IDEALISME MANTAN AKTIVIS KAMPUS DAN ORAN (1)

IDEALISME MANTAN AKTIVIS KAMPUS DAN ORANG-ORANG PROYEK:
SEBUAH RESENSI NOVEL KARYA AHMAD TOHARI
Oleh: Jaka Herlambang

“aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam
pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin”
-KabulAda orang bijak berkata: “Idealisme adalah puncak tertinggi dari seorang mahasiswa”.
Mengapa mahasiswa?, bagaimana dengan orang yang tidak menyandang status mahasiswa?, atau
bagaimana ketika mahasiswa tersebut telah lepas dari status ke-mahasiswa-an?. Masihkah
puncak tertinggi yang dikatakan orang bijak diatas ada dalam dirinya, ataukah sebaliknya?.
Semua itu sirna. Seakan si jago merah melahap idealisme sang mahasiswa hingga menjadi
butiran-butiran debu hitam yang apabila terkena hembusan angin akan terbang melayang-layang
di udara tanpa arah dan tujuan. Mungkin ini sedikit awalan yang dapat menggambarkan dari
sebuah novel karya Ahmad Tohari dengan judul “orang-orang proyek”. Dimana terjadi
pergolakan batin dalam diri tokoh utama untuk menentukan sikap ketika harus menghadapi
kehidupan nyata lapangan proyek.
Kabul. Dulunya ia seorang aktivis kampus progressif – revolusiner (bahasa anak
pergerakan sekarang katanya gitu - pen) dengan berpegang teguh seteguh-teguhnya pada
idealisme yang dianut. Mulai dari birokrasi kampus hingga pemerintahan tertinggi negeri ia
tentang apabila ada kebijakan yang tidak “pro-rakyat”. Jiwa anak pergerakan yang progressif –


revolusiner dan idealismenya. Kini harus bergejolak dalam batin sendiri ketika berhadapan
dengan orang-orang yang merupakan penyakit bagi perkembangan kesejahteraan masyarakat di
tempat ia bekerja sekarang.
Kini Kabul menjadi pimpinan pelaksana pada proyek pembangunan jembatan diatas
sungai Cibawor. Ini bukan pertama kalinya Kabul mendapat kepercayaan memegang proyek.
Dan ini juga bukan pertama kalinya ia menghadapi tindakan yang merugikan rakyat banyak.
Pada proyek ini Kabul memiliki kepala proyek yang ternyata kakak seperguruannya
sendiri bernama Ir. Dalkijo. Sering terjadi perbedaan pendapat antar kakak-adik seperguruan ini
dalam melaksanakan pembangunan jembatan. Hingga pada situasi yang disengaja atau tidak
disengaja. Akhirnya terbuka semua, alasan mengapa kakak seperguruan Kabul melakukan
tindakan yang merugikan rakyat.
Titik lain yang merisaukan Kabul ialah ketika ada campur tangan dari partai
pemerintahan ORBA yaitu Golongan Lestari Menang (GLM) dalam proses pembangunan
jembatan. Partai GLM menghendaki jembatan harus selesai pada HUT P-GLM. Karena lokasi
tersebut akan menjadi tuan rumah pada perayaan HUT P-GLM. Dan ini tentu berbeda dengan
perencanaan pembangunan yang dimiliki Kabul. Selain pemaksaan percepatan waktu juga unsur
politis yang sangat tidak waras dari politikus ORBA. Dimana mengorbankan rakyatnya menjadi
tumbal kejayaan golongan sendiri agar lestari tetap menang dalam PEMILU. Ini terbukti ketika
lantai jembatan runtuh dengan usia yang baru mencapai sekitar satu tahun. Jembatan yang
seharusnya kokoh dan menjadi penyambung kehidupan sosial-budaya antar dusun harus runtuh

akibat hawa nafsu euphoria pemerintah ORBA.
Pak Tarya seorang mantan pegawai negeri sipil dan hobby memancing di tepian sungai
Cibawor, menjadi kawan pelipur perang batin Kabul. Pertukaran pikiran terjadi antar keduanya.
Apalagi ketika Kabul mendengarkan alunan nada-nada merdu dari seruling bamboo yang ditiup
oleh pak Tarya di bawah pohon mbulu. Suara seruling yang menyejukkan hati, menenangkan
pikiran manusia yang mendengarkannya.
Kepala Desa Basra merupakan kawan diskusi Kabul selama berada di bangku kuliah.
Dan sekarang menjadi kawan seperjuangan Kabul dalam menyelesaikan kondisi yang sedang
menggerogoti proyek jembatan dan disponsori langsung oleh partai penguasa negeri. Tentu
situasi yang terjadi pada Kabul juga menghigapi batin dalam Kades Basra. Ia (Basra) harus
meilih apakah mengikuti idealism yang pernah dipelajarinya selama kuliah ataukah harus

mengikuti rezim karena dimana posisi Basra sekarang menjabat sebuah status yang dipandang
mulia dan di cap pengikut setia sang raja diatas singgasana pemerintahan negeri.
Keseharian Kabul di lokasi proyek tidak hanya dihujami orang-orang panjang tangan.
Namun ada seorang wanita sekaligus sekretaris Kabul bernama Wati yang menghiasi hariharinya. Wati menyukai Kabul walau ia telah meiliki pasangan sementara (anak sekarang bilang
“pacar”). Tentu ini menjadi tambahan pertarungan pribadi dalam diri Kabul. Ia (Kabul) harus
mengahadapi Ir. Dalkijo. Kini harus menatap Wati yang menyukainya.
Jalan percintaan antara insinyur muda dan sekretaris tersebut dicomblangi oleh wanita
paruh baya bernama Mak Sumeh yang memiliki warung makan Tegal disekitar proyek. Dari

provokasi mak Sumeh yang tiada henti menyelimuti hati Kabul tentang cinta yang dicurahkan
Wati padanya. Akhirnya Kabul menjadikan Wati pasangan hidup.
Kegembiraan yang terselip dalam senyum Kabul ketika melihat tawa riang para pekerja
proyek menari-nari, bernyanyi riang ditemani Tante Ana (seorang dengan jasmani pria berjiwa
perempuan). Tidak ada kesedihan, kehampaan, penderitaan yang melekat pada wajah para
pekerja ketika semua itu terjadi. Situasi ini menjadi gambaran tersendiri bagi Kabul. Situasi yang
menyedihkan namun mengembirakan.
Mungkin itulah sedikit tentang isi dari novel karya bapak Ahmad Tohari. Untuk lebih
lengkapnya kawan-kawan dapat membacanya tersendiri.