MAKALAH AIK STUDI AL QURAN TINGKAT TINGK

MAKALAH AIK STUDI AL-QUR’AN
“TINGKAT-TINGKAT KEBENARAN HADIST”
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : AIK Studi Al-Qur’an
Dosen Pengampu : Siti Hajar, M.Ag

Disusun Oleh :
WAROATUN NISSA (150621009)
GHINA NADHIVA (150621011)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
2017

KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis limpahkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan
rahmat, hidayah, kasih sayang serta pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktu yang telah direncanakan sebelumnya. Tak lupa
sholawat serta salam Penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan sahabat, semoga selalu dapat menuntun Penulis pada ruang dan waktu

yang lain.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah AIK Studi Al-qur’an
di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Cirebon, yang
berjudul Tingkat-Tingkat Kebenaran Hadist.
Untuk menyelesaikan makalah ini adalah suatu hal yang mustahil apabila
Penulis tidak mendapatkan bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Dalam
kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing dan
teman-teman yang telah memberi dukungan dalam menyelesaikan makalah ini
dengan baik.
Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak dan bila
terdapat kekurangan dalam pembuatan laporan ini Penulis mohon maaf, karena
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.

Cirebon, 9 April 2017

Penulis

i

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................
Daftar Isi...........................................................................................................

i
ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................

1

1.1 Latar Belakang ...............................................................................
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................
1.4 Metode Penulisan ...........................................................................

1
1
2
2


BAB II PEMBAHASAN..................................................................................

3

2.1 Pembagian Hadist Berdasarkan Tingkatnya...................................
2.2 Hadist Shahih .................................................................................
2.3 Hadist Hasan...................................................................................
2.4 Hadist Dha’if .................................................................................
2.5 Hadist Maudhu’..............................................................................

3
3
10
13
18

BAB III PENUTUP..........................................................................................

22


3.1 Kesimpulan ...................................................................................
3.2 Saran..............................................................................................

22
22

DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadist atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an.
Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan
perbuatan manusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai
kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi
belum dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat
Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga

hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai
inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang
telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau
yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain
terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria
tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan
ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian
kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi
terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun
meriwayatkan hadis Rasulullah.

Berbagai macam hadis yang menimbulkan

kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik
dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan
untuk menentukan kualitas sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode
yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis,

sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih, hasan, dhaif dan maudhu’ serta
dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1

Bagaimana pembagian hadist berdasarkan tingkatnya ?

1.2.2

Bagaimana yang dimaksud dengan hadist shahih ?

1.2.3

Bagaimana yang dimaksud dengan hadist hasan ?

1

1.2.4

Bagaimana yang dimaksud dengan hadist dha’if ?


1.2.5

Bagaimana yang dimaksud dengan hadit maudhu’ ?

1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1

Untuk mengetahui bagaimana pembagian hadist berdasarkan tingkatnya.

1.3.2

Untuk mengetahui hadist shahih.

1.3.3

Untuk mengetahui hadist hasan.

1.3.4


Untuk mengetahui hadist dha’if.

1.3.5

Untuk mengetahui hadist maudhu’.

1.4 Metode Penulisan
Metode penelitian yang saya gunakan untuk mencari sumber-sumber pembuatan
makalah ini adalah dengan cara mengumpulkan data dari beberapa situs di internet

2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembagian Hadist Berdasarkan Tingkatnya.
Secara garis besar tingkatan hadits dibagi dua yaitu: shahih dan dha’if. Namun,
tingkatan yang sudah banyak dikenal di dalam masyarakat kita selain dua tingkatan
tersebut adalah hasan dan maudhu’. Shohih ( ‫) الصصصحيح‬, yaitu hadits yang telah dapat
dibuktikan secara sah kebenarannya berasal dari Nabi saw. Hasan ( ‫) الحسن‬,
hadits yang


