FENOMENA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL K. pdf

0

FENOMENA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL KEPALA SEKOLAH
DALAM PENGELOLAAN SEKOLAH MELALUI PENDEKATAN
KECERDASAN EMOSIONAL

S. Adi Suparto*

Abstrak
Upaya mengembangkan organisasi sekolah yang mantap sering menghadapi
persoalan konflik, yang disebabkan oleh keberagaman latar belakang komunitas
sekolah, aturan-aturan yang sangat ketat, beban kerja yang berat, karakter
kepemimpinan yang otoriter, atau adanya aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan
baru sekolah. Konflik merupakan suatu kewajaran dan proses dinamis dalam
kehidupan sekolah sebagai organisasi, yang bisa dikelola untuk meningkatkan
efektivitas kerja organisasi sekolah. Manajemen konflik berbasis kecerdasan
emosional merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan kepala sekolah
dalam mengelola konflik untuk tujuan yang konstruktif.
Kata kunci : kepemimpinan transformasional, manajemen konflik, pendekatan
kecerdasan emosional.


1. Pendahuluan
Kepemiminan merupakan proses
bagi seorang individu mempengaruhi
sekelompok individu untuk mencapai suatu
tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin
yang efektif, seorang kepala sekolah harus
dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah
yang dipimpinnya melalui cara-cara yang
positif untuk mencapai tujuan pendidikan di
sekolah Secara sederhana kepemimpinan
transformasional dapat diartikan sebagai
proses
untuk
mengubah
dan
mentransformasikan individu agar mau
berubah dan meningkatkan dirinya, yang
didalamnya
melibatkan
motif

dan
pemenuhan kebutuhan serta penghargaan
terhadap para bawahan.

*

Dosen FKIP-Universitas Terbuka UPBJJ Surabaya

Konflik oleh sebagian besar orang
dianggap selalu berdampak negatif.
Padahal, dalam kondisi tertentu konflik
perlu dimunculkan untuk kepentingan
perubahan dan pengembang- an organisasi
sekolah. Oleh karena itu, pengetahuan
tentang teknik dan cara
mengelola
konflik
organisasi
secara efektif
sangatlah penting dikuasai oleh para

kepala sekolah.

1

Dalam sebuah organisai, pekerjaan
individual maupun sekelompok pekerja saling
terkait dengan pekerjaan pihak-pihak lain.
Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah
organisasi, penyebabnya selalu diidentifikasikan
sebagai komunikasi yang kurang baik.
Demikian pula ketika suatu keputusan yang
buruk dihasilkan, komunikasi yang tidak efektif
selalu menjadi kambing hitam.
Konflik adalah fenomena yang serba
hadir (omni present), baik itu konflik orangperorang
maupun
konflik
masyarakat.
Sesungguhnya konflik itu eksis di dalam
kehidupan mikro dan makro sosiologis

masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi
kekerasan hal tersebut merupakan fenomena
yang lumrah, namun apabila berpotensi
terjadinya kekerasan akan berdampak negatif
terhadap bangsa dan negara. Konflik juga
dipahami sebagai suatu mekanisme untuk
menyempurnakan proses integrasi nasional. Kini
berbagai gelombang konflik baru tengah
melanda komunitas internasional, regional,
nasional, dan lokal, termasuk Indonesia. Sejalan
dengan itu muncul pula teori-teori tentang
penyelesaian konflik yang berasal dari luar dan
dalam negeri yang tidak jarang selalu digunakan
sebagai bahan referensi pada berbagai diskusi,
seminar dan analisis konflik. Namun mengimplementasikannya tidaklah mudah karena
variabel faktor-faktor lain sulit diprediksi.
Dari perspektif perkembangan dan
perubahan dalam bidang manajemen pendidikan
persekolahan seperti Manajemen Berbasis
Sekolah

(MBS),
timbulnya
perbedaanperbedaan pendapat, keyakinan-keyakinan serta
ide-ide tentang konsep dan implementasinya di
tingkat praksis organisasi sekolah sangat
rasional dan wajar bila kemudian melahirkan
konflik. MBS yang berarti terjadi pemindahan
kewenangan ke tingkat sekolah, tidak hanya
akan menambah variasi antarsekolah dan/atau
antardaerah dalam penyelenggaraan mutu proses
pembelajaran, karena kemampuan fasilitas dan
SDM yang berlainan.
Di
samping
itu,
pemindahan
kewenangan juga dapat menimbulkan potensi
konflik baru antarguru dan antara guru dengan
kepala sekolah. Hal ini dapat muncul karena
pengelolaan pendidikan di sekolah makin

transparan dan efisien serta efektif, sehingga
baik antarguru atau antara guru dengan kepala
sekolah terjadi kompetisi. Tumbuh berbagai

wacana baru tentang pendidikan di sekolah.
Bahkan potensi itu juga terjadi pada level antara
sekolah dan masyarakat sejalan dengan efek
akuntabilitas dan rentang pengawasan (span of
control) semakin pendek (Tim Pengembangan,
2007).
Apalagi, komunitas sekolah memiliki
hubungan dan kerjasama yang begitu lama,
intim, dan erat satu sama lain, kiranya cukup
beralasan untuk mengasumsikan bahwa seiring
dengan perjalanan waktu, niscaya akan timbul
perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka
(Wexley & Yukl, 1984; Winardi, 1994). Akan
tetapi, apabila konflik menjadi semakin
meningkat dan meluas. Bukan mustahil akan
berpengaruh negatif terhadap efektivitas kerja

