BAB II PENGATURAN BANTUAN HUKUM A. Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia. - Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
BAB II PENGATURAN BANTUAN HUKUM A. Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia. Bantuan hukum menurut Mauro Cappelletti sebenarnya telah dilaksanakan pada
masyarakat barat sejak jaman romawi, dimana saat itu bantuan hukum berada dalam bidang moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan atau menerima imbalan atau
honorarium. Setelah meletusnya Revolusi Perancis, bantuan hukum kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridik, dengan mulai lebih menekankan pada hak yang sama bagi warga masyarakat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingannya di muka pengadilan, dan hingga awal abad ke-20 bantuan hukum ini lebih dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa di bidang hukum
tanpa suatu imbalan.
1. Bantuan Hukum Masa Penjajahan
Pada masa pendudukan Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie yang
selanjutnya disebut VOC mengakui keberadaan hukum lokal dimana VOC pada umumnya tidak dapat mengesampingkan hukum adat kecuali yang berkenaan dengan 52 Sr. Mauro Cappelletti, Earl Johnson Jr. Dan James Gord Ley, Towards Equal Justice, A Comparative Study of Legal Aid in Modern Societies, (New York: Dobbes Ferry, 1976), hal. 6. 53 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2009), hal. 11. 54 Vereenigde Oostindische Compagnie atau
VOC) yang didirikan pada tanggal
Disebut Hindia Timur karena ada pula orang Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni. Istilah ini diambil dari kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda. Tetapi rakyat Nusantara lebih mengenal Kompeni sebagai tentara Belanda karena penindasannya dan pemerasan kepada rakyat Nusantara yang sama seperti tentara Belanda. VOC memiliki hak kedaulatan (soevereiniteit) berdasarkan (Piagam/Charta) tanggal 1602 sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk: memelihara angkatan perang, memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian, merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Negeri Belanda, memerintah daerah-daerah tersebut, menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan memungut pajak.
http://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie, Selasa, 25 November 2014, 07.03 WIB. perdagangan, VOC memiliki tujuan peningkatan perekonomian Negara Belanda dengan mengesampingkan penghormatan terhadap hubungan ekonomi dan politik yang menggunakan hukum adat. Selama kebijakan etis sekitar tahun 1900, pembaharuan hukum mulai dilaksanakan di wilayah Indonesia yang menjadi jajahan dengan memperhalus aturan adat atau aturan lokal yang telah ada, hal ini diperlukan karena Belanda memperlakukan masyarakat pribumi secara lain
(vervreemdingsverbod pada tetapi tidak pernah selain sebagai pemantas saja dengan maksud seolah menentang adanya perbedaan-perbedaan unsur kemajemukan ekonomi, sosial, dan politik kolonial, biasanya kebijakan pihak penjajah justeru memperkokoh perbedaan-perbedaan tersebut dengan cara yang lebih halus. Kebijakan penjajah Belanda tersebut dilakukan dengan membuat lembaga-lembaga yang diperuntukkan untuk kolonial dan pribumi, namun lembaga yang mengurusi urusan pribumi tidak boleh lebih tinggi dari lembaga yang mengurus urusan pihak kolonial
56 Belanda. Hal ini telah jelas mencerminkan ketidakadilan terhadap hak asasi manusia bagi penduduk asli Indonesia.
Cerminan ketidakadilan juga terdapat di bidang peradilan dimana pihak belanda
yang jenjang peradilannya terdiri atas Residentiegerec untuk tingkat pertama,
(Mahkamah 55 Vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah yang tidak dapat dipindahtangankan oleh orang pribumi (orang Indonesia Asli) kepada orang yang bukan asli Indonesia atau orang asing dan semua perjanjian yang berkenaan dengan pemindahtanganan tersebut dianggap batal. 56 57 Frans Hendra Winarta, Suatu Hak Asasi..., Op. Cit., hal. 2.
Residentiegerecht adalah badan-badan pengadilan tingkat pertama untuk orang-orang Eropah atau yang dipersamakan dengan mereka. Pengadilan ini dibentuk di kota-kota keresidenan atau kabupaten di luar Batavia, Semarang dan Surabaya. Hakimnya adalah Residen. Perkara yang ditangani adalah perkara perdata atau pidana yang berkategori ringan atau sederhana. 58 Raad van Justitie adalah badan pengadilan bagi orang Eropah yang tertua (sejak jaman VOC). Pengadilan ini didirikan di kota-kota dagang besar untuk mengurus, memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata maupun pidana yang tidak termasuk wewenang pengadilan Residen. Hakim dan panitera di pengadilan ini adalah ahli-ahli hukum berpendidikan Belanda. Raad juga berkompetensi sebagai pengadilan tingkat banding bagi putusan Landraad. 59 Hoogerechtshof adalah badan pengadilan tertinggi dalam hierarki pengadilan Belanda. Pengadilan ini juga berkompetensi sebagai badan pengadilan kasasi untuk semua putusan Landraad dalam perkara perdata, dan badan pengadilan banding untuk putusan tingkat pertama yang dibuat oleh Raad van Justitie. Hoogerechtshof bertindak sebagai pengadlan tingkat pertama hanya dalam perkara gugatan perdata tergadap pemerintah atau terhadap Gubernur Jenderal. Agung) di Batavia (Jakarta). Aparatur pada Raad van justitie dan Hooggerechtshof adalah para ahli hukum yang terlatih yang semakin dipererat kaitannya dengan negara hukum (Rechtstaats) Negeri Belanda melalui pendidikan, budaya, pengetahuan umum, dan ilmu di bidang hukum. Selain badan pengadilan tersebut diluar pengadilan pemerintah Kolonial juga terdapat badan pengadilan swapraja yang ada di bawah dan dikelola oleh raja-raja, selain itu juga di beberapa tempat terdapat penyelesaian
sengketa dengan mekanisme adat yang disebut Desa Rechtspraak (pengadilan desa).
