PEMBAGIAN WARISAN ANAK PEREMPUAN DAN ANA
i
JURNAL ILMIAH
PEMBAGIAN WARISAN ANAK PEREMPUAN DAN ANAK LAKI-LAKI
MENURUT KUH PERDATA DAN HUKUM ADAT TIONGHOA
(STUDI DI KOTA MATARAM)
Oleh :
ANGGI WIBOWO WASKITA
D1A 009 120
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2013
ii
Halaman Pengesahan Jurnal Ilmiah
PEMBAGIAN WARISAN ANAK PEREMPUAN DAN ANAK LAKI-LAKI
MENURUT KUH PERDATA DAN HUKUM ADAT TIONGHOA
(STUDI DI KOTA MATARAM)
Oleh :
ANGGI WIBOWO WASKITA
D1A 009 120
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
Arief Rahman.,SH. M.Hum
NIP. 19610816 198803 1 004
i
PEMBAGIAN WARISAN ANAK PEREMPUAN DAN ANAK LAKI-LAKI
MENURUT KUH PERDATA DAN HUKUM ADAT TIONGHOA
(Studi Di Kota Mataram)
ANGGI WIBOWO WASKITA
D1A 009 120
Fakultas Hukum Universitas Mataram
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan anak perempuan dan
anak laki-laki dalam hal pewarisan menurut KUH Perdata dan hukum adat
Tionghoa. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Normatif Empiris.
Hasil penelitian adalah kedudukan anak perempuan dan laki-laki menurut
KUH Perdata adalah sama, karena KUH Perdata menganut sistem kewarisan
individual, bilateral dan perderajatan. Selain itu KUH Perdata juga mengenal
adanya bagian mutlak bagi ahli warisnya (legitime portie), sedangkan menurut
Hukum Adat Tionghoa kedudukannya berbeda, dimana kedudukan anak laki-laki
lebih tinggi, hal ini disebabkan karena anak laki-laki yang akan membawa nama
marganya untuk diteruskan pada keturunan selanjutnya.
Kesimpulan, kedudukan anak perempuan dan laki-laki menurut KUH
Perdata dalam pewarisan adalah sama, sedangkan menurut Hukum Adat Tionghoa
adalah berbeda, dimana kedudukan anak laki-laki lebih tinggi. Saranyaitudalam
perkembangan zaman dan juga memenuhi tuntutan rasa keadilan, maka anak
perempuan juga harus mendapat warisan dan tanpa dibeda-bedakan lagi.
Kata Kunci : Warisan, KUH Perdata dan Adat Tionghoa.
DIVISION OF HERITAGE DAUGHTER AND SON BY INDONESIAN
CIVIL CODE AND TRADITIONAL CHINESE LAW
(Study In Mataram)
ABSTRACT
This research aims to determine the position of daughter and son in terms
of inheritance according to Indonesian civil code and according to Chinese
traditional law. This research uses Normative Empirical research.
The result is the status of daughter and son are the same according to
Indonesian civil code, it adopted as individual inheritance system, bilateral and
equality. In addition to the Indonesian civil law also recognize the essential part
for their heirs (legitime portie). Meanwhile, according to the position of Chinese
are different, where the position is higher, this is because son who will carry his
family name to continue to succeeding generations.
Conclusion, the position of daughter and son according to Indonesian civil
code in the inheritance is the same, while according to Chinese traditional law is
different, where the son position is higher. Suggestion that the development of the
times and also meet the demands of justice, then the daughter must also have
inherited and no longer differntiated.
Keywords: Heritage, Indonesian civil code and Tradition Chinese.
i
I. PENDAHULUAN
Hukum pewarisan di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih
beraneka ragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk tunduk kepada
aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 131
IS (Indische Staatsregeling). Golongan penduduk tersebut terdiri dari golongan
Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, Golongan Timur Asing (Tionghoa
dan Non Tionghoa), dan Golongan Bumi Putera.
Berdasarkan Pasal 131 jo pasal 163 indische staatsregeling, hukum waris
yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku bagi orangorang eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang eropa tersebut
termasuk didalamnya golongan penduduk timur asing yaitu salah satunya
masyarakat etnis Tionghoa.
Berdasarkan Staatsblad 1917 No.129 Hukum Waris KUH perdata (BW)
berlaku bagi Golongan Timur Asing Tionghoa.
Kemudian berdasarkan
Staatstblad 1924 No.557 hukum waris dalam buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata berlaku bagi orang-orang timur asing Tionghoa di seluruh
Indonesia.
Namun dalam kenyataannya tidak semua ketentuan-ketentuan yang diatur
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diikuti atau di gunakan dan
bahkan adakalanya dikesampingkan atau tidak dituruti, misalnya ketentuan
tentang pewarisan sebagaimana yang telah diatur di dalam Buku II Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
ii
Keadaan ini juga terjadi dalam bidang Hukum Pewarisan pada masyarakat
Tionghoa di Kota Mataram. Di kota yang terkenal dengan sebutan Bumi Gogo
Rancah ini, masyarakat Tionghoa merupakan salah satu golongan atau kelompok
yang jumlahnya cukup banyak dan tersebar secara merata di wilayah Kota
Mataram. Meskipun sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dan juga
sudah ditentukan dalam pembagian warisan diberlakukan KUH Perdata, namun
dalam kenyataannya sebagian besar masyarakat Tionghoa di Kota Mataram lebih
memilih pembagian harta warisan secara hukum adat Tionghoa.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, yaitu: 1) Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dan anak lakilaki dalam pembagian warisan di tinjau dari KUH Perdata dan hukum adat
Tionghoa di Kota Mataram?; 2) Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi
adanya perbedaan kedudukan antara anak perempuan dengan anak laki-laki dalam
hal pembagian waris pada masyarakat Tionghoa di Kota Mataram?; 3) Bagaimana
cara pembagian warisan pada masyarakat Tionghoa di Kota Mataram?
