EKSISTENSI DAN PEMBERDAYAAN SENI TRADISI

EKSISTENSI DAN PEMBERDAYAAN SENI
TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR
Oleh: Cak Wido
DHANDHANG GULA MALANGAN

Ngawruhana dununge wong urip
Lamun benjang yen sampun palastra
Wong mati nyangdi parane
Umpamakna pěksi mabur
Mlěsat saking kurungan neki
Datěng pundi puruging benjang
Aja kongsi kleru
Umpamakna wong ndik ndonya
Asesanja tan badhe mulih
Menyang jaman kamulyan (aowang…)

Pengantar
Kehidupan kebudayaan etnik/tradisional daerah (termasuk seni tradisional)
bertahan dan berkembang karena mendapat dukungan masyarakatnya yang berupa
kemampuan untuk melakukan apresiasi dalam arti penghayatan dengan kesadaran
estetiknya (Sutopo,


1991). Hal ini dapat dipahami karena budaya khususnya seni

tradisional (di dalamnya termasuk seni tradisional ritual) merupakan salah satu bagian
esensial dari presentasi histories akan masa lampau dari kelompok etnik tertentu. (Edi
Subroto, 1991:4). Seni tradisional ritual merupakan kesatuan dari religi masyarakat
pendukungnya.
Spencer berpendapat bahwa asal mula religi, karena manusia sadar dan takut
akan mati (Koentjaraningrat, 1980: 34-37). Ia berpendirian bahwa bentuk religi yang
tertua adalah penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa
Soerjo Wido Minarto, adalah dosen pada Prodi Seni Tari Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri
Malang




Cak Wido: EKSISTENSI DAN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

1


orang-orang yang telah meninggal, terutama nenek moyangnya. Namun, secara khusus
tiap bangsa dapat mengalami proses evolusi yang berbeda-beda. Misalnya suatu bangsa
memilik keyakinan akan kelahiran kembali, ada keyakinan bahwa roh manusia itu bisa
dilahirkan kembali ke dalam tubuh binatang, maka terjadi suatu bentuk religi dimana
manusia menyembah binatang atau roh binatang. seperti misalnya kesenian tradisional
yang mengesplor binatang (kuda lumping, kebo-keboan, singa barong, barongan dan lain
sebagainya).
Menurut pendapat E.B.Tylor, asal mula religi dikarenakan kesadaran manusia akan
adanya jiwa. Kesadaran ini disebabkan oleh dua hal:
1. Adanya perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal
yang mati. Manusai sadar bahwa ketika manusai hidup ada sesuatu yang
menggerakkan dan kekuatan yang menggerakkan manusia itu disebut dengan jiwa.
2. Peristiwa mimpi, di mana manusia melihat dirinya di tempat lain (bukan di tempat ia
sedang tidur ). Hal ini menyebabkan manusia membedakan antara tubuh jasmaninya
yang berada di tempat tidur dengan rohaninya di tempat-tempat lain yang disebut jiwa.
Selanjutnya Tylor mengatakan bahwa jiwa yang lepas ke alam disebutnya dengan roh
atau mahluk halus. Inilah yang menyebabkan manusia berkeyakinan kepada roh-roh
yang menempati alam.
Tingkatan religi tertua, Taylor menyebutnya dengan istilah animism, manusia

percaya bahwa mahluk-mahluk halus (tidak dapat tertangkap oleh pancaindera manusia)
yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya, mampu berbuat hal-hal yang tak
dapat diperbuat manusia. Ia mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, sehingga menjadi obyek penghormatan dan penyembahan, yang disertai
berbagai upacara berupa doa, sajian, atau korban ( Koentjaraningrat 1980:48).
James L. Peacock, peneliti seni pertunjukan rakyat di Jawa Timur berpendapat
bahwa upacara ritus dilakukan dengan tujuan untuk menghormati Danhyang. Danhyang
ini merupakan kompleksitas kepercayaan orang abangan terhadap animisme yang terpadu
dengan tradisional agama Hindu dan Budha (Peacock, 1968:35-36). Clifford Geertz
Cak Wido: EKSISTENSI DAN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

