PENANAMAN DAN KESANTUNAN MASYARAKAT ANGKOLA- MANDAILING: TINJAUAN ANTROPOLINGUISTIK Rendra Anriadi Siregar siregar.rendragmail.com Abstrak - Penanaman dan Kesantunan Masyarakat Angkola-Mandailing: Tinjauan Antropolinguistik

  Telangkai Bahasa dan Sastra, Juli 2014, 143-152 Copyright ©2014, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1978-8266

PENANAMAN DAN KESANTUNAN MASYARAKAT ANGKOLA-

MANDAILING: TINJAUAN ANTROPOLINGUISTIK

  

Rendra Anriadi Siregar

  

  

Abstrak

  Makalah ini menjelaskan proses dan latar belakang Penamaan dan bentuk kesopansantunan masyarkat Angkola Mandailing. Nama-nama masyarakat Angkola-mandailing sangat berbeda dengan nama masyrakat suku lainnya yang berdampingan. System penamaan msayarakat ini merupakan suatu gambaran dan bentuk kebudayaan yang perlu dipertahankan. Disampaing system penamaan kesopansantunan berbahasa masyarakat Angkola- mandailing dalam konsep dalihan na tolu sangat unik untuk diteliti. Penamaan dan kesantunan masayarkat Angkola-Mandailing dideskripsikan secara kualitatif dengan menggunakan Kajian Antropolinguistik. Ditemukan penamaan masyarakat Angkola

  • –Mandailing adalah Pranama, Goar

  

sihadakdanahon”nama sebenarnya/jejak lahir”, Panggoaran “teknonim atau

  nama dari anak/cucu sulung”, Goar-goar “nama julukan”, Marga “nama keluarga/kerabat”,nama pengharapan dan nama yang diberikan sesuai dengan bulan kelahiran. Kemudian masyarakat Angkola-Mandailing yang sangat menjujung tinggi kesopansantunan yang cermin dalam konsep

  dalihan na tolu.

  Keyword: penamaan, Angkola-Mandailing, dalihan na tolu PENDAHULUAN Latar Belakang

  Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di dalam masyarakat kita terlihat dalam beragamnya kebudayaan di Indonesia. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia.

  Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki kebudayaan. Begitu pula sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat. Ini berarti begitu besar kaitan antara kebudayaan dengan masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda di karenakan setiap masyarakat/suku memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan suku liannya.

  Masyarakat Batak, adalah salah satu masyarakat Indonesia yang berada di kawasan Sumatra. Setiap masyarakat pastilah memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat lainnya yang menjadi penanda keberadaan suatu masyarakat/suku. Begitu juga dengan masyarakat Batak yang memiliki karekteristik kebudayaan yang berbeda.

  Keunikan kharakteristik suku Batak ini tercermin dari kebudayaan yang mereka miliki baik dari segi agama, mata pencaharian, kesenian dan lain sebagainya. Adat- istiadat seperti upacara kelahiran, upacara pernikahan, upacara kematian, norma, dan

  Tahun ke-8, No 2

  Rendra Anriadi Siregar

  kebiasaan-kebiasaan juga merupakan jati diri suku bangsa Batak, yang membedakan suku bangsa ini dengan suku bangsa lain.

  Anthropology mengenal Batak ethnic group atau suku bangsa Batak sebagai suku bangsa yang secara geografis berasal/mendiami wilayah-wilayah yang disebut sebagai “tanah” (land) dengan 5 sub-culture atau sub-ethnic group sebagai berikut: 1.

  Batak Angkola-Mandailing 2. Batak Toba 3. Batak Pakpak (Dairi) 4. Batak Karo 5. Batak Simalungun

  Suku bangsa Batak secara geografis menjadi tuan tanah atau landlord atas wilayah- wilayah tertentu atau tanah-tanah kediaman mereka. Pemujaan atas tanah-tanah mulia itu dikenal lewat sebutan Tanah Mandailing, Tanah Simalungun, Tanah Karo, dan sebagainya.

  Subsuku Angkola

  • –Mandailing berasal dari wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan hingga tahun 2008 mengalami pemekaran wilayah menjadi 5 kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Kota Padang Sidempuan (Pasid), Kabupaten Padang Lawas (Palawas), Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), dan Kabupaten Mandailing Natal (Madina) - yang terletak di antara Rao (Provinsi Sumatra Barat) dan Pahae (Tapanuli Utara), Samudra Hindia, dan Rokan Hulu (Riau). Batak Angkola-Mandailing mendiami wilayah yang dialiri dua sungai besar dan bertemu di muara Batang Gadis menuju Samudra Hindia.

