PENELITI DAN KONTEKS TEORETIK PENELITIAN

PENELITI DAN KONTEKS TEORETIK PENELITIAN SASTRA
Aprinus Salam
Pascasarjana FIB UGM, Yogyakarta
Abstrak
Tulisan ini mencoba menjelaskan kondisi peneliti sastra (di Indonesia) dan wacana
teoretik yang mengondisikannya. Terdapat situasi yang menyebabkan peneliti sastra
menjadi tukang teliti dalam aturan formal normatif daripada memposisikan
penelitian sebagai suatu eksplorasi pemikiran atau gagasan. Teori-teori sastra
mutakhir membuka peluang untuk eksplorasi lebih lanjut bagi pengembangan
pemikiran atau gagasan untuk kasus-kasus yang lebih spesifik sesuai dengan kondisi
material sastra Indonesia.

Pengantar
Kajian tentang karya sastra dan pengarang merupakan arus utama kajian
sastra. Pengembanganteori dan metode penelitian diorientasikan untuk menjelaskan
hal tersebut. Perhatian terhadap kondisi-kondisi peneliti dan hasil penelitian sastra,
khususnya di Indonesia, belum cukup mendapat perhatian. Hal lain yang
belumcukup mendapat perhatian adalah bagaimana situasi teori-teori sastra, ke mana
arah perkembangan teori sastra, dan bagaimana teori-teori tersebut memposisikan
peneliti sastra.
Dengan demikian, pertama, persoalan yang dibicarakan adalah mencoba

mencermati bagaimana kondisi dan situasi peneliti sastra (di Indonesia). Kedua,
bagaimana konteks teoretik yang berpengaruh terhadap hasil penelitiannya.
Bagaimana suatu teori menjelaskan dan menganalisis objek material, yang
kemudian, hal itu menggiring persoalan ke objek formalnya. Ketiga, teori tertentu
membawa kita (peneliti) ke mana, apa implikasi dari penerapan berbagai teori
tersebut.
Dalam melihat persoalan tersebut, hal yang akan dilakukan adalah mencoba
menjelaskan kondisi peneliti dalam ranah penelitian sastra. Pengertian ranah dengan
“mengadopsi” cara Bourdieu (1977, 2010) dengan mempertimbangkan struktur

ranahdan konteks teoretik para peneliti menempatkan posisinya dalam satu hierarki
kuasa tertentu. Penelitian ini memperhitungkan apa yang dimaksud dengan habitus,
trajektori, dan kekerasan simbolik yang dialami para peneliti. Dalam melihat hasil
penelitian dan konteks teoretiknya, serta posisi subjek peneliti, saya “mengadopsi
kritik kontemporer Zizek (1989, 1994, 1997), berkaitan dengan kekuatan tatanan
simbolik kapitalisme sebagai ruang tempat berkiprahnya para peneliti.
Peneliti dan PenelitianStruktural
Perguruan tinggi yang memiliki fakultas sastra di Indonesia telah dimulai
pada tahun 1950-an seperti di UGM, UI, dan beberapa universitas lain. Hingga
tahun 1970-an, telah cukup banyak sarjana sastra diluluskan. Tidak semua lulusan

menjadi dosen dan peneliti karena sebagian yang lain bekerja di luar keahliannya
sebagai sarjana sastra. Hal ini disebabkan sempitnya lahan pekerjaan yang sesuai
dengan keahlian sastra. Keberadaan fakultas sastra tidak berkorelasi langsung
dengan pentingnya kajian sastra sebagai ilmu. Keberadaan fakultas sastra
ditempatkan dalam satu spektrum politik kebudayaan demi legitimasi negara, bukan
soal substansi kajian sastra.
Dana dan kesempatanyang dialokasikan untuk penelitian sastra relatif kecil.
Profesi peneliti sastra belum dianggap sebagai keahlian yang dibutuhkan atau
menjanjikan secara ekonomi. Dalam struktur kuasa ekonomi dan pembangunan,
masyarakat tidak membutuhkan sastra. Para sarjana dan peneliti sastra menjalankan
rutinitasnya di kampus dan lembaga bahasa sebagai bagian dari birokrasi prosedural
dalam tatanan struktur bernegara. Cukup banyak aturan yang dinisbahkan kepada
para peneliti sehingga penelitian menjadi urusan administrasi. Mereka melakukan
penelitian dalam paradigma struktural, sesuai dengan konteks teoretik yang
berkembang pada waktu itu. Dalam konteks ini, para peneliti tidak mampu keluar
dari kekerasan simbolik yang menimpanya. Sekali lagi, struktur teknokrasi dan
kuatnya rezim eksakta menyebabkan konsep “penelitian sastra” belum dipahami
sebagai penelitian.
Trajektori penelititerlihat dengan masuknya sebagian besar para calon
sarjana sastra Indonesia bukan sebagai pilihan pertama. Berdasarkan informasi,


mereka yang masuk program studi sastra sebagian besar merupakan pilihan kedua
atau ketiga. Kelak, hal iniberpengaruh terhadap keseriusan para sarjana sastra dalam
mengkonsekrasi keahliannya. Modal peneliti (dalam perspektif Bourdieu), sangat
minimalis sehingga dalam pertaruhan di arenanya, peneliti dalam posisi terdonimasi
dan subordinatif.
Masa-masa transisi untuk perubahan posisi sarjana sastra (baca peneliti)
dimulai pada akhir dekade 1980-an. Secara eksternal, lingkungan sosial dan
teknologi membantu perkembangan penelitian sastra. Dalam kondisi yang serba
terbatas, perguruan tinggi-perguruan tinggi mulai banyak melahirkan para sarjana
sastra, dari sarjana satu, master, hingga doktor. Mereka sebagian besar bekerja
menjadi dosen, di Badan, Balai, dan Kantor Bahasa, hingga peneliti-peneliti lepas
(independen), dan sebagian yang lain menjadi sastrawan dan/atau penyair, atau
menjadi wartawan.
Ada pergeseran kualitas pengertian dan paradigma penelitian sehingga
banyak dari para sasrjana sastra atau peneliti tidak bisa disebut sebagai kritikus.
Apalagi jika asumsi tentang kritikus berkaitan dengan “penilaian estetik” seperti
yang pernah dilakukan H.B. Jassin. Penilaian dan cara kerja Jassin sulit
dikategorikan sebagai pekerjaan akademik karena tubuh teori tulisan-tulisan Jassin
tidak begitu tampak bangunannya. Pendekatan yang dipakai Jassin lebih sebagai

catatan-catatan impresi yang tidak terbingkai dengan utuh, baik pada tataran asumsi
maupun tataran teoretik. Dalam posisi yang berbeda, A. Teeuw (1955, 1958, 1967,
1979, 1983),merupakan tokoh peneliti sastra yang terbingkai secara akademik. Hal
yang ingin dikatakan adalah bahwa pada masa kedua tokoh itu ilmu dan teori sastra
masih dalam kuasa dan paradigma struktural.
Rangkaian rezim struktural itu berjalan secara simultan hingga tahun 2000an. Selain karya Jassin (1968, 1985/1952, 1985a/1954, 1985b/1962, 1985c/1967),
dan Teeuw (1955, 1958, 1967, 1979, 1983), ada beberapa buku lain yang dipakai
oleh para peneliti sastra, yakni karya Stanton (1953), Usman (1957), B. Siregar
(1964), Junus (1974, 1981, 1983), Rosidi (1964, 1969, 1973), Nursinah (1969),
Nurgiyantoro (1995), Sayuti (2000). Penelitian-penelitian sastra dalam orientasi
struktural (dan semiotik) sebagian masih mengandalkan buku-buku tersebut.

