BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Penyakit Hirschsprung - Karakteristik Bayi Yang Menderita Penyakit Hircshsprung Di RSUP H. ADAM MALIK Kota Medan Tahun 2010-2012

TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Definisi Penyakit Hirschsprung

  Penyakit Hirschsprung juga disebut dengan aganglionik megakolon kongenital adalah salah satu penyebab paling umum dari obstruksi usus neonatal (bayi berumur

  15

  0-28 hari). Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit dari usus besar (kolon) berupa gangguan perkembangan dari sistem saraf enterik. Pergerakan dalam usus besar didorong oleh otot. Otot ini dikendalikan oleh sel-sel saraf khusus yang disebut sel ganglion. Pada bayi yang lahir dengan penyakit Hirschsprung tidak ditemui adanya sel ganglion yang berfungsi mengontrol kontraksi dan relaksasi dari otot polos dalam usus distal. Tanpa adanya sel-sel ganglion (aganglionosis) otot-otot di bagian usus besar tidak dapat melakukan gerak peristaltik (gerak mendorong keluar

  17,19 feses).

Gambar 2.1 Foto penderita penyakit Hirschsprung berumur 3 hari

  2.2 Embriologi Kolon

  Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik bermigrasi dari krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan ke arah saraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam minggu kedua belas. Migrasi berlangsung mula-mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya sel-sel ini menuju ke dalam pleksus submukosa. Sel-sel krista neural dalam migrasinya dibimbing oleh berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf yang berkembang lebih awal daripada sel-sel krista neural.

  Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam hialuronik, yang membentuk jalan bagi migrasi sel neural. Serabut saraf berkembang ke bawah menuju saluran gastrointestinal dan kemudian bergerak menuju intestine, dimulai dari

  11 membran dasar dan berakhir di lapisan muskular.

  Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon kiri berasal dari usus belakang. Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita yang disebut taenia yang berukuran lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantong kecil) dan biasa disebut haustra (bejana). Kolon tranversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan dilengkapi dengan mesentrium.

  Gangguan rotasi usus embrional dapat terjadi dalam perkembangan embriologik sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesentrium yang lengkap. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesentrium yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya

  20 yang sempit. Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), namun semakin dekat dengan anus diameternya pun semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus.

  Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan sigmoid. Kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut dengan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian utama usus yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis

  21 ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci).

  Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air dan elektrolit. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah terdehidrasi sampai berlangsungnya defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar 800 ml air per hari dengan berat akhir feses yang dikeluarkan adalah 200 gram

  21,22 terabsorpsi, bakteri, sel epitel yang terlepas, dan mineral yang tidak terabsorpsi.

Gambar 2.2 Anatomi Usus besar (Kolon)

2.4 Epidemiologi

2.4.1 Distribusi dan Frekuensi

  Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran hidup dan merupakan penyebab tersering obstruksi saluran cerna bagian bawah pada neonatus.

  Penyakit yang lebih sering ditemukan memperlihatkan predominasi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Insidens penyakit Hirschsprung bertambah pada kasus-kasus familial yang rata-rata mencapai sekitar 6% (berkisar antara 2-18%). Sementara untuk distribusi ras setara untuk bayi berkulit putih dan

  23,24 Amerika keturunan Afrika. Pakistan menunjukkan proporsi penyakit Hirschsprung lebih tinggi pada anak laki- laki (70,59% ; 12 dari 17 orang) daripada anak perempuan (29,41% ; 5 dari 17 orang). Penelitian tersebut juga menunjukkan proporsi penyakit Hirschsprung lebih banyak ditemukan pada umur < 2 tahun (58,83% ; 10 dari 17 orang) dibandingkan

  25 dengan umur > 2 tahun (41,17% ; 7 dari 10 orang).

  Berdasarkan penelitian Hidayat dalam kurun waktu 3 tahun (2005-2008) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo terhadap 28 kasus penyakit Hirschsprung menunjukkan proporsi jenis kelamin laki-laki adalah 42,85% (12 dari 28 kasus) dan

  26 pada perempuan adalah 57,15% (16 dari 28 kasus).

  Menurut penelitian Kartono yang menangani penyakit Hirschsprung di RS Cipto Mangunkusumo memperlihatkan proporsi penyakit Hirschprung lebih banyak ditemukan pada pasien berumur 0-1 bulan yaitu sebesar 29,71% (52 dari 175 orang) sedangkan untuk umur 1 bulan-1 tahun sebesar 22,85% (40 dari 175 orang). Kartono juga mencatat penderita penyakit Hirschsprung sebanyak 131 orang (74,85%)

  11 berjenis kelamin lelaki sedangkan perempuan yang berjumlah 44 orang (25,15%).

