SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN I

SUMBER ILMU DALAM PERSPEKTIF
ISLAM DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP ISI KURIKULUM
PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Anhar
I.
Pendahuluan
Kajian tentang sumber ilmu dalam filsafat adalah masuk dalam rumpun epistemologi.
Dalam perjalanan sejarah pemikiran manusia, kajian tentang epistemologi telah
dilakukan sejak zaman Yunani kuno. Dalam dunia Islam, pembahasan tentang
epistemologi ilmu sudah dilakukan sejak masa al-Kindi (796-873 M). Secara agak
khusus, kajian tentang epistemologi ini dilakukan dalam kajian filsafat ilmu.[1] Dalam
kajian epistemologi di Barat,[2] pembahasan tentang sumber ilmu melahirkan tiga
mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant.[3] Keberatan
Islam terhadap ketiga mazhab ini sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terutama
karena pengingkarannya terhadap wahyu sebagai objek ilmu pengetahuan.
Dalam Islam, kajian terhadap sumber ilmu memadukan bahan-bahan empirikal
(kealaman) dan spiritual (kewahyuan). Pemaduan kedua bahan inilah yang akan
memunculkan konsep epistemologi Islam yang berbeda dengan konsep epistemologi
Barat. Konsep tentang sumber ilmu selanjutnya akan berimplikasi terhadap perumusan
isi kurikulum dalam pendidikan Islam.

Makalah ini akan akan mencoba menjelaskan sumber ilmu perspektif Islam dan
implikasi konsep ini terhadap isi kurikulum pendidikan Islam.
II. Teori-teori tentang Sumber Ilmu Pengetahuan
Sebagaimana disinggung di atas, kajian yang pokok tentang sumber ilmu diwakili oleh
tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant. Berikut
akan dijelaskan ketiga mazhab dimaksud, baru kemudian penulis akan menjelaskan
pandangan Islam tentang sumber pengetahuan.
a.

Rasionalisme

Mazhab ini berasal dari para filosof Eropa seperti Rene Descartes (1596-1650) dan
Immanuel Kant (1724-1804), dan lain-lain yang populer disebut sebagai teori rasional.
[4] Menurut teori ini ada dua sumber bagi pengetahuan
(konsepsi). Pertama, penginderaan (sensasi). Menurut teori ini, konsepsi manusia
tentang panas, cahaya, rasa dan suara karena penginderaan terhadap hal-hal
itu. Kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertianpengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera, tetapi ia sudah ada
dalam lubuk fitrah. Dalam pengertian yang terakhir ini, jiwa menggali gagasan-gagasan
tertentu dari dirinya sendiri. Rene Descartes berpandangan konsepsi-konsepsi fitri ini
adalah ide “Tuhan”, jiwa, perluasan dan gerak serta pemikiran-pemikiran yang mirip

dengan semuanya itu dan bersifat sangat jelas dalam akal manusia. Tetapi bagi Kant,
semua pengetahuan manusia adalah fitri, termasuk dua bentuk ruang dan waktu serta
duabelas kategori Kant.[5]

Menurut mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi
dan gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Di
samping indera, ada fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam
akal.
Menurut Shadr, yang mengharuskan kaum rasionalis menganut teori rasionalis dalam
menjelaskan konsepsi-konsepsi manusia adalah sebagai berikut:
Mereka tidak mendapatkan alasan munculnya sejumlah gagasan dan konsepsi dari
indera, karena memang ia bukan konsepsi-konsepsi inderawi. Maka ia harus digali
secara esensial dari lubuk jiwa. Dari sini, jelaslah bahwa motif filosofis bagi perumusan
teori rasional ini akan hilang sama sekali, jika kita dapat menjelaskan secara
meyakinkan konsepsi-konsepsi mental, tanpa perlu mengandaikan gagasan-gagasan
fitri.[6]
Menurut Descartes, untuk sampai kepada kebenaran, maka tidak mungkin hanya
mengandalkan indera. Secara metodologi, maka ilmu pengetahuan harus mengikuti
jejak ilmu pasti, meskipun ilmu pasti bukanlah metode ilmu yang sebenarnya. Ilmu pasti
hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dari metode ilmiah.

Metode ilmiah itu sendiri menurutnya lebih umum. Segala konsepsi dan gagasan baru
bernilai benar jika secara metodologis dikembangkan dari intuisi yang murni ( fitrah,Shadr).[7]
Sesuatu yang dipandang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah ( clear and
distinctly). Apa yang jelas dan terpilah-pilah itu, tidak mungkin didapatkan dari apa
yang berada di luar kita. Sebagai ilustrasi, Harun Hadiwijono menjelaskan berikut:
Coba kita memperhatikan lilin (Jawa: malam) dan sarang madu (Jawa: tala). Jikalau kita
mengamati sebuah sarang madu ada beberapa hal yang tampak pada indera kita: lidah
kita merasakan madunya, hidung kita mencium bau bunganya, mata kita melihat rupa
dan warnanya, jari kita merasa keras dan rasa dinginnya. Akan tetapi jikalau sarang
madu itu kita letakkan di atas suatu wadah yang berada di atas api, sifat-sufatnya
berubah, sekalipun lilinnya tetap ada. Sifat-sifat itu sekarang cair, lunak, lemah, mudah
lentur, dan lain sebagainya. Jadi yang tampak, yang dapat kita amati bukanlah lilin itu
sendiri. adanya lilin itu kita ketahui dengan rasio atau akal kita. Maka benda yang
disebut lilin itu pada dirinya tidak dapat diamati. Sebab benda itu dengan cara yang
sama tercakup dalam segala penampakannya. Pengetahuan kita tentang lilin itu bukan
karena wahyu, bukan karena pengamatan atau sentuhan atau khayalan, melainkan
karena pemeriksaan rasio. (Bnd. kalau kita melihat orang berjalan-jalan, yang kita lihat
pakaiannya, dll). Apa yang kita duga kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita
ketahui semata-mata dengan kuasa penilaian kita, yang terdapat di dalam rasio atau
akal. Pengetahuan melalui indera adalah kabur. Di dalam hal ini kita sama dengan

binatang.[8]
Menurut Hadiwijono, Descartes dipengaruhi oleh berbagai pertentangan pemikiran
filsafat pada zamannya. Pertentangan ini menyebabkan ia bersikap meragukan segala
sesuatu. Dalam konteks ini hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu
bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu). Sifat meragukan ini bukan
khayalan, melainkan suatu kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku berpikir, dan oleh
karena aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Memang menurut Descartes, apa
saja yang dipikirkan bisa saja merupakan suatu khayalan, aka tetapi bahwa kegiatan
berpikir bukanlah khayalan. Dalam hal ini “tiada seorangpun yang dapat menipu saya,
bahwa saya berpikir, dan oleh karena itu di dalam hal berpikir ini saya tidak ragu-ragu,
maka aku berada.”[9]
b. Empirisme

