RESTRUKTURISASI FUNGSI DAN WEWENANG OMBU

DRAFT

RESTRUKTURISASI FUNGSI DAN WEWENANG OMBUDSMAN
DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DEMI
TERCAPAINYA PRINSIP KEPEMERINTAHAN YANG BAIK1

A. Pendahuluan
Pemikiran terciptanya suatu iklim pemerintahan yang memegang teguh
good governance di Indoneisa merupakan cita-cita ideal masyarakat Indonesia

secara global. Rakyat selama ini merasa selalu dinomor duakan dan hanya
sebagai pelengkap penderita dalam kehidupan bermasyarakat maupun
bernegara. Namun seiring era reformasi, yaitu dengan ditandai runtuhnya
rezim pemerintahan presiden Soeharto, masyarakat mengalami transisi dan
pendewasaan dalam tatanan berbangsa dan bernegara secara umum. Meskipun
tingkat pemahamannya masih relatif sangat parsial tetapi setidaknya keadaankeadaan semacam ini merupakan tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam
sebuah proses pembelajaran.
Sejalan dengan semangat reformasi yang bertujuan menata kembali
perikehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintah telah melakukan
perubahan-perubahan mendasar dalam sistem ketatanegraan dan sistem
pemerintahan Republik Indonesia. Perubahan dilakukan antara lain dengan

membentuk lembaga-lembaga Negara dan lembaga-lembaga pemerintahan
baru.2 Salah satu diantaranya adalah Komisi Ombudsman atau yang lazim
disebut ombudsman nasional.3
Melalui Keppres No. 44 tahun 2000, komisi ombudsman nasional hadir
sebagai manifestasi konkret bahwa rakyat juga berhak mendapatkan perlakuan
secara prioritas dalam hal pelayanan. Tugas pokoknya adalah melakukan
pengawasan terhadap proses pelayanan umum oleh penyelenggara Negara.

1

Disusun oleh Ali Ridho, Buhaeti, dan Sahlan Adiputra Al Boneh
Lembaga-lembaga Negara yang baru sesuai dengan perubahan UUD 1945 adalah DPD,
KPU, KY, MK. Selain itu terdapat lembaga yang disejajarkan dengan lembaga Negara yakni,
Komnas HAM. Lembaga-lembaga pemerintahan yang baru antara lain KPKPN.
3
Galang Asmara, Ombudsmen Nasional dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik
Indonesia , Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2005. Hlm. 1-2.
2

1


Salah satu tujuannya adalah

mendorong penyelenggaraan negara dan

pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, terbuka, dan bersih, serta bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme.4 Untuk mempertegas eksistensinya maka
dikeluarkanlah UU No. 37 tahun 2008. Dengan demikian, maka keberadaan
ombudsman nasional tersebut dalam sistem pemerintahan Negara RI adalah
sebagai

lembaga

pengawas

untuk

mencegah

terjadinya


praktik

maladministrasi..
Pasca reformasi konstitusi sebanyak empat kali, pemerintah pun laten
mendirikan lembaga-lembaga negara baru. Sehingga tak jarang fungsi
lembaga-lembaga tersebut saling tumpang-tindih dengan lembaga negara yang
telah dibentuk sebelumnya.5 Keberadaan lembaga ombudsman nasional
demikian juga menimbulkan beberapa pertanyaan. Ditinjau dari segi
pemerintahan, apakah fungsi yang dijalankan oleh ombudsman nasional
tersebut tidak tumpang tindih dengan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh
lembaga negara yang ada saat ini, mengingat fungsi pengawasan (control)
terhadap pemerintah dan lembaga peradilan juga telah dijalankan oleh
lembaga-lembaga dan sejumlah lembaga pemerintahan sesuai dengan
kapasitasnya masing-masing. Sebagai contoh, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) yang berwewenang memeriksa penggunaan keuangan Negara, DPR
dengan hak meminta keterangan dan hak mengajukan pertanyaan mempunyai
kewenangan untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Bahkan dalam
perubahan kedua UUD 1945, fungsi pengawasan telah dipertegas sebagai
salah satu diantara tiga fungsi DPR.

Mahkamah agung (MA) secara langsung maupun tidak langsung juga
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pemerintah melalui proses
4

UU No. 37 tahun 2008 lebih rinci menyebutkan tujuan dibentuknya Ombidsmen adalah
sebagai berikut : a. mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien,
jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; b. mendorong
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; c. meningkatkan mutu pelayanan negara di segala
bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan
kesejahteraan yang semakin baik; d. membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk
pemberantasan dan pencegahan praktekpraktek Maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi,
serta nepotisme; e. meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan
supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.
5
http://www.ombudsman.go.id/Website/detailArchieve/161/id, Fungsi Lembaga Negara
Banyak Tumpang Tindih, diakses tanggal 03 Mei 2010.

