karbohidrat, dan nukleotida. Bila radikal bebas diproduksi in vivo, atau in vitro di dalam sel
(26)
melebihi mekanisme pertahanan normal, maka akan terjadi berbagai gangguan metabolik dan seluler. Jika posisi radikal bebas yang terbentuk dekat dengan DNA, maka bisa menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga bisa terjadi mutasi. Radikal bebas juga bisa bereaksi dengan nukleotida sehingga menyebabkan perubahan yang bermakna pada komponen biologi sel. Bila radikal bebas merusak grup thiol maka akan terjadi perubahan aktivitas enzim. Radikal bebas dapat merusak sel dengan cara merusak membran sel tersebut. Kerusakan pada membran sel ini dapat terjadi dengan cara: (a) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor yang berada di membran sel, sehingga merubah aktivitas komponen-komponen yang terdapat pada membran sel tersebut; (b) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan komponen membran sel, sehingga merubah struktur membran dan mengakibatkan perubahan fungsi membran dan/atau mengubah karakter membran menjadi seperti antigen; (c) radikal bebas mengganggu proses transportasi melalui ikatan kovalen, mengoksidasi kelompok thiol, atau dengan merubah asam lemak polyaunsaturated; (d) radikal bebas menginisiasi peroksidasi lipid secara langsung terhadap asam lemak polyaunsaturated dinding sel. Peroksidasi ini akan mempengaruhi fluiditas membran, cross-linking membran, serta struktur dan fungsi membran (Slater, 1984).
Sebagai tambahan adaptasi perubahan terhadap proteksi enzim-enzim, stress oksidatif atau stress lain yang diketahui menyebabkan meningkatnya produksi stress atau heat shock protein (HSPs). Protein ini adalah komponen penting dari respon proteksi seluler. Ini terjadi dalam sel-sel darah dan data terakhir juga
(27)
mengindikasikan bahwa meningkatnya HSP terjadi selama latihan fisik pada tikus, mencit dan manusia (Khassaf, 2003).
2.4. Vitamin C
2.4.1. Kimia Vitamin C
Vitamin C mempunyai nama lain yaitu L-ascorbic acid (C6H8O6). Nama
kimia vitamin C adalah 2-oxo-L-threo-hexono-1,4-lactone-2,3-enediol. Vitamin C merupakan molekul yang labil, stabilitas maksimal pada pH 4–6 (Naidu, 2003).
Vitamin C dapat disintesis pada kebanyakan mamalia, tetapi tidak bisa disintesis oleh manusia, primata non-manusia, dan guinea pig karena tidak mempunyai enzim gulonolactone oxidase (Padayatty et al., 2003, Naidu, 2003).
Vitamin C disebut antioksidan karena berfungsi sebagai donor elektron, sehingga dapat mencegah senyawa lain mengalami oksidasi. Saat vitamin C melepaskan elektron, ia menjadi radikal askorbil. Dibandingkan dengan radikal bebas lain, radikal askorbil ini relatif stabil dengan waktu paruh 10-5 detik dan tidak reaktif. Radikal bebas yang merugikan dapat berinteraksi dengan vitamin C sehingga radikal bebas yang merugikan tersebut mengalami reduksi dan vitamin C berubah menjadi radikal askorbil yang kurang reaktif. Proses reduksi radikal bebas reaktif menjadi senyawa yang kurang reaktif ini disebut free radical scavenging. Vitamin C merupakan free radical scavenging yang baik (Padayatty et al., 2003). Vitamin C (asam askorbat), bersifat larut dalam air dan terdapat di kompartemen sitosol sel, berperan sebagai donor elektron kepada radikal vitamin E yang muncul saat stres
(28)
oksidatif. Vitamin E dan C dan asam urat, semuanya mempunyai aktivitas antioksidan potensial meningkat setelah latihan fisik. Pada orang yang tidak terlatih, usia lanjut dan wanita, dan orang yang sistem antioksidannya tidak memadai, peningkatan kecepatan peroksidasi lipid akibat radikal oksigen dapat menyebabkan kerusakan otot (Evans, 2000).
Asam askorbat adalah senyawa yang sangat penting untuk mengaktivasi enzyme prolilhidroksilase yang berfungsi dalam pembentukan kolagen. Tanpa asam askorbat serat kolagen dalam tubuh menjadi tidak sempurna dan lemah. Sehingga vitamin C ini sangat penting untuk pertumbuhan dan kekuatan jaringan dalam jaringan subkutan, kartilago, tulang dan gigi (Guyton dan Hall, 2006).
2.4.2. Dosis Experimental Vitamin C pada Manusia dan Hewan
Bukti-bukti ilmiah pada manusia telah banyak menunjukkan bahwa konsumsi vitamin C ≤2000 mg/hari pada orang dewasa masih aman. Latihan fisik menginduksi
stress oksidatif pada manusia dengan menggunakan dosis vitamin C 50 mg/Kg BB/hari (Senturk et al., 2005). Dan bukti-bukti ilmiah pada hewan seperti tikus yang terpapar timbal dengan dosis vitamin C 140, 420, dan 1260 mg/KgBB/hari (Wang, et al, 2007). Dan latihan fisik menginduksi stress oksidatif pada tikus dengan menggunakan dosis vitamin C 50 mg/Kg BB/hari (Senturk et al., 2001). Berbagai hipotesis yang menyatakan tentang efek merugikan dari vitamin C seperti meningkatkan pembentukan batu oksalat dan batu ginjal, meningkatkan konsentrasi asam urat, kelebihan absosrsi besi, menurunkan konsentrasi vitamin B 12,
(29)
menginduksi scurvy, dan memiliki efek prooksidan, tidak mempunyai dasar yang substansial (Hathcock et al., 2005).
Vitamin C merupakan senyawa yang mempunyai berat molekul relatif besar, sehingga tidak bisa melewati membran sel melalui difusi sederhana. Fluks (flux) vitamin C ke dalam dan ke luar sel dikontrol oleh mekanisme yang spesifik. Mekanisme fluks ini diperantarai oleh transporter glukosa yang dipermudah (GLUT) dan sodium vitamin C cotransporters (SVCT) (Li dan Schellhorn, 2007).
2.5. Hematologi
2.5.1. Fungsi dan Morfologi Eritrosit pada Manusia
Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut hemoglobin dan seterusnya mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh. Pada beberapa hewan tingkat rendah, hemoglobin ini beredar sebagai protein bebas di dalam plasma tidak terbatas dalam eritrosit. Jika hemoglobin ini terbebas dalam plasma manusia, kurang lebih 3 %nya bocor melalui membran kapiler masuk ke dalam ruang kapiler jaringan atau melalui membran glomerulus setiap kali darah melewati kapiler. Oleh karena itu, agar hemoglobin tetap berada dalam aliran maka ia harus tetap berada dalam eritrosit. Selain mengangkut hemoglobin, eritrosit juga mempunyai fungsi lain. Ia mengandung banyak karbon anhidrase, yang mengkatalis reaksi antara karbondioksida dan air, sehingga meningkatkan reaksi bolak-balik ini beberapa ribu kali lipat. Cepatnya reaksi ini membuat air dalam darah dapat bereaksi dengan banyak
(30)
sekali karbon dioksida dan dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-).
Eritrosit berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter kira-kira 7,8 mikrometer dan dengan ketebalan pada bagian yang paling tebal 2,5 mikrometer dan pada bagian tengah 1 mikrometer atau kurang. Bentuk eritrosit dapat berubah-ubah ketika sel berjalan melewati kapiler. Karena sel normal mempunyai membran yang sangat kuat untuk menampung banyak bahan material di dalamnya, maka perubahan bentuk tadi tidak akan meregangkan membran secara hebat dan sebagai akibatnya tidak akan memecahkan sel seperti yang terjadi pada sel-sel lainnya (Guyton dan Hall, 2006).