  Orang Indonesia memberikan nama Indonesia kepada anak-anak mereka dengan berbagai cara. Dengan beragam budaya dan bahasa daerah, Indonesia tidak memiliki satu aturan tertentu dalam pemberian nama. Beberapa suku tertentu memiliki nama marga yang diturunkan dari orang tua ke anaknya. Suku-suku lain tidak mengenal nama keluarga.

  Beberapa budaya memiliki peraturan mengenai nama keluarga atau nama marga. Beberapa budaya lain memiliki peraturan mengenai nama keluarga atau nama marga. Dalam budaya Batak nama marga ayah diwariskan kepada anak-anaknya (patrilineal) secara turun-temurun. Disamping system penamaan yang berbeda suku-suku bangsa Indonesia memiliki kesantunan. Kesantunan dapat dapat dilihat melalui bahasa. Sebagai salah satu bagian dari etnik suku batak, Angkola-mandailing mungkin memiliki pola bahasa yang sedikit keras dibandingkan dengan suku-suku lain seperti melayu dan jawa. Oleh karena itu suku Batak Angkola-Mandailing dengan sekelumit kebudayaannya merupakan salah satu hal yang menarik untuk dipelajari dalam bidang kajian Antopolinguistik.

RUMUSAN MASALAH

  Untuk memudahkan dalam penulisan dan pemahaman makalah ini, maka penulis merumuskan beberapa hal yang bersangkutan dengan kebudayaan masyarakat Batak, yaitu: 1.

  Bagaimanakah kebudayaan masyarakat Batak Angkola-Mandailing? 2. Bagaimanakah sistem penamaan dalam masyrakat Angkola-mandailing? 3. Bagaimanakah bentuk kesantunan masyarakat Angkola-Mandailing?

  Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 2, April 2014 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk: 1.

  Mendeskripsikan kebudayaan masyarakat Batak Angkola-Mandailing? 2. Mendeskripsikan system penamaan dalam masyrakat Angkola-mandailing? 3. Mendeskripsikan bentuk kesantunan masyarakat Angkola-Mandailing?

LANDASAN TEORI

  Masyarakat berbudaya adalah masyarakat yang memiliki kesantunan. Dengan demikian mayrakat Angkola-mandailing memiliki kesantunan yang dapat dilihat dari bahasanya. Sibarani (2004: 169) menyebutkan kesopansantunan seseorang pada umumnya dinilai dari bahasanya yang santun, tutur katanya yang lembut atau “budi bahasanya” yang halus.

  Sibarani (2004: 170) Kesantunan (kesopansantunan) sama dengan tata krama atau etiket. Kesantunan atau etiket adalah tata cara, adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat berbadab untuk memelihara hubungan baik antara sesama manusia. Kata „politeness‟ dapat diartikan „kesopanan‟. Meski sering disejajarkan dan dipasangkan, kata sopan dan kata santun memiliki arti yang berbeda. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata sopansebagai sifat hormat dan takzim serta tertib menurut adat yang baik. Sementara itu, kata santun berarti sifat halus dan baik budi bahasanya serta tingkah lakunya. Dengan demikian, sopan santun dapat diartikan sebagai sifat hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi bahasa, serta baik perilakunya. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki sopan santun adalah seseorang yang hormat, tertib pada norma yang berlaku, halus dan baik budi bahasa, serta baik perilakunya.

  Yatim (1983: 10) menjelaskan bahwa honorifik merupakan bentuk-bentuk kebahasaan yang digunakan untuk menyatakan rasa hormat dalam aturan-aturan yang bersifat psikologis dan kultural. Kridalaksana (2008: 85) mendefinisikan honorik sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan, yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain.

  Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, honorifik berkenaan dengan penggunaan ungkapan penghormatan dalam bahasa untuk menyapa orang tertentu. Berdasarkan beberapa definisi di atas, bentuk honorifik dapat dikatakan sebagai bentuk untuk menyatakan sikap kesopanan dengan tujuan untuk menghormati lawan bicara.