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1) Untuk mengetahui
kedudukan anak perempuan dan anak laki-laki dalam hal pewarisan menurut
KUH Perdata dan menurut hukum adat Tionghoa di Kota Mataram; 2) Untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan kedudukan anak
perempuan dengan anak laki-laki dalam pembagian warisan pada masyarakat
Tionghoa di Kota Mataram; 3) Untuk mengetahui cara pembagian warisan pada
masyarakat Tionghoa di Kota Mataram.
iii
Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1) Manfaat Teoritis :Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat
menambah informasi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum
Kewarisan pada khususnya; 2) Manfaat Praktis : Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi masyarakat etnis Tionghoa di Kota
Mataramdalam membagi warisan dan menyelesaikan persoalan warisan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitianNormatif dan Empiris.Sumber
dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 macam, yaitu : 1)
DataKepustakaan, yang terdiri dari data hukum primer, sekunder dan tersier; 2)
Data Lapangan.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang terdiri dari
Data Kepustakaan ( Liberary Research ) dan Data Lapangan (Field Reseach).
AnalisisData dalam penelitian ini adalah analisiskualitatif dengan penafsiran
penelitian data secara deduktif-induktif menggunakan teori yang terbatas.
iv
II. PEMBAHASAN
A. Kedudukan Anak Perempuan Dan Anak Laki-Laki Dalam Pembagian
Warisan Menurut KUH Perdata dan HukumAdat Tionghoa di Kota
Mataram
1.
Kedudukan Anak Perempuan Dan Anak Laki-Laki Dalam Pembagian
Warisan Menurut KUH Perdata
Di dalam KUH Perdata, suatu pewarisan baru dapat terjadi apabila ada
orang yang meninggal dunia. Hal ini sebagaimana diuraikan dalam pasal 830
KUH Perdata, bahwa “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.
Sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, maka ada empat
kewajiban yang harus dilakukan antara lain :
1
a) Mengurus dan
menyelesaikan pemakaman sampai selesai; b) Menyelesaikan utang-piutang
baik berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban dan hak pewaris; c)
Menyelesaikan wasiat ; d) Membagikan harta warisan diantara para ahli waris
yang berhak secara adil sesuai dengan ketentuan undang-undang
Hukum waris Barat (KUHPerdata) mengenal adanya prinsip legitime
portie (bagianmutlak). Prinsip legitime portie ini menentukan bahwa ahli
waris memiliki bagian mutlak dari peninggalan yang tidak dapat dikurangi
sekalipun melalui surat wasiat sipewaris. Hak ini sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 913 KUHPerdata yang berbunyi :
1
Salim HS, PengantarHukumPerdataTertulis (BW), Cet.7, (Jakata: Sinar Grafika,2011),
hal.141
v
“legitime portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah
suatu bagian dari harta benda yang harus diberikan kepada ahli
waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya
orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik
sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup maupun
sebagai wasiat”.
Tentang bagian mutlak yang diperoleh para ahli waris tersebut di atur
dalam pasal 914 KUH Perdata, yaitu : a) Bila pewaris hanya meniggalkan
satu orang anak sah dalam garis ke bawah, maka legitime portie itu terdiri
dari seperdua dari harta peninggalan yang sedianya akan diterima anak itu
pada pewarisan karena kematian; b) Bila meninggalkan dua orang anak, maka
legitime portie untuk tiap-tiap anak adalah dua pertiga bagian dari apa yang
sedianya akan diterima masing-masing anak itu pada pewarisan karena
kematian; c) Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan tiga orang
anak atau lebih, maka legitime portie itu tiga perempat bagian dari apa yang
sedianya akan ditetima tiap anak pada pewarisan karena kematian; d) Dengan
sebutan anak-anak dimaksudkan juga keturunan-keturunan mereka dalam
derajat keberapapun; tetapi mereka ini hanya dihitung sebagai pengganti anak
yang mereka wakili dalam mewarisi warisan si pewaris.
Orang-orang yang menjadi ahli waris menurut Undang-undang karena
hubungan darah ditegaskan lagi dalam pasal 852 KUH Perdata yang meliputi
pihak laki-laki dan perempuan. Ahli waris karena hubungan darah ini adalah
anak atau sekalian keturunan dari mereka, baik anak sah maupun luar kawin
vi
dengan tidak membedakan jenis kelamin dan juga perbedaan usia. Pasal 852
KUH Perdata, berbunyi :
“Anak-anak
atau
keturunan-keturunan
mereka,
sekalipun
dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan
para orang tua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga
sedarah
mereka
selanjutnya
dalam
garis
keatas,
tanpa
membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dahulu.
Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi
kepala, bila dengan si mati mereka semua bertalian keluarga
dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya
sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka
semua atau sebagian mewarisi sebagai pengganti.”
Berdasarkan ketentuan pasal 852 KUH Perdata tersebut, dapat
diketahui bahwa anak perempuan dan laki-laki, mereka bersama-sama adalah
ahli waris yang sah atas harta kekayaan ibu bapak mereka. Apabila anak
perempuan tersebut seorang diri, maka dia akan menjadi ahli waris satusatunya yang mewarisi seluruh harta ibu bapaknya, dan menutup ahli waris
yang lain. Sehingga dengan demikian kedudukan anak perempuan adalah
sebagai ahli waris yang sah atas harta kekayaan ibu bapaknya. Berarti dalam
KUH Perdata berkaitan dengan ahli waris, dimana kedudukan antara anak
perempuan dengan anak laki-laki tidak ada perbedaan jenis kelamin, mereka
mempunyai hak dan kewajiban yang sama didalam kewarisan.
vii
Pewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah kewarisan dengan
sistem kewarisan individual bilateral. Sistem individual bilateral adalah harta
warisan dibagi-bagi menurut bagian masing-masing ahli waris untuk dimiliki
dan diambil manfaatnya sesuai dengan kepentingan pribadi tanpa
membedakan jenis kelamin dan usia baik melalui garis keturunan bapak
maupun garis keturunan ibu.
2.
Kedudukan Anak Perempuan Dan Anak Laki-Laki Dalam Pembagian
Warisan Menurut Hukum Adat Tionghoa di Kota Mataram
Keturunan terutama laki-laki begitu penting didalam suatu keluarga
masyarakat Tionghoa di Kota mataram oleh karena masyarakat Tionghoa di
Kota Mataram menganut garis keturunan ayah (patrilineal). Anak laki-laki
sangat didambakan didalam suatu keluarga masyarakat Tionghoa di Kota
Mataram, ini disebabkan oleh karena anak laki-laki selain dianggap sebagai
penerus keturunan, anak laki-laki juga yang akan mewariskan dan
mempertahankan atau membawa nama marga.