organisasi, bahkan bisa terjadi situasi keos.
Dalam situasi inilah, peran kepala
sekolah sebagai mediator situasi konflik sangat
penting. Fungsi kepala sekolah sebagai
”manager ” perlu memiliki kemampuan
mengelola situasi konflik antarpersonal sekolah.
Kepemimpinan transformasional dalam
manajemen konflik melalui pendekatan
kecerdasan emosional, sangat cocok digunakan
oleh kepala sekolah pada satuan pendidikan
dasar, dengan intensitas konflik-konflik karena
faktor-faktor psikologis.
Tulisan ini mengkaji konflik-konflik
yang terjadi di tingkat organisasi dan
persekolahan pada jenjang satuan pendidikan
dasar. Apa dan bagaimana peran kepala sekolah
sebagai pemimpin transformasional dalam
manajemen konflik melalui berdasarkan
pendekatan kecerdasan emosional.
2. Konflik sebagai Realitas Organisasi

Konflik adalah adanya situasi atau
keadaan oposisi atau pertentangan pendapat,
sikap, tindakan di antara orang-orang,
kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi
(Schermerhorn, 1986). Konflik dapat terjadi
antarindividu,
antarkelompok,
dan
antarorganisasi, karena berbagai sebab.
Misal apabila dua orang atau lebih
individu masing-masing berpegang pada
pandangan yang sama sekali bertentangan satu
sama lain, tidak pernah berkompromi karena
masing-masing menarik kesimpulan berbedabeda, atau mereka cenderung bersifat tidak
toleran, maka dapat dipastikan akan timbul
konflik. Dalam suatu organisasi, termasuk
sekolah sebagai salah satu bentuk organisasi

2


sosial, juga tak bisa lepas dari persoalan
konflik.
Dilihat dari jenisnya, konflik dibedakan
menjadi konflik substantif (substantive conflict)
dan konflik emosional (emotional conflict)
(Walton, 1989). Konflik substantif meliputi
ketidaksesuaian paham tentang hal-hal seperti:
tujuan-tujuan, alokasi sumber-sumber daya,
distribusi-distribusi
imbalan-imbalan,
kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur
serta penugasan pekerjaan dalam suatu
organisasi. Sedangkan konflik emosional timbul
karena
perasaan-perasaan
marah,
ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut dan
sikap menentang, maupun bentrokan-bentrokan
kepribadian antarpribadi dalam suatu organisasi
(Walton, 1989).

Konflik juga merupakan proses
pembelajaran,
melalui
konflik
seorang
pimpinan setidaknya akan memperoleh berbagai
hal, yaitu: (a) pemahaman mengapa konflik bisa
terjadi dalam suatu organisasi, (b) pengalaman
bagaimana suatu organisasi mengambil
tindakan untuk mengatasi konflik, (c) menilai
tindakan yang diambil suatu organisasi untuk
menyelesaikan konflik, (d) membuat solusi
untuk menyelesaikan konflik di tingkat
organisasi, (e) mengembangkan kesadaran
terhadap keberbedaan, (f) pemahaman bahwa
konflik merupakan realitas kehidupan seharihari dalam kehidupan organisasi, (g)
mengembangkan kemampuan berfikir kritis,
dan (h) melatih keterampilan sosial dan
keterampilan emosional.
Dengan demikian, konflik memiliki sisi

destruktif dan sisi konstruktif (Robbins, 1974;
Yukl, 1994). Sisi destruktif dari konflik, adalah
timbulnya kerugian bagi individu-organisasi,
atau
individu-individu,
dan
organisasiorganisasi. Konflik destruktif terjadi apabila dua
orang karyawan tidak dapat bekerjasama karena
terjadi sikap permusuhan individu-individu
yang ada di antara mereka. Konflik ini
berdampak negatif terhadap kelangsungan
hidup individu dan atau organisasi.
Pada
tingkat
individu,
konflik
destruktif, akan merugikan orang-orang yang
berkonflik seperti: perasaan cemas atau
tercekam, intensitas komunikasi yang berkurang
drastis, persaingan yang makin menghebat, dan
perhatian yang makin menyusut terhadap tujuan
bersama. Pada tingkat kolektif atau organisasi,
konflik-konflik destruktif dapat menyebabkan