kurang

pantas

dinilai shahih,

dinilai dha’if, Dha’if ( ‫) الضصصصصصصصصصعيف‬,

tetapi

yaitu hadits

tidak
yang

layak
tidak

yaitu


juga

bila

memenuhi

persyaratan hadits shahih atau hasan, Hadits maudhu’ adalah hadits yangdikemukakan
oleh periwayat yang dusta dan bohong atas nama Nabi SAW secara sengaja. Ada
beberapa persyaratan untuk sebuah hadits mencapai tingkatan shahih, diantaranya
adalah Yang adil (orang tersebut haruslah muslim, yang berakal,baligh dll), Yang
kuat, yang cermat yaitu, orang yang kuat/cermat tentang apa yang ia riwayatkan, dan
hafal didalam hadits yang dapat ia keluarkan kapan saja diperlukan dengan betul, serta
ia seorang yang ‘alim (mengetahui) tentang apa yang ia riwayatkan, Yang bersambung
yaitu, sanadnya tidak terputus dari awal sampai akhir, tidak ada yang menyalahi
aturan

dalam

penyampaian


dan

tidak

ada

cacat

atau

kekurangan

di

dalam hadits tersebut. Oleh karena itu hadits shahih dan hasan dapat dijadikan
sebagai dalil dalam sebuah perkara agama. Namun, untuk hadits dha’if

dan

maudhu’ itu tidak boleh dijadikan dalil ( kecuali untuk hadits dhai’f yang tidak
berstatus dha’if berat, menurut beberapa ulama maka boleh dijadikan sebagai nasihat )
dan ini yang menyebabkan kesalahpahaman banyak orang memahami perkara agama.
2.2 Hadist Shahih
2.2.1 Pengertian hadist shahih

Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa
sihhatan yang artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara istilah
yaitu :
‫ضابِ ِط ع َْن ِم ْثلِ ِه إِل َى ُم ْنتَهَاهُ ِم ْن َغي ِْر ُش ُذوْ ٍذ َولَ ِعلَ ٍة‬
َ ‫ص َل َسنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل ال َع ْد ِل ال‬
َ َ‫ َما اِت‬.

3

" Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki
hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula
cacat."

Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan hadits yang bersambung
sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak
ber’ilat.

Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i
memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
1. apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengamalan
agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur memahami hadits yang
diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi
perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara
hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang Dia
riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas
dari tadlis (penyembuyian cacat).
2. rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat
juga tidak sampai kepada Nabi.
2.2.2 Syarat-syarat hadist shahih.
1. Sanadnya bersambung.
Setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi
terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir
sanad dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada
perawi pertama (para sahabat) yang menerima hadits langsung dari
Nabi, bersambung dalam periwayatannya. Sanad suatu hadits dianggap
tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian
para perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang
rawi yang dha’if, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.

4

2. Perawinya Adil.
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat
mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu
senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang
dapt merusak harga dirinya.
3. Perawinya Dhabit.
Seorang perawi dikatakan dhabit apabila perawi tersebut memilki
daya ingat yang sempurna terhadap hadist yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka
yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian
mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan.
Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh
apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya
kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
4. Tidak Syadz.
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan
dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya.
Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi
lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi
kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para
rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka
timbullah

penilaian

negatif

terhadap

periwayatan

hadits

yang

bersangkutan.
5. Tidak Ber’illat.
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit
karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan

5

hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya,
hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut,
mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan demikian,
yang dimaksud hadits tidak ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya tidak
terdapat kesamaran atau keragu-raguan. ‘Illat hadits dapat terjadi baik pada
sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama.
Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;

ْ ‫ب ع َْن ُم َح َم ِد ب ِْن ُجبَي ِْر ب ِْن ُم‬
ٌ ِ‫ال أَ ْخبَ َرنَا َمال‬
‫ط ِع ِم ع َْن أَبِ ْي ِه قَصصا َل‬
ٍ ‫ك َع ِن ا ْب ِن ِشهَا‬
َ َ‫َح َدثَنَا َع ْب ُداِ بْنُ يُوْ سُفَ ق‬
ُ ِ‫ب ب‬
ُ ‫َس ِمع‬
(‫الطوْ ِر ")رواه البخاري‬
ِ ‫م قَ َرأَ فِي ْال َم ْغ ِر‬.‫ْت َرسُوْ َل اِ ص‬

" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin
jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar
rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR.
Bukhari, Kitab Adzan).