Istilah empirik berasal dari kata Yunani emperia, yang berarti pengalaman inderawi.
Kaum empiris memberi tekanan kepada empirik (pengalaman), baik pengalaman
lahiriah maupun batiniah sebagai sumber pengetahuan. Dengan demikian, empirisme
bertentangan dengan rasionalisme. Di antara tokohnya adalah Thomas Hobbes (15881679) dan John Locke (1632-1704).[10]
Teori ini berpendapat bahwa penginderaanlah satu-satunya yang membekali akal
manusia dengan berbagai konsepsi dan gagasan, dan bahwa potensi mental akal-budi
adalah potensi yang tercermin dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi ketika manusia

mengindera sesuatu, ia akan dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya, yakni
menangkap form dari sesuatu itu dalam akal budi. Adapun tentang gagasan-gagasan
yang tidak terjangkau oleh indera, menurut aliran ini, tidaklah dapat diciptakan oleh
jiwa, demikian pula jiwa tidak dapat membangunnya secara esensial dalam bentuk
yang berdiri sendiri.[11]
Akal budi berdasarkan teori ini, hanyalah berfungsi mengelola konsepsi dan gagasan
inderawi. Hal itu dilakukan dengan cara menyusun konsepsi-konsepsi dan membagibaginya. Shadr mengatakan:
Dengan begitu, ia mengonsepsikan “sebungkal gunung emas” atau membagi-bagi
“pohon” kepada potongan-potongan dan bagian-bagian atau dengan abstraksi dan
universalisasi, misalnya dengan memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan
mengabstraksikan bentuk itu dari sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat
membentuk suatu gagasan universal. Hal ini dapat dicontohkan dengan upaya
mengkonsepsikan Zayd, dan mengurungkan setiap kekhasan yang membedakannya
dari ‘Umar. Dengan proses substraksi (pengurangan) ini, akal menyarikan suatu
gagasan abstrak yang berlaku, baik atas Zayd maupun ‘Umar.[12]
Thomas Hobbes, orang pertama yang mengikuti aliran empirisme di Inggris pada abad
ke-17 telah membangun suatu sistem filsafat yang lengkap mengenai “yang ada”
secara mekanis, yang menjadi pijakan dasar filsafat empirisme. Ia adalah seorang
materialis pertama dalam filsafat modern.[13]
Menurut Hobbes, segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah segala

sesuatu yang tidak bergantung kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala
kejadian adalah gerak, yang berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang
bersifat bendawi terliput di dalam gerak itu. Segala obyektifitas di dalam dunia luar
bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau
keluasan tidak memiliki eksistensi atau keber-“ada”-an sendiri. Ruang justru gagasan
tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak.[14]
Konsistensi gagasannya juga terlihat dalam pandangannya tentang manusia. Ia
memandang manusia tidak lebih dari pada suatu bagian alam bendawi yang
mengelilinginya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terjadi pada manusia dapat
dijelaskan sebagaimana kejadian alamiah bendawi lainnya secara mekanis. Jiwa itu
sendiri menurutnya adalah kompleks dari proses-proses mekanis dalam tubuh. Akal
bukanlah pembawaan, melainkan hasil perkembangan karena kerajinan.[15]
Seperti di singgung di atas, pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena
pengalaman. Pengalaman adalah awal segala pengetahuan. Pengenalan dengan akal
hanya memiliki fungsi mekanis, karena pengenalan dengan akal pada hakikatnya
mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal
dimulai dengan pemakaian kata-kata (pengertian-pengertian), yang hanya mewujudkan
tanda-tanda menurut adat-kebiasaan saja, dan yang menjadikan jiwa manusia dapat
memiliki gambaran yang diucapkan dengan kata-kata itu. Selanjutnya, hal ini akan
membentuk pengalaman (empirik). Isi pengalaman itu adalah keseluruhan atau totalitas

segala pengamatan yang disimpan di dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu

pengharapan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lampau.
[16]
b.
Fenomenalisme Kant
Filsuf Jerman abad ke-18 Immanuel Kant melakukan pendekatan kembali terhadap
masalah hakikat rasio dan indera sebagai sumber pengetahuan setelah memperhatikan
kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh David Hume terhadap sudut pandang yang
bersifat empiris dan rasional. Mengapa pendirian Kant disebut sebagai fenomenalisme?
Berikut penjelasannya.
Kant berpendapat bahwa sebab akibat tidak dapat dialami. Marilah kita memperhatikan
pernyataan: “Kuman tipus dapat menyebabkan demam tipus.” Bagaimanakah kita
sampai dapat mengetahui keadaan yang mempunyai hubungan sebab-akibat ini?
Kebanyakan orang akan mengatakan, “Setelah diselidiki para ilmuan diketahui bahwa
bila ada orang yang menderita demam tipus, tentu terdapat kuman tersebut; dan bila
kuman ini tidak terdapat di dalam diri seseorang, maka orang itu tidak menderita
deman tipus.”[17]
Dari penjelasan di atas dengan jelas terlihat bahwa syarat “adanya kuman tipus” dan
“demam tipus” mesti ada sebelum disimpulkan bahwa kuman tersebut menyebabkan

demam. Karena boleh jadi “seorang yang dalam dirinya ada kuman tipus” tapi tidak
menderita demam. Bagaimanapun, pengamatan akan mengungkapkan kepada kita
tentang kuman tersebut dan juga tentang orang yang sehat atau yang sakit.
Tetapi pengamatan, betapapun juga banyaknya tidak dapat menunjukkan kepada kita
kuman yang menyebabkan penyakit tersebut. Bagaimanakah kita dapat memperoleh
pengetahuan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit tersebut? Ditinjau dari
sudut pandangan empiris, Hume menolak bahwa kita akan dapat mengetahui sebabakibat sebagai suatu hubungan yang bersifat niscaya.[18]
Jika kita melihat seekor kucing dan kemudian kita memukulnya, kita tidak dapat
mengatakan bahwa kucing itulah yang menyebabkan kita memukulnya, meskipun kita
lakukan berkali-kali. Dalam kedua peristiwa di atas tidak tampak hubungan sama sekali.
Maka mengapakah kita bila melihat kuman dan kemudian melihat orang sakit, kita lalu
mengatakan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit?
Indera hanya dapat memberikan data indera. Data itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa
dan sebagainya. Memang benar, kita mempunyai pengalaman; tetapi sama benarnya
juga bahwa untuk mempunyai pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal), maka
kita harus keluar dari atau menembus pengalaman, kata Kant. Bagaimanakah ini
mungkin terjadi? Jika dalam memperoleh pengetahuan kita menembus pengalaman,
maka jelaslah, dari suatu segi pengetahuan itu tidak diperoleh melalui pengalaman,
melainkan ditambahkan pada pengalaman.
Jika orang tidak dapat membayangkan berupa apakah suatu “rasa yang bersahaja”

dengan “suatu bunyi yang kasar”, maka jelaslah bahwa data indera yang murni tidaklah
merupakan pengetahuan. Pengetahuan terjadi bila akal menghubungkan, misalnya
“rasa menekan yang bersahaja” dengan “bunyi yang kasar” untuk memperoleh fakta
bahwa tekanan terhadap sesuatu menyebabkan terjadinya bunyi tersebut. Hubungan
ialah suatu cara yang dipakai oleh akal untuk mengetahui suatu kejadian; hubungan itu
tidak alami. Hubungan ialah bentukpemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan.[19]
III. Sumber Ilmu Perspektif Islam