berkurangnya efektivitas individu-individu dan
kelompok-kelompok, karena terjadi gejala
menyusutnya produktivitas dan kepuasan.
Sisi konstruktif dari konflik adalah
terciptanya
keuntungan-keuntungan
bagi
individu dan atau organisasi-organisasi yang
terlibat konflik, antara lain: (1) peningkatan
kreativitas dan inovasi. Akibat konflik individuindividu semakin berupaya untuk melaksanakan
pekerjaan atau berperilaku dengan cara-cara
yang lebih baik; (2) peningkatan upaya . Konflik
dapat mengatasi perasaan apatis dan dapat
menyebabkan orang-orang yang berkonflik
dapat bekerja lebih keras. (3) penguatan ikatan
antaranggota
kelompok.
Konflik
dapat
memperkuat identitas kelompok, dan komitmen
untuk mencapai tujuan bersama; dan (4)
peredaan ketegangan. Konflik dapat membantu
meredakan ketegangan-ketegangan antarpribadi
(Goleman, 1999).
Sungguhpun setiap konflik memiliki
sisi konstruktif dan destruktif, namun
pandangan dan sikap
pemimpin terhadap
konflik berbeda. Ada pemimpin yang
memandang konflik secara positif, ada pula
yang memandang konflik secara negatif.
Perbedaan pandangan dan sikap pemimpin
terhadap konflik, setidaknya bergantung pada
tiga aspek, yaitu: (1) karakteristik organisasi
yang dipimpin, (2) karakter dan budaya
kepemimpinan, dan (3) intensitas konflik yang
terjadi.
Dari sisi karakteristik organisasi yang
dipimpin, positif atau negatifnya sikap
pemimpin terhadap konflik dapat dibedakan
antara pemimpin dalam organisasi tradisional
dan pemimpin dalam organisasi modern.
Dari sisi karakter kepemimpinan,
konflik terjadi karena ketidakpuasan bawahan
terhadap efektivitas kepemimpinan organisasi.
Studi Zamralita dan Ninawati (2003) misalnya,
menemukan bahwa kepuasaan kerja bawahan
berkorelasi sangat signifikan dengan efektivitas
kepemimpinan organisasi. Kepemimpinan yang
efektif bagi tercapainya kepuasan bekerja
bawahan terdiri dari empat dimensi yaitu:
menjadi komunikator yang efektif, orientasi
tugas dan hubungan, mendelegasikan tugas dan
set
challenging
goals.
Artinya,
jika
kepemimpinan efektif, maka kepuasan kerja
akan semakin meningkat. Sebaliknya, jika
kepemimpinan tidak efektif, maka kepuasan
kerja sulit dicapai dan akan melahirkan stres

3

yang berpotensi besar terjadinya konflik.
Rostiana dan Halim (2003a) juga melaporkan
bahwa ada korelasi yang signifikan antara
dimensi kepribadian conscientiousness dari
model lima faktor (biasa disebut The Big Five)
dengan gaya menangani konflik collaborating
pada manajer.
3. Konflik-konflik di Sekolah:
Kepemimpinan dan Teknik Pengendalian
Konflik-konflik yang terjadi di sekolah,
seperti juga konflik-konflik yang terjadi di
masyarakat, adalah masalah yang menyangkut
manusia dalam organisasi. Seluruh masalah
yang menyangkut segi manusia itu adalah rumit
dan apabila tidak dibina dengan baik, akan
merusak organisasi. Sebaliknya bila ditangani
secara saksama, akan merupakan faktor yang
esensial dalam tujuan organisasi.
Konflik-konflik yang terjadi di sekolah
dapat dibedakan menjadi: (1) konflik di dalam
individu sendiri; (2) konflik antarpribadi; (3)
konflik antarkelompok; dan (4) konflik
antarorganisasi (Goleman, 1995; Yukl, 1994).
Konflik di dalam individu, terjadi pada
individu guru yang mendapatkan beban
berlebihan atau apabila kita menerima
terlampau banyak tanggung jawab dari sekolah.
Apabila individu tersebut tidak dapat
menghadapinya, maka akan terjadi stress. Stress
merupakan suatu produk tambahan yang kerap
kali muncul pada konflik di dalam individu
sendiri (Goleman, 1987).
Konflik antarkelompok, terjadi antara
kelompok-kelompok guru (klik) di sekolah.
Konflik antarkelompok guru ini bisa terjadi
karena perbedaan atau pertentangan usia atau
senioritas, idealisme, kepentingan, kebutuhan,
aliansi politik, dan sebagainya. Sedangkan
konflik
antarorganisasi,
terjadi
antara
organisasi-organisasi
intrasekolah,
seperti
antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi
siswa yang lain, antara Dewan Guru dengan
Komite Sekolah, dll. Pada umumnya konflik
antarorganisasi ini karena adanya perbedaan
atau persaingan antarorganisasi dalam mencapai
tujuannya masing-masing.
Konflik-konflik
karena
faktor
emosional bisa disebabkan oleh perasaanperasaan marah, ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut dan sikap menentang, maupun
bentrokan-bentrokan kepribadian antarpribadi
di sekolah, seperti guru sering datang terlambat