Adapun tujuan Belanda menerapkan peraturan-peraturan tersebut adalah untuk menjamin terhadap perlindungan perdagangan Belanda jika terjadi perselisihan dagang eksternal dan internal.
Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa bantuan hukum secara formal di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, hal ini bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasar asas
konkordans dimana peraturan Firman Raja 16 Mei 1848 Nomor 1 juga diberlakukan di Indonesia, antara lain susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Pengadilan (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der Justitie) atau
62 RO dimana terdapat aturan mengenai Advokat dan Pengacara dalam BAB VI
memuat Advokat merangkap sebagai pengacara dimana sifat dan pemberian jasa dan pekerjaan yang bersangkutan dengan jasa tersebut, saat itu Advokat hanya memberikan jasanya dalam proses perdata dan pidana. Seseorang yang dapat diangkat menjadi Advokat adalah mereka yang berkaula negara Belanda dan mempunyai ijazah Universitas di negeri Belanda atau ijazah Rechts Hogeschool (RHS) di Jakarta, biasanya Advokat di Indonesia masa pendudukan Belanda adalah mereka yang telah 60 A. Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 15. 61 Asas konkordansi atau asas keselarasan (concordantie begeinsel) adalah asas yang menyamakan hukum yang ada di Belanda dengan hukum yang ada di Indonesia. 62 Ibid. bergelar Doktor Ilmu Hukum dan Meester in de Rechten.
Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der Justitie ini juga
mengatur lebih rinci mengenai jarak tempat tinggal Advokat antara 3 sampai 5 paa dari tempat menjalankan prakteknya atau pengadilan tempat Advokat tersebut bersidang.
Point utama yang terkait dengan Bantuan Hukum masa pendudukan Belanda terdapat dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der Justitie
“De Advocaten en procureurs, daartoe door de regterlijke collegien, voor welke
zij hunne bediening uitoefenen aangewezen, zijn verplight om gratis den wel
tegen half salaris hunnen bijstand te veerlenen aan hen, die verguning hebben
bekomen onderscheidenlijk om kosteloos, den wel tegen verminderd tarief te
procedeeren. Zij zijn mede gehouden om zijk gratis te belasten met de
verdediging in strafzalken, wanneer hun dit door den regter wordt op ged ragen
zij kunnen zich aan die verpligtingen niet onttrekken, dan om redenen door den
president van het betrokkene colligie goedge keurd.”Terjemahan, para Advokat dan procurerbila ditunjuk oleh badan pengadilan, dimana ia diangkat, wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma atau separuh dari tarif biaya yangberlaku, guna menolong mereka yang telah mendapatkan ijin berproses tanpa biaya atau di bawah tarif yang berlaku.
Mengenai besaran honorarium dan uang muka advokasi telah diatur dalam dasar tarip yang telah ditentukan. Advokat dalam menjalankan tugasnya diawasi oleh Majelis Hakim (Majelis Hakim ditambah dua orang Advokat). Dalam pengawasan tersebut mempertimbangkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Advokat, seorang Advokat dapat ditegur apabila mengabaikan kepentingan para kliennya, bertingkah laku tidak sepantasnya terhadap para pihak yang berperkara atau para 63 Paal adalah satuan ukuran jarak dimana 1 paal di jawa sama dengan 1.507 meter sedangkan 1 paal di
sumatera sama dengan 1.852 meter, adapun perbedaan ukuran di jawa dan sumatera terkait dengan permainan jual-beli tanah perkebunan oleh VOC. 64 Abdurrahman, Op. Cit., hal. 41-42.
Advokatnya dan apabila mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban dan kehormatannya selaku Advokat dan pengacara atau juga apabila mereka ini menunjukkan sikap tidak hormat terhadap majelis hakim atau para anggotanya atau pejabat pengadilan lainnya, dan juga termasuk dalam menggunakan kata-kata yang tidak pada tempatnya terhadap Undang-Undang atau kekuasaan umum dan juga menurut keadaan. Sanksi yang dapat diberikan oleh Majelis Hakim berupa pemecatan sementara (schorsing) untuk jangka waktu setinggi-tingginya enam bulan
atau dikenakan denda paling tinggi f. 200,- untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu, dengan memerintahkan pula untuk membayar ganti rugi seluruhnya atau sebagian yang ditimbulkan oleh kesalahannya atau kelalaiannya dalam memperhatikan para pihak yang berperkara. Sebagaimana Advokat yang menerima teguran oleh Majelis Hakim dapat mengajukan banding dengan surat permohonan dalam waktu empat belas hari setelah hari keputusan telah diucapkan kepada
Hooggerechtshof atau Hof atau disingkat H.g.H. dan apabila tingkah laku negatif
Advokat tesebut diulangi kembali atau terjadi kelampauan batas yang tidak semestinya maka H.g.H karena jabatannya atau berdasarkan usul dari Raden van
Justitie atau disingkat sebagai R.v.J. (Pengadilan Tinggi) dapat mengusulkan kepada Gouvenieur Generaal atau disingkat G.G. (Menteri Kehakiman). Pemecatan dengan
tidak mengurangi wewenang dari G.G. Untuk mengadakan pemecatan tanpa adanya usulan yang demikian.