Memperhatikan kajian teoritis di atas, diskusi tentang sumber ilmu pengetahuan
tampaknya dipusatkan pada pertanyaan: Apa sebenarnya yang memberi manusia
pengetahuan? Rasiokah, empirikkah, atau fenomenologikah? Berikut penulis akan
menjelaskan kajian tentang sumber ilmu menurut Islam. Namun, sebelum menjawab
pertanyaan ini, terlebih dahulu akan dijelaskan bagaimana pandangan Islam tentang
fakultas manusia yang memberi manusia ilmu pengetahuan.
1. Fakultas/Alat Mendapatkan Ilmu
1. Rasio (‫)العقل‬
Dalam al-Qur`an dijumpai 49 kali kosa kata yang berakar kata a-q-l (‫ )عقل‬dalam
berbagai bentuk. Misalnya: [20]. ‫ نعقل – يعقل – يعقلون‬-‫ عقلوا – تعقلون‬Sebarannya sebagai berikut:
kata ‫‘( عقلوه‬aqaluh) dijumpai dalam 1 ayat, kata ‫( تعقلون‬ta’qilun) 24 ayat, ‫( نعقل‬na’qil) 1 ayat,
‫( يعقتها‬ya’qiluha) 1 ayat, dan ‫( يعقلون‬ya’qilun) 22 ayat. Makna kosa kata itu dalam arti

paham dan mengerti.[21] Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat-ayat berikut:
() ‫افتطمعون ان يؤمنوا لكم وقد كان فريق منهم يسمعون كلم ا ثم يحرفونه من بعد ما عقلوه وهم يعلمون‬

Maka apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu,
sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya
setelah memahaminya, padahal mereka mengetahuinya? (Al-Baqarah/2: 75).[22]
()‫افلم يسيروا فى الرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها او اذان يسمعون بها فانها ل تعمى البصار ولكن تعمى القلوب التي فى الصدور‬
Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat
memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta,
tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj/22: 46).[23]
() ‫كذلك يبين ا لكم ايته لعلكم تعقلون‬
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu mengerti. (AlBaqarah/2: 242).[24]
() ‫وقالوا لو كنا نسمع او نعقل ما كنا في اصحب السعير‬
Dan mereka berkata, “Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyalanyala. (Al-Mulk/67: 10).[25]
() ‫وتلك المثال نضربها للناس وما يعقلها ال العالمون‬
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang
akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu. (Al-Ankabut/29: 43).[26]
Dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr (menahan) dan alāqil adalah orang yang menahan diri (yahbis) dan mengekang hawa nafsu. Selanjutnya
dijelaskan pula bahwa al-‘aql mengandung arti kebijaksanaan (al-nuhā), lawan dari

lemah pikiran (al-humq). Al-‘aqljuga mengandung arti al-qalb (kalbu). Lebih lanjut
disebutkan bahwa kata ‘aqala mengandung arti memahami.[27]
Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala kelihatannya bermakna mengikat dan menahan.
Orang yang āqil di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan hammiyah atau darahnya
panas, adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat
mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah
yang dihadapinya.[28]
Dari keseluruhan kosa kata yang berakar pada a-q-l dapat disimpulkan
bahwa al-‘aql adalah fakultas manusia yang berfungsi untuk mengerti atau memahami
sesuatu. Al-‘aql (rasio) dalam ayat-ayat di atas tidak dibicarakan dalam konteks sumber
ilmu tetapi dalam konteks alat yang darinya manusia memperoleh ilmu. Baharuddin
mengatakan bahwa dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki akar kata a-q-l,

tidak satu pun ayat yang menyebut akal sebagai kata benda, semuanya dalam bentuk
kata kerja (fi’il). Baharuddin melanjutkan:
Hal ini menunjukkan bahwa ‘aql bukanlah suatu substansi (jauhar) yang bereksistensi,
melainkan aktivitas dari suatu substansi. Jika dipahami demikian, akan mengandung
suatu pertanyaan, yaitu substansi apakah yang berakal itu? Pertanyaan itu dapat
dikembalikan kepada Al-Qur`an. Dalam ayat lain dijelaskan bahwa substansi yang
mampu ber-‘aql itu adalah qalb. Firman Allah menjelaskan:
‫افلم يسيروا في الرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها‬

Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi? Mereka mempunyai kalbu yang mereka
ber-‘aql dengannya…[29]
2. Indera
Dalam Al-Qur`an alat-alat indera yang beraktifitas dan berfungsi bagi manusia dalam
memperoleh pengetahuan adalah al-sam’ dan al-absar. Kata al-sam’ dan berbagai kata
jadiannya disebut 185 kali, sedangkan kata al-sam’ sendiri dijumpai 12 kali dalam AlQur`an.[30] Kata al-absar dan berbagai kata jadiannya disebut 148 kali. Sementara
kata al-absardisebut 18 kali. Di antara ayat-ayat yang mengandung kosa kata alsam’ sebagai berikut:
‫قل من يرزقكم من السماء والرض امن يملك السمع و البصار ومن يخرج الحي من الميت و يخرج الميت من الحي ومن يدبر‬
()‫المر فسيقولون ا فقل افل تتقون‬
Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan
bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan
siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati
dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan
menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepadaNya)?” (Yunus/10: 131).[31]
()‫وا اخرجكم من بطون امهتكم ل تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والبصار والفئدة لعلكم تشكرون‬
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar
kamu bersyukur. (An-Nahl/16: 78).[32]
() ‫و هو الذي انشئا لكم السمع و البصار والفئدة قليل ما تشكرون‬