dan pulang sebelum waktunya, sering tidak
masuk dengan berbagai macam alasan, acuh tak
acuh terhadap lingkungan kerja, suka
mengasingkan diri dari pergaulan, suka
membuat masalah dengan sesama guru, berpikir
agresif, pemogokan, merusak peralatan sekolah,
dan atau melakukan pencurian secara kecilkecilan, merupakan persoalan-persoalan di
sekolah yang mengarah pada terjadinya situasi
konflik dan harus dihadapi oleh kepala sekolah
(Owens, 1991).
Untuk meningkatkan kinerja setiap
anggota komunitas sekolah, salah satu upaya
yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah
adalah melakukan manajemen konflik. Artinya,
potensi destruktif konflik terhadap pencapaian
tujuan sekolah diminimumkan, dan diarahkan
pada potensi konstruktif konflik, yaitu
meningkatkan produktivitas organisasi sekolah.
Untuk itu, kepala sekolah sebagai manajer harus
mampu mengatur agar semua potensi sekolah
dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat
dilakukan jika kepala sekolah mampu
melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan
baik,
meliputi
(1)
perencanaan;
(2)
pengorganisasian; (3) pengarahan; dan (4)
pengawasan.
Kepala sekolah perlu mencurahkan
banyak waktu untuk menghadapinya. Goleman
(1995) mengemukakan bahwa untuk menangani
situasi-situasi
tersebut,
maka
upaya
mengembangkan
keterampilan-keterampilan
manajemen konflik adalah sangat penting.
Implementasi MBS misalnya, sangat erat
kaitannya dengan signifikansi peranan kepala
sekolah. Kewenangan yang diberikan kepada
sekolah
mengakibatkan
kepala
sekolah
memiliki peranan yang krusial dan kuat dalam
keputusan politik pendidikan di sekolah sebagai
akibat dari kompleksitas manajemen organisasi
sekolah dan tumbuhnya etos kerja baru dalam
sekolah (Tim Pengembang, 2007).
4. Kepemimpinan Transformasional:
Manajemen Konflik melalui Pendekatan
Kecerdasan Emosional
Terdapat empat faktor kepemimpinan
tranformasional, yaitu : idealized influence,
inspirational
motivation,
intellectual
stimulation, dan individual consideration.(
Northouse, Peter G. 2001).
(1) Idealized influence : kepala sekolah
merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan

4

sebagai
panutan
bagi
guru
dan
karyawannya, dipercaya, dihormati dan
mampu mengambil keputusan yang terbaik
untuk kepentingan sekolah.
(2) Inspirational motivation: kepala sekolah
dapat memotivasi seluruh guru dan
karyawannnya untuk memiliki komitmen
terhadap visi organisasi dan mendukung
semangat team dalam mencapai tujuantujuan pendidikan di sekolah.
(3) Intellectual Stimulation: kepala sekolah
dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi
di kalangan guru dan stafnya dengan
mengembangkan pemikiran kritis dan
pemecahan masalah untuk menjadikan
sekolah ke arah yang lebih baik.
(4) Individual consideration: kepala sekolah
dapat bertindak sebagai pelatih dan
penasihat bagi guru dan stafnya.
Karena kepemimpinan transformasional
merupakan sebuah rentang yang luas tentang
aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa
menjadi seorang pemimpin transformasional
yang efektif membutuhkan suatu proses dan
memerlukan usaha sadar dan sunggug-sungguh
dari yang bersangkutan. Northouse (2001)
memberikan beberapa tips untuk menerapkan
kepemimpinan transformasional, yakni sebagai
berikut:
(1) Memberdayakan seluruh bawahan melakukan
hal yang terbaik untuk organisasi
(2) Berusaha menjadi pemimpin yang bisa
diteladani
(3) Mendengarkan pemikiran bawahan untuk
mengembangkan semangat kerja sama
(4) Menciptakan visi yang dapat diyakini oleh
semua orang dalam organisasi
(5) Bertindak sebagai agen perubahan dalam
organisasi dengan memberikan contoh
bagaimana menggagas dan melaksanakan
suatu perubahan
(6) Menolong organisasi dengan cara menolong
orang lain untuk berkontribusi terhadap

organisasi
Kecerdasan
emosional
(emotional
quotion) dapat diartikan sebagai kemampuan
merasakan dan memahami kepekaan emosi diri
maupun emosi orang lain, pengendalian diri,
semangat, dan ketekunan, serta kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan
menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk
mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak
melebih-lebihkan
kesenangan,
mengatur

suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, mampu
membaca dan memahami perasaan terdalam
orang lain (empati) dan berdoa, memelihara
hubungan baik, menyelesaikan konflik, serta
mampu memimpin (Secapramana, 1999).
Keefektifan
penggunaan
teknik
pengendalian
konflik
organisasi
akan
berdampak positif bagi prestasi organisasi.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Goleman,
bahwa salah satu kualitas seorang pemimpin
adalah kemampuannya dalam mengendalikan
konflik, sehingga tercipta iklim yang kondusif di
lingkungan
kerja
yang
dipimpinnya.
Penanganan situasi-situasi konflik secara
berhasil, memerlukan kemampuan untuk
memahami proses-proses serta elemen-elemen
yang melandasinya. Sebab, konflik yang timbul
di sekolah mungkin bersifat konstruktif dalam
hal mengambil keputusan terbaik untuk
kepentingan sekolah, atau sebaliknya dapat
menjadi destruktif karena terjadi sifat
permusuhan.
Sungguhpun
kecerdasan
emosional
sangat penting sebagai basis manajemen
konflik, tanggapan masyarakat terhadap
kecerdasan emosional ini memang beragam, ada
yang pro dan ada yang kontra, berbeda dengan
tanggapan terhadap IQ yang sudah diterima
secara luas dalam masyarakat. Hal ini mungkin
disebabkan karena kecerdasan emosional tidak
memiliki aspek yang permanen karena emosi
selalu berubah. Padahal, kecerdasan emosional
merupakan salah satu aspek yang menunjang
kepemimpinan, yang memungkinkan seorang
pemimpin dapat mengambil keputusan dengan
tepat.
Studi Rostiana & Ninawati (2003).
Keduanya menemukan bahwa kecerdasan
emosional
seorang pimpinan berkorelasi
signifikan dengan persepsinya terhadap proses
pengambilan keputusan. Artinya, semakin
matang emosi yang dimiliki seorang pemimpin,
semakin baik persepsinya terhadap proses
pengambilan keputusan, sehingga dapat
diindentifikasi-kan akan munculnya keputusan
yang tepat.
Kecerdasan emosional sebagai basis
dalam manajemen konflik, juga dibuktikan
dalam penelitian Zamralita & Ninawati (2003)
tentang hubungan antara tingkat stres kerja dan
efektivitas pengambilan keputusan. Keduanya
menemukan bahwa sumber stres dominan yang

5

dialami oleh manajer adalah tekanan kerja/job
pressure dan sumber stres yang lain berasal dari
kurangnya dukungan/lack of support.
Tekanan/job pressure yang sering
muncul antara lain disebabkan oleh evaluasi
yang ketat, keterbatasan waktu, dan kondisikondisi yang dapat memicu terjadinya stres.
Hal-hal tersebut dapat berpengaruh pada
manajer yang dalam pekerjaannya mempunyai
wewenang untuk mengambil suatu keputusan.
Sehingga bila stres sering muncul, dapat
mengakibatkan pengambilan keputusan yang
dibuat menjadi kurang efektif.
Dari penelitiannya tersebut, keduanya
menyimpulkan bahwa ada hubungan antara
tingkat stres kerja dengan efektivitas
pengambilan keputusan pada manajer. Artinya,
semakin tinggi tingkat stres kerja maka
efektivitas pengambilan keputusan pada manajer
akan semakin rendah dan sebaliknya bila tingkat
stres yang dialami rendah maka efektivitas
pengambilan keputusannya tinggi.
Dalam teori manajeman, ada banyak
gaya kepemimpinan organisasi dan cara atau
pengendalian konflik organisasi yang bisa
diadopsi dan diadaptasi oleh kepala sekolah
sebagai mediator dalam mengelola konflik agar
semua potensi yang ada di sekolah dapat
berfungsi secara optimal. Salah satunya adalah
gaya
kepemimpinan
transformasional
(transformational leadership) yang merupakan
salah satu gaya kepemimpinan berdasarkan
kecerdasan
emosional.
Kepemimpinan
transformasional ini lebih mengutamakan
pemberian kesempatan, dan atau mendorong
semua unsur yang ada dalam sekolah untuk
bekerja atas dasar sistem nilai (values system)
yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di
sekolah (guru, siswa, dan pegawai) bersedia dan
tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal
dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Ciri-ciri
gaya
kepemimpinan
transformasional adalah: (1) mengidentifikasi
dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan);
(2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai
orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai
(bukan atas dasar kepentingan individu, atau
atas dasar kepentingan dan desakan kroninya);
(5) meningkatkan kemampuannya secara terusmenerus; (6) memiliki kemampuan untuk
menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan
tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan
(Luthans, 1995: 358).

Manajemen
konflik
melalui
kepemimpinan transformasional berdasarkan
pendekatan kecerdasan emosional ini, sangat
cocok untuk digunakan oleh kepala sekolah
pada satuan pendidikan dasar, dengan intensitas
konflik-konflik karena faktor-faktor psikologis
seperti dikemuka-kan di atas.
Sedangkan
manajemen
konflik
organisasi yang bisa diadopsi dan diadaptasi
oleh kepala sekolah antara lain: (1) teknik
menghindari, (2) teknik kompetisi (komando
otoritatif), (3) teknik akomodasi (penyesuaian),
(4) teknik kompromi, dan (5) teknik kolaborasi
(kerjasama) atau pemecahan masalah (Robbins,
1974; Walton, 1989; Hanson, 1991; Owens,
1991; Goleman, 1999).
Dalam kaitannya dengan penerapan
kepemimpinan
transformasional
dalam
manajemen konflik di sekolah
melalui
pendekatan kecerdasan emosional, salah satu
aspek penting dan substansial adalah
pemahaman kepala sekolah terhadap situasi
konflik. Untuk memahami situasi konflik ini,
ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan
oleh kepala sekolah, antara lain: (1) perbedaanperbedaan tentang fakta-fakta; (2) perbedaan
tentang
metode-metode; (3) perbedaanperbedaan tentang tujuan-tujuan; (4) perbedaanperbedaan tentang nilai-nilai (Brown, 1983).
Untuk
menyelesaikan
perbedaanperbedaan tentang fakta-fakta, yang perlu
dilakukan oleh kepala sekolah sebagai seorang
manajer adalah mengumpulkan data-data
berkaitan dengan fakta-fakta tersebut dari
sumber-sumber yang dapat dipercaya sebagai
upaya untuk mencek validitas fakta. Apabila
fakta sudah diyakini validitasnya, selanjutnya
kepala sekolah perlu menyampaikan fakta-fakta
yang diperoleh secara distributif kepada seluruh
personil sekolah, tanpa sikap diskriminatif.
Seorang kepala sekolah selaku manajer
sekolah, dapat menjadi pihak utama dalam
mengelolola konflik-konflik yang terjadi,
maksudnya sebagai orang yang terlibat secara
aktif di dalam suatu konflik yang berkembang.
Dalam hal ini, kepala sekolah dapat bertindak
sebagai pihak penengah (mediator) dalam
konflik-konflik yang terjadi di sekolah. Pada
kasus apapun yang menimbulkan konflik,
seorang kepala sekolah harus menjadi seorang
partisipan aktif dan terampil dalam mengelola
dinamika konflik, sehingga potensi konstruktif
dan hasil destruktif bisa diperoleh. Melalui