2


peradilan, baik oleh MA sendiri maupun lembaga oleh lembaga-lembaga
peradilan lainnya diseluruh tanah air. Selain itu juga pemerintah mendapat
pengawasan dari Komnas HAM yang kedudukannya mandiri dan setingkat
dengan lembaga Negara lainnya berfungsi melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.6
Sementara itu menurut UUD 1945 setelah amandemen ketiga, presiden selaku
kepala pemerintahan juga mendapat pengawsan secara tidak langsung dari
mahkamah konstitusi (MK), Karena lembaga ini berhak memeriksa, mengadili
dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.7
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka kemudian bagaimana
seharusnya lembaga ombudsman ditempatkan dalam struktur kelembagaan
Negara. Dalam hal ini apakah ombudsman merupakan perpanjangan tangan
(bagian) dari suatu lembaga negara tertentu seperti DPR, presiden dan lainlain. Ataukah sebagai lembaga teresendiri yang berada diluar lembagalembaga yanga ada. Selanjutnya, jika di tinjau dari sistem perlindungan
hukum bagi rakyat, maka pertanyaan yang muncul adalah dimanakah
kedudukan ombudsman dalam sistem perlindungan hukum bagi rakyat di
Indonesia dan apa fungsi-fungsi yang harus dijalankan. Pertanyaan lain yang

muncul adalah apakah ombudsman yang ada dinegara Indonesia yang
notabene menganut sistem pemerintahan presidensial mampu bekerja secara
efektif dan bagaimana kedudukan omubdsman dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia juga menjadi pertanyaan serius yang harus dijawab.

6
7

Pasal 1 angka 7 UU No. 39 tahun 1999.
Pasal 7B ayat 1 UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008. Hlm. 11.

3

PEMBAHASAN
A. Peran Ombudsman Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial
1. Konsep Sistem Presidensial
Sistem pemerintahan menjelaskan tentang bagaimana pembagian
kekuasaan dan hubungan antar lembaga khususnya antar eksekutif dan
legislatif. Selama ini secara umum dikenal dua sistem pemerintahan,
yaitu sistem parlementer dan sistem presidensial. Dalam sistem

pemerintahan presidensial, ciri pokoknya adalah terdapat pemisahan
dan perimbangan kekuasaan antara pemegang kekuasaan eksekutif dan
pemegang kekuasaan legislatif atau parlemen. Sedangkan dalam sistem
pemerintahan parlementer, kekuasaan parlemen lebih tinggi dari
eksekutif atau sering disebut sebagai supremasi parlemen.8
Kerangka

pemikiran

yang

mendasari

penerapan

sistem

pemerintahan presidensial ini dapat dikatakan berkembang beriringan
setelah sejarah umat manusia mengalami pasang surut perkembangan
praktek penyelenggaraan kekuasaan.9 Sistem presidensial merupakan

tatanan negara yang mendasarkan pada konsep trias politica sebagai
pedoman terhadap fungsi dan wewenang masing-masing lembaga
negara.
Di lingkungan negara-negara besar dengan tingkat keragaman
penduduknya yang tinggi, sistem presidensial sangat mampu untuk
menjamin sistem pemerintahan yang kuat dan efektif.10 Namun tak
jarang pula kuatnya kedudukan presiden dalam sistem pemerintahan
presidensial

berakibat buruk pada dataran praktek ketatanegaraan

yang diakibatkan oleh prinsip checks and balances yang kurang
mendapat dukungan politik. Sehingga dalam prakteknya presiden
tampak sebagai penguasa tunggal dalam menjalankan pemerintahan
dengan tidak diiringi pengawasan dari lembaga negara lain. Kekuasaan
8

www.google.com, Supremasi Parlemen, diakses tanggal 29 Maret 2010.
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945 , FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm 58.

10
Jimly Asshiddiqie, Format Kelmbagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945 ., FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 60.
9

4

presiden yang dominan tanpa diiringi pengawasan yang berimbang
dari lembaga negara yang lain akan melahirkan suatu kekuasaan yang
absolute dan sebagaimana kita ketahui bersama absolutisme kekuasaan

cenderung terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Sehingga untuk
mencegah terjadinya absolutisme, maka perlu dilakukan pembatasan
masa jabatan presiden.

2. Sistem Presidensial Indonesia
Sistem pemerintahan di Indonesia menurut Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD) menganut pola sistem
pemerintahan presidensial. Hal ini merupakan pilihan yang sudah
ditetapkan dan menjadi jiwa dari UUD semenjak lahir.11 Prof. Jimly

Asshidiqie dalam bukunya yang berjudul Format kelembagaan negara
dan pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945 menegaskan bahwa
sistem pemerintahan Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar 1945,
sebenanrnya dimaksudkan sebagai sistem presidensial. Baik dalam
penjelasan UUD 1945 maupun dalam pengertian umum yang
berkembang selama ini.
Pembagian kekuasaan antara eksekutif, yudikatif dan legislatif
yang merupakan ciri dari sistem presidensial telah digunakan di
Indonesia. Hal ini terlihat dari adanya Pemerintah sebagai kekuasaan
eksekutif, pelemenen atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
kekuasaan perlemen dan Mahkamah Agung atau badan peradilan
sebagai kekuasaan yudikatif yang mana ketiga lembaga tersebut
memiliki fungsi dan tugas yang berbeda-beda dan menjalankan fungsi
dan tugas tersebut bersifat mandiri tanpa ada intervensi dari pihak lain.
Praktek sistem presidensial yang terjadi sejak zaman orde lama dan
orde baru yang cenderung memperlihatkan sisi negatif, dimana
presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam menjalankan
kekuasaannya dan cenderung bersifat otoriter. Hal ini salah satunya

11


Miftah Thoha. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Prenada Media
Group., Jakarta, 2008, hlm. 1.

5

dikarenakan tidak adanya batasan waktu masa jabatan seorang
presiden dan kontrol antar lembaga negara belum terbangun secara
mapan, baik secara hukum maupun kemauan politik. sehingga presiden
cenderung bersifat otoriter dalam mempertahankan kekuasaannya.