2.5.2. Gambaran Hematologi Manusia
PRIA WANITA
Eritrosit (RBC)/ mm3: 5.200.000. Hb : 14 -18 gr/dl. Hematokrit (%) : 40 – 54
Eritrosit (RBC)/ mm3: 4.700.000. Hb : 12 -16 gr/dl. Hematokrit (%) : 37 – 47
(31)
2.5.3. Abnormalitas Morfologi Eritrosit pada hewan
a. Poikilocytosis yaitu irreguler atau terjadinya perubahan bentuk eritrosit seperti: elliptocyte, sickle cell dan tear drops. Indikasi ini muncul karena adanya abnormalitas eritrogenesis (pembentukan eritrosit).
b. Leptosit yaitu bentuk eritrosit pipih dengan luas permukaannya meningkat tetapi volumenya tetap.
c. Crenation yaitu tonjolan-tonjolan pada permukaan eritrosit bukan karena perubahan klinik, tetapi merupakan kesalahan tekhnis.
d. Dll (Hariono B, 1998).
2.5.4. Gambaran Hematologi Mencit
Eritrosit (RBC) (x 106/mm3) : 6,86 – 11,7 x 10 /mm
Haemoglobin (g/dl) : 10,7 – 11,5 g/100 ml
Volume darah : 75 – 80 ml/kg
Hematokrit (VCP) (%) : 33,1 – 49,9
(32)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan dan Laboratorium Biokimia Balai Penelitian dan Pengujian (BPP) Veteriner Medan Jl. Binjai Km 7,5 Medan. Penelitian ini dilakukan 8 minggu.
3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1. Bahan Penelitian
a. Vitamin C
Vitamin C yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah vitamin C murni dalam bentuk palmitoyl-L-ascorbic acid (MERCK, Germany).
b. Regensia dan larutan
Regensia Hayem digunakan untuk mematikan leukosit dalam sampel darah. Larutan Gimsa (MERCK, Germany) digunakan untuk pewarnaan differensial. Larutan Metanol untuk fiksasi agar hapusan darah tidak terlepas dari gelas objek. Aquades untuk pelarut vitamin C. Larutan sianida 5 ml (MERCK, Germany) untuk mengikat Hb dalam darah. Larutan EDTA 1% sebagai antikoagulan. Vitamin C sebagai antioksidan dan minyak Imersi untuk memperjelas sediaan hapusan pada pembesaran 100 X (Ropelle et al., 2006).
(33)
c. Hewan coba
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan (Mus musculus) strain DD Webster, berumur 2 bulan dengan rata-rata berat badan 34.43 g. Hewan coba diperoleh dari Laboratorium Penelitian Terpadu (LPPT) Universitas Gajah Mada Yogyakarta (LPPT UGM).
Sebelum dilakukan perlakuan, mencit dipelihara secara berkelompok dengan 5 ekor mencit per kandang selama 14 hari untuk aklimatisasi. Setelah itu untuk pelaksanaan penelitian dilakukan randomisasi kemudian digabungkan mencit dalam satu kandang di mana mencit perlakuan diberi warna merah pada bagian punggung sedangkan mencit kontrol tidak diberi warna. Sebelum perlakuan BB mencit ditimbang terlebih dahulu rata-rata berat badan adalah 34,73 g (+ SD=1,48) pada kelompok perlakuan dan 33,45 g (+ SD= 3.37) pada kelompok kontrol. Diakhir penelitian berat badan mencit menjadi 34,96 g (+ SD=2.71) kelompok perlakuan dan 34,56 g (+ SD=4,47) kelompok kontrol. Kandang terbuat dari bahan plastik berukuran panjang 50 x lebar 30 x kedalaman 10 cm, ditutup dengan kawat kasa halus. Makanan berupa pellet dengan kode 551 (PT Charoen Pokphand, Indonesia) dan minuman air keran (tap water) yang diberikan ad libitum. Dasar kandang dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5 – 1 cm dan diganti setiap 2 (dua) hari. Siklus terang gelap harian, temperatur dan kelembaban ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah (Ropelle et al., 2006).
(34)
3.2.2. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Kamar Hitung Improve Neubaeur (Merienfeld, Germany) untuk melihat morfologi eritrosit dan menghitung jumlah eritrosit yang berisi: Pipet Toma sel eritrosit untuk mengambil dan mencampur sampel darah, Kaca Objek sebagai tempat hapusan sampel darah dan Deck glass untuk menutup Kamar Hitung Improve Neubaeur. Mikroskop cahaya (Olympus CX40, Japan) untuk melihat morfologi dan menghitung jumlah eritrosit dengan pembesaran 40 X. Spectrohematocrit RC-24BN (Japan) untuk pemutaran hematokrit kapiler. Hematocrit reader Tomy Seiko LTD (Japan) untuk menghitung nilai hematokrit. Hematokrit kapiler (Merc, Germany) untuk mengambil sampel darah dari mata vena retro orbital untuk pemeriksaan nilai hematokrit. Pinset anatomi untuk menenggelamkan mencit jika mencitnya istirahat dan mengambil mencit dari wadah tempat berenang jika sudah mencapai latihan fisik maksimal. Wadah tempat berenang yang terbuat dari kaca berbentuk kubus dengan ukuran: tinggi 60 cm x lebar 30 cm x panjang 50 cm, diisi air dengan kedalaman 40 cm sebagai tempat berenang selama latihan fisik maksimal. Stop watch digunakan untuk menghitung waktu selama pelaksanaan eksperimen. Spuit 1 CC untuk mendorong darah dalam hematokrit kapiler. Laboratory counter untuk membantu menghitung jumlah eritrosit. Spektrofotometri (Spektronis Genesys 5, USA) untuk menghitung kadar hemoglobin. Mikropipet (MERCK, Germany) untuk menghisap sampel darah. Mikrotube tempat sampel darah. Tissu membersihkan sisa sampel darah pada ujung pipet. Spidol warna
(35)
merah untuk memberi tanda pada mencit kelompok perlakuan. Spuit Gavage untuk memberikan vitamin C peroral kepada mencit.
3.3. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas yaitu pemberian vitamin C sebelum latihan fisik maksimal
dengan dosis 50 mg/kgBB/hari yang diberikan selama 7 (tujuh) hari (Senturk et al., 2001).
2. Variabel tergantung yaitu morfologi dan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin
serta nilai hematokrit.
3. Variabel kendali yaitu jenis kelamin, berat badan, makanan, umur, dan
lingkungan.
3.4. Rancangan
3.4.1. Penerbitan Ethical Clereance
Pelaksanaan penelitian pengaruh vitamin C terhadap kualitas eritrosit mencit sebelum latihan fisik maksimal, telah mendapat persetujuan pelaksanaan penelitian dari Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.4.2. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Mencit dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Sebelum latihan fisik maksimal kedua
(36)
kelompok dilakukan pengukuran kualitas eritrosit (jumlah dan morfologi eritrosit, kadar hemoglobin serta nilai hematokrit). Setelah itu pada kelompok perlakuan diberikan vitamin C sedangkan pada kelompok kontrol diberikan cairan aquades pelarut vitamin C selama 7 (tujuh) hari dengan volume pemberian yang sama. Lalu setelah itu dilakukan latihan fisik maksimal pada kedua kelompok berupa renang dan setelah latihan fisik maksimal kedua kelompok dilakukan kembali pengukuran terhadap kualitas eritrosit. Hasil pengukuran ini kemudian dibandingkan antara pengukuran kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol (Notoadmodjo, 2002).
