INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS (5)

“INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS”

Mata kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen

:

Dr. Ja’far, MA.

Nama

: 1. M. Taufiq Rachman Siregar (0702173195)
2. Hapri Liansyah (0702173204)
3. Garnish Ayu Andini Wijaya (0702172116)
4. Siti Marlina Ritonga (0702173194)

“Fakultas Sains dan Tekonologi Univeritas Islam Negeri Sumatra Utara”
Email

: Andini.Garnish@gmail.com


BAB I :
PENDAHULUAN
Integrasi adalah sebuah sistem yang mengalami pembauran hingga menjadi suatu kesatuan
yang utuh. Integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti kesempurnaan atau
keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang
saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan
masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu
keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap
kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka
masing-masing.
Yang dihasilkan dari pembelajaran yang di dapatkan dalam Integrasi tasawuf adalah ilmu dan
agama, bukan hanya ilmuwan muslim namun ilmuwan Islam. Ilmuwan muslim yang
dimaksud adalah ilmuwan yang beragama Islam, yaitu seseorang yang menguasai ilmu dan
kuat imannya disini kita melihat bahwa seorang muslim yang benar ialah yang bisa menjaga
ilmu yang dimilikinya dengan menggunakan sebaik-baiknya, sedangkan ilmuwan Islam
adalah, ilmuwan yang tidak hanya kuat imannya, namun yang dapat menjadikan Islam
sebagai paradigma bagi perkembangan ilmu untuk kehidupan masyarakat maupun dirinya
sendiri.

https://id.wikipedia.org/wiki/Integrasi_sosial

http://dian052015.blogspot.co.id/2012/12/integrasi-dan-koneksi-tasawuf-dan.html

BAB II :
PEMBAHASAN
A. INTEGRASI DALAM SEJARAH ISLAM
Dalam sejarah intelektual Islam Klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal dan
dikembangkan dengan canggih. Center for Islamic Philosophical Studies and Information
(CIPSI) pernah menyebut 261 ilmuwan, teolog, dan saintis. Meskipun profesi dalam bidang
saintis dalam bidang ilmu-ilmu kealaman, para pemikir muslim klasik menempuh pola hidup
sufistik dan kajian-kajian ilmiah mereka diarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuan religius
dan spiritual. Para filsuf dari mazhab Peripatetik merupakan pemikir muslim yang berhasil
mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran islam yang bersumber kepada Al-Quran dan
hadis, karena tema-tema filsafat Yunani diislamisasikan dan disesuaikan dengan paradigma
islam. Tidak sebatas integrasi belaka, mereka malah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu
yang terdiri atas ilmu-ilmu kewahyuan, sehingga integrasi menjadi sangat mudah dilakukan.
Berikut adalah beberapa ilmuwan muslim beserta berbagai bidang keilmuannya, yaitu :
-

-


Al-Jahiz (w.869) adalah ahli dalam bidang sastra Arab, biologi, zoologi, sejarah,
filsafat, psikologi, teologi dan politik.
Al-Kindi (w.873 M) menguasai seluruh cabang filsafat seperti metafisika, etika,
logika, psikologi, kedokteran, farmakologi, matematika, astrologi, optik, zoologi, dan
meteorologi.
Al-Razi (w. 925) adalah ahli dalam bidang filsafat, kimia, matematika, musik, dan
politik.
Ibn Bajjah (w. 1138) adalah tokoh yang dikenal sebagai seorang astronom, filsuf,
musisi, dokter, fisikawan, psikolog, dan botanis.
Ibn Thufail (w. 1185) juga seorang ahli filsafat, kedokteran dan hukum islam.
Al-Ghazali (w.1111) adalah seorang teolog, filsf dan sufi.
Umar Khayyam (w.1131) adalah matematikawan,astronom, dan sufi.
Al-Shafa (abad 10 masehi) adalah kelompok filsuf yang menguasai filsafat, psikologi,
biologi, dan fisika.
Ibn a-Haitsam (w. 1039) merupakan tokoh dalam bidang falak, matematika, geometri,
pengobatan dan filsafat.
Al-Biruni (w. 1048) merupakan matematikawan, astronom, fisikawan, filsuf,
sejarawan, ahli farmasi, matematikawan, dan dokter.
Ibn Rusyd (w. 1198) adalah pakar kedokteran, hukum islam, matematika dan filsafat.
Ibn Sina (w. 1037) menguasai filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, geografi,

geologi, psikologi, logika, matematika, fisika dan puisi.
Fakhr al-Din al-Razi (w.1209) dikenal sebagai ahli filsafat tasawuf, kedukteran , tafsir
dan fikih.