3. Urgensi Ombudsman
Adanya pemikiran tentang perlunya lembaga ombudsman di
Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak lama. Berdasarkan hasil
penulusuran pustaka, sebelum terbentuknya komisi ombudsman
nasional, beberapa sarjana telah mengungkapkan pendapatnya tentang
pentingnya

pembentukan

lembaga

ombudsman

di

Indonesia,

diantaranya ialah Satjipto Rahardjo, Muchsan.12 Alasannya memang
cukup rasional, yaitu jika di suatu negara makmur dan adil, dimana
demokrasi sudah mendarah daging, ombudsman adalah suatu
kebutuhan, apalagi bagi negara-negara dimana sendi-sendi hukum baru
saja dihancurkan. Nampaknya alasan itu memang benar, karena dalam
kenyataannya saat ini dinegara-negara yang sudah maju seperti
Amerika Serikat, Australia, dan Inggris masih tetap membutuhkan
ombudsman. Menurut Marcus Lukman, lembaga semacam itu penting
bagi Indonesia karena kondisi Indonesia, meskipun sudah ada lembaga
pengawasan fungsional tampaknya belum cukup efektif dan efisien
untuk mengontrol perbuatan melawan hukum dan moral penguasa.13
Mempertimbangkan beberapa pendapat tersebut diatas, nampak
betapa pentingnya arti pembentukan lembaga ombudsman bagi
Indonesia, dan timbulnya pembentukan lembaga ombudsman tersebut
tidak terlepas dari kondisi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia
yang pada waktu lalu sarat dengan pelanggaran hukum, hak asasi
manusia, dan praktik-pratik korupsi sera jauh dari nilai public
accountability. Jadi, adanya keinginan untuk membentuk lembaga

12

Kompas, tanggal 10 februari 1967, dalam www.kompas.com.
Marcus Lukman, Hak Asasi Manusia dan Birokrasi Tantangan Menuju Negara Hukum
Kesejahteraan , dalam majalah perspektif, vol. 3, No. 1, tahun 1998, edisi Januari, hlm. 5.
13

6

ombudsman di Indonesia sangat terkait dengan upaya menciptakan
pemerintahan yang bersih (clean goverment) dan pengelolaan Negara
yang baik (good governance), perlindungan hukum kepada rakyat dan
mencegah pelanggaran HAM.
Dengan adanya dasar hukum yang baru berupa Undang-Undang
No.37 Tahun 2008 dan lebih kuat, Ombudsman Indonesia telah
melakukan berbagai aktivitas. Dalam laporan akhir tahun 2008,
Ombudsman pun telah menerima 1.244 laporan. Laporan itu datang
dari masyarakat maupun hasil investigasi inisiatif Ombudsman, yaitu:
523 laporan melalui surat, 461 laporan langsung, 219 laporan telepon,
30 laporan lewat Internet, dan 11 berdasarkan inisiatif Ombudsman.14

4. Ombudsman Republik Indonesia dalam Sistem Katatanegraan
Indonesia
Sistem ketatanegaraan Indonesia setelah mengalami perubahan
UUD 1945 sebanyak empat kali berdampak besar pada aturan
ketetatanegaraan yang mendasar, misalnya dalam prinsip kedaulatan
rakyat sebelum amandemen, kedaulatan rakyat dipegang oleh Majelis
Permusyawratn Rakyat (MPR) yang merupakan penjelmaan seluruh
rakyat. Namun dalam UUD pasca amandemen, kedaulatan rakayat
ditentukan dan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkan
kekuasaannya (separation of power), menjadi kekuasaan-kekuasaan
yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prisnip
cheks and balances.15 Maka keberadaan Ombudsman Republik

Indonesia dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut konsep
pembagian kekuasaan pada prinsipnya berperan sebagai lembaga
negara yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelayanan
publik. Hal ini dapat kita lihat bahwa ombudsman merupakan salah

14

Koran Tempo, tanggal 09 Januari 2009
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia Cet-2, KonsPress,
Jakarta, 2006, hlm. 73.
15

7

satu dari lembaga negara yang ada,16 selain itu juga dapat kita ambil
ketegasan bahwa ombudsman merupakan bagian dari lembaga negara
yaitu melalui pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the
State Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans

Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by
the legal order is an organ”, artinya siapa saja yang menjalankan suatu

fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order ) adalah
suatu organ.17
Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan
warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum
sama-sama merupakan organ negara dalam arti luas. Demikian pula
hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang
menjalankan hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan adalah
juga merupakan

organ negara.18 Singkatnya, dalam pengertian yang

luas ini organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan
fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah
yang disebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices)
dan pejabat publik atau pejabat umum (public officials). Di samping
pengertian luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan adanya pengertian
organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti
materiil. Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara
pribadi memiliki kedudukan hukum yang tertentu (...he personally has
a specific legal position). Suatu transaksi hukum perdata, misalnya,

kontrak, adalah merupakan tindakan atau perbuatan yang menciptakan
hukum seperti halnya suatu putusan pengadilan.19 Selain itu
ombudsman Republik Indonesia juga menjadi lembaga penunjang
dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelayanan publik.
16

Perlu dicermati bahwa lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis
memiliki istilah tunggal atau seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut lembaga
negara di gunakan istilah Political instruction , sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda
terdapat istilah staat organen . Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara atau
organ negara.
17
S. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Alexandria, Virginia, 1990. Hlm.
37.
18
Ibid..
19
Ibid…