3.4.3. Jumlah Sampel
Jumlah sampel mencit jantan (Mus musculus strain DD Webster) diambil berdasarkan rumus t(r–1)≥20 (Sugandi, 1994). Jika t adalah jumlah kelompok (dalam penelitian ini terdiri dari 2 kelompok) dan r adalah jumlah ulangan per kelompok, maka jumlah ulangan adalah sebesar 11 mencit per kelompok maka jumlah mencit kedua kelompok kontrol dan perlakuan adalah 22 ekor.
3.4.4. Dosis
Dosis Vitamin C diberikan pada kelompok perlakuan masing-masing subjek peroral 50 mg/kgBB/hari (dengan volume pemberian 0,5 ml/h) (Senturk et al., 2005).
3.5. Pelaksanaan Penelitian 3.5.1. Pemberian Perlakuan
Prosedur pelaksanaan latihan fisik maksimal dilakukan mengikuti prosedur yang dilaksanakan oleh Ciulla et al., (2007). Mencit diambil dari kandang baik
(37)
kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan untuk dilakukan pengukuran terhadap kualitas eritrosit di mana kelompok perlakuan diberikan vitamin C peroral dengan menggunakan spuit Gavage dan kelompok kontrol diberikan aquades pelarut vitamin C peroral dengan jumlah yang sama yaitu 0,5ml/h selama 7 (tujuh) hari. Sebelum perlakuan sampel darah mencit diambil dari bagian sudut mata vena retro orbital untuk pemeriksaan kualiatas eritrosit sebelum perlakuan kemudian dilakukan latihan fisik maksimal dari kedua kelompok dengan cara mencit dipaksa renang di dalam sebuah wadah yang tidak ada jalan keluar. Setelah mencit dimasukkan ke dalam wadah gunakan stop wacth untuk menghitung waktu yang dibutuhkan selama latihan fisik maksimal. Sebagai usaha untuk keluar dari wadah mencit berenang, menyelam dan memanjat dinding wadah dengan sekuat tenaga dan jika mencit tampak istirahat untuk mengambil tenaga maka mencit ditenggelamkan dengan menggunakan pinset. Saat mencit menghentikan segala gerakannya, kecuali gerakan untuk bertahan hidup (mempertahankan kepala tetap berada di permukaan air), hal ini dianggap mencit sudah melakukan latihan fisik maksimal (Ciulla et al., 2007). Lama berenang kelompok kontrol rata-rata adalah 37,64 menit (+SD=18,21) dan kelompok perlakuan adalah 49,91 menit (+SD=28,00) dan nilai p= 0,23. Setelah itu mencit dikeluarkan dari wadah dan dikeringkan dengan handuk kecil kemudian sampel darah mencit langsung diambil dari bagian sudut mata vena retro orbital yang berbeda dari sebelum perlakuan lalu kualitas eritrosit setiap sampel diukur.
(38)
3.5.2. Pengumpulan Sampel Darah
A. Koleksi sampel darah (sebelum dan sesudah perlakuan)
Sampel darah sebelum perlakuan; darah diambil dari bagian sudut mata vena retro orbital sebanyak ½ ml dengan menggunakan hematokrit kapiler dan dimasukkan ke dalam mikrotube yang berisi larutan EDTA 1% dan jika masih ada darah tertinggal di dalam hematokrit kapiler didorong dengan menggunakan spuit 1 CC. Lalu darah disimpan di dalam lemari es dan 1 (satu) hari setelah itu sampel darah mencit diambil untuk dilakukan pengukuran terhadap kualitas eritrosit. Untuk sampel darah setelah perlakuan; darah diambil melalui bagian sudut mata vena retro orbital yang berbeda dengan menggunakan hematokrit kapiler sebanyak ½ ml dan dimasukkan ke dalam
mikrotube yang berisi larutan EDTA 1%. Lalu disimpan di dalam lemari es dan segera setelah selesai sampel darah diambil, mencit dieutanasia dengan cara dislokasi leher dan kemudian dilakukan pengukuran kualitas eritrosit setelah latihan fisik maksimal.
B. Penentuan jumlah eritrosit
Jumlah darah dihisap 0,5 skala dengan menggunakan pipet toma (pipet eritrosit) kemudian regensia Hayem dihisap sampai angka 101 lalu dicampur dengan menggoyang pipet hingga rata. Setelah itu dibuang larutan tersebut 3 – 4 tetes, kemudian tetesan selanjutnya diteteskan pada bagian tengah atas dan bawah kamar hitung Improved Neubaeur. Lalu tutup Kamar Hitung Improved Neubaeur dengan menggunakan Deck Glass. Kemudian biarkan selama 5 menit di atas kamar hitung dan setelah itu diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 X lalu dihitung
(39)
jumlah eritrosit pada bagian kotak yang lebih kecil dari arah A, lalu ke B, lanjut C kemudian D dan terakhir E. Setiap eritrosit yang dilihat dihitung dengan bantuan mengklik Laboratory Counter untuk menghindari kesalahan penghitungan dan hasilnya ditulis.
C. Pengamatan morfologi eritrosit dengan membuat sediaan hapusan dan pewarnaan darah
Darah dituangkan satu tetes kecil pada kaca objek 2 – 3 mm dari ujung kaca objek. Lalu diletakkan kaca penghapus dengan sudut 30 – 45 derajat terhadap kaca objek di atas tetes darah. Kemudian ditarik kaca penghapus ke belakang sehingga menyentuh tetes darah dan ditunggu sampai darah menyebar pada sudut kiri dan kanan kaca objek tersebut. Setelah itu kaca penghapus didorong hingga terbentuk hapusan darah sepanjang 3 – 4 cm pada kaca objek dan kemudian biarkan hapusan darah hingga kering.
Setelah itu sediaan hapusan diletakkan di atas bak tempat pewarnaan. Kemudian sediaan hapusan difiksasi dengan menggunakan larutan metanol selama 2 – 3 menit. Setelah itu sediaan hapusan digenangi dengan zat warna Gimsa 5%. Kemudian dibiarkan selama 20 – 30 menit. Setelah itu dibilas dengan air keran, mula-mula dengan aliran lambat kemudian lebih deras dengan tujuan menghilangkan semua kelebihan zat warna. Lalu dibiarkan hingga kering dan setelah itu dihitung jumlah morfologi eritrosit normal di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 100 kali (Depkes, 1992). Setelah itu hasilnya ditulis.
(40)
D. Pemeriksaan kadar hemoglobin
Pemeriksaan kadar Hb dengan menggunakan metode sianmethomoglobin dengan cara: ambil tabung reaksi 75 x 10 mm lalu masukkan 5 ml regensia sianida dengan menggunakan mikropipet. Kemudian dengan mikropipet tambahkan 20 µl
sampel darah ke dalam tabung yang berisi sianida tersebut serta hindarilah terjadinya gelembung. Setelah itu bersihkan bagian mikropipet dengan tissue. Kemudian campurkan isinya hingga merata dan biarkan pada suhu kamar selama 3-5 menit. Setelah itu serapannya dibaca dalam spektrofotometri pada panjang gelombang 540 nm dengan pereaksi sebagai blangko (Soewoto, et al., 2001). Lalu kadar hemoglobin dibaca pada kurva kalibrasi.