Diantara prestasi besar mereka sebagai ilmuwan muslim adalah kemampuan mereka
menguasai dan mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional, ilmu-ilmu empirik, dan ilmu-ilmu
kewahyuan. Secara keilmuan mereka menguasai banyak disiplin ilmu, dan secara personal
mereka berperan sebagai seorang saintis muslim yang berpola hidup religius dan sufistik.

Kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu religius adalah dampak dari keyakinan bahwa
ilmu-ilmu fardh al’ain yang wajib dikuasai dan diamalkan setiap muslim apapun profesi
mereka. Sedangkan kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu rasional dan empirik adalah
bahwa semua ilmu tersebut dikategorikan sebagai ilmu fardh al-kifayah yang diwajibkan
kepada sebagaian muslim atau kemungkinan tidak lebih dari sekedar profesi dan minat
mereka untuk menguasai dan mengembangkannya atas dasar perintah agama.
Selain dari mazhab Peripatetik, sejarah islam menyebutkan keberadaan para filsuf dari
mazhab Isyraqiah dan mahzab Hikmah al-Muta’aliyah yang sukses mengintegrasikan ilmuilmu rasional dengan ilmu-ilmu kewahyuan. Menarik disimak bahwa banyak ilmuan muslim
terdahulu yang yang kehidupan mereka sangat religius dan sufistik, tetapi mereka menguasai
filsafat dengan segala cabangnya seperti metafisika, fisika, astronomi, biologi, kedokteran
dan teknologi arsitektur.

Dengan demikian, integrasi ilmu dalam islam bukan hal yang baru. Sebab, para ilmuan
muslim klasik telah mengerjakan proyek keilmuan tersebut sepanjang masa keemasan islam.
Paling tidak, secara akademik mereka menguasai seluruh disiplin ilmu yang berkembang
pesat pada maa mereka, baik imu-ilmu raional, ilmu-ilmu empirik, maupun ilmu-ilmu
kewahyuan. Mereka bahkan mengintegraikan kedua jenis ilmu terebut dan keduanya saling
mendukung kegiatan akademik mereka. Meskipun mereka seorang filsuf dan saintis, perilaku
hidup mereka merupakan realisasi terhadap teori mereka mengenai filsafat dan sufisme.
Dapat disimpulkan bahwa mereka sukses mengintegrasikan antara dua jenis ilmu tersebut dan
mengintegrasikan keduanya dengan keyakinan dan perilaku hidup mereka sehari-hari.

Dr. Ja’far MA.2016. Gerbang Tasawuf .Hal:102-105.Medan : Perdana Publishing

B. INTEGRASI DALAM RANAH ONTOLOOGI
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori
tentang wujud hakikat yang ada.4

Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala sesuatu yang ada ini meliputi yang nampak dan
yang tidak nampak (metafisis). Filsafat pendidikan Islam bertitik tolak pada konsep the
creature of God, yaitu manusia dan alam. Sebagai pencipta, maka Tuhan telah mengatur di

alam ciptaan-Nya. Pendidikan telah berpijak dari human sebagai dasar perkembangan dalam
pendidikan. Ini berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah
transformasi pendidikan. Sehingga yang menjadi dasar kajian atau dalam istilah lain sebagai
objek kajian (ontologi) filsafat pendidikan Islam seperti yang termuat di dalam wahyu
adalah mengenai pencipta (khalik), ciptaan-Nya (makhluk), hubungan antar ciptaan-Nya,
dan utusan yang menyampaikan risalah pencipta (rasul).
Dalam hal ini al-Syaibany mengemukakan bahwa prinsip-prinsip yang
pandangan tentang alam raya meliputi dasar pemikiran:

menjadi dasar

1. Pendidikan dan tingkah laku manusia serta akhlaknya selain dipengaruhi oleh
lingkungan sosial dipengaruhi pula oleh lingkungan fisik (bendabenda alam);
2. Lingkungan dan yang termasuk dalam alam raya adalah segala yang diciptakan oleh
Allah Swt. baik makhluk hidup maupun benda-benda alam;
3. Setiap wujud (keberadaan) memiliki dua aspek, yaitu materi dan roh. Dasar
pemikiran ini mengarahkan falsafah pendidikan Islam menyusun konsep alam nyata
dan alam ghaib, alam materi dan alam ruh, alam dunia dan alam akhirat;
4. Alam senantiasa menngalami perubahan menurut ketentuan aturan pencipta;
5. Alam merupakan sarana yang disediakan bagi manusia untuk meningkatkan

kemampuan dirinya.5
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang berarti keberadaan, dan logos yang
berarti teori, sedangkan dalam bahasa Latin disebut ontologia, sehingga ontologi bermakna
teori keberadaan sebagaimana keberadaan tersebut. Ontologi dapat dimaknai sebagai ilmu
tentang esensi segala sesuatu. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan
bagian dari filsafat dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan
karakteristik esensial keberadaan. Suriasumantri menyimpulkan bahwa ontologi sebagai
bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang hakikat dari objek telaah ilmu dan
hubungan objek ilmu dengan manusia sebagai pencari ilmu.
Dengan demikian, ontologi adalah ilmu tentang teori keberadaan, dan istilah ontologi
ditujukan kepada pembahasan tentang objek kajian ilmu. Para sufi awal memang lebih
banyak memfokuskan kepada masalah kedekatan kepada Allah Swt., tetapi belakangan
mereka meluaskan objek kajian tasawuf sampai kepada persoalan wujud, selain tasawuf juga
mulai bersinggungan dengan filsafat, sehingga mereka tidak saja membahas dan menyimak
hakikat wujud –Nya tetapi juga wujud alam dan manusia.
Berbeda dari saintis Barat sekuler, para filsuf muslim dan sufi berpendapat bahwa ada
hubungan erat antara alam dengan Allah Swt. Menurut Ibn ‘Arabi (w.1240), alam diciptakan
Allah Swt. melalui proes tajalli (penampakan diri)-Nya pada alam empiris yang majemuk.
Tajalli Allah wt. Mengambil dua bentuk :
-


tajalli dzati dalam bentuk peniptaan potensi
tajalli yuhudi dalam bentuk penampakan diri dalam itra alam semesta

Alam merupakan bayangan dari wujud Allah Swt., penampakan dari nama dan sifat-Nya,
sedangkan manusia yang telah menapai kedudukan insan al-kamil merupakan wadah tajalliNya, selain berkedudukan sebagai khalifah-Nya dan wali tertinggi (quthb). Dari perspektif
Ibn ‘Arabi, alam merupakan manifestasi sifat-sifat Allah Swt. dan cermin bagi-Nya. Saintis
muslim sebagi peneliti alam empirik (terutama dunia mineral, tumbuhan, binatang dan
manusia) harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt; dan
ajaran islam mengajarkan bahwa alam merupakan tanda-tanda keberadaan dan kekuasaanNya, sehingga penelitian terhadap alam diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh
keimanan terhadap-Nya, bukan menjauhkan manusia dari-Nya sebagaimana ditemukan
dalam banyak teori ilmuwan-ilmuwan Barat-sekular.

Dr. Ja’far MA.2016. Gerbang Tasawuf .Hal:105-107.Medan : Perdana Publishing
4Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20b. Epistemologi
5Ahmad Syari’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 123

C. INTEGRASI DALAM RANAH EPISTEMOLOGI
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti

ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara
memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang
membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber

pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti
atau membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur.
mendapatkan ilmu dan keilmuan. Tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan
keilmuan adalah dengan metode non-ilmiah, metode ilmiah, dan metode problem solving.
Pengetahuan yang diperoleh dengan metode non-ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh
dengan cara penemuan secara kebetulan; untung-untungan (trial and error); akal sehat
(common sense); prasangka; otoritas (kewibawaan); dan pengalaman biasa. Metode ilmiah
adalah cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif dan induktif.
Sedangkan metode
problem solving adalah
memecahkan masalah dengan cara
mengidentifikasi permasalahan,
merumuskan hipotesis; mengumpulkan data;
mengorganisasikan dan menganalisis data; menyimpulkan dan conclusion; melakukan
verifikasi, yakni pengujian hipotesis. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan teoriteori,
prinsip-prinsip, generalisasi dan hukum-hukum. Temuan itu dapat dipakai sebagai basis,