Berdasarkan perspektif teoretis, tulisan-tulisan di atas dapat dibagi ke dalam tiga
kecenderungan. Pertama, walaupun tidak dipaparkan secara eksplisit, yaitu tulisantulisan dengan mencampurkan hal-hal impresif dan teori struktural seperti tampak
pada tulisan Jassin (1968, 1985, 1985a, 1985c, 1985c), Rosidi (1984, 1969), Usman
(1957), Eneste (1982), Nursinah (1969), dan B. Siregar (1964). Kedua, tulisan yang
berangkat dari kerangka teori struktural seperti tampak pada tulisan Teeuw (awal)
(1955, 1958, 1967), Pradopo (1967, 1988, 1995, 2002), Nurgiyantoro (1995), Sayuti
(2000), dan Junus (1960, 1974).
Konteks teoretik struktural mencoba menjelaskan ketertataan internal karya

sastra, sebagai implikasi pengetahuan modern yang ingin menguasai dunia, tetapi
sekaligus sebagai bentuk ketaklukan terhadap struktur. Dominasi struktur akan
menjelaskan bahwa hal-hal yang tidak koheren terhadap struktur dianggap kelainan
sehingga dikeluarkan, atau dianggap sebagai degresi yang mengganggu. Dalam
beberapa hal, pendekatan ini berimplikasi ideologis dan dalam rentang waktu yang
cukup lama memberikan pengaruh terhadap disiplin ilmu sastra pada penelitinya.
Akan tetapi, kelak terbukti akan banyak perlawanan terhadap pendekatan struktural,
di samping karena mengabaikan aspek historis, pendekatan ini terlalu bernafsu
mentotalisasi dunia.
Dalam rentang waktu yang berjalan bersamaan, terdapat satu situasi ketika
teori semiotik, terutama dari Roland Barthes, berhasil mencuri perhatian. Berbasis
teori linguistik Saussure, Barthes mengembangkan konsep-konsep langue/parole,
signifier/signified, sintagmatik/paradigmatik, denotasi/konotasi (Barthes, 1973).
Barthes juga memperluas pengertian mitos sehingga teori ini kelak menguak lebih
lanjut bagaimana kehidupan yang tidak natural seolah berjalan natural (Barthes,
1976). Penekanan pada parole, relasi pemaknaan terjauh antara penanda dan
petanda, serta kuatnya peran konotasi kelak membuka pintu-pintu pemahaman lebih
jauh bagi teori-teori postruktural. Itulah sebabnya, bersama Levi-Strauss, Barthes
menempatkan posisi transisi antara paradigma struktura; dan postruktural.
Dalam koridor teoretik tersebut, dalam praktiknya, banyak peneliti sastra

yang memposisikan dirinya hanya menjadi tukang teliti struktural. Sejauh ini, kita
hanya memanfaatkan atau memakai teori yang sudah jadi itu. Teori yang sudah jadi

itu tinggal dipakai untuk meneliti sastra. Itulah sebabnya, dalam bahasa sarkas yang
lebih populer, kita ini peneliti tukang. Sebagai tukang teliti (peneliti sastra), kadang
hanya menjadi tukang yang hanya memanfaatkan barang yang sudah jadi. Hal itu
dapat dilihat dari berbagai penelitian, sebagai misal; “analisis strukturaldalam novel
A”, “tinjauan puisi B suatu analisis struktural”. Tidak mengherankan jika banyak
hasil penelitian tukang teliti ini menjadi semacam reproduksi tertentu yang bersifat
latah terhadap penelitian yang sudah ada. Penelitian tukang teliti ini tidak
memberikan satu ruang baru atau penemuan baru yang spesifik.
Tuntutan administrasi untuk menjadikan hasil penelitian sebagai syarat
administrasi agar tetap menjadi peneliti atau dosen jauh lebih penting daripada hasil
penelitian itu sendiri. Kooptasi struktural(bernegara) untuk tetap harus meneliti
menjerumuskan peneliti menjadi asal meneliti. Bahkan banyak syarat penelitian
lebih ditentukan oleh format penelitian daripada substansi penelitian. Jadi, banyak
hasil penelitian seolah seperti penelitian karena syarat formal dan administrasinya
telah memenuhi syarat, tetapi dari segi substansi sebetulnya penelitian tersebut
belum akademis dan ilmiah, tidak terdapat pergolakan dan dinamika pemikiran di
dalamnya.

Kalau boleh dikatakan krisis, bukan krisis kritikus atau peneliti sastra. Kita
tidak mengalami satu situasi dan kondisi untuk menjadi pemikir sastra dalam
pengertian luas. Kita ini dituntut menjadi peneliti, dan akan terus meneliti, dan
dalam ruang itu pemikir dan pemikiran tidak diakui sebagai bagian penting dalam
proses pengembangan teori dan metodologi penelitian sastra. Itulah sebabnya,
sejauh yang bisa kita lakukan, kita ini bisanya meneliti. Kita perlu bersusah hati
karena dari Indonesia belum melahirkan para pemikir yang mampu melahirkan teori,
dan teori itu bisa dipakai untuk meneliti sastra.
Teori-teori sastra tidak berkembang ke arah kriteria-kriteria penilaian yang
dibakukan, dan mungkin juga tidak ada gunanya, jika arah tersebut dipertahankan.
Dalam berbagai seleksi karya sastra yang buruk dan bermutu, banyak proses-proses
sejarah dan sosiologis yang mampu menyeleksi keberadaan karya sastra itu sendiri.
Novel Sitti Nurbaya mungkin bagus dan bermutu pada zamannya. Akan tetapi, kita
sulit mengatakan bahwa novel itu masih dianggap

memenuhi selera pembaca

generasi sekarang. Perubahan selera dan ekspektasi pembaca sastra ditentukan tema
zamannya. Berbagai persoalan konvensi dan teknis menulis sastra secara terusmenerus telah berkembang.
Di samping hal yang telah disinggung di atas, keterbatasan dan fasilitasi data