2

(1983:17-18) berpendapat bahwa upacara ritus dalam bentuk selamatan (slametan: Jawa)
bagi orang Jawa abangan adalah usaha untuk membina hubungan yang serasi antara
manusia dengan roh moyang di sekitarnya, agar tidak mengganggu orang-orang yang
bersangkutan. Selamatan itu dilengkapi dengan sesajian sebab roh moyang ikut memakan
bau-bau makanan yang dihidangkan. Keadaan yang didambakan oleh kaum abangan
ialah slamet gak ana apa-apa (selamat tidak ada apa-apa), ritus inilah yang oleh Geertz

disebut ritus kaum abangan yang menganut agama Jawa, yaitu merupakan perpaduan
unsur kepercayaan terhadap animisme, Hinduisme dan Budhaisme.
Harsya Bachtiar berpendapat bahwa ritus tersebut sebenarnya merupakan pemujaan
terhadap sangkan paraning dumadi (dari mana manusia itu berersal, apa dan siapa dia
pada masa kini, dan kearah tujuan hidup mana yang ditujunya).
Bagi orang Jawa melakukan ritual bertujuan untuk membina keseimbangan dunia
nyata dan dunia maya (makro dan mikro kosmos), sehingga akan mencapai tujuan hidup
yang diharapkan yaitu ‘hidup damai, sejahtera bahagia dunia akherat (urip ayĕm tĕntrĕm
donya akerat). Oleh sebab itulah banyak cara untuk menyampaikan suatu ajaran tentang
nilai-nilai luhur dalam kehidupan di alam fana ini oleh nenek moyang kita. Dengan
perilaku yang baik, berbudi mulya, manusia Jawa senantiasa merebut predikat “Budi
Luhur”. Dengan predikat tersebut, akan dapat mencapai cita-cita utama hidup manusia
Jawa, yaitu mulih mulanira dumadi. Oleh sebab itulah nenek moyangnya selalu
menyampaikan ajaran tersebut yang ditularkan melalui wejangan pitutur/petuah,
sekaligus memberikan tauladan pada anak cucunya. Adapun ajaran-ajaran tersebut dapat
diwujudkan antara lain berupa gerakan, lukisan, lambang/simbol, tulisan, tembang/syair
dan pitutur yang bercerita atau dongeng, diantaranya melalui kesenian tradisional yang
menyatu dengan upacara ritual.
Upacara ritual adat Jawa dilakukan demi mencapai ketenteraman hidup lahir dan
batin. Dengan mengadakan upacara tradisional itu, orang Jawa memenuhi kebutuhan

spiritualnya, eling marang purwa duksina. Kehidupan ruhani orang Jawa memang
bersumber dari ajaran agama yang diberi hiasan budaya lokal. Oleh karena itu, orientasi
kehidupan keberagaman orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang
telah diwariskan oleh nenek moyangnya (Purwadi, 2005:v).
Cak Wido: EKSISTENSI DAN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

3

Selanjutnya, Purwadi (2005:v), menyatakan upacara tradisional dilakukan orang
Jawa dengan tujuan memperoleh solidaritas sosial, lila lan legawa kanggo mulyaning
negara. Upacara tradisional juga menumbuhkan etos kerja kolektif, yang tercermin dalam
ungkapan gotong royong nyambut gawe. Dalam berbagai kesempatan, upacara tradisional
memang dilaksanakan dengan melibatkan banyak orang. Mereka melakukan ritual ini
dengan dipimpin oleh para sesepuh dan pinisepuh masyarakat. Upacara tradisional juga
berkaitan dengan lingkungan hidup. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa lingkungan
hidup itu perlu dilestarikan dengan cara ritual-ritual keagamaan yang mengandung nilai
kearifan lokal.
Ritual atau pola ibadat (worship) sebagai salah satu komponen pelembagaan
agama atau religi, adalah kegiatan atau aktivitas manusia yang berupa pemujaan,