8

Mengingat Ombudsman Republik Indonesia merupakan lembaga
negara dalam organisasi negara, maka perlu diuraikan unsur organisasi
negara tersebut. Ada dua unsur pokok yang saling berkaitan dalam
organisasi negara, yaitu organ dan fungsi. Organ adalah bentuk atau
wadahnya, sedangkan fungsi adalah gerakan wadah itu sesuai maksud
pembentukannya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada
yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan
eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut
bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur
dengan peraturan yang lebih rendah. Dilihat dari segi fungsinya
Lembaga-lembaga Negara ada yang bersifat utama atau primer
(primary constitutional organs), dan bersifat penunjang atau sekunder
(auxiliary state organs). Sedangkan dari segi hirarkinya lembaga

negara itu dibedakan ke dalam 3 (tiga) lapis yaitu :20
1. Organ lapis pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara,

dimana nama, fungsi dan kewenangannya dibentuk berdasarkan
UUD 1945. Adapun yang disebut sebagai organ-organ
konstitusi pada lapis pertama atau dapat disebut sebagai
lembaga tinggi negara yaitu: Presiden dan Wakil Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
2. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, dimana

dalam lapis ini ada lembaga yang sumber kewenangannya dari
UUD, ada pula sumber kewenangannya dari Undang-Undang
dan sumber kewenangannya yang bersumber dari regulator atau
pembentuk peraturan dibawah Undang-Undang. Kelompok
Pertama yakni organ konstitusi yang mendapat kewenangan
dari UUD misalnya Menteri Negara, Komisi Yudisial (KY).
Kelompok Kedua organ institusi yang sumber kewenangannya
20

Hardijanto, Pendayagunaan Aparatur Negara Menuju Good Governance , Work Paper
TOT, Jakarta, 2000, hlm. 25.

9

adalah Undang-Undang misalnya seperti Komnas HAM,
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain sebagainya.
Sedangkan Kelompok Ketiga yakni organ konstitusi yang
termasuk

kategori

kewenangannya

Lembaga

berasal

dari

Negara
regulator

yang
atau

sumber

pembentuk

peraturan di bawah Undang-Undang, misalnya Komisi Hukum
Nasional

dan

Komisi

Ombudsman

Nasional

dibentuk

berdasarkan Keputusan Presiden.
3. Organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah yaitu merupakan

lembaga negara yang ada di daerah yang ketentuannya telah
diatur oleh UUD 1945 yaitu: Pemerintah daerah provinsi,
gubernur; DPRD provinsi,
Tren isu good governance semakin meyakinkan masyarakat
tentang perlunya ombudsman, wacana tentang good governance secara
historis merupakan tuntutan dari demokratisasi, desentralisasi, dan
globalisasi yang terjadi pada dekade akhir dalam abad 20 dan dekade
awal abad 21 yang mengemuka dengan nuansa berbeda sesuai dengan
kemajuan zaman. Sebagai upaya untuk berani menghadapi tantangan
tersebut adalah dengan berkomitmen untuk menjalankan atau
menerapkan nilai luhur peradaban bangsa dan good governance dalam
proses pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara21. Pilihan terhadap
good governance sebagai salah satu instrument pencapaian tujuan

berbangsa dan bernegara tak terlepas dari prinsip-prinsip yang
terkandung dalam konsep good governance yakni akuntabilitas,
transparansi, keterbukaan dan jaminan kepastian hukum22. Keempat
prinsip tersebut merupakan instrument pelengkap yang harus dicapai
dengan porsi political will yang besar.
Perbandingan perbedaan prinsip dalam pelaksanaan pemerintahan
modern dengan pemerintahan tradisional adalah pemerintahan modern
21

Sedarmayanti, Good governance : Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna
Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance , Mandar Maju, Bandung , 2004, hlm.1.
22
Ibid. hal. 5

10

menuntut peran negara semakin dikurangi dan peranan masyarakat
semakin ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya,dengan demikian
pemerintahan akan lebih nampak demokratis dan berorientasi pasar23.
Secara sederhana demokrasi adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat, jadi capaian kehidupan berbangsa dan bernegara yang
demokratis akan didapat secara sempurna jika dalam tahap inisiasi,
proses, sampai dengan hasil pelaksanaan urusan pemerintahan
melibatkan masyarakat. Pola interaksi dan kolaborasi ini biasa disebut
dengan kemitraan. Dari sinilah kemudian lahir gagasan baru terhadap
pergeseran paradigma dari pemerintah menuju kepemerintahan sebagai
wujud interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat
demi tercapainya akuntabilitas, transparansi dan keterbukaan..24
Dari

kebutuhan

tersebut

cita

masyarakat

madani

lahir

menggantikan paham sosialisme yang gagal membawa perubahan di
akhir abad 20, yang kemudian cita masyarakat madani dijadikan
sebagai tumpuan dalam membangun hubungan antara negara,
masyarakat dan pasar, ketiganya dibangun dan dikembangkan dalam
hubungan fungsional, sinergis dan seimbang. Sehingga kemandirian
dalam mekanisme pasar dan juga dalam hal kepentingan publik dapat
dicapai tanpa campur tangan negara yang terlalu jauh, secara
sederhana pemahaman terhadap konsep negara welfare state yang
menghendaki campur tangan pemerintah yang sedemikian jauh
haruslah dibatasi.25
Meskipun dalam penyelenggaraan pemerintahan selama ini
pengawasan sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawasan
fungsional dan struktural internal seperti BAWASDA (Badan
Pengawas Daerah). Kantor inspektorat, BPKP, Kotak Pos 5000 akan
tetapi lembaga-lembaga pengawasan tersebut merupakan bagian yang
23

Jimly Asshiddiqie, , Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Sekretaris jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hlm. 329.
24
Sedarmayanti, Op., Cit, hlm.15.
25
Jimly Asshiddiqie, , Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia , Konstitusi Press, Jakarta
,2005, hlm. 82.

