MAKALAH POSITIVISME POSTPOSITIVISME DAN eksistensi

MAKALAH POSITIVISME, POSTPOSITIVISME DAN POST
MODERNISME
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Filsafat Ilmu Sosial

disusun oleh:

Yesi Nadia A

170610110012

Ilmu Administrasi Bisnis
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
2014

A.

POSITIVISME
1. Sejarah Awal
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia


ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan
bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws).
Upaya penelitian, dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan
bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh
sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course
of Positive Philosophy (1830-1842).
Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial (socialfact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan, dan
lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam penelitian
positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh penelitian kepada individu yang dijadikan
responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran
(penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan
jawaban langsung kepada penelitian yang bersangkutan. Hubungan epistemologi ini, harus
menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk
menjaga objektifitas temuan. Karena itu secara metodologis, seorang penelitian menggunakan
metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif
dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran
yang akurat dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis
terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun
pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat

(Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable),
dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable).
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk mengungkapkan kebenaran
realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi.
Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta
empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap
benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan
obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.

2. Positivisme dalam Paham Ilmu
Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar
yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara
untuk mendapatkannya.Tradisi pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara
sistematis dimulai sejak abad ke-17, ketika Descartes (1596-1650) dan para penerusnya
mengembangkan cara pandang positivisme, yang memperoleh sukses besar sebagiamana terlihat
pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Paradigma ilmu pada
dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana,
apa, dan untuk apa. Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi.
a.


Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa
sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui (knowable), atau apa sebenarnya
hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah
hal yang nyata (what is nature of reality?).

b.

Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah:
Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang
ditemukan (know atau knowable)?

c.

Dimensi axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan
penelitian.

d.

Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian.


e.

Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan: bagaimana cara
atau metodologi yang dipakai seseorang dalam menemukan kebenaran suatu ilmu
pengetahuan? Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan posisi
paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan seseorang
dalam kegiatan keilmuan.

Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian berkembang
sejumlah ‘aliran’ paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai bidang
kehidupan.

B.

POSTPOSITIVISME
1. Perkembangan Awal
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme,

yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara
ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam

kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat
secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental
melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan
bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang
diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan
suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang
layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung.
2. Post-positivisme dalam Pandangan Ilmu
Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar berikut, akan
memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan.
a.

Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain?

Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran
ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini
bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma
positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih
mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam

metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi
oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
b.

Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan

usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah
anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau
luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan
postpositivisme.
c.

Banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini

menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap
masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak
sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa
paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme

mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap

pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat
dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
d.

Karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar

pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa
diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita
menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa
objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

C. POSMODERNISME
1.

Perkembangan Awal
Posmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern (yang

mengutamakan rasio, objektivitas, dan kemajuan). Posmodern memiliki cita-cita, ingin meningkatkan
kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam bidang
penyiaran. Posmodern mengkritik modernisme yang dianggap telah menyebabkan desentralisasi di

bidang ekonomi dan teknologi, apalagi hal ini ditambah dengan pengaruh globalisasi. Selain itu,
posmodern menganggap media yang ada saat ini hanya berkutat pada masalah yang sama dan saling
meniru satu sama lain.
Wacana posmodern menjadi popular setelah Francois Lyotard (1924) menerbitkan
bukunya The Postmodern Condition : A Report on Knowledge (1979). Posmodern pada awal
kelahirannya merupakan kritik terhadap arus modernism yang semakin menggusur humanisme dari
manusia sendiri, melahirkan materialism dan konsumerisme yang merusak lingkungan dan menguras
semangat serta nilai masyarakat. Posmodernisme beraksi terhadap inti filsafat modernism; Idealisme
Descartes, Empirisisme Locke, dan Eksistensialisme Husserl, analisis logis Newton dan metode
ilmiah Prancis Bacon.
Francois Lyotard mengatakan bahwa posmodernisme merupakan intensifikasi yang dinamis,
yang merupakan upaya terus menerus untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi
kehidupan, yang menentang dan tidak percaya pada segala bentuk narasi besar, berupa penolakannya
terhadap filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran totalitas, seperti Hegelian,
Liberalisme, Marxisme, dan lain-lain. Posmodern dalam bidang filsafat dapat diartikan segala bentuk
refleksi kritis atas paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.
Posmodernis awal, Nietzsche, mengkritik Modernism (sains) sebagai kecurangan yang
mengklaim kebenaran yang tetap, netral dan objektif padahal sesuatu itu adalah mustahil. Bagi
Nietzsche, penjelasan ilmiah bukan penjelasan yang sebenarnya; itu hanya menghasilakan deskripsi
yang rumit. Sedangkan Foucault curiga bahwa sains bukan disiplin netral seperti diklaim kaum

Modernis, ada banyak teori bersaing dan berkompetisi disana. Sedangkan Baudrillard curiga terhadap
peran media massa sebagai wujud dari modernisasi yang telah banyak melakukan kebohongan.
2.

Posmodernisme Sebagai Bentuk Kritik
Menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, posmodernisme menganggap modernisme telah

gagal dalam beberapa hal penting antara lain:
a. Modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para
pedukung fanatiknya.

b. Ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali
mendahului hasil penelitian
c. Terdapat semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
d. Ada semacam keyakinan – yang sesungguhnya tidak berdasar– bahwa ilmu pengetahuan
modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya;
dan ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan,
dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi.

e. Ilmu-ilmumodern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi
manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.
Posmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap
otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui
adanya identitas lain yang berada di luar wacana hegemoni. Posmodernisme mencoba mengingatkan
kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan
kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur
tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”). Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak
hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja,
tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap
sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik
dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk
tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti
yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti
meniadakan wacana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan
antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya,
gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran yang meliputi Mrxisme Barat, struktualisme
Prancis, nihilisme, etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika. Heterogenitas inilah

yang barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam
wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai
suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan yang
ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu
mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk
secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.

3.

Ciri-Ciri Posmodernisme

Akbar S. Ahmed mengatakan terdapat delapan karakter sosiologis posmodernisme yang menonjol,
yaitu :
a. Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya
kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan
pluralisme relativisme kebenaran.
b. Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera,
organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari
itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam
artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari
telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
c. Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi
atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan
filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya,
yang terjadi adalah penindasan.
d. Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan
rasionalisme dengan masa lalu.
e. Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah
pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara
maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan
gerak pada “lingkaran pinggir”.
f.

Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan
pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era posmodernisme telah ikut mendorong bagi
proses demokratisasi.

g. Era posmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya
eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas,
sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara
eksklusif.
h. Bahasa

yang

digunakan

dalam

waacana

posmodernisme

seringkali

mengesankan

ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era posmodernisme”
banyak mengandung paradoks

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Muslih. 2012. Filsafat Ilmu.Yogyakarta : Belukar
Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat Umum. Bandung: Rosda.
Ankersmit, F.R.1987. Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat
Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dua, Mikhael. 2007. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Maumere: Ledalero.
John M. Echols. 1982. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : Gramedia
Harun Hadiwijono. 2005. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Jakarta : Penerbit Kanisius
Agus Sugiyono. 2001. Metodologi Ekonomi Positivisme. Jakarta : Gramedia
Akbar S. Ahmed. 1992.Postmodernisme dan Islam. Jakarta : Gramedia