Tingkatan badan peradilan dengan kepentingan yang berbeda membuat proses 65 peradilan saat itu tidak memberikan rasa keadilan kepada golongan pribumi,
F atau fl (Florijn atau Florin) adalah mata uang Belanda sejak abad ke-17 hingga 2002 yang kini digantikan
dengan Euro. Satu Florijn sama dengan 2.20371 Gulden/Guilder Belanda (NLG) atau sama dengan 0.9999995238 Euro (1 Gulden=0.453780 Euro) atau setara dengan Rp.15060.084518384 (1Euro=15060.09169 IDR). Pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tahun 1833, 1 Gulden setara 120 sen, dan pada 1854 1 Gulden setara 100 sen. http://www.bi.go.id/moneter/informasi-kurs/transaksi-bi/Default.aspxlandgerech yang dibentuk pada 1914 secara umum dapat memproses semua golongan
jika terjadi perkara hukum meskipun pengadilan ini hanya memeriksa pelanggaran pidana ringan saja dimana orang Belanda juga sebagai hakimnya. Pelaksanaan Bantuan Hukum yang diberlakukan menurut asas konkordansi tersebut hanya sekedar peraturan di Hindia, peraturan Bantuan Hukum tersebut hanya berlaku untuk golongan Eropah.
Adanya ketidakadilan semakin dirasakan oleh penduduk asli Indonesia dengan adanya pengelompokan golongan-golongan masyarakat sebagaimana diatur dalam
Indische Staatsregeling atau disingkat IS (Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda)
yang mulai diberlakukan tahun 1926 dimana pada Pasal 163 ayat (1) memuat:
a. Eropah Yang termasuk golongan Eropah adalah orang Belanda, dan semua orang bukan Belanda yang asalnya dari Eropah, orang Jepang (berdasarkan perjanjian Nedherland dan Japan dalam Lapangan Perdagangan dan Perkapalan), orang-orang yang tidak termasuk orang Belanda atau Eropah lainnya, akan tetapi taat pada Hukum Keluarga yang pada garis besarnya sama dengan asas-asas hukum keluarga yang terdapat dalam BW/KUHS, orang-orang tesebut yang dimaksud adalah orang Amerika, Canada, Afrika Selatan, dan Australia, dan juga orang yang secara sah merupakan keturunan Belanda dan orang yang tidak berasal dari Belanda tetapi di negaranya menganut hukum kekeluargaan yang sifat dan coraknya sama dengan Belanda.
diatur dalam Pasal 66 109 RR baru (amandemen Pasal 109 ayat 5 RR lama) yang akhirnya Gelijkstelling adalah pembauran, dipersamakan menurut hukum, persamaan yang diberikan kepada Pribumi atau orang Timur Asing yang dengan syarat tertentu mendapat hak-hak yang sama seperti orang Eropah. menjadi Pasal 163 IS yang menyatakan lembaga Gelijkstelling diganti
dengan Toepasselijkverklaring van de Bepalingen Europeanen.
Pasal 109 RR baru mengatur bahwa orang Timur Asing dan orang Pribumi dapat dipersamakan dengan orang Eropah atas permintaannya sendiri. Ketentuan mengenai Gelijkstelling ini ditentukan dengan ordonasi dan kemudian dimuat dalam Staatblad. Orang yang dipersamakan menurut staatblad ini
Gelijkstelling dapat dilakukan oleh orang Timur Asing dan orang Pribumi
dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu: 1) Sebelum tahun 1894:
a) Beragama kristen, b) Fasih bercakap dan menulis dalam bahasa Belanda.
c) Berpendidikan dan beradat-istiadat Belanda.
d) Mempunyai kecakapan penuh (volkman geschiktheid) untuk bergaul dengan masyarakat Eropah.
2) Tahun 1894, Syarat-syarat yang tersebut diatas dirubah menjadi mempunyai kecakapan untuk bergaul dengan masyarakat Eropah, sedangkan agama yang dianut tidak lagi menjadi batasan atau dihilangkan.
3) Tahun 1913, syarat yang lebih diutamakan untuk mempermudah orang menjadi Gelijkstelling adalah kebutuhan hukum dari yang bersangkutan, dimana dengan tujuan bahwa orang tersebut bersedia tunduk dan
67 menerima Personenrec
Toepasselijkverklaring van de Bepalingen Europeanen merupakan memperlakukan ketentuan hak orang Eropah terhadap orang Indonesia dan Timur Asing. 68 69 Asis Safioedin, Beberapa Hal Tentang Burgerlyk Wetboek, (Bandung: Alumni, 1973), hal. 38.
Personenrecht atau hukum perorangan atau hukum pribadi. Personenrecht adalah semua kaidah hukum
Personenrecht dan Familierecht atau tentang orang (van personen) diatur
dalam Burgelijk Wetboek pada Buku I dimana menjelaskan hukum perorangan dan hukum keluarga yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subjek hukum, antara lain mengenai ketentuan timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya
keperdataan.
b. Bumi Putera Yang termasuk golongan Bumi Putera adalah semua orang asli dari Indonesia.
c. Timur Asing Yang termasuk golongan Timur Asing adalah semua orang yang bukan orang Eropah dan/atau bukan orang Bumi Putera (Tionghoa, Arab, India, Pakistan, dan sebagainya).
Penggolongan sebagaimana disebutkan diatas berpengaruh besar terhadap bidang hukum dimana golongan Eropah menduduki tingkatan pertama dalam urutan, hal ini berarti adanya keistimewaan terhadap golongan Eropah yaitu kepentingan- kepentingan yang ada harus lebih diutamakan dari pada kepentingan golongan Bumi Putera dan Timur Asing.