11

tidak terpisahkan dari sistem yang sedang diawasi. Sehingga
independensinya menjadi sangat tidak efektif. Budaya birokrasi di
Indonesia yang masih kental dengan pengaruh nilai-nilai paternalistik
antara lain menjadi faktor utama yang menyebabkan mekanisme
pengawasan yang dilakukan lembaga pengawasan internal menjadi
tidak efektif.26 Dari hal tersebut ombudsman hadir sebagai perwujudan
kemitraan antaraadomain negara, sektor swasta dan masyarakat, ketiga
komposisi tersebut merupakan motor penggerak dalam mewujudkan
cita good governance, karena intisari dari good governance adalah
penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung
jawab, dan efisien efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang
konstruktif diantara ketiganya.27

B. Restrukturisasi Fungsi dan Wewenang Ombudsman Dalam Sistem
Pemerintahan Presidensial Demi Tercapainya Prinsip Kepemerintahan
yang Baik
1. Gagasan Perubahan Alur Penegakan Hukum
Ombudsman hadir dimasa transisi pendewasaan demokrasi yang
masih terkesan labil, yang mana pada masa itu masyarakat Indonesia
sedang mengalami euforia politik akibat lengsernya rezim otoritarian
yang telah berkuasa selama 32 tahun. Trauma sejarah tersebut
menyebabkan banyaknya tuntutan pembuatan komisi – komisi yang
bertujuan menjaga atau menliai ethic accountability penyelenggara
negara28.
Namun seiring berjalannya waktu dan kondisi pemerintahan yang
mulai stabil, eksistensi komisi-komisi tersebut mulai menuai banyak
pertanyaan dan kritik mengenai fungsi, peran dan wewenang yang
dirasa tumpang tindih satu sama lain bahkan tak jarang terdapat
kerancuan wewenang dengan organ induknya, tak terkecuali dengan

26

Agus Widjayanto Nugroho, Tanpa tahun, Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa
Yogyakarta Dalam mewujudkan Good Governance , Makalah,tidak diterbitkan, hal. 8
27
Ibid ., hal.9
28
Saifuddin, 2010, Materi Perkuliahan Hukum Konstitusi, FH UII, Yogyakarta.

12

ombudsaman. Lembaga negara dengan pokok kerja berbentuk
pengawasan pnyelenggaraan publik ini, menuai banyak sekali kritikan
dan gagasan untuk dibubarkan, hal tersebut di dasarkan pada telah
adanya organ lain yang mengawasi pokok kerja yang dimiliki
ombudsman yakni Inspektorat, BPK, BPKP, bahkan DPR/D. Namun
tidak serta merta secara over confident tesis tersebut di tanggapi
dengan melahirkan gagasan pembubaran, alangkah lebih arif dan
bijaksana jika terlebih dahulu ditelaah secara holistic, apakah fungsi
dan peranan Ombudsman ini telah atau dapat sepenuhnya diambil alih
oleh lembaga yang sudah ada. Jika iya, tentunya lebih baik dibubarkan
saja. Tapi jika tidak, jika apa yang dilakukan oleh Ombudsman
memang unik dan perlu bagi kemaslahatan. masyarakat luas, maka
ceritanya pun menjadi beda29. Untuk menjawab pertanyan di atas,
perlu kita lihat satu persatu:
Pertama, beda Ombudsman dengan perangkat pengawasan

struktural yang dilakukan oleh inspektorat yang ada di semua instansi/
badan/lembaga adalah pada independensinya. Perangkat inspektorat, di
mana pun dan pada level apa pun, adalah bagian integral dari
badan/instansi yang diawasi. Termasuk kategori ini BAWASDA
(Badan Pengawasan Daerah) di tingkat Pemerintahan Daerah I/II.
Lagipula, yang diawasi oleh Inspektorat hanya menyangkut urusan
disiplin internal institusi yang bersangkutan. Ombudsman tidak
demikian. Ombudsman bukan bagian dari instansi/lembaga atau badan
kenegaraan atau pemerintahan mana pun yang diawasinya. Sementara
fungsi pengawasan yang efektif selalu mempersyaratkan independensi.
Tanpa independensi antara pihak yang mengawasi dengan yang
diawasi kemungkinan besar yang terjadi justru kolusi. Kedua, badan
pengawas fungsional seperti BPK (Badan Pengawas Keuangan) dan
BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), memang
serupa dengan Ombudsman sebagai lembaga independen terhadap

29

www.insfre.com, Peran Ombudsman Dalam Mewujudkan Good Governance , Abdul
Ghaffar, diakses tanggal 31 Maret 2010.