kebaktian, permohonan atau pengungkapan rasa syukur dalam hubungannya dengan
pengalaman yang suci atau sacred. Pengalaman itu menyangkut segala sesuatu yang
dibuat atau dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan yang
“tertinggi”. Hubungan itu bukan sesuatu yang sifatnya biasa atau umum, tetapi sesuatu
yang bersifat khusus bahkan istimewa, sehingga manusia membuat suatu cara yang
pantas guna melaksanakan pertemuan itu, maka
muncullah bentuk ritual dengan segala
1
macam aspeknya berbetuk ungkapan simbolis, berupa ekspresi seni, seperti seni tari,
teater, karak-karakan, music, vocal dan lain sebagainya. Ritual merupakan transformasi
simbolis dan ungkapan perasaan manusia. Hasil akhir artikulasi yang demikian itu
merupakan emosi yang spontan dan kompleks. Oleh sebab itu suatu ritual agama
merupakan suatu kegiatan yang cocok dari gerakan seremonial, bunyi-bunyian, dan
berbagai ucapan verbal (Hadi, 2005:86).
EKSISTENSI SENI TRADISIONAL RITUAL DI JAWA TIMUR
Secara geografi budaya masyarakat Jawa Timur dapat dipilahkan ke dalam 5
(lima) wilayah kebudayaan (culture area). Kelima wilayah geografi budaya (culture
area) tersebut, yaitu: (1) culture area budaya Jawa dengan orientasi bahasa Jawa
Surakarta atau Yogyakarta (Mataram). Masyarakat tersebut menggunakan bentuk sapaan
bahasa Jawa sebagai berikut, “kowe, bocah-bocah, kangmas, dhiajeng, bapak, eyang

Cak Wido: EKSISTENSI DAN
4
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

kakung, eyang putri”. Secara geografis, meliputi wilayah Kabupaten Ponorogo,
Kabupaten trenggalek, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi,
Kabupaten Madiun, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Kediri;
(2) culture area Brang wetan, residu budaya pusat Majapahit dengan ciri khas bentuk
sapaan bahasa Jawa “Brang Wetan”, sebagai berikut, “Arek-arek, koen, rika, pena,
cacak, wak, ning”. Istilah “Brang Wetan” berasal dari kata “seberang wetan” artinya
sebelah timur sungai Brantas. Secara geografis meliputi wilayah Kabupaten Mojokerto,
Kabupaten Jombang, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Malang. Di
wilayah “Brang Wetan” ini terselip masyarakat pemakai bahasa daerah Jawa khas dialek
Tengger dengan kultur agama Hindu-Budha, meliputi wilayah gunung Tengger, Bromo,
dan Semeru. Secara geografis sebagian termasuk wilayah Kabupaten Pasuruan,
Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang; (3) culture area
Jawa Pesisiran lebih banyak menggunakan bahasa Jawa Brang Wetan yang
berdampingan dengan bahasa Madura. Di wilayah Bojonegoro dijumpai dialek khas
Bojonegoro, “Bapak-em, embok-em, pelem-em”. Secara geografis daerah pesisiran
meliputi daerah Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Bojonegoro, dan

Kabupaten Gresik; (4) culture area Madura yakni masyarakat Jawa Timur yang
berbahasa Madura dengan ciri khas wilayah Madura Barat, Madura Tengah dan Madura
Timur. Secara geografis, meliputi: pulau Madura, (daratan Madura), dan pulau-pulau di
sekitar pulau Madura seperti Bawean dan Kangean. Wilayah Jawa Timur yang
penduduknya berbahasa Madura antara lain daerah pantai Kota Surabaya, daerah pantai
Kota Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo,
Kabupaten Lumajang. Dan Kabupaten Situbondo, pesisir Kabupaten Banyuwangi, daerah
pedalaman Kabupaten Bondowoso, serta Kabupaten Jember yang termasuk daerah ex
Kresidenan Besuki; (5) culture area Using yang masyarakatnya berbahasa Jawa dialek
Using di wilayah Kabupaten Banyuwangi (Supriyanto, 1987/1988:5-6).
Pembagian wilayah kebudayaan (culture area) tersebut dapat dipertajam lagi
dengan memilahkan subbudaya (subculture) arek (untuk masyarakat Surabaya dan
sekitarnya, subbudaya Tengger (masyarakat yang tinggal di lereng gunung Bromo baik
yang masuk wilayah Lumajang, Probolinggo, maupun Malang sebelah timur), subbudaya
Cak Wido: EKSISTENSI DAN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