(karya

sastra),

dokumentasi-dokumentasi,

atau

pun

jangkauan

terhadap

perkembangan buku teori masih belum mendapatkan prioritas penting. Untuk
dokumentasi karya sastra, Pusat Dokumentasi/Perpustakaan HB Jassin telah bekerja
keras. Akan tetapi, selain itu, tidak ada perpustakaan sastra yang dapat diandalkan.
Peneliti sastra belum memiliki gairah dan semangat yang tinggi untuk
“memperbarui” pemahaman teoretik untuk mengkaji sastra. Itulah sebabnya, masih
banyak dijumpai hasil penelitian yang tidak lebih merupakan sesuatu yang bersifat

duplikatif atau reproduktif, bahkan normatif.
Selain itu, banyak peneliti yang melakukan penelitian atau menulis paper
sebagai bagian dalam rangka tertentu, sebagai misal, untuk mengikuti seminar atau
simposium yang telah ditentukan temanya. Tema seminar atau simposium biasanya
juga dalam rangka (teringat Umar Kayam). Dalam rangka tersebut pada umumnya
untuk “mendukung” program negara. Tidak heran kemudian banyak seminar dan
hasil-hasil penelitian dengan judul; sastra dan pendidikan karakter, sastra dan
multikulturalime, sastra dan pancasila, sastra dan lingkungan, dan sebagainya. Saat
ini, tema-tema yang berkembang sastra dan revolusi mental, sastra dan
keragaman/kebhinekaan, sastra maritim, ekokritisme dalam sastra, dan sebagainya.
Hal ini juga merupakan salah satu bentuk kekerasan simbolik yang berlapis-lapis.
Sebagai risikonya, sebagai kasus, paling tidak ada dua hal yang dilakukan
dalam meneliti sastra. Pertama, mencoba mengembangkan masalah, misalnya kasus
sastra dan kebhinekaan, mencari-cari bukti apakah sastra telah mengandung unsur
kebhinekaan atau tidak. Dapat diduga bahwa karya sastra yang diteliti tentulah karya
sastra yang mendukung atau mengandung unsur kebhinekaan. Kedua, mencoba
menjelaskan apakah (karya) sastra telah berperan terhadap penghargaan keragaman
dan kebhinekaan. Kita akan tahu bahwa penelitian seperti ini bersifat normatif
bahkan sebagian penelitian tidak ilmiah. Implikasi fenomena dalam rangka yang
normatif tersebut, pertama, penelitian akan menjadi bagian dari prosedur umum


administrasi dan rutinitas. Tidak ditemukan eksplorasi teoretis ilmu sastra. Kedua,
masalah cenderung dicari-cari, seolah-olah memang ada masalah, dan yang
ditemukan adalah masalah dalam rangka tersebut. Ketiga, kajian seperti itu bisa
diduga tidak lebih sebagai upaya pinjam-pasang, pinjam “sesuatu” dari tempat lain,
di-pasang-pasang-kan hingga kelihatan pantas untuk kajian sastra.
Belakangan saya mencermati bahwa penelitian-penelitian terhadap sastra
lisan atau cerita rakyat memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Hal
itu juga disebabkan dorongan pemerintah, terkait dengan strategi kebudayaan
negara, untuk memperkuat basis dan nilai-nilai lokal. Persoalannya, banyak
penelitian terjebak dalam suatu penelitian yang normatif sehingga hasil penelitian
sudah dapat diduga dan tidak memperlihatkan silogisme akademik yang penting,
baik dalam aspek teoretiknya juga dalam strategi menganalisis sastra lisan. Kajian
tentang sastra lisan hanya menjadi ajang legitimasi bahwa dulu lokal-lokal di
Indonesia memiliki nilai-nilai kehidupan yang baik dan tertata. Di balik riset cerita
lisan yang normatif tersebut menyimpan kegelisahan ideologis dan bahkan semacam
fantasi kerinduan terhadap dunia/kehidupan yang sebagian besar telah tergerus
dalam dunia modern yang kapitalistik.
Terdapat kaitan-kaitan kajian struktur sastra dan struktur modernitas. Pada
masa itu, para akademisi belum menyerap teori-teori baru yang dikembangkan

dalam paradigma posmarxis dan postruktural. Negara Indonesia yang sedang
memasuki modernitas, membutuhkan monopoli tafsir atas kebenaran dan
meminimalkan gangguan adanya perbedaan-perbedaan tafsir. Dalam kontes tersebut,
dapat dikatakan bahwa kajian struktural dalam karya sastra berjalan paralel dengan
struktur monopoli kebenaran modernitas yang diusung negara. Kestabilan makna
merupakan prioritas penting pada masa-masa tersebut. Bourdieu dan Foucault,
dengan cara yang berbeda, juga mempersoalkan dominasi simbolik, kuasa rezim
tafsir, agar tafsiran hanya sesuai dengan skema penguasa.
Namun, beberapa tahun belakangan, perguruan tinggi telah melahirkan
cukup banyak skripsi, terutama tesis dan disertasi yang memanfaatkan teori-teori
mutakhir (sebagai objek formal). Teori-teori mutakhir dan kontemporer tersebut
misalnya teori ruang dan poskolonial, teori-teori ideologi, wacana, dan

postrukturalisme dalam berbagai variannya, teori produksi kultural Bourdieu, teoriteori feminisme dan maskulinisme yang beragam (hingga posfeminisme dan
posmaskulinisme), teori kritik sastra kontemporer dari Slavoj Zizek, dan
pengembangan mutakhir teori-teori posmodernisme pun telah tersedia di kampus.
Hampir sebagian besar hasil penelitian itu tersimpan di perpustakaan kampus dan
sebagian besar hasil penelitian itu telah di-on line-kan.
Geliat Sosiologis: Tranformasi Struktural
Seperti telah disinggung, masa transisi situasi penelitian sastra (di
Indonesia)terjadi pada tahun 1980-an akhir. Kajian-kajian sosiologis-struktural
mulai bergeliat. Memang, teori sosiologi sastra bukan hal baru. Pada tahun
1956,Rene Wallek dan Austin Warren telah membuka peluang itu, tetapi buku
mereka mulai banyak dipakai pada tahun 1970-an akhir dan terutama pada tahun
1980-an. Salah satu buku sosiologi sastra yang juga banyak dipakai pada waktu itu
adalah karya Watt (1968) dan Laurenson (1972), membuka peluang yang lebih luas
sehingga memungkinkan peneliti sastra mengkaji aspek sastra dari segi sosiologis.
Berikut beberapa karya yang berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain
Sumardjo (1979, 1981, 1983), Soemargono (1983), Toda (1984), Eneste (1982),
Watson (1972), Damono (1983, 1999), Sastrowardoyo (1980, 1989), Soekito (1984),
Haridas (Aveling) (1986), Heryanto (1985, 1988), Kayam (1988),Foulcher (1988,
1991/1980), Mohamad (1993), Junus1 (1986), Hellwig (1994), Faruk (1994), Darma
(1995), dan sebagainya.
Saya akan membahas secara sekilas. Tulisan Sumardjo, pada masanya, cukup
banyak dipakai. Akan tetapi, kadar akademik tulisan Sumardjo tidak terlalu tampak.
Sebagian besarnya isi bukunya lebih sebagai kumpulan tulisan atau catatan-catatan
lepas. Buku-buku Toda, Eneste, Soemargono, Watson, Damono, Sastrowardoyo,
Soekito, Haridas (Aveling), Kayam, Foulcher, Mohamad, Hellwig, Darma, dengan
1Pada dekade 1980-an itu juga, walaupun terhitung tertinggal, Umur Junus (1985) menulis teori
sastra resepsi. Selain buku Junus, sambil jalan beberapa pergurungan tinggi juga mempelajari
Wolfgang Iser (1978, 1978) dan Hans Robert Jausz (1974, 1975). Buku Iser dan Jausz hingga kini
masih dipakai sebagai pegangan penting dalam kajian-kajian resepsi sastra. Elaborasi pertemuan teks
dan pembaca membuka berbagai kemungkinan bahwa penafsiran dan pemaknaan bergantung
“gudang pengalaman” pembaca sehingga karya sastra dimungkinkan untuk ditafsirkan sesuai dengan
sudut dan posisi pengalaman historis dan sosiologis pembaca.