E. Penentuan nilai hematokrit
Darah dihisap dengan hematokrit kapiler dari tabung mikrotube ¾ dari
hematokrit kapiler tersebut. Setelah itu bagian bawah dari hematokrit kapiler dusumbat dengan parapin. Lalu hematokrit kapiler dimasukkan ke dalam hematokrit sentrifuge dengan bagian yang tersumbat mengarah ke luar. Setelah itu hematokrit kapiler tersebut diputar selama 5 menit dengan kecepatan 10.000 RPM. Kemudian nilai hematokrit dibaca dengan memakai hematocrit reader dan kemudian hasilnya dicatat.
3.6. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengukuran diekspresikan dalam mean ± SD dengan menggunakan Microsof excel dan program SPSS 12. Normalitas data terlebih
(41)
dahulu diuji dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Oleh karena ditemukan ada data yang tidak berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji statistik non parametrik (Uji Mann Whitney dan Wilcoxon). Untuk menentukan ada tidaknya perbedaan kualitas eritrosit mencit sebelum dan sesudah latihan fisik maksimal pada kelompok perlakuan dan kontrol dilakukan t test tidak berpasangan (t test unpaired) dan jika data tidak berdistribusi normal dilakukan uji Mann Withney dengan á = 0.05. Untuk
mengetahui adanya perbedaan kualitas eritrosit sebelum dan sesudah latihan fisik maksimal pada kelompok yang sama (kelompok kontrol dengan kontrol dan kelompok perlakuan dengan perlakuan) dilakukan t test berpasangan (t. test paired) untuk data berdistribusi normal dan jika data tidak berdistribusi normal maka dilakukan uji Wilcoxon dengan á = 0.05. Dikatakan ada pengaruh jika nilai p < 0.05.
3.7. Jadwal Penelitian
Keseluruhan kegiatan penelitian dari persiapan sampai pada penulisan hasil penelitian adalah 8 minggu. Urutan kegiatan dan jadwal pelaksanaan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Jadwal Penelitian Minggu Ke
No Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8
1 PERSIAPAN √
2 PELAKSANAAN √ √ √ √
3 ANALISA DATA √ √
(42)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui kualitas eritrosit Mus musculus strain DD Webster sebelum latihan fisik maksimal yang mengkonsumsi vitamin C dan yang tidak mengkonsumsi vitamin C maka sebelum dan setelah latihan fisik maksimal berupa renang, dilakukan pemeriksaan terhadap kualitas eritrosit pada mencit dan didapat hasil seperti pada gambar di bawah ini (Gambar 3-5). Secara umum setelah latihan fisik maksimal terjadi perubahan kualitas eritrosit yang bermakna seperti jumlah eritrosit dan nilai hematokrit, penurunan kadar Hemoglobin dan perubahan morfologi eritrosit pada kedua kelompok. Pada penelitian ini ditemukan tidak ada pengaruh vitamin C terhadap kualitas eritrosit mencit setelah latihan fisik maksimal. Tetapi pada penelitian ini ditemukan bahwa vitamin C dapat meningkatkan daya tahan tubuh terbukti kelompok perlakuan lebih lama berenang rata-rata 49.91 menit (+ SD= 28.00) dibandingkan dengan kelompok kontrol rata-rata 37.64 menit (+ SD= 18.21) dan uji t nilai p= 0.23. Ada peneliti lain mengatakan bahwa untuk meningkatkan daya tahan tubuh manusia dianjurkan mengkonsumsi Vitamin C 60 mg/h untuk orang dewasa (Levin, et al., 1995).
(43)
4.1.1. Kualitas Eritrosit Pra dan Pasca Latihan Fisik Maksimal pada Kelompok Kontrol
Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata jumlah eritrosit kelompok kontrol pra dan pasca latihan fisik maksimal berupa renang masing-masing variabel mengalami peningkatan yang bermakna pada jumlah eritrosit dengan nilai rata-rata pra = 7,36 (+ SD = 0,93) dan rata-rata pasca = 7,99 (+ SD = 0,74) dan nilai p= 0.02. Nilai hematokrit mengalami peningkatan dari sebelumnya dengan nilai rata-rata pra = 39,86 (+ SD = 3,91) dan rata-rata pasca = 43,40 (+ SD = 4,05) dan nilai p= 0.03. Kadar hemoglobin mengalami penurunan yang bermakna setelah latihan fisik maksimal dengan nilai rata-rata pra = 10,70 (+ SD = 0,48) dan rata-rata pasca = 9,40 (+ SD = 0,67) dan nilai p= 0.00. Morfologi normal setelah latihan fisik maksimal terjadi perubahan yang bermakna dengan nilai rata-rata pra = 99,9 (+ SD = 3,01) dan rata-rata pasca = 91,27 (+ SD = 5,2) dan nilai p= 0.01).
(44)
A B
C D
Gambar 3. Nilai Rata-rata (+ SD) Jumlah Eritrosit Sebelum (Pra) dan Setelah (Pasca) Latihan Fisik Maksimal (A)*; Nilai Hematokrit (B)*; Kadar Hemoglobin (C)*; Nilai Rata-rata Morfologi Eritrosit pada Kelompok Kontrol (D)*; Nilai (n=11). Tanda* Menunjukkan Berbeda Nyata Dibanding Kondisi Sebelum (Pra) Latihan Fisik Maksimal (uji t, p < 0,05)
4.1.2. Kualitas Eritrosit Pra dan Pasca Latihan Fisik Maksimal pada Kelompok Perlakuan
Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata jumlah eritrosit kelompok kontrol pra dan pasca latihan fisik maksimal berupa renang masing-masing variabel mengalami peningkatan yang bermakna seperti jumlah eritrosit dengan nilai rata-rata
* *
* *
(45)
pra = 7,49 (+ SD = 0,79) dan rata-rata pasca = 7,90 (+ SD = 0,75) nilai p = 0.02). Nilai hematokrit mengalami peningkatan dari sebelumnya dengan nilai rata-rata pra = 37,49 (+ SD = 4,48) dan rata-rata pasca = 41,53 (+ SD = 5,63) dan nilai p=0.05). Kadar hemoglobin terjadi penurunan yang bermakna setelah latihan fisik maksimal dengan nilai rata-rata pra = 10,34 (+ SD = 0,09) dan rata-rata pasca = 10,10 (+ SD = 0.08) dan nilai p=0.04). Jumlah morfologi normal setelah latihan fisik maksimal terjadi penurunan yang bermakna dengan nilai rata-rata pra = 99,09 (+ SD = 3,01) dan rata-rata pasca = 92,54 (+ SD = 6,26) dan nilai p=0.01).