Dan Dialah yang telah menciptakan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani,
tetapi sedikit sekali kamu bersyukur. (Al-Mu`minun/23: 78).[33]
() ‫ثم سوه ونفخ فيه من روحه وجعل لكم السمع والبصار والفئدة قليل ما تشكرون‬
Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh (ciptaan)-Nya ke dalam
(tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi)
sedikit sekali kamu bersyukur.(As-Sajdah/32: 9).[34]
Di antara ayat yang mengandung kosa kata al-absar sebagai berikut:
‫قد كان لكم اية في فئتين التقتا فئة تقاتل في سبيل ا واخرى كافرة يرونهم مثليهم راءي العين وا يؤيد بنصره من يشاء ان في ذلك‬
() ‫لعبرة لولى البصار‬
Sesungguhnya, telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang berhadap-hadapan.
Satu golongan berperang di jalan Allah dan yang lain (golongan) kafir yang melihat
dengan mata kepala, bahwa mereka (golongan muslim) dua kali lipat mereka. Allah
menguatkan dengan pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh pada
yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.
(Ali Imran/3: 13).[35]
() ‫ل تدركه البصار وهو يدرك البصار وهو اللطيف الخبير‬

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia melihat segala penglihatan
itu dan Dialah Yang Maha Halus, Maha Teliti. (Al-An’am/6: 103).[36]
‫افلم يسيروا في الرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها او اذان يسمعون بها فانها ل تعمى البصار ولكن تعمى القلوب اللتي في الصدور‬
()
Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat
memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta,
tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj/22: 46)[37]
Berdasarkan penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an yang memiliki kosa kata alsam’ dan al-absar dapat dijelaskan bahwa kemampuan mendengar karena manusia
diberikan alat berupa telinga (uzun) dan kemampuan melihat karena manusia diberikan
alat berupa mata (‘ain). Mata, yang memiliki kemampuan melihat, bisa saja tidak
memberi manusia pengetahuan, oleh karena qalbu-nya tidak paham (buta). Sesuatu
yang jelas terlihat bahwa bagi Al-Qur`an, al-sam’ dan al-basr adalah aktifitas
c.
Hati (Fuad)
Kata fu`ad dan yang seakar kata dengannya tersebar dalam 16 ayat. Semuanya dalam
bentuk kata benda, yakni al-fu`ad dan al-af`idah.[38] Mahmud Yunus mengartikannya
sebagai hati atau akal.[39] Kedua kata ini seakar dengan fā`idah (jamak: fawā`id)
artinya faedah atau guna.[40] Makna yang dapat ditarik dari penggunaan Al-Qur’an
terhadap kata al-fu`ad dan al-af`idah adalah bahwa al-fu`ad memiliki fungsi akal
(memahami, mengerti), sama dengan al-qalb.[41] Dalam surat Yusuf/12: 120
disebutkan:
() ‫و كل نقص عليك من انباء الرسل ما نثبت به فؤادك وجاءك في هذه الحق و موعظة و ذكرى للمؤمنين‬
Dan semua kisah-kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar
dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu
(segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman.[42]
Secara tekstual, Allah menceritakan, yang bermakna Nabi Saw mendengarkan kisahkisah Rasul terdahulu. Lalu dengan kisah-kisah itu menjadi kuat fu`ad (hati) Nabi.
Dengan al-fu’aditu berarti Nabi mendapatkan makna atau hikmah sejarah.
Dalam ayat lain disebutkan:
() ‫و اصبح فؤاد ام موسى فرغا ان كادت لتبدي به لول ان ربطنا على قلبها لتكون من المؤمنين‬

Dan hati ibu Musa menjadi kosong. Sungguh hampir saja dia menyatakan (rahasia
tentang Musa), seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, agar dia termasuk orangorang yang beriman (kepada janji Allah).[43]
Makna al-fuad dalam ayat terakhir juga sama dengan makna al-fuad pada ayat
sebelumnya. Makna yang sama juga dinyatakan oleh Allah ketika menjelaskan bahwa
hati Nabi Saw tidak mendustakan apa yang ia lihat oleh beliau ketika Jibril mendekat
kepadanya untuk menyampaikan wahyu.(An-Najm/53: 1-19).[44]
Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa al-fu`ad merupakan
sentral dan pengendali bagi aktifitas al-‘aql dan al-qalb dalam menetapkan
pengetahuan yang benar, baik dan berguna bagi manusia.
Secara umum, bagi Al-Qur`an indera dalam dan luar manusia seperti al-‘aql, al-qalb, alfu’ad, al-sam’, al-absar adalah alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dan obyek
pengetahuan adalah ayat-ayat Allah baik yang qauliyah/tanziliyah maupun
yang kauniyah. Berbeda sekali dengan perspektif Barat yang memandang bahwa akal
dan indera sebagai fakultas yang memberi manusia pengetahuan. Hemat penulis, Barat
berpandangan demikian karena hirarki pengetahuan mereka hanya berhenti pada
tataran empirikal. Asumsi-asumsi teologis-metafisik telah terputus dari epistemologi
keilmuan Barat, sejalan dengan pandangan humanis mereka yang sekular-ateistik.
2. Pendapat para Ilmuan Muslim