interes dan titik artikulasi yang berbeda, telah memperlihatkan suatu model kajian
sosiologis. Tulisan Heryanto (1988) merupakan makalah yang penting justru karena
gugatan sosiologisnya terhadap kajian sosiologi sastra yang mainstream. Tulisan atas
nama Heryanto (1988) merupakan kumpulan tulisan tentang sastra kontekstual.
Pemikiran sastra kontekstual, di kemudian hari, akan mendapatkan sambutan dalam
berbagai pemikiran yang lebih kontemporer. Junus, walaupun bukunya berjudul
Sosiologi Sastra Persoalan Teori dan Metode, tetapi isinya lebih sebagai kajian
terhadap karya. Hanya satu bab yang mencoba meringkas teori sosiologi sastra yang
populer pada waktu Junus menulis. Faruk secara khusus membangun tulisan
sosiologi sastra yang bersifat teoretik dalam tradisi Marxis, dan buku itu terutama
memperkenalkan teori L. Goldmann.
Buku-buku dengan orientasi sosiologi sastra terbagi dalam dua pendekatan,
yakni tradisi non-Marxis dan Marxis. Berbeda dengan Watt (1968), buku Laurenson
(1972), walaupun tidak dimaksudkan sebagai pendekatan Marxis, bagaimanapun
dalam bangunan teoretiknya tidak keluar dari struktur, sesuatu yang menjadi
pegangan pendekatan Marxis. Tampaknya, di kemudian hari teori Marx mendapat
eksplorasi lebih jauh. Setelah Marx, diformulasikan lebih lanjut oleh Gramsci
(1971), Althusser (1984), Lukacs (1978), Adorno (1973), Goldmann (1977, 1981),
dan Eagleton (1990, 1998/1976, ). Dari Gramsci kita belajar banyak tentang ideologi
dominan dan hegemonik, peran intelektual, pemikiran, kebudayaan sebagai situs
perjuangan, dan beberapa hal lain.
Secara tidak langsung, Gramsci mencoba memperlihatkan kedudukan karya
sastra dan dalam posisi itu karya sastramengkontestasikan dan menegosiasikan
ideologi-ideologi. Sementara itu, Althusser menjadi penting dalam rangka
membicarakan ISA da RSA dan pengaruhnya terhadap keberadaan sastra dan
pengarang. Lukacs memperkenalkan kesadaran parsial yang mencoba memodifikasi
teori Marx. Adorno terkenal dengan teori reifikasinya. Hal yang menarik untuk
dicatat dari kajian-kajian sosiologis yang ideologis tersebut adalah membangun
pemetaan terhadap konflik-konflik, kontestasi, pertarungan, yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat/bernegara. Akan tetapi, kajian ideologis tidak berpretensi

untuk menyelesaikan kontestasi dan memang bukan itu maksud dari kajian-kajian
ideologis.
Saya ingin memberi perhatian pada Eagleton (1990, 1998/1976) yang dalam
karya-karyanya memperkenalkan kritik materialistik terhadap teks sastra. Hal utama
dari kritik sastra Eagleton adalah ideologi tidak semata berpretensi kontestasi dan
negosiasi yang dibayangkan Gramsci. Ideologi bisa menjadi suatu mekanisme
seleksi estetik ketika Eagleton menjelaskan ideologi estetik dan ideologi teks. Dalam
hal ini yang dimaksud dengan ideologi estetik bagaimana pengarang sastra, sebagai
subjek, berdamai dengan perasaan yang halus terhadap objek estetik yang telah
disepakati bahwa objek estetik itu indah secara universal (universal taste).
Sementara itu, yang dimaksud dengan ideologi teks, bagaimana subjek perlu
bercengkrama dan menyesuaikan diri dengan kekekuatan konvensi, bahasa, dan
berbagai kenyataan historis (terutama bahasa), sebelum pengarang mengeksekusi
tulisannya.
Dalam dekade bersamaan, teori-teori feminisme bergeliat dan merebut
perhatian. Dominasi budaya partriarki telah membangun ketidakseimbangan struktur
kehidupan berbasis gender (tidak semata persoalan kelas). Walaupun pemikiran ini
telah dimulai pada tahun 1930-an di Amerika, di Indonesia dampaknya baru
dirasakan pada tahun 1970-an, khususnya pada tahun 1980-an. Tuntutan terhadap
kesamaan dan kesetaraan hak-hak dalam arti yang luas berpengaruh bukan saja
terhadap kajian sastra, tetapi dalam pratik kehidupan sehari-hari.
Feminisme telah memperlihatkan perkembangan yang menarik. Beberapa
pemikirnya, seperti Simon de Beauvoir, Butler, Wolf, memberikan kontribusi besar
bagi pengelupasan struktur kuasa dan kekerasan simbolik budaya patriarki. Kajian
feminisme berhasil menjadi arus utama pemikiran sosial dan sastra, ikut
berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat Indonesia terhadap kedudukan,
peran, dan fungsi hubungan-hubungan gender. Hal yang signifikan dalam cara
pandang tentang relasi dan peran gender adalah bagaimanapun identitas-identitas
dan nilai-nilai sosial yang dikenakan pada laki-laki dan perempuan adalah
konstruksi sosial. Sebagai konstruksi sosial, identitas dan nilai sosial gender bukan

sesuatu yang kodrati. Teori feminisme sebagai suatu pemikiran, yang berpengaruh
terhadap kajian sastra, ikut membantu perubahan sosial di Indonesia.
Namun, teori feminisme, yang juga beragam dan bermazhab-mazhab itu
meninggalkan