  Menurut Pei dalam Kosasih (2010: 1) Nama itu adalah simbol bagi individualitas. Dalam konteks ini, nama dapat digunakan untuk merujuk pada diri sendiri (penutur), orang kedua (yang diajak bicara), maupun orang ketiga (yang dibicarakan). bahwa pemberian nama merupakan hasil pemikiran beradab.

  Nama pada dasarnya dapat digunakan sebagai istilah untuk merujuk pada apa saja, baik manusia, bintang atau benda. Oleh karena itu, proses penamaan sering dianggap bersifat manasuka atau arbitrer (lihat Lyons, 1995). Meskipun demikian, tidak semua aspek yang berkaitan dengan penamaan itu bersifat manasuka. Dalam beberapa hal, pertama, penamaan itu justru bersifat sistematis. Salah satu bukti kesistematisan ini adalah hubungan antara nama dan jenis kelamin; hampir semua nama dalam bahasa mangandung implikasi jenis kelamin (Allan, 1995). Kedua, dalam sejumlah bahasa, „kosakata‟ untuk nama tampaknya sudah terbatas, seperti nama-nama dalam bahasa

  Rendra Anriadi Siregar Inggris yang relatif sudah tersusun ketat, bahkan sudah dikamuskan (Hornby, 1974).

  Ketiga, sistem penamaan dalam masyarakat tertentu sudah begitu terikat oleh aturan yang relatif kaku, di mana seseorang harus menyandang nama tertentu berdasarkan misalnya urutan kelahiran, seperti yang terjadi pada masyarakat Buang (Hooley, 1972) atau Bali (Geertz, 1973).

  Proses pemberian nama adalah sesuatu kegiatan pranata yang khusus. Kebudayaan semacam ini disebut kebudayaan suku bangsa, yang lebih dikenal secara umum di Indonesia dengan kebudayaan daerah (Sudikan, 2000: 4). Menurut Thatcher dalam Sugiri (2003: 57) ada tujuh aturan pemberian nama, yaitu : 1. nama harus berharga, 2. nama harus mengandung makna yang baik, 3. nama harus asli, 4. nama harus mudah dilafalkan, 5. nama harus bersifat membedakan, 6. nama harus cocok dengan nama keluarga, 7. nama harus menunjukkan jenis kelamin. Selain itu, nama harus mempunyai nilai praktis dan magis (Kuntjaraningrat, 1980: 10). Simon Potter (1973) mengatakan bahwa pada tahap awal sejarah bahasa kata-kata pertama yang dikenal adalah nama-nama. Masalah nama sebenarnya erat pula kaitannya dengan bidang linguistik, sosiolinguistik, dan semantik.

  Tarigan dalam Sugiri (2003) Nama dibuat dan diberikan kepada seorang untuk membedakannya dengan orang lain; untuk memudahkan anggota keluarga/masyarakat memanggilnya, menyuruhnya bila perlu. Nama dibuat untuk dipakai, untuk disebut, demi kepraktisan dalam hidup sehari-hari. Sugiri (2000: 32) mengatakan bahwa nama memiliki nilai praktis dan juga memiliki nilai magis, nama tidaklah sekadar nama yang tersurat, namun dibalik itu ada hal-hal yang tersirat. Misalnya, nama mengandung pengharapan, peristiwa, sifat, kenangan, keindahan, kebanggaan, dan dapat pula menunjukkan tingkat sosial, agama yang dipeluknya, jenis kelamin (seks), asal-usul dan sebagainya Selain nama pribadi, seseorang acapkali menyandang nama keluarga. Nama keluarga akan memudahkan kita mengenal silsilah keluarga seseorang. Sibarani (2004: 109) menyebutkan dalam budaya Batak, ada lima jenis nama yaitu: 1.

  Pranama, yaitu julukan yang diberikan kepada si anak sebelum dia diberi nama sebenarnya.

  2. Goar sihadakdanahon”nama sebenarnya/jejak lahir”, yaitu nama yang diberikan oleh orang tua kepada si anak sejak kecil.

  3. Panggoaran “teknonim atau nama dari anak/cucu sulung”, yaitu nama tambahan yang diberikan masyarakat secara langsung kepada orang tua dengan memanggil nama anak atau cucu sulungnya.

  4. Goar-goar “nama julukan”, yaitu nama tambahan yang diberikan orang banyak kepada seseorang yang memiliki pekerjaan, keistimewaan, tabiat atau sifat tertentu.