Anak laki-laki juga lebih diistimewakan dalam hal warisan, ini
disebabkan orang tua menganggap anak laki-laki adalah penerus atau
pembawa nama marga dan sebaliknya menganggap anak perempuan apabila
kelak menikah, maka akan mengikuti nama marga suaminya dan anak yang
dilahirkannya tersebut juga akan membawa nama marga suaminya. Sehingga
anak perempuannya yang telah menikah tersebut akan melepaskan nama
marga aslinya. Hal ini dianggap berakhir sudah “tugas” orang tua tersebut
viii
pada anak perempuannya, karena telah menjadi bagian dari keluarga
suaminya.
Dalam hal pembagian waris ini, anak perempuan tetap diberikan
warisan dalam bentuk giwang emas, anting emas, kalung emas, tusuk konde,
dan sebagainya yang merupakan barang atau perhiasan turun temurun dari ibu
atau neneknya. Pemberian harta warisan dalam bentuk uang juga diberikan,
akan tetapi jumlahnya hanya “ala kadarnya” yang diperuntukkan sebagai
bekal mengarungi rumah tangganya saja. Akan tetapi semua harta benda
tersebut bukan dianggap sebagai harta warisan, melainkan hanya dianggap
sebagai pemberian hadiah perkawinan oleh orang tuanya dan juga sebagai
tanda kasih sayang dari orang tua kepada anaknya.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adanya Perbedaan Kedudukan Antara
Anak Perempuan Dan Anak Laki-Laki Dalam Pembagian Waris Pada
Masyarakat Tionghoa di Kota Mataram
Beberapa faktor atau hal yang menyebabkan atau melatarbelakangi anak
perempuan mempunyai kedudukan yang berbeda dengan anak laki-laki, yaitu : a)
Masyarakat Tionghoa di Kota Mataram menganut sistem kekerabatan Patrileneal
yang artinya sistem keturunan yang ditarik berdasarkan garis keturunan
bapak/ayah, yang dimana berakibat pada kedudukan pria yang lebih menonjol dari
kedudukan wanita didalam pewarisan; b) Alasan utama yang melatarbelakangi
perbedaan kedudukan ini adalah karena pada masyarakat Tionghoa di Kota
Mataram sangat mengutamakan nama marga atau pewaris dari marga tersebut.
ix
Yang dimana anak laki-lakilah yang membawa nama marga untuk di teruskan
pada keturunan atau generasi selanjutnya. Sedangkan anak perempuan jika kelak
telah menikah maka akan keluar dari marga aslinya dan mengikuti marga dari
suaminya atau dengan kata lain “lepas” dari tanggung jawab orang tua
kandungnya; c) Anak laki-laki dianggap lebih mempunyai tanggung jawab yang
lebih besar daripada anak perempuan, yang terlihat dalam berbagai acara keluarga
maupun kehidupan sehari-hari.2
Beberapa hal yang menyebabkan anak perempuan memiliki kedudukan
yang sama atau bahkan diatas dengan anak laki-laki, yaitu : a) Dalam hal di suatu
keluarga tersebut hanya memiliki anak perempuan saja, maka anak perempuan
tersebut akan mendapatkan sepenuhnya harta peninggalan atau warisan dari orang
tuanya, tanpa adanya suatu penghalang apapun; b) Dalam hal di suatu keluarga
ada terdapat beberapa saudara laki-laki dan juga seorang saudara perempuan,
dimana anak perempuan tersebut tidak menikah maka anak perempuan tersebut
juga akan mendapatkan warisan dari orang tuanya, agar kelak ketika orang tuanya
meninggal anak perempuan tersebut dapat melanjutkan hidupnya dengan atau
tanpa merepotkan saudara laki-lakinya.
C. Tata Cara Pembagian Waris Pada Masyarakat Tionghoa di Kota Mataram
Pada umumnya dalam hal cara pembagian waris pada masyarakat
Tionghoa di Kota Mataram tidak berbeda jauh dengan cara pembagian waris baik
2
09.00wita
HasilwawancaradenganbapakAngWei
Tjae,Sindu,tanggal24
Juni
2013,
pukul
x
menurut KUH Perdata dan adat lainnya. Pembagian waris pada masyarakat
Tionghoa ini dapat dilakukan dengan cara : a) Ketika orang tua, kakek atau nenek
(pewaris) masih hidup, yang biasanya akan melalaui surat wasiat kepada para ahli
warisnya dan juga bisa melalui pesan-pesan (wejangan) yang dihadiri oleh semua
ahli warisnya (untuk hal ini biasanya dilakukan ketika acara kumpul keluarga
besar); b) Ketika orang tua, kakek atau nenek tidak sempat atau belum membuat
surat wasiat, maupun pesan-pesan (wejangan) kepada para ahli warisnya, maka
baru akan dilakukan musyawarah keluarga yakni, melakukan musyawarah antara
semua ahli waris tersebut, dengan dipimpin oleh kakak tertua (biasanya kakak
lelaki), kalau tidak memiliki saudara laki-laki maka akan dipimpin oleh salah
seorang ahli waris yang dianggap berwibawa dan bijaksana. Hal ini biasanya
dilakukan secara tertutup, hanya diketahui oleh ahli warisnya saja, para menantu
dilarang untuk ikut campur dalam hal ini.
Contoh kasus yang terjadi dalam pembagian waris pada keluarga penulis,
dimana pada saat si pewaris meninggal dunia ia memiliki delapan (8) orang anak
dimana anak tersebut terdiri dari empat (4) orang anak laki-laki dan empat (4)
orang anak perempuan. Pada saat pembagian waris dilakukan dihadiri oleh
seluruh ahli waris (para menantu tidak boleh ikut) dan dipimpin oleh anak lakilaki tertua. Pembagian waris tersebut dilakukan dengan cara musyawarah
keluarga. Dalam keluarga penulis ini, pembagian warisnya dilakukan pada saat
sesudah selesainya acara penguburan jenazah (7 hari setelah pewaris meninggal)
tersebut.
xi
Proses waktu pembagian waris pada masyarakat Tionghoa di Kota
Mataram ini biasanya bervariasi, ada yang langsung membagi setelah selesai
penguburan (biasanya menunggu 5-7 hari setelah pewaris meninggal), ada juga
yang menunggu hingga acara bakar rumah-rumahan selesai dilakukan (biasanya
40 hari, 1-2 tahun setelah pewaris meninggal).