bingkai atau kerangka pemikiran untuk menerangkan, mendeskripsikan, mengontrol,
mengantisipasi atau meramalkan sesuatu kejadian secara tepat. 6
Istilah Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang bermakna pengetahuan, dan
logos yang bermakna ilmu atau eksplansi, sehingga epistemologi berarti teori pengetahuan.
Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan
pembenaran, dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetahuan, kemungkinan
manusia meraih pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui. Runes menjelaskan bahwa
epistemologi adalah cabang filsafat yang meneluuri asal/sumber, struktur, metode, dan
validita ilmu pengetahuan. Suriasumantri menyimpulkan bahwa epitemologi sebagai bagian
dari kajian filsafat ilmu membahas tentang proes dan prosedur menggali ilmu, metode untuk
meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria kebenaran, erta arana yang digunakan untuk
mendapatkan ilmu.
Dengan demikian epitemologi adalah ilmu tentang cara mendapatkan ilmu. Kajian-kajian
ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam
epistemologi islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian tasawuf mengandalkan metode
irfani yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafs. Meskipun ada perbedaan metode tetapi
kedua metode tetapi kedua metode bisa melengkapi dan mendukung satu sama lain. Sebagian
sufi memanfaatkan metode irfani untuk mendapatkan pemahaman mendalam mengenai duina
metafisik dan dunia fisik (mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia).


Sufi seperti Ibn ‘Arabi dan filsuf seperti Ibn Sina memanfaatkan praktik-praktik ibadah yang
kerap dilakukan oleh kaum sufi seperti zikir dan shalat untuk mendapatkan ilmu mengenai
banyak hal, terutama pemahaman terhadap dunia fiisik dan non fisik. Hal itu merupakan
wujud ketundukan mereka terhadap Allah Swt. sebagai pemilik dan pemberi ilmu kepada
manusia dan harapan terhadap kasih sayang-Nya agar diberikan pemahaman terhadap
berbagai persoalan rumit yang dihadapi dalam kegiatan akademiknya. Dari aspek ini, saintis
muslim, meskipun lebih banyak mengedepankan metode tajribi (observasi dan eksperimen)

dalam mengembangkan ilmu-ilmu alam, tetap perlu mengambil metode tasawuf dalam
menemukan ilmu-ilmu dan kebenaran, dimana kaum sufi mengutamakan metode tazkiyah alnafs (penyucian jiwa) dengan melaksanakan berbagai ritual ibadah termasuk zikir merta
melakukan praktik riyadhah dan mujahadah. Dari perspektif islam, kesucian jiwa manusia
menjadi syarat utama memperoleh ilmu secara langsung dari sumber asalnya, yaitu Allah
Swt. yang diketahui memiliki sifat al-‘Alim.
Epistemologi ini memiliki peranan penting dalam tubuh ilmu pengetahuan, dengan tanpa
menafikan atau mengisolir sub sistem dari sistem filsafat yang lain (ontologi dan aksiologi).
Dengan pemahaman ini selanjutkan akan memperlancar pemahaman seluk-beluk yang
terkait dengan epistemologi. Dagobert D. Runes, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat
yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara
Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang
keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”.
Bertolak dari pengertian epistemologi menurut kedua pakar tersebut, dapat diperinci aspekaspek yang menjadi cakupan atau ruang lingkupnya. Muzayyin Arifin dalam bukunya
Filsafat Pendidikan Islam merinci ruang lingkup epistemologi meliputi hakikat, sumber,
metode, dan validitas.11Sedangkan Mudlor Achmad merincinya menjadi enam aspek, yakni
hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Jadi, meskipun
epistemologi merupakan sub sistem filsafat, namun cakupannya cukup luas. Dengan
memadukan rincian tersebut, maka teori pengetahuan itu bisa meliputi hakikat, keaslian,
sumber, struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar,
pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban dan skope pengetahuan.12

Dr. Ja’far MA.2016. Gerbang Tasawuf .Hal:107-109.Medan : Perdana Publishing
6Mohammad Adib, Filsafat Ilmu,hlm.74-75
11Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 7
12Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 3-6