13

instansi yang diawasi. Demikian pula lembaga politik DPR/DPRD,
juga independen. Akan tetapi, objek pengawasannya lah yang
membedakannya. Obyek pengawasan BPK/BPKP adalah aspek
keuangan menyangkut seberapa jauh pembelanjaannya sesuai dengan
rencana pembelanjaan dan penganggarannya; dan obyek pengawasan
DPR/D adalah kebijakan publik yang bersifat umum dan tentu saja ada
nuansa politisnya. Sementara sasaran pengawsan Ombudsman pada
mutu layanan aparat yang bersifat langsung kepada warga masyarakat.
Itulah sebabnya, sasaran utama kerja Ombudsman adalah keluhan
masyarakat terhadap mutu layanan publik dari aparat.
Mencermati pasal 6 UU No.37 tahun 2008, yang berbunyi
“ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik
yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintah. . .”
jika di tinjau melalui khazanah penegakan hukum administrasi,
pengawasan dan sanksi merupakan instrument penegak hukum
administrasi,

pengawasan

merupakan

langkah

preventif

untuk

melaksanakan kepatuhan30. Secara objective case ada dua macam
bentuk

pengawasan

(rechmatigheid)

yakni

dan

pengawasan

pengawasan

dari

dari
segi

segi

hukum

kemanfaatn

(doelmatigheid). Berdasrakan pada UU no.37 tahun 2008 pasal 3 dan
4, dapat dikatakan bahwasanya kedua hal tersebut merupakan objek
pengawasan

ombudsman

baik

secara

hukum

maupun

segi

kemanfaatan.
Hakikatnya, pengawasan ini diupayakan dalam rangka memberikan
perlindungan hukum bagi rakyat, pengawasan segi hukum dan segi
kemanfaatan terhadap tindakan pemerintah dalam hukm administrasi
negara adalah dalam rangka memberikan perlindungan bagi rakyat,
yang terdiri dari upaya administratif dan peradilan administrasi.31
Sebagaimana disebutkan, bahwa sarana penegakan hukum itu, di
samping pengawasan adalah sanksi. Sanksi merupakan bagian penting

30
31

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara , Jakarta, Rajawali Pers, hal.311.
Ibid ., hal.313

14

dari setiap peraturan, bahkan J.B.J.M Ten Berge menyebutkan bahwa
sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi. Namun
pada dasarnya penerapan sanksi dalam hukum administrasi tanpa
perantaraan hakim, akan tetapi dalam beberapa hal ada pula sanksi
administrasi yang harus melalui proses peradilan, sebagaimana yang
ungkapkan J.J.Oosternbrink, tidak hanya sanksi yang diterapkan oleh
pemerintah sendiri, tetapi juga sanksi yang dibebankan oleh hakim
administrasi atau instansi banding administrasi. Ombudsman, sebagai
lembaga

negara

yang

berfungsi

mengawasi

penyelenggaraan

pelayanan publik, ruang lingkupnya berada pada hukum publik
(hukum administrasi negara).32 Jadi dalam hal penegakannya pun tidak
hanya berkisar pada sanksi administratif saja tapi juga sanksi yang
dihasilkan melalui proses peradilan.
Dewasa ini, ujung tombak perjuangan ombudsman hanyalah pada
batas rekomendasi belaka, sesuai bunyi pasal 35 huruf b. Meskipun
secara hirarkis eksistensi ombudsman telah dijamin oleh UndangUndang Nomor 37 Tahun 2008, namun jika ditelaah secara kritis,
sebenarnya Undang-Undang tersebut saling serang antara pasal satu
dengan pasal yang lain, sehingga Undang-Undang tersebut terkesan
tidak akomodatif dan responsive, sebagai contohnya yakni pasal 2 dan
pasal 38 ayat 4. Kemudian dalam hal alur penegakan hukumnya,
dalam 38 ayat 4 disebutkan ; “dalam hal Terlapor dan atasan Terlapor
tidak melaksanakan Rekomendasi atau hanya melaksanakan sebagian
Rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh
Ombudsman, Ombudsman dapat mempublikasikan atasan Terlapor
yang tidak melaksanakan Rekomendasi dan menyampaikan laporan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden” (pasal 38 ayat 4).
Alur seperti ini jika dilihat dari efektifitas penegakan hukumnya, tentu
merupakan alur dengan capaian yang mengambang (abstrak) dan sulit
untuk mencapai kepastian dan kemanfaatan hukum, serta mengelabui

32

Murtir Jeddawi, Reformasi Birokrasi,Kelembagaan,dan Pembinaan PNS, Yogyakarta,
Total Media, hal.85

15

prinsip good governance. padahal sebagaimana telah disebutkan diatas,
pengawasan

adalah

salah

satu

instrument

penegakan

hukum

administrasi, maka dari itu perlu adanya eksperimentasi atau
restrukturisasi terhadap alur penegakan hukum tentang perbuatan
maladministrasi yang dimiliki ombudsman dewasa ini. Singkatnya,
efektifitas peran dan fungsi ombudsman akan lebih terjamin dan nyata
jika ombudsman diberikan wewenang menggugat pada peradilan
administrasi yang secara niscaya memang kewenangan lembaga
peradilan administrasi untuk menangani apa yang menjadi objek kerja
ombudsman, hal tersebut bukanlah suatu gagasan frontal yang penuh
emosional, bahkan wajar karena ruang lingkup ombudsman berada
pada ruang lingkup hukum publik.
Melihat pasal 2 UU no.37 tahun 2008 yang berbunyi ;
“Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan
tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi
pemerintahan

lainnya, serta dalam

menjalankan tugas dan

wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya”, jika kita
bandingkan dengan bunyi pasal 38 ayat 4, secara substansial
independensi ombudsman sebenarnya direduksi oleh pasal 38 ayat 4
ini, karena dalam hal pelaksanaan rekomendasi yang tidak di
laksanakan

atau

dilaksanakan

sebagian

oleh

atasan

terlapor,

ombudsman menyampaikan laporan kepada presiden dan DPR terkait
hal

tersebut,

artinya

indepensi

ombudsman

semakna

dengan

independensi semu yang masih bersifat subject to DPR dan Presiden.
Menurut

hemat

penulis,

kejantanan

ombudsman

dalam

hal

independensi seperti yang tertera dalam pasal 2 harusnya dilanjutkan
melalui jalur persidangan administrasi dalam hal rekomendasi yang
tidak dilaksanakan atau dilaksanakn sebagian oleh atasan terlapor,
sehingga makna negara hukum yang diamanatkan konstitusi tercapai
sempurna tanpa dicampuri political interest