Analisis terhadap hadits tersebut:
1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut
mendengar dari gurunya.
2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi
hadits tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
a. Abdullah bin yusuf

= tsiqat muttaqin.

b. Malik bin Annas

= imam hafidz.

c. Ibnu Syihab Aj-Juhri

= Ahli fiqih dan Hafidz.

d. Muhammad bin Jubair

= Tsiqat.

e. Jubair bin muth'imi

= Sahabat.

3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih
kuat serta tidak cacat.

6

2.2.3 Pembagian Hadis Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
1. Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifatsifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena
telah memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang
lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai
dengan sendirinya. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh
hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:

َ‫ ع َْن أَبِي هُ َري َْرة‬، َ‫ ع َْن أَبِي ُزرْ َعة‬، َ‫اع ْب ِن ُش ْب ُر َمة‬
ِ َ‫ ع َْن ُع َما َرةَ ْب ِن ْالقَ ْعق‬، ‫ َح َدثَنَا َج ِري ٌر‬، ‫َح َدثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْنُ َس ِعي ٍد‬
َ ‫ يَصصا َر ُسصو َل‬: ‫صال‬
َ ‫صصلَى‬
َ ‫ َجا َء َر ُج ٌل إِلَى َرسُو ِل‬: ‫ قَا َل‬، ُ‫اُ َع ْنه‬
َ ‫ضي‬
ُ ‫اِ َم ْن أَ َحص‬
‫ق‬
َ ‫ فَقَص‬، ‫اُ َعلَ ْيص ِه َو َسصلَ َم‬
َ ِ‫ا‬
ِ ‫َر‬
: ‫ قَصصا َل‬. ‫ك‬
َ ‫ ثُ َم أُ ُم‬: ‫ال‬
َ ‫ ثُ َم أُ ُم‬: ‫ ثُ َم َم ْن ؟ قَا َل‬: ‫ قَا َل‬. ‫ك‬
َ ‫ أُ ُم‬: ‫ال‬
َ َ‫ ثُ َم َم ْن ؟ ق‬: ‫ قَا َل‬. ‫ك‬
َ َ‫ص َحابَتِي ؟ ق‬
َ ‫اس بِ ُحس ِْن‬
ِ َ‫الن‬
‫ ثُ َم أَبُوك‬: ‫ثُ َم َم ْن ؟ قَا َل‬

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis
shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.
2. Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara
sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui
sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li
ghairihi karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang
lain. Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh atTirmidzi :

: ‫ قَا َل‬، َ‫ ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرة‬، َ‫ ع َْن أَبِي َسلَ َمة‬، ‫ ع َْن ُم َح َم ِد ب ِْن َع ْم ٍرو‬، َ‫ َح َدثَنَا َع ْب َدةُ بْنُ ُسلَ ْي َمان‬، ‫ب‬
ٍ ‫َح َدثَنَا أَبُو ُك َر ْي‬
َ ‫صلَى‬
َ ‫ال َرسُو ُل‬
َ ‫ لَوْ ل أَ ْن أَ ُش‬: ‫اُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم‬
‫صلة‬
َ ‫ك ِع ْن َد ُك ّل‬
َ ِ‫ا‬
َ َ‫ق‬. ٍ
ِ ‫ق َعلَى أُ َمتِي لَ َمرْ تُهُ ْم بِالس َ ّوا‬
Hadis

tersebut

dinilai

oleh muhaddisin sebagai hadis

shahih

li

ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat
Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya
kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan.

7

Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih
tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari
A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi). Dari sini dapat
kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an
dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi,
makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah
oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
Ashahhul Asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, alKhatib mengemukakan, bahwa dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat
mengenai ashahhul asanid, ada yang mengatakan:
1.

Riwayat Ibn Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari
Ibn Umar.

2.

Sebagian lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman
al-A’masy dari Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari
Abdullah ibn Mas’ud.

3.

Imam Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah
riwayat imam Malik ibn Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn
Umar. Dan karena imam Syafi’i merupakan orang yang paling utama
yang meriwayatkan hadis dari Imam Malik dan Imam Ahmad
merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari Imam
Syafi’i, maka sebagian ulama muta’akhirin cenderung menilai
bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam
Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar r.a. inilah yang
disebut silsilah ad-dzahab (mata rantai emas).

2.2.4 Kehujahan Hadits Shahih.
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan
sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama
ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan
penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan
aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan
hadits mutawatir. oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.