5

Bawean, subbudaya Samin di wilayah perbatasan Bojonegoro dengan Ngawi, dan

subbudaya Panaragan. Selain itu kita mengenal subculture pesantren yang memiliki ciriciri yang berbeda dengan masyarakat lainnya (Sudikan, 2004:2).
Dalam penyelenggaraan upacara adat (ritual), baik di Jawa Timur maupun di Jawa
Tengah selalu melibatkan kesenian tradisional. Upacara adat yang dikembangkan
masyarakat Ponorogo, Kediri, Malang, Sumenep, dan Banyuwangi, selalu terkait dengan
kesenian tradisional kraton dan seni tradisional rakyat. Di pihak lain, daerah-daerah yang
tidak memiliki akar sejarah pusat kerajaan, dalam upacara adat lebih memilih
mengembangkan seni tradisional rakyat (Sudikan, 1999:7). Berbagai cabang kesenian, di
antaranya: seni pertunjukan (tandhakan, reog, wayang, ludruk, Jaranan, Sandur,Wayang
Topeng, Kebo-keboan, Seblang dan lain-lain), seni musik (karawitan), seni rupa
(dekorasi), dan seni deklamasi (macapatan) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
upacara adat. Oleh sebab itu, upacara adat dapat dijadikan media untuk mengembangkan
seni tradisional. Benteng terakhir pengembangan seni tradisional yaitu upacara adat.
Apabila upacara adat ditinggalkan masyarakat, maka seni tradisional akan punah dari
bumi pertiwi.
Istilah tradisional sering dihubungkan dengan pengertian adat, yang berkonotasi
sesuatu (peristiwa, kegiatan) yang berlaku berulang ulang, berlangsung sejak waktu yang
relatif lama dengan bentuk yang nyaris tidak berubah. Dengan kata lain, Tradisional
adalah “sesuatu” (termasuk seni) yang berusia panjang dan ditularkan secara
turun trmurun. (Wido, 2007: 2-3) Dari pernyataan tersebut tersirat beberapa unsur
pengertian tentang seni tradisional, yaitu:

a.

Usia.
Seni tradisional biasanya dilahirkan pada waktu yang relatif tua. Saking tuanya
kadang kadang tidak diketahui lagi kapan, dimana, bagaimana dan oleh siapa seni
tersebut dilahirkan.

b.

Mutu.

Cak Wido: EKSISTENSI DAN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

6

Berkaitan dengan usianya yang relatif tua, kesenian ini mampu bertahan hidup
melalui kristalisasi zaman serta seleksi masyarakat yang ketat. Dengan demikian
kesenian ini pada dasarnya telah teruji mutunya.
c. Komunal.

Kesenian ini lahir dilingkungan, diseleksi, didukung dan digunakan untuk
kepentingan masyarakat baik untuk keperluan yang berhubungan dengan agama,
kepercayaan, upacara adat dan acara keluarga (sebagai anggota masyarakat). Oleh
sebab itu kesenian ini sifatnya komunal, lebih dari pada individual.
d. Aturan.
Karena sifatnya yang komunal, setiap warga merasa memiliki, menghidupi,
mengubah, mengatur dan menggunakannya secara bersama. Dengan mufakat
(mungkin tidak tertulis maupun terucap), pengaturan penggunaan ditentukan bersama
oleh masyarakat, kesenian ini tunduk pada aturan aturan tertentu, baik aturan tampil,
penggunaan, aturan estetis, dan sebagainya.
Seni tradisional sangat erat hubungannya dengan masyarakat pemiliknya. Ia
merupakan atribut, sarana ungkapan kejiwaan, komunikasi dari masyarakat kepada
anggota masyarakat lainnya maupun dengan Yang Diatas. Ia juga merupakan lambang
dan menyiratkan nilai nilai yang berlaku, juga merupakan bagian dari kehidupan dan
budaya masyarakat tertentu. Tetapi justru karena sifatnya yang komunal, masyarakat
merasa dekat dengan seni tradisional. Mereka merasa ikut membuat, memelihara,
mendukung kehidupannya, kemudian banyak anggota masyarakat merasa tahu tentang
seni tradisional, walaupun diluar wilayah budayanya. Dengan demikian mereka berhak
untuk menggunakannya, mengubahnya dan bahkan juga membuangnya jika sekiranya
tidak diperlukan lagi (Supanggah, 1994: 3-5).
R.M. Soedarsono mengemukakan bahwa ciri-ciri seni tradisional untuk ritual adalah
unik, tidak dipertontonkan di sembarang tempat, demikian juga masalah waktu dan
kondisi untuk pementasan dibuat secara khusus pula. Bahkan dengan tegas Soedarsono
memperjelas bahwa ciri pertunjukan ritual adalah (1) tempat pertunjukan yang terpilih,
biasanya di tempat yang dianggap sakral; (2) waktu yang terpilih; (3) pemain yang
Cak Wido: EKSISTENSI DAN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