6

pengaruh dan kewenangan yang dimiliki, kepala
sekolah berkewajiban memberdayakan seluruh
sumber daya guru dan personil lainnya dalam
rangka meningkatkan efektivitas organisasi
sekolah.
Agar
kepala
sekolah
mampu
menyelesaikan konflik berdasarkan pendekatan
kecerdasan
emosional,
perlu
memiliki
kecakapan-kecakapan
antara
lain:
(1)
berdiplomasi dan menggunakan taktik untuk
menenangkan orang-orang yang dalam kondisi
tegang, (2) mengidentifikasi hal-hal yang
berpotensi menjadi konflik, menyelesaikan
perbedaan pendapat secara terbuka, dan
membantu
mendinginkan
situasi,
(3)
menganjurkan debat dan diskusi secara terbuka,
(4) mengantar ke solusi yang dapat diterima
oleh kedua belah pihak yang berkonflik (winwin solution) (Goleman, 1999).
Kecakapan diplomasi dan taktik untuk
“menenangkan” orang lain yang menghadapi
ketegangan dapat dilakukan dengan mendeteksi
sumber masalah sedini mungkin yang menjadi
penyebabnya. Untuk maksud itu, kepala sekolah
harus mau mendengarkan isi hati dan perasaan
dari orang lain di samping berusaha untuk
berempati terhadap masalah, pikiran, dan
perasaan mereka. Ini berarti bahwa dalam
manajemen konflik berdasarkan pendekatan
kecerdasan emosional, aspek-aspek psikologis
dan kemanusiaam merupakan faktor determinan.
Kemampuan kepala sekolah untuk
“mempengaruhi” orang-orang yang dipimpin
sangat berperan dalam memecahkan masalahmasalah organisasi sekolah. Kemampuan
mempengaruhi harus dipahami bukan hanya
mempengaruhi mereka untuk bekerja sesuai
dengan aturan atau kebijakan sekolah, tetapi
juga
kemampuan
mempengaruhi
untuk
memahami aspek-aspek psikologis orang lain
yang dipimpinnya (Goleman, 1999).
Kecakapan negosiasi dalam menyelesaikan konflik juga tidak kalah pentingnya.
Sebagai manajer sekolah, seorang kepala
sekolah
dituntut
memiliki
kecakapan
menegosiasikan orang-orang atau kelompok di
bawah pimpinannya yang terlibat dalam konflik,
atau
menegosiasikan aturan-aturan atau
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dengan
keberagaman perspektif di internal komunitas
sekolah. Melalui kecakapan negosiasi kepala
sekolah, mereka yang terlibat dalam konflik
dapat saling berkomunikasi dan berdiskusi

mencari alternatif solusi yang terbaik bagi
mereka dan sekolah.
Dalam kaitan ini, Goleman (1999)
mengemukakan tiga gaya negosiasi, yaitu: (1)
pemecahan masalah, yakni berusaha untuk
menemukan solusi terbaik dengan jalan bekerja
melalui perbedaan-perbedaan yang ada, mencari
dan memecahkan masalah, sehingga setiap
orang di sekolah dan sekolah sama-sama
mencapai keuntungan. (2) kompromi, yakni
adanya sikap kooperatif dan asertif antara
kepala sekolah dan personil sekolah;
melaksanakan upaya tawar-menawar untuk
mencapai pemecahan-pemecahan yang bisa
diterima kedua belah pihak, hingga tak
seorangpun merasa bahwa ia menang atau kalah
secara mutlak. (3) agresi, yakni tindakan dari
kepala
sekolah
dengan
memaksakan
kehendaknya kepada yang lain.
Dari ketiga gaya negosiasi tersebut,
kompromi merupakan gaya yang tampaknya
paling dapat diterima oleh kedua belah pihak,
karena merupakan gaya negosiasi yang
didasarkan pada prinsip ”menang-menang”
(win-win solution), tak ada yang lebih
diuntungkan
atau
dirugikan,
melainkan
menguntungkan semua pihak yang terlibat
dalam konflik. Kondisi ”menang-menang” ini
niscaya akan meniadakan alasan-alasan apapun
dari pihak-pihak yang berkonflik untuk
melanjutkan atau menimbulkan kembali konflik
yang ada, karena tidak ada hal yang diabaikan
ataupun dipaksakan. Semua persoalan-persoalan
yang relevan diperbincangkan dan dibicarakan
secara terbuka.
Prasyarat utama yang perlu dimiliki
kepala sekolah untuk menyelesaikan konflik
sebagaimana dijelaskan di atas, memerlukan
kecakapan emosional seperti kesadaran diri,
kepercayaan diri, empati dan kendali diri. Perlu
ditegaskan bahwa empati tidak berarti harus
menyerah pada tuntutan pihak lain, demikian
pula memahami perasaan orang lain tidak harus
berarti setuju dengan orang tersebut. Karenanya,
empati harus memiliki dan didasari oleh standar
dan prinsip yang kuat. Berpegang pada prinsip
tidak berarti mematikan empati, tetapi keduanya
perlu diintegrasikan dan diselaraskan dalam
kehidupan organisasi sekolah.