  5. Marga “nama keluarga/kerabat”, yaitu nama yang diberikan kepada seseorang dengan otomatis berdasarkan kekerabatan yang unilinear atau garis keturunan geneologis secara patrilineal dari satu nenek moyang.

METODOLOGI PENELITIAN

  Metode penelitian merupakan strategi yang umum digunalan dalam pengumpulan analisis data yang diperlukan dalam menjawab persoalan yang ada. Suharsimi Arikunto (1993: 22) mengatakan bahwa “ metode penelitain merupakam suatu yang sangat penting karena berhasil atau tidaknya penelitian dan rendahnya kualitas suatu penelitian sangat ditentukan oleh ketepatan peneliti dalam memilih metode penelitian.”

  Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 2, April 2014

  Hadari Nawawi (1994: 74) menyatakan, “metode penelitian deskriftif kualitatif adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan yang sewajarnya atau sebagaimana ada (natural setting) dengan tidak dirubah dalam bentuk- bentuk simbol atau bilangan. ”Jenis metode kulitatif merupakan wujud kata-kata dan bukan angka. Data ini telah dikumpulkan dalam berbagai cara seperti observasi, wawancara, intisari, dokumen,dan biasanya diproses kira-kira atau melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan atau alih tulis, tetapi analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata yang biasanya disusun ke dalam teks yang diperluas. Merujuk kepada rumusan masalah dan tujuan penulisan, maka metode penelitian yang dipakai dalam makalah ini adalah metode deskriptif kulitatif yaitu dengan penjelasan dan penggambaran system penamaan dan kesopanan dalam masyarakat Angkola Mandailing.

  PEMBAHASAN A. Marga dan Tarombo dan Penamaan

  Marga ialah identitas seorang Batak. Coba bayangkan, jika orang Batak tidak memiliki marga. Peran marga dalam kehidupan budaya Batak sangat penting dan berpengaruh. Selain daripada identitas, marga juga merupakan bentuk terjemahan dan penerapan dari dalian na tolu sebagai landasan budaya Batak.

  Istilah marga dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang berasal dari keturunan seorang nenek moyang yang sama dan garis keturunan diperhitungkan melalui pihak laki-laki atau ayah (patrilineal). Pada umumnya orang Batak mengelompokkan diri mereka ke dalam beberapa marga (klan) dan tiap-tiap marga selalu menempatkan diri mereka sebagai keturunan dari seorang tokoh nenek-moyang yang berlainan asal. Tokoh leluhur suatu marga biasanya bersifat legendaris, dan senantiasa mereka tempatkan di awal silsilah keturunan (tarombo) mereka.

  Tarombo ialah catatan tentang silsilah keturunan.Dengan adanya tarombo ini, setiap marga dapat mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai sekarang.Tarombo menjadi sumber sejarah asal-usul orang Batak di masa lalu. Dengan tarombo, seseorang mengetahui, apakah ia harus memanggil satu sama lain dengan kahanggi (saudara semarga), namboru atau bouk (saudara perempuan Ayah),udak (paman, saudara laki-laki Ayah), iboto atau ito (saudara perempuan), ompung, tulang, nantulang, borutulang, amangboru, amangtua, amanguda, nanguda, inangtua atau nattobang, pariban, dan seterusnya.

  Marga dan tarombo adalah warisan budaya Batak yang memiliki nilai-nilai luhur. Menurut sejarahnya, leluhur asli suku bangsa Batak ialah Si Raja Batak yang bermukim di daerah Pusuk Buhit di kampung Sianjur Mula-Mula, di pinggiran Danau Toba, lebih kurang 8 km arah barat Kota Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir.

  Orang Indonesia memberikan nama Indonesia kepada anak-anak mereka dengan berbagai cara. Dengan beragam budaya dan bahasa daerah, Indonesia tidak memiliki satu aturan tertentu dalam pemberian nama. Beberapa suku tertentu memiliki nama marga yang diturunkan dari orang tua ke anaknya. Suku-suku lain tidak mengenal nama keluarga.

  Beberapa budaya memiliki peraturan mengenai nama keluarga atau nama marga. Beberapa budaya lain memiliki peraturan mengenai nama keluarga atau nama marga. Dalam budaya Batak nama marga ayah diwariskan kepada anak-anaknya (patrilineal) secara turun-temurun. Dalam budaya Angkola-Mandailing ada beberapa jenis penamaan

  Rendra Anriadi Siregar 1.

