Analisa KLN Rusia Hubungan Internasional

LAPORAN ANALISIS
PENARIKAN PASUKAN BERSENJATA RUSIA DARI SURIAH

Disusun oleh:
Septi Annissa Rahmania (1610412029)
Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Hubungan Internasional

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL S1
2016

Perang di Suriah tidak terkendalikan. Militan ISIS, Front Jabhat-Al Nusra, dan
kelompok terorisme lainnya masih menguasai Suriah. Dewan Keamanan PBB (DK-PBB)
ikut turun tangan untuk menyelesaikan perdamaian yaitu, Amerika Serikat, Inggris, Perancis,
Cina, serta Rusia. Namun, 3 Negara yang disebutkan beserta sekutunya telah lebih dulu
melaksanakan operasi militer di Suriah. Lalu, apa yang dilakukan Rusia dalam menciptakan
perdamaian kembali di Suriah?
Presiden Putin mengumumkan akan mengirimkan Angkatan Bersenjata Rusia untuk
membantu pemerintah Suriah melawan kelompok-kelompok teroris di Negara tersebut.
Pengiriman Angkatan Bersenjata Rusia ini dikarenakan permintaan dari Damaskus, Suriah.

Hal ini juga sah di mata hukum internasional karena merupakan permintaan dari Negara
yang memiliki masalah. Namun, banyak tuduhan yang sering menimpa Rusia mengenai
tindakannya. Seperti, Rusia yang dituduh Amerika menyerang fasilitas sipil dan mengebom
rakyat sipil di Suriah, Rusia sebenarnya ingin menghabisi kelompok oposisi yang menjadi
lawan Assad, atau Rusia ingin membela kaum Syiah. Berbagai tuduhan ini seringkali
dilontarkan oleh media Barat.
Memang benar bahwa, sejak Februari lalu, pihak Barat dan sekutunya telah
mengumumkan jika Assad harus diturunkan adalah sebuah solusi bagi Suriah. Namun,
berbeda dengan Rusia yang berpendapat bahwa yang berhak memilih pemimpin Suriah ialah
rakyat Suriah sendiri tanpa adanya campur tangan pihak luar.
Tapi, apakah tujuan Presiden Putin mengirimkan pasukan udaranya ke Suriah hanya
untuk membantu Suriah? Tidak. Hal ini didasari pada, bahwa Rusia juga harus melindungi
negaranya dari ancaman terorisme internasional. Rusia sadar jika ia tidak sesegera mungkin
menghabisi ISIS dan kelompok terorisme lain, maka negaranya akan terancam. Contohnya
saat ini, beberapa kelompok di Kaukasus Utara sudah berpihak kepada ISIS dan mencoba
melanjutkan serangan bersenjata. Rusia pun tidak tinggal diam, dan menunggu ISIS
menyerang. Karena itulah, saat ada kesempatan untuk menghancurkan ISIS perlahan melalui
permintaan Suriah, Rusia pun membantu memerangi ISIS dan kelompok-kelompok teroris
lain.


Rusia mengirimkan sekitar 2.000 personel ke Suriah, terdiri dari tentara, pilot jet
tempur, penasihat militer, dan beberapa insinyur militer. Rusia juga mengirimkan berbagai
peralatan militer untuk menunjang Suriah. Yaitu, 20 helikopter milik Rusia, 28 Jet tempur,
Sistem misil antipesawat S-400 serta Buk-M3, Tor-M2, sistem misil pertahanan udara Pantsir
S-1, Jet Bomber Su-24M, Tank T-90, Tank T-90A, Su-35 dan Su-35S, Jet tempur Sukhoi Su25, Helikopter Mi-24, Tank BTR-82A, UAV, kapal tempur AL Rusia dan lain-lain.
Dengan berbagai peralatan militer dan banyaknya pasukan yang dikerahkan, hal yang
telah dilakukan Rusia dalam membantu Suriah adalah sebagai berikut
1. Melancarkan berbagai serangan terhadap target dan fasilitas teroris.
2. Menyadarkan Suriah bahwa musuhnya saat ini ialah ISIS, Front Jabhat AlNusra, beserta kelompok teroris lainnya yang diakui DK-PBB.
Namun, dengan keterlibatan Rusia pada Suriah, AS tidak tinggal diam. AS
menjalankan misi B, yaitu mengirimkan pasukan dadakan dan memberikan senjata kepada
pihak oposisi. Media massa juga memberikan respon negatif pada aktivitas yang dilakukan
Rusia di Suriah, walaupun kebenarannya berada di tangan Rusia.
Demi menghindari peperangan, pada 27 Februari lalu, Rusia pun berinisiatif
mengajak AS untuk menerapkan rezim gencatan senjata di antara pihak-pihak yang bertikai
di Suriah. AS diajak dikarenakan kedua Negara tersebut adalah kepala Kelompok
Internasional Pendukung Suriah. Karena itulah, Presiden Putin dan Presiden Obama
kemudian meyetujui sebuah deklarasi bersama untuk membentuk gencatan senjata. Dalam
deklarasi ini, Amerika dan Rusia menyetujui adanya Penghentian Pertikaian dalam Suriah.
Berikut isi perjanjiannya, yaitu:

“Pertempuran akan berakhir di Suriah pada tengah malam waktu Damaskus, pada 27
Februari 2016, di bawah ketentuan yang merupakan bagian integral dari deklarasi bersama
Rusia dan AS. Pada siang hari, tanggal 26 Februari, semua pihak yang bertikai di Suriah
perlu mengonfirmasi kepada kami atau kepada Amerika bahwa mereka akan mematuhi
kesepakatan gencatan senjata. Lalu, Militer AS dan Rusia akan menandai daerah yang
menjadi tempat kelompok-kelompok ini beroperasi.”

Apakah ada hasil dari perjanjian gencatan senjata ini? Ada. Lebih dari 40 kelompok
oposisi bersenjata telah setuju tunduk pada rezim gencatan senjata. Serangan terhadap ISIS,
Jabhat Al-Nusra, dan kelompok-kelompok teroris lainnya tetap dilaksanakan karena DKPBB telah menetapkan mereka tidak diikutsertakan dalam kesepakatan gencatan senjata.
Gencatan Senjata pun diperpanjang pada Senin, 12 September 2016. Perjanjian ini
dilaksanakan di Jenewa, Swiss antara Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan Menteri
Luar Negeri AS John Kerry. Kedua Negara sepakat untuk memperpanjang gencatan senjata
hingga 48 jam kemudian. Dengan tujuan untuk meminimalisasi aksi kekerasan yang terjadi
di Negara tersebut sepekan terakhir sebelum gencatan senjata diusulkan dalam mediasi di
Jenewa, Swiss.
Namun, gencatan senjata tersebut tidak berlangsung lama, dan tidak benar-benar
menghentikan pertikaian. Salah satu tujuan utama dari gencatan senjata ini, yaitu menerobos
masuk kota Aleppo yang berisi ratusan ribu penduduk yang membutuhkan bantuan dan
dikepung oleh para teroris, namun tidak tercapai. Pelanggaran demi pelanggaran dilakukan

dan saling menyalahi satu sama lain yang berdampak pada perjanjian, yang menandakan
bahwa perjanjian tidak lagi sah dan berlaku. Kurang dari seminggu perjanjian diberlakukan,
pasukan udara koalisi pimpinan AS melakukan penyerangan terhadap tentara Suriah di dekat
Deir-es-Zor, yang menewaskan 62 tentara Suriah. Walaupun, AS berkata bahwa serangan
tersebut adalah sebuah ketidaksengajaan. Rusia pun mengambil tindakan cepat untuk
melakukan rapat darurat kepada DK-PBB pada 18 September 2016.
Rusia seakan tak luput dari tuduhan, AS menyalahkan pasukan Bashar al Assad dan
Rusia atas serangan terhadap konvoi kemanusiaan PBB yang menewaskan sekitar 20 orang
pada keesokan harinya. Rusia menyanggah melalui Kementerian Pertahanannya bahwa
berdasarkan pengintai udara Rusia, yang melakukannya adalah milisi Jabhat al-Nusra yang
meluncurkan serangan besar-besaran di Aleppo pada 19 September, tepat pada area yang
dilalui oleh konvoi.
Atas kejadian itu, Amerika memulai tindakan dengan menuduh Rusia merupakan
dalangnya. Tuduhan bergulir cepat menimpa Rusia, seperti Angkatan Udara Suriah (yang
bekerja sama dengan Rusia) menyerang fasilitas pasokan air bagi 250 ribu penduduk di

wilayah yang dikuasai kelompok pemberontak di Aleppo timur, membiarkan 1,5 juta
penduduk meminum air yang terkontaminasi, bahkan melakukan aksi barbarisme. Amerika
menganggap Rusia telah menyalahgunakan hak istimewa sebagai dewan tetap di DK-PBB.
Begitupula dengan tuduhan yang berasal dari Negara sekutunya. Seakan-akan ingin