Kajian sumber ilmu dalam Islam, tepatnya kajian tentang epistemologi ilmu telah
dilakukan sejak zaman klasik Islam. Kemudian, untuk masa yang lama terhenti ― kajian
berlanjut di Barat hingga kini ― baru memasuki abad modern umat Islam kembali
melakukan kajian.
Ilmuan klasik, Al-Kindi menyebutkan ilmu terbagi dua yaitu ‘ilm ilāhiy (divine science)
dan ‘ilm insāniy (human science). ‘Ilm Ilahiy adalah pengetahuan langsung yang
diperoleh dari Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan seperti ini ialah keyakinan.
Sedangkan ‘ilm insaniy adalah pengetahuan yang diperoleh dari manusia dan alam.
Dasar pengetahuan yang disebut terakhir adalah pemikiran (ratio-reason).[45] Abu
Hamid al-Gazali (w. 1111 M) membagi ilmu terkesan tidak jelas. Dalam Mizan al-Amal, ia
membagi ilmu kepada teoritis (nazariyyah) dan praktis (‘amaliyah).[46] Pada buku
lainnya, ia membagi ilmu kepada fardu ‘ain dan fardu kifayah.[47] Di sisi lain, ia
membagi ilmu kepada ilmu religius (syar’iyyah) dan intelektual (‘aliyah). [48] Al-Gazali
juga membagi ilmu kepada hudluri (yang dihadirkan) dan hushuli (yang dicapai).
[49] Dari pembagian ini, nampak dengan jelas bahwa al-Gazali memandang bahwa
sumber ilmu yang utama adalah wahyu ilahi dan sumber kedua adalah pengalaman
(empirik).[50] Dalam mendapatkan ilmu, manusia menurut al-Gazali menggunakan
indera, akal dan qalb.[51]
Mahdi Ghulsyani menyebutkan, secara hakiki Al-Qur`an lah sebagai sumber ilmu. Ia
mengatakan:
Prinsip ilmu-ilmu ini, yang telah kami jelaskan dan yang belum kami spesifikasikan,
bukanlah di luar Al-Qur`an, karena seluruh ilmu ini di raih dari salah satu lautan
pengetahuan-Nya, yaitu lautan karya-Nya. Telah kami sebutkan bahwa Al-Qur`an itu
laksana lautan yang tak bertepi, dan bahwa sekiranua lautan itu menjadi tinta (untuk
menjelaskan) kata-kata Tuhanku, sungguh lautan itu akan habis sebelum kata-kata
Tuhan itu berakhir. Di antara perbuatan Allah yang (karena keluasannya dapat disebut)
lautan perbuatan-Nya, misalnya adalah menyembuhkan dan menimbulkan penyakit,
sebagaimana Allah menceritakan ucapan Ibrahim yang mengatakan, “Ketika aku sakit
Dia-lah yang menyembuhkan aku… Perbuatan ini saja hanya dapat diketahui oleh orang
yang mengetahui ilmu obat-obatan dengan sempurna, karena ilmu ini tidak berarti apaapa selain pengetahuan tentang seluruh aspek penyakit sekaligus gejalanya, juga
pengetahuan penyembuhan dan cara-caranya. Di antara perbuatan Allah (juga) adalah
penentuan pengetahuan (manusia) tentang matahari, bulan, dan pengetahuan tentang
tingkatan-tingkatannya yang sesuai dengan waktu peredarannya, sebagaimana Allah
SWT berfirman, “Matahari dan bulan itu berjalan sesuai dengan peredarannya yang
pasti, dan Dia atur perjalanan bulan itu sehingga kamu dapat belajar bagaimana cara
menghitung tahun dan menentukan waktu…[52]
3. Analisis: Sumber Ilmu dan Alat Mendapatkan Ilmu
Untuk mendapatkan analisis filosofis sumber ilmu perspektif Islam, maka terlebih
dahulu harus dibahas: Apa sebenarnya tujuan berilmu? Tujuan puncak berilmu dalam
Islam adalah untuk mengetahui Allah, yakni pengetahuan yang haqq al-yaqin dan dekat
kepada-Nya.[53]Sedangkan tujuan praktis berilmu adalah membantu manusia
merealisasikan amanah sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam kaitan ini, Allah telah
membantu manusia untuk mengenalinya dengan ayat (petanda Allah). Ayat dimaksud
terbagi dua, yaitu ayat tanziliyah (naqliyah) dan ayat kauniyah (aqliyah). Ayat
tanziliyah, adalah wahyu yang diturunkan melalui malaikat Jibril, sedangkan
ayat kauniyah adalah ciptaan (karya) Allah SWT.[54]
Pada puncaknya, sebagaimana dialami oleh para ilmuan, aktifitas keilmuan yang terusmenerus akan mengantarkan seorang ilmuan kepada ketinggian moral atau akhlak,

yakni suatu kondisi yang sangat sadar dan mengerti posisinya dalam kesemestaan ini.
Dalam kondisi seperti ini, ia benar-benar paham dan mengerti kebesaran dan
keagungan Sang Maha Pencipta ― Allah SWT. Kondisi demikianlah yang dirasakan oleh
Imam Syafii. Ia mengatakan:
‫كلما زادني علما زادني فهما بجهلي‬

Setiap kali Tuhan menambah ilmuku, semakin pahamlah aku akan kejahilanku
(kebodohanku).[55]
Al-Gazali juga berpandangan bahwa seorang yang benar-benar ‘alim akan
menyampaikannya ke pencapaian ilmu ladunni. Ilmu ini menurutnya diperoleh
seorang ‘alim tanpa perantara, yang menghubungkan jiwa manusia dengan Sang
Pencipta. Ia semata-mata seperti pancaran cahaya dari lampu kegaiban yang diarahkan
pada qalb (hati) yang jernih, kosong dan lembut.[56]
Disebutkan bahwa Einstein, dalam suatu diskusi dengan Murphy, ia mengatakan:
Berbicara tentang spirit yang memberikan kabar investigasi saintifik modern, saya
berpendapat bahwa semua spekulasi prima yang ada dalam dunia sains bersumber dari
perasaan religius yang terdalam, dan tanpa perasaan semacam itu semua investigasi
saintifik tidak akan berubah. Saya juga yakin, perasaan religius semacam ini, yang
sangat terasa pada investigasi saintifik hari ini, adalah satu-satunya aktivitas religius
yang kreatif di abad kita ini.[57]
Berangkat dari penjelasan di atas, maka Allah SWT yang ‘Alim, Basir, Sami’, Khabir,
menjadi sumber dan tujuan berilmu. Pada awalnya manusia tidak memiliki ilmu
sedikitpun. Untuk mendapatkan ilmu Allah Yang Maha Luas itu, maka manusia diberi
pendengaran, penglihatan dan hati nurani. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah:
() ‫وا اخرجكم من بطون امهاتكم ل تعلمون شيئا وجعل لكم السمع و البصار والفئدة لعلكم تشكرون‬

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati
nurani, agar kamu bersyukur. (An-Nahl/16: 78).[58]
Di samping ketiga sarana itu menjadi alat untuk mendapatkan ilmu, namun Allah
mengingatkan agar senantiasa digunakan untuk mendapatkan ilmu yang benar.
Sebab as-sam’, al-absar, dan al-af’idah akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah
kelak. (Al-Isra`/17: 36).[59]
Objek ilmu, sebagaimana disinggung di atas adalah pertama, wahyu, dan
yang kedua adalah ciptaan (manusia dan alam). Jalaluddin Rakhmat merincinya kepada
empat sumber, pertama,Al-Qur`an dan Sunnah, kedua, alam semesta, ketiga, diri
manusia, keempat, tarikh umat manusia.[60]
Dalam kaitan ini, apa fungsi ‘aql, qalbu atau fu’ad? Dalam beberapa ayat alQur`an, al-‘aql, al-qalb, dan al-fu’ad berfungsi untuk memahami, mengerti dan
menyadari fungsi ilmu bagi diri manusia. Sebenarnya, secara operasional makna ketiga
kosa kata ini memiliki kesamaan. Namun, kata al-fu’ad sebagaimana disebut pada alQasas/28: 10, an-Najm/53: 11, Hud/11: 120, al-Furqan/25: 32, dan al-An’am/6: 113
kelihatannya menjadi sentral bagi indera dalam.[61] Pekerjaan yang dilakukan oleh akal
setelah mendapat input dari alat indera manusia, maka fu’ad menjadi penentu akhir
bagi proses keilmuan ini. Namun di dalam itu semua, fitrahmanusia
sebagai hanif menjadi bingkai penentu kecenderungan bagi pilihan-pilihan yang
dilakukan oleh fu’ad manusia. Al-fuad inilah yang akan membimbing manusia untuk
sampai kepada ma’rifatullah (dalam istilah Al-Gazali) atau religiosity versi Albert
Einstein.
IV.
Implikasinya terhadap Isi Kurikulum Pendidikan Islam