Pada masa kolonial di Indonesia sekitar tahun 1940-an, kitab Undang-Undang yang memuat ketentuan-ketentuan peradilan digunakan hanya satu kitab saja dimana
yang mengatur mengenai siapa saja yang dapat membawa hak dan kedudukannya dalam hukum. Hukum perorangan terdiri dari: peraturan-peraturan manusia sebagai subjek hukum, kewenangan hukum, domestik dan catatansipil. Peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya tersebut. 70 Familierecht atau hukum keluarga adalah semua kaidah hukum yang mengatur hubungan abadi antara dua orang yang berlainan jenis kelamin dan akibatnya hukum keluarga sendiri dari: perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami/istri, hubungan antara orang tua dan anak-anaknya, perwalian, pengampuan. 71 Minggu, 7 September 2014, 19.21 WIB kitab undang-undang tersebut mengatur perkara perdata maupun perkara pidana yang
juga didalamnya memuat acara-acara peradilan pangreh praj maupun landraad dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah. Kitab Undang-Undang yang diberlakukan bagi pribumi Indonesia ini disebut Herziene Inlandsch Reglement yang selanjutnya disebut HIR yang diberlakukan pada 1941. HIR yang diberlakukan di Indonesia ini telah banyak menghilangkan peraturan tentang bantuan hukum dimana
Bantuan hukum pada masa penjajahan Jepang pada awalnya masih memberlakukan pengaturan kitab Undang-Undang bagi golongan-golongan tertentu, golongan Eropah dan Tionghoa menggunakan Burgerlijk Wetboek (BW) atau KUHPerdata dan Wetboek van Koophandel (WvK) atau kitab hukum dagang, sedangkan untuk golongan asli Indonesia menggunakan hukum adat, bagi orang-orang Jepang yang digunakan adalah Undang-Undang dan peraturan-peraturan negaranya sendiri dimana pengusutan, penuntutan dan pengadilannya dilakukan oleh opsir-opsir Jepang sendiri.
Wetboek van Strafrecht (WvS) atau KUHPidana dari masa penjajahan Belanda
masih diberlakukan selain peraturan-peraturan pidana lainnya yang dibuat penjajah Jepang yang diantaranya adalah Osamu Gunrei Nomor 1 Tahun 1942 pada Pasal 3 72 Pangreh Praja adalah salah satu dari dua bentuk birokrasi pemerintahan di Hindia Belanda yang disebut
jg sebagai Inlands Bestuur atau Inlandsch Bestuur adalah birokrasi pelaksana pemerintahan kolonial Belanda di daerah (birokrasi pada wilayah kekuasaan orang bumi putera) dan dapat juga merupakan kolaborasi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan bumi putera daerah setempat. 73 Verplichte procureur stelling adalah mewajibkan pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan Advokat atau pengacara.
Sejarah hukum Indonesia terdapat aturan bagi golongan Eropah dan Timur Asing dalam Reglement op de Rechtsvordering disingkat Rv pada Pasal 106 memuat bahwa penggugat diwajibkan menunjuk pengacara, jika tidak menggunakan pengacara maka gugatan dianggap batal.
Het Heziene Indonesisch Reglement disingkat HIR pada Pasal 118 juga disebutkan bahwa seseorang dapat mengajukan gugatan ke pengadilan baik sendiri maupun diwakili oleh kuasanya (tidak ada kewajiban berkebalikan dengan Rv), jadi di Indonesia asas Verplichte procureur stellingsampai saat ini tidak diberlakukan karena tidak diatur dalam hukum acara dimana dalam kasus hukum perdata tidak adanya kewajiban bagi penggugat untuk diwakili oleh Advokat atau pengacara pada saat berperkara di pengadilan.
Pasal 54 KUHAP menjelaskan bahwa seseorang yang ingin beracara di pengadilan pidana untuk membela kepentingannya sendiri boleh dilakukan, namun lebih lanjut diatur pada Pasal 56 apabila dakwaan yang dikenakan adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau 15 tahun atau lebih atau bagi yang tidak mampu yang diancam 5 tahun maka wajib memberikan penasihat hukum. yang dikeluarkan oleh Pembesar Bala Tentara Dai Nippon untuk Jawa dan Madura (mengenai hal ini boleh dikatakan sama saja untuk daerah luar Jawa dan Madura)
yang memuat antara lai “Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan Undang-Undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer.”
Kemudian Undang-Undang Nomor Istimewa Tahun 1942 yang termasuk didalamnya memuat Osamu Gunrei Nomor 25 Tahun 1944 Tentang Gunsei Keizirei (Undang-Undang Kriminal Pemerintah Balatentara) yang berisi aturan-aturan yang diberlakukan pada semua orang yang melakukan tindak pidana di dalam maupun di luar wilayah hukum Gunzei Keizirei. Pada Pasal 47 Gunzei Keizirei kekuatan Undang-Undang ini berlaku surut, yang diatur dalam aturan umumnya adalah jenis-jenis pidana yang berbentuk kesengajaan, percobaan, konkursus, penyertaan,
dan rechterlijk pardGunzei Keizirei juga telah mengatur tentang bandan hukum yang dapat diberikan sanksi jika melakukan perbuatan melawan hukum yang termuat dalam Pasal 26 Gunzei Keizirei.
Osamu Seirei Nomor 24 Tahun 1944 tentang mengadili orang-orang Jepang
(Nippon) baik dalam perkara perdata maupun pidana mulai dari pengusutan, penuntutan, pemeriksaan, dan pengadilannya adalah menggunakan aturan Undang-Undang Jepang kecuali keadaan istimewa yaitu perkara yang tidak dapat diselesaikan menurut Undang-Undang Jepang tersebut. Perkara diperiksa dan diadili oleh Tiboo Hooin (Pengadilan Negeri), sedangkan hakim atau jaksa yang memeriksanya adalah hakim dan jaksa Jepang, namum putusan pengadilan terhadap perkara yang terjadi untuk orang-orang Jepang dijalankan oleh kantor atau pegawai 74 75 Ibid., hal. 39.