8

2.2.5 Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan
rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat
seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti
periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang
telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar. Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad
hadits yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan
sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas. Ketiga, ad’af al-asanid, yaitu
rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti
periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan,
yang secara berurutan sebagai berikut:
1. Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
4. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan
Muslim,
5. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
6. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
7. Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan
Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah,
Ibnu Hibban, dan lain-lain.
2.2.6 Kitab-kitab yang memuat Hadis Shahih.
Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan bahwa
diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah :
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Mustadrak al-Hakim
4. Shahih Ibn Hibban
5. Shahih Ibn Khuzaimah

9

Sedangkan menurut Ajjaj al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis
shahih adalah:
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Sunan Abu Daud
4. Sunan at-Tirmidzi
5. Sunan an-Nasa’i
6. Sunan Ibn Majah
7. Musnad Ahmad ibn Hanbal
Nuruddin ‘Itr didalam kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan
bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih antara lain:
1. al-Muwattha’
2. Shahih Bukhari
3. Shahih Muslim
4. Shahih Ibn Khuzaimah
5. Shahih Ibn Hibban
6. Al-Mukhtarah
2.3 Hadist Hasan
2.3.1 Pengertian hadist hasan.

Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna”
artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan
menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu:

َ ‫ص َل َسنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل ْال َع َد ِل الَ ِذيْ خ‬
‫ض ْبطُهُ ع َْن ِم ْثلِ ِه إِلَى ُم ْنتَهَاهُ ِم ْن َغي ِْر ُش ُذوْ ٍذ َولَ ِعلَ ٍة‬
َ ‫َف‬
َ َ‫" َما اِت‬.
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang
kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat.”

10

Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali
hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang
meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan
hadits shahih adalah sama.
2.3.2 Syarat-syarat hadist hasan.
Adapun syarat-syarat hadist hasan antara lain:
1. Sanad hadis harus bersambung.
2. Perawinya adil
3. Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang)
dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4. Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5. Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)

Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:

: ‫صال‬
َ ‫صر ْب ِن أَبِي ُموْ َسصي ْا لَ ْشص َع ِريْ قَص‬
ِ ‫ح َدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َدثَنَا َج ْعفَ ُر بْنُ ُسلَ ْي َمانَ الضُ بَ ِعي ع َْن أَبِ ْي ِع ْم َرا ِن ْال َجوْ نِي ع َْن أَبِي بَ ْكص‬
ُ ‫" َس ِمع‬
‫ الحديث‬..... ‫ف‬
َ ‫ إِ َن أَب َْو‬: ‫ قَا َل َرسُوْ ُل اِ ص م‬: ‫ْت أَبِي بِ َحضْ َر ِة ال َع ُد ّو يَقُوْ ُل‬
ِ ْ‫اب ْال َجنَ ِة تَحْ تَ ِظلَ ِل ال ُسيُو‬

“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far
bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia
berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw
bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…”( HR. AtTirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).

11

2.3.3 Pembagian hadist hasan.
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
1. Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit
meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada
kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits.
2. Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui keahliannya,
tetapi dia bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan dalam meriwayatkan
hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang bersesuaian dengan
maknanya. Jumhur ulama muhaddisin memeberikan definisi tentang haditst
hasan li-Ghairihi sebagai berikut:
‫ ويكصصون متن‬,‫ كثصصير الخطصصاء ولظهصصر منصصه سصصبب مفسصصق‬.‫مغفل‬

‫ماليخلوإسناده من مسصصتور لم تتحقصصق أهليتصصه ولي‬

‫الحديث معروفا برويتة مثله أو نحوه من وجه آخر‬
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata
keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang
menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang
semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Haditst hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits dha’if. Kemudian ada
petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hadits hasan. Jadi,
sekiranya tidak ada yang menolong, maka hadits tersebut akan tetap berkualitas
dha’if.

2.3.4

Kehujjahan hadist hasan.
Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya dibawah

hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau
hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadits, ulama
ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits hasan.

12

2.3.5 Kitab-kitab yang memuat hadist hasan.
Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if
adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran
dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan
adalah:
1. Sunan at-Tirmidzy
2. Sunan Abu Daud
3. Sunan ad-Dar Quthny
2.4

Hadist Dha’if.