(46)
A B
C D
Gambar 4. Nilai Rata-rata (+ SD) Jumlah Eritrosit Pra dan Pasca Latihan Fisik Maksimal (A)*; Nilai Hematokrit (B)*; Kadar Hemoglobin (C)*; Nilai Rata-rata Morfologi Eritrosit pada Kelompok Perlakuan (D)*; Nilai (n=11). Tanda* Menunjukkan Berbeda Nyata Dibanding Kondisi Sebelum (Pra) Latihan Fisik Maksimal (uji t, p < 0,05)
4.1.3. Pengaruh Vitamin C terhadap Kualitas Eritrosit
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata jumlah eritrosit kelompok perlakuan dan kontrol pasca latihan fisik maksimal berupa renang masing-masing variabel mengalami perubahan yang tidak bermakna seperti jumlah eritrosit kelompok kontrol dengan nilai rata-rata = 8,09 (+ SD = 0,24) dan kelompok perlakuan dengan nilai rata-rata = 8,01 (+
SD = 0,26) dan nilai p > 0.05; p = 0.50. Nilai hematokrit pasca latihan fisik maksimal lebih
* *
*
(47)
tinggi pada kelompok kontrol jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan, setelah diuji secara statistik ada perbedaan yang tidak bermakna, kelompok kontrol dengan nilai rata-rata = 43,40 (+ SD = 4,05) dan kelompok perlakuan dengan nilai rata-rata = 41,53 (+ SD = 5,63) dan nilai p > 0.05; p=0.38). Kadar hemoglobin setelah latihan fisik maksimal terjadi penurunan lebih banyak terjadi pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok perlakuan, meskipun ada perbedaan tersebut setelah diuji dengan statistik ada perbedaan yang tidak bermakna, kelompok kontrol dengan nilai rata-rata = 10,11 (+ SD = 0,08) dan kelompok perlakuan dengan nilai rata-rata = 10,10 (+ SD = 0,08) dan nilai p > 0.05; p=0.80). Morfologi normal setelah latihan fisik maksimal tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan nilai rata-rata = 91,27 (+ SD = 5,29) pada kelompok control dan kelompok perlakuan dengan nilai rata-rata = 92,54 (+ SD = 6,26) dan nilai p > 0.05; p=0,61).
(48)
C D
Gambar 5. Perbedaan Nilai Rata-rata (+ SD) Jumlah Eritrosit Pasca Latihan Fisik Maksimal (A); Nilai Hematokrit (B); Kadar Hemoglobin (C); Nilai Rata-rata Morfologi Eritrosit pada Kelompok Perlakuan dan Kontrol (D); Nilai (n=11). Tanda* Menunjukkan Berbeda Nyata Dibanding Kondisi Sebelum (Pra) Latihan Fisik Maksimal (uji t, p < 0,05)
4.2. Pembahasan 4.2.1. Kualitas Eritrosit
A. Jumlah eritrosit
Dari hasil penelitian ini ditemukan adanya peningkatan jumlah eritrosit pada kelompok kontrol dan perlakuan setelah latihan fisik maksimal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu bahwa setelah latihan fisik maksimal terjadi peningkatan jumlah eritrosit pada manusia (Senturk, et al., 2004) dan tikus (Senturk, et al., 2001 dan Senturk, et al., 2005). Juga hasil penelitian bahwa terjadi peningkatan jumlah eritrosit pada subjek yang tidak terlatih dibandingkan dengan subjek yang terlatih (Telford et al., 2002 dan Yusof et al., 2007). Setiap keadaan yang
(49)
menyebabkan penurunan transportasi jumlah oksigen ke jaringan biasanya akan meningkatkan kecepatan produksi sel darah merah (Guyton and Hall, 1997). Pada keadaan hipoksia jaringan terjadi peningkatan kecepatan produksi sel darah merah dan hasilnya akan meningkatkan nilai hematokrit dan volume darah total (Guyton and Hall, 1997 dan Yusof et al., 2007). Faktor utama yang dapat merangsang produksi sel darah merah adalah hormon dalam sirkulasi yang disebut eritropoietin (Guyton dan Hall, 1997). Ada penelitian lain menyatakan bahwa selama lari maraton terjadi peningkatan pembentukan sel-sel eritrosit karena distimulasi oleh eritropoietin (Yusof et al., 2007).
B. Nilai hematokrit
Dari hasil penelitian ini ditemukan adanya perubahan nilai hematokrit pada kelompok kontrol dan perlakuan setelah latihan fisik maksimal. Penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa setelah latihan fisik maksimal terjadi perubahan nilai hematokrit pada manusia (Senturk, et al., 2004) dan tikus (Senturk, et al., 2001, Senturk, et al., 2005). Juga hasil penelitian menyatakan bahwa terjadi perubahan nilai hematokrit pada subjek yang tidak terlatih dibandingkan dengan subjek yang terlatih (Telford et al., 2002 dan Yusof et al., 2007). Penelitian lain juga menemukan bahwa latihan fisik maksimal menyebabkan perubahan pada nilai hematokrit dan kadar hemoglobin pada manusia (Putman, et al., 2003). Peningkatan nilai hematokrit ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah sel-sel eritrosit (Guyton dan Hall, 1997).
(50)
C. Kadar hemoglobin
Dari hasil penelitian ini ditemukan adanya penurunan kadar hemoglobin pada kelompok kontrol dan perlakuan setelah latihan fisik maksimal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu bahwa setelah latihan fisik maksimal terjadi penurunan kadar hemoglobin pada manusia (Senturk, et al., 2005) dan tikus (Senturk, et al., 2001, Senturk, et al., 2004). Penelitian lain juga menemukan bahwa latihan fisik maksimal menyebabkan penurunan kadar hemoglobin pada manusia (Putman, et al., 2003). Penurunan kadar hemoglobin ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah sel-sel eritrosit yang rusak akibat latihan fisik maksimal (Senturk, et al., 2005). Selain itu bila pembentukan hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang maka kadar hemoglobin dalam sel dapat juga mengalami penurunan hingga di bawah nilai normal (Guyton dan Hall, 1997).
D. Morfologi eritrosit
Dari hasil penelitian ini ditemukan adanya perubahan morfologi eritrosit pada kelompok kontrol dan perlakuan setelah latihan fisik maksimal. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa setelah latihan fisik maksimal terjadi perubahan morfologi eritrosit pada manusia (Senturk, et al., 2004) dan tikus (Senturk, et al., 2001, Senturk, et al., 2005). Juga hasil penelitian lain menyatakan bahwa terjadi perubahan morfologi eritrosit pada subjek yang tidak terlatih dibandingkan dengan subjek yang terlatih (Telford et al., 2002 dan Yusof et al., 2007). Diketahui bahwa latihan fisik maksimal dapat menyebabkan kerapuhan pada sel-sel eritrosit sehingga menyebabkan terjadinya perubahan bentuk eritrosit (Senturk, et al., 2005). Perubahan
(51)
sel-sel darah ini karena terpapar oleh radikal bebas sehingga sangat gampang mengalami kerusakan pada membran lipid, terutama jika sel-sel eritrosit ini melewati mikrosirkulasi (Telford et al., 2002). Diketahui juga bahwa ketika sel-sel darah merah dihantarkan dari sumsum tulang masuk ke dalam sistem sirkulasi, maka secara normal rata-rata sel-sel eritrosit akan bersirkulasi selama 120 hari sebelum rusak. Begitu membran sel menjadi rapuh, maka sel bisa robek sewaktu melewati tempat-tempat yang sempit dalam sirkulasi (Guyton dan Hall, 1997).
4.2.2. Pengaruh Vitamin C terhadap Kualitas Eritrosit Mencit
Hipotesis alternatif penelitian ini diterima, yang berarti tidak ada pengaruh vitamin C sebelum latihan fisik maksimal terhadap kualitas eritrosit. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa vitamin C dapat menurunkan kerusakan sel-sel eritrosit akibat radikal bebas karena vitamin C ini dapat meningkatkan mekanisme sistem pertahanan antioksidan dalam tubuh terhadap radikal bebas (Senturk, et al., 2001). Penelitian lain menyatakan bahwa meningkatkan pemasukan vitamin C secara oral diusulkan sebagai keuntungan potensial yang dapat mengurangi kerusakan oksidatif terhadap jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas (Khasaf, et al., 2003). Pada penelitian lain juga menemukan bahwa vitamin C yang diberikan 1000 mg/h mempunyai pengaruh terhadap kerusakan kualitas eritrosit manusia akibat radikal bebas (Senturk, et al., 2004) sedangkan pada penelitian ini dosis pemberian vitamin C 50 mg/KgBB/h. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh manusia dianjurkan mengkonsumsi Vitamin C 60 mg/h untuk orang dewasa (Levin,
(52)
et al., 1995). Lama pemberian vitamin C peroral selama 1 bulan (Putman, et al., 2003) dan 2 bulan (Senturk, et al., 2004), dapat mengurangi kerusakan sel-sel eritrosit akibat radikal bebas sedangkan pada penelitian ini pemberian vitamin C peroral hanya selama 7 (tujuh) hari.