Rechterlijk pardon adalah kemungkinan pembebasan seseorang dari hukuman jika ia sendiri yang memberitahukan kejahatan yang telah dilakukannya kepada yang berwajib. yang ditunjuk oleh Gunseikan (Pejabat Tinggi Pemerintah Balatentara).
Pengusutan dan penuntutan di pengadilan masa penjajahan Jepang dilakukan oleh
Kensatu Kyoku (Kejaksaan) yang kedudukannya tidak dibawah asisten Resident
namun berada di bawah Saiko Kensatu Kyoku Tyo (dahulu disebut sebagai Procure
General) dan sesudah dihapuskannya Saiko Hooin (Peradilan Agung) kemudian
kedudukan Kensatu Kyoku berada di bawah Kootoo Kensatu Tyo. Adapun sebagai pengawas terhadap kinerja hakim dan peradilan dilakukan oleh Sihoobutyo (Kepala Departemen Kehakiman) yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: Syomuka (perkara umum), Minzika (perkara perdata), dan Keizika (perkara pidana).
Pada intinya bahwa perubahan-perubahan yang dilakukan dalam periode pendudukan Jepang dilakukan dengan mengganti warna Belanda dengan warna Jepang, sembari disisi lain, menghilangkan hak-hak istimewa orang Belanda dan Eropah lainnya, Undang-Undang pendudukan Belanda masih dapat diberlakukan asalkan tidak bertentangan dengan militer Jepang. Pembaharuan yang dilakukan masa
pendudukan Jepang di bidang peradilan di Indonesia antara lai
a. Penghapusan dualisme atau pluralisme tata peradilan, sehingga hanya ada satu sistem saja untuk semua golongan penduduk (kecuali untuk orang Jepang, karena orang Jepang di Indonesia menggunakan aturan Jepang). Semua badan pengadilan (kecuali Residentiegerecht, yang khususnya untuk orang Belanda dan Eropah), dengan nama yang diganti dengan istilah Jepang;
b. Unifikasi kejaksaan, fungsi officieren van justitie (yang bekerja dibawah arahan hukum acara pidana untuk orang-orang Eropah) disatukan dengan 76 fungsi jaksa untuk orang-orang pribumi ke dalam Kensatzu Kyoku, yang
Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, YLBHI, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), hal. 8. diorganisasi menurut tiga tingkat peradilan;
c. Penghapusan pembedaan polisi kota dan polisi pedesaan/lapangan;
d. Pembentukan lembaga pendidikan hukum, khususnya untuk menghasilkan hakim dan jaksa; e. Pengisian secara serentak jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum oleh orang-orang pribumi.
2. Bantuan Hukum Masa Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka, arti dari pada bantuan hukum menjadi lebih luas.
Landasan yuridis bantuan hukum saat kemerdekaan tetap pada Herziene Inlandsch
Reglement (HIR) pada Pasal 250 dimana pemberian bantuan hukum untuk terdakwa
yang diancam hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Pelembagaan bantuan hukum di Indonesia dimulai sejak Zeyle Maker membentuk Biro Bantuan Hukum kepada rakyat yang tidak mampu di Rechts Hogeschool (RHS) Jakarta pada tahun 1940, pengelolaannya oleh Alwi St. Osman dan Elkana Tobing. Kemudian pada tahun 1953, Ting Swan Tiong mendirikan Sin Ming Hui atau dikenal dengan Tjandra Naya, suatu organisasi sosial dari pada orang-orang Indonesia keturunan Cina, yang memberi Bantuan Hukum dalam setiap perkara kepada anggotanya. Dengan demikian mengenai Bantuan Hukum untuk anggota Tjandra Naya tidak terbatas kepada perkara yang diancam hukuman mati saja, tetapi diberikan dalam segala macam perkara, meskipun ada batasan lain, yaitu bahwa bantuan hukum hanya diberikan kepada suatu
golongan keturunan Cina saja Pada Tahun 1962, Ting Swan Tiong mengusulkan kepada Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk mendirikan Biro Konsultasi Hukum dan mendapat respon positif pada 2 Mei 1963. Pada tahun 1968 Biro 77 Adnan Buyung Nasution, Op. Cit., hal. 52.
Konsultasi Hukum yang sudah dibentuk di FH UI dirubah menjadi Lembaga Konsultasi Hukum, dan berubah lagi pada tahun 1974 menjadi Lembaga Konsultasi
dan Bantuan Hukum (LKBH).
Pada tahun 1967, Mochtar Kusuma Atmadja mendirikan Biro Bantuan Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Pajajaran Bandung. Kemudian dilanjutkan dengan
pendirian LBH di tahun 1971 yang dipelopori oleh Adnan Buyung Nasution dan terjadi perubahan di bawah suatu yayasan (YLBHI) pada tahun 1980. Pada tahun 1974, Bapak Ilyas, Arifin, Ruslan, Hotma mendirikan Biro Bantuan Hukum di Universitas Sumatera Utara dengan fungsi mengadakan penyuluhan hukum atau memberikan pengetahuan hukum kepada masyarakat dan membantu para mahasiswa untuk pelaksanaan kuliah kerja nyata. Berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud No. 0325/U/1994 yang menyebutkan bahwa di setiap Fakultas Hukum terdapat sistem Pendidikan dengan pendekatan terapan, Biro Bantuan Hukum USU berubah menjadi Unit Bantuan Hukum dengan ketua Alm. Syahmenan dan fungsinya juga berubah
Kemerdekaan pada tahun 1950-an, terdapat peraturan mengenai notaris dan pengacara yang diatur dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 dimana dimuat tentang perihal pengawasan tertinggi oleh Mahkamah Agung terhadap para notaris dan pengacara, namun mengenai bagaimana saja cara atau kewajiban dalam pelaksanaan pengawasan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Pada tahun 1965, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 sudah tidak diberlakukan setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 dimana pada Pasal 54 juga dimuat perihal pengawasan tertinggi oleh Mahkamah Agung yang dilakukan terhadap para notaris dan penasihat hukum (perubahan dari pengacara). Selanjutnya 78 79 Mohammad Mahfud MD., Sunaryati Hartono, dkk., Op. Cit., hal. 903. 80 Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Op. Cit., hal. 463.