persoalan

berkaitan

dengan

konstruksi

sosial

baru

yang

dimungkinkan ketika feminisme menjadi praksis sosial. Terutama feminisme radikal
seolah membuka peluang terhadap “pelanggaran-pelanggaran” yang sebelumnya
dianggap kodrati. Tentu, berbagai pelanggaran terhadap sesuatu yang dianggap suci
dan kodrati tersebut bukan semata tanggung jawab pemikiran feminisme radikal.
Persoalan lain yang lebih prinsip terkait masalah ontologi dan epistemologi
feminisme (gelombang pertama dan kedua). Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut
pada bagian berikut, terutama terkait dengan pemikiran feminisme posmodern, lebih
khusus lagi posfeminisme.
Salah satu teoretikus dan pemikir sosial yang teorinya dapat diadopsi untuk
kajian sastra adalah Pierre Bourdieu. Berdasarkan teori produksi kultural Bourdieu
(1977, 2010), kita mendapatkan cara meneliti dan mengkaji peristiwa kesusastraan
berdasarkan konsep-konsep yang mempertemukan determininasi bolak-balik dari
struktur dan agen (subjek). Jika ilmu-ilmu sosial sebelumnya terbelah dalam
paradigma sepihak, yakni berdasarkan struktur atau agen (manusia), maka Bourdieu
mempertimbangkan kedua hal tersebut sebagai dua hal yang berkorelasi secara
dialektis. Berdasarkan teori Bourdieu, peneliti akan secara lebih leluasa
mempersoalkan keberhasilan atau kegagalan pengarang melakukan berbagai strategi
dalam menembus arena sastra spesifik. Bourdieu mempertimbangkan kesulitan
pengarang mengatasi kekerasan simbolik, mulai dari habitus, dalam arena yang
berstruktur hierarkis, dan dalam memperebutkan modal sosial, ekonomi, budaya,
dan simbolik.
Elaborasi berbagai pertemuan teoretik melahirkan teori-teori baru, apa yang
kemudian disebut dengan atribusi pos (post). Pengertian pos menimbulkan berbagai
perdebatan, apakah terpisah dari era sebelumnya atau sebagai sambungan dengan
performa baru. Saya termasuk yang berdiri di antara keduanya dengan
mempertimbangkan pendapat Habermas di satu sisi, dan pendapat-pendapat Derrida
dan Foucault di sisi lain. Hal yang dimaksud dengan pos meliputi postrukturalisme,

posmodernisme, poskolonialisme, posfeminisme, merupakan satu konfigurasi baru
yang tidak sepenuhnya terpisah dengan basis dasar konfigurasi yang diperbarui,
walaupun terdapat pula di bagian tertentu yang lain telah terpisah.
Gelombang “Pos-Pos”: Terbukanya Kode-Kode
Pergeseran terpenting dari era struktural ke era postruktural adalah dari
stabilitas makna ke instabilitas makna. Teori yang dikembangkan oleh para pemikir
postrukturalis membangun kelenturan pemaknaan, bisa di mana saja dan dari mana
saja, tidak terikat oleh struktur. Hal tersebut yang biasa disebut sebagai pedekatan
diskursif. Tulisan ini tidak masuk secara detail menjelaskan perbedaan antara
Loytard, Foucault, dan Derrida, misalnya. Akan tetapi, para pemikir tersebut telah
memberikan

sumbangan

besar

bagi

perkembangan

teori

lainnya

seperti

posmodernisme, poskolonialisme, dan posfeminisme. Tidak bisa dikatakan secara
persis kapan gelombang “pos-pos” tersebut mulai menjadi bagian penting bagi
kajian-kajian sastra di Indonesia. Akan tetapi, kalau boleh diduga tampaknya telah
dimulai pada tahun 1990-an. Bahkan Heryanto (1996) mengatakan mulai merebak
pada tahun 1993.
Dengan mempertimbangkan pemikiran Derrida (1977, dan juga berdasarkan
Norris, 1982) dan Foucault (1977, 1987), baik dari segi dekonstruksi makna yang
tak harus selesai maupun dari segi kuasa bahasa (wacana) yang hadir dari mana saja,
pemikiran postrukturalis berpengaruh dan menjadi landasan untuk keluar dari
determinisme struktur dan/atau konstruksi dominan. Para pemikir postrukturalis
telah membongkar tatatan ontologis dan epistemologis yang selama ini menjadi
pegangan struktur yang terlanjur dominan. Hal yang ingin saya garisbawahi dari
pemikiran postrukturalis ini adalah dibukanya kode-kode pemakanaan dan
penafsiran (maupun dalam rangka membuka kode-kode kooptasi kuasa dominan)
sehingga interpretasi dan analisis dapat bergerak secara leluasa dari mana saja dan
dalam posisi apa saja.
Hal tersebut membuka peluang para teoretikus lain, untuk kemudian
mempersoalkan

teori-teori

modernisme,

kolonialisme,

feminisme,

sehingga

berkembanglah kemudian apa yang disebut posmodernisme, poskolonialisme, dan

posfeminisme. (Saya hanya memberi perhatian pada isu-isu yang paling umum).
Seperti

dapat

dilihat

pada

karya-karya

besar

Said

(orientalisme

dan

poskolonialisme), ataupun Bourdieu, maka pemikiran postrukturalisme sangat
berpengaruh dalam karya-karya mereka. Said kemudian berpengaruh terhadap
pemikiran poskolonialisme seperti Spivak dan Bhabha ataupun para pemikir
posfeminisme.
Teori poskolonial telah berhasil membantu kita untuk melihat kerancuan
nasionalisme tokoh-tokoh (pribumi) dalam ruang liminal. Motif-motif mimicry,
mockery, uncany, dan sebagainya memberi informasi kepada kita apa yang terjadi di
balik prilaku meniru, mentertawakan, dan hal-hal lain yang tak terkatakan terkait
dengan visi pengarang dalam menulis karya sastra (Bhabha, 1994). Homi K. Bhaba
memberi pemahaman kepada kita bahwa bagaimana pun selalu ada resistensi
terhadap hegemoni Barat. Ketika pribumi seolah meniru, tetapi tidak meniru sama
sekali, selalu ada celah perlawanan-perlawanan di dalamnya dalam berbagai
bentuknya. Resistensi itu berbeda-beda tergantung lokasi kultural tempat sastra itu
hadir.
Bhabha mempersoalkan ruang liminalnya Said dan Fanon, yakni ketika Said
dan Fanon menempatkan ruang tersebut sebagai sesuatu yang bersifat oposisi biner.
Bagi Bhabha dalam ruang tersebut terdapat berbagai kemungkinan negosiasi dan
hibriditas. Dalam kasus hibriditas, hal tersebut mendapat perhatian lebih lanjut oleh
Anjali Prabhu (2007), yang didefinisikan sebagai pertukaran atau perlintasan
budaya. Pada masa kolonial, hibriditas didasarkan pada ras yang lebih dominan,
yakni pihak kolonial. Dalam perkembangan berikutnya menjadi masalah terkait
dengan persoalan hukum, kebijakan, dan politik yang berfungsi mendukung
kepentingan kolonial dalam mengatur koloni. Persoalan itu menjadi lebih kompleks
pada masa pascakolonial. Prabhu kemudian membangun konsep (dan/atau teori)
yang dijelaskannya secara rinci dalam pengertian-pengertian diaspora dan kreol.
Dalam ruang teori feminis, feminisme yang beroposisi gender tersebut
direvisi bukan saja oleh para feminis posmodern, tetapi juga oleh para feminis
posfeminis. Feminis posmodern, dengan pemuka Helen Cixus, Luce Iragaray, dan
Julia