16

2. Restrukturisasi Wewenang Ombudsman Republik Indonesia
Lembaga negara yang dalam konsepsinya dikategorikan ada yang
dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD yang
kemudian disebut sebagi organ lapis pertama, ada pula yang dibentuk
dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dalam hal ini disebut ebagai
organ lapis kedua. Dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden yang selanjutnya disebut sebagai
organ lapis ketiga. Ombudsman yang awalnya dibentuk berdasarkan
Keppres yang dalam hal ini sebagai organ lapis ketiga dalam
hirarkinya kelembagaan negara dan memilki peran yang kurang begitu
Selanjutnya adalah terkait posisi organ lapis kedua disebut sebagai
lembaga negara saja, dimana dalam lapis ini ada lembaga yang sumber
kewenangannya dari UUD, ada pula sumber kewenangannya dari
Undang-Undang dan sumber kewenangannya yang bersumber dari
regulator atau pembentuk peraturan dibawah Undang-Undang.
Perubahan posisi tersebut memberikan kosekuensi pada posisi
ombudsman yang semakin kuat dan memberikan bargaining power
terhadap fungsi, tugas dan wewenang. Dalam hal rekomendasi yang
diberikan kepada atasan terlapor atas dugaan maladministrasi maka
penyelenggara negara yang bersangkutan

mempunyai kewajiban

untuk melaksanakan rekomendasi tersebut sebagaiman bunyi pasal 38
ayat 1, terlapor dan atasan terlapor wajib melaksanakan rekomendasi
ombudsman. Akan tetapi dalam UU No. 37 Tahun 2008 Tentang
Ombudsman Republik Indonesia tidak diatur mengenai sanksi yang
diberikan kepada penyelenggara negara dan pemerintah yang tidak
melaksanakan rekomendasi dari Ombudsman. Dalam BAB X pasal 44
hanya disebutkan “setiap orang dapat dikenakan sanksi pidana apabila
menghalangi ombudsman dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana
yang diatur dalam pasal 28”. Sehingga perlu kiranya dalam UU
tersebut diatur mengenai sanksi. Mengutip tanggapan philipus
M.Hadjon bahwasanya sanksi merupakan jaminan akan tegaknya suatu
norma, sanksi juga merupakan inti dari penegakan hukum administrasi.
17

Dari kesadaran tersebut, karena ombudsman merupakan organisasi
independen seharusnya untuk menjaga independensianya tersebut
ombudsman langsung berhubungan dengan peradilan administrasi
dalam hal telah tercapainya rekomendasi dari ombudsman, sehingga
sanksi yang lahir adalah sanksi yang dikeluar dari lembaga peradilan
yang tentunya memiliki unsur keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Disinilah etik suatu good governance tercapai.

3. Independensi dan Eksistensi Ombudsman Di Indonesia
Meyakinkan ombudsman merupakan lembaga yang independen
atau tidak, nampaknya bisa dlihat dari apa yang diklasifikasikan oleh
Antonius

Sujata

dan

Surachaman,33

Pertama,

independensi

ombudsman yang sifatnya institusional, artinya ombudsman sama
sekali bukan bagian dari institusi Negara yang telah ada. Oleh karena
itu ombudsman sama sekali tidak diawasi oleh kekuasaan Negara, dan
harus memperoleh kedudukan yang tinggi. Kedudukan yang tinggi
rasanya sudah terwujud yaitu dengan dengan disahkannya UU Nomor
37 Tahun 2008, jelas bahwa kedudukan ombudsman sederajat dengan
lembaga Negara lain yang juga tidak diawasi oleh kekuasaan Negara.34
Kedua, independensi ombudsman yang bersifat fungsional, maksudnya
adalah bahwa ombudsman tidak boleh dicampuri (atau diperintah) dan
ditekan oleh siapapun. Ketiga, independensi yang sifatnya personal,
mengandung arti bahwa ombudsman haruslah pribadi-pribadi yang
memilki integritas, kredibilitas, dan kapabilitas memadai sehingga
dapat dipercaya masyarakat. Oleh karena itu untuk menjadi seorang
ombudsman harus melalui seleksi ketat yang dilakukan oleh tim
seleksi yang sangat independen yang memilki independensi personal
akan kemampuan menjalankan tugasnya secara adil dan tidak

33

Budhi Masthuri, Ombudsman Dalam Transisi Demokrasi Indonesia , Mappi FH UI,
Jakarta, 2008, hlm. 15.
34
BAB II, Pasal 2 UU Nomor 37 tahun 2008.