  Pranama, yaitu julukan yang diberikan kepada si anak sebelum dia diberi nama sebenarnya. Anak laki-laki dengan sendirinya diberi nama si Uncok dan anak perempuan diberi nama si Butet. Pranama ini pun dengan sendirinya akan tangal setelah si anak diberi nama sebenarnya. Kadang-kadang, pranama ini bisa terus digunakan meskipun si anak sudah diberi nama terutama oleh orang yang tidak mengetahui nama si anak.

  2. Goar sihadakdanahon”nama sebenarnya/jejak lahir”, yaitu nama yang diberikan oleh orang tua kepada si anak sejak kecil seperti Rahmad Hamonangan Siregar

  3. Panggoaran “teknonim atau nama dari anak/cucu sulung”, yaitu nama tambahan yang diberikan masyarakat secara langsung kepada orang tua dengan memanggil nama anak atau cucu sulungnya. Misalnya, jika anak sulung pasangan suami-istri bernama Rahmad, maka si suami akan dipanggil Aya rahmad “Ayah Rahmad” dan istri akan dipanggil Umak Rahmad. Untuk nenek dipanggil Oppung Rahmad “nenek rahmad” 4. Goar-goar “nama julukan”, yaitu nama tambahan yang diberikan orang banyak kepada seseorang yang memiliki pekerjaan, keistimewaan, tabiat atau sifat tertentu. Misalnya si Mantari nama ini diberikan kepada seseorang karena memiliki keahlian untuk mengobati, ja naporas diberikan pada seseorang suka mencari ikan “haporas” di sungai, si tulmok seseorang dinamai dengan nama ini dengan tujuan untuk mengejek karena melihat bentuk fisiknya yang pendek dan gempal.

  5. Marga “ama keluarga/kerabat”, yaitu nama yang diberikan kepada seseorang dengan otomatis berdasarkan kekerabatan yang unilinear atau garis keturunan geneologis secara patrilineal dari satu nenek moyang. Misalnya Riski Siregar, Linda Harahap, Ilham Lubis, Emmi Nasution dan sebagainya, 6. Nama Pengharapan, biasanya nama ini merupakan namanya sebenarnya yang diberikan pada seseorang dengan harapan agar yang memakai nama tersebut seperti namanya, misalnya a.

  Rahmad Hamonangan, diharapkan yang menggunakan nama tersebut penuh dengan rahmad dan kemenangan, b.

  Borkat Rezky diharapkan yang menggunakan nama ini dilimpahi dengan rezeky yang berkat c.

  Saimarito, Saima Putri, Saima Putra, Romaito, diharapkan yang menggunakan nama tersebut mendapatkan ito (saudara laki-laki atau saudara perempuan) mungkin dalam satu keluarga hanya dikarunia anak perempuan saja atau anak laki-laki saja,

  7. Nama julukan yang diberikan karena memiliki kekhasan sifat atau kedekatan dengan sesuatu hal. D an didepan nama itu digunakan kata „ja‟, contoh; Ja Desa (diberi nama ja desa karena anak kepala desa), Ja Naporas 9 diberi nama ja naporas karena mata pencahariannya dengan mencari kan haporas), Ja Bolon (diber nama ja Bolon karena memiliki bentuk fisik b olon „besar‟), Ja Mangarab (diberi nama Ja Mangarab karena mirip dengan orang Arab. Namun demikian jika setelah nama julukan tersebut dipakai seseorang maka nama julukan tersebut tidak digunakan atau dipakai oleh orang lain yang memiliki kekhasan sifat yang sama.

  8. Nama berdasrkan bulan lahir. Penamaan sesuai dengan bulan lahir dapt dilihat dari beberapa nama masyarakat Angkola-mandailing, seperti Agus Rina diberikan pada anak perempuan yang lahir di bulan agustus. M. Anggi Januarsa diberikan karena lahir dibulan januari, Syawaluddin diberikan karena lahir di bulan Arab (bulan Syawal), Anggita Fitri diberikan karena lahir bulan hari raya idul fitri.

  Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 2, April 2014 B.

   Sopan Santun dalam Dalian Na Tolu

  Kesopansantunan pada masyrakat Angkola-Mandailing dapat dilihat dari sistem kekerabatan dalihan na tolu. Seperti disebutkan oleh Kridalaksana (2008:85) mendefinisikan honorfik sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan, yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain. Bentuk sapaan dalam masyarakat Angkola-mandailing dapat di lihat dalam partuturan.