Tetapi tidak selamanya proses pembagian waris tersebut akan berjalan
lancar dan tanpa perselisihan seperti yang telah dikemukakan diatas, ada kalanya
dalam proses pembagian warisan tersebut juga terdapat perselisihan yang terjadi
antara para ahli waris. Apabila terjadi perselisihan dalam pembagian harta
peninggalan atau waris ini maka jalanpenyelesaiannya adalah sebagai berikut : a)
Di selesaikan di antara para waris bersangkutan sendiri dengan mengadakan
pertemuan (musyawarah) keluarga dibawah pimpinan pewaris yang masih hidup
atau dipimpin anak lelaki tertua dari ahli waris tersebut, atau jika kakak laki-laki
tertua tidak ada maka akan dipimpin oleh salah seorang di antara ahli waris yang
dianggap berwibawa dan bijaksana; b) Apabila tidak ada kesepakatan di antara
para ahli waris mengenai hal yang di perselisihkan, makadalam pertemuan
berikutnya diberikan kemungkinan adanya campur tangan pihak tetua keluarga
(kakek, nenek) dan anggota keluarga (paman, bibi) yang berpengaruh sebagai
penengah guna mencari jalan keluar dari perbedaan pendapat sehingga dapat
menemukan titik temu yang disepakati bersama; c) Apabila masih tidak ada
kesepakatan di antara para ahli waris mengenai hal yang di perselisihkan tersebut,
maka para ahli waris tersebut dimungkinkan mengundang orang yang dianggap
paham atau kira-kira mempunyai solusi dari perselisihan tersebut (bisa campur
xii
tangan pihak lain); d) Apabila juga tidak tercapai kesepakatan dengan rukun dan
damai antara para pihak, barulah perkaranya terpaksa akan diselesaikan dengan
jalur hukum yang berlaku, dalam hal ini kasus tersebut akan di bawa ke
pengadilan terkait (mengikuti KUH Perdata).
Biasanya masalah sengketa yang terjadi mengenai pembagian warisan
pada masyarakat Tionghoa di Kota Mataram jarang terjadi. Pada dasarnya
hubungan kekeluargaan pada masyarakat Tionghoa sangat kuat, karena sejak kecil
orang Tionghoa sudah dididik untuk patuh dan berbakti pada leluhur dan orang
tua. Saudara yang lebih tua mempunyai kewajiban-kewajiban pada saudara yang
lebih muda, saudara yang lebih muda harus hormat pada kakaknya. Sehingga
jarang sekali terjadi perselisihan atau sengketa terutama mengenai warisan pada
masyarakat Tionghoa di Kota Mataram. Jika terjadi sengketa terutama mengenai
warisan pada umumnya berusaha diselesaikan sendiri secara kekeluargaan dengan
cara musyawarah yang terbatas dalam lingkup keluarga, jarang sekali sengketa
mengenai pembagian warisan dibawa ke tingkat pengadilan karena masyarakat
Tionghoa menganggap hal tersebut merupakan aib keluarga jika sampai ada
perselisihan antara sesama keluarga hanya gara-gara soal warisan, apalagi jika
sampai diketahui oleh masyarakat umum maka akan menambah malu dan
rusaknya citra atau nama baik keluarga tersebut.
xiii
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal
dari penelitian ini, antara lain : 1) Bahwa kedudukan anak laki-laki menurut
KUH Perdata adalah sama dengan anak perempuan sebagai ahli waris dan
mendapat bagian yang sama. Sedangkan menurut Hukum adat Tionghoa di
Kota Mataram kedudukan anak perempuan dalam kaitan pembagian waris
pada masyarakat Tionghoa di Kota mataram adalah berbeda dengan
kedudukan anak laki-laki. Dimana kedudukan anak laki-laki lebih dianggap
istimewa atau tinggi dibandingkan dengan anak perempuan; 2) Faktor-faktor
yang melatarbelakangi adanya perbedaan kedudukan dalam kaitan masalah
waris tersebut adalah karena : a) masyarakat Tionghoa di Kota Mataram
menganut sistem kekerabatan Patrileneal; b) masyarakat Tionghoa di Kota
Mataram sangat mengutamakan nama marga atau pewaris dari marga
tersebut. Yang dimana anak laki-lakilah yang membawa nama marga untuk di
teruskan pada keturunan atau generasi selanjutnya; c) Anak laki-laki dianggap
lebih mempunyai tanggung jawab yang lebih besar daripada anak perempuan;
3) Bahwa dalam kaitan cara pembagian waris, masyarakat Tionghoa di Kota
Mataram lebih memilih menggunakan adat atau kebiasaan-kebiasaannya
sendiri. Bahwa masyarakat Tionghoa sebagai salah satu suku di Indonesia
juga mempunyai hukum atau kebiasaan-kebiasaan sendiri yang harus diakui
keberadaannya.
xiv
B. Saran-saran
1.
Dalam perkembangan zaman seperti sekarang ini dan juga memenuhi
tuntutan rasa keadilan, masyarakat Tionghoa di Kota Mataram ada
baiknya memberikan atau mempertimbangkan hak waris bagi anak
perempuan atas harta warisan orang tuanya. Bagaimanapun anak
perempuan juga merupakan anak kandung, hasil buah cinta dari orang
tuanya (pewaris); 2) Istilah ahli waris ini perlu dirumuskan lagi, sehingga
tak seorang keluarga pun yang tidak termasuk ahli waris dan tidak
menerima waris.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
H.S., Salim. 2011. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar
Grafika.