2.4.1

Pengertian hadist dha’if.
Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Hadis dhaif menurut istilah

adalah hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula
didapati syarat hadis hasan. Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam
mendefinisikan hadis dhaif ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama.
Menurut An-Nawwawi

hadist dhaif adalah hadis yang didalamnya tidak

terdapat syarat-syarat hadist shahih dan syarat-syarat hadis hasan. Sedangkan menurut
As-Suyuthi hadis dhaif adalah hadist yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan
dari syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan kata lain hadis yang tidak terpenuhi
didalamnya syarat-syarat hadis maqbul.
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi
tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga
syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhai’if yang sangat lemah.
Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar
hukum.
2.4.2

Pembagian hadist dha’if.

1. Dha’if disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad.
Dha’if jenis ini dibagi lagi menjadi:
a. Hadits Munqathi
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya
disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal.

13

b. Hadits Mu’allaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal sanadnya
secara berturut-turut.
c. Hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur
di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah
orang yang pertama menerima hadits dari Rasul saw. Hadist mursal dibagi
menjadi dua:
1. Mursal al-Jali
Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan oleh
tabi’in besar.
2. Mursal al-Khafi
Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil. Hal
ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in tersebut meskipun
ia hidup sezaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah
hadits.
Dha’if karena tiadanya syarat adil
d. Hadits Mu’dhal
Hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik
sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun dua orang
sebelum shahabiy dan tabi'iy.
e. Hadits Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa
hadits itu tidak terdapat cacat.
3. Dha’if karena tiadanya syarat adil.

14

Dha’if jenis ini dibagi menjadi:
a.

Hadits al-Maudhu’
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang ciptaannya
dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja
maupun tidak.

b.

Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap
hadits yang diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya, baik pada
perbuatan ataupun perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun
ragu.

4. Dha’if karena tiadanya dhabit.
Dha’if jenis ini dibagi:
a.

Hadits Mudraj
hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari)
hadits

b.

Hadits Maqlub
hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi, atau
sanadnya. Kemudian didahulukan pada penyebutannya, yang seharusnya
disebutkan belakangan, atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya
didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.

c.

Hadits Mudhtharib
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari satu
perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan
tidak bisa ditarjih.

d.

Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan hadits riwayat
lain terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak
berubah. Hadits Muharraf yaitu hadits yang perbedaannya terjadi
disebabkan karena perubahan syakal kata sedangkan bentuk tulisannya
tidak berubah.

5. Dha’if karena kejanggalan dan kecacatan.
Dha’if jenis ini dibagi:
a.

Hadits Syadz

15

Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya
lebih utama.
b.

Hadits Mu’allal
Hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan
penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat.

6. Dha’if dari segi matan
Dha’if jenis ini dibagi:
a.

Hadits Mauquf
Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik sanadnya bersambung
maupun terputus.

b.

Hadits Maqthu
Hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik
perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain, hadits maqthu adalah
perkataaan atau perbuatan tabi’in.

2.4.3

Kehujjahan hadist dha’if.
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh

Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan
beberapa syarat:
1. Level Kedhaifannya Tidak Parah.
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan
banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau
hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa
dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum
halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh
digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).

16

2. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih.
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam
fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits
lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia
harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya.
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh
meyakini sepenuhnya bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau
perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga
atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.

2.4.4

Pengamalan hadist dha’if.
Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila

dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama melakukan
pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga
terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.
Ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan hadis dhaif:
1. Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal
maupun ahkam. pendapat ini diperpegangi oleh Yahya bin Ma’in, Bukhari dan
Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar ibn Araby.
2. Hadis dhaif bisa digunakan secara mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada
Abu Daud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadis dhaif lebih
kuat dari ra’yu perorangan.
3. Sebagian ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam
masalah fadhail mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat.
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadhilah amal, mensyaratkan
kebolehan mengambilnya dengan tiga syarat:
1. Kelemahan hadis itu tiada seberapa.

17

2. Apa yang ditunjukkan hadis itu juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat
diperpegangi, dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan
suatu dasar hukum yang sudah dibenarkan.
3. Jangan diyakini kala menggunakannya bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia
hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tidak
berdasarkan pada nash sama sekali.
2.5

Hadist Maudhu’

2.5.1

Pengertian hadist maudhu’.