18

berpihak.35 Dalam

sistem

ketatanegaraan,

keberadaan

lembaga

independen pelembagaannya harus disertai dengan kedudukan dan
peranan (role) serta mekanisme yang jelas, sehingga menurut Purnadi
dan Soerjono Soekamto, perlu adanya status atau kedudukan yang
menjadi subjek dalam negara mencakup lembaga atau badan, pejabat,
dan warga Negara. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin eksistensinya
ke depan, wujud nyata independensi tersebut ialah harus mencakup
kekuasaan, public service, kebebasan atau hak-hak asasi, dan
kewajiban terhadap kepentingan umum.36

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah serta uraian diatas, kiranya peneliti dapat
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UUD 1945
menggunakan sistem presidensial. Dalam sistem presidensial peran
ombudsman sangatlah penting dalam rangka menciptakan sistem
pemerintahan yang baik. Hal ini dikarenakan kedudukan pemerintah
yang kuat dalam sistem presidensial tanpa diiringi pengawasan yang
berimbang dari lembaga negara yang lain akan melahirkan suatu
kekuasaan yang absolute. Sistem pemerintahan yang baik dapat
terwujud apabila lembaga-lembaga negara yang ada menjalankan
fungsi dan tugasnya sesuai dengan prinsip transparansi, keterbukaan,
akuntabilitas serta kepastian dan kemanfaatan hukum. Sehingga
capaian good governance dan clean government

akan mudah

direalisasikan

35

Dalam pasal 15 ayat 2 UU No 37 tahun 2008 memang disebutkan panitia seleksi yang
terdiri dari unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi, dan anggota masyarakat. Sehingga secara
umum dapat diambil kesimpulan bahwa penyeleksi tersebut memiliki independensi yang bisa
diminta pertanggung jawabannya.
36
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia , Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006,
hlm. 219.

19

2. Tugas dan wewenang yang dimiliki Ombudsman dalam melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintah yang
ada sekarang ini belum mampu untuk mencapai tujuan yang dicitacitakan ketika awal dibentuknya ombudsman sehingga perlu dilakukan
restrukturisasi akan tugas dan wewenang ombudsman.
B. Saran
Selain itu, penulis juga merasa perlu memberikan kontribusi dalam bentuk
saran-saran sebagai berikut:
1. Restrukturisasi fungsi dan wewenang lembaga Ombudsman agar
teciptanya sistem pemerintahan yang baik
2. Optimalisasi peran ombudsman dalam emnjalankan fungsi dan
wewenangnya.

20

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang
UUD 1945, 2007, Citra Aditya Bakti: Bandung
UU Nomor 37 Tahun 2008, 2009, Citra Aditya Bakti: Bandung.
Buku-Buku
Amir Machmud, 1984, Demokrasi, Undang-undang dan Peran Rakyat, LP3ES :
Jakarta.
Budhi Masthuri, 2005, Mengenal Ombuidsman Nasional, PT. Pradnya Paramita :
Jakarta,
Galang Asmara, 2005, Ombudsmen Nasional dalam Sistem Pemerintahan Negara
Republik Indonesia , Laksbang Pressindo: Yogyakarta.
Hardijanto, 2000, Pendayagunaan Aparatur Negara Menuju Good Governance,
Work Paper TOT: Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelmbagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press: Yogyakarta.
________________, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia Cet-2,
KonsPress: Jakarta.
________________ , 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi, Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MK-RI: Jakarta.
Johny Ibrahim. 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Media: Surabaya.
Joko Widodo, 2001, Good Governance, Telaah dari Dimensi:Akuntabilitas dan
Kontrol Birokrasi, Insan Cendekia: Surabaya.
Miftah Thoha, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Prenada
Media Group: Jakarta.
Miriam Budiardjo, 1999, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.
M. Sayuthi Ali, 2002, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan
Praktek. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Murtir Jeddawi, 2007, Reformasi Birokrasi,Kelembagaan,dan Pembinaan PNS,
Total Media: Yogyakarta.
Ni’matul Huda, 2006, Hukum Tata Negara Indonesia , Rajagrafindo Persada:
Jakarta.
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina
Ilmu: Surabaya
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara , Rajawali Pers: Jakarta.
Sudargo Gautama, 1993, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni: Bandung.
S. Hans Kelsen, 1990, General Theory of Law and State, Alexandria: Virginia.
Sedarmayanti, 2004, Good Governance : Membangun Sistem Manajemen Kinerja
Guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance , Mandar
Maju: Bandung.
Tahir Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press: Jakarta.
21

Jurnal dan Makalah
Agus Widjayanto Nugroho, Tanpa tahun, Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa
Yogyakarta Dalam mewujudkan Good Governance, Makalah,tidak
diterbitkan, hlm. 8
Jimly Assidiqqie, 14-18 Juli 2003, Strikutur Ketatanegraan Indonesia Setelah
Perubahan Keempat UUD 1945, Makalah disamapaikan pada Seminar
Pembanguna Hukum Nasional VIII di Denpasar, hlm. 15.
Marcus Lukman, 1998, Hak Asasi Manusia dan Birokrasi Tantangan Menuju
Negara Hukum Kesejahteraan, Jurnal Perspektif, vol. 3, No. 1, hlm. 5.
Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum
Nasional dimasa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah, Jakarta,
,hlm. 1.
Saifuddin, 2010, Materi Perkuliahan Hukum Konstitusi, FH UII, hlm. 15.
Elektronik dan Media Cetak
http://www.ombudsman.go.id/Website/detailArchieve/161/id, Fungsi Lembaga
Negara Banyak Tumpang Tindih, diakses tanggal 03 Mei 2010.
www.google.com, Supremasi Parlemen, diakses tanggal 29 Maret 2010.
http//:www.antikorupsi.org/, Menanti Lahirnya Ombudsman Parlementer , diakses
tanggal 03 mei 2010.
www.insfre.com, Peran Ombudsman Dalam Mewujudkan Good Governance,
Abdul Ghaffar, diakses tanggal 31 Maret 2010.
Kompas, tanggal 10 Februari 1967, hlm. 15.
Koran Tempo, tanggal 09 Januari 2009, hlm. 10.

22