Hasil wawancara
HasilwawancaradenganbapakAng Wei Tjae, Sindu, tanggal 24 Juni 2013,
pukul 09.00 wita
JURNAL ILMIAH
PEMBAGIAN WARISAN ANAK PEREMPUAN DAN ANAK LAKI-LAKI
MENURUT KUH PERDATA DAN HUKUM ADAT TIONGHOA
(STUDI DI KOTA MATARAM)
Oleh :
ANGGI WIBOWO WASKITA
D1A 009 120
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2013
ii
Halaman Pengesahan Jurnal Ilmiah
PEMBAGIAN WARISAN ANAK PEREMPUAN DAN ANAK LAKI-LAKI
MENURUT KUH PERDATA DAN HUKUM ADAT TIONGHOA
(STUDI DI KOTA MATARAM)
Oleh :
ANGGI WIBOWO WASKITA
D1A 009 120
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
Arief Rahman.,SH. M.Hum
NIP. 19610816 198803 1 004
i
PEMBAGIAN WARISAN ANAK PEREMPUAN DAN ANAK LAKI-LAKI
MENURUT KUH PERDATA DAN HUKUM ADAT TIONGHOA
(Studi Di Kota Mataram)
ANGGI WIBOWO WASKITA
D1A 009 120
Fakultas Hukum Universitas Mataram
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan anak perempuan dan
anak laki-laki dalam hal pewarisan menurut KUH Perdata dan hukum adat
Tionghoa. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Normatif Empiris.
Hasil penelitian adalah kedudukan anak perempuan dan laki-laki menurut
KUH Perdata adalah sama, karena KUH Perdata menganut sistem kewarisan
individual, bilateral dan perderajatan. Selain itu KUH Perdata juga mengenal
adanya bagian mutlak bagi ahli warisnya (legitime portie), sedangkan menurut
Hukum Adat Tionghoa kedudukannya berbeda, dimana kedudukan anak laki-laki
lebih tinggi, hal ini disebabkan karena anak laki-laki yang akan membawa nama
marganya untuk diteruskan pada keturunan selanjutnya.
Kesimpulan, kedudukan anak perempuan dan laki-laki menurut KUH
Perdata dalam pewarisan adalah sama, sedangkan menurut Hukum Adat Tionghoa
adalah berbeda, dimana kedudukan anak laki-laki lebih tinggi. Saranyaitudalam
perkembangan zaman dan juga memenuhi tuntutan rasa keadilan, maka anak
perempuan juga harus mendapat warisan dan tanpa dibeda-bedakan lagi.
Kata Kunci : Warisan, KUH Perdata dan Adat Tionghoa.
DIVISION OF HERITAGE DAUGHTER AND SON BY INDONESIAN
CIVIL CODE AND TRADITIONAL CHINESE LAW
(Study In Mataram)
ABSTRACT
This research aims to determine the position of daughter and son in terms
of inheritance according to Indonesian civil code and according to Chinese
traditional law. This research uses Normative Empirical research.
The result is the status of daughter and son are the same according to
Indonesian civil code, it adopted as individual inheritance system, bilateral and
equality. In addition to the Indonesian civil law also recognize the essential part
for their heirs (legitime portie). Meanwhile, according to the position of Chinese
are different, where the position is higher, this is because son who will carry his
family name to continue to succeeding generations.
Conclusion, the position of daughter and son according to Indonesian civil
code in the inheritance is the same, while according to Chinese traditional law is
different, where the son position is higher. Suggestion that the development of the
times and also meet the demands of justice, then the daughter must also have
inherited and no longer differntiated.
Keywords: Heritage, Indonesian civil code and Tradition Chinese.
i
I. PENDAHULUAN
Hukum pewarisan di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih
beraneka ragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk tunduk kepada
aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 131
IS (Indische Staatsregeling). Golongan penduduk tersebut terdiri dari golongan
Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, Golongan Timur Asing (Tionghoa
dan Non Tionghoa), dan Golongan Bumi Putera.
Berdasarkan Pasal 131 jo pasal 163 indische staatsregeling, hukum waris
yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku bagi orangorang eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang eropa tersebut
termasuk didalamnya golongan penduduk timur asing yaitu salah satunya
masyarakat etnis Tionghoa.
Berdasarkan Staatsblad 1917 No.129 Hukum Waris KUH perdata (BW)
berlaku bagi Golongan Timur Asing Tionghoa.
Kemudian berdasarkan
Staatstblad 1924 No.557 hukum waris dalam buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata berlaku bagi orang-orang timur asing Tionghoa di seluruh
Indonesia.
Namun dalam kenyataannya tidak semua ketentuan-ketentuan yang diatur
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diikuti atau di gunakan dan
bahkan adakalanya dikesampingkan atau tidak dituruti, misalnya ketentuan
tentang pewarisan sebagaimana yang telah diatur di dalam Buku II Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
ii
Keadaan ini juga terjadi dalam bidang Hukum Pewarisan pada masyarakat
Tionghoa di Kota Mataram. Di kota yang terkenal dengan sebutan Bumi Gogo
Rancah ini, masyarakat Tionghoa merupakan salah satu golongan atau kelompok
yang jumlahnya cukup banyak dan tersebar secara merata di wilayah Kota
Mataram. Meskipun sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dan juga
sudah ditentukan dalam pembagian warisan diberlakukan KUH Perdata, namun
dalam kenyataannya sebagian besar masyarakat Tionghoa di Kota Mataram lebih
memilih pembagian harta warisan secara hukum adat Tionghoa.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, yaitu: 1) Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dan anak lakilaki dalam pembagian warisan di tinjau dari KUH Perdata dan hukum adat
Tionghoa di Kota Mataram?; 2) Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi
adanya perbedaan kedudukan antara anak perempuan dengan anak laki-laki dalam
hal pembagian waris pada masyarakat Tionghoa di Kota Mataram?; 3) Bagaimana
cara pembagian warisan pada masyarakat Tionghoa di Kota Mataram?