Maudhu’ menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan, sedangkan menurut
istilah adalah sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada
rasulullah SAW secara dusta.
Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif
lainnya. Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif dan
maudhu’. Maka maudhu menjadii satu bagian tersendiri. Hadis maudhu adalah
seburuk-buruk

hadis

dhaif,

hadis maudhu’ dinamakan

juga

hadis musqath,

hadis matruk, mukhtalaq dan muftara.
2.5.2 Motivasi-motivasi munculnya hadis maudhu’.
Hadis maudhu’ tidaklah

bertambah

kecuali

bertambahnya bid’ah dan

pertikaian. Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh
orang-orang islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non islam.
Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadis palsu, antara lain:
1. Pertentangan Politik
Perpecahan umat islam terjadi akibat permasalahan politik yang terjadi pada
masa khalifah Ali bin Abi Thalib, membawa pengaruh besar terhadap
munculnya hadis-hadis palsu. Masing-masing golongan berusaha mengalahkan
lawannya dan berusaha mempengaruhi orang-orang tertentu, salah satu
usahanya adalah dengan membuat hadis palsu.
2. Usaha Kaum Zindiq

18

Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci islam, baik sebagai agama
maupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat
memalsukan Alqur’an sehingga mereka beralih melakukan upaya pemalsuan
hadis. Dengan tujuan ingin menghancurkan islam dari dalam.
3. Sikap Fanatik Buta
Salah satu faktor upaya pembuatan hadis palsu adalah adanya sifat ego dan
fanatik buta tehadap suku, bangsa, negeri dan pimpinan
4. Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah dan Nasehat
Kelompok

yang

melakukan

pemalsuan

hadis

ini

bertujuan

untuk

memmperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat
kemampuannya. Hadis yang mereka katakan terlalu berlebih-lebihan.
5. Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam
Munculnya hadis palsu dalam masalah fiqhi dan ilmu kalam, berasal dari para
pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadis karena ingin
menguatkan madzhabnya masing-masing.
2.5.3 Kaidah-kaidah untuk mengetahui hadis maudhu’.
Para ulama hadis menetapkan kaidah-kaidah untuk memudahkan melacak keberadaan
hadis maudhu’, sehingga hadis maudhu’ dapat diketahui dengan beberapa hal, antar
lain:
i.

Pengakuan dari orang yang memalsukan hadis: seperti pengakuan Abi ‘Ismat
Nuh bin Abi Maryam, yang digelari Nuh al-Jami’, bahwa dia telah
memalsukan hadis atas Ibnu Abbas tentang keutamaan-keutamaan al-Qur’an
surah persurah.

ii.

Adanya indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya: misalnya
seorang perawi yang Rafidhah dan hadisnya tentang keutamaan ahlul bait.

iii.

Adanya indikasi pada isi hadis, seperti: isinya bertentangan dengan akal sehat,
atau bertentangan dengan indra kenyataan, atau berlawanan dengan ketetapan
agama yang kuat dan terang, atau susunan lafazhnya yang lemah dan kacau,
misalnya apa yang diriwayatkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari
bapaknya dari kakeknya secara marfu’,”bahwasanya kapal nabi Nuh thawaf
mengelilingi ka’bah tujuh kali dan shalat dua raka’at di maqam Ibrahim.”