Kristeva

secara

umum

sepakat

untuk

mengembangkan

wacana

keperempuannya berbasis kefemininannya, tanpa harus mempertimbangkan oposisi
gender. Dalam hal ini, posfeminisme terlihat lebih moderat, yakni untuk
mengembangkan wacana keperempuanan, memang tidak perlu berbasis gender.
Akan tetapi, penerimaan perbedaan konteks budaya keperempuanan itu, dengan
mempertimbangkan nilai-nilai budaya lokal, ras, usia, struktur politik, ekonomi, dan
sosial yang dominan, menyebabkan perbedaan-perbedaan kefemininan itu sendiri
(lihat Brooks, 2011, dan Tong, 2008).
Saya hanya mengambil dua kasus, bagaimana teori poskolonial dan
posfeminisme membuka kode (tafsiran berbeda) dibandingkan dengan tafsir
dominan pada masa sebelumnya. Misalnya, posisi Datuk Maringgih dalam Siti
Nurbaya (Rusli, 1999/1922) dan kasus Laila dalam Saman (Utami, 1999). Datuk
Maringgih sebagai antagonis dianggap orang tua yang licik dan tidak tahu diri
karena masih menginginkan Nurbaya untuk dijadikan istri. Terlepas dari niat dan
karakter, posisi Maringgih melawan Belanda dianggap lebih nasionalis dibanding
Syamsul Bahri. Sebaliknya, perlu dikaji lebih jauh rezim diskursif seperti apa yang
menyebabkan Bahri mengambil keputusan tersebut. Kesediaan Nurbaya menjadi
istri Maringgih perlu diperiksa ulang apakah karena pilihan yang terpaksa atau
sebagai strategi.
Demikian pula halnya, ketika Laila berkenan berhubungan seks dengan
Sihar, apakah Laila dalam posisi karena ingin melawan norma rezim patriarki atau
karena dalam posisi sebagai perempuan yang berhak melepaskan berahinya kepada
seorang lelaki. Persoalannya, siapakah Laila, apakah dia representasi wanita lokal
tertentu di Indonesia, atau apakah Laila dalam posisi sebagai wanita modern kelas
menengah. Posisi-posisi yang ambivalen, kontradiktif, bahkan paradoks di sisi lain,
telah membuka wilayah tafsiran baru yang pada masa-masa sebelumnya belum
dimungkinkan.
Belakangan

yang

juga

mulai

mengambil

peranan

penting

bagi

pengembangan teori sastra adalah teori kritik kontemporer Zizek. Berlatar teori-teori
Hegel, Marx, dan Lacan, Zizek mengembangkan formula-formula yang dapat
diterapkan untuk mengkaji sastra khususnya dan tatanan simbolik masyarakat
kapitalisme pada umumnya. Salah satu hal yang perlu dicatat sehubungan teori

Zizek adalah konsepnya tentang subjek dan fantasi ideologis. Seperti dikatakan
Zizek, subjek terkondisi oleh tiga hal, yakni sesuatu yang nyata (the Real), yang
simbolik (the Symbolic), dan yang imajiner (the Imaginary). Yang nyata adalah
sesuatu yang kita ketahui, tetapi sekaligus kita selalu menghindarinya untuk seolaholah tidak tahu. Bukan saja karena kita sulit mencapainya, tetapi jika kita tahu yang
real justru akan menghancurkan tatanan simbolik. Sementara itu, tatanan simbolik
adalah suatu hal yang subjek hidup di dalamnya dan sekaligus mengkonstruksi
subjek. Hal imajiner adalah ruang subjek membaca atau mengindentifikasi dirinya.
Dalam ruang imajiner inilah biasaya fantasi ideologis dapat diketahui, misalnya
dengan mengkaji karya sastra.
Sisi lain dari teori Zizek, dan ini yang membedakan teorinya dengan warisan
Marx, bahwa segala hal tindakan yang dilakukan subjek bukan karena tidak
mengetahui, tetapi subjek mengetahuinya. Ini yang disebut Zizek sebagai kesadaran
sinis, subjek mengetahui apa yang dilakukannya sebagai hal “tidak sesuai dengan
yang real”, tetapi subjek terus melakukannya. Dalam warisan Marx, subjek
melakukan tindakan karena subjek tidak mengetahuinya, suatu hal yang biasa
disebut sebagai kesadaran palsu.
Berbagai pembongkaran dan penelanjangan itu telah membawa kita paling
tidak pada dua pemahaman. Pertama, kita menjadi paham bahwa cukup banyak
penelitian yang membuktikan ada ketidakleluasaan untuk temuan-temuan penting
yang berkaitan dengan hal-hal penilaian mutu karya sastra. Memang, belakang ini,
dan ini yang sebagian dituntut oleh sastrawan dan penyair, bagaimana mereka tahu
bahwa karya sastra mereka bermutu atau tidak. Karya sastra yang bermutu akan
memberi peluang kepada para peneliti dengan membongkar (mengkritik) secara
serius dan dalam, demikian sebaliknya terhadap karya yang tidak bermutu. Namun,
ujung pembongkaran (pengkritikan) tersebut tergantung bagaimana peneliti
memiliki kebebasan berpikir dan selalu menyegarkan pemahaman teoretiknya dalam
mengkaji sastra.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kita membutuhkan pemikir-pemikir
sastra, dan dalam pengertian yang luas, pemikir budaya, untuk terus-menerus
berpikir dan memikirkan bagaimana sastra bisa menjadi salah satu alternatif penting

agar kita tidak terjebak dalam dunia modern yang kapitalis yang secara teoretik
dapat dikatakan tidak akan membawa bangsa Indonesia ke suatu masa yang penuh
dengan keadilan, kemakmuran, dan/atau kesejahteraan. Tentu akan terjadi berbagai
kontradiksi atau bahkan polemik yang berkepanjangan, dan itu telah terjadi.
Bagaimana seharusnya bukan hanya karya sastra, tetapi lebih dari itu adalah suara
para pemikir dan peneliti sastra dalam memberikan sumbangan terhadap
mutubernegara dan berbangsa.
Tentu begitu banyak hal yang perlu diwaspadai. Kelatahan dan kooptasi
teori-teori yang selama ini, yang hanya tinggal kita pakai, dan kemudian ditulis
secara “praktis” dan “pragmatis”, dalam berbagai paper dan buku (atas nama hasil
penelitian), bukan hal mustahil justru bagian dari strategi dan rangkaian bagaimana
kapitalisme bekerja. Seperti telah disinggung, kita ini sekarang hidup dalam satu
konstruksi tatanan simbolisasi dan nilai-nilai kapitalisme. Berpikir untuk melawan
kapitalisme itu sendiri telah terakomodasi oleh tatanan simbolik kapitalisme. Ini
yang kemudian mengarah pada terjadinya kapitalisme populis.
Kapitalisme populis adalah suatu kapitalisme kultural yang, pada tataran
konsep dan aksi/tindakan, menjadi seolah-olah sebagai bentuk “perlawanan”
terhadap kapitalisme, tetapi justru konstruksi terdalamnya adalah ideologi kapitalis
dalam

bentuknya

yang

lebih

murni.