(53)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pada penelitian ini ditemukan bahwa tidak ada pengaruh vitamin C 50 mg/KgBB/h selama 7 hari sebelum latihan fisik maksimal terhadap kualitas eritrosit mencit jantan (Mus musculus) strain DD Webster. Penambahan antioksidan yang memadai dalam tubuh berupa vitamin C diusulkan dapat mencegah timbulnya peningkatan radikal bebas tidak terbukti. Tetapi pada penelitian ini menunjukkan bahwa vitamin C dapat meningkatkan daya tahan tubuh adalah terbukti.
5.2. Saran
Untuk mencegah terjadinya perubahan kualitas eritrosit akibat radikal bebas karena latihan fisik maksimal maka perlu asupan antioksidan yang memadai dalam tubuh. Untuk penelitian selanjutnya disarankan perlu perpanjangan waktu pemberian dan penambahan dosis vitamin C untuk mencegah terjadinya perubahan kualitas eritrosit setelah latihan fisik maksimal.
(54)
DAFTAR PUSTAKA
Casaburi, R. (1992), Principles of Exercise Training. American College of Chest Physicians, 101, 263-267.
Ciulla, L., Menezes, H. S., Bueno, B. B., Schuh, A., Alves, R. J. & Abegg, M. P. (2007), Antidepressant behavioral effects of duloxetine and fluoxetine in the rat forced swimming test. Acta Cir Bras, 22, 351-4.
Clarkson, P. M. & Thompson, H. S. (2000), Antioxidants: what role do they play in physical activity and health? Am J Clin Nutr, 72, 637S-46S.
Depkes, R. I. (1992), Petunjuk Pemeriksaan Hematologi, Jakarta, Pusat Laboratorium Kesehatan.
Evans, W. J. (2000), Vitamin E, vitamin C, and exercise. Am J Clin Nutr, 72, 647S-52S.
Guyton, A. C. & Hall, J. E. (2006), Text book of medical physiology, 11 Editions. Halliwell, B. & Whiteman, M. (2004), Measuring reactive species and oxidative
damage in vivo and in cell culture: how should you do it and what do the results mean? Br J Pharmacol, 142, 231-55.
Hariono, B. (1998), Patologi Klinik I. Bagian Kimia Medik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hawan, UGM Press. Yogyakarta.
Hathcock, J. N., Azzi, A., Blumberg, J., Bray, T., Dickinson, A., Frei, B., Jialal, I., Johnston, C. S., Kelly, F. J., Kraemer, K., Packer, L., Parthasarathy, S., Sies, H. & Traber, M. G. (2005), Vitamins E and C are safe across a broad range of intakes. Am J Clin Nutr, 81, 736-45.
Khassaf, M., Mcardle, A., Esanu, C., Vasilaki, A., Mcardle, F., Griffiths, R. D., Brodie, D. A. & Jackson, M. J. (2003), Effect of vitamin C supplements on
(55)
antioxidant defence and stress proteins in human lymphocytes and skeletal muscle. J Physiol, 549, 645-52.
Kusumawati, Smith & Mangkoewidjojo. (1988), Bersahabat dengan Hewan Coba, Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Levin, M. Dhariwal,K.R,. Well, R.W., Wang, Y, Park, B.J. (1995), Determination of optimal Vitamin C requirements in humans. J Am Clin Nutr, 62, 1347-56. Li, Y. & Schellhorn, H. E. (2007), New developments and novel therapeutic
perspectives for vitamin C. J Nutr, 137, 2171-84.
Margaritis, I., Palazzetti, S., Rousseau, A. S., Richard, M. J. & Favier, A. (2003), Antioxidant supplementation and tapering exercise improve exercise-induced antioxidant response. J Am Coll Nutr, 22, 147-56.
Naidu, K. A. (2003), Vitamin C in human health and disease is still a mystery? An overview. Nutr J, 2, 7.
Notoadmodjo, S. (2002), Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta. Jakarta. Padayatty, S. J., Katz, A., Wang, Y., Eck, P., Kwon, O., Lee, J. H., Chen, S., Corpe,
C., Dutta, A., Dutta, S. K. & Levine, M. (2003), Vitamin C as an antioxidant: evaluation of its role in disease prevention. J Am Coll Nutr, 22, 18-35.
Pedersen, B. K. & Hoffman-Goetz, L. (2000), Exercise and the immune system: regulation, integration, and adaptation. Physiol Rev, 80, 1055-81.
Putman, C. T. Jones, N. L, Heigenhauser, G. J. F. (2003), Effects of short-term training on plasma acid–base balance during incremental exercise in man. J
Physiol, 550.2, 585–603.
Ropelle, E. R., Pauli, J. R., Prada, P. O., De Souza, C. T., Picardi, P. K., Faria, M. C., Cintra, D. E., Fernandes, M. F., Flores, M. B., Velloso, L. A., Saad, M. J. & Carvalheira, J. B. (2006), Reversal of diet-induced insulin resistance with a single bout of exercise in the rat: the role of PTP1B and IRS-1 serine phosphorylation. J Physiol, 577, 997-1007.
(56)
Senturk, U. K., Gunduz, F., Kuru, O., Aktekin, M. R., Kipmen, D., Yalcin, O., Bor-Kucukatay, M., Yesilkaya, A. & Baskurt, O. K. (2001), Exercise-induced oxidative stress affects erythrocytes in sedentary rats but not latihan fisik-trained rats. J Appl Physiol, 91, 1999-2001.
Senturk, U. K., Gunduz, F., Kuru, O., Kocer, G., Ozkaya, Y. G., Yesilkaya, A., Bor-Kucukatay, M., Uyuklu, M., Yalcin, O. & Baskurt, O. K. (2004), Effect of oxidant vitamin treatment on the time course of hematological and hemorheological alteration after an exhausting exercise episode in human subject. J Appl Physiol, 98, 1272-79.
Senturk, U. K., Gunduz, F., Kuru, O., Kocer, G., Ozkaya, Y. G., Yesilkaya, A., Bor-Kucukatay, M., Uyuklu, M., Yalcin, O. & Baskurt, O. K. (2005), Exercise-induced oxidative stress leads hemolysis in sedentary but not trained humans. J Appl Physiol, 99, 1434-41.
Soewoto H., Sadikin M., Inawati S.W., Retno D., Abadi P., Dkk. (2001), Biokimia: Experimen Laboratorium, Cetakan I, Widya Medika, Jakarta.
Sonneborn, J. S. & Barbee, S. A. (1998), Exercise-induced stress response as an adaptive tolerance strategy. Environ Health Perspect, 106 Suppl 1, 325-30. Slater, T. F. (1984), Free radical - mechanisms in injury, Biochem, 222, 1-15.
Smith Jhon, B.B.V.Sc. & Mangkoewidjodjo Soesano, (1988), Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI Press. Jakarta.