  Dalian na tolu (makna harfiah: “tungku yang tiga”) mencerminkan sistem

  kekerabatan dalam melaksanakan aktivitas sosial-budaya. Konsep hubungan fungsional antar marga dalian na tolu (three pillars)- pihak kahanggi (barisan satu marga), pihak kedua mora (barisan mertua), dan ketiga anak boru (barisan menantu)-dalam masyarakat diterapkan karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sistem kekerabatan ini mempunyai tiga unsur dasar yang terdiri atas: 1.

  Kahanggi, yaitu keluarga laki-laki dari garis keturunan orang tua laki-laki 2. Anak boru, yaitu keluarga laki-laki dari suami adik/kakak perempuan yang sudah kawin

3. Mora, yaitu keluarga laki-laki dari saudara istri

  Ketiga unsur ini memegang peran penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Batak Angkola-Mandailing. Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur ini jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini saling memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya.

  Dalam sistem kekerabatan dalian na tolu, interaksi sosial antara mora dan anak

  

boru berlandaskan hak dan kewajiban masing-masing terhadap satu sama lain. Dalam hal

  ini, pihak anak boru mengemban fungsi sebagaisi tamba na urang siorus na lobi (si penambah yang kurang si pengurang yang lebih). Karena kewajibannya yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai na manorjak tu pudi juljul tu jolo (yang menerjang ke belakang, menonjol ke depan), yang maksudnya pihak anak boru ini sudah semestinya membela kepentingan dan kemuliaan pihak mora, atau dengan kata lain pihak anak boru harussangap marmora (menghormati dan memuliakan pihak mora). Di samping itu, anak

  

boru juga diibaratkan sebagai si tastas nambur (penghalau embun pagi pada semak

  belukar), yang artinya pihak anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak mora. Pihak anak boru berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat pihak mora). Sebaliknya, pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru (menyayangi dan mengasihi pihak anak boru) agar pihak anak boru senantiasa manjuljulkon morana.

  Kahanggi (saudara semarga) sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai persoalan hidup seperti perkawinan, kematian dan mencari nafkah, terlebih dahulu dimusyawarahkan dengankahanggi. Untuk hal ini, para orangtua senantiasa mem beri nasihat untuk manta-manat markahanggi (bersikap hati-hati terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang semarga.

  Pada suatu upacara adat, tiga status kekeluargaan ini dapat dijelaskan dalam hubungannya dengan suhut (tuan rumah) penyelenggara acara adat, yakni:

  1. Kahanggi: saudara laki-laki dari suhut beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif para istri mereka

  2. Anak boru: saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami mereka, beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki

  3. Mora: saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari suhut, serta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif istri-istri mereka

  Rendra Anriadi Siregar

  Apabila jaringannya diperluas-selain daripada tiga kelompok kekerabatan inti tersebut-maka dikenal juga kelompok kekerabatan tambahan, yakni mora ni mora dan pisang raut. Mora ni mora adalah kelompok mora dari mora dan pisang raut adalah anak boru ni anak boru (anak boru dari anak boru).

  Menurut filosofi orang Batak Angkola-Mandailing, seluruh tali-temali jaringannya dipersatukan oleh satu tali pegangan yang mengikat dari sudut puncaknya. “Tali pegangan” itulah olong yang menyatukan setiap kelompok kekerabatan dan anggota masyarakat dalam satu sistem sosial dalian na tolu yang secara simbolik dianalogikan sebagaimana layaknya sebuah “jala” seperti ditunjukkan pada gambar berikut: Sistem interaksi pada masya rakat Batak adalah Dalihan Na Tolu ”Tungku Nan Tiga”, yang terdiri atas dongan tubu (pihak semarga), boru (pihak penerima istri), dan hula-hula (pihak pemberi istri). Dalam interaksinya, setiap orang akan memiliki sikap berperilaku yang berbeda pada masing- masing pihak itu. Orang akan manat mardongan tubu ”hati- hati pada teman semarga”, elek marboru ”membujuk pada pihak penerima istri” , dan somba marhula- hula “hormat pada pihak pemberi istri”. Jelas bahwa nilai interaksional ini hanya bisa dipahami, bahkan dijelaskan, setelah memiliki dan memahami nilai identitas.