7

5. Mediasi Kepala Sekolah dalam Manajemen
Konflik
Seorang manajer adalah seorang yang di
dalam sebuah organisasi tertentu mempunyai
bawahan. Demikian pula seorang kepala
sekolah, mempunyai bawahan yaitu guru-guru
maupun pegawai tata usaha. Hal ini berarti
bahwa setiap kepala sekolah perlu selalu
menghadapi kemungkinan untuk terlibat dalam
konflik-konflik yang terjadi sebagai mediator
(pihak penengah) atau pihak ketiga. Sebagai
pihak ketiga, kepala sekolah dapat membantu
para guru atau pegawai tata usaha untuk
menyelesaikan konflik-konflik antarpribadi atau
antarkelompok yang berada di bawah
kewenangannya, baik yang disebabkan karena
keberagaman di antara mereka dan atau adanya
aturan atau kebijakan baru sekolah.
Peranan kepala sekolah sebagai
mediator sangat penting, terutama untuk
membangun dan memelihara komitmen setiap
anggota komunitas sekolah melalui penciptaan
iklim
organisasi
sekolah.
Signifikansi
penciptaan iklim organisasi melalui mediasi
kepemimpinan
untuk
membangun
dan
memelihara komitmen terhadap organisasi
mendapat perhatian dalam penelitian Rostiana
dan Halim (2003b). keduanya melaporkan
bahwa iklim organisasi menunjukkan korelasi
signifikan positif dengan komitmen organisasi.
Bahwa persepsi terhadap iklim organisasi dapat
memberi gambaran berkaitan dengan keputusan
karyawan untuk berkomitmen pada organisasi.
Untuk memainkan peranan sebagai
mediator, kepala sekolah dapat melaksanakan
melalui dua macam pendekatan yang berbeda
yaitu: (1) intervensi secara aktif, dan (2)
fasilitasi (Robbins, 1974; Winardi, 1994).
Intervensi secara aktif. Seorang kepala
sekolah melakukan aneka macam tindakan
intervensi aktif dalam upaya menyelesaikan
situasi-situasi konflik. Upaya-upaya tersebut
dapat berupa himbauan kepada pihak yang
berkonflik untuk mengingat tujuan-tujuan luhur
organisasi, sehingga konflik bisa diminimalisasi
atau diredakan.
Fasilitasi. Seorang kepala sekolah
memberikan fasilitasi tertentu kepada mereka
yang berkonflik. Pendekatan ini sangat bersifat
pribadi, dan untuk ini kepala sekolah
memerlukan keterampilan komunikasi dan
keterampilan interpersonal. Peranan kepala
sekolah sebagai fasilitator adalah menerapkan

keterampilan komunikasi dan keterampilan
interpersonal dengan pihak-pihak yang terlibat
konflik (Goleman, 1999; Cox & Cooper, 1998;
Bennis & Nanus, 1985).
Keterampilan interpersonal adalah
kemampuan berurusan dengan orang banyak
secara
diplomatis dan penuh kearifan
pertimbangan. Kepala sekolah harus berupaya
menghindari terciptanya pola-pola hubungan
interpersonal dengan internal komunitas sekolah
dengan mengandalkan kekuasaan semata, dan
sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama
fungsional. Ia juga harus menghindarkan diri
dari ’one man show’, sebaliknya harus
menekankan pada kerja sama kesejawatan;
menghindari terciptanya suasana kerja yang
serba menakutkan, dan sebaliknya perlu
menciptakan keadaan yang membangkitkan rasa
percaya diri pada semua anggota komunitas
sekolah. Kepala sekolah juga senantiasa
berupaya menghindarkan diri dari wacana
retorika, sebaliknya perlu membuktikan
memiliki kemampuan kerja profesional; serta
menghindarkan diri agar tidak menyebabkan
pekerjaan-pekerjaan atau tugas-tugas sekolah
menjadi sesuatu yang menjemukan atau
membosankan. Bila hal ini terjadi, efektifitas
kerja individu dan sekolah sangat sulit dicapai.
6. Penutup
Kajian tentang pengelolaan konflik di
tingkat internal sekolah tetap menarik dan aktual
sampai kini. Konflik terjadi bila satu atau kedua
belah pihak menunjukkan permusuhan dan
menghalangi usaha masing-masing untuk
mencapai sasaran. Konflik merupakan suatu
bagian yang alamiah dari proses-proses sosial,
dan terjadi di dalam semua organisasi.
Terdapat berbagai macam perilaku
kepala sekolah sebagai pemimpin dan manajer
dalam mengelola konflik, di antaranya:
menengahi konflik, menjelaskan pentingnya
kerjasama, menekankan kepentingan bersama,
melakukan sesi-sesi pembentukan tim, dan lainlain.
Namun
semuanya
tidak
dapat
menyelesaikan konflik. Salah satu pendekatan
mutakhir yang dapat digunakan untuk
mengelola konflik di lingkungan sekolah secara
lebih efektif adalah pengelolaan konflik melalui
pendekatan kecerdasan emosional.