D. INTEGRASI DALAM RANAH AKSIOLOGI
Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka
memenuhi kebutuhan manusia berikut manfaatnya bagi kehidupan manusia. Dengan kata
lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu dalam
meningkatkan kualitas hidup manusia.7 Dalam bahasan lain, tujuan keilmuan dan
pendidikan Islam yang berusaha untuk mencapai kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat

ini sesuai dengan Maqasid al-Syariah yakni tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam
merumuskan hukum Islam. Sementara menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah
berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari
hukum-hukumnya.
Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang
ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum. Menurut Syathibi tujuan akhir
hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat
manusia.8 Kemudian Muzayyin Arifin memberikan definisi aksiologi sebagai , suatu
pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral,
nilai agama, dan nilai keindahan (estetika)9 Jika aksiologi ini dinilai dari sisi ilmuwan,
maka aksiologi dapat diartikan sebagai telaah tentang nilai - nilai yang dipegang
ilmuwan dalam memilih dan menentukan prioritas bidang penelitian ilmu pengetahuan
serta penerapan dan pemanfaatannya.10
Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan logos yang
berarti teori. Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi terhadap asal kriteria, dan situs
metafisik dan nilai tersebut. Menurut Bunnin dan Yu, aksiologi adalah studi umum tentang
nilai dan penilaian, termasuk makna, karakteristik, dan klasifikasi nilai, serta dasar dan
karakter pertimbangan nilai. Sebab itu, aksiologi disebut dengan teori nilai. Aksiologi juga
dimaknai sebagai studi tentang manfaat akhir dari segala sesuatu.
Suriasumantri menyimpulkan bahwa aksiologi sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu
membahas tentang kegunaan dan penggunaan ilmu, kaitan antara penggunaan ilmu dengan
kaidah moral, dan hubungan antara prosedur dan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral dan profesional. Jadi aksiologi membahas tentang nilai kegunaan ilmu,
tujuan pencarian dan pengembangan ilmu, kaitan antara penggunaan dan pengembangan ilmu
dengan kaedah moral, serta tanggung jawab sosial ilmuan.
Kajian aksiologi lebih ditunjukkan kepada pembahasan manfaat dan kegunaan ilmu dan etika
akademik ilmuwan. Dari aspek etika akademik, nilai-nilai luhur tasawuf dapat menjadi
landasan etis seorang ilmuwan dalam pengembangan sains dan teknologi. Konsep almaqamat dan al-ahwali dapat menjadi semacam etika profesi seorang saintis sebagai
ilmuwan muslim. Contohnya, seorang saintis muslim sebagimana ilmuwan muslim klasik,
harus menampilkan kehidupan sufistik seperti sikap zuhud, warak, sabar, tawakkal, cinta,
fakir, dan rida dalam menjalankan kegiatan akademik maupun dalam kegiatan sosialnya,
maksudnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
-

-

Meskipun memiliki banyak kekayaan material, seorang saintis muslim masa depan
harus bersikap zuhud dan fakir dan menolak harta yang syubhat dan haram. Seorang
saintis muslim harus zuhud dan fakir dalam arti bahwa ia menampilkan hidup
sederhana meskipun memiliki hanyak harta dan bersikap dermawan.
Seorang saintis harus memiliki sikap sabar (sabar dalam beribadah [termasuk kagiatan
riset yang didasari oleh etika religius], sabar dalam menghadapi musibah, dan sabar
dari godaan untuk melakukan dosa dan maksiat).

-

-

-

Seorang saintis muslim harus tawakal, artinya menyerahkan hasil kegiatan akademik
dan sosialnya hanya kepada Allah Swt. setelah berbagai usaha yang dilandasi syariat
telah dilakukan secara maksimal.
Seorang saintis muslim harus memiliki sikap cinta, artinya ia hanya melaksanakan
seluruh aktivitas keilmuan dan sosialnya atas dasar kecintaan kepada Allah Swt.,
bukan demi meraih simpati dan apresiasi dari manusia.
Seorang saintis muslim harus memiliki sikap rida, artinya menerima dengan tentram,
tenang, dan bahagia atas segala capaian dan hasil dari kegiatan akademik dan
sosialnya, meskipun capaian dan hasil tersebut tidak sesuai dengan rencana awal,
sembari tetap meyakini bahwa keputusan tersebut berasal dari Allah Swt. dan harus
diterima dengan lapang dada, serta meyakini bahwa keputusan-Nya adalah keputusan
terbaik untuk kemudian tetap berusaha untuk mencapai tujuan yang telah
direncanakan sejak awal.