Sebagai

contoh,

kita

merayakan,

menyeminarkan, dan menulis apa yang kita sebut sebagai ekokritik. Akan tetapi,
ekokritik itu mengalami paradoks ketika kita terus-menerus menggunakan kertas
atau ke mana-mana naik kendaraan bermesin, dan sebagainya. Jika kita tidak
berbicara tentang ekokritik, kita dianggap ketinggalan zaman, tidak memiliki empati
terhadap merosotnya kualitas lingkungan. Hal yang lebih mencemaskan adalah
ekokritik tidak lebih sebagai gaya hidup dengan car free day-nya, untuk beberapa
jam dan setelah itu kita bebas berkendaraan mesin. Yang paling parah adalah ketika
ekokritik menjadi isu yang dikomoditaskan.
Akan tetapi, jika kondisi melawan kapitalisme itu sulit dilakukan, maka
bagaimana jika para pemikir berusaha keluar dari kapitalisme. Kajian dan pemikiran
yang memiliki kemandirian dan otentisitas tentu saja dibutukan. Persoalannya, siapa
yang bisa dan berpeluang menjadi manusia otentik, untuk melahirkan pemikiran

yang mandiri dan otentik, di tengah arus ketika tatanan simbolik kapitalisme dan
arus modal (dalam pengertian Bourdieu) telah merasuk ke dalam berbagai sendi
kehidupan kita.
Tampaknya teori-teori sastra menempatkan karya sastra sebagai bukan kritik
sastra itu sendiri yang penting, tetapi yang lebih utama membawa kita terhadap
mengkritik dan mengkritisi kehidupan seperti apa yang kita jalani. Zizek sudah
memberi jalan dalam medan dan sekaligus mempertentangkan The Real dan The
Other. Walaupun tidak secara eksplisit, dalam pamahaman yang sedikit berbeda
Zizek memberi sinyal apa yang dia sebut sebagai ilusi transendental. Sejalan dengan
itu, kritik sastra mengarah pada pembongkaran apakah karya sastra bagian dari arus
utama kuasa konstruksi dan struktur yang lebih besar, atau karya sastra dalam posisi
di luar itu.
Tulisan ini hanya sampai pada pertanyaan itu, untuk kemudian perlu dibuka
satu diskusi lebih lanjut, apakah itu berkaitan dengan strategi dan pilihan lebih lanjut
bagaimana sastra, dalam pemikirannya, memberikan alternatif terhadap ruang-ruang
baru pemikiran. Ini saatnya, kita sama-sama berpikir secara lebih serius bahwa
aplikasi-aplikasi prosedural yang selama ini diperlihatkan dalam penelitian sastra,
perlu dievaluasi ulang jika itu hanya penelitian demi penelitian itu sendiri atau untuk
urusan administrasi dan kepangkatan.
Sudah saatnya, dan tentu kita berharap, pemikiran dan hasil pemikiran kita
itu memberi kemaslahatan bersama, memiliki energi yang mampu menyelamatkan
kita sebagai manusia dan masyarakat dunia. Kita harus memiliki kesadaran bahwa
sastra tidak selayaknya hanya ditempatkan sebagai wacana dan demi wacana itu
sendiri. Terdapat kelompok masyarakat tertentu, dan tentu ini sebagai usaha awal
berdasarkan hasil pemikiran tertentu, yang menjadikan sastra sebagai sarana
dakwah, misalnya. Kenyataannya, hal itu pun menjadi masalah ketika sastra dakwah
itu juga tidak mampu menghindarkan dirinya dari belenggu dan tarikan kapitalisme,
bahkan kapitalisme populis.
Kesimpulan

Tulisan

ini

adalah

sebuah

pembicaraan

pendek

yang

mencoba

mempersoalkan posisi atau kedudukan sosial para peneliti sastra. Dalam konteks
tatanannya, para peneliti perlu bersikap kritis terhadap perkembangan ilmu,
khususnya teori-teori sastra,

sehingga hasil kajian bukan saja bermanfaat bagi

pengembangan ilmu, tetapi juga dalam jangkauan yang luas memberi kemanfaatan
bagi bangsa dan masyarakat. Hasil kajian sastra memberikan implikasi luas terhadap
kualitas kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Perlu dipikirkan kembali agar posisi para peneliti tidak semata menjadi
tukang teliti, yang hanya memanfaatkan teori-teori yang telah tersedia. Kondisi
tersebut dimungkinkan karena kuatnya tekanan arus utama penelitian dalam
meletakan dan memposisikan objek material kajian. Perlu ada pergeseran atau
suasana lain agar teori-teori yang berkembang bisa menjadi objek material
penelitian. Dengan demikian, penelitian tentang teori sebagai objek materialnya
memungkinkan

kita

bersikap

kritis

terhadap

teori

bersangkutan,

dengan

mempersoalkan teori tersebut mencari dan menjelaskan apa, dan akan ke mana teori
tersebut membawa kita.
Dengan derasnya gelombang teori “pos-pos”, peneliti sastra telah berada
dalam posisi berhadapan dengan kode-kode yang demikian terbuka, kode-kode yang
bersifat ambivalen, kontradiktif, dan paradoks. Petualangan terhadap upaya masuk
ke dalam kode-kode yang kompleks terebut, akan membawa kita pada banyak
temuan yang mungkin tidak atau belum terpikirkan. Akan ada banyak temuan yang
selama ini terpendam. Meminjam secara bebas bahasa Foucault, kita perlu menjadi
para arkeolog, arkeolog dari hal-hal yang bisu, arkeolog dari hal-hal yang masih
terpendam dan dipendam.
Daftar Pustaka
Adorno, Theodor W. 1973. Negative Dialectics. London: Roultedge.
Althusser. Louis. 1984. Essay on Ideology. London: Verso
Barthes, Roland. 1973. Element of Semiology. New York: Hill & Wang.
Barthes, Roland. 1976. Mythology. London: Paladin Book.
Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge.
Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. England: Cambridge
University Press.

Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya
(terj. Yudi Santosa). Yogyakarta: Jalasutra.
Brooks, Ann. 2011. Feminisme dan Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Budiman, Arief. 1985. "Sastra yang Berpublik", dalam Ariel Heryanto. 1985.
Perdebatan Sastra Kontekstual, Jakarta: Rajawali Press.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Damono, Sapardi Djoko. 2000. Priayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an.
Yogyakarta: Bentang.
Darma, Budi. 1995. Harmonium. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Derrida, Jacques. 1978. Writing and Difference. London: Routledge & Kegan Paul.
Eagleton, Terry. 1990. The Ideology of Aesthetic. Oxford: Basil Blackwell.
Eagleton, Terry. 1998/1976. Criticism and Ideology A Studi in Marxist Literary
Theory. London: Verso
Eneste, Pamusuk. 1982. Novel-Novel dan Cerpen-Cerpen Indonesia Tahun 70- an.
Ende: Nusa Indah.
Faruk. 1994. Pengatar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Foucault, Michel. 1977. The Order of Things. An Archeology of the Human
Sciences. London: Tavistock Publication Ltd.
Foucault, Michel. 1987. "The Order of Discourse", dalam Robert Young, Untying
The Text: A Post-Structuralist Reader. London and New York: Routledge
and Kegan Paul.
Foulcher, Keit. 1988. "Roda yang Terus Berputar: Beberapa Aspek Perkembangan
Sastra Sejak 1965", dalam Prisma, Jakarta, No. 8 Tahun XVII.
Foulcher, Keit. 1991 (1980). Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 19331942. Jakarta: Girimukti Pasaka.
Haridas, Swami Anand. 1986. Sastra Indonesia Terlibat atau Tidak?. Yogya karta:
Kanisius.
Hellwig, Tineke. 1994. In The Shadow of Change Images of Women in Indonesia
Literature. Certer for Southeast Asia Studies: University of California.
Heryanto, Ariel (ed.). 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali Press.
Heryanto, Ariel. 1988. "Masihkah Politik Jadi Panglima", dalam Prisma, Jakarta,
No. 8 Tahun XVII.
Heryanto, Ariel. 1996. “Bahasa dan Kuasa: Tatapan Posmodernisme”, dalam Yudi
Latif dan Idi Subandy Ibrahim, Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di
Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan.
Jassin, H.B.. 1968. Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung.
Jassin, H.B.. 1985/1952. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I.
Jakarta Gramedia.
Jassin, H.B.. 1985a/1954. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II.
Jakarta Gramedia.
Jassin, H.B.. 1985b/1962. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei
III. Jakarta Gramedia.

Jassin, H.B.. 1985c/1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei
IV. Jakarta Gramedia.
Junus, Umar. 1974. Perkembangan Novel-Novel Indonesia. Kuala Lumpur:
University Malaya.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya
Indonesia. Jakarta Gramedia.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kayam, Umar. 1988. "Memahami Roman Indsonesia Modern Sebagai Pencerminan
dan Ekspresi Masyarakat dan Budaya Indonesia Suatu Refleksi, dalam
Mursal Esten (ed.). Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang
Relevan. Bandung: Angkasa.
Laurenson, Diana dan Alan Swingewood. 1972. Sociology of Literature. London:
Paladin.
Lukacs, Georg. 1978. The Theory of Novel. London: Merlin Press.
Mohamad, Goenawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Mulder, Neils. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa. Jakarta:
Gramedia.
Norris, Christopher. 1982. Deconstruction: Theory and Practice. London: Metheun
& Co. Ltd.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Nursinah, S.. 1969. Kesusastraan Indonesia (Cet. III). Jakarta: Tunas Mekar Murni.
Prabhu, Anjali. 2007. Hybridity: Limits, Transformations, Prospects.
New York: States University of New York Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1967. "Penggolongan Angkatan dan Angkatan 66 dalam
Sastra", dalam Horison No. 6. Th. II, Juni.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern. Klaten: Dwi Dharma.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama
Media.
Rosidi, Ajib. 1964. Kapankan Kesusastraan Indonesia Lahir?. Djakarta: Bharata.
Rosidi, Ajib. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Rosidi, Ajip. 1973. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia.
Djakarta: Pustaka Jaya.
Rusli, Marah. 1999 (1922). Siti Nurbaya. Jakarta: Balai Putaka.
Sastrowardoyo, Subagio. 1980. Sosok Pribadi dalam Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sastrowardoyo, Subagio. 1989. Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan.
Jakarta: Balai Pustaka.
Sayuti, Suminto A.. 2000. Berkenanal dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama
Media.
Siregar, Bakri. 1964. Sejarah Sastra Indonesia I. Jakarta: Akademi Bahasa dan
Sastra "Multatuli".

Soekito, Wiratmo. 1984. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Arus.
Soemargono, Farida. 1983. "Kelompok Pengarang Yogya 1945-1960: Dunia Jawa
dalam Kesusastraan Indonesia", dalam Citra Masyarakat Indonesia.
Jakarta: Sinar Harapan.
Stanton, Robert. 1965/1953. An Introduction to Fiction. New York: Holt, Rienehart
and Winston.
Sumardjo, Jakob. 1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Sumardjo, Jakob. 1981. Segi Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
Sumardjo, Jakob. 1982. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur
Cahaya.
Teeuw, A. 1955. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru I. Jakarta:
Pembangunan.
Teeuw, A. 1958. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru II. Jakarta:
Pembangunan.
Teeuw, A. 1967. Modern Indonesia Literature. The Hague: Martinus Nijhoff.
Teeuw, A. 1979. Modern Indonesian Literature Vol. II. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Thompson, John B. 1985. Studies in the Theory of Ideology. Berkeley, Los Angeles:
University of California Press.
Toda, Dami N.. 1984. Hamba-Hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan.
Tong, Rosemarie Putnam. 2008. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra.
Usman, Zuber. 1957. Kesusastraan Baru Indonesia. Djakarta: Gunung Agung.
Utami, Ayu. 1999. Saman. Jakarta: Gramedia.
Watson, C.W.. 1972. The Sociology of the Indonesian Novel 1920-1955. a thesis
submitted for the degree of master of arts, University of Hull, unpublished.
Watt, Ian. 1968. The Rise of the Novel. Harmondsworth, Middlesex, England:
Penguin Books Limited.
Wellek, Rene, dan Austin Warren. 1956. Theory of Literature. New York: Harvest
Book, Harcourt Grace & World. Inc.
Zizek, Slavoj (Ed.). 1994. Mapping Ideology. London & New York: Verso.
Zizek, Slavoj. 1989/2009. The Sublime Object of Ideology. London & New York:
Verso.
Zizek, Slavoj. 1997/2008. The Plague of Fantasies. London & New York: Verso.