7

terpilih (pemain yang masih dianggap suci); (4) disertai sesaji; (5) penampilan dari sisi
estetika tidak terlalu diutamakan; dan (6) menggunakan dan memakai busana yang
khusus. Jadi, secara jelas pendapat R.M. Soedarsono tersebut mengarah pada kesimpulan
bahwa fungsi seni yang utama adalah 'menghibur' penikmatnya, baik penikmat yang
benwujud penonton, diri sendiri atau pelaku seni, maupun penikmat yang dilakukan oleh
'orang' yang tidak kasat mata (R.M. Soedarsono, 2002: 126).
FUNGSI SENI TRADISIONAL RITUAL
Sesuai dengan penjelasan R.M. Soedarsono di atas, maka secara khusus fungsi seni
tradisional ritual (di Jawa Timur) dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Fungsi yang berkaitan dengan hasil bumi (kesuburan) dan hasil laut
2. Fungsi yang berkaitan sumber air termasuk minta hujan
3. Inisiasi (siklus kehidupan)
4. Fungsi yang berkaitan Pembersiah kotoran desa
5. Ruwatan sukerta
6. Status diri
7. Kesembuhan
8. Kematian dan atritbutnya
Sudah barang tentu bahwa masing-masing fungsi/kegunaan tersebut memiliki ciri
dan karakteristik bentuk tampilan, peralatan (termasuk uba rampe), serta ruang dan
waktu sendiri-sendiri. Misalnya untuk kesuburan dan hasil bumi menggunakan visual
tayub, wayang Topeng (terdapat di Malang), Kebo-keboan (terdapat di Banyuwangi).
Sedangkan untuk kelangsungan sumber air di Malang menggunakan kirap dan jamasan
Topeng dilanjutkan dengan pergelaran Wayang Topeng, di Tulungagung dengan ritual
Ulur-ulur. Untuk minta hujan dengan visual Kemanten Kucing, Ujungan dan Tiban.
Kebetulan di Jawa Timur hamper di setiap daerah (Kabupaten dan atau desa-desa)
sampai saat ini masik cukup banyak yang melaksanakan sesuai dengan karakteristik
kesenian daerahnya masing-masing.

Cak Wido: EKSISTENSI DAN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

8

FAKTOR YANG MEMPENGRUHI KEMUNDURAN SENI TRADISIONAL
RITUAL
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberlangsungan seni tradisional ritual tidak
selamanya dapat eksis, karena banyak masalah yang mempengaruhi kemundurannya.
Adapun factor-faktor yang mejadikan kendala keberlangsungan tersebut adalah;
1. Berkurang/lunturnya kepercayaan masyarakat pendukungnya terhadap fungsi ritual
pada seni tradisional
2. Kuatnya pengaruh terhadap kepercayaan baru
3. Faktor ekonomi
4. Masuknya budaya asing (modern) yang lebih memiliki daya pikat dari pada seni
tradisional
5. Adanya perubahan frontal pada wilayah maupun masyarakatnya (perang, bencana
alam, situasi politik dll).
Namun Alhamdulillah seni tradisional ritual di Jawa Timur sampai sekarang yang
eksis masih cukup banyak, terbukti dengan pelaksanaan aktifitas secara rutin setiap waktu
tertentu.
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL
Di atas telah diuraikan, bahwa sifat kesenian tradisional ritual akan hidup jika
didukung oleh masyarakat pemangkunya. Karena kesenian ini merupakan atribut, sarana
ungkapan kejiwaan, komunikasi antar masyarakat dengan anggota masyarakat maupun
dengan Tuhannya, menyiratkan nilai nilai yang berlaku dan sifatnya komunal. Maka
masyarakat merasa ikut membuat, memelihara, mendukung kehidupannya. Dengan
demikian mereka berhak untuk menggunakannya, mengubahnya dan bahkan juga
membuangnya jika sekiranya tidak diperlukan lagi.
Maka model pemberdayaan adalah pengaktualisasian budaya, yaitu memperkuat
akar nilai budaya setempat, sehingga seni diyakini bukan sekedar “tontonan” tetapi juga
“tuntunan” terlebih bagi generasi mudanya yang nota bene “jauh” dari tradisional. Perlu
diingat, bahwa kondisi sosial Bangsa Indonesia sedang didera kisis mental, moral, dan
Cak Wido: EKSISTENSI DAN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