Kata “kurikulum” berasal dari bahasa Yunani curir artinya pelari, atau curare artinya
tempat berpacu. Jadi istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga pada zaman Romawi
Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh
pelari dari garis strat sampai garis finish.[62] Dalam Qamus Tarbiyah, kurikulum
pendidikan (manhaj al-dirasah) adalah seperangkat perencanaan dan media yang
dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
[63] Crow and Crow menurut Ramayulis mendefenisikan kurikulum sebagai rancangan
pengajaran atau sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis untuk
menyelesaikan suatu program untuk memperoleh sertifikat atau ijazah.[64]
Secara operasional, fungsi kurikulum dalam konteks pendidikan Islam adalah:
…sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya
kea rah tujuan tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan,
keterampilan dan sikap. Dalam hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses
yang dapat dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu kepada
konseptualisasi manusia paripurna (insane kamil) yang strateginya telah tersusun
secara sistematis dalam kurikulum pendidikan Islam.[65]
Menurut Ramayulis, komponen kurikulum meliputi: tujuan yang ingin dicapai, isi
kurikulum, media (sarana dan prasarana), strategi, proses pembelajaran dan evaluasi.
[66]
Isi kurikulum berupa materi pembelajaran yang diprogram dan disusun untuk mencapai
tujuan pendidikan yang ditetapkan. Materi dimaksud disusun ke dalam suatu silabus
bidang studi atau mata kuliah. Kemudian secara praktis-operasional dituangkan ke
dalam satuan pembelajaran atau rencana program pembelajaran. Perlu digarisbawahi,
bahwa setiap materi pembelajaran tersebut harus jelas scope dan squen-nya.[67]
Jika sumber ilmu perspektif Islam terdiri dari ayat tanziliyah dan ayat kauniyah, maka
bagaimana implikasinya terhadap isi kurikulum pendidikan Islam? Implikasinya jelas
bahwa isi kurikulum harus turunan dari kedua bentuk ayat itu. Hal ini tidak dapat di
tawar-tawar, karena manusia yang hendak dibentuk oleh pendidikan Islam adalah
Manusia Universal atau Sempurna (( ‫ النسان الكامل‬. Dengan demikian, maka ilmu-ilmu yang
menjadi isi kurikulum harus berguna dan bertujuan dalam kerangka membentuk alinsan al-kamil.[68]
Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia Kedua Tahun 1980 di Islamabad Pakistan
merumuskan isi kurikulum pendidikan Islam sebagai berikut:
Kelompok I: Perrennial:
1.
Al-Qur`an:
a)

Qira`ah, hafalan (hifz), tafsir

b)

Sunnah

c)

Sirah (tarikh) Nabi Saw, para sahabat, dan pengikut

d)

Tauhid

e)

Usul Fiqh dan Fiqh

f)

Bahasa Qur`an (fonologi, sintaksis, semantik)

2. Pengetahuan Pembantu:
a) Metafisika Islam
b) Perbandingan Agama
c) Kebudayaan Islam
Kelompok II: Acquired:
1.
Pengetahuan Imajinatif (arts)
a. Arsitektur Islam

2.

2. Bahasa-bahasa
Pengetahuan Intelektual

a.

Pengetahuan Sosial:

Kesusastraan, filsafat, pendidikan, ekonomi, pengetahuan politik (pandangan Islam
tentang politik, ekonomi, kehidupan social, perang dan damai, dan lain-lain), geografi,
sosiologi, lingusitik, psikologi, antropologi.
b.

Pengetahuan Kealaman:

Filsafat sains, matematika, statistika, fisika, kimia, life sciences, astronomi,
pengetahuan tentang ruang angkasa, dan lain-lain.
3.
Applied Sciences:
Rekayasa dan teknologi, kedokteran, pertanian, dan kehutanan.
4.

Pengetahuan Praktis:

Perdagangan, administrasi, perpustakaan, home sciences, komunikasi.
Semua pengetahuan jenis kedua ini (yang diperoleh) harus diajarkan dengan
menggunakan perspektif Islam. Itulah satu cara mengintegrasikan ilmu pengetahuan.
[69]
Al-Attas berpendapat bahwa rumusan kurikulum, tentu saja dalam hal ini isinya, harus
dimulai dari tingkat universitas. Hal ini dilakukan karena di universitaslah tempat
terakhir pembentukan Manusia Universal atau Kamil (‫)النسان الكامل‬, baru kemudian
diturunkan ke tingkat di bawahnya secara hirarkis-sistematis. Kegagalan dalam
perumusan tingkat universitas, maka akan berdampak terhadap tingkat pendidikan di
bawahnya. Dengan demikian, isi kurikulum di tingkat universitas harus benar-benar
diintrodusir dari sumber ilmu yaitu ayat-ayat tanziliyahdan ayat-ayat kauniyah secara
padu atau utuh.[70]
V.
Penutup
Dalam Islam, sumber ilmu sesungguhnya adalah pemilik ilmu itu sendiri, yakni Allah
SWT. Ilmu yang amat sedikit (qalil) yang diperoleh manusia melalui pengerahan indera
dalam dan indera luar, adalah ilmu yang didatangkan (yu`ta) dari dan oleh Allah.