  Hasil penelitian Sari di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2005-2009 tercatat ada 50 orang anak yang menderita penyakit Hirschsprung dan dijadikan sampel penelitian. Dari 50 orang sampel tersebut, distribusi tertinggi pada kelompok usia 0-2 tahun yaitu sebanyak 40 orang (80%). Ada 36 orang (72%) berjenis kelamin laki-laki dan 14 orang (28%) berjenis kelamin perempuan yang tercatat menderita penyakit

27 Hirschsprung.

2.4.2.1 Faktor Bayi

  2.4.2.1.1 Umur Bayi

  Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur yang paling rentan terkena penyakit Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung merupakan salah satu

  15 penyebab paling umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28 hari).

  2.4.2.1.2 Riwayat Sindrom Down

  Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang paling umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah Sindrom Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung merupakan penderita sindrom Down. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada tambahan salinan kromosom 21. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah, cacat jantung

  28,29 bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.

2.4.2.2 Faktor Ibu

2.4.2.2.1 Umur

  Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Bayi dengan Sindrom Down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause.

  Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo (impal).

  Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau incest. Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat berat dan

  30 memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan kongenital.

2.5 Etiologi

  Sel neuroblas bermigrasi dari krista neuralis saluran gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya mengikuti serabut-serabut vagal yang telah ada ke kaudal.

  Penyakit Hirschsprung terjadi bila migrasi sel neuroblas terhenti di suatu tempat dan tidak mencapai rektum. Sel-sel neuroblas tersebut gagal bermigrasi ke dalam dinding

  31 usus dan berkembang ke arah kraniokaudal di dalam dinding usus.

  Mutasi gen banyak dikaitkan sebagai penyebab terjadinya penyakit Hirschsprung. Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia

  endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung. Gen lain yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial yang diturunkan dari 32 faktor gen yaitu gen endhotelin-B dan gen endothelin -3.

Gambar 2.3 Dilatasi kolon akibat tidak ditemukannya sel saraf pada bagian akhir usus

  Pleksus Myenterik (Auerbach) dan Pleksus Submukosal (Meissner)

2.6 Patofisiologi

  Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada pleksus submukosa (Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen kolon atau lebih. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik), yang menyebabkan akumulasi/ penumpukan isi usus dan distensi usus yang berdekatan dengan kerusakan (megakolon). Selain itu, kegagalan sfingter anus internal untuk berelaksasi berkontribusi terhadap gejala klinis adanya

  12 obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan, dan gas.

  Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang aganglionik mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus fungsional. Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan pelebaran dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.

  Penyakit Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi kraniokaudal pada prekursor sel ganglion sepanjang saluran gastrointestinal antara usia kehamilan distensi pada dinding usus, yang berkontribusi menyebabkan enterokolitis (inflamasi pada usus halus dan kolon), yang merupakan penyebab kematian pada bayi/anak

  8 dengan penyakit Hirschsprung.

  2.7 Gambaran Klinis

  Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus, sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat

  11 berkurang ketika mekonium dapat dikeluarkan segera.

  Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus dan dapat disebabkan oleh kelainan lain seperti atresia ileum. Muntah yang berwarna hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan lain dengan gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum, enterokolitis netrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterine. Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung yang dapat menyerang pada usia berapa saja namun yang paling tinggi saat usia dua-empat minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia satu minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feses berbau busuk, dan

  12,18 disertai demam. Sampai pada saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat dilakukan dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan tetapi untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan

  33 asam basa tubuh.

  Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi definitif.

  Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Tahapan kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang ganglionik dengan bagian bawah rektum.

  Dikenal beberapa prosedur tindakan definitif yaitu prosedur Swenson’s sigmoidectomy, prosedur Duhamel, prosedur Soave’s Transanal Endorectal Pull-

  

Through , prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior, prosedur Laparoskopic

  11 Pull-Through , prosedur dan prosedur miomektomi anorektal.

  Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan maka sejumlah tindakan praoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi dengan pemberian cairan intravena, antibiotik, dan pemasangan pipa lambung. Apabila dilakukan secara agresif, pemberian antibiotik broad spektrum secara ketat kemudian

  

33

segera dilakukan tindakan dekompresi usus.

  11,33

2.9 Komplikasi

  Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi sfingter.

  Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis akibat iskemia mukosa diatas segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus.

  Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi obstruksi usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke mukosa, sub mukosa, lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia dinding usus dapat berlanjut yang dari mukosa, dan dapat menyebabkan enterokilitis.

  Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi. Kejadian enterokolitis berdasarkan prosedur operasi yang dipergunakan Swenson sebesar 16,9%, Boley-Soave sebesar 14,8%, Duhamel sebesar 15,4% dan sebesar Lester Martin 20%. Gambaran klinis distensi abdomen ada sebanyak 29 orang, diare sebanyak 38 orang, darah pada feses sebanyak 2 orang , muntah sebanyak 31 orang, dan panas ada sebanyak 22 orang.