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1) Untuk mengetahui
kedudukan anak perempuan dan anak laki-laki dalam hal pewarisan menurut
KUH Perdata dan menurut hukum adat Tionghoa di Kota Mataram; 2) Untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan kedudukan anak
perempuan dengan anak laki-laki dalam pembagian warisan pada masyarakat
Tionghoa di Kota Mataram; 3) Untuk mengetahui cara pembagian warisan pada
masyarakat Tionghoa di Kota Mataram.
iii
Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1) Manfaat Teoritis :Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat
menambah informasi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum
Kewarisan pada khususnya; 2) Manfaat Praktis : Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi masyarakat etnis Tionghoa di Kota
Mataramdalam membagi warisan dan menyelesaikan persoalan warisan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitianNormatif dan Empiris.Sumber
dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 macam, yaitu : 1)
DataKepustakaan, yang terdiri dari data hukum primer, sekunder dan tersier; 2)
Data Lapangan.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang terdiri dari
Data Kepustakaan ( Liberary Research ) dan Data Lapangan (Field Reseach).
AnalisisData dalam penelitian ini adalah analisiskualitatif dengan penafsiran
penelitian data secara deduktif-induktif menggunakan teori yang terbatas.
iv
II. PEMBAHASAN
A. Kedudukan Anak Perempuan Dan Anak Laki-Laki Dalam Pembagian
Warisan Menurut KUH Perdata dan HukumAdat Tionghoa di Kota
Mataram
1.
Kedudukan Anak Perempuan Dan Anak Laki-Laki Dalam Pembagian
Warisan Menurut KUH Perdata
Di dalam KUH Perdata, suatu pewarisan baru dapat terjadi apabila ada
orang yang meninggal dunia. Hal ini sebagaimana diuraikan dalam pasal 830
KUH Perdata, bahwa “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.
Sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, maka ada empat
kewajiban yang harus dilakukan antara lain :
1
a) Mengurus dan
menyelesaikan pemakaman sampai selesai; b) Menyelesaikan utang-piutang
baik berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban dan hak pewaris; c)
Menyelesaikan wasiat ; d) Membagikan harta warisan diantara para ahli waris
yang berhak secara adil sesuai dengan ketentuan undang-undang
Hukum waris Barat (KUHPerdata) mengenal adanya prinsip legitime
portie (bagianmutlak). Prinsip legitime portie ini menentukan bahwa ahli
waris memiliki bagian mutlak dari peninggalan yang tidak dapat dikurangi
sekalipun melalui surat wasiat sipewaris. Hak ini sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 913 KUHPerdata yang berbunyi :
1
Salim HS, PengantarHukumPerdataTertulis (BW), Cet.7, (Jakata: Sinar Grafika,2011),
hal.141
v
“legitime portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah
suatu bagian dari harta benda yang harus diberikan kepada ahli
waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya
orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik
sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup maupun
sebagai wasiat”.
Tentang bagian mutlak yang diperoleh para ahli waris tersebut di atur
dalam pasal 914 KUH Perdata, yaitu : a) Bila pewaris hanya meniggalkan
satu orang anak sah dalam garis ke bawah, maka legitime portie itu terdiri
dari seperdua dari harta peninggalan yang sedianya akan diterima anak itu
pada pewarisan karena kematian; b) Bila meninggalkan dua orang anak, maka
legitime portie untuk tiap-tiap anak adalah dua pertiga bagian dari apa yang
sedianya akan diterima masing-masing anak itu pada pewarisan karena
kematian; c) Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan tiga orang
anak atau lebih, maka legitime portie itu tiga perempat bagian dari apa yang
sedianya akan ditetima tiap anak pada pewarisan karena kematian; d) Dengan
sebutan anak-anak dimaksudkan juga keturunan-keturunan mereka dalam
derajat keberapapun; tetapi mereka ini hanya dihitung sebagai pengganti anak
yang mereka wakili dalam mewarisi warisan si pewaris.
Orang-orang yang menjadi ahli waris menurut Undang-undang karena
hubungan darah ditegaskan lagi dalam pasal 852 KUH Perdata yang meliputi
pihak laki-laki dan perempuan. Ahli waris karena hubungan darah ini adalah
anak atau sekalian keturunan dari mereka, baik anak sah maupun luar kawin
vi
dengan tidak membedakan jenis kelamin dan juga perbedaan usia. Pasal 852
KUH Perdata, berbunyi :
“Anak-anak
atau
keturunan-keturunan
mereka,
sekalipun
dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan
para orang tua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga
sedarah
mereka
selanjutnya
dalam
garis
keatas,
tanpa
membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dahulu.
Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi
kepala, bila dengan si mati mereka semua bertalian keluarga
dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya
sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka
semua atau sebagian mewarisi sebagai pengganti.”
Berdasarkan ketentuan pasal 852 KUH Perdata tersebut, dapat
diketahui bahwa anak perempuan dan laki-laki, mereka bersama-sama adalah
ahli waris yang sah atas harta kekayaan ibu bapak mereka. Apabila anak
perempuan tersebut seorang diri, maka dia akan menjadi ahli waris satusatunya yang mewarisi seluruh harta ibu bapaknya, dan menutup ahli waris
yang lain. Sehingga dengan demikian kedudukan anak perempuan adalah
sebagai ahli waris yang sah atas harta kekayaan ibu bapaknya. Berarti dalam
KUH Perdata berkaitan dengan ahli waris, dimana kedudukan antara anak
perempuan dengan anak laki-laki tidak ada perbedaan jenis kelamin, mereka
mempunyai hak dan kewajiban yang sama didalam kewarisan.
vii
Pewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah kewarisan dengan
sistem kewarisan individual bilateral. Sistem individual bilateral adalah harta
warisan dibagi-bagi menurut bagian masing-masing ahli waris untuk dimiliki
dan diambil manfaatnya sesuai dengan kepentingan pribadi tanpa
membedakan jenis kelamin dan usia baik melalui garis keturunan bapak
maupun garis keturunan ibu.
2.
Kedudukan Anak Perempuan Dan Anak Laki-Laki Dalam Pembagian
Warisan Menurut Hukum Adat Tionghoa di Kota Mataram
Keturunan terutama laki-laki begitu penting didalam suatu keluarga
masyarakat Tionghoa di Kota mataram oleh karena masyarakat Tionghoa di
Kota Mataram menganut garis keturunan ayah (patrilineal). Anak laki-laki
sangat didambakan didalam suatu keluarga masyarakat Tionghoa di Kota
Mataram, ini disebabkan oleh karena anak laki-laki selain dianggap sebagai
penerus keturunan, anak laki-laki juga yang akan mewariskan dan
mempertahankan atau membawa nama marga.