Sugandi E, Sugiarto. (1994), Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Andi Offset Yogyakarta, 8, 24
Telford, R. D., Sly, G. J., Hahn, A. G., Cunningham, R. B., Bryant, C. & Smith, J. A. (2002) Footstrike is the major cause of hemolysis during running. J.Appl Physiol, 94, 38-42.
Vander, A. J., Sherman, J. H. & Luciano, D. S. (2001), Human physiology: the mechanism of body function, Boston, McGraw-Hill.
(57)
Yusof, A., Leithatsur, R. M., Roth, H. J., Finternegel, H., Wilson, M. T. & Beneke, R. (2007), Exercise - induced hemolysis is caused by protein modification and most evident during the early phase of an ultraendurance race. J.Appl Physiol, 102, 582-86.
(58)
Lampiran 1
LABORATORIUM BIOKIMIA
BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL I MEDAN
NO. EPID :
TANGGAL : 12 JUNI 2009
Kode Darah Rutin Difrensial
Sampel RBC Hb PCV MF
NO
juta/mm3
I
g/dl I
%
I
%
I
1 A1 7.5 10.4 33.2 100
2 A2 6.05 10.3 35 100
3 A3 7.55 10.4 38.9 100
4 A4 7.3 10.1 36.5 100
5 A5 6.8 10.3 33.8 100
6 A6 8.75 10.4 40 100
7 A7 7 10.4 49 100
8 A8 8 10.3 39 90
9 A9 6.89 10.3 35 100
10 A10 8.5 10.4 34 100
(59)
12 A1B 7.8 10.1 34.9 85
13 A2B 6.6 10.1 36.7 100
14 A3B 8 10 42 95
15 A4B 7.6 10.2 39 90
16 A5B 6.95 10.1 35 90
17 A6B 8.9 10 49 98
18 A7B 7.4 10.2 49.3 100
19 A8B 8.85 10.1 41 80
20 A9B 8 10 42 95
21 A10B 8.75 10.2 38 90
22 A11B 8.1 10.2 50 95
23 K1 7.35 11 36 100
24 K2 7 11 39.5 100
25 K3 6 10 46 100
26 K4 6.75 10.8 44 90
27 K5 6.7 10 37 100
28 K6 8 10 46 100
29 K7 8.25 10.8 39 100
30 K8 8.85 10.9 38 100
31 K9 8 11.4 41 100
32 K10 6.05 10.9 35 100
(60)
34 K1B 8.4 10 37.2 95
35 K2B 8 9 40.9 90
36 K3B 7 9 49 97
37 K4B 8 9 45 90
38 K5B 6.8 8 46 85
39 K6B 8.9 9.3 47.8 80
40 K7B 8.3 9.8 40 95
41 K8B 8.9 10.1 39.5 95
42 K9B 8.5 10.2 48 97
43 K10B 7 9 40 90
(61)
(62)
Lampiran 2. Hasil Uji Normalitas Data
Tests of Normality
.106 11 .200* .980 11 .965
.130 11 .200* .941 11 .532
.206 11 .200* .941 11 .532
.232 11 .100 .887 11 .129
.157 11 .200* .981 11 .972
.184 11 .200* .886 11 .122
.261 11 .035 .861 11 .059
.118 11 .200* .969 11 .875
.197 11 .200* .816 11 .015
.194 11 .200* .885 11 .120
.173 11 .200* .900 11 .184
.186 11 .200* .924 11 .357
.528 11 .000 .345 11 .000
.198 11 .200* .924 11 .351
.528 11 .000 .345 11 .000
.223 11 .132 .879 11 .101
RBC PERLAKUAN SEBELUM BERENANG RBC PERLAKUAN SESUDAH BERENANG RBC KONTROL SEBELUM BERENANG RBC KONTROL SESUDAH BERENANG HB PERLAKIUAN SEBELUM BERENANG HB PERLAKUAN SESUDAH BERENANG HB KONTROL SEBELUM BERENANG HB KONTROL SESUDAH BERENANG HT PERLAKUAN SEBELUM BERENANG HT PERLAKUAN SESUDAH BERENANG HT KONTROL SEBELUM BERENANG HT KONTROL SESUDAH BERENANG MF PERLAKUAN SEBELUM BERENANG MF PERLAKUAN SESUDAH BERENANG MF KONTROL SEBELUM BERENANG MF KONTROL SESUDAH BERENANG
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
This is a lower bound of the true significance. *.
Lilliefors Significance Correction a.
(63)
Lampiran 3. Hasil Pengolahan Data Secara Statistik
T-Test
Paired Samples Statistics
10.7091 11 .48261 .14551
9.4000 11 .67971 .20494
HB KONTROL SEBELUM BERENANG HB KONTROL SESUDAH BERENANG Pair 1
Mean N Std. Deviation
Std. Error Mean
Paired Samples Correlations
11 .668 .025
HB KONTROL
SEBELUM BERENANG & HB KONTROL SESUDAH BERENANG Pair
1
N Correlation Sig.
Paired Samples Test
1.30909 .50686 .15282 .96858 1.64961 8.566 10 .000
HB KONTROL SEBELUM BEREN - HB KONTROL SESUDAH BEREN Pair
1
MeanStd. Deviation Std. Error
Mean Lower Upper
95% Confidence Interval of the
Difference Paired Differences
(64)
NPar Tests
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks10a 6.50 65.00
1b 1.00 1.00
0c 11 Negative Ranks Positive Ranks Ties Total HB PERLAKUAN SESUDAH BERENANG - HB PERLAKIUAN SEBELUM BERENANG
N Mean Rank Sum of Ranks
HB PERLAKUAN SESUDAH BERENANG < HB PERLAKIUAN SEBELUM BERENANG
a.
HB PERLAKUAN SESUDAH BERENANG > HB PERLAKIUAN SEBELUM BERENANG
b.
HB PERLAKUAN SESUDAH BERENANG = HB PERLAKIUAN SEBELUM BERENANG
c.
Test Statisticsb
-2.899a .004 Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
HB PERLAKUAN SESUDAH BERENANG -HB PERLAKIUAN SEBELUM BERENANG
Based on positive ranks. a.
Wilcoxon Signed Ranks Test b.
(65)
T-Test
Paired Samples Statistics
39.8636 11 3.91210 1.17954
43.4000 11 4.05685 1.22319
HT KONTROL SEBELUM BERENANG HT KONTROL SESUDAH BERENANG Pair 1
Mean N Std. Deviation
Std. Error Mean
Paired Samples Correlations
11 .729 .011
HT KONTROL
SEBELUM BERENANG & HT KONTROL SESUDAH BERENANG Pair
1
N Correlation Sig.
Paired Samples Test
-3.53636 2.93812 .88588-5.51022-1.56251 -3.992 10 .003
HT KONTROL SEBELUM BEREN - HT KONTROL SESUDAH BEREN Pair
1
MeanStd. Deviation Std. Error
Mean Lower Upper
95% Confidence Interval of the
Difference Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
T-Test
Paired Samples Statistics
37.4909 11 4.48207 1.35139
41.5364 11 5.63405 1.69873
HT PERLAKUAN SEBELUM BERENANG HT PERLAKUAN SESUDAH BERENANG Pair 1
Mean N Std. Deviation
Std. Error Mean
(66)
Paired Samples Correlations
11 .755 .007
HT PERLAKUAN SEBELUM BERENANG & HT PERLAKUAN SESUDAH BERENANG Pair
1
N Correlation Sig.