2.10 Prognosis

  Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat bergantung pada diagnosis awal dan pendekatan operasi. Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar

  23,24 20%.

  2.11.1 Pencegahan Primer Pencegahan primer pada penderita HIrschsprung dapat dilakukan dengan cara: a.

  Health Promotion Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang disebabkan oleh pengaruh genetik yang tidak terlepas dari pola konsumsi serta asupan gizi dari ibu hamil sehingga ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan disarankan berhati- hati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alcohol yang dapat memberikan pengaruh terhadap kelainan tersebut. Pada tahap health promotion ini, sebagai pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah perlunya perhatian terhadap pola konsumsi sejak dini terutama sejak masa awal kehamilan. Menghindari mengkonsumsi makanan yang bersifat karsinogenik, mengikuti penyuluhan mengenai konsumsi gizi seimbang serta olah raga dan istirahat yang cukup b.

  Spesific Protection Pada tahap ini pencegahan dilakukan walaupun belum dapat diketahui adanya kelainan maupun tanda-tanda yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung.

  Pencegahan lebig mengarah pada perlindungan terhadap ancaman agent penyakitnya misalnya melakukan akses pelayanan Antenatal Care (ANC) terutama pada skrining ibu hamil beresiko tinggi, imunisasi ibu hamil, pemberian tablet tambah darah dan pemeriksaan rutin sebagai upaya deteksi dini obstetric dengan komplikasi.

  2.11.2 Pencegahan Sekunder

  Pencegahan sekunder ditujukan guna mengetahui adanya penyakit Hisrchsprung dan menegakkan diagnosis sedini mungkin. Keterlambatan diagnosis enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis. Pada tahun 1946 Ehrenpreis menekankan bahwa diagnosa penyakit Hirschsprung dapat ditegakkan pada masa neonatal.

  Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung. Dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rektum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian besar kasus dapat

  11,12 ditegakkan.

  11

  2.11.2.1 Anamnesis

  Adapun tanda-tanda yang dapat dilihat pada saat melakukan anamnesis adalah adanya keterlambatan pengeluaran mekonium pertama yang pada umumnya keluar > 24 jam, muntah berwarna hijau, adanya obstipasi masa neonatus. Jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat. Selain itu perlu diketahui adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia dua minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi.

  11

  2.11.2.2 Pemeriksaan Fisik Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi.

  Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan tampak perut anak sudah kembali normal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui bau dari feses, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.

  11,12

  Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penting pada penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema barium merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi penyakit Hirschsprung secara dini pada neonatus. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi masih sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.

  Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa penyakit Hirschsprung adalah enema barium, dimana akan dijumpai tiga tanda khas yaitu adanya daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi, terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi, serta terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

  Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feses ke arah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang tidak mengalami Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.

Gambar 2.4 Foto polos abdomen pada penderita penyakit HirschsprungGambar 2.5 Foto barium enema pada penderita penyakit Hirschsprung

  

11

2.11.2.4 Pemeriksaan Patologi Anatomi

  Diagnosis patologi-anatomik penyakit Hirschsprung dilakukan melalui prosedur biopsi yang didasarkan atas tidak adanya sel ganglion pada pleksus myenterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Di samping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf (parasimpatik). Akurasi immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut saraf parasimpatik.

  Biasanya biopsi hisap dilakukan pada tiga tempat yaitu dua, tiga, dan lima sentimeter proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, maka dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi.

  8,11

2.11.2.5 Manometri Anorektal

  Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif yang mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan sfingter anorektal. Dalam praktiknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki dua komponen dasar yaitu transuder yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti poligraph atau komputer.

  Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah hiperaktivitas pada segmen dilatasi, tidak adanya kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik, sampling reflex tidak berkembang yang artinya tidak dijumpainya relaksasi sfingter interna setelah distensi rektum akibat desakan feses atau tidak adanya relaksasi spontan.

  (a) (b)

Gambar 2.6 (a) Hasil pemeriksaan manometri anorektal pada pasien tanpa penyakit

  Hirschsprung sedangkan gambar 2.6 (b) menunjukkan hasil pemeriksaan manometri anorektal pada penderita penyakit Hirschsprung

2.12 Kerangka Konsep

  Adapun kerangkan konsep penelitian karakteristik bayi yang mengalami penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012, sebagai berikut :

  

Karakteristik Bayi yang Mengalami Penyakit Hirschsprung

Sosiodemografi

1. Umur 2.

  Jenis Kelamin 3. Daerah Asal 4. Asal Rujukan

  Status Rawatan 1.

  Keluhan Utama 2. Gambaran Klinis 3. Pemeriksaan Penunjang 4. Penatalaksanaan Medis 5. Komplikasi 6. Sumber Biaya 7. Lama Rawatan Rata-rata 8. Keadaan Sewaktu Pulang