Anak laki-laki juga lebih diistimewakan dalam hal warisan, ini
disebabkan orang tua menganggap anak laki-laki adalah penerus atau
pembawa nama marga dan sebaliknya menganggap anak perempuan apabila
kelak menikah, maka akan mengikuti nama marga suaminya dan anak yang
dilahirkannya tersebut juga akan membawa nama marga suaminya. Sehingga
anak perempuannya yang telah menikah tersebut akan melepaskan nama
marga aslinya. Hal ini dianggap berakhir sudah “tugas” orang tua tersebut
viii
pada anak perempuannya, karena telah menjadi bagian dari keluarga
suaminya.
Dalam hal pembagian waris ini, anak perempuan tetap diberikan
warisan dalam bentuk giwang emas, anting emas, kalung emas, tusuk konde,
dan sebagainya yang merupakan barang atau perhiasan turun temurun dari ibu
atau neneknya. Pemberian harta warisan dalam bentuk uang juga diberikan,
akan tetapi jumlahnya hanya “ala kadarnya” yang diperuntukkan sebagai
bekal mengarungi rumah tangganya saja. Akan tetapi semua harta benda
tersebut bukan dianggap sebagai harta warisan, melainkan hanya dianggap
sebagai pemberian hadiah perkawinan oleh orang tuanya dan juga sebagai
tanda kasih sayang dari orang tua kepada anaknya.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adanya Perbedaan Kedudukan Antara
Anak Perempuan Dan Anak Laki-Laki Dalam Pembagian Waris Pada
Masyarakat Tionghoa di Kota Mataram
Beberapa faktor atau hal yang menyebabkan atau melatarbelakangi anak
perempuan mempunyai kedudukan yang berbeda dengan anak laki-laki, yaitu : a)
Masyarakat Tionghoa di Kota Mataram menganut sistem kekerabatan Patrileneal
yang artinya sistem keturunan yang ditarik berdasarkan garis keturunan
bapak/ayah, yang dimana berakibat pada kedudukan pria yang lebih menonjol dari
kedudukan wanita didalam pewarisan; b) Alasan utama yang melatarbelakangi
perbedaan kedudukan ini adalah karena pada masyarakat Tionghoa di Kota
Mataram sangat mengutamakan nama marga atau pewaris dari marga tersebut.
ix
Yang dimana anak laki-lakilah yang membawa nama marga untuk di teruskan
pada keturunan atau generasi selanjutnya. Sedangkan anak perempuan jika kelak
telah menikah maka akan keluar dari marga aslinya dan mengikuti marga dari
suaminya atau dengan kata lain “lepas” dari tanggung jawab orang tua
kandungnya; c) Anak laki-laki dianggap lebih mempunyai tanggung jawab yang
lebih besar daripada anak perempuan, yang terlihat dalam berbagai acara keluarga
maupun kehidupan sehari-hari.2
Beberapa hal yang menyebabkan anak perempuan memiliki kedudukan
yang sama atau bahkan diatas dengan anak laki-laki, yaitu : a) Dalam hal di suatu
keluarga tersebut hanya memiliki anak perempuan saja, maka anak perempuan
tersebut akan mendapatkan sepenuhnya harta peninggalan atau warisan dari orang
tuanya, tanpa adanya suatu penghalang apapun; b) Dalam hal di suatu keluarga
ada terdapat beberapa saudara laki-laki dan juga seorang saudara perempuan,
dimana anak perempuan tersebut tidak menikah maka anak perempuan tersebut
juga akan mendapatkan warisan dari orang tuanya, agar kelak ketika orang tuanya
meninggal anak perempuan tersebut dapat melanjutkan hidupnya dengan atau
tanpa merepotkan saudara laki-lakinya.
C. Tata Cara Pembagian Waris Pada Masyarakat Tionghoa di Kota Mataram
Pada umumnya dalam hal cara pembagian waris pada masyarakat
Tionghoa di Kota Mataram tidak berbeda jauh dengan cara pembagian waris baik
2
09.00wita
HasilwawancaradenganbapakAngWei
Tjae,Sindu,tanggal24
Juni
2013,
pukul
x
menurut KUH Perdata dan adat lainnya. Pembagian waris pada masyarakat
Tionghoa ini dapat dilakukan dengan cara : a) Ketika orang tua, kakek atau nenek
(pewaris) masih hidup, yang biasanya akan melalaui surat wasiat kepada para ahli
warisnya dan juga bisa melalui pesan-pesan (wejangan) yang dihadiri oleh semua
ahli warisnya (untuk hal ini biasanya dilakukan ketika acara kumpul keluarga
besar); b) Ketika orang tua, kakek atau nenek tidak sempat atau belum membuat
surat wasiat, maupun pesan-pesan (wejangan) kepada para ahli warisnya, maka
baru akan dilakukan musyawarah keluarga yakni, melakukan musyawarah antara
semua ahli waris tersebut, dengan dipimpin oleh kakak tertua (biasanya kakak
lelaki), kalau tidak memiliki saudara laki-laki maka akan dipimpin oleh salah
seorang ahli waris yang dianggap berwibawa dan bijaksana. Hal ini biasanya
dilakukan secara tertutup, hanya diketahui oleh ahli warisnya saja, para menantu
dilarang untuk ikut campur dalam hal ini.
Contoh kasus yang terjadi dalam pembagian waris pada keluarga penulis,
dimana pada saat si pewaris meninggal dunia ia memiliki delapan (8) orang anak
dimana anak tersebut terdiri dari empat (4) orang anak laki-laki dan empat (4)
orang anak perempuan. Pada saat pembagian waris dilakukan dihadiri oleh
seluruh ahli waris (para menantu tidak boleh ikut) dan dipimpin oleh anak lakilaki tertua. Pembagian waris tersebut dilakukan dengan cara musyawarah
keluarga. Dalam keluarga penulis ini, pembagian warisnya dilakukan pada saat
sesudah selesainya acara penguburan jenazah (7 hari setelah pewaris meninggal)
tersebut.
xi
Proses waktu pembagian waris pada masyarakat Tionghoa di Kota
Mataram ini biasanya bervariasi, ada yang langsung membagi setelah selesai
penguburan (biasanya menunggu 5-7 hari setelah pewaris meninggal), ada juga
yang menunggu hingga acara bakar rumah-rumahan selesai dilakukan (biasanya
40 hari, 1-2 tahun setelah pewaris meninggal).