Muhammad Hayat, wawancara oleh peneliti, Peradilan Semu USU, Jum’at, 21 November 10.20 WIB. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1965 tidak diberlakukan setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 namun Undang-Undang ini menghilangkan
Pada tahun 1970-an, pemerintah telah memperhatikan masalah Bantuan Hukum dimana dikeluarkannya beberapa peraturan yang memuat unsur Bantuan Hukum, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang mengatur ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, dan tambahan Lembaran Negara Nomor 2951 yang oleh Oemar Senoadji berpendapat:
“Ia mengandung prinsip-prinsip yang kelak memerlukan pelaksanaannya dalam perundang-undangan lain. Ia memberikan pengarahan untuk hukum acara, Hukum Acara Pidana khususnya kelak, sedang dalam pengarahan tersebut kadang-kadang ia sudah memberikan dasar-dasarnya yang kelak ia harus
mendapat uitwerking, tidak dapat diubah lagi atau ia memerlukan sekedar sesuatu pelaksanaan belaka. Akan tetapi, bagaimanapun juga, pengarahan khususnya dalam hukum acara pidana yang akan datang telah menunjukkan gambarannya dikemudian hari, ia mengandung prinsip-prinsip yang sesuai dengan rule of the law dengan
hubungannya dengan hukum acara pidana. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 khususnya di dalam Bab VII diatur perihal Bantuan Hukum, yang mencakup Pasal 35 sampai dengan Pasal 38. Meskipun memuat hanya pokok-pokoknya saja, akan tetapi di dalam Pasal-Pasal tersebut bantuan hukum diakui eksistensinya secara juridis. Setiap orang yang tersangkut perkara hukum berhak memperoleh Bantuan Hukum, hal ini dianggap perlu karena setiap orang wajib dilindungi dan diberikan haknya dalam proses peradilan dan juga pencerminan seseorang tertuduh dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sesuai dengan perikemanusiaan, maka seorang tertuduh harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia dan selama belum terbukti 81 82 Soerjono Soekanto, op. Cit., hal. 86.
Uirwerking adalah arti kata efek, dalam hal ini adalah aturan pelaksanaan atau peraturan turunan dari undang-undang, misalnya PP dan Permen. 83 Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1973), hal. 247. kesalahannya harus dianggap tidak bersalah dan karena itu ia harus diperbolehkan mendapatkan Bantuan Hukum sejak ia ditangkap atau ditahan namun tetap sesuai peraturan (hukum acara pidana) dan tidak menyulitkan jalannya penyidikan (pemeriksaan). Penasihat dalam memberikan Bantuan Hukum diharapkan dapat bekerjasama dalam melancarkan penyelesaian perkara dengan mewujudkan kebenaran
Apabila hak tiap orang dalam Bantuan Hukum dan asas praduga tak bersalah sudah diatur lebih lanjut dalam peraturan turunan, maka dapat dibayangkan bahwa akan diperlukan lebih banyak tenaga-tenaga Advokat atau pengacara dalam memenuhi
kebutuhan Bantuan Hukum.
Pada tahun 1978, dikeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1978 Tentang GBHN yang didalamnya memuat bahwa pembangunan di bidang hukum di Indonesia didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang untuk mencapai tujuan ketertiban dan kepastian hukum juga memperlancar pelaksanaan pembangunan nasional di segala bidang, oleh sebab itu pemerintah melakukan beberapa kegiatan, kegiatan tersebut diantaranya sebagai berikut:
a. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat,
b. Menertibkan badan-badan penegak hukum sesuai fungsi dan wewenangnya masing-masing, c. Meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum, 84 85 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 35 sampai 38.
Suardi Tasrif, Pemberian Bantuan Hukum Oleh Fakultas Hukum dan Kepengacaraan, Pemberian Bantuan Hukum Oleh Fakultas Hukum Negeri, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1976), hal. 105. d. Membina penyelenggaraan Bantuan Hukum untuk golongan masyarakat yang kurang mampu.
Selain itu peningkatan kesadaran hukum masyarakat penting untuk diupayakan agar masyarakat mengerti dan memahami hak dan kewajibannya dan juga perlu untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dengan memperhatikan penegakan hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945. Berkenaan tentang hak dan kewajiban masyarakat di bidang hukum maka dalam usaha pembangunan hukum nasional perlu ditingkatkan langkah-langkah untuk penyusunan perundang-undangan yang menyangkut hak dan kewajiban asasi warga
negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945.
Aturan yang dirumuskan dalam GBHN sifatnya belum menyelesaikan masalah yang dihadapi dimana belum terdapat peraturan pelaksanaan mengenai bantuan hukum tersebut, Adnan Buyung Nasution dalam bukunya keluaran tahun 1978 bependapat bahwa sejak lahirnya Undang-Undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru, hak bantuan hukum atau the right to counsel ini sudah mendapatkan pengakuan dan jaminan yang lebih pasti. Perbedaan pokok yang utama adalah bahwa hak bantuan hukum itu sudah diberikan “sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan” dan bukan lagi hanya di depan persidangan.