Paired Samples Test
-4.04545 3.70334 1.11660-6.53339-1.55752 -3.623 10 .005
HT PERLAKUAN SEBELUM BEREN HT PERLAKUAN SESUDAH BEREN Pair 1
Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Lower Upper
95% Confidence Interval of the
Difference Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
T-Test
Paired Samples Statistics
99.0909 11 3.01511 .90909
91.2727 11 5.29322 1.59597
MF KONTROL SEBELUM BERENANG MF KONTROL SESUDAH BERENANG Pair 1
Mean N Std. Deviation
Std. Error Mean
Paired Samples Correlations
11 .080 .816
MF KONTROL
SEBELUM BERENANG & MF KONTROL SESUDAH BERENANG Pair
1
(67)
Paired Samples Test
7.81818 5.87908 1.77261 3.8685611.76780 4.411 10 .001
MF KONTROL SEBELUM BEREN - MF KONTROL SESUDAH BEREN Pair
1
Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Lower Upper
95% Confidence Interval of the
Difference Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
T-Test
Paired Samples Statistics
99.0909 11 3.01511 .90909
92.5455 11 6.26680 1.88951
MF PERLAKUAN SEBELUM BERENANG MF PERLAKUAN SESUDAH BERENANG Pair 1
Mean N Std. Deviation
Std. Error Mean
Paired Samples Correlations
11 .664 .026
MF PERLAKUAN SEBELUM BERENANG & MF PERLAKUAN SESUDAH BERENANG Pair
1
N Correlation Sig.
Paired Samples Test
6.54545 4.82418 1.45455 3.30453 9.78638 4.500 10 .001
MF PERLAKUAN SEBELUM BEREN MF PERLAKUAN SESUDAH BEREN Pair 1 MeanStd. Deviation Std. Error
Mean Lower Upper
95% Confidence Interval of the
Difference Paired Differences
(68)
T-Test
Paired Samples Statistics
7.3636 11 .93864 .28301
7.9909 11 .74626 .22501
RBC KONTROL SEBELUM BERENANG RBC KONTROL SESUDAH BERENANG Pair 1
Mean N Std. Deviation
Std. Error Mean
Paired Samples Correlations
11 .861 .001
RBC KONTROL SEBELUM BERENANG & RBC KONTROL SESUDAH BERENANG Pair
1
N Correlation Sig.
Paired Samples Test
-.62727 .48133 .14513 -.95064 -.30391 -4.322 10 .002
RBC KONTROL SEBELUM BEREN - RBC KONTROL SESUDAH BEREN Pair
1
Mean Std. Deviation Std. Error
Mean Lower Upper
95% Confidence Interval of the
Difference Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
T-Test
Paired Samples Statistics
7.4900 11 .79819 .24066
7.9045 11 .75015 .22618
RBC PERLAKUAN SEBELUM BERENANG RBC PERLAKUAN SESUDAH BERENANG Pair 1
Mean N Std. Deviation
Std. Error Mean
(1)
11 .917 .000 SEBELUM BERENANG
& RBC PERLAKUAN SESUDAH BERENANG 1
Paired Samples Test
-.41455 .31926 .09626 -.62903 -.20006 -4.306 10 .002 RBC PERLAKUAN
SEBELUM BEREN RBC PERLAKUAN SESUDAH BEREN Pair
1
MeanStd. Deviation Std. Error
Mean Lower Upper
95% Confidence Interval of the
Difference Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
T-Test
Group Statistics
11 7.2182 .23160 .06983 11 7.3636 .93864 .28301 BEDA RBC SEBELUM
BERENANG PERLAKUAN KONTROL RBC SEBELUM
BERENANG
N Mean Std. Deviation
Std. Error Mean
Independent Samples Test
Levene's Test for quality of Variance
95% Confidence t-test for Equality of Means
(2)
T-Test
Group Statistics
11 8.0182 .26007 .07841 11 8.0909 .24271 .07318 BEDA RBC SESUDAH
BERENANG PERLAKUAN KONTROL RBC SESUDAH
BERENANG
N Mean Std. Deviation
Std. Error Mean
Independent Samples Test
.059 .810 -.678 20 .506 -.07273 .10726-.29646 .15101 -.678 19.905 .506 -.07273 .10726-.29653 .15108 Equal varian
assumed Equal varian not assume RBC SESU
BERENANG
F Sig. Levene's Test for quality of Variance
t df Sig. (2-tailed Mean Difference
Std. Error
DifferenceLower Upper 95% Confidence
Interval of the Difference t-test for Equality of Means
T-Test
Group Statistics
11 10.1091 .08312 .02506 11 10.1182 .08739 .02635 BEDA Hb SESUDAH
BERENAG PERLAKUAN KONTROL Hb SESUDAH
BERENANG
N Mean Std. Deviation
Std. Error Mean
(3)
.206 .655 -.250 20 .805 -.00909 .03636-.08494 .06676 -.250 19.950 .805 -.00909 .03636-.08496 .06677 Equal varian
assumed Equal varian not assume Hb SESUD
BERENAN
F Sig. t df Sig. (2-tailed Mean Difference
Std. Error
DifferenceLower Upper 95% Confidence
Interval of the Difference
T-Test
Group Statistics
11 37.4909 4.48207 1.35139 11 39.8636 3.91210 1.17954 BEDA PCV SEBELUM
BERENANG PERLAKUAN KONTROL PCV SEBELUM
BERENANG
N Mean Std. Deviation
Std. Error Mean
Independent Samples Test
.000 .987 -1.323 20 .201-2.37273 1.79376-6.114451.36900 -1.323 19.641 .201-2.37273 1.79376-6.118841.37339 Equal varian
assumed Equal varian not assume PCV SEBE
BERENAN
F Sig. Levene's Test for quality of Variance
t df Sig. (2-tailed Mean Difference
Std. Error
DifferenceLower Upper 95% Confidence
Interval of the Difference t-test for Equality of Means
(4)
T-Test
Group Statistics
11 41.5364 5.63405 1.69873 11 43.4000 4.05685 1.22319 BEDA PCV SESUDAH
BERENANG PERLAKUAN KONTROL PCVSESUDAH
BERENANG
N Mean Std. Deviation
Std. Error Mean
Independent Samples Test
.794 .384 -.890 20 .384-1.86364 2.09329-6.230172.50289 -.890 18.173 .385-1.86364 2.09329-6.258482.53121 Equal varian
assumed Equal varian not assume PCVSESUD
BERENANG
F Sig. Levene's Test for quality of Variance
t df Sig. (2-tailed Mean Difference
Std. Error
DifferenceLower Upper 95% Confidence
Interval of the Difference t-test for Equality of Means
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
11 11.50 126.50 11 11.50 126.50 22
BEDA MF SEBELUM BERENANG
PERLAKUAN KONTROL Total MF SEBELUM BERENANG
(5)
60.500 126.500 .000 1.000 1.000a Mann-Whitney U
Wilcoxon W Z
Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Not corrected for ties. a.
Grouping Variable: BEDA MF SEBELUM BERENANG b.
T-Test
Group Statistics
11 92.5455 6.26680 1.88951 11 91.2727 5.29322 1.59597 BEDA MF SESUDAH
BERENANG PERLAKUAN KONTROL MF SESUDAH
BERENANG
N Mean Std. Deviation
Std. Error Mean
Independent Samples Test
.455 .508 .515 20 .612 1.27273 2.47333-3.886556.43200 .515 19.456 .613 1.27273 2.47333-3.895816.44127 Equal varian
assumed Equal varian MF SESUD
BERENAN
F Sig. Levene's Test for quality of Variance
t df Sig. (2-tailed Mean Difference
Std. Error
DifferenceLower Upper 95% Confidence
Interval of the Difference t-test for Equality of Means
(6)