Tetapi tidak selamanya proses pembagian waris tersebut akan berjalan
lancar dan tanpa perselisihan seperti yang telah dikemukakan diatas, ada kalanya
dalam proses pembagian warisan tersebut juga terdapat perselisihan yang terjadi
antara para ahli waris. Apabila terjadi perselisihan dalam pembagian harta
peninggalan atau waris ini maka jalanpenyelesaiannya adalah sebagai berikut : a)
Di selesaikan di antara para waris bersangkutan sendiri dengan mengadakan
pertemuan (musyawarah) keluarga dibawah pimpinan pewaris yang masih hidup
atau dipimpin anak lelaki tertua dari ahli waris tersebut, atau jika kakak laki-laki
tertua tidak ada maka akan dipimpin oleh salah seorang di antara ahli waris yang
dianggap berwibawa dan bijaksana; b) Apabila tidak ada kesepakatan di antara
para ahli waris mengenai hal yang di perselisihkan, makadalam pertemuan
berikutnya diberikan kemungkinan adanya campur tangan pihak tetua keluarga
(kakek, nenek) dan anggota keluarga (paman, bibi) yang berpengaruh sebagai
penengah guna mencari jalan keluar dari perbedaan pendapat sehingga dapat
menemukan titik temu yang disepakati bersama; c) Apabila masih tidak ada
kesepakatan di antara para ahli waris mengenai hal yang di perselisihkan tersebut,
maka para ahli waris tersebut dimungkinkan mengundang orang yang dianggap
paham atau kira-kira mempunyai solusi dari perselisihan tersebut (bisa campur
xii
tangan pihak lain); d) Apabila juga tidak tercapai kesepakatan dengan rukun dan
damai antara para pihak, barulah perkaranya terpaksa akan diselesaikan dengan
jalur hukum yang berlaku, dalam hal ini kasus tersebut akan di bawa ke
pengadilan terkait (mengikuti KUH Perdata).
Biasanya masalah sengketa yang terjadi mengenai pembagian warisan
pada masyarakat Tionghoa di Kota Mataram jarang terjadi. Pada dasarnya
hubungan kekeluargaan pada masyarakat Tionghoa sangat kuat, karena sejak kecil
orang Tionghoa sudah dididik untuk patuh dan berbakti pada leluhur dan orang
tua. Saudara yang lebih tua mempunyai kewajiban-kewajiban pada saudara yang
lebih muda, saudara yang lebih muda harus hormat pada kakaknya. Sehingga
jarang sekali terjadi perselisihan atau sengketa terutama mengenai warisan pada
masyarakat Tionghoa di Kota Mataram. Jika terjadi sengketa terutama mengenai
warisan pada umumnya berusaha diselesaikan sendiri secara kekeluargaan dengan
cara musyawarah yang terbatas dalam lingkup keluarga, jarang sekali sengketa
mengenai pembagian warisan dibawa ke tingkat pengadilan karena masyarakat
Tionghoa menganggap hal tersebut merupakan aib keluarga jika sampai ada
perselisihan antara sesama keluarga hanya gara-gara soal warisan, apalagi jika
sampai diketahui oleh masyarakat umum maka akan menambah malu dan
rusaknya citra atau nama baik keluarga tersebut.
xiii
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal
dari penelitian ini, antara lain : 1) Bahwa kedudukan anak laki-laki menurut
KUH Perdata adalah sama dengan anak perempuan sebagai ahli waris dan
mendapat bagian yang sama. Sedangkan menurut Hukum adat Tionghoa di
Kota Mataram kedudukan anak perempuan dalam kaitan pembagian waris
pada masyarakat Tionghoa di Kota mataram adalah berbeda dengan
kedudukan anak laki-laki. Dimana kedudukan anak laki-laki lebih dianggap
istimewa atau tinggi dibandingkan dengan anak perempuan; 2) Faktor-faktor
yang melatarbelakangi adanya perbedaan kedudukan dalam kaitan masalah
waris tersebut adalah karena : a) masyarakat Tionghoa di Kota Mataram
menganut sistem kekerabatan Patrileneal; b) masyarakat Tionghoa di Kota
Mataram sangat mengutamakan nama marga atau pewaris dari marga
tersebut. Yang dimana anak laki-lakilah yang membawa nama marga untuk di
teruskan pada keturunan atau generasi selanjutnya; c) Anak laki-laki dianggap
lebih mempunyai tanggung jawab yang lebih besar daripada anak perempuan;
3) Bahwa dalam kaitan cara pembagian waris, masyarakat Tionghoa di Kota
Mataram lebih memilih menggunakan adat atau kebiasaan-kebiasaannya
sendiri. Bahwa masyarakat Tionghoa sebagai salah satu suku di Indonesia
juga mempunyai hukum atau kebiasaan-kebiasaan sendiri yang harus diakui
keberadaannya.
xiv
B. Saran-saran
1.
Dalam perkembangan zaman seperti sekarang ini dan juga memenuhi
tuntutan rasa keadilan, masyarakat Tionghoa di Kota Mataram ada
baiknya memberikan atau mempertimbangkan hak waris bagi anak
perempuan atas harta warisan orang tuanya. Bagaimanapun anak
perempuan juga merupakan anak kandung, hasil buah cinta dari orang
tuanya (pewaris); 2) Istilah ahli waris ini perlu dirumuskan lagi, sehingga
tak seorang keluarga pun yang tidak termasuk ahli waris dan tidak
menerima waris.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
H.S., Salim. 2011. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar
Grafika.
Hasil wawancara
HasilwawancaradenganbapakAng Wei Tjae, Sindu, tanggal 24 Juni 2013,
pukul 09.00 wita