19

2.5.4 Hukum meriwayatkan hadis maudhu’.
Para ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari
orang yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan
penjelasan akan kemaudhu’annya, berdasarkan sabda Nabi saw:
“Barang siapa yang menceritakan hadis dariku sedangkan dia mengetahui bahwa itu
dusta, maka dia termasuk para pendusta.”(HR.Muslim)
2.5.5 Cara-cara mengetahui suatu hadist bersifat maudhu’
Beberapa cara agar kita mengetahui bahwa suatu hadist berstatus maudhu’ adalah:
1. Kepalsuan sanad:
a. Periwayatnya dikenal pembohong, dapat terlihat dari biodatanya.
b. Pemalsu hadits mengaku sendiri, seperti pengakuan Abdul Karim ibn alAwja’ yang telah memalsukan tidak kurang 4000 hadits.
c. Terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa seorang periwayat adalah
pembohong. Misalnya, Ma’mun ibn Ahmad al-Halawi mengaku pernah
memperoleh hadits dari Hisyam ibn ‘Ammar. Kemudian ditanya oleh Ibn
Hibban, “kapan engkau bertemu dia di Siria?” Ia menjawab, “tahun dua
ratus lima puluh.” Kemudian Ibn Hibban mengatakan, “Hisyam yang kau
sebut itu meninggal pada tahun dua ratus empat puluh lima.”
2. Kepalsuan matan :
a. Jika seorang yang benar-benar memahami makna dalam ungkapan bahasa
Arab berkesimpulan bahwa ada kata-kata atau kalimat yang tertera dalam
suatu hadits tidak mungkin diucapkan oleh orang yang fasih, terlebih oleh
Rasulullah saw.
b. Jika hadits tersebut bertentangan dengan temuan rasional, tanpa ada
kemungkinan takwil
Contohnya : Sebuah hadits “Sesungguhnya kapal Nabi Nuh itu melakukan
thawaf di ka’bah tujuh kali dan shalat di Maqam Ibrahim dua raka’at.”
c. Jika hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits mutawattir
Contohnya : Sebuah hadits “Usia dunia itu tujuh ribu tahun lagi.
d. Jika hadits tersebut menggambarkan bahwa para Sahabat sepakat untuk
menyembunyikan ajaran Nabi.

20

e. Jika sebuah hadits bertentangan dengan bukti-bukti sejarah.
Contohnya : Sebuah hadits menyebutkan bahwa Nabi mewajibkan
membayar Jizyah atas penduduk khaibar dan membebaskan mereka dari
usaha dengan persaksian Sa’ad ibn Mu’adz.
Ada 2 fakta yang salah dari hadits tersebut :
 Sa’ad ibn Mu’adz telah wafat sebelum peristiwa Khaibar, yaitu
pada Perang Khandaq.
 Sejarah mencatat bahwa Jizyah itu disebutkan sesudah Perang
Tabuk, sebuah kurun waktu setelah Peristiwa Khaibar.

21

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Pembagian hadist secara tingkatnya Secara garis besar dibagi dua
yaitu: shahih dan dha’if. Namun, tingkatan yang sudah banyak dikenal di dalam
masyarakat kita selain dua tingkatan tersebut adalah hasan dan maudhu’.
3.1.2 Hadist Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu
– suhhan wa sihhatan yang artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar.
Syarat-syarat hadist shahih diantaranya sanadnya bersambung, perawinya adil,
perawinya dhabit, tidak ada syadz, dan tidak ber’illat. Pembagian hadist shahih
dibagi dua yakni shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi. Kehujjahan Hadits yang
telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau
dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih.
Tingkatan hadist shahih dibagi tiga yakni : ashah al-asanid, ahsan al-asanid, dan
ad’af al-asanid. Kitab-kitab yang memuat hadist shahih diantaranya shahih
bukhari dan shahih muslim.
3.1.3

3.2 Saran
Alhamdulillah, dengan puji dan rahmat Allah makalh ini telah dapat di
selesaikan dengan semaksimal mungkin. Mungkin di dalam penulisan dan
pembahasan dalam makalah yang kurang sempurna ini terdapat kata atau kalimat yang
kurang berkenan di hati para pembaca, kami atas nama kelompok meminta dengan
sangat kritik dan sarannya. Agar kami bisa lebih meningkatkan cara penulisan kami
dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang masih dalam tahap pembelajaran ini.

22

DAFTAR PUSTAKA
As-Shiddieqy, Hasby. 1987. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadist. Jakarta: PT.Bulan
Bintang.
Sulaiman, Mughni. 2013. Makalah Hadist Shahih, Hasan, dan Dha’if dan contohnya.
(http://mugnisulaeman.blogspot.co.id/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasandan-dhaif.html) diakses tanggal 9 Maret 2017.
Al Jauzaa, Abu. 2007. Ilmu Hadist: Definisi Hadist Shahih.
(https://jacksite.wordpress.com/2007/07/04/ilmu-hadits-definisi-haditsshahih/) diakses tanggal 9 maret 2017.

23