  Dalam masyarakat Angkola-mandailing beberapa bentuk sapaan atau partutuan yang ditemukan adalah: 1) : nenek

  Oppung 2) : ayah

  Aya 3) : ibu

  Umak 4) : abang

  Abang 5) : adik

  Anggi 6) : kakak

  Kakak 7) : saudara perempuan, sepupu

  Iboto 8) : abang laki dari ayah

  Tuok 9) : saudara perempuan ayah

  Bou 10) : suami dari bou

  Amangboru 11) : adik laki-laki ayah

  Udak 12) : istri dari adik laki-laki ayah

  Nanguda 13) : adek perempuan ibu

  Etek 14) : saudara laki dari ibu

  Tulang 15) : istri dari tulang

  Nantulang 16) : anak dari saudara perempuan

  Bere 17) : sapaan perempuan untuk istri saudara laki-laki

  Eda 18) : cucu

  Pahoppu 19) : anak perempuan dari saudara laki-laki dari ibu

  Boru tulang 20) : anak laki-laki dari saudara perempuan ayah

  Anak namboru Disamping dari tuturan tersebut masyarakat Angkola Mandailing mengenal satu peribahasa hancit mulak mangido hancitan dope mulak mangalehen „sakit meminta tidak diberi lebih sakit lagi kalau memberi tidak diterima‟. Artinya dari peribahasa tersebut ketika seseorang memberi dan pemberiannya itu tidak diterima, maka yang member tersebut akan merasa tersinggung. Akan lebih sopan kalau pemberian itu diterima saja meskipun pemberian itu tidak disukai.

  Religi

  Tanah batak dipengaruhi oleh beberapa agama, seperti Islam dan Protestan. Agama ini masuk pada Abad ke-19. Sibaso dan datu merupakan dua tokoh yang ditautkan dengan sistem kepercayaan sipelebegu (pemujaan roh-roh). Di masa lalu, sistem kepercayaan animisme ini dianut oleh kebanyakan orang Batak sebelum masuknya agama Islam.

  Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 2, April 2014

  Sibaso dibutuhkan oleh raja dan penduduk huta untuk melakukan hubungan komunikasi dengan alam gaib atau roh leluhur karena sibaso merupakan medium yang melalui suatu upacara ritual tertentu dapat dirasuki oleh roh leluhur untuk memberi petunjuk guna mengatasi berbagai macam bala bencana (malapetaka) seperti kemarau panjang dan penyakit menular yang mewabah.

  Upacara pemanggilan roh-yang sangat dikutuk oleh para ulama Islam-disebut pasusur begu atau marsibaso. Menurut tradisi sipelebegu, upacara tersebut dilakukan untuk meminta pertolongan roh leluhur buat mengatasi suatu keadaan yang sulit seperti musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk. Sampai saat ini, datu masih memiliki kedudukan dan peran penting dalam masyarakat. Datu dikenal dan dibutuhkan sebagai tradisional curer (penyembuh tradisional) atau sebagai medicine man (dukun untuk mengobati).

  Di setiap huta biasanya terdapat beberapa orang datu. Ada datu yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, ada pula datu yang menjurus kepada spesialisasi penyembuhan penyakit-penyakit tertentu Datu rasa khusus untuk menyembuhkan orang yang terkena rasa (racun). Datu ipon khusus menyembuhkan orang yang sedang mengalami sakit gigi. Dan datu natarsilpuk khusus untuk mengobati orang yang mengalami sakit karena terkilir atau patah tulang.

  Di masa lalu, kedudukan dan peran datu lebih luas daripada yang diuraikan di sini karena seorang datu antara lain dapat menentukan waktu-waktu yang tepat dan baik untuk turun ke sawah, menuai padi, pelaksanaan upacara adat perkawinan maupun untuk memasuki rumah baru.

  KESIMPULAN

  Subsuku Angkola –Mandailing berasal dari wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan hingga tahun 2008 mengalami pemekaran wilayah menjadi 5 kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Kota Padang Sidempuan (Pasid), Kabupaten Padang Lawas (Palawas), Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), dan Kabupaten Mandailing Natal (Madina).