9

budaya, di samping krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti sekarang ini, apa yang
harus kita lakukan, Tak lain dan tak bukan, saatnya kesenian Tradisional baik dalam
bentuk proses maupun produk-produknya dijadikan benteng untuk memperkuat citra diri
bangsa sebagai bangsa yang berbudaya. Jika lengah, maka akan member peluang besar
mempersubur maraknya serbuan produk dan pelaku seni mancanegara ke Indonesia,
(bamyak hal yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita) yang dalam jangka
panjang akan menjadikan kesenian Indonesia tidak memiliki nilai tambah di dalam negeri
sendiri. Serbuan produk-produk mancanegara tersebut tidak mungkin dapat dilarang
sebagai akibat dari proses globalisasi, namun perlu dipikirkan upaya untuk memperkecil
dan mengurangi tingkat "impor' produk-produk kesenian di Indonesia, salah satunya
adalah melalui produk hukum yaitu undang-undang kesenian, yang dalam penjabarannya
kelak diharapkan mampu memberikan acuan bagi pengembangan kesenian “Indonesia”,
sekaligus mengurangi masuknya produk-produk kesenian luar negeri.

SENI TRADISIONAL RITUAL ASSET PARIWISATA
Mengapa Pariwisata? Dalih yang melatar belakangi makin gencarnya program
pariwisata ini, adalah ekonomi (peningkatan pemasukan devisa negara dari sektor non
migas) adalah merupakan dalih utama. Ada dalih dalih lain, seperti perluasan lapangan
kerja, pengenalan budaya bangsa, pelestarian seni tradisional, peningkatan kesejahteraan
seniman dan sebagainya. Hal tersebut merupakan langkah yang tepat sekali, terutama
apabila dilandasi oleh pemahaman konsep yang tepat dan dapat melakukannya dengan
benar. Pengembangan fungsi dengan menjual seni sebagai salah satu aset ke pariwisataan
dengan pertimbangan seperti tersebut diatas memang merupakan langkah yang bijaksana.
Pertimbangan yang saling menguntungkan. Wisatawan mendapatkan informasi dan
suguhan kesenian yang bermutu; kesenian menjadi lebih berkembang, seniman menjadi
lebih berkwalitas, kreatif dan punya uang (karena seringnya pentas); hotel, biro
perialanan, guide, aurt beberapa sektor lain juga dapat rejeki, Indonesia menjadi terkenal.
Seni tradisional termasuk seni ritual yang disulap menjadi seni wisata,
merupakan seni kemasan khusus yang sifatnya tiruan dari aslinya sehingga sering disalah
Cak Wido: EKSISTENSI DAN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

10

artikan bahwa seni wisata adalah seni murah dan berkualitas rendah, sudah barang tentu
tafsir yang demikian adalah tafsir yang salah. Seni tiruan bukan berarti seni yang tidak
berkwalitas, akan tetapi memang murah dalam arti terjangkau untuk ukuran wisatawan
namun tetap berpegang pada kualitas yang baik. Karena pada dasarnya seni wisata harus
mampu menjadi media informasi dan mempunyai daya tarik sedemikian rupa sehingga
layak untuk dijual. (Hadi, 2001: 4)
Pengembangan kesenian pariwisata sedapat mungkin mengutamakan keaslian,
kekhasan, dan keunikan kesenian daerah dengan cara yang informatif, aktraktif,
berdaya pikat tinggi, dan berdaya jangkau segmen pasar yang luas baik untuk pangsa
pasar domestic maupun mancanegara, melalui kerja sama atas dasar saling
menguntungkan

dengan

sejumlah

pihak

yang

berkompeten

secara

bertahap,

berkesinambungan, dan terencana sesuai dengan yang diharapkan. Di dalam penyusunan
program pengembangan kesenian mutlak diperlukah pertimbangan yang berwawasan ke
depan (visioner) mengingat setiap jenis kesenian dalam kontek kepariwisataan termasuk
seni pertunjukan masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan. Untuk itu perlu
kiranya kita cermati dan mempertimbangkan bagaimana mengemasnya, karena apabila
melalukan kesalahan akan berakibat fatal.
Soedarsono (1999) menawarkan sebuah teori pengemasan seni wisata, yaitu
setidaknya mempunyai lima ciri: (l) tiruan dari aslinya, (2) lebih singkat dari aslinya. (3)
penuh variasi, 4) ditanggalka nilai magis dan sakralnya, (5) murah untuk ukuran nilai
uang wisatawan. Dengan mengacu pemikiran tersebut paling tidak dapat membantu
menentukan bentuk atau format dalam memberdayakan seni tradisional ritual menjadi
kemasan seni wisata.
Semoga bermanfaat.