Secara garis besar, sumber ilmu itu ada dua, yakni ayat tanziliyah dan ayat
kauniyah. Ayat tanziliyah diperoleh manusia melalui perantaraan utusan Allah, yaitu
para Nabi dan Rasul Allah, sedangkan ayat kauniyah diperoleh manusia melalui
usahanya mempelajari ciptaan Allah SWT. Kedua sumber ilmu ini bersifat
komplementer, yakni saling melengkapi. Pemisahan keduanya berakibat munculnya
dualisme keilmuan, sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, dan berbahaya bagi masa
depan peradaban manusia.
Implikasinya dalam isi kurikulum, yakni kemestian bahwa kurikulum pendidikan Islam
harus berisi ilmu yang bersumber dari kedua ayat dimaksud. Hal ini menjadi lebih
niscaya lagi, karena manusia yang hendak dibentuk oleh pendidikan Islam adalah
Manusia Universal atau Sempurna ( ‫)النسان الكامل‬. Dengan demikian, aspek ruhaniah dan
jasmaniah setiap peserta didik harus dididik dengan sempurna dan integral, sehingga ia
benar-benar dapat menjadi khalifahsekaligus ‘abd yang taat. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Gazali, Abu Hamid. Al-Munqiz min al-Dalal. Kairo: Silsilah Saqafat Islamiyah, tth.
——-. Ihya`‘Ulum al-Din. Jilid II. Kairo: Dar al-Ma’arif, tth.
——-. Ihya`‘Ulum al-Din. Jilid III. Kairo: Dar al-Ma’arif, tth.
——-. Ihya` ‘Ulum al-Din. Jilid V. Kairo: Dar al-Ma’arif, tth.
——-. Risalah al-Laduniyyah, dalam Qushur al-Awwali, dihimpun oleh Mustafa
Muhammad Abu al-A’la. Mesir: Makatabah al-Jundi, tth.
‘Abd al-Baqy, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur`an alKarim. Kairo: Dar al-Hadis, 1422 H/2001 M.
‘Abdulrahim, Muhammad ‘Imaduddin. “Kata Pengantar”, dalam Jalaluddin
Rakhmat. Islam Alternatif. Cet. IX. Bandung: Mizan, 1998.
Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. Cet. 4. Bandung: Mizan, 1992.
Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna. Cet. III. Terj. M. Nur Mufid bin Ali. Bandung:
Mizan, 1993.
Baharuddin. Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Dep. Agama RI. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Al-Qur`an, tth.
Ghulsyani, Mahdi. Filsafat-Sains menurut Al-Quran. Terj. Agus Effendi. Cet. IV. Bandung:
Mizan, 1991.
Hamka. Tafsir al-Azhar. Juz III. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002.
Izutzu, Toshihiko, Litt. D. God and Man in the Quran. Tokio: Keio University, 1964.
Jammer, Max. Agama Einstein: Teologi dan Fisika. Yogyakarta: Relief-CRCS, 2004.
Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat, Cet. Ke-7. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996.
Kuswanjono, Arqom. Integrasi Ilmu dan Agama: Perspektif Filsafat Mulla
Sadra. Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM, 2010.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI- Press), 1986.
——–. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cet. 7. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Cet. Ke-3. Jakarta: Kencana, 2008.
Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Cet. IX. Bandung: Mizan, 1998.
Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. Ke-2. Jakarta: Kalam Mulia,
2010.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Cet ke-7. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Siddik, Dja’far. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Cita Pustaka Media, 2006.
Solihin, M. Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang al-Gazali. Bandung: Pustaka Setia,
2001.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1992.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1411 H/ 1990 M.

*Disajikan pada Seminar Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam, S.3 Prodi Pendidikan
Islam Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, tanggal 23 Oktober 2010, di
bawah asuhan Prof.Dr. H. Ramayulis, M.A.
[1]Di Indonesia, kajian tentang filsafat ilmu misalnya dilakukan oleh Jujun S. Suria
Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Cet. XIII (Jakarta: Sinar Harapan,
2000) The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu dan
Teknologi, 1987). Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008).
[2]Barat yang dimaksud dalam kajian ini adalah pemikiran, konsep, teori yang berasal
dan atau yang berparadigma Barat.
[3]Lihat Amsal Bakhtiar, h. 98-107. Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, Cet. Ke-7
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996), h. 142.
[4]Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Cet. III. Terj. M. Nur Mufid bin Ali (Bandung:
Mizan, 1993), h. 28. Tokoh lain seperti Blaise Pascal (1623-1662), Baruch Spinoza (16321677). Lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat-2, (Yogyakarta: Kanisius,
1980), h. 25 dan 27.
[5]Dua belas kategori Kant adalah: (1) kuantitas, yang di bawahnya ada (a) unitas, (b)
pluralitas, dan (c) totalitas; (2) kualitas, yang di bawahnya ada (a) realitas, (b) penafian,
dan (c) limitasi; (3) hubungan, yang di bawahnya ada
(a) inherence dan substance (substansi dan aksiden), (b) kausalitas dan
kebergantungan (sebab dan akibat) dan (c) resiprositas komunitas antara agen dan
pasien; (4) modalitas, yang di bawahnya ada (a) kemungkinan-kemustahilan, (b) adatiada, dan (c) keniscayaan-ketakniscayaan. Ash-Shadr, h. 29.
[6]As-Shadr, h. 29-30.
[7]Hadiwijono, h. 18-19.
[8]Ibid., h. 19-20.
[9]Ibid., h. 21.
[10]Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Cet. Ke-3 (Jakarta: Kencana, 2008),
h. 105. Hadiwijono, h. 32 dan 36.
Para pemikir Inggris bergerak kearah yang berbeda dengan tema yang telah dirintis
Descartes. Mereka lebih mengikuti jejak Francis Bacon, yaitu aliran empirisme, yang
memberi tekanan kepada empiri atau pengalaman sebagai sumber pengenalan. Akan
tetapi ini tidak berarti bahwa rasionalisme sama sekali ditolak. Dapat dikatakan, bahwa
rasionalisme dipergunakan dalam rangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam
rangka empirisme. Hadiwijono, h. 31-32.
[11]Shadr, h. 31-32.
[12]Ibid., h. 32.
[13]Hadiwijono, h. 32.
[14]Ibid., h. 33.
[15]Ibid.
[16]Ibid., h. 33-34.
[17]Louis O. Kattsof, h. 142.
[18]Ibid.
[19]Ibid., hlm. 142-143.
[20]Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqiy, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur`an alKarim, (Kairo: Dar al-Hadis, 1422 H/2001 M), h. 574-575.

[21]Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI- Press, 1986), h. 5.
[22]Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Al-Qur`an, tth), h.
11.
[23]Dep. Agama RI, h. 337.
[24]Ibid., h. 39.
[25]Ibid., h. 562.
[26]Ibid., h. 401.
[27]Lisan al-‘Arab, Jilid XIII, h. 485-486.
[28]Nasution, h. 6-7. Prof. Izutzu, mengatakan bahwa ‘aql di zaman jahiliyah dipakai
dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi
modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang
berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah. Setiap kali ia dihadapkan kepada problema dan selanjutnya
dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini
amat dihargai oleh orang Arab zaman jahiliyah. Toshihiko Izutzu, Litt. D., God and Man
in the Quran, (Tokio: Keio University, 1964), h. 65.
[29]Al-Qur`an surat al-Hajj/22: 46. Lebih lanjut lihat Baharuddin, Paradigma Psikologi
Islami,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 118.
[30]‘Abd al-Baqiy, h. 442.
[31]Dep. Agama RI, h. 212.
[32]Ibid., h. 275.
[33]Ibid., h. 347.
[34]Ibid., h. 415.
[35]Ibid., h. 51.
[36]Ibid., h. 141.
[37]Ibid., h. 337.
[38]Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy, h. 621/2.
[39]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, ( Jakarta: Hidakarya Agung, 1411 H/1990
M), h. 306.
[40]Ibid.
[41]Jalaluddin Rakhmat, h. 209.
[42]Dep. Agama RI, h. 235.
[43]Ibid., h. 386.
[44]Lihat Ibid., h. 526.
[45]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,Cet. 7 (Jakarta: Bulan Bintang,
1990), h. 15.
[46]Abu Hamid al-Gazali, Mizan al-Amal, h. 36-37.
[47]Abu Hamid al-Gazali, Ihya`, Jilid 2, h. 30-72.
[48] Abu Hamid al-Gazali, Ihya`, Jilid 2, h. 36; Risalah al-Laduniyyah, h. 360-68.
[49]Abu Hamid al-Gazali, Ihya`, Jilid III, h. 1376.
[50]Dalam Ihya` ‘Ulum al-Din, al-Gazali mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud: “Jika
seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modern,
selayaknya dia merenungkan Al-Qur`an.” Kemudian ia menambahkan, “Ringkasnya,
seluruh ilmu tercakup di dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan Al-Qur`an adalah
penjelasan esensi, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada batasan terhadap ilmu-ilmu
ini, dan di dalam Al-Qur`an terdapat indikasi pertemuannya (Al-Qur`an dan ilmu-ilmu).”
Abu Hamid al-Gazali, Ihya` ‘Ulum al-Din, Jilid V(Kairo: Dar al-Ma’arif), h. 1.
[51]Perbincangan tentang kekuatan dan kelemahan indera sebagai alat untuk
mendapatkan ilmu dapat dilihat pada karya al-Gazali, Mi’yar al-‘Ilm, h. 62; Misykat alAnwar, h. 18-19 dan Al-Munqiz min al-Dalal, h. 9.