Dengan demikian, saintis muslim masa depan dituntut untuk menggali kearifan dalam ajaran
tasawuf dan dapat menginternalisasikannya dalam kehdupan akademik dan sosialnya.

8 http://maqasid-syariah.blogspot.com/2009/01/maqasid-al-syariah.html diunduh pada
Jum’at 28 Desember 2012 / 05:29
9 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 8
10 Ilyas Supena, Desain Ilmu -ilmu Keislaman: dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur
Rahman, (Semarang: Walisongo Press, 2008), hlm. 151

BAB III :
KESIMPULAN
Kajian keislaman diantaranya Tasawuf dapat berintegrasi dan berinterkoneksi dengan sains.
Dengan perpaduan tersebut, kajian tasawuf lebih diminati dan dapat berkembang seiring
dengan perkembangan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan sains seperti epistemologi (teori

pengetahuan), ontologi (ilmu tentang esensi segala sesuatu) dan aksiologi (teori nilai).
Kajian-kajian

yang

dilakukan

oleh

Perguruan

Tinggi

Agama,

sudah

waktunya

mengembangkan perpaduan demikian agar kajiannya lebih prospektif. Sementara tasawuf
merupakan bagian integral dari ajaran agama. Tasawuf merupakan ajaran penyempurna aspek
syariat. Muhammad Aqil menegaskan, setiap sesuatu itu memiliki hakikat, hakikat syariat
adalah tasawuf.Integrasi antara Ilmu dan Agama bukan sesuatu yang terpisah dan bukan
sesuatu yang satu berada diatas yang lain. Pandangan bahwa agama lebih tinggi dari ilmu
adalah pengaruh dari konsep tentang dikotomi ilmu dan agama. Ilmu dianggap sebagai
ciptaan manusia yang memiliki kebenaran relatif yang oleh karenanya memiliki posisi lebih
rendah dibandingkan agama sebagai ciptaan tuhan yang memiliki kebenaran absolut.
Kesempurnaan ilmu Tuhan dapat dilihat dari ciptaan-Nya di alam ini,yaitu tidak ada satupun
ciptaan-Nya yang sia-sia, segala sesuatu bermanfaat dan mendukung kelestarin pada alam ini.
Satu contoh dapat ditunjukkan bahwa kotoran hewan, sekalipun seakan-akan merupakan
benda yang terbuang dan tidak berguna, namun keberadaannya tetap memberikan manfaat,
misalnya untuk menyuburkan tanaman dan dapat menghasilkan gas untuk keperluan rumah
tangga. Hal ini bisa dibandingkan dengan buatan manusia berupa kendaraan bermotor yang
mengeluarkan asap yang dapat merugikan kesehatan. Akan tetapi manusia selalu berusaha
memperbaiki kelemahan teorinya dari kesalahan yang mereka perbuat. Kesalahan manusia
ketika membaca ilmu Tuhan di alam ini, sesungguhnya merupakan bagian dari proses
pencarian kebenaran dan bukan pula karena ada kesalahan ilmu Tuhan tetapi karena kebelummampu-an manusia menemukan kebenaran ilmu Tuhan yang sesungguhnya. Dengan
demikian, saintis muslim masa depan dituntut untuk menggali kearifan dalam ajaran tasawuf
dan dapat menginternalisasikannya dalam kehdupan akademik dan sosialnya

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Ja’far, MA.2016.Gerbang Tasawuf.Medan:Perdana Publishing
https://id.wikipedia.org/wiki/Integrasi_sosial
http://dian052015.blogspot.co.id/2012/12/integrasi-dan-koneksi-tasawuf-dan.html

Dr.Ibrahim Madkour.2004.Aliran dan Teori Filsafat Islam:Sinar Grafika Offset
Dr. Toto Suharto, M.Ag.2014.Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistemologi Islam dalam
Pendidikan:Ar-Ruzz Media
4Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20b. Epistemologi
5Ahmad Syari’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 123
11Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 7
12Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 3-6
8 http://maqasid-syariah.blogspot.com/2009/01/maqasid-al-syariah.html diunduh pada
Jum’at 28 Desember 2012 / 05:29
9 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 8
10 Ilyas Supena, Desain Ilmu -ilmu Keislaman: dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur
Rahman, (Semarang: Walisongo Press, 2008), hlm. 151