Cak Wido: EKSISTENSI DAN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

11

Ardika, I Gede, Drs. 2001. Pengembangan dan Pemberbadayaan dakam Konteks Keariwisataan.
Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan
8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Ardika, I Gede, 1993. Kepariwisataan Bali, Rahasia Pembangunan Bali. Jakarta: Harian Suara
Karya dan Cita Budaya.
Asita, I Nyoman, MA. 2001. Seni Pertunjukan dan Pariwisata di Bali, Hubungan Pariwisata
Bengan Budaya Beserta Aspeknya. Kertas kerja Serial Seminar Seni Pertunjukan
Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI Surakarta.
Hadi, Sri, S.Kar. 2001. Mencari Format Seni Pertunjukan Wisata. Kertas kerja Serial Seminar
Seni Pertunjukan Indonesia 1998 – 2001, seri VIII, tgl 7 dan 8 Februari 2001 di STSI
Surakarta.

Hadi, Y. Sumandiyo.. 2005. Sosologi Tari Sebuah Pengenalan Awal. Yogyakarta:Pustaka
______. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta. Penrbit Buku Pustaka.
Hoemardani, SD. tanpa tahun. Kumpulan Kertas tentang Kesenian. Surakarta: Sub Proyek ASKI
Surakarta.

Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gaya Media bekerjasama dengan
Universitas Gadjah Mada.
Koentjaraningrat.1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
(Cetakan Kedelapanbelas)
Negoro, Suryo S. 2001. Upacara Tradisional dan Ritual Jawa. Surakata: CV. Buana.
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soedarsono, R.M., 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yograkarta:
Gadjah Mada University Press.
________, 1999. Seni Pertunjukan dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan

Indonesia.
Subroto, Edi. 1991. Kreativitas Seni dalam Perguruan Tinggi. Kertas Kerja Pekan Seni
Mahasiswa di Surakarta.

Sudikan, Setya Yuwana.1999. Upacara Adat Jawa Timur Jilid 2. Surabaya: Dinas P dan
K Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
_______, 2004. dalam Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa
Timur (Penyunting: Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan). Surabaya:
Kopyawisda bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Cak Wido: EKSISTENSI DAN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

12

Sukadijo, R.G. 1997. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata Sebagai “Systemic Linkage”.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Supanggah, Rahayu, Dr. S.Kar. 1994. Seni Tradisional Yang Modern. Kertas Kerja disajikan
dalam rangka Pembinaan Seniman se Jawa Timur th. 1994 di Kabupaten Kediri. Dinas P
dan K Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.

Sutarto, Ayu. 2003. “Krisis Nilai dan Krisis Pemaknaan terhadap Bhineka Tunggal Ika”,
Makalah Penyuluhan Nilai Budaya Tahun 2003 kepada Pembina Budaya dan
Budayawan Kabupaten/Kota se-Jawa Timur di Surabaya.
_______, 2004. “Pendekatan Kebudayaan: Wacana Tandingan untuk Mendukung
Pembangunan Provinsi Jawa Timur”, dalam Pendekatan Kebudayaan dalam
Pembangunan Provinsi Jawa Timur (Penyunting: Ayu Sutarto dan Setya Yuwana
Sudikan). Surabaya: Kopyawisda bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa
Timur.
Sutopo, HB. 1991. Pendekatan Kritik Holistik. Kertas Kerja Seminar Metode Penelitian Seni di
IKIP Malang, 12 Februari 1991.
Wido, Soerjo Minarto. 2006. Kajian Simbolik Tari Topeng Patih Pada Pertunjukan Dramatari
Wayang Topeng Malang Di Dusun Kedungmonggo Desa Karangpandan Kecamatan
Pakisaji Kabupaten Malang . Kertas Kerja Seminar Kajian Seni Pertunjukan di UNNES
Semarang, 8 Januari 2006.
Wido, Soerjo Minarto. 2007. Pengetahuan Seni Tari dan Teknik Dasar Menyusun Tari. Malang:
Baghastari.

Cak Wido: EKSISTENSI DAN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL RITUAL DI PROPINSI JAWA TIMUR

13