8

Daftar Rujukan
Bennis, W.G., & Nanus, B. 1985. Leaders: The
Strategies for Taking Charge. New York:
Harper & Row.
Hanson, E.M. 1991. Educational Administration and
Organizational Behavior. Boston: Allyn &
Bacon.
Hesselbein, Frances, and Paul M. Cohen.(1999).
Leader to Leader . San Francisco, CA:JosseyBass
Publishers.
Diakses
dari:
http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/HR/HR02000.p
df. April 2009.
Northouse, Peter G. 2001. Leadership Theory
and Practice, second edition. Thousand Oaks,
CA: Sage Publications, Inc.
Owens, R.G. 1991. Organizational Behavior in
Education. Boston: Allyn & Bacon.
Robbin, S.P. 1974. Managing Organizational
Conflict. Englewood Cliffs, New Yersey:
Prentice - Hall, Inc.
Rostiana & Ninawati. 2003. Hubungan antara
Kecerdasan Emosional dengan Persepsi
Pemimpin terhadap Proses Pengambilan
Keputusan. Abstrak laporan penelitian.
Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara.
Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi/.22
Januari 2009.
Rostiana, & Suyasa, P.T.Y.S. 2003. Hubungan
antara Budaya Organisasi dengan Stres Kerja
Pada Karyawan: Suatu Studi Pada 64
Karyawan PT X Di Jakarta . Abstrak laporan
penelitian. Fakultas Psikologi Universitas
Tarumanegara.
Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi/22
Januari 2009.
Schermerhorn, Jr., & John, R. 1986. Management for
Productivity. New York: John Willey & Sons.
Secapramana, L.V.H. 1999. Emotional Intelligence.
Diakses dari: http://secapramana.tripod.com/
10 September 2006.
Seval, F. 2004. Qualitative Evaluation of Emotional
Intelligence In-Service Program for Secondary
School Teachers. University of Yildiz
Technical-Istanbul. Turkey: The Qualitative
Report Volume 9 Number 4.
Suyanto. 2001. Kepemimpinan Kepala Sekolah.
Jakarta: Kompas Online
Tiatri, S. 2003. Hubungan antara Persepsi terhadap
Beban Kerja dengan Kepuasan Kerja pada
Guru Taman Kanak-Kanak: Studi Pada Guru
TK Swasta Di Jakarta Barat. Abstrak laporan
penelitian. Fakultas Psikologi Universitas
Tarumanegara.
Diakses
dari:

http://www.psikologi.untar.com/psikologi/22
Januari 2009.
Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah Ditjen Dikdasmen Depdiknas. 2007.
Indikator Kinerja Dewan Pendidikan dan
Komite
Sekolah.
Diakses
dari:
http://www.depdiknas.go.id/serba_serbi/dpks/
Kinerja.htm. 10 Januari 2009.
Walton, R.F. 1989. Interpersonal Peacemaking
Confrontations, and Third Party Consultation.
New York: Addison Reading Mass.
Wexley, K.N., & Yukl, G. 1984. Organizational
Behavior
and
Personnel
Psychology.
Homewood: Richard D. Irwin.
Yukl, G. 1994. Leadership in Organizations.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Zamralita & Ninawati. 2003. Hubungan Tingkat
Stres
dengan
Efektivitas
Pengambilan
keputusan pada Manajer. Abstrak laporan
penelitian. Fakultas Psikologi Universitas
Tarumanegara.
Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi/10
Januari 2009.
Zamralita, & Ninawati. 2004. Persepsi terhadap
Efektivitas Pemimpin dengan Kepuasan Kerja:
Studi Pada Karyawan Bank Swasta X Cabang
Daan Mogot. Abstrak laporan penelitian.
Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara.
Diakses
dari:
http://www.psikologi.untar.com/psikologi/.10
Januari 2009.
Zins, J.E., Bloodworth, M.R., Weissberg, R.P., &
Walberg, H.J. 1997. The Foundations of
Socialand Emotional Learning: The Scientific
Base Linking Social and Emotional Learning
to School Success. Mid-Atlantic Regional
Educational Laboratory for Student Success:
Temple University Center for Research in
Human Development and Education.