Praktek peradilan yang terjadi, hak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum itu (the right of legal assistance atau the right to counsel dikenal sebagai hak bantuan hukum atau hak untuk mendapatkan penasihat) belum dapat berjalan dengan lancar, oleh karena pihak kepolisian dan kejaksaan umumnya masih menolak memberikan kesempatan tersebut. Alasan utama yang diberikan sekarang adalah 86 Ibid. karena sampai sekarang belum ada peraturan-peraturan pelaksanaan (implementary
regulation) yang mengatur lebih lanjut tentang cara-cara pelaksanaan hak bantuan
hukum yang diberikan oleh Undang-Undang tersebut. Alasan yuridis ini memang ada dasarnya, oleh karena dalam Undang-Undang yang bersangkutan disebutkan bahwa hak bantuan hukum tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang. Sayang
sekali janji pemerintah tersebut sampai saat itu belum terpenuhi.
Pemenuhan hak setiap orang dalam peradilan terhadap bantuan hukum dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02.UM.09.08 Tahun 1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum dan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.UM.08.10 Tahun 1981 Tentang Perubahan dan Perbaikan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.02.UM.09.08 Tahun 1980.
Dasar pertimbangan diundangkannya peraturan tersebut adalah bahwa dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh keadilan, perlu adanya pemerataan bantuan hukum khusus bagi mereka yang tidak atau kurang mampu, dan penyelenggaraan pemerataan bantuan hukum melalui Badan Peradilan Umum dilaksanakan berdasarkan peraturan yang berlaku dan untuk itu diperlukan petunjuk pelaksanaan
88 Menteri Kehakiman.
Pada sekitar tahun 2000, kegiatan bantuan hukum gratis bagi si miskin sempat mengalami kemandekan (stagnasi). Hal ii tidak dapat dipisahkan dengan adanya larangan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat pada Pasal 3 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa untuk dapat diangkat sebagai Advokat yang menyebutkan bahwa untuk dapat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan, tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara, kemudian dipertegas dengan sanksi pada Pasal 31 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja 87 88 Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1981), hal. 35.
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 93-94. menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini (UU No. 18 Thn.
2003), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp.50.000.000,- (lima juta rupiah) Selanjutnya ketentuan Pasal 31 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dibatalkan sehubungan dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No: 006/PUU-II/2004 Tanggal 13 Desember 2004.
Pemerintah mulai berperan aktif dengan diundangkannya Undang-Undang No.
16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, perlindungan terhadap hak-hak dan kewajiban hukum kepada orang atau kelompok orang miskin mulai dipehatikan dengan suatu program pelaksana yang diatur dalam turunan Undang-Undang Bantuan Hukum. Program Bantuan Hukum tidak dapat dilaksanakan secara pasif atau menunggu permohon Bantuan Hukum (service station), Program Bantuan Hukum harus aktif yaitu dalam arti pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum dengan memberikan pendidikan hukum secara nonlitigasi berupa penyuluhan hukum agar
B. Beberapa Peraturan yang Berkaitan Bantuan Hukum.
Peraturan yang berkenaan dengan masalah bantuan hukum di Indonesia mengalami banyak perubahan, perubahan tersebut saling berkaitan meskipun peraturan yang lama tidak diberlakukan lagi. Peraturan yang peneliti maksudkan disini adalah berupa pemberian bantuan hukum kepada massyarakat miskin atau pemberian bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Diantara peraturan yang mengatur tentang bantuan hukum sebagai jaminan keadilan dalam 89 90 Mohammad Mahfud MD., dkk. Op. Cit., hal. 730.
Dartimnov M. T. Harahap, Op. Cit., melindungi hak-hak masyarakat miskin atau tidak mampu tersebut adalah:
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
Lahirnya Undang-Undang tentang bantuan hukum telah dinantikan oleh sebagian besar Pemberi Bantuan Hukum di Indonesia, karena undang-undang tersebut dinilai sebagai kejelasan suatu aturan khusus tentang bantuan hukum yang berorientasi pada perubahan sosial dimana memperhatikan jaminan hak konstitusi setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama dihadapan hukum dalam pemberian bantuan hukum bagi orang miskin, juga merupakan perlindungan hak dan kewajiban para pelaksana bantuan hukum.
Undang-Undang Bantuan Hukum lahir atas pertimbangan Pasal 20 UUD 1945 yang menyatakan bahwa lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum merupakan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden atas RUU Bantuan Hukum, tiap anggota DPR berhak mengajukan usul terhadap RUU Bantuan Hukum Pasal 21 UUD 1945. Terhadap Undang-Undang Bantuan Hukum yang telah disahkan yang merupakan persetujuan dari DPR dan Presiden, berarti Negara harus lebih fokus bahwa kewenangan yang berkaitan dengan bantuan hukum harus menggunakan Undang-Undang Bantuan Hukum, bukan merupakan kewenangan Judikatif lagi seperti yang dijelaskan dalam Ketentuan Peralihan pada Bab X pada Pasal 22 sampai 23 bahwa penyelenggaraan dan anggaran bantuan hukum dari MA, Polri, Kejaksaan, dan instansi lainnya tetap dilaksanakan sampai berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan persamaan kedudukan hukum dimana antara kaya dan miskin yang bermasalah hukum telah dilindungi dengan pelaksanaan pemberian bantuan hukum. Pasal 28d ayat (1) UUD 1945 mengakui hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama pada tiap orang sebagaimana telah di isyaratkan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum pada Pasal 12 yang memuat Penerima Bantuan Hukum mendapatkan bantuan hukum hingga masalah hukumnya selesai atau mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai aturan.