  Dalam masyarakat Angkola-Mandailing ada beberapa jenis nama yaitu: Pranama,

  

Goar sihadakdanahon”nama sebenarnya/jejak lahir”, Panggoaran “teknonim atau nama

  dari anak/cucu sulung”, Goar-goar “nama julukan”, Marga “nama keluarga/kerabat”, nama pengharapan dan nama yang diberikan sesuai dengan bulan kelahiran.

  Kesantunan masyarakat Angkola-Mandailing dapat dilihat dalam penggunan kata honorifik yang disebut dengan partuturan. Parturan dalam masyrakat Angkola- mandailing menjadi satu hal yang sangat dinjunjung tinggi dan sangat bergam. Kesantunan masyrakat Angkola-Mandailing terlihat jelas dalam konsep dalihan na tolu.

  Tanah batak dipengaruhi oleh beberapa agama, seperti Islam dan Kristen. Sebelum ajaran islam masuk ke wilayah tapanuli Selatan masyarakat Angkola-Mandailing menganut kepercayaan animisme sipelebegu yaitu pemujaan terhadap roh-roh.

  DAFTAR PUSTAKA Harimurti Kridalaksana. (2008). Kamus linguistik (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia.

  Hooley, Bruce A. 1972. „Shorter Communications: The Buang naming system‟ dalam The Journal of Polynesian Society, Vol. 81, hal 500-506. Kuntjaraningrat. 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta. PT. Aksara Baru. Lyons, John. 1995. Linguistic Semantics: an Introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Sibarani, Robert. 1993. Pemberian Nama Sebagai Awal Pemunculan Linguistik. Makna Nama dalam Bahasa Nusantara. Bandung: PT. Bumi Siliwangi.

  . 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda Sudikan, Setya Yuwana. 2000. Metode Penelitian Kebudayaan. Unesa Unipress/ Citra Wacana : Surabaya.

  Sugiri, Eddy. 1997. Makna dan Nilai Sebuah Nama Bagi Masyarakat Jawa, Media Informasi Ilmiah. Surabaya: Universitas Muhamadiyah.

  , 2003 perspektif budaya perubahan nama diri bagi wni keturunan tionghoa di wilayah pemerintah kota surabaya dalam jurnal BAHASA DAN SENI, Tahun 31,

  Nomor 1, hal 54-68.

  Tarigan, Raja Malem. 2005. Budaya Batak Dalam Perubahan Multidimensi, Bandung: ITB Press. (Sebuah Makalah). Ningrat, Kountjara. 2004. Manusia dan Kebudayaan Indonesia.Jakarta: Djambatan.

  Rendra Anriadi Siregar

Dokumen yang terkait

KATA PENGANTAR - Pengaruh Modal Kerja Dan Likuiditas Terhadap Profitabilitas Perusahaan Makanan Dan Minuman Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2013

0 2 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dismenore 2.1.1.Definisi. - Hubungan Pengetahuan Remaja Putri Tentang Dismenore Dengan Motivasi Untuk Periksa Ke Pelayanan Kesehatan Di Smu YPSA- Medan

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Percaya Diri dengan Pengendalian Diri (SelfControl) Remaja pada Siswa/i di SMA Negeri 17 Medan

0 0 30

LINGUISTIK DAN PROBLEMA TRANSLASI Muhammad Imaduddin imaduddin8888yahoo.co.id Abstrak - Linguistik dan Problema Translasi

0 1 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Peran Perawat dalam Memberikan Asuhan Keperawatan pada Anak di Ruang Inap Anak RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 24

ASPEKTUALITAS DALAM BAHASA JAWA DI DESA BANDAR TENGAH KECAMATAN BANDAR KHALIPAH Nanda Dwi Astri nandadwi_astriyahoo.co.id Abstrak - Aspektualitas dalam Bahasa Jawa di Desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah

0 0 15

AN ANALYSIS OF THE SECOND YEAR STUDENTS AT SMP SWASTA MUHAMAMDIYAH 5 MEDAN IN USING PASSIVE VOICE Nasir Bintang bintang.nasiryahoo.co.id Abstract - An Analysis of The Second Year Students at SMP Swasta Muhamamdiyah 5 Medan In Using Passive Voice

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Kualitas Kehidupan Kerja dengan Komitmen Afektif Perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 1 20

PROSES TIPOLOGI BAHASA MANDAILING Nurainun Hasibuan inunhasibuangmail.com Abstrak - Proses Tipologi Bahasa Mandailing

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014

0 0 39