[52] Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains menurut Al-Quran, Terj. Agus Effendi. Cet. IV
(Bandung: Mizan, 1991), h.138. Al-Qur`an, di samping mengandung petunjuk-petunjuk
dan tuntutan-tuntunan yang bersifat ‘ubudiyah dan akhlaqiyah (moral), juga
mengandung petunjuk-petunjuk yang dapat dipedomani manusia untuk mengolah dan
menyelidiki alam semesta, atau untuk mengerti gejala-gejala dan hakekat hidup yang
dihadapinya dari masa ke masa. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam,Cet. Ke-2 (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 79.
[53]Secara umum ilmu dalam Islam berfungsi 1) untuk ber’ubudiyah kepada Allah, 2)
untuk dapat membedakan yang hak dengan yang batil, 3) sebagai modal untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Lihat Ramayulis dan Samsul Nizar,
h. 80.
[54]Mempelajari sains tidak lain dari pada menangkap sunnatullah di alam semesta.
Bukankah ayat-ayat Allah tampak secara tersurat sebagai ayat-ayat Qur`aniah dan
tersirat sebagai ayat-ayat kauniyah? Kedua jenis ayat ini sama pentingnya untuk
dipelajari. Bagiku sains adalah metode mengamati alam secara empiris. Sebagai jenis
observasi yang obyektif, tidak ada persoalan antara sains yang Islami dengan sains
yang tidak Islami. Observasi yang obyektif jelas Islami. Bukankah Allah berkali-kali
menyuruh kita menggunakan alat-alat indera kita dan mengancam dengan neraka
orang-orang yang menyia-nyiakannya? (QS. 7: 179). Muhammad ‘Imaduddin
‘Abdulrahim, “Kata Pengantar”, dalam Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, Cet. IX
(Bandung: Mizan, 1998), h. 19. Lihat juga Arqom Kuswanjono, Integrasi Ilmu dan
Agama: Perspektif Filsafat Mulla Sadra, (Yogyakarta: Badan Penerbitan Filsafat UGM,
2010), h. 74.
[55]Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 110.
[56]M. Solihin, Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang al-Gazali, (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), h. 91.
[57]Max Jammer, Agama Einstein: Teologi dan Fisika, (Yogyakarta: Relief-CRCS, 2004), h.
49.
[58]Dep. Agama RI, h. 275.
[59]Ibid., h. 285.
[60]Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, Cet. IX (Bandung: Mizan, 1998), h. 203-205.
[61]Lihat
[62]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ,Cet ke-7 (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 150.
[63]Ibid.
[64]Ibid., h. 150.
[65]Ibid., h. 152.
[66]Ibid., h. 154-155.
[67]Ibid., h. 154.
[68]Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Cet. 4 (Bandung: Mizan, 1992), h. 84.
[69]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1992), h. 8-9. Ramayulis, h. 165-166. Dja’far Siddik, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2006), h. 125-126.
[70]Al-Attas menyatakan: “Perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari sistem
pendidikan Islam adalah universitas. Dan mengingat bahwa universitas merupakan
sistematisasi pengetahuan yang peling tinggi dan paling sempurna ― yang dirancang
untuk mencerminkan yang universal ― maka ia mestilah juga merupakan pencerminan
dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan Manusia Universal atau Sempurna ( alInsan al-Kamil). …Jadi, universitas Islam itu mesti mencerminkan Nabi dalam hal
pengetahuan dan tindakan yang benar; dan fungsinya adalah untuk menghasilkan
manusia, laki-laki dan perempuan, yang mutunya sedekat mungkin menyerupai beliau
― masing-masing sesuai dengan kapasitas dan potensi bawaannya ― untuk

menghasilkan laki-laki dan perempuan yang baik; untuk menghasilkan laki-laki dan
perempuan yang beradab sebagai tiruan dia yang bersabda: “Tuhanku telah
mendidikku, dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik.” Al-Attas, h.
84-85.
Advertisements
Related

Menemukan Kebahagiaan: Studi atas Pemikiran Tasauf HamkaIn "FILSAFAT ISLAM"
SEYYED HOSSEIN NASR: FILSAFAT PERENNIALIn "FILSAFAT ISLAM"
SILABUS MATA KULIAH METODE STUDI ISLAM

This entry was posted in FILSAFAT ILMU PERSP. ISLAM. Bookmark the permalink.
Post navigation
← ARAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN INTELEKTUAL MUSLIM
Shalat yang Memi’rajkan dan Menentramkan Hati
Leave a Reply

Search

Recent Posts






270
JUDUL-JUDUL MAKALAH MK. FILS. ILMU T.A. 2015/2016
RINGKASAN KULIAH: BERBAGAI PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM
PERENNIAL QUESTIONS BAGIAN I
PROBLEMATIKA PEMAHAMAN FIQHIYAH

Recent Comments
anharnst on MENGHIN
DAR DENGAN
ALASAN …
zidniikhaira on MENGH
INDAR DENGAN
ALASAN …
riwayat on Profil Guru
Menurut al-Qu…

Archives







May 2016
February 2016
December 2015
October 2015
September 2015
August 2015



September 2014
August 2014
October 2011
July 2011
May 2011
April 2011








Categories
ARTIKEL KEAGAMAAN
BUKU BERAGAMA TERBAIK
FILSAFAT ILMU PERSP. ISLAM
FILSAFAT ISLAM
ISLAM DAN NEGARA
METODE STUDI ISLAM
PENDIDIKAN ISLAM
PENELITIAN
RENUNGAN
Uncategorized












Meta