Pasal 28h ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa tiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan yang dalam Undang-Undang Bantuan Hukum tersirat dalam aturan tentang permohonan Penerima Bantuan Hukum, dimana terdapat ketentuan Bab VI Pasal 14 sampai 15 Undang-Undang Bantuan Hukum dipermudah dalam aturan khusus pada Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 sampai Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 terhadap terhadap pemohon yang tidak dapat tulis baca dan tidak memiliki identitas kependudukan.
Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 menyatakan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah, dimana melalui Undang-Undang Bantuan Hukum pemerintah fokus terhadap masyarakat miskin dan buta hukum dalam menjamin perlindungan hukumnya. Pasal 28i ayat (5) UUD 1945 dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia maka dituangkan dalam peraturan peundang-undangan mengenai bantuan hukum sebagaimana pada Bab III Pasal 6 sampai Pasal 7 menyatakan bantuan hukum diselenggarakan oleh Menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan Ham melalui BPHN dan Kemenkumham yang bertugas menyusun kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum berupa penetapan standar, anggaran, laporan pelaksanaan guna dipertanggung jawabkan ke DPR. Menteri dalam melaksanakan tugas berwenang mengawasi dan memastikan terhadap segala pelaksanaan bantuan hukum dan melakukan verifikasi dan akreditasi sebagai kelayakan Pelaksana Bantuan Hukum.
Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, ketentuan sebagaimana yang dimaksud telah diatur dalam Undang-Undang Bantuan Hukum.
Secara garis besar dalam Undang-Undang Bantuan Hukum ini mengatur tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum yang didalamnya adalah orang atau kelompok orang miskin yang menghadapi masalah hukum. Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat sebagaimana Pasal 9 Undang-Undang Bantuan Hukum berhak melakukan rekrutmen terhadap Advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa Fakultas Hukum dalam melakukan pelayanan bantuan hukum yang meliputi nonlitigasi yaitu berupa penyuluhan hukum, konsultasi hukum, program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan bantuan hukum di luar pengadilan dan litigasi berupa beracara di sidang pengadilan yaitu termasuk mengeluarkan pendapat pernyataan dalam membela perkara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengenai masalah pemberian bantuan hukum oleh aktifis non Advokat yang dirasa kurang, guna menjaga kualitas Pelaksana Bantuan Hukum maka pemerintah telah mengeluarkan Permenkumham No. 22 Tahun 2013 pada Pasal 3-8 Standar Bantuan Hukum Litigasi, Pasal 9-25 tentang Standar Bantuan Hukum Nonlitigasi, Pasal 26-29 tentang Standar Pelaksana Bantuan Hukum, dan Pasal 30-48 mengenai Standar Pemberian Bantuan Hukum.
Setelah Undang-Undang Bantuan Hukum diundangkan, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Ham pada 6 Februari 2013 mengundangkan Peraturan Menteri Hukum dan Ham No. 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan yang memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2013 tersebut mengatur pelaksanaan pemberian bantuan hukum yang dinilai masih banyak pengaturan yang belum jelas pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang ditakutkan pemberian bantuan hukum akan melaksanakan kewajibannya dengan tidak maksimal, hal menarik yang dibahas adalah mengenai standarisasi bantuan hukum yang didalamnya mengatur standar bantuan hukum litigasi dan nonlitigasi, standar pelaksanaan bantuan hukum, standar pemberian bantuan hukum, dan standar pelaporan pengelolaan anggaran Pemberi Bantuan Hukum.
Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor 3 Tahun 2013 tersebut dibuat sebagai pelaksana ketentuan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang akreditasi dan verifikasi Bantuan Hukum. Peraturan menteri ini membahas tentang kedudukan kementerian dalam urusan bantuan hukum, baik sebagai tahapan maupun penentu verifikasi dan akreditasi Lembaga Bantuan Hukum dan Organisasi Kemasyarakatan sebagai Pemberi Bantuan Hukum.
Menteri Hukum melaksanakan program bantuan hukum dengan membentuk panitia khusus verifikasi dan akreditasi dengan syarat tertentu yang bersifat ad
hoc dan independent yang berkedudukan di Jakarta yang bertugas untuk
menyeleksi, mengevaluasi dan menentukan kelayakan berupa penetapan sebagai (Pelaksana) Pemberi Bantuan Hukum yang telah dimohonkan oleh LBH atau
Orkemas.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum adalah peraturan yang dibuat pemerintah guna keperluan pelaksanaan
Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 ini diundangkan pada 23 Mei 2013 yang secara garis besar memuat sebagian ketentuan-ketentuan yang telah dibahas dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
Menteri sebagai penyelenggara bantuan hukum dalam tahun yang sama mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2013 ini diundangkan pada 20 Juni 2013 dimana pembuatannya bertujuan untuk pelaksanaan ketentuan Pasal 17, Pasal 23 ayat (4), Pasal 29 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013.
PP No. 42 Tahun 2013 Pasal 17 tentang standar pemberian bantuan hukum ditetapkan dalam Permen No. 22 Tahun 2013 Pasal 1 sampai Pasal 36 menyatakan bahwa standar bantuan hukum adalah pedoman pelaksanaan pemberian bantuan hukum yang ditetapkan oleh Menteri. Standar bantuan hukum pada Pasal 2 meliputi standar bantuan hukum litigasi, standar nonlitigasi, standar pelaksana bantuan hukum, standar pemberian bantuan hukum, standar pelaporan dan pengelolaan anggaran.