menjatuhkan Rusia di mata dunia. Melemparkan kesalahan sendiri, kepada yang tidak
bersalah. Pada kenyataannya, kondisi di lapangan sangat bertolak belakang dengan tuduhan
Amerika dan sekutunya. Di daerah yang dimatikan dan diserang fasilitas pasokan air untuk
1,5 juta warga sipil ialah daerah kekuasaan kelompok pemberontak yang telah bergabung
dengan organisasi teroris yang berafiliasi dengan Al-Qaeda di bawah paying Pasukan
Penakluk (Jaish al-Farah) dan berkoalisi dengan Barat.
Tuduhan-tuduhan ini dilancarkan oleh Duta Besar AS untuk PBB yaitu Samantha
Power dan Duta Besar Inggris untuk PBB Matthew Rycroft melalui media massa barat.
Pihak Rusia pun mempertanyakan validitas tuduhan ini yang pada akhirnya tidak ada
jawaban. Seakan lelah dengan banyaknya tuduhan, Rusia yakin bahwa gencatan sejnjata ini
tidak akan pernah terealisasikan dnegan baik oleh AS dan Rusia.
Hingga akhirnya, pada 14 Maret 2016, Presiden Putin mengumumkan bahwa Kremlin
akan menarik pasukan utamanya dari Negara tersebut. Hal ini disepakati oleh kedua belah
pihak, Rusia dan Suriah. Kedua pemimpin sepakat untuk menarik bagian utama Pasukan
Kedirgantaraan Rusia dari Suriah karena dianggap telah memenuhi misi fundamental yang
telah ditugaskan kepada mereka. Namun, sebagian militernya tetap dipertahankan di
beberapa wilayah di Suriah.
Pada 15 Maret pagi, kelompok pertama pasukan bersenjata dan pengebom Rusia
terbang dari Suriah ke lokasi penempatan permanent mereka. Yang ditinggalkan ialah unit
helicopter, penasihat militer, dan beberapa peralatan militernya. Hal ini sebanding dengan

apa yang telah dilakukan oleh Rusia selama di Suriah, yaitu pasukan Suriah telah
membebaskan lebih dari 400 pemukiman dan meluncurkan lebih dari sembilan ribu serangan
dadakan, menghancurkan lebih dari dua ribu militan ISIS. Dan Pasukan kedirgantaraan Rusia
juga menghancurkan lebih dari 200 fasilitas produksi ISIS dan mampu memotong pasokan
teroris sepenuhnya. Dunia mempertanyakan mengapa Rusia menarik kembali pasukannya,

namun dengan jelas dikatakan bahwa Rusia hanya membantu Suriah jika memang ada
permintaan dari Suriah sendiri. Dan janji itu ditepati oleh Rusia.
Sebuah kebijakan luar negeri yang dianut Rusia saat ini ialah Membantu perdamaian
dunia dengan sekuat tenaga dan tentunya melalui kesepakatan bilateral atau permintaan
Negara itu sendiri. Dalam pencapaiannya untuk perdamaian dunia, Rusia juga sudah
memulai proses penting bagi kepentingan nasionalnya yaitu melindungi Rusia dari pihak
teroris. Power yang Rusia miliki merupakan kursi kehormatan dan tetap di Dewan
Keamanan PBB. Disamping itu, Rusia yang memiliki hubungan baik dengan Suriah pun
memiliki power untuk menjalankan kebijakan luar negerinya dan kepentingan nasionalnya.
Sebuah power juga untuk menandingi Amerika Serikat yang saat ini seakan-akan ingin
menguasai dunia tanpa henti.
Kapabilitas yang Rusia miliki adalah pasokan militer baik darat, laut, udara untuk
membantu Suriah dan juga melindungi dunia dari terorisme atau anti-terror. Kapabilitas lain
yaitu semakin terlengkapinya peralatan militer yang canggih bahkan sungguh menakjubkan

bagi dunia militer saat ini.
SDA-nya yang cemerlang juga membantu Suriah dan menghancurkan terorisme
perlahan melalui penasihat militer, insinyur militer, dan lain-lain. Pasokan makanan,
minuman, dan kemanusiaan yang dikerahkan juga merupakan kapabilitas yang dimiliki
Rusia untuk membantu Suriah.
Hal ini merupakan sebuah apresiasi besar bagi Rusia, yang saat itu Negara lain masih
berdiri di Suriah seakan-akan ingin ‘memakan’ Suriah, namun dengan penepatan janjinya
bahwa Rusia hanya akan membantu melalui kesepakatan atau permintaan.

Daftar Pustaka